Minggu subuh, Adam dan pak Praja bertolak ke Bandung menyusul bu Wening dan Saqila yang sudah berada di sana lebih dulu. Elya dan Lena berangkat dari rumah masing-masing bersama anak dan suami.
Sesampainya di sana, Saqila sedang sibuk berdandan untuk ikut acara ijab qobul di Masjid terdekat. Adam menghampiri Saqila, beberapa hari tak bertemu, rasanya bak sewindu, rindunya makin menggunung.
"Abang kangen, Sa." Langsung saja Adam memeluk istrinya itu.
Saqila yang belum sempurna memakai pakaiannya, balas memeluk suaminya itu seperti anak kecil yang baru bertemu ibunya.
"Qila, juga kangen."
"Baju abang udah Sa bawa?"
"Udah, ini." Saqila meraih baju batik suaminya.
"Ini untuk acara ijab , Sa. Untuk resepsi lain lagi," tutur Adam.
"Qila, cuma bawa ini aja, terus pake apa nanti?" tanya Saqila.
"Tenang udah disediain, abang dichat Vidya kalau tema wedding reseptionnya ala-ala india, calon suami dia keturunan hindustan, muslim," jelas Adam.
"Oh gitu, ya udah, abang bersiap dulu, kita ke masjid," ajak Saqila.
Adam memanyunkan bibir, Saqila tersenyum mencubit pipi suaminya itu.
Cup!
"Harus cukup sampai besok," goda Saqila setelah mendaratkan kecupan di bibir suaminya.
"Kalau sampai besok, durasinya harus panjang dikit," rayu Adam.
"Ayo ah nanti telat." Saqila menggeleng seraya tersipu, mengalihkan perhatian suaminya yang nakal.
Setelah selesai bersiap, mereka menuju masjid menghadiri prosesi ijab qobul. Selesai prosesi, mereka berganti pakaian yang sudah di sesuaikan tema acara.
Saqila mengenakan pakaian wanita india Lehengga Choli, sejenis long dress perpaduan warna baby pink dan abu-abu. Busana Saqila sudah disesuaikan untuk dipakai wanita berhijab, dipadu padankan dengan Chunri tak transparan yang ia gunakan sebagai jilbab, warna senada dengan Lehengga Choli yang ia kenakan.
Adam meminta asisten perias menata wajah Saqila sesuai tema. Wajah imut Saqila disulap menjadi lebih anggun dan menawan, di kening Saqila turut di pasangkan aksesoris ala wanita india, semakin menambah kecantikan perempuan bertubuh mungil itu.
Adam sendiri mengenakan setelan Kurta berwarna abu bercorak emas dipadankan dengan serban panjang yang disangkut di lehernya, mirip lelaki india, ia tampak begitu tampan.
Adam begitu terkagum melihat istrinya berpakaian lain dari biasanya, matanya terbelalak dengan mulut sedikit terbuka.
"Cantiknya istri abang," puji Adam ketika istrinya mendekat.
"Abang juga ganteng banget, pake ini," sahut Saqila menyentuh setelan yang dikenakan Adam.
"Kumis Abang ke mana?" Saqila meraba bawah hidung suaminya, kumis tipis suaminya sudah hilang.
"Udah abang cukur sebelum ke sini," jawab Adam.
"Padahal Qila suka," cetus Saqila sedikit merengut.
"Yaah, kenapa , Sa nggak bilang? Abang nggak tahu kalau istri abang suka," tutur Adam sedikit kecewa sudah mencukur kumisnya.
"Kalau Qila nggak protes, bararti Qila suka."
"Ya udah nanti abang panjangin lagi, biar item kayak ulat bulu," usil Adam, mengangkat dagu Saqila.
"Nggak suka tebel-tebel gitu, geli," komentar Saqila, ia sedikit bergidik.
"Geli-geli sedap, Sa." Adam terkekeh.
"Hahaha, nggak ah nggak suka."
"Ayo." Adam menggandeng tangan istrinya, mereka menuju gedung resepsi.
Ballroom yang luas, mampu menampung sekitar 1000 orang tamu undangan dengan wedding decoration berwarna terang. Merah menjadi warna dominan dipadu warna pich dan biru muda, serta bunga-bunga hidup bertabur di setiap sudut. Semakin menambah kemewahan acara tersebut.
Adam dan Saqila duduk di meja bundar yang berbalut kain putih berkilau, menyaksikan tarian parodi lagu india yang lagi hits ditirukan para penari dari film bollywood itu, tak sedikit juga tamu undangan ikut menari memeriahkan acara.
Bagi Adam semua itu tak menarik perhatiannya, ia lebih tertarik pada perempuan yang ada di hadapannya yang sedang penepuk-nepuk tangan ikut alunan suara dendangan lagu, mata istrinya itu fokus pada para penari dengan senyumnya yang merekah. Hal yang mengagumkan lebih dari apa pun.
"Kalian sudah makan?" tanya bu Wening, menghampiri anak menatunya yang sedang menikmati acara resepsi.
"Udah, Mih," sahut Adam.
"Kamu nggak apa-apa'kan, Dam?" tanya bu Wening, baru kali ini semenjak kecelakaan Adam ikut hadir ke acara nikahan yang begitu ramai orang
"Nggak apa-apa, Mih. Tapi aku siang nanti pulang sama Saqila ya," pinta Adam.
"Lho, kirain nanti bareng amih pulangnya malam," kata bu Wening.
"Nggak, Mih."
"Ya sudah terserah kalian saja." Bu Wening kembali ke mejanya yang diduduki pak Praja dan saudaranya yang lain.
"Bentar lagi kita pulang, Sa," ajak Adam
"Kenapa, Qila masih suka di sini."
"Abang kangen berat, " ucapa Adam, ia mengedipkan sebelah mata.
Saqila tertawa, ia tahu kode itu. Orang lain yang jadi pengantin, suaminya yang kepanasan.
"Sa, nanti kita bikin acara resepsi lebih mewah dari ini, mau?" tanya Adam, mengingat mereka menikah kala itu hanya ijab qobul tanpa acara apa pun.
"Nggak usah, Bang. Kita udah pengantin lama, kok. Lebih baik uangnya Abang kasihkan ke panti, anak-anak lebih membutuhkan," tutur Saqila, ia melempar senyum.
Ah, makin jatuh cinta Adam dibuatnya. Ingin segera pulang. Mereka berdua pulang lebih dulu, sementara bu Wening dan pak Praja akan pulang jelang malam. Malam ini jadi malam pengantin mereka berdua, saling melepas rindu beberapa hari tak bertemu. Kasih sayang Adam tak pernah berkurang, semakin hari malah semakin bertambah.
***
Di belakang Saqila, Adam menjalani hubungan gelapnya dengan Aline. Selama satu bulan, kasih sayang Adam curahkan untuk Aline dan calon bayinya, kasih sayang pura-pura.
Segala permintaan Aline akan dipenuhinya, bahkan sekarang Aline tinggal di sebuah apartment yang sengaja Adam belikan untuk Aline tinggali, perempuan itu selalu merengek, tinggal dirumah membuatnya sering bertengkar dengan ibunya gara-gara ia hamil di luar nikah.
Adam sengaja selalu memberikan waktu luang untuk kekasih gelapnya. Lama-lama, Aline benar-benar terpikat dengan sikap dan perhatian Adam. Meskipun segala sesuatu selalu Saqila yang jadi prioritas, Aline tak masalah, hidupnya sekarang lebih bahagia ketimbang bersama Tiyo. Jika sudah sah menjadi istri Adam, mudah saja ia geser posisi Saqila
"Adam."
"Hm."
Aline menghampiri Adam yang duduk di sofa apartmentnya. Memakai baju seksi, bermanja di pangkuan Adam.
"Lakukanlah, Dam, aku inginkan kamu malam ini," goda Aline, sosok Adam sungguh berbeda dari yang dulu ia kenal.
"Nggak bisa, Lin. Kita belum nikah, kamu tahu dalam islam itu ada aturannya, apalagi kamu sekarang lagi hamil muda, nanti kenapa-kenapa sama bayi kita," jelas Adam menolak permintaan Aline.
Aline mendekatkan wajahnya ingin mencium lelaki yang berhasil menambat hatinya, hampir saja Adam tergoda, tak dipungkiri ia laki-laki normal. Di suguhkan pemandangan seperti itu nyaris saja ia khilaf, wajah Saqila membayanginya, segera ia tolak tubuh Aline,
"Aku bukan tak menginginkamu, Aline. Aku hanya ingin melindungi harga dirimu, bukan merusak hidupmu, tunggu kita menikah. Aku akan berikan semua untukmu," rayu Adam.
Aline sungguh tersanjung, Adam tak seperti Tiyo yang hanya memanfaatkannya, bahkan berani merusak harga dirinya hingga ia hamil pun tak ingin tanggung jawab. Adam sama sekali tak pernah berlaku kurang ajar, ia menghormati dirinya dan hal itu semakin menumbuhkan rasa cinta di hati Aline.
"Kamu jaga diri baik-baik, Lin. Aku pulang dulu, kalau aku di rumah jangan hubungi aku," pinta Adam, ia bergegas pulang ke rumah. Tujuannya adalah Saqila, gara-gara Aline mengundang hasratnya, istri halalnyalah yang selalu ia jadikan tempat mencurahkan segalanya.
***
Aline memutuskan untuk bertemu Tiyo, ia merasa tak ada gunanya melanjutkan hubungan mereka. Ia sudah punya Adam yang benar-benar memberikan kasih sayang, meskipun ia harus bersaing dengan Saqila, itu tak jadi masalah.
"Yo, lebih baik kita putus aja, gue nggak bisa lanjutkan hubungan kita," tutur Aline ketika mengajak bertemu kekasihnya itu.
"Apa maksud loe, Aline? Rencana kita hampir berhasil, kenapa tiba-tiba jadi begini?" tanya Tiyo, ia tak terima Aline memutuskanya begitu saja.
"Sekarang loe tinggal pilih, gue atau Desi?"
"Itu nggak bisa jadi pilihan, Beib. Kalau gue cerai sekarang gimana masa depan kita? Hutang gue nggak akan kebayar, loe juga nggak bakal nikah sama Adam, apa loe mau hidup seperti itu?" Mata Tiyo membulat, ia menahan kesal.
"Justru karena gue nggak mau hidup kayak gitu, jadi gue minta jangan ganggu hidup gue lagi, kalau nggak, gue bakal nekad datangin rumah bini loe," ancam Aline, ia sudah yakin Adam lebih bisa membahagiakannya, apalagi Adam mau menerima kehamilannya dan sangat sayang pada calon bayi yang ia kandung.
Tiyo tak berkutik, hatinya panas, apa sebenranya masalah Aline hingga ia memutuskan hubungan begitu saja. Aline meninggalkanya sendiri di cafe tempat mereka bertemu. Ia kebingungan, harus melakukan apa untuk menyelesaikan masalahnya.
***
Gawai Adam berbunyi, tanda pesan masuk ke kotak pesan. Ia meraih gawai dan membukanya. terpampang foto Tiyo dan Aline sedang duduk berdua di sebuah cafe. Dari awal Adam mendekati Aline, ia menyewa penguntit untuk memata -matai perempuan itu. Banyak foto yang sudah ia simpan termasuk waktu mereka chek-in hotel, semua Adam simpan dengan rapi. Adam menyeringai, membayangkan aksinya akan segera terrealisasikan.
Tiyo datang menemui ke ruangannya, wajahnya nampak sedikit kesal ia mengajak Adam berbicara.
"Gue denger, loe balikan lagi sama Aline, Dam." Tiyo berbasa-basi.
"Kenapa memang?" tanya Adam santai, memang itu yang ia inginkan.
"Kasihan kalau istri loe tahu, Dam," ulas Tiyo, nada penekanan seolah -olah ia sedang mengancam akan memberi tahu Saqila.
"Jika tak ada yang ngasih tahu, gua rasa semua akan aman," jawab Adam sedikit khawatir Tiyo jadi sumber pengacau rencananya.
"Hati-hati, dia itu ular, Dam. Bisa saja nanti, istri loe disingkirkan," sindir Tiyo.
"Aku sebagai sahabat hanya menasehati saja, tak ingin rumah tangga kalian hancur gara-gara wanita jalang itu," timpal Tiyo, tak terima begitu saja dengan keputusan Aline.
Adam mencebik, seolah Tiyo seorang manusia suci, menasehati konon, nyatanya dia sendiri dalang di balik semua ini.
Dengan hati kecewa, Tiyo meninggalkan ruangan Adam, tadinya ia ingin bongkar kedok Aline, tapi itu juga semua rencananya, ingat lagi pasti Aline akan nekat juga menemui Desi. Bagai buah simalakama.
Satu per satu umpan Adam tersambut, langkah selanjutnya ia akan menemui Aline. Saqila masih aman terkendali, tak ada kecurigaan apapun yang dipertanyakan istrinya itu.
"Tiyo tadi nemuin aku," ucap Adam.
Tampak wajah Aline berubah gelisah, ia ingin tahu apa yang diucapkan Tiyo, apa ada kaitanya dengan dirinya.
"Mau ngapain dia?" tanya Aline ragu.
"Dia bilang aku harus hati-hati sama kamu, maksud dia apa?" tanya Adam, berhasil membuat Aline tampak gelagapan.
[Kurang ajar Tiyo, awas aja gue bongkar semua rahasia loe.] batin Aline, ia cukup gusar jika Adam terpengaruh dengan omongan laki-laki itu.
Aline coba mengatur nafas, menenangkan diri, ia tak boleh gugup.
"Tiyo itu orang berbahaya, Dam. Kamu yang harus hati-hati sama dia," tukas Aline.
Nah, umpanya kembali disambar, mereka mulai saling lempar batu sembunyi tangan. Adam santai menjalani aksinya.
"Maksud kamu?" tanya Adam, wajahnya dibuat-buat terlihat kaget.
"Sebenarnya ... Tiyo yang menyebabkan kamu kecelakaan, Dam."
Glek!
Di luar dugaan, fakta mulai terungkap sedikit demi sedikit.
"Aku nggak ngerti maksud kamu, bisa kamu jelaskan?" tanya Adam ia betul-betul ingin tahu.
"Waktu itu Om Praja menegur Tiyo, gara-gara ia ketahuan memalsukan dokumen, tapi Om Praja hanya mengingatkannya agar ia tak mengulanginya lagi.
Dia kesal dan marah, Dam. Ia merasa kalau Om Praja, menggangu pekerjaanya. Tiyo berniat memberi sedikit pelajaran pada apih-mu. Tiyo juga tahu kalau kamu sangat percaya sama dia.
Tiyo menyusun rencana, ia ingin mencelakai apih kamu. Mobil apih kamu sengaja ia otak atik dengan alasan akan diperbaiki di bengkel.
Kabetulan kala itu kamu akan ke Djogja untuk urusan bisnis dan yang kamu tumpangi adalah mobil Om Praja. Tiyo pun cukup kaget alih-alih ingin mencelakai ayahmu, ternyata ia salah target, tetapi ia malah bersyukur karena kamu kecelakaan, posisinya menjadi terjamin di perusahaan kamu," beber Aline, ia mencoba mnyelamatkan diri dari ancaman Tiyo.
Untuk beberapa saat Adam tertegun, dadanya sesak, tangan ia kepalkan, ternyata Tiyo benar-benar bajingan. Rencananya balas dendam, ternyata mengupas fakta lain yang tak ia ketahui.
"Dari mana kamu tahu semua itu, Lin?"
"Dia sendiri yang bilang ke aku, Dam. Kala itu aku nggak berani bilang siapa-siapa, karena diancam." Aline sedikit berbohong, hakikatnya waktu itu ia mendukung tindakan kekasihnya.
"Kira-kira, kamu punya bukti nggak?"
"Nggak, aku cuma denger dia ngomong gitu aja, Dam."
Aline pun dalam dilema, bimbang jika Adam melabrak Tiyo, lalu Tiyo menyeret namanya, mengatakan bahwa selama ini mereka berhubungan. Namun ia yakin bisa berkelit, karena segala yang di lakukan Tiyo tentang kecelakaan Adam sama sekali tanpa campur tangannya.
"Terima kasih untuk informasinya, Aline." Tangan Adam mengusap jemari Aline, Adam mengulas senyum.
Aline semakin terharu melihat kelembutan Adam. "Sama-sama, Dam."
Menjelang tiga bulan kehamilanya, ia mulai mendesak Adam untuk segera menikahinya. Perutnya akan semakin membesar, tentu ia akan merasa malu jika belum ada calon ayah untuk bayinya.
"Untuk sementara kamu sabar, Lin. Aku belum siap ngasih tahu amih dan apih terutama Saqila."
"Sampai kapan kamu akan sembunyi, Dam? Perut aku makin gede, aku malu," kesal Aline.
Adam mematung sejenak, ia tak bisa memberi Aline jawaban.
"Tunggulah sebentar lagi," pinta Adam.
***
Tak ada perubahan apa pun yang Saqila rasakan dari suaminya, Adam masih tetap sama, selalu mencintainya dan merindukannya. bahkan kasih sayang Adam semakin menambah keromantisan mereka.
Aktivitas pagi seperti hari-hari yang lain, Saqila mengantar suaminya ke pintu gerbang tika akan berangkat ke kantor. Saqila kembali ke kamar, ia merapikan tempat tidur.
Terdengar suara pesan masuk, bukan dari gawainya. Saqila melirik ke arah suara ternyata gawai suaminya tertinggal. Pasti Adam akan kembali sebentar lagi untuk mengambil gawainya. Penasaran, Saqila melihat pesan di gawai suaminya.
Dari nomor tanpa nama, terpapar ringkasan pesan di sana, biar pun tak seluruhnya pesan terlihat tetapi cukup membuat dada Saqila bergemuruh. Tanpa ragu, Saqila klik pesan itu.
Jleb!
Seperti ada yang menusuk jantungnya.
[Sayang, nanti siang bawain rujak buah ya, dedek bayi ngidam pengen yang seger-seger.] Di susul emotikon kiss.
Saqila scroll lagi semua pesan tersebut, makin banyak pesan ia baca makin panas hatinya.
"Ya Alloh, Bang Adam," lirih Saqila mendekap mulutnya.
Saqila meraih gawainya lalu menekan nomor tersebut, memanggil menggunakan nomor teleponnya, ia ingin memastikan.
"Hallo."
Suara wanita di seberang telepon.
Brak!
Gawainya terjatuh, tubuhnya seketika lemas.
Terdengar bunyi bell, itu pasti suaminya ingin mengambil gawai yang tertinggal. Segera di hapus pesan yang sudah terlanjur Saqila baca tadi, agar suaminya tak curiga. Ia harus memastikan dulu apa yang di lihatnya dan mencari tahu lebih banyak.
Adam masuk ke kamarnya, melihat Saqila tersenyum menyambutnya.
"Handphone Abang ketinggalan, Sa," ucap Adam lembut.
Adam meraih gawai yang terletak di meja samping tempat tidur, ia mencium kening istrinya seperti tadi pagi.
"Dah, Sayang. Hati-hati di rumah." Adam berlalu.
Bruk!
Saqila tersungkur, tak mampu menahan tubuhnya yang lemas hilang keseimbangan, darah di tubuhnya berdesir, dada terasa panas, ia terisak. Di ingat-ingat lagi, apa ada kejanggalan dari sikap suaminya yang mencurigakan belakangan, Saqila tak menemukannya sama sekali, selama ini Adam sangat baik dan perhatian.
Terbayang lagi pesan di gawai suaminya tadi, bayi, apartemen, jalan-jalan, nonton film, makan-makan, itu rutin mereka lakukan jika melihat ajakan dari pesan-pesan itu. Selama ini ia sangat percaya suaminya, tak pernah memeriksa gawai Adam sama sekali.
Sadar tentang kekurangannya, wajar saja jika suaminya berpaling. Namun mengapa Adam tak berani jujur jika memang ia benar-benar inginkan seorang anak. Malah bermain di belakangnya sampai perempuan itu hamil. Akhirnya tangis Saqila pecah, ia terisak di tepi tempat tidur.
Saqila meraih travel bag, ia lebih baik pergi daripada harus bersama laki-laki yang sudah berzina di belakangnya. Entah sudah berapa lama suaminya itu berkhianat. Namun niatnya untuk pergi ia urungkan, ia harus tabayyun, tak boleh sembarangan pergi begitu saja, bagaimanapun ia harus mendengar penjelasan suaminya terlebih dahulu.
Saqila kembali merapikan pakaiannya ke dalam lemari, meletakan travel bag ke tempat asal, ia usap air matanya dan akan menunggu suaminya pulang untuk menanyakan perihal pesan tersebut. Ia tak boleh egois jangan sampai amarah menimbulkan salah paham, tetapi jika benar Adam melakukan itu, sudah pasti tiada ampun.
***
Siang hari Muaz datang menemui Saqila, ia pamit pulang dari kantor karena anaknya masuk rumah sakit. Tanpa di minta Saqila ikut kakaknya menjenguk ke rumah sakit, tak lupa ia minta izin pada Adam lewat telepon. Adam pun mengizinkan.
Sore hari pak Praja pulang kantor ikut naik mobil Adam.
"Anaknya Muaz sakit apa, Pih?" tanya Adam dalam mobil.
"Demam berdarah katanya,"jawab pak Praja.
"Besok saja aku jenguk, Pih."
"Iya nanti apih ikut sekalian," sahut pak Praja.
Ayah dan anak itu sampai di rumah, ada pemandangan mengejutkan di sana. Aline tengah bersimpuh di kaki bu Wening, sedangkan wanita paruh baya itu tampak sesak meremas dada, air matanya menganak sungai.
"Aline?" Ngapain kamu di sini?" Mata Adam membulat, rencana yang ia susun hampir sempurna, Aline datang mengacau.
"Adam, aku nggak bisa nunggu lebih lama, kamu udah janji mau nikahin aku, makanya aku ke sini meminta persetujuan orang tua-mu," cetus Aline. Wajahnya terlihat muram.
"Kamu anggap apa ibumu ini, Adam?" Tatapan bu Wening sinis pada anaknya.
"Ada apa ini?" Pak Praja ikut nimbrung bertanya.
"Aku hamil, Om dan Adam berjanji akan menikahiku," ulas Aline.
"Aline!" bentak Adam, ternyata perempuan ini benar-benar tak tahu malu, beberapa kali Adam mengingatkan untuk tidak memberi tahu keluarganya.
"Adam! Benar apa yang dikatakan perempuan ini?" marah pak Praja, matanya merah menahan amarah. Adam tak pernah melihat ayahnya seperti itu.
"Bener'kan Dam? Kamu sendiri berjanji akan bertanggung jawab atas bayi ini," tukas Aline.
"Memang aku bicara seperti itu, tapi nggak ada hak untuk kamu datang kesini melibatkan keluargaku seenaknya, lagi pula itu bukan anakku."
"Maksud kamu, Adam?" tanya bu Wening.
"Aline memang hamil dan aku memang berencana menikahi dia, tapi anak itu bukan anakku, Mih," jelas Adam.
Meskipun agak lega bahwa anak yang dikandung perempuan itu bukan calon cucunya, tapi hati bu Wening tetap pedih.
Suara bell terdengar berbunyi, tanda ada tamu di luar. bi Ijah melenggang membukakan pintu.
Adam gusar, dia yakin yang datang itu adalah istrinya. Benar saja, Saqila masuk dengan wajah heran.
"Ada apa?" Saqila menatap Adam, dan melihat wajah-wajah tegang di hadapnya.
Hening sejenak, tak ada yang berani buka suara.
"Sa, ayo kita masuk," ajak Adam menarik tangan Saqila untuk ke kamar. Namun istrinya itu menolak.
"Aline, kenapa kamu di sini?" tanya Saqila.
"Aku ke sini menagih janji Adam, aku hamil dan Adam akan menikahiku," tukas Aline tak tahu malu.
Saqila terkesiap, tubuhnya mundur beberapa langkah ke belakang, Adam menahan tubuh istrinya yang hampir hilang keseimbangan.
Saqila mendekap mulutnya, air mata mulai bercucuran, jadi perempuan yang mengirim pesan ke gawai suaminya tadi pagi adalah Aline.
Saqila berhambur ke kamarnya, tak bisa berkata-kata, bu Wening pun semakin terisak, ia melambai tangan pada suaminya minta di antarkan ke kamar meninggalkan Adam dan Aline mematung di ruang tamu.
Adam menarik tangan Aline ke luar.
"Puas kamu sekarang?" bentak Adam.
"Adam, aku begini karena kamu nggak juga ngasih kepastian, perut aku makin gede, sampai kapan kita merahasiakan ini?"
Awalnya Adam akan memutuskan Aline saat ini juga, tapi rencananya hanya tinggal selangkah lagi, ia tahan kemarahannya.
"Pulanglah, nanti kita bicarakan lagi soal ini, harusnya kamu hubungi aku, bukan seenaknya begini, justru ini akan semakin sulit untuk kita menikah," lirih Adam, ia sengaja pelankan suara.
"Aku tunggu di apartment," ucap Aline, ia pergi dari rumah Adam.
***
Adam segera menemui ibunya, pasti sangat terluka dengan kejadian ini. Adam bersimpuh di kaki ibunya yang duduk menjuntaikan kaki di sudut tempat tidur.
"Maafin aku, Mih. Semua ini hanya salah paham, aku bisa jelaskan."
"Sudahlah, temui Saqila, dia pasti lebih sakit," lirih bu Wening, air matanya rembes menetes terus menerus membasahi pipi tuanya.
Hati Adam tersayat melihat air mata ibu yang ia cintai hanya gara-gara dendam.
"Kamu tahu, Dam, alasan Aline dulu membatalkan pertunangannya dengan-mu? dia bilang tidak mau menikah dengan orang cacat dan setengah gila. Kali ini apih melihat kegilaan kamu dengan berniat menikahinya, apih sangat kecewa." Suara pak Praja lirih.
Adam hanya tertunduk, ia bangkit menuju kamarnya. Di sana Saqila menangis menutup mulut dengan lengan, tampak baju bagian lenganya itu sudah kuyup dengan air mata.
"Sa, maafin Abang." Adam meraih tangan istrinya, tapi Saqila menolak, ditepis kasar tangan Adam.
"Kenapa harus Aline, Bang? Kalau abang mau nikah lagi, Qila bisa ngasih izin, tapi kenapa harus Aline?"
Saqila masih ingat kejadian di rumah Aline dulu, apa mungkin kalau itu Adam. Perih hatinya, luka yang ditorehkan Iwan kini kembali di torehkan suaminya, hatinya hancur.
"Abang bisa jelasin , Sayang."
"Biarkan Qila sendiri."
Saqila belum siap mendengar penjelasan apa pun, sementara ini ia butuh waktu untuk menenangkan hatinya. Air mata Saqila benar-benar tak bisa di bendung, ia menangis meraung.
Adam yang menyaksikan ikut menangis, ia sangat ingin menjelaskan semuanya tetapi saqila melarang, ia akan tunggu sampai istrinya tenang.
==========
Hampir setengah jam tangis Saqila belum juga reda, sakit hati yang bukan kepalang.
Adam sendiri yang menyaksikan ikut menangis, bukan karena menyesali pembalasan dendamnya, ia menangis melihat istri yang sangat ia kasihi harus menitikan air mata.
Adam memeluk Saqila, biarlah kekasih hatinya meraung dipelukannya. Saqila berusaha berontak, tetapi pelukan Adam sangat kuat. Ia terisak di dada suaminya, sesekali tangannya memukul-mukul lengan Adam.
"Puasin dulu nangisnya, Sa," bisik Adam, tangannya membelai lembut kepala istrinya, tak tahan juga lama-lama.
Tangis Saqila berhenti, menyisakan isakkan yang masih mengguncang pundaknya. Adam membuka kerudung Saqila yang sangat basah oleh air mata, ia turun mengambil bandana di meja rias, memakaikannya pada rambut istrinya yang tampak acak-acakkan. Tangan Adam mengusap pipi Saqila yang masih berurai air mata.
"Abang minta maaf, Sa." Adam memulai kembali pembicaraan.
"Kenapa abang selingkuh sama Aline?"
"Abang nggak selingkuh, Sa," sahut Adam, ia masih mengusap pipi istrinya.
"Kenapa abang mau nikah sama Aline?"
Adam tak menjawab.
"Jawab Abang! Abang berzina kan sama dia, sampai dia hamil? Jawab!" Amarah Saqila meluap.
"Nggak, Sa. Itu bukan anak abang, nggak pernah juga abang zina sama dia, di rumah ada yang halal ngapain nyari sampah," terang Adam, ia bersikap santai.
"Terus kenapa Aline bilang abang janji mau nikahin dia?" Saqila penasaran.
"Soalnya dulu dia juga janji mau nikah sama abang, tapi nggak ditepatin, abang cuma balas aja janji dia, nggak bakal abang tepatin juga."
"Abang balas dendam sama Aline?"
Adam melepas nafas berat.
"Iya, Sa."
"Apa bedanya abang sama dia? Dendam cuma merusak diri sendiri, itu juga nggak baik. Nggak baik kita simpan dendam, semua perbuatan ada balasannya...." Terus dan terus Saqila mengoceh.
Adam garuk-garuk kepala sambil mendengarkan ocehan istrinya, sebab itu ia tak memberi tahu Saqila, pasti begitu jadinya.
Omelan Saqila masih berlanjut, menceritakan nasehat Ustadzah, menjelasakan panjang kali lebar kali tinggi kali pendek, mengalahkan panjangnya Great Wall di negri Cina, jalan kereta juga ikut kalah panjang dari ocehan istrinya. Melewati delapan tanjakan, tujuh turunan dan sembilan belokan.
Mulai dari tangan kiri Adam memegang dagunya, pindah ke tangan kanan, hingga kedua tangan mendekap dagu, ceramah Saqila tak juga selesai. Adam menatap lekat bibir istrinya yang komat kamit, suara ocehan Saqila sudah tak ia hiraukan, hanya mandang lucu ke arah perempuan mungil di hadapannya.
Adam masih mendengar.
Terus mendengar.
Agak mengantuk.
Namun tetap menyimak.
Ah, bosan juga.
Cup!
Gemas sudah.
"Kenapa di cium?" Saqila melotot marah.
"Nggak boleh ya?"
"Qila masih marah!" bentak Saqila.
"Ya udah lanjutin marahnya," ucap Adam, kembali mendekap dagu sambil mengulum senyum.
"Aline hamil anak siapa? Jawab jujur," tanya Saqila, suaranya tak terlalu meninggi.
"Anak Tiyo," jawab Adam, seketika dadanya ikut sesak, sahabatnya sendiri yang berhianat.
"Tiyo? Asisten abang?"
Adam angguk.
"Dari Aline juga abang tahu Tiyo yang membuat abang kecelakaan dulu," lirih Adam, dada masih terasa sesak.
"Kalau abang minta izin Sa untuk balas dendam, pasti Sa nggak akan ijinin, abang nggak akan tahu kejahatan Tiyo, cuma itu Sa, nggak lebih. Abang sudah punya bidadari di rumah, nggak butuh Aline."
Air mata Adam menetes, sedikit pun tak pernah berniat menyakiti istrinya. Ia juga tak ingin melibatkan Saqila dalam membalas dendam, jika itu dosa, maka dosa itu hanya untuknya.
Saqila jatuh iba, tetapi cara Adam membalas pesan Aline dengan sebutan manja, masih membuatnya kesal.
"Qila masih marah, jangan tanya sampai seminggu," rajuknya.
"Iya abang nggak tanya, tapi cium sama peluk masih boleh ya," usil Adam.
"Nggak, abang harus tidur di kamar atas," tegas Saqila.
Adam terkekeh, wajah yang marah tapi menyiratkan kelucuan.
"Baik tuan putri, abang bobo di atas, jangan lama-lama marahnya nanti cantiknya hilang," sahut Adam, ia bangkit lalu mengambil tas yang berisi berkas-berkas penting.
Adam mengecup puncak kepala istrinya yang masih merajuk.
"Istirahat, Sa. Abang ketemu apih sebentar," ujar Adam, ia berlalu membiarkan istrinya larut dalam pikiran, biar Saqila menilai tindakanya dengan kepala dingin, Adam yakin istrinya sangat baik dan penyayang juga punya pertimbangan.
***
Adam ke luar menemui ayahnya untuk menjelaskan tentang Tiyo.
Pak Praja berada di teras belakang, sedang termenung memikirkan masalah anaknya tadi, tak habis pikir Adam bisa kembali pada Aline.
"Pih."
Pak Praja menoleh, menatap Adam, posisinya kembali seperti tadi, termenung. Banyak hal yang ia pikirkan, meskipun anaknya sudah sembuh, tetapi belum bisa sepenuhnya mengambil alih perusahaan, ia sudah ingin istirahat dari bisnisnya.
Adam menyodorkan beberapa berkas pada ayahnya, sementara Adam menilik gambar yang berhasil ditangkap oleh suruhannya.
"Apa ini?" tanya pak Praja, pria setengah abad lebih itu meraih berkas yang anaknya letakkan di meja. Ia membuka dan menilik perlahan.
"Itu bukti-bukti kejahatan Tiyo, Pih. Tentang pemangkasan dana perusahaan, bukan hanya itu, Tiyo juga melakukan penipuan atas nama perusahaan kita, dulu mereka yang jadi korban Tiyo tak berani melapor karena pasti tak akan menang melawan perusahan besar milik kita. Setelah diusut dan dijelaskan, sekarang mereka mau memperkarakan hal ini untuk menggugat Tiyo."
Pak Praja tertegun, benar dugaannya tentang Tiyo selama ini.
"Sejak kapan kamu mengumpulkan ini, kenapa nggak bilang apih?" tanya pak Praja, ia memang dari dulu sudah curiga pada asisten pribadi anaknya itu. Hanya saja Adam begitu percaya dan selalu membela Tiyo.
Adam juga mengasongkan foto pada pak Praja, ia duduk menyandarkan punggung di kursi kayu di teras belakang, melepas lelah.
"Tiyo dan Aline?" Pak Praja mengerutkan alis. Menatap foto yang ia pegang.
"Apa semua ini, Dam?" tanya pak Praja, ia melihat-lihat semua foto yang disodorkan Adam.
"Itu foto bukti bahwa Aline dan Tiyo memiliki hubungan, jadi dulu dia mengenalkan Aline hanya umpan semata, bahkan Tiyo juga yang menyebabkan aku kecelakaan, Pih," jelas Adam.
"Apa?"
Adam menjelaskan tentang kejadian kecelakaanya dulu yang di ceritakan Aline. Lelaki tua itu tampak mencakupkan gigi menahan amarah.
"Jadi kamu mendekati Aline untuk mendapatkan bukti?"
"Awalnya murni membalas semua perlakuannya dulu, nggak nyangka, ada fakta lain yang terungkap," jelas Adam.
Pak Praja menghela nafas. Ia baru mengerti maksud Adam mengatakan akan bertanggung jawab dan menikahi Aline, sedangkan dulu Adam sangat membencinya.
"Aku berniat mengusut kembali kasus kecelakaan dulu, Pih. Namun sulit, nggak ada bukti kuat mengarah ke Tiyo, cuma itu yang bisa aku kumpulkan. Setidaknya, aku bisa menjebloskan dia ke penjara."
Jika diikutkan amarah, inginnya menyuruh orang suruhan untuk menghabisi Tiyo, tetapi itu termasuk dosa besar. Cukuplah dia dihukum atas kesalahannya yang jelas terbukti.
"Astagfirullah ... Apih nggak nyangka Tiyo berbuat sejauh itu, sampai sanggup menjebak kamu menggunakan Aline," ulas pak Praja.
Ayah dan anak itu bertukar pikir hingga larut malam, bercerita melanglang buana. Netra mulai dihinggapi rasa kantuk, pak Praja mengakhiri pembicaraan mereka.
Adam masuk ke kamar, Saqila sudah terlihat pulas. Ia menghampiri, sedang tak di izinkan tidur di kamarnya malam ini. Dilihatnya Saqila yang tidur pulas, jika tidur Saqila biasa mengenakan baju tidur seksi, kalau tak ia pakai kimono pendek.
Kali ini pandangan Adam cukup tergelitik, istrinya tidur memakai daster panjang warna biru gelap, dengan motif bunga, sedikit terngkat hingga ke betis. Tampak kakinya memakai celana jeans yang sudah lama terlipat cantik di lemari, malam ini ia kenakan sebagai perisai agar tak di ganggu Adam. Saqila sedang protes.
Adam tersenyum tipis, selama ini ia tak pernah memaksa jika istrinya tak ingin. Adam merebahkan tubuhnya perlahan di sisi Saqila.
"Cepet sembuh hatinya, Sayang, abang nggak bisa lihat Sa marah terlalu lama," bisik Adam, di kecupnya kelopak mata Saqila.
Saqila membuka mata, terganggu dari tidur lelapnya.
"Abang ngapain di sini? Qila udah minta abang tidur di atas," ucapnya kesal dengan mata yang disipitkan masih menahan ngantuk.
"Abang cuma lihat, Sa sebentar," alasan Adam.
"Sana, sana."
Saqila beberapa kali mendorong Adam agar menjauh, hingga.
Bruk!
Adam jatuh dari tempat tidur, posisi hidung tersungkur mencium lantai.
Aduh!
Rasanya itu nyess... sedap dan nikmat luar biasa hingga Adam menitikan air mata, hidungnya jadi korban ciuman lantai.
"Abang!"
Biarpun marah, melihat suaminya tersungkur begitu Saqila tak tega, ia turun mendekat. Adam duduk mendekap hidung yang terlihat merah, matanya berair menahan sakit.
"Sakit, Bang?" tanya Saqila sambil melihat hidung suaminya.
Adam angguk dan masih mengaduh. Sejurus kemudian, tangan Saqila memencet hidung suaminya.
"Adaww! Sakit, Sa," pekik Adam.
"Rasain." Saqila mendelik.
Sulit memang menghadapi singa yang sedang marah, Adam bangkit masih memegang hidungnya yang sakit, ia harus segera ke kamar atas sebelum diterkam dan di telan mentah-mentah. Saqila meraih tangan Adam, sontak ia kembali terduduk di lantai menghadap Saqila.
"Kenapa?" Adam bertanya.
Saqila menuntun tangan Adam, mengajak suaminya itu duduk di tepi kasur, ia tertunduk, wajahnya masih belum ramah, sama sekali tak ada tanda-tanda akan tersenyum apalagi tertawa.
"Qila mau tanya."
"Tanya apa?"
"Qila baca semua pesan abang di whatsapp, kapan abang makan siang dengan Aline? padahal abang selalu pulang ke rumah kalau mau makan siang."
"Harus ya abang jawab?"
"Jawab! Qila pengen tahu," bentak Saqila, sepertinya ngantuk yang tadi menghiasi mata istrinya kini sudah hilang.
"Abang istirahat kantor lebih awal," jawab Adam tertunduk.
"Jalan-jalan? Makan malam? Nonton?" Banyak lagi pertanyaan yang saqila ajukan.
"Nanti, Sa malah sakit hati kalau dengar jawaban abang, nggak usah ya, lupakan aja," bujuk Adam, tak ada gunanya mengungkit hal itu lagi, toh itu hanya sandiwara.
"Jawab!"
Adam pun terpaksa menceritakan kapan dan bagaimana Adam mengatur waktu bertemu dengan Aline tanpa mengganggu waktunya bersama Saqila .
Mata Saqila mulai berkaca-kaca. Ia terisak. "Abang suka sama Aline?"
"Nggak, Sayang. Cinta abang cuma Sa seorang."
"Abang bohong." Saqila terisak lebih kuat
Apa semua wanita serumit ini? Diliputi penasaran, ingin tahu hingga dikorek sampai ujung dunia, ketika sudah mengetahui faktanya ia baper sendiri.
"Abang harus gimana biar Sa nggak marah lagi?" lirih Adam bertanya.
"Harusnya abang hapus pesan itu, biar Qila nggak baca, hati sakit kalau inget, seperti disayat-sayat."
"Iya nanti kalau ada pesan gitu lagi abang hapus."
Saqila menatap cepat ke arah Adam dengan mata terbelalak.
"Jadi abang nanti mau selingkuh lagi?"
Aduh emak, salah ngomong lagi.
"Abang tahu apa kata Ustadzah, suami nggak boleh nyakitin hati istri, bisa seret rejeki, istri itu jantung rumah tangga, jika istri sakit hatinya rumah akan seperti neraka...." Lagi dan lagi Saqila melanjutkan ceramahnya.
[Gusti aku harus gimana.]
Adam kembali menyimak ceramah Saqila, kali ini lebih dramatis dengan berurai air mata dan isak tangis pilu, tangannya sesekali mengusap air mata.
"Kita bobo ya, Sa," ajak Adam, daripada melihat istrinya larut dalam kesedihan, baik mereka tidur.
"Qila belum abis ngomong." Masih terisak. Lalu melanjutkan mengeluarkan unek-uneknya, mengoceh lagi, ngomel lagi, ceramah panjang lebar.
Lagi.
Kali ini mata Adam menatap seperti lampu lima watt yang temaram, berkali-kali kelap kelip dan menguap menahan ngantuk.
Ceramah nggak kelar-kelar.
Bahaya bisa sampai pagi.
Jalan satu-satunya mendekap mulut Saqila dengan bibirnya. Biarpun pujaan hatinya itu menolak berusaha mendorongnya, pegangan tangan Adam kukuhkan. Akhirnya istrinya itu diam juga, memejamkan mata.
"Udah ya, kita tidur, Sa harus istirahat, besok lanjutin lagi marahnya," rayu Adam.
Saqila tak menjawab, wajahnya di tekuk. Adam turun dari ranjang ia hendak pergi ke kamar atas, tetapi tangannya digenggam Saqila.
"Abang harus tidur dimana?" tanya Adam. Tidur dekat Saqila tak boleh, ingin tidur di kamar atas ditahan.
Hening, hanya tatapan Saqila yang entah apa artinya.
Ah bingung.
Begitu salah begini bukan.
Adam sulit mengartikan kemarahan istrinya kali ini, hukuman yang sangat tak menyenangkan.
Sipat lelaki biasanya lebih to the point, sedangkan wanita sukar ditebak hanya ingin dimengerti tanpa mengatakan ke inginannya, seperti main tebak-tebakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel