Jelang subuh, Saqila sudah bangun, lalu salat, ia turun dari lantai atas menuju dapur untuk membantu Bi Ijah membuat sarapan seperti biasa.
Saqila teringat Adam, karena malam tadi mereka tak tidur sekamar, bimbang terjadi sesuatu pada suaminya. Saqila masuk kamar untuk melihat apa suaminya itu sudah bangun.
Adam masih dibalut selimut, biasanya ia sudah bangun untuk salat subuh di masjid, sepertinya subuh ini harus salat di rumah. Saqila duduk di dekat Adam, memegang dahinya, tak panas. mungkin efek obat yang diminum semalam hingga ia begitu lelap.
"Bang, bangun. Salat subuh," bisik saqila mengusap lembut lengan suaminya.
Adam membuka mata, memicingkan mata, lampu kamarnya yang tadi dinyalakan Saqila membuatnya silau.
"Jam berapa?"
Adam meraih gawainya, di kamar Adam tak terpasang jam dinding. Di gawai jam tertera 05:21 WIB, mata Adam terbelalak.
"Udah siang, kenapa baru bangunin?" dengusnya kesal, tanpa menunggu jawaban Saqila, ia bergegas ke kamar mandi, Saqila membentangkan sajadah untuk suaminya, ia kembali ke dapur.
Setelah selesai sarapan, semua penghuni rumah menuju aktifitas masing-masing. Saqila sudah janji akan ikut mertuanya ke pengajian hari ini, ia pun bersiap menggunakan baju yang pantas.
"Amih, Qila udah siap, kita berangkat sekarang," ajak Saqila.
Bu Wening menautkan alis melihat gaya berpakaian menantunya, hanya memakai rok dan kaos panjang.
"Saqi, nggak punya gamis?" tanya Bu Wening.
"Nggak, Mih," jawab Saqila menggeleng.
"Sini pake punya Amih aja, Amih sama kamu badannya sama-sama kecil kok," ajak mertuanya.
"Nanti Amih minta Adam anter kamu beli baju gamis buat ke pengajian, tapi sekarang Adam belum sembuh bener, kamu bisa pakai baju Amih dulu," sambung Bu Wening.
Saqila pun mengekor menuju kamar, mertuanya membuka lemari, banyak gamis tergantung rapi di sna. Gamis yang berbagai model dan warna, sedangkan Saqila tak punya gamis satu pun.
"Nah, coba yang ini, kayaknya cukup," pinta mertuanya.
Bu Wening memberikan beberapa gamis yang agak kecil untuk Saqila karena tubuh Saqila memang lebih mungil.
Saqila kembali ke kamarnya, ia mencoba gamis dari mertuanya itu. Gamis itu muat di badan Saqila, hanya bagian tangan yang terlalu panjang sampai menutup seluruh jari tangannya.
Semua gamis yang ia bawa menjuntai menyapu lantai, dikarenakan tubuhnya yang kurang tinggi, sedangkan mertuanya sedikit lebih tinggi. Saqila memilih yang sekiranya pas di bagian tangan.
[Nggak apa-apa lah, bisa diangkat begini.] pikirnya sambil mengangkat gamis yang menjuntai.
Sedikit lenggak-lenggok di depan cermin, di kamar Adam tak ada meja rias, ia hanya bercermin di lemari yang bejejer di ruang pakaian.
Saqila pun tak mengenakan make-up, hanya sedikit mengoles lip- balm, bedak pun dia belum punya, selama sibuk kerja ia tak pernah merawat wajahnya, hanya rutin mencuci muka dengan pembersih wajah yang biasa dijual pasaran.
Saqila menarik resleting gamis yang terletak di belakang punggung, tetapi macet, sulit ia tarik. Saqila menemui suminya yang tengah berdiri di depan jendela kamar menatap ke luar.
"Abang, Qila bisa minta tolong nggak?" tanya Saqila ragu.
"Apa?"
"Ini, tolong tarik resleting, macet nggak bisa ditarik ke atas," pinta Saqila menunjukkannya pada Adam.
Saqila membelakangi suaminya, lalu menyibak rambutnya ke sebelah kiri.
Adam mencoba menarik resleting, tapi agak sulit. Ia turunkan lebih rendah resleting baju Saqila, hingga terlihat seluruh punggung istrinya yang putih dengan bulu-bulu tipis.
Glek!
Adam menelan ludah, mendadak jantungnya berdetak kencang. Dengan tangan bergetar, ditarik kembali retsleting gamis istrinya ke atas, tapi tetap tak bisa tertutup sepenuhnya.
"Nggak bisa, ini mandeg, pakai yang lain aja," saran Adam.
Saqila membalik badan.
"Cuma ini yang yang muat, yang lain tangannya kepanjangan," sahut Saqila
"Ada baby-oil nggak?"
"Buat apa?" tanya Adam datar.
"Ada nggak?"
Adam tak menjawab, hanya diam menahan rasa yang tadi sempat tak karuan.
Saqila ke luar menuju kamar mertuanya, di sana juga tak ada minyak yang Saqila cari, tapi ada minyak lain yang mertuanya tawarkan. Saqila memintanya, ia kembali lagi ke kamar.
"Abang oleskan resletingnya pake ini," pinta Saqila.
Adam ikut saja, Saqila tak menyadari selama proses tersebut, Adam menahan debaran jantung yang seperti mau lepas dari dadanya.
Setelah di tuang sedikit minyak, resleting yang tersendat bisa ditarik kembali.
"Terimakasih, Bang," ucap Saqila sambil senyum sumringah, terlihat lesung di pipi dan memamerkan gigi gingsul menambah senyumnya semakin manis.
Adam nyaris tak berkedip, pagi-pagi disuguhi pemandangan yang membuatnya salah tingkah. Adam coba menutupi perasaannya, pandangan dialihkan ke berbagai sudut ruangan menghindari pandangan Saqila.
"Qila berangkat ya, kalau ada apa-apa telpon aja," pamit Saqila.
Diraihnya tangan Adam tanpa diminta, Saqila mencium punggung tangannya.
Nyess.
Hatinya seperti di aliri air sejuk, ia menatap Saqila tak berkedip, seolah tak ingin melewatkan tatapannya sedetik pun.
"Assalamu alaikum."
"Waalaikum salam."
Saqila meninggalkanya yang sedang dilanda perasaan gelisah. Adam berjalan lunglai ke arah tempat tidur, terduduk lesu.
[Apa ini?]
Adam meremas dadanya, jantung berdetak semakin kuat, tapi ia tak panik dan bukan penyakitnya yang menyerang. Apa mungkin rasa yang hilang itu kembali?
[Sadar, Adam sadar.] bisik hatinya.
Dia harus sadar diri, jangan terjebak oleh perasaan yang belum jelas. Ia berpikir Saqila akan sama seperti yang lain, kelak ia akan ditinggalkan.
***
Pulang dari pengajian Saqila langsung ke kamar mencari suaminya, entah knapa ia merasa gelisah meninggalkannya sendiri di rumah. Padahal ia menikah baru beberapa hari, jika dipikir-pikir, dulu sebelum menikah dengannya, Adam sudah biasa sendiri. Tapi kenapa ia begitu khawatir?
Adam tak ada di kamarnya.
Baru Saqila akan ke luar mencarinya, Adam sudah masuk ke kamar. Saqila melepas nafas panjang.
"Abang sudah makan?" tanya Saqila, cukup lega melihat suaminya ada dihadapannya.
"Hm."
"Tadi Abang ke mana?"
Diam adalah jawaban klasiknya, Adam bicara jika hanya ada yang perlu dikatakan saja. Ia tak pernah berbasa-basi atau sekedar bertegur sapa dengan istrinya, ia malas menjawab pertanyaan yang tak penting.
Saqila mengganti pakaiannya dan hendak ke dapur untuk menyiapkan makan siang.
"Malam ini tidur di sini," ucap Adam ketika melihat Saqila akan ke luar kamar.
Saqila tersenyum, ia merasa dibutuhkan oleh suaminya.
"Lena dan Elya ke sini sore," lanjut Adam.
Senyum Saqila menciut, ternyata bukan karna ia dibutuhkan, tapi takut adik-adiknya curiga. Saqila juga baru ingat kalau adik iparnya akan datang hari sabtu ini.
"Baiklah," sahut Saqila lesu.
***
Di rumah Pak Praja sudah ramai berkumpul anak cucu dan menantu, mereka bercengkrama, tertawa bercanda di ruang keluarga. Saqila pun ikut nimbrung bersama mereka.
"Tante, kita nonton Elsa yuk?" ajak Keyna anaknya Lena.
"Iya, aku juga mau nonton olaf," timbrung Keano anaknya Elya.
Saqila ikut saja ajakan anak-anak iparnya itu, Mereka antusias menonton bersama tantenya. Melihat keasikan mereka, Saqila kembali teringat Nisa. Jika masih ada, usianya sudah hampir empat tahun, pasti ia pandai berceloteh.
Jam sudah menunjukan angka sepuluh malam, biasanya rumah Pak Praja sudah sepi, tapi karena keluarga berkumpul semua malam ini masih ramai, Saqila sudah beberapa kali menguap.
"Saqi, sini," panggil Bu Wening.
Saqila bangkit bergegas menghampiri mertuanya.
"Ini, kasih ke Adam ya, suruh dia habiskan," perintah Bu Wening yang baru keluar dari dapur membawa segelas air berwarna kuning pucat.
"Apa ini, Mih?"
"Kasih aja ke Adam," ujar mertuanya, ia terlihat mesem-mesem.
"Siap-siap Saqila, kalau Bang Adam dikasih itu, bisa-bisa nggak mau keluar kamar dia," seloroh Lena.
"Iya, dulu Mas Agus juga dikasih minum itu sama Amih, betah lama-lama di kamar," timbrung Elya. Suaminya Elya ikut tersenyum mendengar keusilan istrinya.
Saqila tersipu tertunduk malu mendengar gurauan ipar-iparnya, ia segera masuk kamar. Adam juga belum tidur, masih memangku laptopnya.
"Bang, ini dari Amih, diminum," ucap Saqila.
Adam tak merespon, matanya asik menatap layar. Saqila meletakan minuman itu di meja samping tempat tidur.
Tanpa bicara lagi, Saqila naik ke atas tempat tidur lalu berbaring menghadap suaminya yang masih anteng. Saqila termenung memandang Adam, entah sampai kapan suaminya akan sedingin itu.
Saqila teringat, tadi ia menonton film animasi anak.
"Abang?"
"Hm."
"Elsa itu siapanya Abang?"
"Elsa? Siapa?" tanya Adam tanpa menoleh ke arah Saqila.
"Itu di film Frozen, dia bisa membekukan seluruh kerajaan, apa jangan-jangan Abang terkena kutukanya juga," jawab Saqila iseng.
Adam menatap Saqila.
"Beku?"
Saqila angguk. "Seperti negara salju."
Adam sedikit menyunggingkan bibir, entah tersenyum atau mencebik. Saqila bergegas duduk menatap suaminya, tak yakin dengan apa yang baru saja dilihatnya.
"Abang senyum?"
Raut wajah Adam kembali datar seperti semula. Setidaknya dia tahu bahwa suaminya masih bisa di ajak bercanda, asal tahu saja bagaimana cara untuk memancing senyumnya.
[Semakin ganteng kalau dia senyum. Ok saqila, berjuang. Cairkan gunung es itu.] pikirnya.
Saqila cukup senang meskipun hanya seulas senyum yang entah apa artinya, ia mulai semangat untuk menarik perhatian suaminya. Mungkin sekarang Saqila masih menjadi istri yang tak di inginkan Adam, tapi ia akan berusaha selalu berada di samping Adam.
Ngantuk sudah mulai menjalar dipelupuk mata Saqila, tapi Adam masih asik dengan benda itu, perlahan mata Saqila terlelap.
Setelah Adam selesai dengan laptopnya, ia berbaring di samping Saqila. Menatap istrinya lekat, tangannya menyibak rambut Saqila yang sedikit menutup matanya.
Setiap kali melihat istrinya, jantungnya berdenyut kencang, ada sesuatu yang menggebu.
Namun egonya masih merajai hati, ia beringsut turun dari ranjang. Tidur dibawah, melupakan segala hasratnya pada Saqila.
Malam ini sangat sulit untuk Adam memejamkan mata, gelisah terus saja melanda hati. Pernikahannya baru beberapa hari, ia yakin Saqila pasti menyerah. Takan semudah itu ia luluh pada perempuan yang baru saja ia kenal, pertahanannya harus lebih ditingkatkan, ia tak boleh menyerah pada Saqila.
***
Saqila membuka mata, lampu kamar terlihat temaram, entah jam berapa suaminya tidur dan mematikan lampu. Ia juga tak mendengar adzan subuh, tapi hatinya merasa kalau subuh sudah lewat.
Adam tak terlihat di sampingnya, ia tidur di bawah. Saqila mengucek mata, beringsut ke arah nakas ingin meraih gawainya untuk melihat jam. Namun jemarinya menyenggol gelas berisi minuman yang diberikan mertuanya tadi malam.
Byur!
Minuman itu tumpah tepat di kepala Adam yang tidur di bawah, Saqila menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Sontak Adam terbangun.
"Apa ini?"
Huek!
"Kenapa baunya anyir?" Adam menatap tajam pada Saqila.
Huek!
Saqila ikut mual dan menutup hidung.
"Itu minuman yang Amih kasih, kenapa Abang nggak minum?"
Wajah adam tampak kesal, ia ke kamar mandi.
Sambil menutup hidung, Saqila membersihkan tumpahan air tersebut, entah minuman apa yang diberikan mertuanya, bau anyir membuatnya mual, ia sedikit menggerutu.
Adam tak juga ke luar dari kamar mandi, Saqila melihat jam di gawai pukul 05:20 WIB.
[Ya Alloh, sudah siang, aku belum salat subuh.]
"Abang cepetan, Qila mau ambil wudhu, udah siang," jerit Saqila mengetuk pintu kamar mandi.
"Cari kamar mandi lain," sahut Adam, masih sibuk membersihkan diri, badannya terasa anyir tersiram air tadi.
Saqila nurut, ia melangkah menuju ke luar, tapi di sana terlihat sudah ada orang yang mengobrol, mungkin orang rumah semua sudah bangun dan berkumpul. Ia malu jika harus ke luar hanya untuk berwudhu, malu karena kesiangan. Akhirnya ia menutup kembali pintu kamar, memilih menunggu suaminya.
Adam ke luar, ia sudah memakai baju di dalam kamar mandi, lalu menuju tempat salat membentang sajadah, hari ini salat subuh di rumah lagi, ia baru hendak takbiratul ikhram, Saqila membentang sajadah di belakanya, Adam menoleh.
"Ngapain?"
"Ikut berjamaah," sahut Saqila dengan senyum manisnya.
Adam memulai salat, alfatihah ia lantunkan agak lantang agar terdengar oleh makmumnya. Membuat dada Saqila berdesir, baru kali ni ia menjadi makmum. Selama menikah dengan Wahyu, ia tak pernah salat berjamaah. Lantunan surah yang mendayu membuat air matanya menitik.
Setelah selesai salat, Saqila beringsut ke hadapan suaminya. Meraih tangan Adam, menciumnya tanpa diminta. Iya mencium punggung tangan Adam, menurun mencium punggung jemarinya, lalu membalik tangan Adam dan kembali mencium telapak tangan suaminya.
Cara Saqila mencium tangannya terasa tak umum, membuat Adam sedikit tertegun. Ditambah senyum yang selalu menghiasi bibir istrinya, lelaki mana yang tak akan melunak hatinya. Debaran-debaran selalu menyerang jantungnya ketika ia menatap Saqila.
Saqila meninggalkan Adam yang masih duduk di atas sajadah, harusnya dari sebelum subuh ia bangun agar bisa membuat sarapan. Di meja makan sudah terhidang sarapan, Saqila ke dapur menemui Bi Ijah.
"Bi, maaf hari ini Qila bangun kesiangan, jadi nggak bisa bikin sarapan buat Bang Adam," ujar Saqila, ia menuju tempat cuci piring, tangannya lincah mencuci piring kotor yang tak sempat dicuci Bi Ijah.
"Nggak apa-apa, Non, Bibi sudah bikin bubur kayak yang Non ajarkan kemarin. Itu biar Bibi yang cuci, Non sarapan aja sana."
"Ngga pa-apa. Dikit kok, Bi, jangan panggil Non, nggak enak didengar, panggil Saqila aja," pinta Saqila.
Adam ke luar dari kamarnya menuju meja makan yang sudah ramai orang.
"Eh, ada yang denger nggak sih, semalam ada gempa," seloroh Lena melihat rambut Adam yang terlihat basah.
"Bukan gempa, tapi banjir bandang, sampai bangun aja kesiangan," timpal Elya.
"Ih kalian ini, namanya juga pengantin baru, ya wajar tho," sahut Bu Wening ikut meramaikan.
Adam hanya mendelik mendengar guyonan adik-adiknya.
"Bentar lagi Amih nambah cucu deh kayaknya," kelakar Elya.
"Aamiin, biar rumah ini ramai, kalian'kan jauh dari Amih, kadang rumah ini sepi," ucap Bu Wening. Tersirat kebahagian di hatinya melihat Adam akur dengan Saqila.
***
Minggu sore sebelum pulang, Lena dan Elya memberikan sedikit nasehat untuk Saqila.
"Bang Adam dulu berjiwa pemimpin, semenjak kecelakaan dia kehilangan hidupnya, bahkan merasa tak berguna. Tugas kamu sekarang, dapatkan kembali kepercayaan diri Bang Adam, jadikan dia pemimpin dihidup kamu, libatkan dia dalam setiap hal kecil sekalipun, meskipun kamu mampu melakukan segala sesuatu sendiri, buat dia merasa di butuhkan," terang Lena. Harapannya sangat tinggi pada Saqila.
"InsyaAlloh, aku akan berusaha,"jawab Saqila. Ia sudah memikirkan hal itu dari sebelumnya. Saqila hanya ingin membantu suaminya sembuh, tentang cinta, ia tak akan berharap terlalu banyak, biarlah waktu yang menentukan.
Saqila sudah menyiapkan diri, ketika Adam sembuh nanti, kemungkinan ia akan ditinggalkan, sangat sadar siapa dirinya. Hal itu ia ikhlaskan dari sekarang, tapi tetap ia akan berjuang untuk kesembuhan suaminya.
Senin pagi Adam sudah rapi berpakaian formal, dengan jas dan dasi, ia harus bertemu investor yang ingin melihat proyek baru ayahnya.
"Abang mau kerja?" tanya Saqila, lagi-lagi ia merasa suaminya sangat tampan dengan setelan seperti itu, biarpun Adam agak kurus ia tetap terlihat menawan.
"Iya," jawabnya singkat seperti biasa.
Sebenarnya jika tak pergi pun tak mengapa, semua sudah di urus asisten pribadinya dan ayahnya. Dia hanya malu pada Saqila, sebagai seorang suami ia tak ingin menunjukkan kekurangannya dengan hanya berdiam di rumah dan terlihat lemah.
Pak Praja sempat melarang, Adam belum sembuh benar, khawatir jika di luar rumah ia terkena serangan panik.
Namun, Adam meyakinkan ayahnya kalau dia mampu, kali ini ia akan berusaha.
Sebelum Adam berangkat, Saqila menyiapkan obat dalam kotak kecil dan disimpan dalam tas kerja suaminya. Jaga-jaga jika Adam membutuhkan obat itu.
Saqila meraih tangan Adam dan menciumnya dengan cara seperti kemarin. Punggung tangan, jari dan tepak tangan suaminya dikecup Saqila, ia masih menggenggam tangan Adam seolah menunggu sesuatu.
"Apa?" tanya Adam melihat Saqila terus menatapnya.
"Ini." Saqila menyentuh kening meminta Adam menciumnya.
Ckk!
Adam mendecak, lalu pergi begitu saja meninggalkan istrinya.
[Hm. awas ya, nanti Abang akan luluh juga.]
Saqila tersenyum, ia bersemangat.
Menjelang dzuhur ia sedang di dapur menyiapkan makan siang untuk mertuanya; Bu Wening beristirahat dikamarnya melemaskan otot kaki yang kadang terasa keram.
Ding dong!
Saqila membuka pintu, Adam pulang dengan wajah lelah ia ke kamar sedikit menyeret kakinya.
Di ikuti Pak Praja dari belakang.
"Qila, obatin Adam, tadi dia tersandung dan jatuh di proyek," perintah Pak Praja.
"Jatuh? Ya Alloh."
Pantas saja jam segini mereka sudah pulang.
Saqila mengambil kotak P3K, menuju kamar. Dia terperangah melihat Adam yang tengah duduk di lantai, bersandar di tempat tidur, tangannya meremas rambut.
Adam melihat istrinya yang baru datang dan nampak terkejut.
"Kenapa? Kaget? Atau jijik?" cibir Adam.
Saqila menggeleng dan menghampiri Adam.
"Sakit, Bang?" tanya Saqila melihat Adam tanpa kaki palsu, Adam sudah melempar kaki palsunya ke sudut ruangan, lutut bekas amputasi tampak lecet.
"Nggak usah pura-pura baik! Pergi!" tengking Adam.
Saqila tak peduli dengan cercaan Adam, ia meraih obat untuk dioleskan ke kaki suaminya. Namun tangan Saqila ditepis ketika hendak menyentuh kaki Adam, kaki sebelahnya menendang kotak obat hingga berhamburan.
"Pergi!" bentak Adam, suaranya terdengar menggema .
Saqila keluar, bukan untuk mengikuti arahan suaminya, ia ke dapur mengambil air minum untuk Adam.
"Minum, Bang." Saqila mendekatkan gelas ke arah bibir Adam.
Prang!
Gelas di tepis Adam hingga terlempar, pecah berkeping dengan airnya tumpah di lantai.
"Abang," lirih Saqila.
"Pergi nggak!" Wajah Adam merah padam.
Saqila tak menurut, ia berhambur memeluk Adam.
"Qila akan tetap di sini nemenin Abang," ucapnya memeluk Adam erat, ia tak peduli biarpun harus mendapat kekerasan dari suaminya.
Adam mulai meraung, banyak yang ia kesalkan seolah kehilangan kemampuan diri membuatnya tampak dikasihani, ia tak suka melihat Saqila yang terlihat kasihan padanya.
Saqila ikut menangis ia coba menguatkan hati suaminya.
"Sabar Bang, Qila di sini buat Abang, mulai sekarang Qila nggak akan tidur di atas, Qila tidur di sini dengan Abang."
Dari awal Adam menolak tidur dengan Saqila, sebab ia harus membuka kaki palsunya ketika tidur dan hal itu tak sanggup ia lakukan di depan Saqila, ia coba sembunyikan kekurangannya. Meskipun Saqila sudah diberi tahu tentang kecacatannya, ia tak ingin terlihat lemah.
Mereka berdua menangis, Adam bersimpuh di ribaan Saqila. Kenapa istrinya ini tak takut dibentak olehnya, tak takut dicelakai, malah semakin erat mendekap.
Kotak obat dan pecahan gelas yang berserakan tak Saqila hiraukan, ia ingin mendampingi Adam melalui masa sedihnya.
"Abang harus kuat," bisik Saqila. Ia mengusap air mata yang membanjiri pipi suaminya.
Adam masih menangis, tanganya menggenggam erat jemari Saqila.
==========
Setelah tangis dan amarahnya reda, Adam mendongak menatap wajah istrinya. Terlihat mata Saqila sembab karena ikut menagis. Saqila memapah suaminya berbaring di tempat tidur.
"Maaf, Sa," ucap Adam.
Saqila menggeleng. "Nggak apa-apa."
"Abang makan ya, nanti Qila ambilkan," tutur Saqila mengusap pipi Adam lembut, tak lekang dari senyumnya yang menyejukan hati.
Adam mengangguk, "Terima kasih, Sa."
Saqila ke dapur untuk mengambil bubur, lalu kembali. Adam masih bersandar di tempat tidur, menatap langit-langit, pandangannya menerawang jauh. Melihat Saqila menghampiri, ia meraih mangkok bubur di tangan istrinya.
"Nggak usah, Qila suapin ya."
Adam tak menolak, ikut saja kata istrinya. Hatinya penuh haru, biarpun ia belum bisa sepenuhnya menerima Saqila di hidupnya.
"Kamu nggak jijik, Sa?"
"Jijik apa?" Saqila mulai menyuapi Adam.
"Dengan kecacatanku," sahut Adam.
"Kenapa harus jijik, Bang. Itu juga bukan keinginan Abang." Saqila menjeda ucapanya.
"Bersyukurlah, masih ada orang-orang yang menyangi di sekeliling Abang. Setia di samping Abang memberi dukungan. Di luar sana, banyak orang yang mengalami nasib seperti Abang juga, kadang nasib mereka kurang beruntung, harus tetap hidup demi orang yang di kasihi, harus tetap mencari nafkah dengan keadaan diri yang tak memungkinkan.
Kadang ada juga pengemis tanpa kaki, bukan mereka tak malu, tapi kurang beruntung dan tak tahu harus bekerja apa," tutur Saqila sambil menyuapkan bubur ke mulut Adam.
"Setiap manusia pasti diuji, tinggal bagaimana cara kita menghadapi dan mensyukuri. Kalau Abang nggak mau sembuh untuk diri sendiri, setidaknya niatkanlah sembuh untuk orang-orang yang mengasihi Abang, mereka merindukan Abang," jelas Saqila.
Hati Adam sejuk mendengar penuturan istrinya, selama ini ia begitu egois tak mampu menerima kenyataan, tak sanggup dirundung takdir. Padahal segala kebutuhannya di cukupkan, tanpa harus bersusah payah mencari mencari nafkah untuk kebutuhan hidup.
"Makasih Sa." ucap Adam, seperti ada yang tersekat di tenggorokanya, tangan Adam mengusap pipi Saqila lembut.
Serrr.
Ada yang mendesir di dada Saqila, suaminya tak biasa begini. Kenapa hari ini begitu lembut, ia berharap semoga ini awal kebaikan untuk hubungan mereka.
"Tetap di sini, Sa. Kasih Abang waktu."
[Abang? Dia menyebut dirinya Abang?]
"Qila akan tunggu, Abang."
Untuk pertama kalinya Adam tersenyum tulus pada Saqila, ia melihat sinyal-sinyal kasih yang coba dicurahkan suaminya.
***
Sudah beberapa hari semenjak pernikahan Saqila, Santi merasa rindu pada adik iparnya. Ia menelpon Saqila sekedar bertanya kabar.
"Apa kabar, Saqila," sapa Santi di telepon.
"Alhamdulillah, Mbak San, Qila sehat," sahut Saqila, ia balik bertanya kabar kakak iparnya.
"Syukurlah, alhamdulillah Mbak juga sehat. Gimana, kamu betah di sana?"
"Betah, Mbak San, semua keluarga di sini baik sama Qila," jawab Saqila sumringah.
"Baguslah kalau gitu."
"Gimana jualan kuenya, Mbak San, lancar?" tanya Saqila ingin tahu bisnis kakak ipar semenjak ditinggal olehnya.
"Alhamdulillah, Mbak udah ngambil dua pekerja, Pak Praja nambahin modal usaha Mbak."
"Ya Alloh, Alhamdulillah. Qila seneng dengernya Mbak," sahut Saqila, mertuanya memang baik hati, selalu menolong ketika mereka membutuhkan.
Mereka larut dalam obrolan, bertukar pikir tentang usaha yang digeluti, Santi juga sudah dapat tempat tinggal baru yang lebih luas dan nyaman untuk meneruskan bisnis kuenya, tapi masih dalam proses pembersihan sebelum mereka tempati.
Biarpun Muaz sering menjemput Pak Praja untuk ke kantor, ia tak pernah masuk ke rumah bossnya, itulah sebab Saqila jarang bertemu dengan kakaknya. Bagi Muaz, ia ke rumah Pak Praja untuk bekerja. Tugas adalah tugas, lain lagi jika berniat kunjungan keluarga.
Santi dan Saqila tengah asik bercerita, diseberang telepon tak terdengar lagi suara.
"Halo, Mbak San." Saqila memanggil-manggil kakak iparnya, tapi tak ada sahutan.
Tut ... tut
Saqila tekan ulang nomor Santi, terdengar nada sambung, tetap tak berjawab. Ia sedikit keheranan, baru saja mereka riuh bercicit, panggilan ditutup begitu saja.
***
Pagi hari, ketika datang ke rumah Pak Praja, Muaz mampir untuk bertemu Saqila sebentar. Resah merundung wajahnya, tapi Saqila harus diberi tahu.
"Ayo, Kak masuk," ajak Saqila pada Muaz.
"Iya, Qila," sahut Muaz setelah ia meminta sedikit waktu pada majikannya sebelum berangkat ke kantor.
Saqila mengajak kakaknya duduk di kursi ruang tamu, Muaz mengekor. Ia sedikit clingukan, melihat sekeliling baru kali ini ia masuk ke rumah mewah milik bossnya. Muaz duduk tak jauh dari Saqila.
"Kemarin, ada Iwan datang ke rumah," tutur Muaz membuka percakapan.
"Iwan? Ngapain?"
"Dia nyari kamu," sahut Muaz.
"Terus?"
"Aku bilang kalau kamu udah nikah, tapi dia nggak percaya, mau nggak mau aku tunjukan foto ijab qobul kamu, dia marah," jelas Muaz, ia melihat kanan kiri, risau jika ada orang mendengar. Apalagi sekarang Saqila sudah jadi istri orang, bimbang jika harus membahas soal Iwan pada adiknya itu.
"Dia bilang akan balas perbuatan kamu dengan menyakiti Dina," lanjut Muaz, bicaranya sedikit berbisik.
"Astagfirullah, Kak Dina." Saqila mendekap mulut.
"Kenapa Iwan sejahat itu? Menurut Kakak, Qila harus gimana?" tanya Saqila ingin tahu pendapat Muaz.
"Untuk sementara biarkan saja dulu, tunggu sampai Dina melahirkan," terang Muaz.
Dia sudah pikirkan, cerai adalah pilihan terbaik untuk Dina daripada adik tirinya di sakiti Iwan dan diperlakukan tak selayaknya.
Saqila ikut saja keputusan terbaik yang di ambil kakaknya. Untuk sekarang ia pun tak tahu harus bagaimana, tak mungkin bisa ia menghadapi Iwan.
Muaz pamit untuk mengantar Pak Praja ke kantor. Sementara Saqila masih termenung, bertanya pada diri, apa yang harus ia lakukan untuk Dina, bagaimanapun Dina tetap kakaknya. Bagaimana pula dengan perasaan ibunya nanti?
[Ya Alloh, kenapa jadi begini?]
Saqila mendekap wajah, ia tak bisa berbuat apa-apa. Saqila memicit-micit dahinya, ia menghindari Iwan, berharap mantan kekasihnya itu sadar dan menerima Dina, ternyata keputusannya malah menimbulkan masalah untuk Kakak dan ibunya.
Iwan begitu ambisius terhadap Saqila, tak bisa melupakan begitu saja tentang kehancuran hubungan mereka, dalam hal ini Iwan tetap merasa jadi korban, ia tak terima jika harus menderita sendiri.
Iwan meyakini, pernikahan Saqila hanya untuk menghindarinya, Iwan juga tahu sifat Saqila yang tak mungkin diam saja mendengar kelurganya di sakiti. Iwan akan menunggu saat itu, saat Saqila menemuinya.
***
Lunglai Saqila berjalan ke dapur, di sana Bi Ijah sedang jongkok menarik-narik tabung gas.
"Kenapa, Bi?"
"Ini, Non, gas habis, Bibi mau ganti," jawab Bi Ijah, biarpun Saqila sudah melarangnya memaggil 'non', ia tetap saja menyebutnya, baginya itu suatu penghormatan untuk majikannya. Apalagi keluarga Pak Praja begitu baik, tak ada salahnya hanya sekedar panggilan.
"Udah, Bi. Sini Qila aja, Bibi ke warung belikan sesuatu untuk Qila," pinta Saqila.
Bi Ijah nurut.
Saqila bergegas ke kamar menghampiri suaminya, Adam tengah meregangkan ototnya berolahraga ringan di depan jendela kaca yang terbuka menghadap halaman belakang.
"Abang."
"Hm."
"Pasangin gas, Bi Ijahnya nggak ada ke warung," pinta Saqila.
"Kamu nggak bisa?"
"Nggak," jawab Saqila, ia berbohong.
"Pak satpam?"
Saqila menarik tangan suaminya.
"Ayo ... Abang aja," manja Saqila menarik tangan Adam.
Saqila sudah bersiasat akan melibatkan Adam dalam hal-hal kecil yang ia kerjakan di rumah.
Adam ikut dibelakang Saqila dengan tangan yang masih ditarik, sesampainya di dapur, ia menarik stok tabung gas yang sudah di sediakan, sedikit digeser-geser.
Klek. Selesai.
"Udah," ucap Adam.
"Makasih."
Saqila tersenyum di buat-buat demi menyenangkan hati suaminya. Sesungguhnya, hati Saqila masih kacau memikirkan ancaman Iwan.
Mulai saat itu, ada saja yang Saqila minta kerjakan pada suaminya, bahkan untuk sekadar memasang kancing BH ia sampai meminta Adam memasangnya.
Kebiasaan-kebiasan itu membuat Adam makin dekat dengan Saqila, meskipun egonya masih belum luruh, setidaknya Adam berpikir bahwa Saqila membutuhkanya.
Pak Praja sama sekali tak mengijinkan Adam untuk ke kantor, ia bisa menjalankan tugasnya di rumah. Dikata bosan, bukan main ia bosan. Dengan adanya Saqila, sedikit meramaikan ke sunyian hatinya.
***
Halaman belakang tampak sudah lama tak terusus. Di sana ada dua pohon mangga yang bergandengan, di bawahnya ada bangku panjang dari anyaman bambu, untuk sekedar bersantai mencari angin di tengah gersangnya ibu kota.
Di sudut tembok, terongok pot-pot sudah tak terpakai. Ada juga pot berisi tanah yang mengeras, masih tertancap tanaman bunga yang nampak kering kerontang.
"Dulu Ibu rajin merawat bunga, semenjak sakit, bunganya tak terusus. Bibi juga nggak sempat, sibuk sama kerjaan rumah," ujar Bi Ijah menjelaskan keadaan taman yang terbiar.
"Qila mau tanam bunga aja, Bi. Biar halaman belakang sejuk lagi," ucap Saqila. Ia sudah membayangkan indahnya halaman belakang dengan warna warni bunga.
Saqila meminta satpam untuk membeli tanah yang biasa di pakai untuk tanaman, tak lupa ia memesan bibit bunga-bunga yang dijual di internet.
"Amih seneng, Saqi mau ngurus taman, soalnya Amih udah nggak bisa, kaki Amih sakit," ujar Bu Wening senang melihat menantunya ingin bercocok tanam.
"Iya, banyak pot yang nganggur, Mih. Daripada terbiar begitu aja, mending Qila manfaatkan," saran Saqila.
Tanah dan bibit bunga pesanan sudah datang, Saqila mulai bercocok tanam.
Ia ajak Adam ikut serta, meskipun awalnya menolak, ujungnya Adam mengalah juga.
Pot-pot, tanah dan bunga pesanan sudah di siapkan, Saqila mulai memasukan tanah kedalam pot, Adam ikut membantu. Sedikit-sedikit Saqila sertakan candaan dan usikan untuk suaminya. Saqila memang pintar menghilangkan canggung di antara mereka.
"Kotor Sa," gerutu Adam saat Saqila mencolekan tanah ke hidung suaminya.
Saqila tersenyum usil, ia terkekeh melihat Adam mengosok-gosok hidungnya dengan lengan.
"Ini bunga kok meleot, nggak berdiri," komentar Saqila sambil menggaruk kepalanya, terlihat jilbabnya kotor akibat garukan tangan Saqila.
Adam mengusap jilbab Saqila yang kotor dengan lembut. Saqila malah semakin menggangu suaminya, kembali mencolek hidung adam dengan tanah.
"Sa..."
Saqila cekikikan geli melihat Adam kesal-kesal suka.
"Sini bunganya," pinta Adam, meraih pot yang Saqila tanami tak tegak juga.
Adam mengeluarkan semua isi pot, menanam ulang.
"Gini, tadi kurang dalam," tunjuk Adam.
"Emang, Abang tahu tanam bunga gitu?" tanya Saqila ketika Adam menunjukan pot yang sudah ditanami bunga yang berdiri tegak, tak seperti yang Saqila tanam tadi.
"Nggak."
"Itu bisa?"
"Dulu sering lihat Amih," jawabnya singkat.
"Abang."
"Hm."
"Kalau ngobrol, bisa nggak panjangan dikiiiiiiit aja?"
Adam tak menjawab, masih fokus dengan tanaman bunganya.
"Malah makin bisu," kesal Saqila ia mengerutu.
Adam tersenyum mendengar ocehan istrinya, ia masih anteng menilik bunga yang di tanam.
"Uh manisnya," gumam Saqila melihat bibir suaminya tersungging.
"Apa?" Adam mendongak menatap Saqila.
"Nggak, itu bunga, manis banget," tunjuk Saqila pada bunga yang masih di benahi Adam dalam pot.
Tatapan mereka beradu, sama-sama melempar senyum, menahan debaran yang membuncah. Adam tunduk.
[Saqila.] desah hatinya
***
***
Pagi hari, ketika datang ke rumah Pak Praja, Muaz mampir untuk bertemu Saqila sebentar. Resah merundung wajahnya, tapi Saqila harus diberi tahu.
"Ayo, Kak masuk," ajak Saqila pada Muaz.
"Iya, Qila," sahut Muaz setelah ia meminta sedikit waktu pada majikannya sebelum berangkat ke kantor.
Saqila mengajak kakaknya duduk di kursi ruang tamu, Muaz mengekor. Ia sedikit clingukan, melihat sekeliling baru kali ini ia masuk ke rumah mewah milik bossnya. Muaz duduk tak jauh dari Saqila.
"Kemarin, ada Iwan datang ke rumah," tutur Muaz membuka percakapan.
"Iwan? Ngapain?"
"Dia nyari kamu," sahut Muaz.
"Terus?"
"Aku bilang kalau kamu udah nikah, tapi dia nggak percaya, mau nggak mau aku tunjukan foto ijab qobul kamu, dia marah," jelas Muaz, ia melihat kanan kiri, risau jika ada orang mendengar. Apalagi sekarang Saqila sudah jadi istri orang, bimbang jika harus membahas soal Iwan pada adiknya itu.
"Dia bilang akan balas perbuatan kamu dengan menyakiti Dina," lanjut Muaz, bicaranya sedikit berbisik.
"Astagfirullah, Kak Dina." Saqila mendekap mulut.
"Kenapa Iwan sejahat itu? Menurut Kakak, Qila harus gimana?" tanya Saqila ingin tahu pendapat Muaz.
"Untuk sementara biarkan saja dulu, tunggu sampai Dina melahirkan," terang Muaz.
Dia sudah pikirkan, cerai adalah pilihan terbaik untuk Dina daripada adik tirinya di sakiti Iwan dan diperlakukan tak selayaknya.
Saqila ikut saja keputusan terbaik yang di ambil kakaknya. Untuk sekarang ia pun tak tahu harus bagaimana, tak mungkin bisa ia menghadapi Iwan.
Muaz pamit untuk mengantar Pak Praja ke kantor. Sementara Saqila masih termenung, bertanya pada diri, apa yang harus ia lakukan untuk Dina, bagaimanapun Dina tetap kakaknya. Bagaimana pula dengan perasaan ibunya nanti?
[Ya Alloh, kenapa jadi begini?]
Saqila mendekap wajah, ia tak bisa berbuat apa-apa. Saqila memicit-micit dahinya, ia menghindari Iwan, berharap mantan kekasihnya itu sadar dan menerima Dina, ternyata keputusannya malah menimbulkan masalah untuk Kakak dan ibunya.
Iwan begitu ambisius terhadap Saqila, tak bisa melupakan begitu saja tentang kehancuran hubungan mereka, dalam hal ini Iwan tetap merasa jadi korban, ia tak terima jika harus menderita sendiri.
Iwan meyakini, pernikahan Saqila hanya untuk menghindarinya, Iwan juga tahu sifat Saqila yang tak mungkin diam saja mendengar kelurganya di sakiti. Iwan akan menunggu saat itu, saat Saqila menemuinya.
***
Lunglai Saqila berjalan ke dapur, di sana Bi Ijah sedang jongkok menarik-narik tabung gas.
"Kenapa, Bi?"
"Ini, Non, gas habis, Bibi mau ganti," jawab Bi Ijah, biarpun Saqila sudah melarangnya memaggil 'non', ia tetap saja menyebutnya, baginya itu suatu penghormatan untuk majikannya. Apalagi keluarga Pak Praja begitu baik, tak ada salahnya hanya sekedar panggilan.
"Udah, Bi. Sini Qila aja, Bibi ke warung belikan sesuatu untuk Qila," pinta Saqila.
Bi Ijah nurut.
Saqila bergegas ke kamar menghampiri suaminya, Adam tengah meregangkan ototnya berolahraga ringan di depan jendela kaca yang terbuka menghadap halaman belakang.
"Abang."
"Hm."
"Pasangin gas, Bi Ijahnya nggak ada ke warung," pinta Saqila.
"Kamu nggak bisa?"
"Nggak," jawab Saqila, ia berbohong.
"Pak satpam?"
Saqila menarik tangan suaminya.
"Ayo ... Abang aja," manja Saqila menarik tangan Adam.
Saqila sudah bersiasat akan melibatkan Adam dalam hal-hal kecil yang ia kerjakan di rumah.
Adam ikut dibelakang Saqila dengan tangan yang masih ditarik, sesampainya di dapur, ia menarik stok tabung gas yang sudah di sediakan, sedikit digeser-geser.
Klek. Selesai.
"Udah," ucap Adam.
"Makasih."
Saqila tersenyum di buat-buat demi menyenangkan hati suaminya. Sesungguhnya, hati Saqila masih kacau memikirkan ancaman Iwan.
Mulai saat itu, ada saja yang Saqila minta kerjakan pada suaminya, bahkan untuk sekadar memasang kancing BH ia sampai meminta Adam memasangnya.
Kebiasaan-kebiasan itu membuat Adam makin dekat dengan Saqila, meskipun egonya masih belum luruh, setidaknya Adam berpikir bahwa Saqila membutuhkanya.
Pak Praja sama sekali tak mengijinkan Adam untuk ke kantor, ia bisa menjalankan tugasnya di rumah. Dikata bosan, bukan main ia bosan. Dengan adanya Saqila, sedikit meramaikan ke sunyian hatinya.
***
Halaman belakang tampak sudah lama tak terusus. Di sana ada dua pohon mangga yang bergandengan, di bawahnya ada bangku panjang dari anyaman bambu, untuk sekedar bersantai mencari angin di tengah gersangnya ibu kota.
Di sudut tembok, terongok pot-pot sudah tak terpakai. Ada juga pot berisi tanah yang mengeras, masih tertancap tanaman bunga yang nampak kering kerontang.
"Dulu Ibu rajin merawat bunga, semenjak sakit, bunganya tak terusus. Bibi juga nggak sempat, sibuk sama kerjaan rumah," ujar Bi Ijah menjelaskan keadaan taman yang terbiar.
"Qila mau tanam bunga aja, Bi. Biar halaman belakang sejuk lagi," ucap Saqila. Ia sudah membayangkan indahnya halaman belakang dengan warna warni bunga.
Saqila meminta satpam untuk membeli tanah yang biasa di pakai untuk tanaman, tak lupa ia memesan bibit bunga-bunga yang dijual di internet.
"Amih seneng, Saqi mau ngurus taman, soalnya Amih udah nggak bisa, kaki Amih sakit," ujar Bu Wening senang melihat menantunya ingin bercocok tanam.
"Iya, banyak pot yang nganggur, Mih. Daripada terbiar begitu aja, mending Qila manfaatkan," saran Saqila.
Tanah dan bibit bunga pesanan sudah datang, Saqila mulai bercocok tanam.
Ia ajak Adam ikut serta, meskipun awalnya menolak, ujungnya Adam mengalah juga.
Pot-pot, tanah dan bunga pesanan sudah di siapkan, Saqila mulai memasukan tanah kedalam pot, Adam ikut membantu. Sedikit-sedikit Saqila sertakan candaan dan usikan untuk suaminya. Saqila memang pintar menghilangkan canggung di antara mereka.
"Kotor Sa," gerutu Adam saat Saqila mencolekan tanah ke hidung suaminya.
Saqila tersenyum usil, ia terkekeh melihat Adam mengosok-gosok hidungnya dengan lengan.
"Ini bunga kok meleot, nggak berdiri," komentar Saqila sambil menggaruk kepalanya, terlihat jilbabnya kotor akibat garukan tangan Saqila.
Adam mengusap jilbab Saqila yang kotor dengan lembut. Saqila malah semakin menggangu suaminya, kembali mencolek hidung adam dengan tanah.
"Sa..."
Saqila cekikikan geli melihat Adam kesal-kesal suka.
"Sini bunganya," pinta Adam, meraih pot yang Saqila tanami tak tegak juga.
Adam mengeluarkan semua isi pot, menanam ulang.
"Gini, tadi kurang dalam," tunjuk Adam.
"Emang, Abang tahu tanam bunga gitu?" tanya Saqila ketika Adam menunjukan pot yang sudah ditanami bunga yang berdiri tegak, tak seperti yang Saqila tanam tadi.
"Nggak."
"Itu bisa?"
"Dulu sering lihat Amih," jawabnya singkat.
"Abang."
"Hm."
"Kalau ngobrol, bisa nggak panjangan dikiiiiiiit aja?"
Adam tak menjawab, masih fokus dengan tanaman bunganya.
"Malah makin bisu," kesal Saqila ia mengerutu.
Adam tersenyum mendengar ocehan istrinya, ia masih anteng menilik bunga yang di tanam.
"Uh manisnya," gumam Saqila melihat bibir suaminya tersungging.
"Apa?" Adam mendongak menatap Saqila.
"Nggak, itu bunga, manis banget," tunjuk Saqila pada bunga yang masih di benahi Adam dalam pot.
Tatapan mereka beradu, sama-sama melempar senyum, menahan debaran yang membuncah. Adam tunduk.
[Saqila.] desah hatinya
***
Saqila mengajak Adam memasak untuk makan malam, sengaja Bi Ijah ia perintahkan untuk mengerjakan pekerjaan lain. Adam pun ikut, walaupun awalnya cuma memperhatikan, tak banyak yang ia bisa lakukan.
Saqila memintanya memotong bumbu untuk ikan goreng, meminta Adam menghaluskan dengan blender, lalu mengaduk bumbu pada ikan yang sudah dibersihkan.
Saqila sudah berdiri di depan kompor, minyak di wajan terlihat mulai panas. Ia mencemplungkan ikan dengan hati-hati, tetap saja cipratan minyak mengenainya.
"Auh!" lirih Saqila ketika tangannya terkena cipratan.
Adam menarik tangan Saqila, mengambil sudit yang istrinya pegang. Sementara perempuan bertubuh mungil itu Adam posisikan di belakang punggungnya.
"Ah, Abang so sweet deh."
Saqila menyenderkan kepalanya di punggung Adam yang lebar, tangannya mencari tangan Adam lalu menautkan jemari di jari suaminya dan menggenggam erat, didekapkan ke pinggang lelaki tinggi kurus itu.
Adam tersenyum masih membelakagi istrinya, hal-hal yang sebelumnya ia tak pernah alami. Hal kecil yang mencetuskan kesejukan di gersangnya gurun hati. Senyum yang awalnya sangat sulit ia lekatkan di bibirnya, kini dengan mudah bibir itu tersungging.
***
Saqila memintanya memotong bumbu untuk ikan goreng, meminta Adam menghaluskan dengan blender, lalu mengaduk bumbu pada ikan yang sudah dibersihkan.
Saqila sudah berdiri di depan kompor, minyak di wajan terlihat mulai panas. Ia mencemplungkan ikan dengan hati-hati, tetap saja cipratan minyak mengenainya.
"Auh!" lirih Saqila ketika tangannya terkena cipratan.
Adam menarik tangan Saqila, mengambil sudit yang istrinya pegang. Sementara perempuan bertubuh mungil itu Adam posisikan di belakang punggungnya.
"Ah, Abang so sweet deh."
Saqila menyenderkan kepalanya di punggung Adam yang lebar, tangannya mencari tangan Adam lalu menautkan jemari di jari suaminya dan menggenggam erat, didekapkan ke pinggang lelaki tinggi kurus itu.
Adam tersenyum masih membelakagi istrinya, hal-hal yang sebelumnya ia tak pernah alami. Hal kecil yang mencetuskan kesejukan di gersangnya gurun hati. Senyum yang awalnya sangat sulit ia lekatkan di bibirnya, kini dengan mudah bibir itu tersungging.
***
Sebulan sudah pernikahan Saqila dengan Adam, banyak yang Saqila lalui mengahadapi tingkah suminya. Saqila cukup bersyukur, belakangan penyakit Adam jarang kambuh, dia juga sudah tak minum obat penenang.
Biarpun belum sepenuhnya sembuh, setidaknya Adam sudah bisa diajak berbicara panjang lebar oleh keluarganya. Cuma pada Saqila, sikapnya masih dingin dan bicara seperlunya. Bukan Adam tak suka, rasa percaya dirinya masih belum kokoh untuk membina hubungan dekat dengan istrinya.
"Abang, bobo sini," Saqila menepuk bantal, padahal baru selesai isya mereka sudah berdua di kamar.
Adam berbaring terlentang, ia memejamkan mata dengan lengan di atas dahi.
Saqila beringsut ke arah suaminya, mendekatkan wajah ke wajah Adam.
"Abang," bisik Saqila.
Suaminya itu tak menjawab, masih memejamkan mata.
"Masa udah tidur sih," dengus Saqila kesal.
Selama mereka menikah, Adam masih bertahan dengan egonya, ia tak pernah menggangu Saqila. Bahkan Saqila yang sering menggodanya selalu ia hindari.
Kadang Saqila sengaja bertingkah seperti anak kecil di depan Adam, membuang gengsi semata untuk mengambil hati suaminya.
Cup!
Hujung bibir Adam di kecup Saqila, tangannya dilingkarkan di pinggang suaminya.
[Kita lihat, sekuat mana pertahanan dinding es ini.] Senyum Saqila mengembang menunggu reaksi suaminya.
Bukan main lagi, gejolak hati Adam membuncah. Ia bertahan pada godaan istrinya. Tangannya mengepal, mata semakin di pejamkan.
Tok ... tok ... tok!
Pintu kamar diketuk dari luar. Saqila beringsut turun dari ranjang untuk membuka pintu.
"Maaf, Non. Ada tamu di depan, mau ketemu Den Adam," ujar Bi Ijah.
"Siapa, Bi?" tanya Adam mendengar ada tamu mencarinya.
"Eu-itu a-anu," sahut Bi Ijah tergagap.
Adam ke luar di ikuti Saqila.
Namun di ruang tamu tak ada orang, Adam duduk menunggu.
Saqila ke dapur untuk membuat minuman.
"Siapa, Bi tamunya?" tanya Saqila.
"I-itu, Non. Mantannya Den Adam, tadi Bibi udah larang masuk tapi dia maksa." Bi Ijah menjawab takut-takut.
"Siapa? Theana?"
"Bu-bukan."
"Ya, sudah nggak apa-apa, Qila lihat sendiri aja, Bi."
Saqila membawa minuman di atas nampan menuju ruang tamu, masih bertanya-tanya dalam hati. Belum pun ia sampai, Saqila berpapasan dengan perempuan yang sebelumnya ia kenal.
"Hey, Saqila? Ngapain kamu di sini? Kamu kerja di sini?" tanya Aline mengerutkan alis.
"Aline?" Saqila tertegun, apa Aline ini....
Mata Aline melihat-lihat seluruh ruangan, ia berjalan menuju ruang tamu diikuti Saqila.
Di ruang tamu sudah duduk Adam dan Bu Wening, menunggu tamu yang katanya sudah ada di rumah mereka.
"Amiiih."
Aline berhambur ke arah Bu Wening.
Bu Wening dan Adam kaget bukan main melihat siapa yang datang, ia perempuan yang dulu membuang Adam.
"Ngapain kamu ke sini?" cecar Bu Wening yang kurang suka melihat Aline menghampirinya.
Saqila meletakan gelas minuman di meja, ia berdiri mematung menatap mantan majikannya.
"Amih masih marah sama aku?" sahut Aline dengan wajah tanpa dosa.
"Adam, loe apa kabar?" sapa Aline menunjukan wajah manisnya.
Adam mengepalkan tangan, matanya merah.
Prang!
Gelas berisi minuman yang Saqila suguhkan sengaja ditepis Adam hingga pecah bertebaran. Ia masuk ke kamar, membanting pintu sekuatnya.
"Astagfirullah," lirih Bu Wening mengusap dada, ia terkejut.
"Bi Ijah!" panggil Saqila.
"Iya, Non." Bi Ijah tergopoh menghampiri majikannya.
"Bawa Amih ke kamar," perintah Saqila.
Bi Ijah manut, ia membawa Bu Wening ke kamar.
"Ada apa kamu ke sini?" tanya Saqila kasar pada Aline.
"Siapa kamu tanya-tanya," ledek Aline mendelik.
"Aku tuan rumah di sini, wajar jika aku bertanya."
Ceh!
"Sok-sok'an jadi tuan rumah, kamu itu babu," ejek Aline.
"Aku istrinya Adam," jawab Saqila tegas. Dia tak takut meskipun derajatnya di anggap rendah oleh Aline.
"Hah? Kamu mimpi?" sanggah Aline. Dia tertawa mengejek.
"Aku ke sini mau ketemu calon suamiku, kita udah tunangan," lanjutnya santai tanpa wajah bersalah.
"Sekarang kamu pergi dari rumah ini, Bang Adam nggak ingin kamu datang kesini," usir Saqila mencoba menahan amarahnya.
"Kurang ajar kamu. Heh ... kamu tahu apa yang bisa aku lakukan sama kamu hah? Apa lagi yang ngaku istri Adam cuma babu, mudah bagi aku membuat dia menceraikan kamu!"
"Silakan ... sebelum itu trjadi, silakan pergi!" tegas Saqila.
"Pak Irman!" tengking Saqila memanggil satpam.
Satpam menghampiri Saqila.
"Tunjukin pintu ke luar untuk tamu ini, Pak. Takutnya dia nyasar," sindir Saqila.
"Awas kamu , Saqila," ancam Aline.
Saqila menutup pintu, ia segera ke kamar mengkhawatirkan kondisi suaminya.
"Abang!"
Saqila berhambur ke arah suaminya yang meringkuk di lantai. Kamarnya tampak semrawut berantakan, buku-buku berserakan. Meja samping ranjang terguling, bantal dan sprei ikut terhambur di lantai. Gawai Adam pecah berkeping-keping. Saqila meraih Adam ke ribaanya, nafasnya tersengal dengan mata terpejam. Perlahan Adam duduk, ia memeluk Saqila.
"Obat, Sa," lirih Adam.
Saqila segera mengambil obat dan air, untung saja ia tak membuang sisa obat yang rutin di berikan Lena. Meskipun belakangan penyakit Adam jarang kambuh, Lena masih rutin memeriksa dan meresepkan obat untuk Adam. Setelah obat diminumkan, Saqila memapah suaminya ke tempat tidur, dibaringkanya di sana.
"Abang, istigfar, Bang."
Adam membisikan istigfar, matanya masih terpejam, Saqila meraih tangannya.
"Ya Alloh," pekik Saqila.
Saqila melihat kepalan tangan Adam memar, sebelum istrinya datang tadi ia memukul-mukul tembok.
[Kenapa harus terjadi lagi.]
Air mata Saqila luruh, di usapnya tangan Adam yang memar sedikit merah kebiruan dan ada bercak luka. Saqila hendak turun mengambil obat memar, tangan Saqila digenggam Adam.
Saqila mengerti itu perintah agar dia tak ke mana-mana.
Ditautkan jemari Adam di jarinya, ia menempelkannya di pipi, dikecupnya beberapa kali, tak terasa air mata menitik hangat di tangan Adam yang masih berada di pipi istrinya.
Adam membuka mata, melihat istrinya berair mata, ia menarik Saqila ke pelukannya.
"Maafkan Abang, Sa." lirih Adam dengan nafas sesak dan tersengal.
"Abang istirahat, jangan bicara dulu," rayu Saqila pada Adam.
Efek obat perlahan membuat Adam mulai terlelap, Saqila masih mengusap pipi suaminya, tangan satunya tak lepas dari genggaman Adam.
Teganya Aline mengacaukan uasahanya selama ini, membuat Adam untuk sembuh itu bukanlah mudah, sebulan belakangan Adam tak pernah kambuh. Betina itulah yang jadi penyebabnya, membuat Adam terluka lagi.
Saqila bertekad akan menjauhkan Adam dari orang-orang seperti Aline maupun Theana, bahkan ia tak segan akan meminta satpam untuk lebih ketat mengawasi dan tak membiarkan mereka masuk tanpa seijinnya.
Apapun akan ia lakukan untuk adam, demi kesembuhan suaminya.
Biarpun belum sepenuhnya sembuh, setidaknya Adam sudah bisa diajak berbicara panjang lebar oleh keluarganya. Cuma pada Saqila, sikapnya masih dingin dan bicara seperlunya. Bukan Adam tak suka, rasa percaya dirinya masih belum kokoh untuk membina hubungan dekat dengan istrinya.
"Abang, bobo sini," Saqila menepuk bantal, padahal baru selesai isya mereka sudah berdua di kamar.
Adam berbaring terlentang, ia memejamkan mata dengan lengan di atas dahi.
Saqila beringsut ke arah suaminya, mendekatkan wajah ke wajah Adam.
"Abang," bisik Saqila.
Suaminya itu tak menjawab, masih memejamkan mata.
"Masa udah tidur sih," dengus Saqila kesal.
Selama mereka menikah, Adam masih bertahan dengan egonya, ia tak pernah menggangu Saqila. Bahkan Saqila yang sering menggodanya selalu ia hindari.
Kadang Saqila sengaja bertingkah seperti anak kecil di depan Adam, membuang gengsi semata untuk mengambil hati suaminya.
Cup!
Hujung bibir Adam di kecup Saqila, tangannya dilingkarkan di pinggang suaminya.
[Kita lihat, sekuat mana pertahanan dinding es ini.] Senyum Saqila mengembang menunggu reaksi suaminya.
Bukan main lagi, gejolak hati Adam membuncah. Ia bertahan pada godaan istrinya. Tangannya mengepal, mata semakin di pejamkan.
Tok ... tok ... tok!
Pintu kamar diketuk dari luar. Saqila beringsut turun dari ranjang untuk membuka pintu.
"Maaf, Non. Ada tamu di depan, mau ketemu Den Adam," ujar Bi Ijah.
"Siapa, Bi?" tanya Adam mendengar ada tamu mencarinya.
"Eu-itu a-anu," sahut Bi Ijah tergagap.
Adam ke luar di ikuti Saqila.
Namun di ruang tamu tak ada orang, Adam duduk menunggu.
Saqila ke dapur untuk membuat minuman.
"Siapa, Bi tamunya?" tanya Saqila.
"I-itu, Non. Mantannya Den Adam, tadi Bibi udah larang masuk tapi dia maksa." Bi Ijah menjawab takut-takut.
"Siapa? Theana?"
"Bu-bukan."
"Ya, sudah nggak apa-apa, Qila lihat sendiri aja, Bi."
Saqila membawa minuman di atas nampan menuju ruang tamu, masih bertanya-tanya dalam hati. Belum pun ia sampai, Saqila berpapasan dengan perempuan yang sebelumnya ia kenal.
"Hey, Saqila? Ngapain kamu di sini? Kamu kerja di sini?" tanya Aline mengerutkan alis.
"Aline?" Saqila tertegun, apa Aline ini....
Mata Aline melihat-lihat seluruh ruangan, ia berjalan menuju ruang tamu diikuti Saqila.
Di ruang tamu sudah duduk Adam dan Bu Wening, menunggu tamu yang katanya sudah ada di rumah mereka.
"Amiiih."
Aline berhambur ke arah Bu Wening.
Bu Wening dan Adam kaget bukan main melihat siapa yang datang, ia perempuan yang dulu membuang Adam.
"Ngapain kamu ke sini?" cecar Bu Wening yang kurang suka melihat Aline menghampirinya.
Saqila meletakan gelas minuman di meja, ia berdiri mematung menatap mantan majikannya.
"Amih masih marah sama aku?" sahut Aline dengan wajah tanpa dosa.
"Adam, loe apa kabar?" sapa Aline menunjukan wajah manisnya.
Adam mengepalkan tangan, matanya merah.
Prang!
Gelas berisi minuman yang Saqila suguhkan sengaja ditepis Adam hingga pecah bertebaran. Ia masuk ke kamar, membanting pintu sekuatnya.
"Astagfirullah," lirih Bu Wening mengusap dada, ia terkejut.
"Bi Ijah!" panggil Saqila.
"Iya, Non." Bi Ijah tergopoh menghampiri majikannya.
"Bawa Amih ke kamar," perintah Saqila.
Bi Ijah manut, ia membawa Bu Wening ke kamar.
"Ada apa kamu ke sini?" tanya Saqila kasar pada Aline.
"Siapa kamu tanya-tanya," ledek Aline mendelik.
"Aku tuan rumah di sini, wajar jika aku bertanya."
Ceh!
"Sok-sok'an jadi tuan rumah, kamu itu babu," ejek Aline.
"Aku istrinya Adam," jawab Saqila tegas. Dia tak takut meskipun derajatnya di anggap rendah oleh Aline.
"Hah? Kamu mimpi?" sanggah Aline. Dia tertawa mengejek.
"Aku ke sini mau ketemu calon suamiku, kita udah tunangan," lanjutnya santai tanpa wajah bersalah.
"Sekarang kamu pergi dari rumah ini, Bang Adam nggak ingin kamu datang kesini," usir Saqila mencoba menahan amarahnya.
"Kurang ajar kamu. Heh ... kamu tahu apa yang bisa aku lakukan sama kamu hah? Apa lagi yang ngaku istri Adam cuma babu, mudah bagi aku membuat dia menceraikan kamu!"
"Silakan ... sebelum itu trjadi, silakan pergi!" tegas Saqila.
"Pak Irman!" tengking Saqila memanggil satpam.
Satpam menghampiri Saqila.
"Tunjukin pintu ke luar untuk tamu ini, Pak. Takutnya dia nyasar," sindir Saqila.
"Awas kamu , Saqila," ancam Aline.
Saqila menutup pintu, ia segera ke kamar mengkhawatirkan kondisi suaminya.
"Abang!"
Saqila berhambur ke arah suaminya yang meringkuk di lantai. Kamarnya tampak semrawut berantakan, buku-buku berserakan. Meja samping ranjang terguling, bantal dan sprei ikut terhambur di lantai. Gawai Adam pecah berkeping-keping. Saqila meraih Adam ke ribaanya, nafasnya tersengal dengan mata terpejam. Perlahan Adam duduk, ia memeluk Saqila.
"Obat, Sa," lirih Adam.
Saqila segera mengambil obat dan air, untung saja ia tak membuang sisa obat yang rutin di berikan Lena. Meskipun belakangan penyakit Adam jarang kambuh, Lena masih rutin memeriksa dan meresepkan obat untuk Adam. Setelah obat diminumkan, Saqila memapah suaminya ke tempat tidur, dibaringkanya di sana.
"Abang, istigfar, Bang."
Adam membisikan istigfar, matanya masih terpejam, Saqila meraih tangannya.
"Ya Alloh," pekik Saqila.
Saqila melihat kepalan tangan Adam memar, sebelum istrinya datang tadi ia memukul-mukul tembok.
[Kenapa harus terjadi lagi.]
Air mata Saqila luruh, di usapnya tangan Adam yang memar sedikit merah kebiruan dan ada bercak luka. Saqila hendak turun mengambil obat memar, tangan Saqila digenggam Adam.
Saqila mengerti itu perintah agar dia tak ke mana-mana.
Ditautkan jemari Adam di jarinya, ia menempelkannya di pipi, dikecupnya beberapa kali, tak terasa air mata menitik hangat di tangan Adam yang masih berada di pipi istrinya.
Adam membuka mata, melihat istrinya berair mata, ia menarik Saqila ke pelukannya.
"Maafkan Abang, Sa." lirih Adam dengan nafas sesak dan tersengal.
"Abang istirahat, jangan bicara dulu," rayu Saqila pada Adam.
Efek obat perlahan membuat Adam mulai terlelap, Saqila masih mengusap pipi suaminya, tangan satunya tak lepas dari genggaman Adam.
Teganya Aline mengacaukan uasahanya selama ini, membuat Adam untuk sembuh itu bukanlah mudah, sebulan belakangan Adam tak pernah kambuh. Betina itulah yang jadi penyebabnya, membuat Adam terluka lagi.
Saqila bertekad akan menjauhkan Adam dari orang-orang seperti Aline maupun Theana, bahkan ia tak segan akan meminta satpam untuk lebih ketat mengawasi dan tak membiarkan mereka masuk tanpa seijinnya.
Apapun akan ia lakukan untuk adam, demi kesembuhan suaminya.
Bersambung #11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel