Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 18 Desember 2021

Istri Yang Tak Diinginkan #11

Cerita Bersambung

Bagi Adam, Saqila ibarat pelangi, ia hadir ketika langitnya gelap mendung bergerimis. Pelangi memang tak bercahaya, namun ia bembawa seri di sunyinya hari. Seperti itulah Saqila di hidup Adam.
Bahagia tak akan selamanya, begitupun yang terluka tak pula kekal, di balik gelap pasti ada terang. Seperti siang yang berganti malam, bukan berarti bermusuhan, tetapi memang begitulah hidup, patah tumbuh, hilang berganti.
Setiap kambuhnya Adam, Saqila selalu mencari tahu pemicunya dan sebisa mungkin menghindarkan Adam dari hal tersebut. Saqila menjadi benteng pertahanan utama untuk Adam dari hama yang merusak kesehatan suaminya.

"Neng, di depan ada Mbak Theana, di kasih masuk nggak?" lapor satpam pada Saqila.
"Tunggu sebentar, Pak."


Saqila menemui Bu Wening, tak ingin ada salah faham antara mereka, bagaimanapun Theana adalah anak kerabat mertuanya. Dia tak sembarangan bertindak.
Saqila menceritakan perihal inginya menjaga kondisi Adam untuk sementara ini, terima maupun tidak, Theana termasuk penyumbang kambuhnya serangan panik bagi suaminya.

"Ya sudah, amih ke depan ngasih tahu Thea, biar dia nggak salah faham," tutur Bu Wening, ia tahu yang di lakukan Saqila semata demi kebaikan Adam.

Bu Wening melenggang ke luar diikuti Bi Ijah, ia menjelaskan tentang keadaan anaknya pada Theana dan memberinya pengertian.

"Maafin amih ya, Thea. Bukan maksud amih ngusir kamu, tapi semua kami lakukan demi Adam," jelas Bu Wening setelah memberitahu maksudnya melakukan hal tersebut.
"Iya, nggak apa-apa, Mih. Thea ngerti kok," sahut Theana, wajahnya tampak kecewa.

Maura anak Theana beberapa kali merengek, ingin masuk bermain dengan Bu Wening yang sudah ia anggap seperti neneknya sendiri.

"Maura, nanti main lagi ke sini ya, Sayang. Tunggu Om Adam sembuh dulu," bujuk Bu Wenimg pada gadis kecil yang selalu ia rindukan ocehannya itu.

Maura sempat merengek tak mau pulang, tetapi Theana membujuknya dengan lembut.
Dengan berat hati Theana dan Maura pulang meninggalkan kediaman Bu Wening, cukup kecewa hanya untuk berkunjung dengan mertuanya pun kini tak diperbolehkan.
Aline sempat juga datang dan memaksa ingin bertemu Pak Praja dan Adam, tetapi Saqila meminta satpam untuk tak membukakan pintu, bell berkali-kali ditekan gadis itu demi mendapat perhatian orang rumah.
Adam bertanya-tanya siapa yang memencet bell berkali-kali, kenapa tak ada yang membukakan pintu. Dia hendak melihat ke luar, tetapi tangannya dipegang Saqila.

"Abang, duduk sini, Qila pijitin," pinta Saqila sambil menarik pelan tangan Adam.
Bunyi bell berterusan. "Apa nggak ada yang buka pintu?" tanya Adam, ia mengambil buku yang tergeletak di atas kasur, lanjut membaca yang sempat ia hentikan sebentar tadi.

"Biarin aja, orang iseng mungkin, kalau orang yang sudah dikenal, Pak satpam nggak akan diam aja," terang Saqila, tangannya memijit bahu Adam.

"Abang."
"Hm."
"Apa Qila kurang menarik buat Abang?"

Saqila menyandarkan kepala di punggung Adam, pertanyaannya hanya sebuah pengalihan dari bell yang terus saja berbunyi, Saqila ingin Adam tetap di kamar. Dia tak terlalu peduli, diinginkan maupun tidak, itu tak begitu penting.
Adam melepas nafas berat.

"Bukan gitu, Sa. Kasih Abang waktu," lirihnya, ia menyandarkan kepalanya di kepala Saqila yang masih dibelakangnya. Merasa bersalah, Saqila memang punya hak atas nafkah yang tak kunjung ia berikan.

"Baiklah, Qila sabar tunggu Abang" tukas Saqila, memeluk pinggang Adam dari belakang.
***

Saqila sibuk mengurus bunga yang mulai tumbuh di taman halaman belakang, ada rasa bangga tersendiri melihat bunga-bunganya mulai hidup.
Bi Ijah menghampirinya, membawa sesuatu dalam bungkusan tebal.

"Non, ini ada paket," panggil asisten rumah tangganya itu.
"Buat siapa, Bi?"
"Buat, Non."
"Aku?" tanya Saqila heran, ia tak merasa memesan apa pun.

Saqila berjalan ke arah Bi Ijah, mengambil paket yang disodorkan dan menilik pengirimnya.

"Annisha boutique," gumamnya.
"Terima kasih, Bi," ucapnya pada Bi Ijah.
"Sama-sama, Non." Bi Ijah kembali ke dapur mengerjakan tugasnya.

Saqila terus membolak balik paket sambil bertanya-tanya, paket itu memang untuknya melihat nama yang tertera di sana. Setelah dibuka, isinya beberapa gamis berbagai model, lengkap dengan jilbab berwarna senada dengan setiap gamis tersebut.
Saqila ke kamar untuk menanyakan perihal paket tersebut pada suaminya.

"Abang, ini ada paket buat Qila, tapi nggak tahu dari siapa. Pengirimnya ini," tunjuk Saqila menunjukan nama pengirim pada suaminya.

"Suka?" tanya Adam.
"Ini Abang yang pesan?"
"Hu'um."
"Kok bisa pas ukurannya, Abang tahu dari mana?" tanya Saqila sambil menempel gamis di badannya.
"Dari baju dan rok," jawab Adam datar.
"Baju? Rok?"

Saqila memicingkan mata mencerna perkataan suaminya. Ah, dia baru ingat, sudah lama ia cari baju dan setelan rok yang tak kunjung ia temukan, sudah dicari ke tempat cucian, ke tempat jemuran tak di temukan juga, ternyata diculik oleh suaminya untuk dijadikan ukuran membuat gamis.

"Ih, Abang. Kenapa nggak bilang," dengkus Saqila.
"Tapi Qila suka, terima kasih, Abang," sambungnya melempar senyum pada Adam.

Biarpun suaminya itu sedingin es, ternyata cukup perhatian juga pada Saqila. Membuatkan gamis untuk ia pergi ke pengajian mingguan dengan mertuanya.

Tak lama paket lain pula datang, isinya sepaket perawatan tubuh dan wajah. Bukan hanya itu, Adam pun menempah meja rias untuk di pasang di kamarnya.
Sekarang sudah ada seorang istri yang menghuni kamarnya, hakikat seorang wanita indentik dengan cermin dan riasan. Dulu Kamarnya kosong karena kekhawatiran barang-barang akan diporak porandakan olehnya, kini ia yakin Saqila akan jadi antisipasi.
Meja rias terpasang dengan segala alat tempurnya, set make-up sengaja ia pesan, merek terbaik ia dapat atas saran adiknya. Selama ini istrinya memang tak pernah berhias, hanya olesan lip-balm agar tak kering bibir yang menghiasi.

Adam masih ingat lagi ketika hari ijab qobul, Saqila tampak cantik dengan riasan yang sederhana. Cantik itu memang relatif, ibaratnya kambing pun kalau dipakaikan bedak pasti tampak cantik. Inikan pula istrinya yang memang cantik semula jadi, sudah cantik dari sejak lahir.
***

Muaz minta izin cuti, ia akan ke kampung Bu Dewi untuk menyelesaikan perihal Dina adiknya, tepatnya adik tiri. Meskipun begitu, Muaz menganggap Dina dan Bu Dewi sudah seperti adik dan ibu kandungnya sendiri.
Di rumah itu tampak Bu Dewi sedang menjaga warung peninggalan Saqila, warung itu sudah diperluas. Saqila sendiri yang menambah modal usaha ibunya. Saqila pernah meminta agar ibunya berhenti jualan, fokus saja pada Riyan.
Uang bulanan yang di berikan Pak Praja pada Saqila nilainya cukup banyak, selalu ia sisihkan untuk ibunya. Saqila juga bukan orang yang suka poya-poya, ia lebih suka menabung atau memakainya untuk hal yang lebih bermanfaat.
Namun Bu Dewi menolak permintaan Saqila, uang kiriman memang cukup untuk hidup mereka sehari-hari, tetapi bukan berarti ia harus berpangku tangan saja tanpa usaha meningkatkan kehidupanya.
Bu Dewi akan tetap berdagang selagi sehat dan tak ingin menyusahkan anaknya. Meskipun Saqila kini sudah menjadi istri di keluarga kaya, bukan berarti ia harus menggantungkan hidupnya pada Saqila.

"Dina mana, Bu? tanya Muaz setelah mereka berbasa-basi dan bercengkerama sejenak tadi.
"Dia sudah melahirkan, mertuanya mengajak pindah ke sana," terang Bu Dewi.
"Pindah? Apa Iwan sudah pulang?"
"Belum, mau bagaimana lagi, bayi itu tetap cucunya, Bu Laras sangat senang sudah punya cucu, makanya dia dibawa pindah ke sana, biarpun nggak ada Iwan," jelas Bu Dewi dengan raut muram.
"Aku mau ketemu Dina, Bu. Ada yang harus aku bicarakan," ulas Muaz meminta izin.
"Ibu telepon saja, minta Dina ke sini, kadang dia juga main ke rumah ibu sambil ngasuh anaknya."

Muaz angguk, Bu Dewi mengambil gawai dan menekan nomor anaknya.

"Dina siap-siap jalan ke sini katanya," ucap Bu Dewi setelah menutup telpon dari Dina.

Lama Muaz tak bertemu dengan Dina, waktu mengantar Saqila dulu, sama sekali ia tak ingin bertemu adik tirinya itu, karena kesal dengan keteledoran Dina. Namun ada hikmah di balik semua itu, Dina dan Iwan mengantarkan Saqila pada jodohnya. Pada Adam.

"Apa kabar, Kak?" sapa Dina menyalami Muaz setelah sampai ke rumah Bu Dewi.
"Baik, Din. Ini anak kamu, sudah berapa bulan?" Muaz mengelus pipi bayi mungil yang digendong Dina.
"Dua bulan, Kak. Namanya Erwin," ulas Dina.

Tanpa bertele-tele, Muaz menjelaskan maksud kedatangannya, diceritakan semua tentang Iwan, hal itu pula yang menjadi alasan Saqila sanggup menerima lamaran Pak Praja.
Air mata Dina luruh, selama ini ia hanya menunggu bayangan suaminya. Cinta Iwan masih utuh untuk Saqila. Rasa bersalahnya semakin besar pada Saqila yang sudah banyak berkorban untuknya, hingga sanggup melepaskan sang kekasih.

"Aku akan tinggal di rumah Bu Laras, menunggu sampai Iwan pulang," cetus Dina, ia mengusap air mata di pipinya yang menganak sungai.
"Dia mengancam akan menyakitimu, Din."
"Sekarang aku sudah punya anak, nggak mungkin begitu saja meninggalkan Iwan, aku sayang anakku, nggak rela jika di ambil keluarga Iwan. Biarlah aku menunggu Iwan, akan sabar ada di sampingnya sampai hatinya luluh," terang Dina.
"Meskipun dia nyakitin kamu?"

Dina angguk, dia sadar ini adalah hukuman atas perbuatanya. Harga yang harus ia bayar atas derita Saqila dan suaminya.

"Baiklah jika itu keputusanmu, aku hanya bisa mendoakan, semoga rumah tangga kalian baik-baik saja," pungkas Muaz mengakhiri pembicaraan mereka.

Muaz akur dengan keputusan Dina, ia tetap berpesan jika ada apa-apa, Dina bisa menghubunginya kapan saja untuk minta bantuan.

"Terima kasih, Kak. Maafin aku, kirim salamku buat Saqila" ucap Dina, ia menangis tersedu.
***

Bu Wening meringis kesakitan, ia sedikit berteriak memanggil Bi Ijah dan menantunya. Saqila tergopoh mendengar rintihan mertuanya.

"Kenapa, Mih?" tanya Saqila melihat mertuanya meringis kesakitan.
"Kaki amih sakit, Saqi," sahut mertuanya sambil menekan bagian lutut.

Saqila mengambil krim yang biasa mertuanya pakai untuk sakit lutut, ia mengurut dan memijat-mijat kaki mertuanya. Berselang kemudian, Adam datang menghampiri.

"Amih sakit apa? Mau ke dokter?" tanya Adam khawatir melihat ibunya yang merintih dengan linangan air mata.
"Nggak tahu ini tiba-tiba sakit banget kayak ditusuk-tusuk,"sahut Bu Wening.

Adam dan Saqila duduk sebelahan sama-sama memijat kaki Bu Wening.

"Ke dokter ya, Mih,"ajak Adam.
"Nggak usah, Nak. Ambilkan saja obat yang dikasih Lena,"pinta Bu Wening sambil menunjuk kotak obat yang ada di lemarinya.

Saqila beringsut turun, berjalan kearah lemari tempat mertuanya menyimpan obat, ia meminta Bi Ijah mengambil air minum.
Adam dan Saqila masih memijat kaki Bu Wening, tangan mereka berdua di raih wanita paruh baya itu, tangan Saqila dan Adam ditautkan.

"Amih cuma minta, sebelum pergi pengen nimang cucu dari kalian," lirihnya.
"Amih jangan ngomong gitu, memang Amih mau pergi ke mana?" tanya Adam gusar mendengar ucapan ibunya.

Sekilas Adam menatap Saqila yang tertunduk masih memijat lutut mertuanya.

"Ibumu ini sudah tua, Adam. Entah kapan akan dipanggil yang Maha Kuasa untuk menghadapnya, Amih hanya ingin melihat kalian bahagia." Air mata wanita tua itu menitik.
"Amih jangan khawatir, nanti Qila sama Bang Adam akan berusaha, moga segera diberikan keturunan," cetus Saqila mengusap lembut jemari mertuanya. Meskipun ia sadar, jika tak ada pembuahan tak akan mungkin terjadi kehamilan.

"Amih doakan kalian segera diberi momongan, amih akan sangat bahagia," ujar Bu Wening.
"Terima kasih Amih, Qila juga doakan, Amih selalu di berikan kesehatan," sahut Saqila membesarkan hati mertuanya.

Bu wening mengusap pipi Saqila lembut dengan tatapan penuh harap, ia sangat berterima kasih pada menantunya yang telah menerima Adam jadi pendamping hidup.
***

Menjelang tidur, Saqila mengajak Adam berbicara. Membahas soal perkataan Bu Wening.

"Abang."
"Ya."
"Menurut, Abang, bagaimana permintaan Amih tentang...." Saqila tak melanjutkan ucapannya.
"Nanti Abang pikirkan," jawab Adam, ia tahu arah pembicaraan Saqila, untuk sekarang ia belum siap.
"Ya sudah."
"Sa...."
"Hm."
"Kamu nggak marah?"

Saqila tak menjawab, kadang ia ingin tahu, apa yang ada di hati suaminya, sampai sekarang ia masih bersikap dingin, biarpun tak sedingin dulu waktu pertama kali bertemu. Apa karena dia benar-benar tak diinginkan? Saqila menarik nafas lemah.

Pagi hari Saqila ikut ke pasar bersama Bi Ijah, selama tinggal di rumah Adam, ia tak pernah ke mana-mana, hanya menemani suaminya. Lama-lama bosan juga, apalagi Saqila bukan jenis orang yang tenang dengan hanya duduk diam.
Saqila membeli beberapa sayuran dan ikan untuk olahan masak hari ini, juga membeli bunga kecombrang, sengaja mencari yang tangkainya agak panjang, ia beli dengan jumlah banyak.

"Buat apa itu, Non?" tanya Bi Ijah.
"Buat obat Amih, Bi."
"Obat apa?"
"Nanti Bibi juga tahu."

Sampainya di rumah, Saqila merebus bunga kecombrang beserta batangnya, dengan air cukup banyak. lebih bagus jika ada banyak batang, tetapi di pasar hanya dijual bunganya saja.
Air rebusan kecombrang sudah hangat kuku, Saqila menabur garam dan menempatkannya dalam wadah. Dia membawanya ke kamar Bu Wening.

"Apa itu Saqi?" tanya Bu Wening melihat Saqila membawa wadah besar ke kamarnya.
"Ini air kecombrang, Mih."

Saqila meletakkan wadah di dekat tempat tidur mertuanya, kemudian ia meminta mertuanya agar memasukan kaki ke dalam air rebusan kecombrang.

"Dulu di kampung Qila ada orang yang stroke, dia rutin merendam kaki dengan air ini, katanya dapat mengurangi keram otot, bahkan sampai ada yang dimandikan untuk menyegarkan badan," jelas Saqila sambil mengusap-ngusap kaki mertuanya yang sedang direndam.
"Oh begitu, amih baru tahu."

Saqila asik mengobrol sambil memicit kaki Bu Wening.
Adam menghampiri, ia tak masuk, hanya berdiri saja di depan pintu, melihat ketekunan Saqila merawat ibunya. Dia bersyukur, ayahnya tak salah milihkan istri untuknya. Hanya keegoisannya saja yang masih belum juga membuka hati untuk Saqila.

Hari Sabtu sore seperti biasa, Lena dan Elya beserta keluarga mereka masing-masing berkunjung ke kediaman Pak Praja. Bising, riuh rendah menghiasi rumah mertuanya ketika semua keluarga sudah berkumpul.

"Qila sini, ada kado buat kamu, spesial," panggil Elya, sambil menyodorkan bungkusan.
"Apa ini?"
"Pake aja nanti kalau mau tidur, itu udah dicuci kok."

Lena membisikan sesuatu pada kakak iparnya, Saqila tersenyum malu. Bu Wening sudah sehat seperti biasa, ia pun ikut nimbrung meramaikan obrolan keluarga.

"Malam ini amih bikin jamu lagi ya, yang kemarin gimana?" tanya Bu Wening pada Saqila setengah berbisik di telinga menantunya itu.

Saqila terperangah, ia tak tahu kalau yang diberikan mertuanya pada Adam hari itu adalah jamu.

"E-em lumayan," jawab Saqila asal.
"Wah berarti dosisnya harus ditambahin, Mih. Bilangnya lumayan aja berarti belum hot," usik Lena, yang mendengar bisikan ibunya pada Saqila. Mereka cekikikan, sementara Saqila hanya tersenyum malu.

"Biar cepat punya momongan itu harus berusaha," tukas mertuanya.

Bu Wening ke dapur untuk membuat jamu, Saqila masih duduk berkumpul di ruang keluarga dengan perasaan gelisah. Keluarga Adam belum tahu hingga saat ini hubungan mereka masih dingin.
Adam ke luar dari kamarnya, ia duduk di samping Saqila.

Tak lama Bu wening menghampri Adam membawa segelas minuman, lalu mengajak Saqila dan Adam ke kamar mereka. Diasongkannya langsung jamu itu pada anaknya.

"Diminum, Nak. Harus habis," perintah bu Wening.
"Apa ini?"
"Minum saja," paksa ibunya.

Adam meminumnya, baru pun sedikit, ia sudah mual.

Huek!
"Air apa ini?" tanya Adam penasaran.
"Lho, kan,  waktu itu amih pernah kasih kamu, apa kamu nggak minum?"

Adam menautkan alis, mengingat kapan ibunya memberi minuman berbau aneh ini. Dia baru ingat, mungkin minuman yang diberi Saqila malam itu, tak ia minum dan tumpah di kepalanya.

"Mi-minum kok, tapi baunya nggak gini baget," komentar Adam sedikit beralasan menghindari kecurigaan ibunya.
"Ini dosisnya lebih tinggi, soalnya Saqila bilang lumayan, kalo yang ini pasti lebih dari lumayan, " jelas Bu Wening sambil terkekeh .

Adam mendelik pada Saqila.

"Ayo minum habiskan," paksa Bu wening.

Mau tak mau Adam menghabisakan minuman itu di depan ibunya. Saqila cekikikan sambil menutup mulutnya menahan tawa.
Adam mengusap mulut, lidahnya sedikit dijulurkan, baru kali ini ia mencoba minumam seperti itu, sedikit bergidik teringat rasa dan bau anyir.

==========


Bu Wening sudah keluar dari kamar Adam, tinggalah mereka berdua duduk berdampingan di tepi ranjang. Saqila memain-mainkan jari, entahlah, biasanya dia begitu aktiv menggoda suaminya, kini hanya mampu tertunduk malu. Menunggu saja tindakan apa yang akan dilakukan suaminya.
Lain lagi dengan Adam, dia gelisah menunggu reaksi jamu yang diberikan ibunya. Berpikir bagaimana harus memulai, rasa gundah mulai bermain di benaknya.
Perlahan Adam mendekat ke arah Saqila, dia terdiam sesaat. Menoleh ke arah istrinya, tunduk lagi. Malam ini mereka berdua merasa canggung, padahal sudah biasa tidur di kasur yang sama.
Adam memberanikan diri meraih tangan Saqila, gemuruh di dadanya melonjak pesat. Namun dia belum hilang kendali, masih mampu mengatur alur nafas dengan pelan.

"Sa...."
"Iya."

Suara Saqila berubah serak karena tertahan getaran.

"Boleh kalau Abang...."

Drrrt,  treng trong treng!
Nada suara handphone Adam mendayu minta di sahut, hingga tak sempat suaminya itu meneruskan ucapannya. Satu tangan Adam masih menggengam tangan istrinya, tangan Satunya meraih gawai yang berisik di meja samping tempat tidur. Dipandang sesaat gawainya, lalu ia angkat.

"Iya, hallo."
"..............."
"Sekarang?"
".........."
"Nggak bisa besok aja?"
"..........."
"Baiklah."

[Pengacau.] gerutu hati Adam.
Adam mendengkus kesal, sementara tangan Saqila masih digengamnya.

"Siapa, Bang?" tanya Saqila, melihat perubahan diraut wajah suaminya, ia bertanya-tanya.
"Tiyo, asisten pribadi Abang, dia mau ke sini. Ada rekan bisnis mau ketemu Apih, sekaligus bahas proyek baru. hufh." Adam membuang nafas kesal, pandangannya masih lekat pada Saqila, berharap istrinya itu tak kecewa.

Tertegun Saqila mendengar jawaban dari suaminya, biasa hanya bicara sepatah kata, seucap dua ucap, kali ini lumayan panjang.

"Nggak bisa besok, gitu?" tanya Saqila harap-harap cemas, tak menampik ia sangat menunggu hari bahagia bersama suaminya.
"Udah menuju ke sini orangnya," keluh Adam, nada suaranya semakin lemah.
"Ya sudah, Qila tunggu," Sahutnya, jujur Saqila sedikit kecewa.
"Sabar, ya." Adam mengusap pipi istrinya. Dia ke luar untuk mengabarkan pada ayahnya tentang kedatangan Tiyo.
***

"Pih, Tiyo jalan ke sini, bahas soal proyek baru sama yang lain, ngajak ngopi," lapor Adam pada ayahnya yang sedang berkumpul di ruang keluarga.
"Oh, ya sudah, apih tunggu," sahut Pak Praja.
"Aku nggak ikut," tolak Adam, dia takut mengecewakan Saqila kali ini, istrinya sudah berharap dan belakangan selalu menggodanya, ini juga kesempatannya untuk membangun hubungan lebih erat dengan Saqila.
Padahal tadinya, Saqila melakukan itu hanya ingin membuat Adam tersenyum dan lekas sembuh dari penyakitnya. Namun sekarang, dua sejoli ini mulai diserang asmara.

"Masa nggak ikut? Kalau di kantor boleh nggak ikut, inikan di rumah, harus tahu juga perkembangannya gimana, nggak enak nanti apih ditanya mereka, proyek ini kan bagian kamu," tutur Pak Praja setengah memaksa Adam untuk bergabung.
"Baiklah." Sebenarnya di sana ada Tiyo yang mewakilinya, semua bisa ia tanyakan nanti pada asisten pribadinya.
Dengan kecewa, Adam mengiyakan, tak bisa menolak permintaan ayahnya, lunglai ia duduk di sofa ruang keluarga.

Berselang berapa lama, Tiyo dan antek-anteknya datang. Mereka dipersilakan duduk di kursi teras belakang menghadap taman, di sana cukup nyaman untuk bercengkerama.
Tiga orang tamu beserta Tiyo, Pak Praja dan Adam duduk satu meja membahas masalah pekerjaan. Hanya Adam yang tak fokus, pikirannya menerawang pada istrinya yang sudah menunggu di kamar.
Efek jamu mulai terasa, gairahnya menggebu, tetapi ia tahan karena sekarang bukan saat yang tepat.
Saqila di kamarnya menunggu Adam, jam di gawainya mununjukan angka delapan.

[Ah, masih sore ternyata.]

Saqila mengendus tubuhnya, ia harus menyiapkan malam spesial ini untuk suaminya. Badannya agak kurang nyaman bau keringat, tadi sore membantu Bi Ijah masak untuk makan malam.
Ia bangkit meraih handuk, mengaitkan dipundaknya lalu melenggang menuju kamar mandi. Berlama-lama ia membersihkan diri, agar wangi, harum dan segar ketika berhadapan dengan suaminya.

Selesai mandi, Saqila meraih kado yang dihadiahkan Lena padanya, dibukanya bungkusan tersebut, ternyata isinya baju dalam yang sebelumnya belum pernah ia lihat.
Lena menyebutnya lingerie. Membisikannya, kalu baju ini khusus untuk di tempat tidur. Saqila manut saja, dipakainya lingerie berwarna merah cerah, terlihat kontras dengan kulitnya yang putih. Biarpun tak nyaman, Saqila mencoba menyesuaikan diri.
Saqila berjalan ke arah cermin meja rias, ia merapikan rambut yang masih basah, lalu membalutnya dengan handuk kecik. Sedikit mengolesi bibir dengan lipstrik dan bedak yang sudah tersedia di meja riasnya. Biarpun sebelumnya Saqila tak pernah menggunakan make-up, kali ini ia harus belajar.
Agak lama ia berlenggak-lenggok di depan cermin dan menempelkan riasan lain di sekitar mata dan pipi. Menunggu suaminya yang belum juga muncul, Saqila melangkah ke tempat tidur, sengaja menjauhkan selimut. Mengatur penyejuk ruangan ke angka paling rendah.

Sementara Adam tak kalah gelisah menahan sejuta sensasi, ia tak pernah merasakan seperti ini sebelumnya. Ah, pasti ini khasiat jamu yang diberikan ibunya. Lama mereka berbincang bertukar pikiran, satu jam, dua jam, obrolan tak kunjung selesai. Mereka nampak senang tertawa ber-haha-ria, sedangkan Adam kesal menahan rasa, ingin saja ia gulingkan meja yang ada di hadapannya.

"Kenapa, Dam?" tanya Pak Praja melihat anaknya gelisah tak duduk tenang.
"Nggak apa-apa," sahut Adam, ia pura-pura menguap berkali-kali agar ayahnya mengerti.
"Loe jam segini dah ngantuk aja, baru juga jam sepuluh," tegur Tiyo melihat Adam terus saja menguap, bahasanya pada Adam memang begitu. Tiyo ini asisten pribadi Adam, tetapi dia juga sahabatnya.

Adam hanya garuk-garuk kepala yang tak gatal, ingin rasanya memaki Tiyo, karena tak memberi info dari awal akan kedatangannnya. Berkali-kali ia lihat angka jam di gawainya. Dia bertanya -tanya sedang apa Saqila? Sudah tidurkah dia? Beberapa kali Adam mengucek mata.

"Tidur sana kalau dah ngantuk, di sini biar apih saja sama Tiyo," ujar Pak Praja melihat anaknya seperti sudah lelah, ia pun tak mau mengganggu kesehatan Adam.

Merasa mendapat jalan keluar, ia langsung mengiyakan tawaran ayahnya. Adam pamit pada tamu dan Tiyo. Bergegas menuju kamar menemui istrinya yang sudah mulai ia rindukan.
***

Adam buka pintu kamar, tampak Saqila meringkuk dengan pakaian dalam seksinya, penyejuk ruangan terasa begitu dingin, sedangkan suhu tubuhnya meningkat panas sedari tadi. Adam membuka kemeja karena gerah, ia beringsut ke arah Saqila.

"Saqila," bisik Adam, di usap lembut pipi istrinya.

[Lho kok anget?]

Adam memegang kening Saqila yang terasa hangat, istrinya tampak menggigil.

"Sa...." Adam mengguncang pipi Saqila.
"Hm."

Saqila bangun menatap Adam.

"Abang. Kepala Qila rasanya sakit," ucap Saqila memegang kepalanya.
"Kamu mandi, Sa?" tanya Adam seraya menyentuh rambut Saqila yang agak lembab.
"Iya."
"Kenapa mandi malam-malam? Harusnya rambut di keringakan dulu tadi sebelum tidur," omel Adam sedikit gusar dengan keadaan Saqila.

Saqila memicit keningnya.

"Tunggu sebentar," pinta Adam, ia mengambil kotak obat, mencari pereda nyeri untuk Saqila.
"Minum ini." Adam menyuapkan obat ke mulut Saqila lalu memberinya air minum, ia membaringkan Saqila dan menyelimutinya, bagaimana mencapai hasratnya malam ini jika Saqila sakit begitu.

Sesaat Adam menyunggingkan bibir melihat dandanan Saqila yang terlihat aneh, meskipun begitu istrinya tetap cantik, terlihat lucu menggemaskan, meringkuk seperti anak kecil di ribaannya.
Adam merasa kepalanya ikut pusing, bukan sakit, pusing karena hal yang tertunda. Ditatapnya lagi wajah Saqila, takan mungkin dia sanggup memaksa istrinya dalam keadaan tak berdaya begitu.
Adam berbaring memeluk Saqila, malam itu baginya malam yang melelahkan, lelah karena menahan rasa, matanya sulit  ia pejamkan. Jam empat pagi, baru Adam bisa terlelap. Sedangkan Saqila memang sudah lelap semenjak ia berikan obat tadi.

Adzan subuh menggema di masjid, memanggil ummat untuk mendirikan salat subuh. Saqila membuka mata, kepalanya sudah tak terlalu sakit. Dia hendak bangun tetapi tangan suaminya melingkar di pinggang kecilnya. Tak buru-buru bangkit, Saqila membalik badan ke arah Adam.

"Abang bangun, sudah subuh," bisik Saqila megusap pipi suaminya.

Namun Adam bergeming, sangat mengantuk, ia baru saja terlelap setelah lelah sepanjang malam berjuang sendiri.
Saqila bermain jari diwajah Adam yang tak bangun juga, dia menyusup ke pelukan suaminya, membenamkan wajah di dada Adam, menikmati irama detak jantung suaminya yang tenang.
Dia teringat hari ini hari Minggu, ada pengajian jam sembilan pagi nanti, Saqila harus bangun untuk membuat sarapan dan membantu Bi Ijah beres-beres rumah.
Ia pun bangkit terpaksa melepas pelukan suaminya, bergegas ke kamar mandi mengambil air wudhu. Selesai Salat, Saqila kembali membangunkan Adam.

"Abang, bangun udah siang." Saqila menguncang tangan suaminya agak kuat.
"Hm."

Adam membuka mata, nampak istrinya masih memakai mukena, ia perlahan duduk.

"Jam berapa?" tanya Adam dengan kepala masih terasa berat.
"Jam lima lebih, salat dulu," pinta Saqila.

Adam berjalan lesu ke kamar mandi mengambil wudhu, lalu salat, sudah beberapa hari ia hanya salat di rumah. Selesai salat ia hendak ke luar berkumpul dengan yang lain, tetapi  karena matanya masih ngantuk, ia tertidur di atas sajadah.
Sedangkan Saqila sudah sibuk di dapur bersama Bi Ijah, untuk sarapan pagi ini, ia masak agak banyak, ada keluarga Elya dan Lena. Masakan sudah terhidang di meja, semua berkumpul untuk sarapan pagi.

"Adam mana, Qila?" tanya Lena.
"Masih di kamar,"sahut Saqila.
"Capek kali ya, semalam habis tempur," Elya cekikikan.
"Kalian ini, suka sekali mengusik, kasihan Saqila di godain terus," tegur Pak Praja.

Bu Wening geleng-geleng, sementara Saqila hanya tersipu. Saqila ke kamar untuk mengajak Adam sarapan, suaminya itu meringkuk di atas sajadah.

"Ih, malah tidur di situ," gumam Saqila.
"Abang, sarapan yuk?"

Adam bergeming.

"Abang!" Saqila memanggil agak keras.
"Hm."

Adam bangkit pindah ke ranjang melanjutkan tidur, Saqila menggeleng lalu meninggalkan suaminya. Ia menuju kamar atas, membersihkan setiap ruangan, lalu ke taman menyiram bunga-bunganya. Pagi terasa begitu sibuk, ia tak tega membiarkan Bi Ijah mengerjakan pekerjaan rumah sebanyak itu sendiri di rumah yang begitu luas.
***

Tak terasa sudah jam delapan pagi, ia harus bersiap ke pengajian. Kembali ke kamarnya untuk mandi, terlihat suaminya masih tersungkur.
Saqila ke luar dari kamar mandi hanya berkemban dan menggulung rambut dengan handuk kecil.Adam mulai membuka mata, melirik ke arah istrinya yang berjalan menuju ruang ganti. Dari semalam matanya melihat Saqila terlihat lebih cantik seratus kali dari sebelumnya. Adam bangkit menurunkan kaki dari tempat tidur, duduk termenung.
Saqila ke luar sudah mengenakan gamisnya, dengan rambut sepunggung terurai dan tampak basah. Ia melempar senyum ke arah Adam yang terduduk lesu.

"Sarapan dulu, Bang. Qila bentar lagi berangkat," titah Saqila, ia duduk di depan kaca meja rias.

Adam menghampiri istrinya, mengambil hairdryer dari tangan Saqila. Pelan ia raih rambut basah istrinya, menyalakan pengering rambut dan memutar-mutarnya keseluruh rambut panjang istrinya.
Saqila menatap Adam dari pantulan cermin, hari ini suaminya itu terasa begitu manis perlakuannya. Tatapan mereka beradu di pantualan cermin, Adam melempar senyum.
Setelah kering, Adam meraih rambut Saqila dan mengumpulkanya di tengah, tangannya menadah meminta ikat rambut yang dipegang Saqila lalu mengikat rambut istrinya seperti jambul di belakang. Adam sering melihat Saqila mengikat rambutnya seperti itu.

Saqila berdiri mendekatkan tubuhnya pada Adam, ia mendongak, karena suaminya itu sangat jangkung, Saqila naik ke kursi set meja riasnya. Tingginya kini melebihi suaminya.

"Terima kasih, Abang," ucap Saqila, ia melingkarkan tangan di pundak suaminya.

Adam sedikit mendongak mengangkat dagu, menatap Saqila tanpa ekspresi.

Cup!
Kecupan Saqila mendarat di bibir Adam secepat kilat, sedangkan Adam masih menatap tanpa ekspresi, hanya matanya saja yang mengerjap beberapa kali.
Saqila tersenyum melihat suaminya mematung, ia benamkan lagi bibirnya di bibir Adam, sedikit memberi permainan. Adam tak menangagapi, hanya terpejam menikmati serangan dari istrinya, tangannya perlahan melingkar dipinggang Saqila.
Permainannya sudah Saqila akhiri, tetapi Adam masih menutup mata. Saqila turun dari kursi, meraih jilbab berwarna senada dengan gamisnya lalu ia kenakan.

"Abang, Qila berangkat dulu," pamit Saqila, ia meraih tangan suaminya yang masih terdiam tak bergerak. Saqila mencium tangan suaminya seperti yang sering ia lakukan, mencium pungung tangan, jemari dan telapak tangan Adam.

Saqila meninggalkan Adam dengan perasaan yang tak karuan. Adam masih mematung, tindakan Saqila tadi membuatnya ingin meledak. Dia menghempaskan tubuh ke tempat tidur, berguling ke sana ke mari.

[Saqila harus tanggung jawab, berani mengusik harimau yang sedang tidur.] batin Adam menggerutu kesal.
***

Adam ke luar kamar menuju ruang makan untuk sarapan, tampak adik-adiknya duduk di ruang keluarga.

"Lemes banget, Bang. Dapat berapa ronde semalam?" tanya Elya menggoda kakaknya yang tampak lesu.

Adam tak menyahut, ia menghabiskan sarapannya dengan cepat ingin segera kembali ke kamarnya. Sudah dari semalam ia menahan hasrat, ketika sudah mereda, Saqila malah memancingnya kembali.
Adam kembali ke kamar, terlentang di tempat tidur, menerawang jauh. Dia sudah mulai jatuh cinta pada Saqila, semakin rasa cintanya tumbuh, rasa takutnya juga semakin kuat, ia takut ditinggalkan.
Tingkah Saqila tadi pagi benar-benar membuatnya gila, Adam mondar mandir di kamarnya, berkali-kali melihat jam menunggu Saqila datang.
Jam sepuluh, jam sebelas, Saqila tak kunjung pulang. Biasa istrinya kepengajian paling lama hanya dua jam saja.

Adam meraih gawainya, mencari nama Saqila, ia menulis pesan.

[Di mana, Sa?]

Pesan ia urungkan, lalu menghapusnya. Benar-benar gelisah dibuatnya, selama menunggu Saqila ia bertingkah tak jelas.

[Aku telepon saja.] batinya.

Suara nada dering berbunyi samar di kamarnya, Adam clingukan mencari arah suara. Disingkapnya bantal, ternyata gawai Saqila tak dibawa, sedikit kecewa ia meraih gawai istrinya. Adam menatap namanya yang di tulis di telepon Saqila.

"Kutub Utara," gumamnya menyebut nama yang terpampang di gawai Saqila. Bukan main Adam tertawa terbahak.

Setelah nada mati, ia panggil ulang, Adam tertawa lagi membaca nama itu. Adam memiliki dua nomor telepon, dua-duanya ada di kontak Saqila, ia ingin tahu nama yang di berikan Saqila untuk nomornya yang lain.
Gawai Saqila berbunyi kembali di panggil oleh Adam.

"Kutukan Elsa," gumamnya.
"Hahaha." Adam tertawa terpingkal membaca nama-nama aneh yang di berikan Saqila, istrinya itu Sangat lucu, lagi dan lagi ia ulang memangil sampai pegal tertawa sendiri.
"Astagfirullah." Adam mengusap wajahnya, mengembuskan nafas panjang, lelah ia tertawa. Tak terasa air matanya menitik, entah kapan terakhir ia tertawa seperti ini. Adam sudah melabuhkan hatinya di pelabuhan cinta Saqila.

[Cepat pulang, Sa. Abang kangen.] bisik batinya.
***

Saqila dan mertuanya baru pulang dari pengajian, mereka pulang agak telat karena mampir menjenguk teman pengajian Bu Wening yang sedang sakit. Saqila meletakan kue yang ia bawa di meja makan, badanya terasa gerah, ia pamit untuk mandi pada adik iparnya yang tengah berkumpul.
Saqila membuka pintu kamar, Adam tengah berbaring memejamkan mata di ranjangnya. Saqila menghampiri.

"Abang."

Adam membuka mata, ia duduk dan menatap Saqila seolah-olah ingin menerkam.

"Kamu harus tanggung jawab, Sa." Nafas Adam mulai tersengal.
"Tanggung jawab apa?" tanya Saqila tak mengerti.
"Yang kamu buat tadi pagi."

Saqila menautkan alis, lalu tersenyum, tersipu malu.

"Qila harus apa." Saqila mengusap alis suaminya yang hitam lebat.
"Berikan hak Abang hari ini," pinta Adam.
"Sekarang?"
"Iya."
"Ini masih siang, lagian di luar banyak orang nunggu," alasan Saqila.
"Nggak peduli," kukuh Adam.
"Qila keringetan, mau mandi dulu," tolak Saqila, ia tak nyaman berhadapan dengan suaminya dalam keadan berkeringat begitu.
"Nggak usah."

Adam menarik pundak Saqila dan membaringkanya, nafasnya sudah sangat tak teratur, deburan jantungnya sangat membuncah. Saqila tak berkutik, pasrah saja apa yang mau dilakukan suaminya.
Awalnya hanya kecupan-kecupan manja yang hinggap di pipi dan kening Saqila, semakin lama makin gairah, ibarat padang pasir yang gersang tersiram air hujan.
Adam mulai melumat bibir ranum istrinya, tangannya mulai nakal. Meskipun selama ini Saqila yang selalu menggoda Adam, tetapi ketika suaminya itu betul-betul melakukannya, hatinya pun rancu, dagdigdug tak menentu.

"Sebentar, Bang." Saqila mendorong tubuh suaminya.
"Apa lagi, Sa?" tukas Adam tak sabar.
"Baca doa dulu," ajak Saqila.

Adam tersenyum, lalu menuruti ucapan istrinya. Selanjutnya....(sensor ye mak). Wkwkwk
***

Lelah Saqila berbaring dipelukan suaminya, usainya Perang Dunia ke Tiga, menyisakan rasa yang tak terhingga.

"Terima kasih, Sayang," bisik Adam kelelahan, ia masih mengatur nafas.

Saqila masih memejamkan mata dalam dekapan Adam, sebutan 'sayang' itu terdengar merdu di telinganya.

"Terima kasih juga , Bang."
"Sa, nggak nyesel kan, nikah sama Abang? Bersuamikan orang cacat, nanti bikin kamu ma-"

Saqila menutup mulut Adam dengan telapak tangannya, menatap suaminya lekat, terlihat embun terkumpul di pelupuk mata Adam.

"Abang jangan ngomong gitu, sebelum menikah dengan Abang, Qila sudah pikirkan matang-matang, kita bisa saling menyempurnakan. Bagi Qila, Abang itu sempurna, Qila akan selalu mendampingi Abang, apalagi sekarang Abang...."

Saqila tak melanjutkan ucapannya, ia tersipu malu-malu meong.
Air mata Adam mulai menitik, air mata bahagia. Saqila mengusap pipi suaminya, mengecupnya lembut. Sungguh Saqila menjadi penyemangat hidup Adam.

"Maaf, Sa. Abang cengeng," ulas Adam ketika air matanya luruh.
"Abang nggak cengeng kok, Abang kuat, kuat banget," bisik Saqila menggoda Adam.
"Itu karena matahari sudah hadir di Kutub Utara dan mencairkan esnya," kata Adam, membelai rambut Saqila.

Mendengar kata 'Kutub Utara' sontak Saqila bangun, ia baru ingat menulis nama suaminya dengan nama itu, Saqila tertawa, pasti Adam sudah melihat nama yang ia buat. Adam ikut duduk berhadapan dengan Saqila.

"Abang buka-buka telepon Qila?" tanya Saqila malu.
"Nggak, tadi mau nelepon tapi nggak dibawa, sekarang kutukan Elsa juga udah nggak ada," goda Adam lagi.

Pipi Saqila mulai menyiratkan rona merah, ia meraih gawai, lalu memanggil nomor Adam. Gawai suaminya berdering, Saqila melihat nama yang tertera di gawai Adam.

"Matahariku," gumam Saqila, ia benar-benar malu dan mendekap wajahnya.
"Qila mandi dulu ya," izin Saqila mencari alasan agar tak terlalu malu, ia menurunkan kakinya dari tempat  tidur, Adam meraih tangan Saqila, menarik kembali kepelukannya.

"Sebentar," ucap Adam, ia masih ingin memeluk istrinya, rasa tak ingin melepaskan, masih dilanda rindu.
"Ayo, mandi bareng," ajak Adam, Saqila angguk, genggaman tangan keduanya bertaut, tak ingin mereka lepaskan.

Pada akhirnya, benteng yang Adam bangun setinggi langit, harus runtuh juga. Dinding es yang menyelimuti hatinya, kian meleh. Ego setinggi gunung Everest, longsor melebur diterjang badai kesabaran istrinya , Kutub Utara yang selalu beku itu kini mencair, dan kutukan Elsa ikut hilang tergerus cinta Saqila.

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER