Bayangan masa lalu hadir kembali di benak Adam. Teringat Aline yang pernah mengisi hidupnya. Ah, kini dia sadar, ternyata hanya sebagai gudang uang bagi perempuan itu, apalagi kala itu ia sakit, mana mungkin perempuan seperti Aline mendekatinya tanpa tujuan.
Tiyo orang yang sangat Adam percaya, sahabatnya sendiri tetapi sanggup merencanakan hal gila. Setelah adam mengangkatnya dari jurang nista. Pemabuk dan tukang judi, bisnisnya bangkrut dan orang tua yang bercerai berai. Dikejar debt kolektor, bisa di kata hidupnya tak beraturan, hingga ia dipertemukan dengan Adam, sahabat lamanya.
Adam mengangkat derajatnya dengan mempekerjakan di perusahaan besar milik pak Praja ayahnya, hingga satu hari Adam mengalami kecelakaan, semua tugas di pasrahkan pada sahabatnya itu.
Sungguh tak habis pikir, hubungan yang terjalin di antara mereka, Tiyo menyelipkan kecurangan, memanfaatkan kecacatan sebagai kelemahan Adam, menjebak dengan kekasihnya sendiri demi mengeruk kebahagiaan berlebih.
Adam harus melakukan pembalasan untuk kedua mahluk itu. Ia menarik nafas panjang, berkali-kali ia embuskan. Sudah tak konsentrasi jika harus melanjutkan pekerjaan hari ini, ia harus pulang. Penawar lelah dan obat penenangnya ada di rumah. Ya, Saqila jadi obat satu-satunya, ia lunglai meninggalkan kantor.
Sampainya di rumah, Saqila menyambut di depan pintu dengan senyuman dan dandanan rapi, sengaja menunggu suaminya pulang. Lelahnya sirna, ia berhambur ke pelukan Saqila.
"Abang mau makan dulu, mandi dulu atau istirahat dulu?" tanya Saqila, di kamar mereka, tanganya membukakan dasi suaminya, membuka jas dan kancing kemeja.
Adam menarik Saqila kepelukan, seperti biasa hanya dengan begitu hatinya tenang. Saqila sudah maklum, bahkan hal itu selalu ia nantikan, pelukan hangat suaminya yang ia rindukan.
"Abang mau Sa dulu," bisik Adam.
"Nggak cape gitu." Saqila balas berbisik sembari menabur senyum.
Tak menjawab ucapan istrinya, Adam hanya ingin melepas segala kesal dan lelah di pikirannya, melupakan semua masalah di kantornya tadi.
"Abang kangen, Sa," desah Adam dengan nafas tersengal, ia meluapkan segala hasratnya yang membuncah.
Jika dibandingkan dengan Theana dan Aline, Saqila memang kalah saing. Meskipun Saqila memiliki paras yang cantik, ia tak pandai memoles diri, hingga wajahnya lebih sering terlihat alami. Namun, kelebihan Saqila sebagai penawar segala bagi Adam dan cinta kasih yang tulus atas segala kekurangannya, yang tak dimiliki Theana maupun Aline.
Selesai membersihkan diri, Saqila duduk di depan cermin meja rias. Sedikit menempelkan bedak di pipi. Tak terasa sikutnya menggeser dompet Adam yang di letakan di sisi meja rias hingga terjatuh ke lantai. Saqila meraih dompet itu, iseng ia buka. Di sana terpampang satu foto diacara ijab qobul dulu, Adam sedang menyarungkan cincin ke jemarinya, wajah lelaki bertubuh kurus itu terlihat tegang.
Saqila tersenyum menyentuh bibir, entah siapa yang mengambil gambar tersebut kala itu. Tangan Saqila menarik kartu identitas diri suaminya.
"M. Adam Dienzy Adinegoro," gumam Saqila membaca nama suaminya yang tertera di kartu indentitas tersebut.
"Ini nama udah kayak jalan kereta aja, satu nama cukup untuk empat orang," gumam Saqila lagi, ia sedikit cekikikkan sendiri.
Terdengar pintu kamar mandi dibuka, Saqila kembali meletakan dompet Adam di tempat asal.
"Bayangin apa itu senyum-senyum sendiri?" tegur Adam, ke luar dari kamar mandi disuguhi cengiran istrinya.
"Nggak apa-apa," sahut Saqila, tangannya kembali pada bedak dan lipstik berwarna pink muda.
Adam lewat di belakang Saqila, mengecup puncak kepala istrinya itu, melukis sedikit senyum dari pantulan cermin, ia berlalu ke ruang ganti.
"Abang."
"Hm."
Adam duduk di kasur, menyandarkan punggung di kepala tempat tidur.
"Qila jatuh cinta pada satu nama," ucap Saqila, ia menghampiri Adam dan duduk di hadapan suaminya itu.
"Siapa? Bang Adam yang ganteng ya," sahut Adam percaya diri, ia menyunggingkan bibir.
"Bukan."
"Terus, siapa?" tanya Adam, hatinya mulai panas, ia menegakan duduknya menatap Saqila, menanti jawaban.
"Abang Dienzy," usik Saqila.
Adam tersenyum. "Ah, kirain orang lain, udah mau cari tahu orangnya, terus Abang tabok," ucap Adam terkekeh.
Istrinya itu memang suka membuat Adam terkena jebakan batman, sudah gusar jika ada orang lain yang dicintai Saqila.
"Dienzy apa artinya, Bang?" tanya Saqila ingin tahu.
"Itu perpaduan nama kakek dan nenek Abang, Dien itu diambil dari nama kakek, Safrudien dan zy diambil dari nama nenek puziyanti," jawab Adam.
"Mulai sekarang, Qila panggil Abang dengan sebutan Abang Dienzy ya." Saqila melengkungkan bibir.
"Iya sayang, apalah arti sebuah nama, yang penting itu siapa yang manggil, dipanggil apa aja sama Sa, Abang seneng kok," goda Adam, sambil menjawil dagu Saqila.
"Kalau gitu Qila panggil aja 'Abang jelek'. Yey abang jelek."
Adam mendelik. Saqila terbahak gemas.
"Apa saja, yang penting istri abang bahagia," tutur Adam, menautkan jemarinya di lima jari Saqila.
"Abang jelek," ucap Saqila.
Adam hanya tertawa, istrinya itu benar-benar penawar lelahnya.
"Sa."
"Iya."
"Besok kita ke mall, shoping, mau nggak?" ajak Adam.
"Beli baju?" tanya Saqila.
"Apa aja yang Sa mau," sahut Adam, ia kembali menyandarkan punggung di ranjangnya.
"Nggak usah deh, baju Qila sesak-sesakkan di lemari," cetus Saqila.
"Kata ustadzah, setiap barang yang kita punya bisa jadi hisab, jika tak dipakai atau digunakan dengan baik, baju Qila udah banyak banget, Abang sama Amih belikan," sambung Saqila kemudian.
"Dulu waktu kecil, guru ngaji Qila pernah bercerita tentang kisah si miskin yang selama hidupnya hanya memiliki kapak untuk mencari nafkah. Ada si kaya mati, lalu diadakan sayembara, siapa yang mau menemani si mati dikubur bersebelahan yang di beri lubang nafas, akan di ganjar dengan imbalan yang cukup besar.
Si miskin menyanggupi, dia sudah lelah hidup susah. Di hari pertama, malaikat datang menanyai si mati, tetapi yang ditanya malah si miskin yang masih hidup. Ia ditanya perihal kapak tersebut, hingga hari ke 40, pertanyaan tentang satu kapaknya itu belum juga selesai, malaikat terus menanyainya dari mana dan digunakan untuk apa kapaknya itu.
Si miskin jera, ia menyerah lalu naik dari lubang kubur tersebut, kapaknya ia buang. Kapak yang menjadi harta satu-satunya, ternyata menjadi pertanyaan yang panjang dan tak kunjung selesai. Itu baru satu kapak? Gimana dengan si kaya yang melimpah hartanya itu? Mau berapa lama dia di tanyai?
Intinya dari cerita guru ngaji Qila itu, setiap yang kita punya akan dipertanggung jawabkan kelak, Qila nggak mau beli yang nggak bermanfaat menumpuk barang hingga tak terpakai, baju Qila udah banyak, pake yang ada aja, malah yang nggak kepake mau Qila hibahkan sebagian ke panti," terang Saqila panjang lebar.
"MasyaAlloh, super sekali istri Abang ini," ulas Adam, ia kecup kening Saqila.
Istrinya memang bukan lulusan pesantren yang selalu berkutat dengan dalil dan hadist, tetapi setiap ucapanya terasa menyejukan, di sampaikan dengan bahasa santai tanpa menghakimi. Adam memeluknya erat.
"Abang sayang, Sa."
"Qila juga, sayang Abang Dienzy jelek," sahut Saqila yang masih dipelukan suaminya.
Adam tersenyum.
***
Sudah menjadi kebiasaan, setiap Sabtu sore rumah pak Praja di ramaikan anak cucu dan menantu. Hal yang sangat dinanti oleh pasangan paruh baya itu, menghabiskan sisa usianya untuk menunggu kebersamaan di sela-sela kesibukan anak menantunya.
Keriuhan cucu-cucunya meramaikan rumah, selalu bu Wening dan pak Praja rindukan. Agus, Yuda dan pak Praja berbincang sambil ngopi di teras belakang, sementara bu Wening, Elya dan Lena di ruang keluarga bersama anak-anaknya menonton acara televisi sambil bercengkerama.
Adam ikut menghampiri mereka, duduk di sofa. Saqila mengekor hendak duduk di samping suaminya. Adam menarik Saqila duduk di pangkuan, memeluk pinggang Saqila, menyandarkan dagu di pundak perempuan berparas manis itu.
Saqila menolak minta duduk di sofa sebelah Adam.
"Malu, Abang," ujar Saqila.
"Malu sama siapa? biarin aja," jawab Adam masih tak melepas Saqila dari pangkuannya.
Bu Wening hanya geleng-geleng, melihat lagu anaknya. Ia sangat mengerti dan tak mempermasalahkan kemesraan anak dan menantunya itu, mengingat Adam dulu yang kehilangan semangat hidup, ia lebih senang dengan sikap Adam sekarang.
"Mas Agus mana ya, pengen juga aku duduk dipangkuannya," sindir Elya, kepalanya clingukan mencari suaminya.
"Sirik aja," celetuk Adam pada adiknya, tangannya masih memeluk erat Saqila yang duduk dipangkuannya.
Elya, Lena dan ibunya terkekeh. Saqila tersipu, ia mencubit lengan suaminya.
"Aku mau kasih tahu tentang program hamil yang sudah kita rencanakan, Bang Adam dan Saqila nggak bermasalah sama kesuburan, semua normal. Tinggal jalani prosesnya, jadi bisa melakukan program hamil seperti biasa saja," tutur Elya.
Bu Wening, Saqila, Lena dan Adam cukup menyimak.
"Pertama rutin melakukan hubungan suami istri terutama di masa subur," tambah Elya lagi.
"Qila nggak tahu kapan masa subur dan nggak subur," sahut Saqila.
"Soal itu nanti aku jelaskan detile-nya gimana, aku bantu catat juga." Elya menjawab ulasan Saqila.
"Kedua, makan makanan bergizi tinggi, karbohidrat, protein dan lemak harus di konsumsi dengan seimbang. Jangan makan junk food, atau kurangilah kalau masih doyan. Nabung asam folat juga untuk kesiapan janin nanti, konsumsi makanan atau suplemen yang mengandung asam folat.
Ketiga, rutin olah raga ringan, untuk Saqila bisa yoga, berenang atau jalan kaki keliling komplek juga nggak apa-apa, jangan olah raga berat.
Ke empat, ini untuk kalian berdua, jangan mudah stress, tenangkan pikiran, tentunya dukungan dari keluarga juga penting. Aku sama Amih dan kita semua pastilah sangat mendukung.
Segitu aja dulu, nanti kalau ada yang mau di tanyakan boleh hubungi aku, selamat berproses dan semoga berhasil," pungkas Elya. Sebagai dokter Obgyn ia akan mambantu memantau program kehamilan Saqila dan kakaknya.
"Kalau amih lebih fokus ke yang pertama aja, nanti amih rutin bikinin jamu," seloroh bu Wening.
"Jamu?" tanya Adam dan Saqila serentak, mereka saling tatap, teringat lagi tentang jamu waktu itu, Adam dan Saqila tertawa.
***
Beberapa bulan yang lalu, Aline kembali gencar menemui pak Praja, entah itu di kantor atau sengaja meminta bertemu di tempat lain. Ia ingin mendapatkan kembali perhatian dari mantan calon mertuanya itu agar hubungannya dan Adam kembali direstui.
"Om sudah bilang, Adam sudah menikah dan bahagia, jadi sekarang Om minta, lupakan anak Om," pinta pak Praja ketika diminta bertemu Aline di sebuah cafe.
"Apa Om tahu, Saqila itu siapa? Dia itu pembantu Om, babu, nggak berpendidikan, gimana kalau saudara dan kerabat Om tahu tentang hal itu, apa nggak malu?" tanya Aline mulai memanasi lelaki paruh baya itu.
"Kenapa harus malu, Saqila sudah jadi pilihan Adam, kecuali kalau Adam sendiri menolak, Om nggak bisa paksa," ulas pak Praja masih bersikap tenang, meskipun ia cukup kesal pada perempuan yang pernah menjadi tunangan anaknya dulu dan pernah mengatakan langsung di depan wajahnya kalau Adam tak waras.
"Adam itu cerdas, tampan, mapan, harusnya punya istri yang setaraf dengannya Om, bukan seperti Saqila," cetus Aline, masih berusaha meyakinkan pak Praja.
"Nggak masalah siapa pun yang jadi istrinya, Om nggak harus malu jika itu juga pilihan Adam, Om lebih malu jika Adam punya istri yang tak berahlak," celetuk pak Praja.
Panas dada Aline mendengar ucapan laki-laki tua itu. Kelihatan dari gelagat pak Praja tak ada harapan untuk Aline, ia mulai merencanakan akan mendekati Adam pelan-pelan.
Itu semua ia lakukan untuk masa depannya dengan Tiyo sesuai rencana mereka, Aline harus bisa menikah dengan Adam, setidaknya nanti Aline punya hak atas harta keluarga Adinegoro dan perlahan mengurasnya.
Tiyo adalah pacar Aline di waktu kuliah dulu, ia sangat mencintai laki-laki itu, hingga mereka berpisah tanpa kabar. Kembali dipertemukan setelah Tiyo sukses bekerja di perusahhan besar milik pak Praja, mereka pun kembali merajut kasih.
Ternyata sekian lama mereka berpisah dan tak bertemu, Tiyo memiliki kebiasan yang buruk, berjudi dan mabuk-mabukkan. Tiyo barkata jujur pada Aline kalau dia banyak hutang akibat kebangkrutan bisnisnya, tetapi cinta Aline yang buta, menutupi semua kesalahan dan menerima Tiyo.
Tiyo dipertemukan dengan anak rekan bisnisnya yang bernama Desi dan meminta izin pada Aline untuk menikahi gadis itu dengan alasan hanya memanfaatkan untuk membayar semua hutang-hutangnya.
Awalnya Aline tak terima, setelah dibujuk berkali-kali, ia akur juga dan masih melanjutkan hubungan mereka diam-diam. Tiyo sendiri mengatur siasat agar Aline bisa dekat dengan Adam yang sedang sakit, Aline ia jadikan umpan, sebagai obat penyembuh untuk Adam, seolah-olah ia adalah pahlawan di hidup Adam.
Namun menjelang tiga bulan ke acara pernikahan mereka, Aline mendapat kabar kalau Tiyo akan segera menceraikan istrinya. Ia pun merasa tak nyaman harus menikah dengan laki-laki yang tak ia cintai dan menurutnya cacat juga setengah gila lalu memutuskan pertunangan dengan Adam.
Tiyo sedikit kecewa dengan tindakan Aline yang dinilainya terburu-buru dan kini mereka kembali merencanakan sesuatu untuk mendekati kembali ATM berjalaan mereka.
***
Minggu pagi semua berkumpul untuk sarapan, hari ini Saqila tak membantu bi Ijah di dapur, badannya kurang sehat.
"Saqila mana, Bang. Kok nggak diajak sarapan?" tanya Lena.
"Masih di kamar, tadi dia ngeluh pusing," sahut Adam.
Saqila ke luar kamar, tampak lesu dan hidung merah, ia pilek.
"Saqi, kamu sakit?" tanya bu Wening melihat menantunya tampak lemah.
"Iya, Mih. Qila pilek, hari ini nggak ikut kepengajian, nggak enak badan," jawab Saqila.
"Keramas mulu paling, jadi pilek," usik Elya, ia sangat suka menggoda kakak dan kakak iparnya.
"Iya nih, gara-gara Bang Adam, Qila jadi keramas tiap hari," celetuk Saqila, ia tak terlalu sadar dengan yang diucapkannya.
Sontak semua yang berada di meja makan tertawa, termasuk Adam yang duduk di sebelahnya, menutup mata dengan sebelah tangan sambil menahan tawa.
Saqila kaget, ia mengingat kata-katanya yang baru saja meluncur tanpa sadar. Wajahnya tiba-tiba merah, keceplosan bicara soal sesuatu. Saqila tertunduk malu, tangannya berkali-kali mencubit paha Adam yang duduk di sampingnya, malu bukan kepalang.
"Aduh, sakit, Sa." Adam mengusap paha yang terus saja jadi sasaran cubitan Saqila, bibir Adam tak kering dari tawa tanpa suara.
Mata Saqila menatap pintu kamar, ruhnya berlari ke sana, masuk kedalam lemari dan tak ke luar selama satu minggu.
[Kok bisa keceplosan sih, ah gimana ini?]
Saqila melanjutkan sarapan sambil menahan malu.
"Nggak apa-apa, kan sedang proses, moga cepet jadi adonannya," usik bu Wening terkekeh.
Saqila makin menunduk.
Selesai sarapan, Saqila membantu bi Ijah merapikan meja dan mencuci piring.
Di ruang keluarga mereka berkumpul, Saqila masih jadi bulan-bulanan mertua dan iparnya. Malu teramat sangat, Saqila pamit ke kamar. Ia merebahkan diri di tempat tidur, lalu telungkup menutup kepalanya dengan bantal,
"Malu aku malu," gumam Saqila, kakinya menendang-nendang kasur sambil tengkurap.
Adam masuk menemui Saqila, istrinya itu menutup kepala dengan bantal, Adam menghampiri dan meraih bantal di kepala kekasih hatinya.
"Qila malu, bang," rengut Saqila, ia terus membayangkan tawa semua keluarga suaminya tadi di meja makan.
Adam sedikit tergelak, lucu dengan gelagat istrinya, kadang istrinya itu tampak lugu.
"Kenapa bisa keceplosan gitu, apa yang Sa pikikan?" tanya Adam, masih dengan senyum lebar menahan suara tawa.
"Mikirin Abang," celetuknya masih dengan wajah merengut.
"Sudah, kata-kata tadi nggak usah dipikirin, mereka juga pasti ngerti kok, kan emang kita lagi proses," bujuk Adam, agar istrinya itu tak terlalu merasa malu. Tangan Adam merapikan rambut Saqila yang acak-acakan.
"Tapi kan itu rahasia kita, Bang."
"Siapa suruh keceplosan," goda Adam. Saqila mencubit dada suaminya.
"Qila nggak mau ke luar kamar selama sebulan, malu," ucap Saqila.
"Ya nggak apa-apa, nanti pas ke luar tau-tau udah hamil," canda Adam masih terkekeh, hari ini Saqila benar-benar lucu.
"Ah, Abang gitu. Jahat." Saqila mengambil bantal dan memukulkannya ke punggung Adam berkali-kali.
"Ampun, Sayang ampun." Adam tertawa sambil melindungi kepalanya dengan tangan yang masih dipukul istrinya.
==========
Setahun pernikahan Adam dan Saqila, tak sehari pun mereka pernah berjauhan maupun tidur terpisah. Rasa tetap sama, seperti hari-hari kemarin, hari indah lainnya.
Saqila tetap dan selalu menjadi penawar lelah dan rindu, pemanis disaat menghadapi getirnya hidup. Hari-hari mereka tetap tak berubah, penuh cinta dan tawa.
"Satu garis, Bang," keluh Saqila, ia ke luar dari kamar mandi membawa testpack dengan raut muka kecewa.
"Nggak apa-apa, Sayang, mungkin kita harus lebih sabar," sahut Adam, tak lekang menatap raut wajah manis yang berubah sendu. Ia sama kecewanya dengan istri yang selalu setia menanti garis dua.
Bukan kali ini saja Saqila menggunakan alat tersebut untuk menguji kehamilan, sudah dari beberapa bulan semenjak menjalani program hamil yang mereka rencanakan. Merasa mual dan pusing, kadang telat periode hingga dua minggu, tetapi semua itu bukanlah sebuah tanda.
"Abang nggak marah, kan?" Kegusaran mulai nampak di wajah Saqila.
"Kenapa harus marah, Sa, itu bukan kehendak kita, masih banyak orang di luar sana yang berjuang lebih lama dari kita, sampai bertahun lamanya." Adam menutupi kesedihannya.
"Kita menikah baru setahun, anggap saja masih mode bulan madu, malah kalau sudah ada baby, kasih sayang istri abang ini akan terbagi," lanjut Adam menenangkan hati istrinya.
Saqila mendongak, lalu tersenyum.
"Terima kasih, Abang."
"Abang yang harusnya berterima kasih, Sa selalu sabar di samping Abang," ulas Adam, menyandarkan kepalanya di kepala Saqila.
"Itu karena Qila sayang Abang," cetus Saqila.
"Lebih besar sayang abang untuk, Sa."
"Sabtu nanti kita jalan-jalan ke mana?" tanya Saqila, coba menghilangkan perasaan kecewa yang sempat mengganggu pikiran masing-masing.
"Sa maunya ke mana?" Adam balik bertanya.
"Mm, ke kempung Qila lagi, gimana?"
"Terlalu jauh itu, nggak bisa pulang pergi dalam sehari." Adam beralasan.
Saqila terlihat kecewa, memayunkan bibirnya.
"Abang lihat dulu schedule ya, kalau nggak sibuk banget, kita ke sana, bulan madu lagi," rayu Adam, ia tak tahan melihat istrinya muram.
Saqila angguk, kembali tersenyum.
Semenjak program kehamilan, Saqila dan Adam selalu menyempatkan jalan-jalan berdua di hari Sabtu, kemana saja tempat yang ingin dan belum pernah dikunjungi istrinya. Sedangkan hari minggu mereka gunakan untuk berkumpul bersama di rumah, yang diramaikan oleh keluarga Elya dan Lena.
Tok ... Tok ... Tok!
Suara ketukan pintu kamar, Saqila yang masih bermanja dengan suamimya beringsut turun dari ranjang, melenggang untuk membuka pintu.
"Ada apa, Mih?" tanya Saqila, mertuanya berdiri di depan pintu.
"Ajak Adam sini, amih mau ngomong sebentar," pinta bu Wening.
Adam yang mendengar suara namanya disebut berjalan menghampiri.
"Kenapa, Mih?"
Bu Wening mengajak anak menantunya ke luar, mereka menuju ruang keluarga, duduk bersama di sana.
"Barusan amih nerima telepon, dari Astri. Dia minta kita menginap jelang pernikahan anaknya Vidya itu lho," jelas bu Wening.
"Minggu ini'kan nikahnya?" tanya Adam.
"Iya, tadinya kita datang hari 'H' nya saja, tapi tante-mu itu terus saja meminta amih buat nginap," terang bu Wening kemudian.
Sebulan yang lalu mereka dapat undangan, Astri adik bu Wening akan menikahkan anak bontotnya. Mereka sudah sepakat akan hadir di acara pada tanggal dan waktu yang tertera di undangan.
"Terserah amih aja, tapi aku nggak bisa ikut kalau sekarang-sekarang, masih banyak kerjaan, paling aku nyusul hari Minggu pagi ke sana," tukas Adam.
"Amih pergi sama Saqi, ya, nggak apa-apa, kan?" pinta bu Wening pada Adam.
Adam dan Saqila bertatap wajah. Saqila sendiri tak keberatan, tinggal menunggu persetujuan dari suaminya. Pandangan mereka kembali pada bu Wening.
"Boleh, biar bisa sekalian jaga amih," jawab Adam. Meski hati kurang mengizinkan, tapi sukar untuk Adam menolak permintaan ibunya.
"Nggak apa-apa kan, Sayang?" Adam menoleh ke arah Saqila.
"Qila ikut aja, nggak lama juga cuma hari kamis, jum'at dan Sabtu nginepnya," sahut Saqila. Hari Minggu pasti suami dan iparnya akan ke acara nikahan tersebut bersama-sama.
***
Kamis pagi, bu Wening dan Saqila bersiap berangkat ke Bandung, ke rumah empunya hajat untuk memenuhi permintaanya. Beberapa setel gamis ia bawa untuk salin selama di sana dan batik couple untuk dia dan Adam, yang akan mereka kenakan di hari pernikahan sepupu suaminya itu.
Mereka akan diantar pak Apin, Adam bisa berangkat ke kantor ikut ayahnya naik mobil yang dikendarai Muaz.
Bu Wening sudah duduk di dalam mobil menunggu menantunya yang masih belum ke luar dari kamar.
Saqila masih di tahan Adam di kamar mereka, belum Adam lepaskan dari pelukannya.
"Bang, amih udah nunggu, Qila berangkat ya," pinta Saqila lembut, tangan suaminya masih memeluk erat, seperti tak mengizinkan.
"Sebentar, Sa. Abang masih belum siap, tunggu dikit lagi." Pelukan Adam makin dieratkan.
"Kalau Abang nggak ngasih Qila pergi, Qila bisa bilang ke amih nggak jadi ikut, gimana?" usul Saqila, ia sendiri tak tega meninggalkan Adam yang sama sekali tak pernah jauh darinya.
"Kasihan amih, masa pergi sendiri," sahut Adam.
"Terus kapan Qila bisa berangkat kalau abangnya gini?"
"Iya sebentar," bisik Adam, ia melepas pelukan, menatap Saqila.
"Kalau abang kangen gimana, Sa?" lanjut Adam bertanya.
"Susul aja ke sana," sahut Saqila santai.
"Tidak semudah itu Esmerlda, abang sibuk di sini," jawab Adam, ia membetulkan kerudung Saqila yang sebenarnya sudah rapi.
"Qila diijinkan pergi nggak nih?"
"Iya udah." Adam melabuhkan bibirnya berkali-kali di seluruh wajah Saqila, agak lama ia mainkan di bagian bibir istrinya itu, seolah-olah sulit untuk ia lepaskan.
"Udah," bisik Saqila.
Dengan berat hati Adam menuntun Saqila, mengantar ke depan menuju mobil yang sudah menunggunya sedari tadi.
Saqila melambai tangan dari jendela mobil yang sengaja dibuka, tiga jari tengahnya dilipat mendekatkan kelingking dan ibu jarinya ke telinga.
Adam mengangguk, melepar cium jauh. Ia mematung, menatap belakang mobil yang membawa istrinya pergi semakin menjauh, semakin hilang, ada embun yang menetes mengalir di pipinya.
Tiba-tiba ia merasa cengeng, padahal istrinya bukan pergi selamanya. Adam tersenyum sendiri, tangannya mengusap kasar air mata yang lewat tadi. Ia kembali ke kamar untuk bersiap pergi ke kantor hari ini, ingin segera hari Minggu, agar cepat berjumpa dengan bidadarinya.
***
Tiyo sudah berada di kantor, ia selalu datang lebih pagi dari Adam, segala berkas yang kemarin belum sempat ditandatangani Adam, ia sudah siapkan di meja bossnya itu.
Adam masuk menuju ruangannya, sudah ada Tiyo menunggu di sana. Adam masih selalu berpura-pura tak tahu tentang kejahatan Tiyo, ia akan mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya sebelum membuka semua kedok sahabatnya itu.
"Hari ini gua harus ke Depok, ada urusan di sana, loe di sini selesain tugas yang udah gua terangkan kemarin," ucap Adam ketika berhadapan dengan Tiyo.
Tiyo angguk mengerti, Adam mulai memberanikan diri turun ke lapangan, biasanya semua urusan di luar itu bagian Tiyo. Adam mulai beradaptasi kembali, sebelum Tiyo ia jebloskan ke penjara, harus bisa mengambil alih semua tugas yang selama ini dipegang sahabatnya itu.
"Ok, syukurlah kalau loe mulai membaik, gue seneng boss gue bisa aktiv seperti dulu," ulas Tiyo, ia tersenyum kecut. Dia sadar betul, jika Adam pulih sepenuhnya, segala tugas yang diembannya selama ini akan diambil alih kembali oleh bossnya itu. Ia harus segera mengatur rencana, Aline satu-satunya harapan untuk Tiyo.
[Istirahat kantor nanti kita ketemu, beib.] pesan Tiyo untuk Aline.
[Ok, gue juga mau ketemu, ada yang mau gue omongin.] balas Aline.
Di waktu yang sudah di rencanakan, mereka bertemu di sebuah restoran. Sekalian makan siang, ingin membahas rencana mereka mengenai Adam.
"Gue hamil, Yo," cetus Aline, langsung saja ia bahas ketika berhadapan dengan kekasihnya itu.
Uhuk!
Tiyo tersedak. "Kok bisa?" sahutnya.
Ia merasa selama ini sudah melindungi hubungannya dari hal-hal sebegitu. Aline sendiri mengatakan kalau ia menggunakan kontrasepsi.
"Gue juga nggak tahu bisa gini, tapi bener ini buktinya," ujar Aline, ia menyodorkan benda tipis panjang dengan dua garis warna merah.
"Gila loe, Lin, terus gimana rencana kita bisa deketin si cacat itu?"
"Gue udah nggak mikir ke sana, loe ceraikan istri loe itu, kita nikah," ajak Aline memaksa.
"Loe gugurin bayi itu," paksa Tiyo.
"Tiyo! Ini anak loe, kenapa loe minta gue gugurin, hah!" bentak Aline, tak terima dengan sikap kekasihnya itu.
"Ssttt, pelan-pelan, Beib." Tiyo melirik kanan kiri, orang-orang di restoran menatap ke arah mereka.
"Gue belum siap, Lin. Hutang gue masih banyak, siapa yang mau bayar kalau bukan Desi?" lanjut Tiyo kemudian.
"Gue nggak peduli, atau gue datang ke rumah istri loe itu dan bilang kalau gue hamil anak loe," ancam Aline. Wajahnya merah padam.
"Tenang, Beib tenang, loe jangan terburu-buru gitu, kasih gue waktu buat mikir. Kita harus cari solusi, ibarat kata pepatah sambil berenang minum air," rayu Tiyo pada kekasihnya yang sudah terlihat murka dengan mata yang membulat.
"Apa rencana loe?"
Tiyo membisikan sesuatu pada Aline.
"Nggak, gue nggak mau, inikan anak loe, mana mungkin Adam mau nerima gitu aja, gue nggak mau cari mati," sanggah Aline menolak ide gila dari kekasihnya.
"Loe coba dulu, beib. Nggak ada salahnya, kan? Adam itu lemah, dia mudah merasa iba," saran Tiyo.
Entah lah, jika bukan karena cintanya pada Tiyo, Aline tak ingin melakukan hal gila yang dianjurkan lelaki yang dicintainya itu. Laki-laki mana yang mau menikahi perempuan yang hamil bukan dari benihnya. Sungguh tak masuk akal. Aline mendengkus kesal.
"Ya sudah gue coba, kapan gue harus ketemu si cacat itu?" sinis Aline, suaranya melemah.
"Entar gue rencanain buat loe, tunggu aja aba-aba dari gue," sahut Tiyo.
***
Aline mengetuk pintu ruangan kantor Adam, meskipun beberapa kali pekerja melarangnya masuk, Aline kukuh ingin bertemu anak pak Praja itu.
Mendengar ketukan pintu, Adem menginzinkan masuk. Mata Adam membesar, cukup terhenyak melihat siapa yang masuk ke ruangannya.
Aline duduk berhadapan dengan mantan tunangannya itu tanpa di persilakan.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Adam ketus, malas melihat wajah perempuan laknat itu.
Aline menuai senyum, rambut panjang sedada yang ia geraikan dipundak kiri. Memakai terusan selutut dengan belahan dada yang terlihat jelas berisi. Bibirnya merah merona dengan pipi diolesi blush-on merah muda memberi rona pada tulang pipinya. Tampak anggun dan menawan, pasti setiap lelaki yang melihat akan tertawan dengan kecantikannya.
Namun tidak bagi Adam, baginya secantik apapun perempuan di hadapannya sekarang, hanya sesosok ular yang berwujud manusia.
"Apa kabar loe, Dam?" tanya Aline basa-basi.
"Gunakan bahasa yang sopan," sindir Adam, tak suka mendengar perempuan jalang itu berbicara seakan-akan mereka sangat akrab.
"Maaf, Dam. Aku ke sini cuma mau tahu kabar kamu, aku dengar kamu udah sehat, aku juga mau minta maaf," ulas Aline, ia benar-benar kesal pada Tiyo, harga dirinya terasa diijak-injak harus bertemu dan diperlakukan begitu oleh Adam.
"Aku baik dan nggak ada yang harus di maafkan, jika nggak ada kepentingan, silakan keluar, aku sibuk," ketus Adam tanpa menoleh ke arah Aline yang menatapnya.
Adam terliat lebih tampan dari sebelumnya, badanya kini tak terlalu kurus, pipinya terlihat mulai berisi.
"Aku harap, kita bisa ketemu lagi di lain waktu," pungkas Aline sebelum ia pergi meninggalkan ruangan mantan tunangannya itu.
Adam menghela nafas berat, sejujurnya ingin saja dia memaki, jika mampu tangannya ingin menampar perempuan yang telah menyakiti, membuatnya ingin mati, ingin bunuh diri dahulu. Gejolak amarah ia tahan. Entah apa maksud dan tujuan siluman ular itu menemuinya hari ini.
***
Adam pulang ke rumah, biasa disambut hangat oleh istrinya, kali ini rumah tampak sepi dan dingin. Seperti dunianya ikut berhenti, pengobat rindu dan lelahnya tiada di hadapan.
Pikiranya bercambah, membayangkan seandainya Saqila meninggalkannya, tak terlukis kekecewaan dan kepedihannya jika hal itu terjadi. Baru begini saja terasa hilang separuh hidupnya.
Adam melempar tubuhnya di sofa, segara mengambil gawai di kantong celana. Rindunya kian membuncah, segera ditekan nomor Saqila.
"Assalamu'alaikum," salam Saqila dari panggilan vidio, melengkungkan bibir dengan manis, terlihat gigi ginsulnya ia pamerkan.
[Ah, Sayang abang rindu.] Adam tak mampu menahan gejolak batinnya.
"Wa'alaikum salam, Sa. Gimana di sana?" tanya Adam.
"Rame pastinya, berkumpul sama keluarga besar," sahut Saqila, tak lekang dari senyum.
Adam berbaring di sofa yang ia duduki, mengatur posisi senyaman mungkin, memanfaatkan waktu istrahatnya dengan menatap layar gawai yang terpampang wajah istrinya.
"Amih mana?"
"Ada lagi ngumpul, ngobrol sama tante Astri."
"Sa, ke kamar sebentar," perintah Adam.
Saqila menurut, ia pergi ke kamar tamu tempatnya dan mertuanya tidur.
"Ada apa, Bang?"
"Abang kangen, Sa. Kangen banget, nggak kuat lama-lama begini, bisa mati berdiri abang nanti," canda Adam.
Bukannya segera menjawab, Saqila malah terbahak.
"Baru dua hari, Bang. Sehari lagi besok, kita ketemu kok, sabar ya," rayu Saqila.
"Sabar itu memang mudah di ucapakan, Sa. Untuk menjalani, hanya Abang dan Allah yang tahu." Adam memelas.
"Uluh-uluh, mybaby boy, dont cry, Honey," usik Saqila, menirukan seorang ibu yang sedang memujuk anaknya.
"Hahaha, kapan belajar bahasa inggris, Sa?" tanya Adam, lucu mendengar istrinya mengucapkan bahasa asing.
"Udah lama." Saqila mendelik.
"Belajar di mana tuh," goda Adam lagi.
"Belajar dari Daniel," ucap Saqila asal, tapi ia jujur, entah memang tak pandai berbohong.
"Daniel? Siapa itu?" Adam bangun dari rebahannya.
[Aduh, kenapa bisa bawa-bawa Daniel segala sih.] gerutu batin Saqila.
"Mantan boss dulu, Qila pernah cerita sama abang, kerja di laundry." Saqila jawab juga akhirnya.
Adam merengut, tak suka jika Saqila mengingat dan menyebut laki-laki lain di hadapannya.
"Qila kangen, Abang." Saqila memanyunkan bibir, berusaha menjauhkan pikiran suaminya dari berpikir aneh-aneh.
Adam mengulas senyum, hilang cemburunya melihat Saqila manja.
"Abang juga, Sa."
"Cepet ke sini ya, Qila tunggu."
"Iya sayang, tunggu abang datang buat gigit, Sa."
Saqila terbahak, mereka melanjutkan bergurau senda, melepas rindu lewat maya. Puas bercanda dengan Saqila Adam mengakhiri panggilan. Ia kembali termenung, benar dunianya hampa, kamarnya terasa sunyi.
***
Tring!
Pesan masuk, segera Adam raih gawainya kembali yang tadi ia letakan di sampingnya. Pasti pesan dari Saqila, biasa istrinya mengirim gambar hati dan emot kiss.
[Bisa kita ketemu sentar?]
[Ini aku Aline.]
[Sekarang aku di depan rumah-mu.]
Tiga pesan masuk, cukup membuat mata Adam terbelalak. Ia terheran dari mana Aline mendapatkan nomornya? Ah, siapa lagi kalau bukan dari Tiyo. Rencana apa lagi yang akan mereka susun kali ini.
Adam yang belum sempat berganti pakaian, melonggarkan dasi yang masih ia kenakan, melenggang ke luar.
Aline berdiri di luar gerbang yang tertutup, Adam tak mengajaknya masuk, sengaja ia yang ke luar menghampiri.
"Ada perlu apa ke sini?" tanya Adam ketus, tak ada kata dan senyum manis untuk perempuan yang ada di hadapannya.
"Aku ingin bicara sebentar, kita masuk ke mobil," pinta Aline, ia memelas.
Meskipun benci merasuki hati, Adam tetap tenang, ia ikut ajakan Aline masuk ke mobil yang di parkir di depan rumahnya. Mereka berdua duduk di depan.
"Ada apa?"
"Kamu apa kabar?"
"Nggak usah basa-busuk, langsung saja mau kamu apa?" Lantang suara Adam dengan nada judesnya.
Alin tertunduk, ia memainkan jari, air matanya beberapa kali menitik menimpa tangannya yang berada di ribaan.
Adam menoleh, aneh dengan sikap Aline. Bukanya menjawab, malah menangis terisak.
"Aku hamil, Dam." Aline semakin terisak, bahunya berguncang.
[Rencana apa yang sedang kamu susun Aline.] batin Adam, merasa perempuan di sampingnya sedang bersandiwara.
"Apa urusannya denganku?" Adam mencebik.
"Kekasihku lari ke luar negri, dia nggak mau tanggung jawab pada bayi yang ada dikandunganku, mami memaksa aku mengugurkan bayi ini, aku nggak mau Dam, aku takut." Suara tangisnya mulai meraung.
Ingin saja Adam terbahak menertawakan sandiwara bodoh Aline, ia tahu pacar Aline adalah Tiyo dan masih bekerja di kantornya.
"Aku harus gimana, Dam. Cuma kamu orang yang pernah dekat denganku, aku nggak tahu harus mengadu pada siapa," sambung Aline, tangisnya semakin pecah.
Tak sedikit pun ada iba di hati Adam, ia tersenyum mencebik. tiba-tiba dendamnya memburu, rencana balas dendam meronta dan mulai tersusun di benaknya. Ia mengarahkan badan menghadap Aline yang sedang menangis mendekap wajah.
"Terus aku harus bagaimana? Apa yang bisa aku lakukan?" tanya Adam dengan suara melunak dan pura-pura iba.
Aline menggeleng tanpa menoleh, masih mendekap wajah yang berlinangan air mata.
"Sudahlah jangan menangis, lebih baik sekarang kamu pulang, aku akan bantu kamu selesaikan masalah ini."
Aline menoleh, sedikit terperangah mendengar jawaban Adam, tak sangka umpannya mulai bekerja.
"Maksud kamu?" Aline ingin memastikan.
"Aku akan bertanggung jawab atas bayi-mu, sekarang pulanglah," lirih Adam.
"Kamu serius, Adam?"
Adam angguk. "Iya."
"Terima kasih, Dam." Aline meraih tangan Adam, tapi Adam menepis.
"Jangan berlebihan, aku hanya kasihan pada bayi yang ada dalam kandunganmu."
"Iya aku ngerti, terima kasih, Dam." Aline mengusap air matanya hingga kering, tersenyum sumringah, mangsanya sudah masuk perangkap.
Adam turun dari mobil Aline, kembali ke rumah menuju kamar, merebahkan diri di tempat tidur. Kembali menyeringai, menyusun langkah yang akan ia ambil untuk membalas sakit hatinya.
Namun teringat lagi pada Saqila, bagaimana jika istrinya itu tahu ia ingin balas dendam, ia harus menyembunyikan dari Saqila, bagaimanapun kekasih hatinya tak harus tahu rencana jahatnya.
Jika Saqila tahu, pasti ia akan sangat melarang, seringkali jika Adam membahas rasa sakitnya ketika disia-siakan, istrinya itu akan membesarkan hatinya dan meminta agar tak menyimpan dendam.
Hati yang berdendam hanya akan mengurangi imunitas tubuh, hal itu sangat istrinya khawatirkan, tentu akan mempersulit proses kesembuhannya. Sekarang ia sudah sembuh, amarah tak mempengaruhi kesehatannya lagi.
Kapan lagi orang yang dianggap cacat oleh manusia-manusia penghianat itu bisa memporak-porandakan hidup mereka yang berusaha menghancurkannya.
Adam sangat sadar apa konsekwensinya jika Saqila tahu tentang rencananya, tetapi dendam yang semakin membara membuatnya gelap mata.
Maafkan abang, Sa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel