Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 20 Desember 2021

Istri Yang Tak Diinginkan #13

Cerita Bersambung

Adam menunaikan janjinya, dia akan membawa Saqila pulang ke kampung halaman, sudah ia siapkan kejutan spesial untuk istrinya di sana.
Saqila menyiapkan keperluan untuk mereka selama di kampung nanti, rencanya mereka akan tinggal di kampung selama satu minggu.

"Abang mau bawa ini nggak?" tunjuk Saqila pada kaki palsu Adam, di dalam lemari ada tiga kaki palsu, ada yang berbentuk besi ada juga yang bentuknya mirip kaki.
"Bawa aja," jawab Adam singkat, ia tengah sibuk menyiapkan pakaiannya.
"Ok."
"Sa, di sana dingin nggak?"
"Lumayan, nggak perlu Ac, nggak perlu kipas, deket pegunungan soalnya, tapi musim panas, ya, gerah," sahut Saqila, ia juga tak kalah sibuk menyiapkan bawaannya.
"Bawa baju hangatnya dua-dua aja, ya, punya, Sa dua, punya Abang dua," ujar Adam, memasukan jaket ke dalam travel bag sambil duduk menghadap pakaian yang ia siapkan untuk dibawa.
"Qila nggak usah bawa baju hangat, bawa Abang aja udah cukup menghangatkan," goda Saqila, ia memeluk punggung Adam yang duduk membelakanginya.
Adam menoleh ke arah istrinya yang berada di belakang punggung memeluknya, ia cubit pipi Saqila. "Itu lain lagi."

Mobil sudah dipanaskan Pak Apin, ia juga sudah bersiap membawa tas kecil berisi pakaiannya, akan ikut menginap di kampung. Adam juga mengajak Pak Irman, satpam di rumahnya, untuk jaga-jaga.
Adam dan Saqila pamit pada Bu Wening, wanita paruh baya itu terlihat muram.

"Hati-hati di sana, ya Saqi, Adam."
"Iya, Mih. Amih juga jaga diri baik-baik selama jauh dari Adam dan Saqila," pinta Adam.
"Nggak usah khawatir, di sini ada Bi Ijah yang jagain amih," sahut ibunya.
"Kamu bawa obat Adam, Saqi?" tanya Bu Wening, anaknya itu memang sudah membaik, itu hanya untuk jaga-jaga.
"Iya, Mih, Qila bawa. Nanti Qila sering-sering telepon Amih," rayu Saqila agar mertuanya itu tak terlalu bersedih ditinggal olehnya dan Adam.
"Udah, kalian nikmati bulan madunya, nggak usah mikirin amih, di sini kan ada apih jagain," ulas Bu Wening agar anak menantunya tak bimbang.

Saqila dan Adam mencium tangan Bu Wening dengan takzim, mereka bergantian saling peluk. Bagi bu Wening, Saqila bukan menantu, ia adalah anak perempuannya. Selama Saqila menikah dengan Adam. Mereka tak pernah berjauhan, baru kali ini Bu Wening ditinggal anak menantunya itu, relung hatinya merasa sangat kehilangan.

"Qila nggak lama kok, Mih." Seolah-olah Saqila mengerti perasaan mertuanya, ia coba membesarkan hati mertuanya.

Mereka pun pamit, menuju ke luar, menaiki mobil yang sudah disiapkan. Pak Apin menaruh barang bawaan mereka di bagasi, Adam dan Saqila duduk di kursi belakang, sedangkan Pak Apin di depan kemudi dan pak Irman duduk di sebelahnya.

Mobil mulai melaju membelah jalan meninggalkan ibu kota, menuju kampumg halaman Saqila, kampung yang sudah ia rindukan. Di sana banyak cerita suka duka Saqila hingga ia kembali membawa kebahagiannya.
Tangan Adam tak pernah jauh dari gengaman Saqila, istri yang selalu menghadirkan kenyamanan, keteduhan jiwa dan kerinduan jika berjauhan.

Menjelang sore hari mereka sampai di kampung halaman Saqila, sebelumnya Saqila sudah mengabarkan pada ibunya, mereka akan berkunjung dan menginap beberapa hari, tentu saja Bu Dewi sangat senang.

Sebelum anak dan menantunya datang, ia sibuk membersihkan rumah dan merapikan kamar untuk anaknya. Ada rasa gusar, ketika menantu akan menginap di rumah kecilnya, bimbang menantunya tak suka dan tak nyaman dengan rumah yang sempit, berbeda jauh dengan rumah besarnya di kota.
Bu Dewi dan Riyan sudah menyambut Saqila di teras rumah, tak lupa ia kabari Dina tentang kedatangan Saqila.

"Ibuuu ... !"
Saqila setengah teriak, berhambur ke arah Bu Dewi. Mereka tak bertemu semenjak akad nikah Saqila waktu itu, meskipun sering berkabar lewat telepon, tetap saja berbeda dengan berhadapan muka seperti saat ini.

"Ayo masuk, Nak," ajak Bu Dewi.

Saqila menggandeng tangan suaminya masuk, langsung ia bawa ke kamar untuk beristirahat. Pak Apin dan Pak Irman juga ikut masuk, mereka duduk di ruang tamu.
Adam sedikit mengeluh sakit kepala, baru kali ini ia menempuh perjalanan jauh, semenjak mengalami kecelakaan, ia tak pernah pergi jauh kecuali untuk berobat.

"Maaf ya, Bang, kamarnya sempit," cetus Saqila, ia memicit kening suaminya.
"Nyaman, kok. Abang nggak masalah selama ada, Sa di sisi Abang."
"Gombal," ledek Saqila.
"Serius, Sayang."
"Iya, iya." Saqila bangkit untuk mengambilkan minum, tetapi Adam masih menahannya.
"Peluk," pinta Adam.

Saqila menggeleng lalu menghambur memeluk suaminya, ia sangat suka ketika suaminya bermanja.

Selesai makan malam, mereka bercengkerama bersama duduk lesehan di ruang tivi. Bu Dewi membawakan bantal dan selimut untuk Pak Apin dan Pak Irman, mereka akan tidur di ruang tivi, kasur lantai sudah terlipat di sana, tinggal mereka gelar jika sudah ingin tidur.

Saqila dan Adam tidur di kamar depan, hanya ada kasur busa yang digelar di lantai dan satu lemari tinggi milik Saqila dulu. Tanpa ada penyejuk ruangan, tanpa kipas angin, hawa dari pegunungan cukup membuat mereka nyenyak tidur.
***

Dina mendapat kabar dari ibunya kalau Saqila datang berkunjung, diam-diam ia menghubungi Iwan. Ya, hanya dengan nama Saqila Iwan akan pulang ke kampung, ia ingin Iwan melihat Anaknya yang sudah enam bulan lahir ke dunia. Anaknya tak pernah merasakan kehadiran seorang ayah.
Beberapa kali Dina memangggil nomor suaminya, tapi tak berjawab. Ia mengirim pesan via aplikasi hijau.

[Wan, pulanglah. Saqila ada di rumah ibu.]

Dina beranikan mengirim pesan itu, ia menunggu balasan. Gawainya berbunyi, nama suaminya tertera di layar gawai, segera ia angkat.

"Maksud pesan kamu apa, Dina?" tanya Iwan di seberang telepon, ia begitu penasaran. Sudah lama ia mencari informasi tentang Saqila, tetapi tiada hasil.
"Saqila pulang dengan suaminya, sekarang dia di rumah ibu," cetus Dina, suaranya bergetar, ada rasa sakit menjalar dihatinya melihat reaksi Iwan yang begitu sigap menanggapi pesannya tentang Saqila.

"Aku pulang sekarang," ujar Iwan, ia menutup panggilan.

Air mata Dina luruh, begitu besar cinta suaminya pada Saqila, terisak ia mendekap wajah, hatinya hancur, tak ada tempat untuknya di hati Iwan. Ada sedikit gusar di pikiran Dina, bagaimana jika Iwan membuat ke kacauan pada Saqila dan suaminya? Dina membuang nafas sesak.
***

Pagi hari, Bu Dewi dan Saqila menyiapkan sarapan, mereka berkumpul makan bersama, menyantap nasi uduk yang biasa mereka jajakan di pasar dulu.
Saqila meminta izin pada ibunya, ia akan membawa suaminya jalan-jalan menyusuri pematang sawah berkeliling kampung dan mandi sungai seperti yang ia janjikan pada suaminya.

"Ini motor siapa, Sa?" tanya Adam melihat motor terparkir dipinggir warung Bu Dewi.
"Itu dulu motor Qila, untuk belanja ke pasar, tapi sekarang nggak ada yang pake, paling dipake Riyan ke sekolah," sahut Saqila.
"Sa, bisa bawa motor?"
Saqila angguk. "Bisa."

Adam melihat-lihat keadaan motor, sepertinya masih bisa digunakan, bensinnya pun masih terisi setengah, rasanya cukup jika hanya untuk jalan-jalan keliling kampung.

"Kalau ke sawah, jalanya bisa bawa motor nggak?" tanya Adam kemudian.
"Bisa, jalan kampung sudah dicor."
"Abang bawa motornya, ya?" pinta Adam.
"Nggak apa-apa gitu? Abang nggak takut?" Saqila bimbang jika suaminya masih trauma membawa kendaraan sendiri.
"Di sini jalan kampung, bukan jalan umum, Abang bisa kok, nggak banyak kendaraan lewat, kan?"
"Iya, ayo." Saqila membawa ransel isi pakaian dan camilan, ia berniat mengajak suaminya mandi sungai, di tempat bersejarah masa kecilnya dulu.

Adam melajukan motornya perlahan, Saqila di belakang jadi penunjuk jalan. Ia duduk miring boncengan memeluk pinggang Adam.
Melewati hamparan sawah, gunung yang menjulang dikejauhan. Angin sepoy-sepoy menyegarkan menyambut pagi, mentari bersinar dengan cerahnya, tunduk patuh menjalankan tugasnya menyinari bumi.
Pemandangan yang indah membuat Adam menghentikan motor di pinggiran sawah, ia mengambil kamera dari dalam ransel, beberapa tempat menjadi spot fotonya.
Saqila berdiri di dekat motornya, menunggu Adam yang asik mengambil gambar pemandangan sawah dan gunung. Matanya terpejam menikmati semilir angin yang menyapu tubuh dan mengelebatkan gamisnya, tangan sedikit direntangkan menyambut pancaran sang surya.
Adam membidik Saqila dengan kameranya, ia terkagum melihat dua pemandamag indah sekaligus di depan mata.

"Cantik," gumam Adam sembari menilik hasil gambar yang ia tangkap.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan, dengan laju motor yang masih pelan, sengaja ingin berlama-lama dipeluk Saqila dari belakang, ia sudah sering memeluk istrinya tetapi moment sebegini baru kali ini ia alami.
Saqila meminta Adam membelokan motor ke jalan setapak, hanya jalan tanah dengan hamparan rumput. Motor melaju perlahan, terkadang sedikit oleng karena jalan yang tak rata, Saqila beberapa kali menjerit dan tertawa mencengkeram pinggang suaminya erat, takut terjatuh.

Motor sudah diparkirkan di ujung jalan buntu, mereka harus berjalan kaki menuju sungai di ujung kampung.

"Bisa jalan nggak, Bang? Jalannya begini," tunjuk Saqila menunjukan jalan yang sedikit menanjak, ia gusar kaki suaminya sakit.
"Abang coba," sahut Adam, ia membetulkan ransel dipunggungnya, tangan kanannya menuntun Saqila.

Adam terpukau ketika sampai di pinggir sungai, air terjun yang tak begitu tinggi, sungai yang tak begitu deras, airnya tampak mengalir tenang dan jernih. Ada beberapa dasar sungai yang dalam.

"Seindah ini nggak ada orang berkunjung, Sa?" tanya Adam, matanya menyapu pemandangan sekitar. Suara burung bersiul saling bersahutan, pohon-pohon yang tinggi seolah menyentuh langit, mengurangi panas matahari.

"Iya, anak jaman sekarang lebih suka mandi di kolam renang, apalagi jalan ke sungai ini runyam seperti kita lewati tadi, orang jadi malas ke sini, tapi baguslah biar kita nggak ada yang ganggu," ucap Saqila, ia memejamkan mata menghirup udara pagi yang segar.

Saqila mengajak Adam turun ke dalam sungai, ia ingin main air bersama suaminya. Adam menolak, ia lebih suka mengambil poto pemandangan dengan kameranya. Ingin mengabadikan pemandangan indah yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Saqila masuk ke saung buatan ayahnya dulu, ia tertegun, pilu menyusup ke dalam hati. Teringat kembali pada almarhum ayahnya, air matanya menitik, tanganya megusap tiang saung yang terlihat usang, tangan ayahnyalah yang mendirikan saung di mana tempat Saqila berdiri saat ini, biarpun sudah terlihat usang, kenangan tetap tumbuh di sini.

"Kenapa, Sa?" tegur Adam melihat istrinya tertegun cukup lama.
"Ngga apa-apa, Bang," sahut Saqila. Ia masuk ke dalam saung untuk mengganti baju. Saung ini ada dua bagian, satu bagian tampak terbuka, hanya dipan untuk tempat duduk dan sebelahnya lagi sengaja tertutup, bisa digunakan untuk salin pakaian.
Saqila ke luar menggunakan kaos lengan pendek dan celana panjang longgar, rambut panjangnya sengaja ia urai.

"Sa, kok, nggak pake kerudung? tanya Adam.
"Di sini nggak ada orang, cuma kita, Bang." Saqila beralasan.

Saqila berjalan menuruni sungai, kakinya perlahan masuk ke dalam air, dingin menembus tulang tak ia hiraukan. Adam menyusul dari belakang membawa kamera dan kerudung Saqila yang diuntaikan di pundaknya, jaga-jaga jika ada orang datang, agar mudah untuk menutup rambut istrinya.

"Abang sini," panggil Saqila, tangannya dilambaikan ke arah suaminya, ia memain-mainkan air.

Adam menggeleng, ia asik dengan kamera, keasikan Saqila bermain air ia abadikan, sudah puluhan poto terpampang di kamera hasil jepretanya. Bosan mengambil gambar, ia duduk di bibir sungai memerhati Saqila yang tengah mandi.

"Jangan lama-lama mandinya, Sa. Nanti kedinginan," ujar Adam.
"Ada Abang yang menghangatkan Qila nanti," sahut Saqila mengedip-ngedip mata menggoda Adam.
"Hahaha, sini, Sa, biar Abang gigit," gemas Adam melihat gelagat istrinya.
"Abang yang turun sini."
"Nggak akh dingin," jawab Adam, ia meletakan kamera dan kerudung di hamparan rumput hijau di sampingnya.

Saqila tak kehabisan akal untuk membuat suaminya turun ke sungai.
Adam masih asik memerhati Saqila berenang, sesekali matanya melihat sekeliling. Tiba-tiba Saqila menjauh dan terlihat tenggelam timbul.

"Saqila!" jerit Adam, ia panik belari melompat ke dalam sungai, meraih tangan istrinya yang meronta-ronta.

Adam berhasil menarik tangan Saqila, segera diraih kepelukanya, Adam tersengal melepas pelukan, hendak melihat keadaan istrinya.

"Baaa." Saqila terkekeh, berhasil membuat Adam turun ke sungai.
"Astagfirullah, Sa," lirih Adam, seketika badanya lemas, lunglai ia gemetar.
"Abang kenapa!" pekik Saqila. Segera ia raih tangan Adam lalu menuntunnya naik ke tepi sungai.

Adam berbaring di atas rumput, nafasnya terengah-engah. Sinar matahari yang kian naik, tampak menyorot wajahnya yang pucat.

"Abang." Saqila menepuk pipi Adam pelan, mata suaminya itu tertutup.

Perlahan Adam membuka mata, terduduk lesu lalu menarik saqila kepelukannya.

"Jangan gitu lagi Sa, Abang takut. Gimana kalau, Sa  tenggelam, gimana kalau, Sa, hanyut, gimana kalau, Sa ninggalin Abang, gimana kalau sa...." Adam tak kuasa melanjutkan ucapannya, ia terisak. Adam melepas pelukan lalu menatap lekat istrinya.
"Ya Alloh, Abang. Qila minta maaf, Qila cuma bercanda tadi, pengen mandi sungai bareng Abang," tukasnya.
"Abang takut kehilangan kamu, apa jadinya Abang tanpa kamu, Saqila," ulas Adam, dua tangannya mendekap pipi istrinya, benar-benar takut kehilangan, berat baginya jika ditinggalkan untuk ke sekian kali oleh orang terkasih.
***

Saqila dan Adam menuju ke saung, mengganti baju mereka yang basah. Sesaat mereka hanya saling tatap, tanpa kata, menyelami hati dan perasaan masing-masing.
Adam membuka ranselnya, mencari handuk kecil.

"Sini, Sa."

Adam meminta Saqila duduk di dekatnya, ia duduk di belakang. Diraih rambut Saqila yang basah, Adam mengeringkannya dengan handuk kecil, lalu menggulungkan handuk di rambut istrinya itu.

Saqila membalik badan. "Abang, Qila minta maaf."
"Abang juga minta maaf, Abang cuma takut kehilangan, Sa," tutur Adam, ia, sedikit mengulas senyum.
"Qila janji nggak gitu lagi."
"Sini, peluk." Adam membuka lebar kedua tangannya.

Saqila menuruti, berhambur ke pelukan Adam, air matanya luruh begitu saja, perasaan yang mengharu biru, sedalam itu perasaan Adam terhadapnya.
Adam meminta Saqila berbaring di ribaannya, punggung ia sandarkan ke tiang saung, kakinya menjuntai ke bawah.

"Jangan terlalu cinta berlebihan, Bang. Qila malah takut," tutur Saqila, ia berbaring miring di paha Adam.
"Kenapa?" Adam bertanya heran, memang perasaanya begitu besar untuk Saqila, ia merasa istrinya lebih berharga dari apapun.
"Qila dengar ceramah Ustadzah, 'manusia akan diuji dengan hal-hal yang mereka cintai'. Jangan sampai Alloh cemburu, melihat Abang mencintai dan mengutamakan mahluk melebihi Alloh. Jadikan Qila cinta kesekian di hidup Abang setelah Alloh dan Rasul-Nya, orang tua yang sudah mendidik dan merawat dan membesarkan, barulah Abang cinta Qila," terang Saqila.

Tangan Adam mengusap kepala Saqila yang masih tertutup handuk. Ia kembali merenung mengingat kejadian masa lalu. Ia seorang yang gila kerja, kadang lupa akan kewajiban sebagai mahluk yang diciptakan sebagai HAMBA, lupa bahwa tugasnya semata hanya untuk beribadah.
Beberapa kali Adam istigfar, Saqila benar-benar jadi pengingat untuknya.

"MasyaAlloh, terima kasih, Sa. Sudah mengingatkan Abang," lirih Adam.

Mungkin benar, dulu ia terlalau mencintai segala sesuatu melebihi kecintaanya kepada Alloh, sebab itulah Alloh mengujinya seberat ini, sebagai pelajaran bahwa hanya Alloh yang harus dicintai melebihi segalanya.
Hatinya kian melunak, ia akan mencintai Saqila diniatkan suatu ibadah.

Matahari berada tepat di ubun-ubun, Saqila mengajak Adam pulang, mereka pun bersiap mengemas barang bawaan, memasukan kembali ke dalam ransel.

"Bang, berhenti sebentar," pinta Saqila, ia menepuk pundak suaminya yang sedang mengemudikan motor.
Adam menepi, menoleh kearah Saqila. "Ada apa, Sa?"
"Qila mau minum air kelapa," sahut Saqila, tangannya menunjuk pohon kelapa yang berdiri di pinggir sawah milik tetangganya.

Mereka bedua turun dari motor, menghampiri pemilik pohon yang sedang bekerja di sawah.

"Pak Sarmin, Qila boleh nggak beli kelapanya?" tanya Saqila pada pemilik pohon, ia mengenali tetangganya.

Pak Sarmin memicingkan mata, menilik-nilik, apakah ia kenal pada orang yang bertanya di hadapannya.

"Ini Saqila, Pak. Anaknya bu Dewi,"  ujar Saqila melihat Pak Sarmin tak mengenalinya.
"Ya Alloh, maaf, Neng. Bapak sampai nggak kenal, pangling. Iya boleh, boleh, mau berapa banyak kelapanya?" tukasnya baru ingat Saqila adalah tetangganya.
"Berapa aja, Pak. Sepuluh juga boleh," sahut Saqila.

Pak Sarmin mendongak melihat pohon kelapa.

"Nggak ada kalo sepuluh."
"Berapa aja adanya, Pak," sahut Saqila.

Pak Sarmin memanjat, mengambil kelapa, hanya ada enam buah kelapa degan. Saqila dan Adam duduk menunggu di bawah pohon rindang tepi sawah.
Kelapa dikupaskan Pak Sarmin untuk Adam dan Saqila, dua kelapa muda sudah siap minum, Pak Sarmin pamit kembali ke sawah, golok sengaja ia tinggalkan, mudah jika Saqila ingin nambah nanti.

"Segernya, ini airnya manis lho, Bang," ucap Saqila.

Adam megambil kelapa yang dipegang Saqila lalu meminumnya.

"Ini punya Qila, punya Abang itu tuh," ucap Saqila memanyunkan bibir ia gunakan untuk menunjuk kelapa milik suaminya.
"Pelit banget, istri Abang," ledek Adam.
"Bukan pelit, nanti Abang jijik minum bekas Qila," tukas Saqila, tak terima disebut pelit.
Adam terkekeh. "Logikanya, Sa. Misal kalau ada suami yang jijik minum dibekas bibir istrinya, harusnya nggak suka dicium. Kalau harus minum langsung dari mulut Sa, sekalipun, Abang nggak jijik," cetus Adam, ia memanyunkan bibirnya.

Saqila menyambut bibir suaminya.
Cup!

"Itu buat seminggu," canda Saqila.
"Hahaha, bisa kelimpungan Abang kalau gitu, biasa sehari banyak kali, ini sekali buat seminggu," tutur Adam terkekeh.

Saqila tersipu, bagaimana ia tak semakin jatuh sayang pada suaminya, Adam selalu bersikap manis dan memanja, apalagi ketika Adam tertawa, terdengar renyah ditelinga, pasti akan sangat Saqila rindukan jika berjauhan.
***

Selesai minum air kelapa, Adam dan Saqila berjalan-jalan di pematang sawah, panas-panasan. Setelah itu mereka pulang menuju rumah Bu Dewi.
Sepanjang jalan tak bosan mereka berceloteh, terutama Adam, menjadikan Saqila tempatnya bercerita.
Segala hal yang terlintas di benaknya ia ceritakan, mengingat dulu Adam menyimpan dan memendam segala rasa di hatinya sendiri tanpa diceritakan pada siapapun, kini semua tercurah pada istrinya.
Mereka sampai di depan rumah Bu Dewi.

"Saqila."

Deg!
Suara itu.
Saqila mematung memandang ke arah suara yang menyebut namanya, jantungnya berdegup kencang.

"Itu siapa, Sa?" tanya Adam.

Saqila tak mampu menjawab, perasaan gelisah dan takut pada reaksi Adam brcampur di kepalanya.

Iwan menghampiri meraih tangan Saqila. "Aku ingin bicara sebentar, Saqila."
Sontak Adam menepis kasar tangan Iwan. "Apa-apan ini, jangan sembarangan sentuh istri orang!" Nada suara Adam cukup lantang.
"Aku hanya ingin bicara dengan kekasihku sebentar," sahut Uwan.
"Kekasih?" Adam menautkan alisnya.

Saqila terbelalak melihat kenekatan Iwan, segera ia tarik tangan Adam masuk ke dalam, lalu mengunci pintu. Saqila dan Adam duduk di kursi ruang tamu.

"Siapa itu, Sa? Kenapa dia bilang kamu kekasihnya?" tanya Adam, wajahnya berubah 180 derajat, hilang keramahannya. Menatap tajam ke arah Saqila.
"Bukan, Bukan seperti itu," sahut Saqila, ia gusar jika penyakit Adam kambuh.

Saqila coba mengatur nafas, perlahan ia menceritakan tentang Iwan dengan gamlang, tak ada yang Saqila tutupi.
Adam terdiam mendengar penjelasan istrinya, kini ia tahu dulu Saqila sanggup menikahinya hanya demi menghindari kekasihnya.

"Apa sekarang, Sa, masih sayang sama dia?" tanya Adam memastikan.
Saqila memggeleng dengan cepat. "Nggak, Qila cuma sayang Abang sekarang." Air matanya mulai tak terbendung, ia sangat takut Adam marah padanya, sedang hatinya sudah sangat bertaut pada lelaki dihadapanya kini.
Adam mengulas senyum. "Syukurlah jika begitu," ucapa Adam.
"Abang nggak marah?"
"Abang nggak bisa marah, terlanjur menghibahkan semua cinta dan kasih sayang untuk, Sa." Ibu jari Adam mengusap bawah mata istrinya.
"Abang udah nggak panik?"
"Berkat istri Abang," sahut Adam, memastikan pada istrinya kalau ia baik-baik saja.

Mereka berdua larut dalam haru, membiarkan Iwan yang masih menggedor pintu.
Bu Dewi turun tangan menghampiri Iwan.

"Pulanglah, Wan. Saqila sudah bahagia, jangan ganggu dia. Kasihanilah Dina dan Erwin yang selalu menunggumu.

Iwan membatu, ia tak terima melihat Saqila bersama laki-laki lain, hatinya sakit. Lunglai ia meninggalkan rumah Bu Dewi.
***

Menjelang sore, Adam mengajak Saqila ke satu tempat. Kejutan yang sudah lama ia siapkan untuk istrinya. Ia membawa Saqila berjalan ke arah satu rumah.
Saqila kenal jalan yang ia lewati kini, ia menatap Adam.

"Kenapa ke sini?"
"Ayo masuk," ajak Adam.

Mobil Adam sudah terparkir di halaman rumah yang luas, rumah Saqila dulu.

"Rumah ini, hadiah untuk, Sa. Hadiah pernikahan dari Abang."

Saqila tercengang, tak mampu mengucap kata sepatah pun. Mereka masuk kedalam. Rumah yang sudah direnovasi dan sedikit dirombak dari bangunan asal. Di cat rapi dengan perpaduan warna kuning dan coklat.
Saqila menginjakan kaki di rumah itu, serasa ia akan bertemu dengan ayahnya di sana. Sedih dan bahagia bercampur jadi satu.

"Kenapa Abang nggak bilang?"
"Kalau bilang-bilang bukan kejutan namanya, Abang cuma bilang akan mengajak, Sa, bulan madu ke satu tempat. Inilah tempatnya, Abang, Muaz dan ibu sudah menyiapkan ini untuk, Sa," jelas Adam.
Saqila tergugu, ia terisak memeluk Adam. "Terima kasih, Abang."
"Sama-sama." Berkali ia kecup puncak kepala istrinya.

Saqila melihat-lihat ke dalam, rumah memiliki empat kamar, ruang tamu cukup besar, ruang makan, ada ruang keluarga dan dapur serta halaman belakang. Semua ruangan masih kosong dan bersih tak ada perabotan. Hanya terpasang satu spring bed di kamar utama, sengaja Adam siapkan untuk mereka menginap.
Saqila bercerita pada Adam tentang ayahnya, tentang rumah ini yang dulu jadi tempat bernaung. Canda tawa bersama saudara-saudaranya, Muaz, Dina dan Riyan.
Tak lupa Saqila hadiahkan alfatihah untuk beliau, mendoakan semoga ayahnya ditempatkan di syurga-Nya.

Adam dengan seksama menyimak cerita masa kecil istrinya dirumah ini, kadang Saqila bercerita sambil tertawa, kadang ia terisak menagis.
Selang berapa lama, Bu Dewi datang membawa rantang berisi masakan.

"Ibu sengaja bawakan ini, makanlah, ini untuk kalian berempat, kalau malam lapar ibu bawakan makanan lagi ke sini, Qila telepon aja ibu," jelas Bu Dewi, ia tahu di rumah ini belum ada kompor atau barang -barang yang bisa dipakai sehari-hari.
"Terima kasih, Bu. Ibu juga sama nggak bilang-bilang soal rumah ini sama Qila," rajuk Saqila.
"Ibu juga baru tahu ketika kalian datang, suami-mu minta ibu rahasiakan ini," sahut Bu Dewi.
"Rumah ini sudah di tebus suami-mu, ia juga membelinya dari ibu dengan harga tinggi, rumah yang ibu tinggal sekarang itu sudah ibu beli, nggak ngontrak lagi," lanjut Bu Dewi menjelaskan.
"Jadi Abang beli rumah ini dengan harga dua kali lipat?" tanya Saqila pada suaminya.
"Itu hadiah buat Ibu, ibunya, Sa, kan ibu Abang juga," sahut Adam.

Berkali-kali Saqila ucapkan terima kasih pada Adam.

"Qila, ibu pulang ya, kalau ada apa-apa yang dibutuhkan telepon aja. Itu, ibu sudah bawakan sabun cuci piring," tutur Bu Dewi agar nanti mudah Saqila mencuci piring bekas mereka makan, lalu pergi dari rumah anaknya.

Masakan yang ibunya berikan ia pisahkan untuk Pak Apin dan Pak Irman, mereka sudah sejak tadi duduk ngopi di belakang.

Selesai makan, Saqila ke dapur menuju wastafel untuk mencuci piring kotor.
Adam menghampiri, berdiri di belakang Saqila, mencuci tangan istrinya lalu mengelap tangan Saqila dengan handuk kering.

"Lho, Qila kan lagi cuci piring?" Saqila tertanya, kenapa tiba-tiba Adam menghentikan aktivitasnya..

Adam tak menjawab, ia mengangkat pinggang perempuan bertubuh mungil itu, di dudukanya Saqila di dekat wastafel.

"Sa, duduk di situ, biar Abang yang cuci piring," sahut Adam, ia melempar senyum, tanganya mulai meraih piring kotor untuk ia cuci.
"Abang co cuit," ucap Saqila manja.

Saqila memerhati Adam yang tengah mencuci piring, sesekali mereka berbalas senyuman. Saqila memanyunkan bibirnya, Adam menyambutnya dengan kecupan manis.

Selesai mencuci piring, Adam mendekat menghadap Saqila, tanganya melingkar dipinggang mungil istrinya yang masih duduk di dekat bak cuci piring. Saqila melingkarkan tangan di leher Adam, melanjutkan beradu bibir yang bukan hanya sekedar kecupan.

"Terima kasih pada ayah dan ibu yang sudah melahirkan dan mendidik, Sa. Hingga Alloh mengamanahkan wanita cantik ini untuk Abang," ucap Adam.

"Terima kasih juga buat Amih dam Apih yang sudah melahirkan Abang dan kini menajadi penjaga Qila," sahut Saqila.
"Abang sayang, Sa."
"Qila juga sayang, Abang."

Kening mereka beradu, sengaja Adam memadukan hidungnya dengan hidung Saqila.

"Qila kedepan dulu, ya, mau siram bunga," cetus Saqila, dengan pipinya yang masih merona merah.
"Iya, Sayang," desah Adam ditelinga Saqila. Ia juga ke kamar harus memeriksa laporan pekerjaan di laptopnya.
***

Saqila berjalan keluar, untuk menyiram bunga. Berkali-kali ia mengucap syukur atas kebahagiaan yang tercurah untuknya.
Tengah asik dengan bunga-bunganya, tiba-tiba tangannya ditarik seseorang. Lagi-lagi ia terbebelalak.

"Iwan?"
"Ikut aku sebentar, Qila. Aku ingin bicara," ajak Iwan, ia menarik kasar tangan Saqila.
"Nggak, Wan. Lepasin!" Saqila menolak, mencoba melepaskan cengkraman tangan Iwan. Namun Iwan menarik paksa tangannya.
"Abang! Tolong!" jerit Saqila sekuat hati memanggil suaminya.

Iwan masih menarik tangan Saqila tanpa ampun.

Buk!
Satu pukulan hinggap di wajah Iwan, Adam menarik saqila dari Iwan dan menyembunyikanya di belakang punggung.

"Sialan, berani ganggu istri orang, pergi brengsek!" bentak Adam pada Iwan.

Iwan menyeringai, mengusap darah yang ke luar dari sudut bibirnya.

"Saqila, aku tahu kamu terpaksa menikah dengan lelaki ini, hanya demi menghindariku, aku tahu kamu juga tak akan bahagia dengan pernikahan yang hanya pura-pura," desis Iwan.

Saqila masih bersembunyi di belakang puggung Adam, dia ketakutan.

"Aku peringatkan baik-baik, pergi dari sini." Suara Adam melunak.
"Jika kamu berani, lawan aku di sana," tantang Iwan menunjuk halaman yang luas untuk mereka bertarung.
"Baik, siapa takut," sahut Adam menerima tantangan Iwan.
"Pak Apin! Pak Irman!" teriak Adam memanggil sopir dan satpamnya.

Keduanya tergopoh menghampiri Adam.

"Tuh, Pak, ada orang ngajak gelud, ladenin, Pak," perintah Adam.
"Ayo, Sayang masuk, kita bikin dedek bayi," ajak Adam pada Saqila, sengaja suara ia tekankan agar di dengar mantan kekasih istrinya. Ia menggandeng tangan Saqila masuk dan mengunci pintu.

Adam dan Saqila duduk di tepi tempat tidur.

"Kamu nggak apa-apa, Sa?" tanya Adam, ia melihat-lihat tangan dan wajah Saqila, khawatir jika ada luka.
"Kenapa Abang nggak hajar aja dia sekalian," gerutu Saqila, ia geram pada Iwan.
"Janganlah, nanti kekasih Sa, itu babak belur, kasihan," usik Adam terkekeh.
"Ih, Abang." Saqila merajuk, ia kesal, Adam menyebut Iwan kekasihnya.
"Buat apa Abang berantem sama dia, Sa. Merebutkan apa? Sa, udah jadi istri Abang, nggak perlu diperebutkan, sudah Abang patenkan lewat hukum dan agama, tanpa bertarung pun dia sudah kalah.
Gini-gini juga Abang dulu panglima perang waktu sekolah, sekarang dah insyaf, perangnya ditempat lain yang lebih asik," tutur Adam, ia mencubit hidung Saqila yang masih merajuk.

Adam mendekatkan wajahnya ke wajah Saqila, ia mengedipkan mata.
Saqila tersenyum, tanpa bicara pun ia sudah tahu kode itu, suaminya ngajak gelud.

==========


Pak Irman menghampiri Iwan yang masih mematung, ia tepuk bahu Iwan.

"Pulanglah, anak muda, jangan datang lagi," ucap pak Irman, meskipun ia adalah pengawal, tetapi tugasnya hanya menjaga keamanan bukan bertarung.

Iwan masih bergeming, ia berpikir akan ditonjok oleh lelaki tinggi besar yang menghampirinya. Malas melayani, ia hanya ingin menghajar laki-laki yang bersama Saqila, marah, kesal dan benci bercampur jadi satu.

"Perempuan itu kekasihku," lirih Iwan, seolah-olah ia ingin memberi tahu pada orang yang ada dihadapannya, bahwa kedatangannya bukan tanpa sebab.
"Aku tidak tahu masalah kalian apa, yang jelas sekarang perempuan itu adalah istri majikanku. Jika kalian pernah punya hubungan masa lalu, sekarang lupakanlah, dia bukan jodoh-mu," tutur pak Irman, ia memberi pengertian pada Iwan.

Berkali-kali Iwan meruntuhkan harga diri dan egonya demi Saqila, perempuan itu tak dapat ia hilangkan dari ingatannya.

[Andai kamu tahu perasaan aku, Saqila. Lihat saja, aku akan mengajarkanmu, apa itu arti kehilangan.]

Iwan berlalu meninggalkan rumah Saqila, mengusap kasar pipi yang mengalirkan air bening, hanya perempuan yang selalu ia cintai itu yang berhasil meluruhkan air matanya. Dia begitu rapuh, hati yang hancur berkeping- keping belum juga terobati, malah semakin parah berdarah-darah.

Iwan pulang ke rumah, masuk ke kamarnya. Duduk di dekat bayinya yang tertidur pulas, ia raih tubuh mungil itu.

"Maafkan ayah, Nak," bisik Iwan, ia memangku bayi berusia enam bulan itu, dicium berkali-kali.
Bagaimanapun anak kecil itu tak berdosa, salahnya yang terlalu melajur amarah hingga sanggup menelantarkan anak yang harus jadi tanggung jawabnya, anehnya ia tak ingin menyerah dengan Saqila.

Dina berdiri di depan pintu kamar, haru bercampur bahagia melihat Iwan mau menggendong bayinya. Baginya itu sudah cukup, meskipun lelaki bertubuh kekar itu tak menginginkanya, asalkan Erwin diakui oleh ayahnya, ia cukup bahagia.
Dina mundur perlahan meninggalkan kamarnya, ia membiarkan suaminya meluapkan kerinduan pada bayi kecilnya.
***

Sudah beberapa bulan Adam dan Saqila menikah, mereka tak pernah membahas soal anak, kali ini Adam memberanikan diri mengungkapkan keinginannya.

"Sa."

Adam membelai rambut Saqila yang terbaring kelelahan dipelukannya. Pergelutan mereka cukup sengit, selalu mengalahkan istrinya.

"Hm," lirih Saqila menyahut.
"Abang pengen punya dedek bayi," ujar Adam.

Saqila sedikit mendorong tubuh suaminya, ia mendongak dan menatapnya.

"Qila juga pengen, Bang," sahut Saqila, ia melengkungkan bibir. Apalagi sekarang suaminya sudah mulai sembuh, ia sama mengharap hadirnya buah cinta diantara mereka.

"Nanti kalau pulang, kita periksa ya," pinta Adam, mengingat mereka berhubungan bukan baru sekali, tapi belum juga ada tanda-tanda istrinya itu hamil, itu berarti ada masalah dari salah satunya.

Adam merasa kendala ada pada dirinya, mengingat cerita Saqila yang pernah memiliki anak, pasti tak ada masalah dengan istrinya.

"Iya, Abang. Qila ikut aja," sahut Saqila.

Saqila bangun, duduk bersandar disandaran springbed, Adam ikut duduk di samping istrinya itu.

"Qila minta, hal ini jangan terlalu jadi pikiran buat Abang, kita hanya perlu ikhtiar dan berusaha, selebihnya itu tugas Alloh." Saqila hanya gusar jika suaminya terlalu berharap, risau jika Adam kecewa jika nanti mereka belum juga di amanahkan seorang anak.

"Iya, Sa."

Mengingat umurnya yang sudah menginjak kepala tiga, Adam mulai merindukan hadirnya malaikat kecil sebagai tanda ikatan cinta mereka. Ia merasa sudah sembuh dan sangat siap menafkahi anak dan istrinya.
Saqila bergegas membersihkan diri, diikuti suaminya, sebentar lagi jelang magrib, mereka harus salat. Setelah selesai salat magrib, Adam menghampiri sopir dan satpamnya.

"Gimana, Pak, jadi berantem sama orang itu?" tanya Adam penasaran.
"Nggak, pak Adam. Dia pulang," sahut pak Irman.
"Syukurlah, nggak perlu repot-repot buang tenaga," tutur Adam. Ia kembali ke kamarnya.

Saqila sedang merapikan rambutnya yang masih lembab, ia lupa tak membawa pengering rambut. Ia mengikat rambutnya lalu meraih kerudung yang terletak di atas tempat tidur.

"Jangan diikat dulu rambutnya, Sa. Masih basah, nanti sakit kepala," cetus Adam, tangannya membuka ikatan rambut Saqila, ia biarkan tergerai dan merapikan rambutnya.
"Iya, Abang." Saqila mengulas senyum, ia senang hal-hal kecil selalu jadi perhatian suaminya.
"Abang lapar ni, kita cari makan, yuk?" ajak Adam.
"Udah lapar lagi? Baru sore tadi makan," sahut Saqila.
"Tenaga Abang habis dipake tempur," canda Adam, ia terkekeh.

Cubitan Saqila hinggap dipinggangnya, ia mengaduh sambil tertawa. Saqila mengiyakan ajakan Adam, menunggu sampai rambutnya agak kering.

"Kita ke rumah ibu aja, ya? Atau beli bubur kacang, dulu jelang sore ada warga yang jualan sekitar kampung, mana tahu sekarang masih jualan, nanti kita mampir," ajak Saqila.
"Mm, baiklah tuan putri." Adam tersenyum, ia sangat suka menggoda istrinya yang malu-malu harimau ketika diusik olehnya.
"Kalau Qila tuan putri, berarti Abang pangerannya donk."
"Emang iya, pangeran cinta." Adam tergelak, makin gencar ia melemparkan rayuan pada istrinya.

Saqila dan Adam pamit pada sopir dan satpamnya, mereka niatnya akan ke rumah bu Dewi, tetapi terserah istrinya saja yang katanya ingin mencari bubur kacang, cocok dinikmati di cuaca dingin begini.
Sepanjang jalan, mereka saling bergandengan.

"Sini, pakai jaketnya, Sa. Angin malam nggak baik untuk kesehatan," ulas Adam memakaikan jaket yang ia bawa pada Saqila, Adam khawatir jika istrinya masuk angin.

Adam menghirup udara malam di kampung Saqila, dingin dan menyegarkan, ditemani cahaya bulan dan bintang sebagai perhiasan malam, baru kali ini ia jalan malam didampingi seorang perempuan yang menjadi belahan hatinya.
Mereka pun sampai di tempat yang diceritakan, Saqila. Ternyata kedai itu masih beroperasi, mereka menghampiri untuk memesan.

"Bi Nimah, pesen bubur kacangnya dua porsi ya," pesan Saqila.

Perempuan paruh baya itu menatap Saqila, antara kenal tapi tak ingat siapa dan di mana.

"Ini Qila, Bi." Saqila mengasongkan tangan ketika melihat kening wanita paruh baya itu berkerut menatap ke arahnya.
"Saqila anaknya bu Dewi?" Mata perempuan itu membesar, mengingat-ngingat.
"Iya."
"Sekarang tinggal di mana? duh ... makin cantik aja kamu Qila," puji bi Nimah.
"Ikut suami, Bi."
"Itu suami-mu? Kayak bukan yang waktu itu ah, ini mah tinggi kurus," komentar bi Nimah, ia tahunya Saqila masih dengan Wahyu.
"Bukan, Bi. Lain lagi," jawab Saqila tersenyum.
"Jadi sekarang udah dua kali nikah?" tanya bi Nimah terbelalak.

Saqila hanya angguk.

"Kalau orang cantik mah gampang ya, baru cerai udah dapat jodoh lagi, ini saya yang udah bulukkan menjanda nggak ada yang meminang juga," gerutu bi Nimah, ia cemburu pada perempuan muda dan cantik di hadapannya.
"Belum aja, Bi. Jika sudah waktunya pasti nikah juga." Mereka berdua tersenyum.

Bubur pesanan sudah jadi, bi Nimah menghidangkannya di meja yang sudah ditunggu Adam.
Mata Adam melihat sekeliling, semua yang duduk di kedai tersebut rata-rata laki-laki, untuk mengobrol sambil ngopi. Ada pemandangan yang Adam kurang suka, semua mata lelaki yang berada di sana,  pandangannya tertuju pada istrinya. Tiba-tiba selera makannya hilang, ia bangkit mengajak Saqila pulang.

"Lho, kan buburnya belum habis, Bang?" tegur Saqila yang masih menyuap buburnya yang baru beberapa suap ia makan.

Adam tak perduli, segera ia membayar bubur tanpa meminta kembalian, langsung saja digandeng tangan istrinya ke luar dari kedai tersebut.

"Ih, Abang kenapa? Tadi katanya lapar," rengut Saqila yang merasa sikap Adam berubah aneh.
"Nggak jadi, udah kenyang, nanti kalau ke luar rumah, Sa, pake cadar aja, biar nggak dipandang orang," ketus Adam, ia tak terima istrinya jadi bahan tatapan orang banyak.

Saqila tergelak, ternyata suaminya cemburu, baru kali ini ia melihat Adam sekesal itu.

"Kita ke rumah ibu," ajak Saqila.
"Nggak usah." Adam masih ketus.
"Ya udah, pulang aja, Qila juga kenyang kok, kalau lapar nanti malam tinggal makan Abang aja," usik Saqila. Ternyata seperti itu kalau Adam cemburu.

Baru terasa pacaran setelah menikah itu ternyata begitu indah, Saqila juga bukan jenis perempuan yang suka gontok-gontokan menagih hak kebebasan sebagai istri, ia akan patuh selagi perintah suaminya itu tak melanggar hukum dan ketetapan Alloh.

Mereka sampai di rumah, di sana sudah ada tamu yang menunggu.

"Kak Dina?"
"Iya, Qila," sahut Dina, ia memeluk adiknya yang baru ditemuinya hari ini.
"Kamu apa kabar, Qila?" tanya Dina kemudian.
"Alhamdulillah, Kak. Qila sehat, sama siapa ke sini? Terus bayi kakak sama siapa?" tanya Saqila basa-basi.
"Aku sendiri, sengaja kangen pengen ketemu kamu, Erwin sama bu Laras," jawab Dina.
"Ini Bang Adam, suamiku, Kak." Saqila mengenalkan suaminya.

Adam dan Dina bersalaman, kemudian suaminya itu berlalu minta diri, sengaja memberi privasi untuk kakak beradik itu melepas rindu.

"Aku datang ke sini untuk minta maaf sekaligus berterima kasih sama kamu, Saqila," ucap Dina mengawali pembicaraannya.
"Kenapa minta maaf, Kak?" tanya Saqila.
"Aku yang menghubungi Iwan, aku bilang kalau kamu ada di sini, makanya dia pulang, aku minta maaf mungkin dia membuat kekacauan, tapi aku berterima kasih, atas kedatanganmu, Iwan mau pulang dan mengakui anaknya, Qila. Aku lihat Iwan memeluk dan mencium Erwin untuk pertama kali, aku bener-benar bahagia," tutur Dina, matanya berkaca-kaca.

Saqila tertegun, entah dia harus menyahut apa, haruskah marah karena Iwan cukup mengganggu hidupnya, apakah harus bahagia Iwan bisa bertemu anaknya, ia hanya mematung.
Saqila menghela nafas panjang.

"Ya sudah, Kak. Qila cuma bisa doakan semoga rumah tangga kakak dan Iwan baik-baik saja," cetus Saqila, bingung harus bicara apa.

Jika harus jujur, ia cukup kesal dengan sikap Dina yang kadang tak pernah berpikir panjang sebelum bertindak.
Dina menangis sesegukan, ia ingin melepas segala beban di hatinya. Hanya pada Saqila ia bisa menceritakan masalah hidupnya. Ia tak tahu harus bersandar pada siapa.
Saqila memeluk kakaknya, mencoba menenangkan, ia pun turut bersedih.
Setelah beberapa lama Dina bercerita melepas rindu pada adiknya, ia pamit pulang. Saqila mengantarnya hingga depan pintu, hanya doa yang Saqila iringkan untuk kakaknya.

Selesai salat isya, Saqila dan Adam berbaring di tempat tidur, sedikit bersembang bercerita tentang Dina tadi.
Adam berbaring miring mendengarkan celotehan istrinya, ia mengusap pipi Saqila, istrinya itu begitu sabar, dihianati kakak sendiri tapi masih memaafkan, tiada dendam. Jika hal itu terjadi pada Adam, mungkin ia tak sudi untuk bertemu dengan kakaknya, tak peduli saudara atau pun bukan.

Begitulah Saqila, yang tak pernah menyimpan dendam. Istrinya itu menghentikan ceritanya, ia tertidur pulas. Adam masih menatapnya, bersyukur tiada henti sudah diamanahkan perempuan yang tak pernah ia hayalkan sebelumnya.
Jika ia tak mengalami kecelakaan, apa mungkin ia akan dipertemukan dengan pujaan hatinya itu? Segala sesuatu pasti ada hikmah dan ibrahnya, jika kita pandai bersyukur.
***

Seminggu sudah Adam dan Saqila berlibur di kampung. Mereka harus pulang, Adam harus kembali bekerja, setelah kesehatannya pulih, banyak pekerjaan menanti yang harus ia ambil alih. Sekarang Adam adalah kepala keluarga, yang harus memberi nafkah pada istrinya, selama ini ia hanya mengandalkan ayahnya.

Sebelum pulang, Saqila mengajak Adam ziarah ke makam ayahnya dan Nisa anaknya, Adam manut saja.
Di pemakaman, Saqila bertemu dengan bu Asih dan Wahyu yang kebetulan habis berziarah ke makam pak Hilman almarhum suami bu Asih.
Mereka tertegun bisa dipertemukan kembali setelah sekian lama tak pernah bersua.
Ada yang bergejolak di dada Wahyu, melihat tangan Saqila saling genggam dengan laki-laki lain, ia tahu jika Saqila kini sudah menikah, mantan istrinya itu sendiri yang mengabarkan tentang pernikahannya ketika terakhir kali mereka bertemu di pemakaman ini.

"Apa kabar, Bu?" sapa Saqila ramah, tak ada dendam maupun marah. Ia meraih tangan bu Asih dan mencium tangannya.

Bu Asih terenyuh, tak menyangka Saqila sebaik itu padanya, padahal sikapnya dulu sangat judes pada menantunya itu.

"Alhamdulillah baik, Saqila, kamu sendiri gimana kabarnya?" sahut bu Asih, ia menatap perempuan yang pernah menjadi menantunya, sekarang kulitnya bersih, tak kumal seperti masih bersama anaknya dulu. Tubuh Saqila sekarang agak berisi tak seprti dulu, kurus.

"Qila juga alhamdulillah baik, Bu. Ini suami Qila," sahut Saqila sembari mengenalkan Adam pada bu Asih.

Bu Asih dan Adam saling mengangguk, sementara Wahyu masih terdiam mencuri pandang ke arah mantan istrinya. Adam yang menyadari hal itu, segera pundak Saqila ditarik dirapatkan ke sampingnya.

Wahyu tertunduk, ia sadar Saqila kini sudah menjadi istri orang dan mantan istrinya itu terlihat sangat bahagia bergandengan tangan dengan suami barunya. Setelah berbasa-basi, bu Asih dan Wahyu pamit pulang.
Saqila dan Adam melanjutkan berziarah.

"Siapa tadi, Sa?" tanya Adam penasaran.
"Itu mertua sama mantan suami," jawab Saqila santai, sambil berjalan menuju arah jalan pulang.
"Ganteng juga mantan suaminya," celetuk Adam, agak berat ia memuji.
"Emang ganteng."

Adam menoleh dan menghentikan langkah mendengar Saqila memuji mantan suaminya itu di hadapannya.

"Tapi Qila nggak cinta," lanjut Saqila kemudian, ia menggandeng mesra tangan Adam yang sudah terlihat kesal.
"Lebih ganteng lagi Abang, Qila cinta pula," sambung Saqila, ia menyandarkan kepala di lengan Adam yang ia gandeng.

Ingin marah pun tak jadi mendengar rayuan istrinya, akhirnya Adam tersenyum lebar.
***

Rumah di kampung mereka tinggalkan, pamit pulang kembali ke ibu kota. Rumah itu akan mereka jadikan tempat peristirahatan, sesekali akan mereka kunjungi jika tak sibuk di kota.
Semua barang bawaan kembali dikemas, dan diletakan di bagasi. Mereka menaiki mobil yang sudah siap meluncur, mobil melaju meninggalkan kampung halaman Saqila, kenangan bulan madu yang indah tertinggal di sana.
Adam membaringkan kepalanya di ribaan Saqila di kursi belakang, ia menarik kepala istrinya itu ke arah wajahnya, sambil memanyunkan bibir. Saqila berkali-kaki menolak mencubit suaminya.

"Jangan, Abang. Inget ini di mana, malu tuh sama pak Apin dan pak Irman," bisik Saqila, ketika lehernya ditarik didekatkan dengan wajah suaminya, bukan tak suka dengan tingkah Adam, tapi harus tahu waktu dan tempat juga.

"Nggak peduli, mereka pasti ngerti kok," bisik Adam.

Tak ada pilihan lain, Saqila menggelitik Adam sampai ia terpingkal mohon ampun, tapi tetap saja Adam menggodanya. Mengambil jaket lalu menutup kepala mereka berdua, sembunyi dari sopir dan satpamnya, sekedar ingin mencium bibir istrinya itu.

Sepanjang perjalanan, Adam dan Saqila riuh bercanda di dalam mobil, seperti anak kecil yang berebut mainan, begitu bising dengan canda tawa.

Pak Apin dan Pak Irman hanya geleng-geleng saja memerhati dua sejoli itu. Mereka mengerti majikannya sedang dimabuk cinta, apalagi Adam yang sudah lama sakit, Saqila seperti pembawa semangat dalam hidup majikannya itu. Mereka hanya fokus ke depan, tak mempedulikan keasikan canda tawa Saqila dan Adam.
***

Sesampainya di rumah, mereka beristirahat, Adam dan Saqila tertidur kelelahan.

Hari minggu seperti biasa, keluarga pak Praja berkumpul bersama. Adam menceritakan tentang niatnya ingin ikut program kehamilan untuk Saqila. Tentu hal itu disambut gembira oleh semua, terutama bu Wening yang sudah dari awal menantikan cucu dari Adam dan Saqila.
Adam dan Saqila mulai memeriksakan diri sesuai arahan Elya. Mereka akan diberi tahu jika hasilnya sudah keluar.

Berselang beberapa hari, hasil pemeriksaan Adam dan Saqila sudah bisa diambil. Elya sendiri yang datang mengantarkan surat tersebut.

"Bang Adam belum pulang kerja, Mih? tanya Elya. Ia menyodorkan hasil pemeriksaan pada ibunya.
"Gimana hasilnya, El?" tanya abu Wening ingin tahu.
"Hasilnya bagus, nggak ada masalah sama keduanya. Cuma aku pesen, Bang Adam jangan terlalu ditekan atau ditanya-tanya jika Saqila belum hamil juga, biarlah semua berjalan sesuai proses. Aku takut malah Bang Adam jadi tertekan lagi." Elya menjelaskan.
"Masa amih mau maksa, yang penting kan kita sudah berusaha dan berdoa, hasilnya kita serahkan
sama Alloh," sahut bu Wening, ia cukup mengerti kondisi anaknya.
***

Di kantor Adam mendapat laporan, beberapa bulan ke belakang dana perusahaan sengaja dipotong oleh asisten pribadinya, entah untuk apa, tak ada laporan dari Tiyo.
Menurut informasi yang Adam dapat, Tiyo sengaja menggunakannya untuk kebutuhan pribadi, meskipun tak sampai merugikan perusahaan, tapi hal itu tak seharusnya Tiyo lakulan.
Selama ini Adam mempercayakan penuh masalah pekerjaan pada sahabatnya itu. Jika dipikirkan, gaji Tiyo cukup lumayan, Adam juga memberikan tunjangan dan fasilitas kantor, serta mobil kantor yang bebas ia gunakan.
Adam merasa tak habis pikir pada sahabatnya itu, ia menimbang-nimbang apakah harus melaporkan Tiyo pada ayahnya. Tangan Adam memegang ball point yang diketuk-ketuk di atas meja. Tiba-tiba pintu ruangannya di ketuk.

"Masuk," sahut Adam.
"Pak, ada yang ingin bertemu, katanya penting," ucap seorang pegawai di kantor Adam.
"Suruh masuk," sahut Adam.

Seorang perempuan berambut pendek, menggunakan rok selutut masuk ke ruangan Adam. Mereka sudah saling kenal.

"Apa kabar, Dam?" sapa Desi istri Tiyo.
"Baik, Des. Kamu sendiri apa kabar?" tanya Adam balik.

Mereka sedikit berbasa-basi, sebenarnya mereka tak terlalu akrab, Adam hanya tahu sedikit tentang Desi dari Tiyo dan hanya pernah beberapa kali bertemu, tetapi Adam tetap menghormati kedatangan wanita itu ke kantornya.

"Kamu datang kesini, apa nggak dikasih tahu kalo Tiyo bertemu client di luar kota?"
"Justru karena aku tahu Tiyo nggak di kantor, makannya aku ke sini. Aku mau melibatkan kamu dalam satu hal, Dam, aku harap kamu punya jawabannya dan bisa membantu, karena kamu sahabat  Tiyo," terang Desi.
"Kamu kenal siapa perempuan yang ada di foto ini?" tanya Desi kemudian, ia menyodorkan gawainya.

Deg!
Bukan hanya kenal, bahkan pernah dekat, tetapi Adam harus tahu dulu maksud kedatangan Desi memberitahu tentang foto Tiyo dan seorang gadis itu padanya.

"Mm ... mungkin saja itu salah satu client kami," sahut Adam beralasan.
"Nggak mungkin client, soalnya mereka sering chek-in hotel," cetus Desi.

Salah seorang teman Desi, bekerja di hotel. Awal melihat Tiyo chek-in bersama seorang gadis, di hotel tempat temannya bekerja.
Awalnya teman Desi itu masih belum ngeuh kalau itu Tiyo, lama-lama dia rasa kenal pada lelaki itu, lalu teman Desi mengirimkan foto menanyakan apakah lelaki yang ada di foto itu suaminya.
Ternyata benar itu adalah Tiyo suami Desi dan yang lebih mengejutkan lagi, Desi dapat kabar bahwa perempuan itu pacar Tiyo sejak dari jaman kuliah dan melanjutkan hubungan mereka hingga sekarang. Padahal Tiyo sudah menikah dengan Desi.
Adam mematung mendengar penjelasan Desi, ia menghela nafas panjang.

"Gini, Des. Aku nggak tahu apa-apa soal Tiyo, kamu tahu dulu aku sakit dan aku menjadikan dia kaki tanganku, tetapi untuk urusan pribadi, aku nggak tahu menahu," tutur Adam, ia memang tak tahu tentang urusan sahabatnya itu, meskipun ia tahu siapa gadis yang ada di dalam foto bersama Tiyo, ia belum bisa memberitahu pada Desi.

"Baiklah, Dam. Terima kasih atas waktunya, kalau ada apa-apa informasi tentang perempuan itu, jangan lupa kabari aku, aku juga akan mencari tahu dengan caraku," pinta Desi, ia pamit undur diri.
Hening.

Ada sesuatu yang merasuk di hati Adam, rasanya pedih, sakit menghujam dada jika mengingat ia pernah dibuang oleh perempuan itu dulu. Perempuan yang di foto bersama Tiyo adalah mantan tunangannya, Aline.
Yang menjadi pertanyaan bagi Adam adalah pernyataan Desi, istri Tiyo itu mengatakan bahwa Tiyo dan Aline sudah pacaran sejak mereka kuliah.
Lalu ... maksud Tiyo dulu mengenalkan Aline dengannya hingga mereka bertunangan dan hampir menikah. Apa maksudnya semua itu?

Bersambung #14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER