Tulusnya cinta Saqila sebening embun pagi, kesabarannya seluas samudra, tak pula ia memandang harta.
Wajar saja jika Adam tunduk luluh, mencintai perempuan bertubuh mungil itu, bibirnya yang tak pernah surut dari senyuman, membuat Adam kelimpungan bila berhadapan dengannya.
Saqila bukan gadis kota, yang pintar berdandan modis dan stylish, tak pandai pula merias diri ala-ala wanita sosialita. Namun tutur kata dan kelembutannyalah yang justru menawan hati Adam.
Hubungan mereka yang sudah terpatri oleh ikatan janji suci, semakin kuat dengan hadirnya cinta di antara keduanya.
Adam semakin yakin, Saqila jodoh terbaik yang Alloh hadirkan untuknya. Menjadi teman ibadah dan penyempurna agamanya. Diam-diam mengikat janji hati, bahwa Saqila tak akan ia sakiti.
"Abang ke luar duluan, ya, Sa," ujar Adam, ia berdiri di belakang Saqila, mengecup puncak kepala istrinya yang tengah duduk menghadap cermin meja rias. Usai pertempuran indah mereka tadi, masih menyisakan kebahgiaan di raut wajah Adam.
"Iya, Bang," sahut Saqila ia menyisir rambutnya yang masih basah, kepalanya mendongak ke arah Adam lalu menebar senyum.
Adam berlalu menuju ruang makan, di sana ada Elya dan Lena yang sedang duduk di meja makan, mulutnya penuh di isi kue yang di bawa Saqila dan ibunya dari pengajian tadi, sementara mulut mereka komat kamit mengobrol satu sama lain.
"Mm, tadi wajahnya lesu, Saqila pulang, langsung aja berseri, siang-siang banjir bandang," ledek Elya yang masih menyuapkan kue ke mulutnya.
"Mentang-mentang masih pengantin baru ya, El. Nggak siang nggak malam," usik Lena juga.
Adam hanya mendesis, mendengar ledekan adiknya.
"Nggak gerah apa, ya, Len, siang bolong padahal," sambung Elya cekikikan, sengaja mengusik lagi, ia melihat kakaknya yang mulai senyam senyum.
"Nggak gerah lah, kan, ada AC," sahut Saqila yang baru saja datang menghampiri, ia duduk berkumpul bersama, tangannya mengambil kue yang ada di meja.
Sontak Adam tertawa terbahak, niat hati menyembunyikan hal tersebut, Saqila dengan polosnya menjawab jujur usikan adik-adiknya.
Lena dan Elya saling tatap, tawa mereka tertahan. Mereka menarik kursi hingga berdempet dengan Adam, seolah-olah tak yakin dengan yang baru saja mereka lihat.
"Bang Adam ketawa?" tanya Lena. Matanya menatap ke arah Adam sambil bergelayut di lengan kakaknya itu.
"Kenapa emang?" Adam masih mendelik, lalu mengerling ke arah Saqila.
"Alhamdulillah, luar biasa banget ini," ucap Elya.
Selama Adam sakit, sangat sulit melihat kakak mereka tersenyum dan tertawa, bahkan mungkin baru kali ini mereka melihatnya lagi setelah sekian lama.
"Ya Alloh, Qila. Bang Adam kamu apain? Seneng banget aku lihatnya," tukas Lena, ia tersenyum ke arah kakak iparnya.
"Amih!" Elya memanggil ibunya, ia berjalan ke kamar lalu memapah membawanya ke meja makan.
"Lihat, Mih. bang Adam ketawa," kata Lena antusias menunjukan pada Bu Wening.
"Apaan sih," tukas Adam, ia mendelik pada adiknya, merasa diperlakukan seperti anak kecil.
Bu wening terharu melihat perubahan pada anak lelakinya, tawa yang sudah lama hilang, harapanya kini kembali.
"Terima kasih, Saqi. Kamu udah bawa Adam balik seperti dulu, Amih doakan kalian bahagia," ucap Bu Wening mengusap tangan Saqila yang duduk di dekatnya.
"Sama-sama, Amih. Itu karena Bang Adam kuat dan sabar, Qila hanya penyemangat," sahut Saqila berdiri memeluk mertuanya yang duduk di kursi.
Kebahagian keluarga Pak Praja kini kembali, Adam mulai membaik dan bersikap ramah seperti dulu, tak ada lagi sikap dingin dan egois. Saqila membawa kebahagian itu untuk mereka.
Lena dan Elya makin gencar mengusik, ingin lagi dan lagi melihat kakaknya tertawa, seolah-seolah mereka sedang menyambut langkah seorang anak kecil yang baru belajar berjalan.
Adam bangkit, telinganya panas terus-terusan di goda adik-adiknya, ia juga melihat pipi Saqila semakin melihatkan warna merah. Dia meraih tangan Saqila, meninggalkan meja makan.
"Ayo, Sa, kita ke kamar," ajak Adam, menggandeng Saqila.
"Eh, mau kemana lagi? tanya Elya.
"Mau lanjutin yang tadi," sahut Adam menyambut godaan adiknya.
Adam beriringan berjalan dengan Saqila berjalan menuju ke kamar, lalu mengunci pintu, Adam dan Saqila duduk di tepi kasur.
"Usil banget, mereka," gerutu Adam kesal, ia sendiri merasakan perubahan, merasa lebih bahagia.
"Mereka senang Abang tersenyum, itu Qila bilang, Abang harus semangat untuk sembuh, ada yang selalu menanti Abang, termasuk Qila," ujar Saqila memberi semangat.
"Terima kasih, Sa." Tangan Saqila diraih Adam, berkali-kali ia kecup lalu digenggamnya.
"Qila juga terima kasih, Bang."
"Sa...."
"Iya."
"Boleh minta lagi?" tanya Adam.
Saqila memicingkan mata.
"Minta lagi apa?"
"Kamu," sahut Adam mencolek hidung Saqila manja.
"Lagi?"
"Hu'um."
"Ya Alloh, Qila lelah Bang."
Saqila menghempas tubuhnya ke tempat tidur seperti orang pingsan, baru tadi mereka memadu kasih, suaminya sudah nagih, ia merentangkan tangan ke arah suaminya.
Adam berhambur kepelukan Saqila, mengecup kening dan hidungnya.
"Bercanda, Sayang. Istirahatlah, lanjut nanti malam aja," bisik Adam mengoda Saqila.
Saqila mencubit dada Adam, mereka tertawa lepas. Semenjak saat itu selama seminggu, Saqila benar-benar jadi tawanan Adam. Dia sangat sulit ke luar kamar, hanya untuk makan dan memasak ataupun beres-beres, itupun selalu dibuntuti.
Adam lebih suka menghabiskan waktu di kamar dengan istrinya, bercerita, bercanda, hingga memadu kasih. Kamar Adam yang biasanya hening sunyi, kini riuh dengan canda tawa dua insan yang sedang dimabuk cinta.
***
Sore itu, Saqila sedang membantu Bi Ijah memasak untuk makan malam. Sambil berbincang dengan Bi Ijah, antusias menceritakan kampung halaman masing-masing, Saqila pun sama berasal dari kampung, ia senang ada teman bercerita.
Adam menghampiri Saqila, lalu memeluknya dari belakang. Bi Ijah langsung ngiprit, merasa malu sendiri melihat tingkah majikanya yang tak biasa.
"Sa."
"Apa, Bang?" sahut Saqila, tangannya lincah mengaduk masakan di atas kompor.
"Ke kamar, yuk?" ajak Adam, ia terus menciumi bahu Saqila, tangannya menyusur menggengam jemari istrinya.
Saqila membalik badan.
"Sekarang?" tanyanya.
Adam angguk sambil tersenyum, ia menarik tangan Saqila untuk membawanya ke kamar. Saqila tak menolak permintaan Adam, suaminya menjadi prioritasnya sekarang. Saqila memanggil Bi Ijah agar melanjutkan memasak.
Bi Ijah hanya geleng-geleng.
"Padahal nikah udah berapa bulan, masih kayak kemarin penganten," gumam Bi Ijah senyum-senyum sendiri, ia juga ikut bersyukur majikanya sudah ada perubahan.
***
Pagi itu, Bu Wening dan Bi Ijah tengah memerhati Adam dan Saqila di taman halaman belakang. Tampak tangan Saqila sedang memegang selang yang mengelurkan air, ia sedang menyiram bunga-bunganya.
Tangan Saqila satunya lagi di genggam oleh Adam, Seolah-olah tak mau lepas. Mereka terlihat tengah tertawa dan bercanda, sesekali Adam membetulkan jilbab Saqila yang sedikit miring, lalu mencubit hidung istrinya gemas.
"Seneng ya, Bu. Lihat Den Adam dan Non Saqila mesra begitu," ucap Bi Ijah yang berdiri di samping majikannya memerhati pasangan dua sejoli yang sedang kasmaran.
"Iya, Bi. Bahagia tenan aku, lihat anak lanang bahagia begitu," sahut Bu Wening haru. Sesekali ia mengusap pipinya yang menitikkan air bening.
"Saya doakan, Bu. Semoga mereka bahagia selalu dan segera diberi momongan, biar ada pengikat semakin erat hubungan antara mereka, Non Saqila sangat baik dan sabar," ujar Bi Ijah.
"Iya, Bi. Aamiin."
***
Meskipun sikap Adam sudah mencair, bukan berarti dia sembuh dari penyakitnya. Adakalanya justru hal-hal kecil kembali jadi pemicunya, hanya saja tak terlalu parah.
Tengah malam Adam membangunkan Saqila yang tengah tidur lelap. Adam mengigil, keringat dingin bercucuran.
"Sa, bangun, Sa." Adam mengguncang lengan Saqila. Istrinya itu membuka mata, tampak masih Sangat ngantuk. Ia duduk menghadap Adam, melihat suaminya tampak gelisah.
"Kenapa, Bang?" tanya Saqila, ia meraih tangan Adam.
"Di luar hujan, guntur," ucap Adam, mendengar hujan disertai guntur, paniknya kambuh, ketakutan menghantuinya.
Saqila awalnya tak paham, memang di luar sedang hujan, kenapa suaminya malah gelisah. Saqila baru sadar tentang penyakit Adam itu banyak pemicunya, kadang ia terlihat lebay.
"Sini, Qila peluk," ucap Saqila beringsut memeluk Adam. Dia membaringkan suaminya lalu mengusap-ngusap punggung lelaki berbadan jangkung itu, kalau sudah begitu, suaminya seperti anak kecil.
"Sesak, Sa." Nafas Adam terdengar berat, ia mulai tersengal.
"Tenang, Abang, tenang. Tarik nafas ... Embuskan, istigfar banyak-banyak, Abang kuat, Abang bisa," ucap Saqila menyugesti Adam agar ia tenang dan tak terburu lari pada obat penenang.
Terdengar Saqila seperti sedang berbicara pada anak kecil, tapi memang begitu harusnya, kesabaran dan kelembutan ketika menghadapi kekambuhan suaminya, agar mengurangi kepanikan. Punggung Adam masih ia usap.
Adam memeluk Saqila erat, ucapan istrinya itu menghadirkan rasa tenang di hatinya, perlahan nafas Adam kembali teratur, lalu tertidur.
***
Adam berniat mengajak Saqila untuk makan malam di luar, karena selama mereka menikah, Adam tak pernah mengajak istrinya itu jalan-jalan. Istri yang taat, tak lelah dan tak bosan merawat dan menjaganya.
"Jangan dulu, Bang. Kata Lena, Abang takut keramaian, nanti terserang panik gimana?" tanya Saqila bimbang, Saqila tak pernah meminta jalan-jalan atau kemana pun, selama Adam belum sembuh, ia akan tetap menjauhkanya dari hal yang bisa saja jadi pemicu .
"InsyaAllah nggak, kita coba, cuma makan malam." Adam meyakinkan.
Saqila berpikir sejenak. "Ya sudah, Qila siap-siap dulu ya," pinta Saqila.
"Hm, Abang tunggu."
Saqila sudah dandan rapi dengan sedikit riasan, mengenakan gamis dengan jilbab senada yang dibelikan Adam, ia mengais tas kecil di pundak, sederhana tetapi tetap terlihat anggun.
Adam ternganga melihat Saqila, waktu itu Saqila terlihat aneh dengan riasanya, tapi kali ini ia tampak manis, ternyata istrinya sudah pandai menggunakan make-up yang ia belikan.
Digandengnya tangan Saqila, menuju ke dalam mobil. Adam tak berani mengemudi semenjak terlibat kecelakaan, ia selalu mengunakan jasa supir pribadi.
Mobil yang dikemudikan Pak Apin supir Adam, menuju sebuah restoran, belum pun sempat mereka turun, Adam sudah mengeluh pusing dan mual, dadanya sesak, jantungnya berdetak cepat.
"Abang kenapa? Abang nggak apa-apa, kan?" Saqila sangat panik, kekhawatiran yang ia takutkan, kini benar terjadi.
"Kita pulang aja, ya," ajak Saqila gusar jika terjadi apa-apa dengan suaminya.
"Tunggu sebentar," pinta Adam, ia coba menenangkan diri, tetapi mulai rasa gelisah merasuki dirinya, pikiranya kacau, sesak kembali melanda.
"Pulang aja, Pak," perintah Saqila pada supirnya, tak mau banyak tanya, pulang ke rumah lebih baik. Tak masalah jika tak jadi makan di luar, dia lebih bimbang dengan keadaan Adam.
Mobil pun kembali melaju meredah jalan untuk kembali ke kediaman Pak Praja. Adam di baringkan di riba'an Saqila, setelah beberapa kali Saqila menenangkan suamiya, Adam berbaring menutup mata.
Saqila mengusap-ngusap rambut Adam, hatinya risau jika terjadi hal yang tak di inginkan. Ditatapnya lelaki yang kini ia kasihi, ia mengusap hidung Adam yang sedikit mancung, menyentuh kumis tipis lelakinya itu. Bibir suaminya itu tampak seksi, tangan Saqila bermain-main di sana.
Auh!
Saqila terkejut, tiba-tiba Adam menggigit ibu jarinya. Adam senyum melihat istrinya terperanjat.
"Abang ih, sakit-sakit nakal," ujar Saqila meniup-niup jempolnya yang sedikit sakit.
Adam tak menyahut, ia membenamkan wajahnya memeluk pinggang Saqila.
Sampainya di rumah, Saqila meminta Adam berbaring istirahat. Sementara Saqila ke dapur membuat minuman anti mual, beberapa kali Adam mengadu kalau ia sangat mual.
Saqila mengambil seruas jahe, ia basuh, geprek lalu merebusnya. Setelah agak hangat, ia tambahkan madu.
Saqila kembali ke kamar memberikan minuman yang baru saja ia buat.
"Minum, Bang," pinta Saqila.
Ia juga mengambil minyak kayu putih dan megusapkannya ke perut dan punggung Adam.
"Kok, Abang mirip bayi, pake dibalur minyak segala," protesnya.
"Emang, Abang kan bayinya Qila," sahut Saqila, tanganya masih membaluri punggung suaminya.
Adam membalik badan berhadapan dengan Saqila, ia menyatukan keningnya dengan kening Saqila.
"Maaf, Sa. Abang belum bisa ajak kamu jalan ke luar," lirih Adam, penyakit yang tampak enteng bagi orang lain, bagi Adam sangat menyiksa. Ia bagai di penjara dalam rumah.
"Abang cepat sembuh, nanti kita jalan-jalan ke kampumg Qila, kita mandi sungai, jalan dipematang sawah, menikmati pemandangan alam di sana."
Sesaat mereka hening, Adam larut dalam kesedihanya, ketidakberdayaanya. Saqila cepat mengalihkan perhatian suaminya, agar tak berkepanjangan.
"Kita tebak-tebakan, Bang," ajak Saqila.
"Tebakan apa?" tanya Adam.
"Apa aja, nanti yang kalah dijentik keningnya," sahut Saqila menghibur.
"Ok, Sayang dulu yang mulai," pinta Adam, mualnya sudah mulai hilang, meminum air yang Saqila berikan tadi, Adam sudah lebih tenang, Saqila selalu menjadi penenang baginya.
"Mm, ayam apa yang selalu minta maaf?" tanya Saqila.
Adam berpikir sejenak. "Ayam kampung," jawab Adam.
"Salah."
"Ayam jago, ayam negri, ayam petelur, ayam ternak," sahut Adam lagi dengan banyak jawaban.
"Salah."
"Salah mulu, terus apa?" Adam menggaruk telinganya.
"Ayam sorry," jawab Saqila.
"Hahaha. I'am, Sa, bukan ayam." Adam terbahak, kali ini dia kalah, tebak-tebakan Saqila itu tepatnya tipuan kata.
"Namanya juga tebakan, sini."
Saqila meminta kening Adam, lalu ia menjentiknya. Adam tersenyum sedikit mengosok kening yang dijentik Saqila.
"Giliran Abang," ujar Saqila.
"Apa ya ... Mm. Sa, aja lagi, Abang nggak punya tebakan," sahut Adam mengalah.
"Ok ... Artis, artis siapa yang suka main sosial media," tanya Saqila.
"Semua artis suka," jawab Adam.
"Pilih aja namanya salah satu," perintah Saqila.
"Raisa."
"Sengaja milih yang cantik," rajuk Saqila mendelik.
Adam tertawa "Tadi suruh pilih salah satu, ingatnya itu kok, jangan cemburu, Sa tetep lebih cantik dari Raisa," rayu Adam memberi alasan. Ia garuk-garuk kepala, jawab salah tak jawab tetap salah.
"Salah."
"Nyerah, terus jawabanya siapa?"
"Rizky Efbian," jawab Saqila, ia cekikikkan.
Lagi-lagi Adam terbahak.
"Itu Febian, Sa, Febian."
"Namanya juga tebakan," tutur Saqila.
"Itu bukan tebakan, tapi jebak-jebakkan." Adam tertawa renyah.
Adam mengasongkan keningnya untuk di jentik lagi. Saqila tertawa, dia selalu menang dari Suaminya.
"Sekarang giliran Abang," kata Adam.
"Ok."
"Waktu Abang kecil, umur Abang enam tahun, umur Adek Abang setengah dari umur Abang, kira-kira kalau Abang umur 100 tahun, Adek Abang umur berapa?"
"50 tahun." Dengan yakin Saqila menjawab pertanyaan Adam.
"Salah."
"Kok, salah? Kan setengah dari umur Abang?" gerutu Saqila tak terima.
"Ulang lagi, ketika Abang umur enam tahun, usia adek Abang, setengah dari umur Abang. Jadi umur adek Abang berapa tahun waktu itu?" ulang Adam.
"Tiga tahun," jawab Saqila lugu.
"Jadi beda umurnya berapa?"
"Beda tiga tahun."
"Nah, kalau umur Abang 100, umur adek abang berapa?"
Saqila baru ngeh dengan pertanyaan jebakan suaminya. "Hahaha, kok Qila o'on ya." jawab Saqila.
"Itu bukan o'on, namanya terburu-buru, istri abang ini lucu," cetus Adam, ia mencubit manja hidung Saqila.
"Ya udah, nih." Saqila mengasongkan kening, ia memejamkan mata bersiap mendapat hukumannya.
Adam memandang lucu wajah Saqila.
Cup!
Hukumannya mendarat manis di bibir Saqila.
Saqila terbelalak, membuka mata menatap Adam yang sedang tersenyum.
"Kok cium, bukannya jentik?" tanya Saqila terheran.
"Abang nggak sanggup nyakitin istri Abang sedikit pun," sahut Adam.
"Ih, Abang. Qila jadi wafer," goda Saqila.
"Baper, Sayang. Sini." Adam terkekeh, ia merentangkan tangan.
Saqila menghampiri memeluk Adam. "Terima kasih, Abang."
"Sama-sama. Tetap di sisi Abang, Sa."
Saqila angguk, ia tersenyum bahagia. Adam mulai menghujaninya dengan ciuman, tangannya nakal membuka kancing baju Saqila.
"Tunggu, Abang."
"Apa lagi, Sayang."
"Jangan sekarang."
"Kenapa?" Adam menautkan alis.
"Itu reader lagi baca, mereka lagi puasa, kasian nanti batal bayangin kita. Mereka suka ikutan wafer," ujar Saqila.
"Kita ngumpet aja, sini." Adam mengajak Saqila masuk ke dalam selimut.
Biarlah reader bertanya-tanya apa yang sedang mereka lakukan.
==========
Tetesan air hujan yang terus menerus, dapat meghancurkan kerasnya batu. Sama seperti kerasnya hati, dengan dicurahkanya kesabaran, cinta dan kasih sayang, lama-kelamaan akan luluh juga.
Sebagai istri, tugas Saqila kian mendekati sempurna, ketika suaminya sudi melabuhkan cinta padanya. Ia yang dulu tak diinginkan, kini selalu dirindukan, yang dulu sempat terbuang kini ia dicintai.
Namun perjuangan Saqila belum usai, ia harus fokus mencari jalan kesembuhan untuk suaminya. Segala obat dan terapi sudah suaminya jalani sejak terlibat kecelakaan, bukan sedikit uang yang keluarga Adam habiskan demi mencapai sebuah kesembuhan. Semuanya nihil, sama sekali tiada hasil.
Saqila teringat pada cerita mantan majikannya dulu, Madam Lee. Beliau pernah berobat ke salah seorang Ustadz, dengan metode penyembuham yang berbeda. Niat Saqila pun ingin mencoba, jika dengan medis tak kunjung sembuh, ia akan coba non medis.
Saqila mencari nomor Madam Lee yang masih ia simpan di gawainya, biar pun Saqila sudah ganti nomor telepon, tetapi nomor kontak Madam Lee tetap ia simpan. Ditekannya nomor mantan majikannya itu, suara panggilan tersambung dan diangkat.
"Assalamu'alaikum," salam Saqila.
"Waalaikum'salam, siapa ini?" tanya Madam Lee.
"Ini Saqila, Mam."
"Saqila? Apa kabar kamu?" tanya Madam Lee kaget, sudah lama ia tak mendengar kabar Saqila, nomor Saqila yang baru ia tak punya, mereka hilang kontak.
"Alhamdulillah, Qila sehat, Mam. Bagaimana kabar, Mam?
"Alhamdulillah, saya juga baik, ada perlu apa Saqila?"
"Saqila mau bertanya, Mam. Boleh nggak?"
"Silakan."
"Nomor Ustadz yang, Mam, bilang pernah mengobati almarhum suami, apa masih ada?" tanya Saqila langsung saja pada maksud dan tujuannya.
"Iya masih ada, siapa yang sakit?" Madam Lee penasaran.
"Suami Qila, Mam."
"Suami? Kamu sudah menikah? Kok, nggak ngundang?" tukas Madam Lee, Saqila dulu pekerja terbaiknya dan mereka cukup akrab.
"Maaf, Mam. Pernikahannya mendadak, Qila nggak undang orang," sahut Saqila.
Kemudian Madam Lee memberikan nomor telepon Ustadz yang dimaksud oleh Saqila. Beberapa saat mereka bercerita sekadar mengobrol, lalu Saqila berterima kasih dan menutup panggilan.
Nomor Ustadz sudah ia simpan di kontaknya, tinggal nanti ia hubungi jika suaminya setuju.
Saqila coba meghubungi nomor tersebut hanya untuk bertanya-tanya, ada sahutan mengucap salam dan bertanya siapa dari seberang telepon.
"Waalaikum'salam, saya Saqila, jika diijinkan saya ingin tahu metode pengobatan dari Ustadz," tutur Saqila.
"Silakan, boleh tanya-tanya dulu, nggak harus langsung eksekusi, jika dirasa cocok dan masuk akal, bisa dilanjut. Jika tak berkenan, bisa tinggalkan tanpa mencaci atau debat.
Bukan apa, pengobatan saya ini non medis, kadang ada pro dan kontra, apalagi di jaman sekarang semua serba medis. Saya juga tak memaksa, ini hanyalah sebuah ikhtiar, saya juga sangat percaya bahwa Alloh lah Sang Maha Penyembuh, jika berhasil sembuh, itu semata karena Alloh," jelas Ustadz tersebut.
"Jadi metodenya gimana, Pak Ustadz? Untuk penyakit apa saja?" tanya Saqila ingin tahu.
"Metode ini tepatnya bukan untuk sakit ini maupun itu. Jadi begini, dulu sebelum saya kembangkan pengobatan ini, saya uji coba pada diri sendiri dan keluarga, bisa dibilang saya ini penyakitan dari berojol jeprot.
Jangan ditanya habis berapa saya berobat, maka ketika saya temukan metode ini saya amat sangat bersyukur, atas izin Alloh, saya sehat hingga ke hari ini," tutur Pak Ustadz.
"Menurut penelitian saya, tubuh manusia itu tak tahu nama-nama penyakit, ia hanya tahu beres dan nggak beres. Contoh: jika ada yang tak beres dengan pernafasan, tubuh akan bereaksi seperti sesak atau batuk, ketika virus dan bakteri menyerang maka tubuh bereaksi demam. Reaksi itu terjadi, tubuh sedang memberitahu bahwa didalam sedang ada pertempuran atara patogen dan pasukan tubuh. Tugas kita adalah membatu pasukan tubuh memberatas patogen yang masuk ke pertahanan tubuh kita," bebernya lagi.
"Suami saya, bukan saja sakit fisik Pak Ustadz tapi juga psikis, ia terkena Psikosomatis dan Anxiety Disorder, gimana menyembuhkanya?" tanya Saqila.
"Kedua penyakit itu awalnya dari penyakit fisik yang berkembang menjadi penyakit psikis. Apa suami Ibu punya riwayat lambung atau GERD?" tanya Uztadz.
"Iya ada, Pak. Malah sudah parah," jawab Saqila.
"Obati lambungnya sampai tuntas, InsyaAlloh, psikisnya akan nyusul membaik. Soalnya, lambung dan Anxiety ini seperti lingkaran setan, lambung kumat, Anxiety nyusul, Anxiety kumat, lambung nyusul. Harus ada dukungan dari keluarga tentunya."
"Iya, Pak. Bagaimana caranya?"
"Konsumsi kelapa selama satu bulan, untuk proses detox. Point penting, jauhi segala makanan berbahan kimia, sebagai penunjang bisa berikan madu alami, VCO dan air ion perak.
Apapun jenis kimia jangan dulu masuk tubuh, biarkan terjadi detox. Setelah satu bulan harus jeda kalori selama 24jam. Jika tubuh kita kosong selama 24jam maka akan terjadi penyeimbangan sel baru yang akan mengganti sel lama yang rusak.
Jika kondisi sudah kuat, bisa jeda kalori 36 jam dan 48jam. Untuk pemula, 24jam saja. Bisa dibantu dengan rutin bekam dan fasdhu serta ruqiyyah, banyak dzikir, berserah pada Alloh, bahwa kesembuhan hanya milik Alloh".
Saqila mengerti penjelasan Ustadz tersebut, ia akan bincangkan dulu hal ini dengan suaminya dan Lena nanti.
***
Flashback-
Sehari setelah pernikahan Adam.
"Lho tahu, Lin. Adam kemarin nikah," ujar kekasihnya.
"Hah? Yang bener loe, cewe bodoh mana yang mau nikah sama dia?" tanya Aline, ia terkejut ternyata ada juga yang mau nikah dengan Adam.
"Kayaknya cewek pilihan Pak Praja, mereka dijodohkan," sahut lelaki itu.
"Pantesan bulan ini Om Praja nggak ada ngasih gue duit, gue tunggu-tunggu kiriman nggak ada juga, ternyata itu alasanya. Paling tu cewe mau nikah karena iming-iming harta, apa yang bisa diharapkan dari orang stres kayak Adam," ejek Aline, dia meyakini perempuan yang mau menikah dengan Adam semata karena harta, sama seperti dirinya dulu.
"Gila ya, Pak Praja. Besar banget harapan dia sama loe, sampai sudah putus tunangan masih ngasih loe uang," ucap kekasihnya, ia berpikir mana ada orang sebaik Pak Praja yang rela berkorban apapun demi kebahagian anaknya.
"Om Praja berkali-kali hubungin gue, minta supaya gue nggak mutusin Adam, apalagi waktu Adam drop masuk rumah sakit, Om praja sampai mohon-mohon datang ke rumah gue."
"Terus kenpa loe pake acara putusin segala, padahal lumayan untuk sementara hidup loe terjamin," sahut lelaki itu.
"Gue ini normal, masa nikah sama orang setengah gila, nggak bisa diajak ngobrol, nggak bisa di ajak jalan. Kalau nikah sama dia, mau jadi apa gue?" gerutu Aline .
"Setidaknya loe tunggulah, sampai gue cerai sama Desi, sementara loe bisa ladenin Adam, lumayan'kan loe bisa kuras duit Pak Paraja yang nggak abis-abis itu, bisa buat modal kita nikah juga nanti," rayu pacar Aline.
"Gue mutusin Adam, waktu loe bilang mau cerai istri loe, nyatanya apa? Sampai sekarang loe masih saja sama perempuan laknat itu," ketus Aline kesal, ia berjuang sendiri, sedang kekasihnya bersama wanita lain.
"Hutang gue masih banyak, nanti kalau gue dah bisa bayar semua, gue tinggalin dia. Gue cuma cinta sama loe, beib(babe)."
"Bullshit," desis Aline.
"Ayolah beib, mending loe atur strategi lagi, loe deketin si Adam, yang penting Pak Praja baik sama loe. Gimana?" bujuk lelakinya.
"Soal itu gampang buat gue, sekarang loe ceraikan perempuan itu dulu," ketus Aline.
Mereka mengatur rencana, agar Aline.kembali dekat dengan Adam. Satu bulan setelah pernikahan Adam, sengaja Aline menemui Adam ke rumahnya.
Ternyata istri Adam adalah mantan asisten rumah tangga sementaranya kala itu. Namun rencana Aline hari itu gagal, karena Pak Praja sedang tak ada di rumah.
Dia akan merayu Pak Praja agar hubungannya dengan Adam disetujui kembali, apalagi istri Adam hanya orang kampung dan tak berpendidikan, mudah bagi Aline menyingkirkannya.
Flashback off-
***
Saqila mulai menceritakan perihal pengobatan dari Ustadz Edi pada Adam, ia berharap suaminya mau mencoba metode yang tanyakan.
"Abang ikut aja, terserah, Sa. Apapun yang kamu usahakan, Abang yakin, InsyaAlloh itu yang terbaik," tutur Adam ketika Saqila mengajukan tentang metode pengobatan untuk penyakitnya.
Sekarang yang harus Saqila lakukan adalah meminta izin Lena. Dia adalah dokter pribadi Adam, Saqila tak yakin Lena mengijinkan, ia tahu bahwa mainan Lena adalah obat kimia. Apa mungkin ia akan mengijinkan pengobatan sepertii ini?
"Jalankan saja, Qila, jika kamu yakin. Aku memang dokter, tetapi aku nggak bisa menjamin kesembuhan, yang maha penyembuh hanyalah Alloh, jika niatnya demi kebaikan, silakan coba berobat apa saja, aku akan mendukung." ternyata Lena seorang yang terbuka, tak perlu gontok-gontokan demi mencapai sebuah mufakat.
Adam pun sudah setuju untuk ikut pengobatan tersebut. Dia harus mengkonsumsi kelapa selama satu bulan, hanya harus makan makanan yang berbahan alami tanpa kimia.
Detox yang terjadi, mulai dari ngantuk, diare, dan sensasi-sensasi yang sebelumnya ia rasakan seolah diundang kembali, serangan paniknya sering kambuh, tetapi Adam tak boleh minum obat penenang.
Ketika dilanda insomnia pun, Saqila yang menemani dan mncari cara alami yang sudah disarankan Ustadz tersebut, tak diperbolehkan lagi meminum obat tidur.
Sebulan sudah Adam melewati berbagai sensasi tanpa diberikan obat sama sekali, segala drama suka duka telah Saqila lalui selama mendampingi pengobatan Adam.
Waktunya Adam untuk menjeda kalori mengosongkan tubuh selama 24jam. Hanya boleh minum air putih saja.
Hari pertama jeda kalori, Adam kelabakan. Ia nyaris pingsan dan sesak, tetapi ia tak menyerah, hingga delapan kali jeda kalori dalam sebulan.
Alhamdulillah, tubuhnya merespon baik terhadap pengobatan tersebut. Lambung Adam mulai terasa nyaman dan dalam tiga bulan, Lena menyatakan keadaan Adam mulai membaik. Adam sudah tak makan bubur lagi, ia bisa mengkonsumsi apa saja asal tak berkimia, pedas dan asam serta bercafein.
Suka duka Saqila menemani proses pengobatan suaminya, mereka lalui bersama. Semakin besar rasa cinta Adam pada istrinya yang selalu mendampingi.
***
Selama beberapa bulan ke belakang, Adam akrab dengan Muaz, ia selalu berbicara dengan kakaknya Saqila itu, sebelum Muaz berangkat ke kantor mengantar ayahnya.
Saqila tak tahu apa yang mereka bicarakan, ia hanya bersyukur, suaminya kini mulai akrab dengan kakaknya. Bahkan Adam sudah mulai masuk kantor kembali, serangan paniknya mulai membaik, hampir tak pernah kambuh.
"Abang hari ini kerja?" tanya Saqila, ia melihat suaminya sudah berpakaian rapi.
"Iya, Sa. Nggak apa-apa, kan, Abang tinggal?"
"Nggak apa-apa, jangan lupa nanti hari jum'at jadwal bekam," ucap Saqila mengingatkan.
"Iya, Sayang."
"Abang kerja hati-hati, kalau ada apa-apa telpon Qila, ya," pesan Saqila pada suaminya, meskipun Lena sudah mengabarkan tentang kesehatan Adam yang semakin membaik, ia tetap bimbang dengan keadaan suaminya.
"Tenang Cantikku, Abang sudah sembuh, nanti kita bulan madu ke suatu tempat," bisik Adam sambil mengecup pipi Saqila.
"Qila pengen ke kampung, Abang sudah janji kalau sudah sembuh mau ajak Qila ke sana," pinta Saqila menagih janji Adam.
"Baiklah, nanti kita ke kampung istri Abang tersayang," rayu Adam, ia juga sudah merencanakan hal itu dari jauh-jauh hari.
"Bener ni?"
Saqila begitu bahagia mendengar hal itu, ia sangat merindukan ibunya. Selama Adam sakit, ia tak bisa ke mana-mana.
"Beneran, nanti Abang atur jadwalnya," sahut Adam, cukup senang melihat reaksi Saqila yang kegirangan.
"Abang berangkat, ya," pamit Adam, ia mengusap rambut Saqila.
Saqila meraih tangan Adam dan mencium tangan suaminya itu dengan cara yang biasa ia lakukan. Adam rutin mendaratkan kecupanya diseluruh bagian wajah istrinya. Pipi, hidung, kening, mata, dagu dan bibir tentunya. Jika ada yang terlewat Saqila akan merajuk. Hal itu membuat mereka semakin romantis dan saling merindukan.
Begitu pun ketika makan siang, Adam selalu pulang untuk makan masakan Saqila di rumah.
"Kenapa nggak bawa bekal aja, Bang, biar nggak bolak-balik gini," ujar Saqila, ia tak ingin suaminya kelelahan.
"Emang, Sa bisa dibekal?" tanya Adam.
"Abang pulang bukan cuma buat makan siang, tapi juga buat makan, Sa. Kangen pengen gigit ini," lanjut Adam mengigit bibir Saqila.
"Ih, Abang nakal," ucap Saqila malu-malu mau.
Selesai makan siang, Adam kembali ke kantor, sebelum itu suaminya mengedipkan sebelah matanya, Saqila sudah tahu kode tersebut. Adam menarik tangan istrinya ke kamar.
"Nggak bosen apa tiap hari?" tanya Saqila.
"Gimana mau bosan, tiap hari, Sa, selalu bikin kangen," goda Adam. Saqila mencubit pinggang suaminya.
Adam melempar jasnya, membuka dasi, satu per satu ia buka kancing kemejanya. Jam tangan ia buka juga dan meletakannya di meja samping tempat tidur.
Bersemangat menghampiri Saqila, membelai dan menyasapnya. Saqila seperti menahan tawa melihat tingkah Adam.
"Kenapa, Sa, senyum-senyum," bisik Adam, ia berpikir istrinya kegirangan dimanja olehnya.
"Qila ada 'tamu' hari ini," bisik Saqila, ia tertawa terbahak.
"Kok, nggak bilang dari tadi, Sayang," sahut Adam tercengang, padahal hasratnya sudah sangat memuncak.
Adam melempar tubuhnya ke samping Saqila.
"Jahat banget, Sa. Terus sekarang Abang harus gimana? Siapa yang mau tanggung jawab? Arhhgg!" kesal Adam, ia mengacak-ngacak rambut.
"Maaf, Abang," ucap Saqila, ia tertawa sambil menutup mulut. Sukses mengerjai suaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel