Suara tarhim mulai bersahutan, pertanda akan masuk waktu subuh. Perlahan Adam membuka mata, mengumpulkan ingatan. Dipinggangnya serasa ada yang melingkar, ia menoleh ke arah kanan, istrinya berada tepat sejajar dengan wajahnya, nyaris tak berjarak.
Tersungging sedikit bibir, melihat makhluk tuhan paling unik di sampingnya. Pasalnya malam tadi, Saqila memegang tangannya tanpa kata, Adam beranjak ke tempat tidur, masih dengan merengut Saqila ikut berbaring agak jauh. Guling ia jadikan pembatas jarak antara mereka dan sekarang guling itu entah kemana.
Dikecup sayang kening istrinya, perlahan ia bangun, menggeser tangan Saqila yang masih pulas. Adam harus bersiap untuk ke masjid, mengambil air wudhu lalu berganti pakaian. Baju koko dan sarung sudah membalut tubuhnya, tanpa kopiah. Entah ... Rasa tak nyaman mengenakan benda penutup kepala satu itu, meski Saqila sering meminta ia memakainya.
"Abang pakai pecinya, itu sunnah lho," titah Saqila kala itu.
"Malas, Sa."
"Jangan malas, kalau sering meninggalkan sunnah, lama-lama jadi makruh," terang Saqila.
"Kata siapa?"
"Kata Ustadzah," jawabnya.
"Baiklah Ustadzah Saqila," sahut Adam mengusik.
Adam kembali mengukir senyum, mengingat kembali ucapan Saqila kala itu, lalu berangkat ke masjid tanpa membangunkan istrinya.
Pulang dari masjid, ia dapati Saqila masih bergolek dibalut selimut, Adam menghampiri dan membangunkan Saqila.
"Sa, bangun.Salat subuh," ucap Adam pelan, tangannya mengusap kening dari depan ke arah belakang kepala Saqila.
Saqila membuka mata, dipicingkan, menatap ke arah Adam yang sudah rapi berbaju koko. Saqila bangkit.
Auh!
Saqila memegang kepala yang terasa sakit.
"Kenapa?" tanya Adam.
"Sakit kepala," sahutnya lemah.
Bagaimana tak sakit, Saqila menangis cukup lama, matanya terlihat seperti ikan buntal, bengkak mata panda.
"Abang antar ke kamar mandi, ya. Nanti udah salat Sa bobok lagi," tawar Adam.
Saqila angguk, tetapi ingat kembali kalau ia sedang demo pada suaminya.
"Qila bisa sendiri," ketus Saqila, menepis ajakan suaminya. Ia beringsut turun, berjalan pelan ke kamar mandi.
Selesai salat, masih meringis menahan kepala terasa berat, Saqila kembali ke tempat tidur merebahkan diri. Tangan Adam memicit keningnya, Saqila menolak memalingkan wajah.
"Masih marah, Sa?"
Tak ada jawaban, tak perlu di tanya, kesal Saqila masih ada.
"Jangan lama-lama, Sa merajuknya, abang kangen senyum istri cantik abang," rayu Adam. Kapok, benar-benar kapok. Istrinya berubah jadi es. Itu baru sandiwara, bagaimana jika ia betul-betul selingkuh, alamat menghilang Saqila dari hidupnya.
***
"Nggak ngantor, Dam?" tanya pak Praja, melihat Adam menuju ruang makan masih berpakaian biasa, kaos lengan pendek berwarna abu dan celana kain longgar berwarna hitam.
"Nggak, Pih. Saqila sakit," jawab Adam pelan, ia menarik kursi lalu duduk.
"Sakit apa? Kenapa nggak diajak sarapan? cecar bu Wening. Menyodorkan nasi goreng pada anaknya itu.
"Sakit kepala katanya, udah diajak tadi, jawabannya cuma 'nanti'," sahut Adam, mengambil nasi yang ibunya berikan.
Hening, semua sudah tahu apa alasan Saqila begitu. Pasti karena masalah kemarin. Adam sendiri larut dalam lamunan, tanpa tawa istrinya, dunianya sunyi, hilang semangat.
Selesai sarapan, Adam membawakan sarapan untuk Saqila ke kamar.
"Mam dulu, Sa, nanti minum obat," pinta Adam. Istrinya itu bergeming, masih berselimut.
"Sa."
Saqila berbalik, pelan ia duduk bersandar di kepala ranjang. Ia hendak meraih piring yang ada di tangan suaminya, tetapi Adam menjauhkannya.
"Abang suapin, ya."
Hanya diam.
Adam menyuapkan nasi ke mulut istrinya, Saqila perlahan mengunyah makanan yang disuapkan Adam, hatinya masih tertanam rasa kecewa.
Sayang dan cinta bukan berarti ia tak bisa terluka, dia masih manusia, hati perempuannya rapuh. Ia bisa begitu tegar mengahadapi ujian hidup, tetapi soal hati, ia kalah, lemah.
"Abang nggak kerja?" Terlontar juga suaranya, melihat suaminya masih berpakaian biasa.
"Di rumah aja, kalau Sa sakit, abang nggak tega ninggalin," sahut Adam, masih tetap menyuapi Saqila.
"Qila nggak apa-apa, di rumah ada bi Ijah, ada Amih juga," jawab Saqila.
Adam terus menyuapinya.
Saqila menggeleng, hanya beberapa suap, sudah mual. Ia beringsut dari tempat tidur, hendak turun.
"Mau kemana?" tanya Adam.
"Nyiram bunga," jawab Saqila datar.
"Kan ada bi Ijah," cetus Adam, tak tega melihat Saqila sakit.
"Kerjaan rumah banyak, kasihan jika semua pekerjaan dibebankan sama bi Ijah," ungakap Saqila.
"Sayang istirahat, biar abang siram bunga," saran Adam, tika sakit pun istrinya itu tak melupakan tanamannya.
Adam ke luar membawa piring bekas makan Saqila, lalu ia ke halaman belakang.
Saqila berjalan pelan ke arah jendela, disibaknya gorden yang masih tertutup. Terlihat suaminya mulai memasang selang, sesekali membungkuk membuang daun layu dari tangkai bunga.
Kasih dan sayang untuk suaminya terlalu besar, baginya Adam suami yang baik dan penyayang. Jika suami galak, kurang menafkahi dan sering melakukan kekerasan fisik, mungkin jika selingkuh pun setidaknya dari awal sudah tertanam rasa benci. Namun jika suami seperti Adam tiba-tiba berbuat curang, sakitnya akan lebih-lebih, karena dari awal tak ada celah untuk membencinya.
"Saqi."
Saqila menoleh ke arah suara, mertuanya berdiri di depan pintu yang tak tertutup, ditangannya memegang gelas berisi minuman. Entah apa, Saqila tak tahu.
"Masuk, Mih."
Saqila kembali ke tempat tidurnya, bu Wening menyimpan minuman di meja samping ranjang, ia ikut duduk di tepi kasur menghadap Saqila.
"Katanya kamu sakit?" tanya bu Wening
"Cuma sakit kepala, Mih."
Bu Wening menatap.
"Adam sudah menjelaskan perihal kemarin, Saqi?" tanya bu Wening.
Saqila angguk.
"Kamu memaafkan?"
Angguk lagi. pelan.
"Pertahankan rumah tangga kalian, Saqi. Jangan goyah karena orang nggak jelas, perjuangan kamu sudah banyak, nggak sebanding jika harus mengalah pada perempuan itu," tutur bu Wening.
Saqila menatap mertuanya.
"Amih nggak suka sama perempuan itu," tambah bu Wening.
"Sedikit cerita buat kamu, tentang rumah tangga amih dulu. seharusnya nggak perlu amih ceritakan karena bisa saja ini aib keluarga, tapi amih cuma ingin kamu mengabil hikmah dari kisah amih ini," cetus bu Wening.
Saqila membetulkan posisi duduk, mulai menyimak penuturan dari mertuanya.
"Bisa dikatakan dulu amih orang paling bahagia dipertemukan dengan apih, bukan hanya baik, ia penuh tanggung jawab. Amih terpikat dan meminta restu dari orang tua untuk menikah dengan apih, keluarga melarang karena apih tak selevel dengan keluarga kami, dengan usaha dan kerja keras, apih menunjukan ia mampu jadi 'orang'.
Akhirnya orang tua amih mengizinkan kami menikah, amih menemaninya dari awal hingga apih dipuncak kejayaannya. Semenjak menikah, apih meminta amih melepas kesuksesan yang amih rintis sewaktu muda, karir amih tinggalkan, hanya demi berbakti untuknya jadi ibu rumah tangga sepenuhnya.
Hingga lahir Adam, Elya dan Lena, apih masih sangat perhatian. Lahirlah si bungsu, kasih sayang apih tak berubah. Anak empat membuat amih merasa cukup untuk mendapat cinta apih sepenuhnya, melihat pengorbanan yang amih lakukan untuknya, optimis apih pasti semakin sayang.
Dugaan amih salah, ujian selalu ada dalam hidup. Amih terlalu anteng mengurus anak, melupakan mengurus diri karena merasa sudah ada yang memiliki, panampilan menjadi nomor sekian.
Apih ketahuan selingkuh dengan pekerja kantornya. Jika ditanya sakit? sudah pasti. Marah? Jelas iya. Perang pun terjadi, amih memutuskan menggugat cerai, tiada ampun untuk perselingkuhan, sakit jika ingat semua pengorbanan amih yang terlalu banyak.
Amih pulang ke rumah orang tua hanya membawa si bungsu yang masih kecil, Adam Elya dan Lena meraung ingin ikut, hati amih berkecamuk antara perasaan dan anak.
Sampai nenek Adam memberikan amih wejangan. Ia minta amih jangan mengalah begitu saja, perjuangkan kembali yang sudah jadi milikmu, jangan biarkan orang baru menguasai kebahagianmu.
Kembali amih pikirkan, semangat pun datang. Amih mulai merawat diri, kembali. Menarik perhatian apih, tambah asisten rumah tangga agar amih bisa leluasa merawat diri. Bukan hanya luaran, dalam juga amih rawat.
Apih menyesali perbuatannya dan mininggalkan perempuan itu, dia bilang hanya iseng menghilangkan suntuk dirumah. Setelah amih kembali cantik, dan berniat turun bekerja kembali, apih melarang karena anak akan jadi korban, berkali apih minta maaf dan tak akan mengulangi perbuatannya lagi. Kami pun akur kembali, hingga sekarang.
Membayangkan kembali jika waktu itu amih ikut amarah dan berpisah dengan apih, sudah pasti anak-anak amih jadi korban," tutur bu wening, air matanya mengalir mengingat masa lalu.
Saqila terenyuh, tarnyata mertuanya juga pernah mengalami kepahitan yang kini ia rasakan. Malah bisa saja sakit yang dirasakan mertuanya lebih parah, ternyata mertuanya wanita hebat.
"Buat Adam semakin cinta sama kamu, Saqi. Jangan lepaskan dia," tukas bu Wening.
"Qila harus apa, Mih. Hanya seorang perempuan dengan segudang kekurangan, apa yang Bang Adam mau pertahankan dari Qila," sahut Saqila, air matanya ikut jatuh.
"Percantik diri, luar dan dalam, terutama ahlak, buat Adam merasa selalu dibutuhkan. Dia baik, Saqi, dulu waktu amih pergi dari rumah, ia cukup mengerti kelakuan ayahnya, ia sampai menangis, berjanji jika punya istri tak akan ia sakiti."
Saqila merenung, benar kata mertuanya, ia harus memperbaiki diri, jangan karena merasa sudah dicintai ia lalai merawat diri dan ahlak.
"Ini minum, biar cepet sembuh." Bu Wening mengasongkan minuman yang ia bawa tadi.
"Apa ini, Mih?" tanya Saqila.
"Jamu anti pelakor," jawab bu Wening.
Saqila mengerutkan alis.
"Biar Adam makin lengket sama kamu," kata bu Wening, ia tersenyum.
Saqila tak mengerti maksud mertuanya, tetapi ia mimun juga jamu itu. Kenapa di sebut jamu anti pelakor? Harusnya Adam yang minum, jika memang bisa menjauhkan mereka dari pelakor.
"Kamu yang minum, tapi Adam yang merasakan khasiatnya, biar dia klepek-klepek," ulas bu Wening lagi, ia terkekeh, seperti mengerti keheranan menantunya.
Saqila nurut saja, dia memang tak tahu tentang hal-hal yang disebutkan mertuanya.
"Terima kasih, Mih."
Bu Wening angguk, ia berlalu meninggalkan kamar Saqila.
***
Adam masih menyiram bunga, sedangkan Saqila di kamar merenungi setiap ucapan mertuanya.
Nada panggilan gawai Adam berbunyi, Saqila meraihnya. Nomor tanpa nama, ia sudah tahu siapa yang menghubungi. Saqila menerima panggilan.
"Hallo," kata suara disebrang telepon.
"Iya."
Terdiam sejenak, tak ada sahutan dari sana.
"Saqila?"
"Ada apa, kenapa nelpon ke sini?" ketus Saqila.
"Aku mau ngomong sama Adam," pinta Aline.
"Nggak ada," tegas Saqila.
Hening kembali, sesaat.
"Bisa kita ketemu?"
"Untuk apa?" tanya Saqila sinis.
"Aku mau bicara soal Adam," jawab Aline.
Saqila menyetujui, ia ingin tahu apa yang diinginkan Aline. Mereka mengatur tempat bertemu nanti sore. Panggilan ia akhiri dan log panggilan ia hapus dari gawai suaminya.
Sore hari, Saqila meminta izin ke luar.
"Qila minta izin mau ke luar sebentar," pinta Saqila, ia sudah rapi.
"Kemana?" tanya Adam.
"Beli sesuatu," jawab Saqila datar.
"Kepalanya udah nggak sakit?"
"Hm."
"Abang antar?"
"Nggak usah, ada pak Apin yang antar, Qila nggak bakal selingkuh," sahut Saqila menyindir.
Skak.
Tak berkutik.
"Ya sudah, hati-hati," ucap Adam.
Saqila menumpangi mobil yang dibawa pak Apin, menuju sebuah cafe yang Aline janjikan. Perempuan itu sudah lebih dulu ada di sana.
Saqila duduk berhadapan dengan Aline, tak ia pungkiri Aline punya pesona yang lebih menarik dari dirinya. Apa mungkin Adam sama sekali tak tertarik melihat kecantikan Aline? Pertanyaan itu berputar di pikiran Saqila. Hadir juga rasa tak percaya diri di hatinya jika harus bersaing. Namun tekadnya sudah bulat, ia harus pertahankan rumah tangganya.
"Mau kamu apa?" tanya Saqila tanpa basa-basi.
"Kepalang kamu sudah mengetahui niat Adam yang akan menikahi aku, sekalian saja aku minta kamu menyetujui pernikahan kami," tutur Aline.
"Nggak semudah itu, aku nggak bakal tanda tangan surat persetujuan, kalau kamu maksa mau nikah siri, ya silakan, tapi tahu'kan konsikwensinya?" tegas Saqila.
Aline mendengkus kesal, ternyata Saqila keras kepala. Ia pikir mantan pembantunya itu orang yang lemah, tak berprinsip dan takut padanya. Jika menikah hanya menikah siri, Aline akan kehilangan haknya dan akan sangat merugikan dirinya.
"Hamil sama orang lain, kenapa suamiku yang harus tanggung jawab," cetus Saqila.
"Adam sendiri yang ingin menikahiku." Aline percaya diri.
Cckk!
"Apa alasanya kamu mau terima?"
"Aku cinta dia."
"Cinta? Dulu kemana aja? Kenapa baru cinta sekarang? Kenapa nggak dari dulu waktu Adam masih sakit? Masih belum ada aku dihidupnya," Cecar Saqila.
"Aku yakin Adam cinta sama aku, kamu bisa bayangkan, dua orang sering bertemu di apartment, nggak mungkin tanpa rasa apa-apa, kamu juga pasti tahu'kan apa yang kami lakukan?" Aline memanas-manasi Saqila.
Serasa berdesir darah Saqila, ia berusaha tetap tenang.
"Dengan atau tanpa izin kamu, aku akan tetap menikah dengan Adam."
Saqila tertawa.
"Silakan kalau kamu bisa, aku pastikan suamiku akan meninggalkan kamu," tantang Saqila, meskipun ia sendri tak yakin, ia tak boleh lemah di depan Aline. Saqila bangkit meninggalkan Aline yang masih belum puas bicara.
"Lihat saja Saqila, setelah aku menikah dengan Adam, kamu akan aku singkirkan," gumam Aline, ia menatap punggung Saqila yang menjauh.
Saqila meminta pak Apin mengantarnya ke pusat perbelanjaan, untuk membeli barang yang ia butuhkan. Lalu ke klinik kecantikkan untuk konsultasi perawatan tubuh dan wajah.
***
Berkas tentang Tiyo sudah semua Adam serahkan pada pengacaranya. Tinggal menunggu surat penangkapan dan pemeriksaan. Ada satu hal lagi yang harus Adam lakukan untuk Aline, ia menyandarkan punggung di kursi ruang kerjanya, kaki dinaikan ke atas meja. Menyeringai, puas dendamnya akan terbalas.
Memanglah hakikatnya dendam itu tak diperbolehkan agama, istrinya juga sangat melarang. Ia hanya ingin memberi sedikit pelajaran untuk orang-orang yang dzolim padanya dulu.
***
Desi mengajak Tiyo ke suatu tempat, malam itu ia sengaja dandan cantik dan rapi.
"Mas, aku kangen, aku ingin berdua sama kamu malam ini," goda Desi.
"Ok sayang, kita mau ke mana?" tanya Tiyo, belakangan ini sikap istrinya begitu dingin, tetapi sekarang kembali manja, membuat Tiyo bersemangat.
Baginya Desi bukan hanya istri tapi gudang penyimpanan uang, biar pun harus menggunakan tenaga ekstra untuk meraihnya.
Mereka berdua berangkat, memacu mobil ke arah sebuah apartment. Tiyo baru pertama kali datang ke tempat tersebut, tak ada kecurigaan apa pun yang terlintas di benak Tiyo. Asik saja malam ini bisa bermesra dengan istrinya jauh dari rumah.
Mereka sampai di depan pintu apartment di lantai 11. Desi menekan bell beberpa kali, ke luar seorang perempuan membukakan pintu.
Mata Tiyo terbelalak, membulat nyaris bola matanya ke luar.
"A-Aline?" ucap Tiyo gagap, ia gemetar. Kenapa Aline ada di sini? Dari mana Desi tahu? Sedangakan dia sendiri tak tahu keberadaan kekasihnya itu. Semenjak Aline memutuskan hubungan sepihak, Aline sulit dihubungi.
"Tiyo?" Aline sama terkejutnya, tatapan Aline silih berganti ke arah Tiyo dan wanita yang dibawanya. Dia tahu itu Desi, tapi dari mana mereka mengetahui tempat tinggalnya?
"Kenapa kalian terkejut? Harusnya seneng donk bisa ketemu di sini," ejek Desi.
"Apa-apaan ini, Des? Ayo kita pulang," ajak Tiyo ia meraih tangan istrinya untuk meninggalkan kediaman Aline.
Desi menghempas gengaman Tiyo, matanya memerah, amarah yang ia tahan sedari tadi akhirnya memuncak.
Plak!
Tamparan mendarat di pipi Tiyo.
"Ini perempuan selingkuhan kamu, kan Mas? Jangan pura-pura nggak kenal, dia lagi hamil anak kamu kan?"
Lagi-lagi Tiyo terperangah, dari mana Desi tahu semua tetang Aline.
Aline segara menutup pintu, malas melayani suami istri yang baginya sudah tak ada hubungan apa pun dengannya itu. Belum pun pintu tertutup sempurna, Desi menendang pintu apartment Aline, hingga terbuka lebar, Aline terdorong beberapa langkah ke belakang.
"Kamu pikir bisa lepas begitu saja hah? Setelah kalian menikmati hartaku selama ini," cetus Desi, ia berhambur ke arah Aline, lalu menjambak perempuan yang tengah hamil itu.
Aline menjerit kesakitan, tapi tak diam saja, ia melawan serangan Desi.
Terjadi pergelutan antara mereka, Aline dan Desi sampai bergelut di sofa bed, saling tampar dan tarik rambut diiringi jeritan has pertengkaran kaum hawa.
Tiyo segera mendekat untuk melerai, bukanya terpisah, malah selangkangannya kena tendang oleh salah satu dari mereka yang masih bergelut.
Tiyo memekik kesakitan, sedikit terhunyung ke belakang, menahan senjatanya dengan tangan yang terkena tendangan.
Puas Desi meluapkan kekesalannya pada Aline, ia berdiri merapikan rambut dan pakaian yang semrawut. Dengan elegan berjalan ke luar dari tempat tinggal Aline, lalu menghampiri Tiyo.
"Silakan Mas bermesra dengan jalang itu, aku sudah puas, Mas nggak usah pulang ke rumahku, nanti akan ada surat cinta dari pengadilan," ujar Desi, ia tersenyum manis pada suaminya yang tak lama lagi akan jadi mantan, lalu berlenggang dari apartment Aline.
Tiyo menatap Aline yang tersungkur dibelasah oleh Desi, rambutnya acak-acakan, beberapa memar terlukis di pipinya, dari bibir sedikit mengeluarkan darah. Namun Desi lebih penting bagi Tiyo, ia berhambur mengejar istrinya meninghalkan Aline yang kesakitan.
***
Aline meraih gawai ia ingin menghubungi Adam, perutnya terasa sakit. Dicari nomor Adam, lalu ia pencet, panggilanya tersambung.
"Ada apa, Lin?" tanya Adam di seberang talian.
"Ke sini, Dam, perutku sakit," rintih Aline.
"Baiklah, tunggu sebentar," sahut Adam. Ia bergegas menemui kekasih gelapnya.
Sesampainya di apartment, Adam melihat pemandangan mengejutkan, lebih tepatnya hanya pura-pura terkejut.
Rumah yang di tinggali Aline berantakan, Aline sendiri sangat semrawut dan terdapat beberapa luka di wajahnya.
"Kamu kenpa, Lin?" tanya Adam, ia jongkok menghampiri Aline yang tersungkur di lantai dekat sofa.
Aline bingung harus menjawab apa. Apa harus ia ceritakan tentang Tiyo dan istrinya yang sudah melalukan penyerangan. Ia gusar dan ragu jika Adam tahu masalahnya akan lebih runyam, tak tahu harus menjawab apa, hanya tertunduk menahan sakit.
"Kenapa nggak jawab, Lin? Malu? Atau takut?" hardik Adam. Tanganya mencengkeram dagu Aline, mengarahkan tatapan Aline ke hadapannya.
Aline masih belum mengerti pertanyaan Adam, apalagi sikapnya kini terasa menakutkan.
"Mulai sekarang, jangan ganggu aku dan Saqila, atau aku buat kamu lebih menderita dari ini, paham!"
"Maksud kamu, Dam?" Suara Aline tak jelas karena mulutnya terkena cengkeraman lelaki yang ada di hadapannya.
Adam melepas cengkeraman, lalu tertawa.
"Jangan remehkan orang cacat dan setengah gila, Aline, kalau aku sudah bertindak, bisa bikin kamu jauh lebih sakit dari ini, bisa saja kamu aku jebloskan ke penjara, bersama Tiyo."
Jleb!
Seperti ada yang menghujam dada Aline, kelimpungan dengan pernyataan Adam.
Lelaki tinggi kurus itu merogoh sesuatu dari kantong celananya, dihamburkan ke wajah Aline. Foto berserakan di lantai.
Aline mendekap mulut menatap foto-fotonya bersama Tiyo.
"Dulu kita hampir menikah, tapi gagal dan sekarang hal itu harus terjadi lagi, maaf, Lin."
"Segera kosongkan apartment ini, tempat ini punya Saqila," usir Adam.
"Ingat dan dengar baik-baik, aku peringatkan sekali lagi, jangan ganggu aku dan Saqila, jika tidak, sakit-mu bisa lebih parah daripada ini," ancam Adam.
Adam keluar meninggalkan Aline, tak peduli melihat perempuan itu kesakitan. Seringai kepuasan terukir di bibirnya, misinya selesai.
Aline masih syok dengan hal yang dialaminya sebentar tadi, jadi Adam hanya menjebaknya dan bersandiwara. Awal dulu Aline melihat Adam, ia orang yang cacat dan lemah, sering takut-takut karena penyakitnya.
Beberapa bulan lalu Adam tampak bersahaja dan bersikap manis padanya hingga ia jatuh cinta, tetapi kini sikap Adam sangat menakutkan. Aline terisak, perutnya terasa sangat sakit. Siapa yang akan bertanggung jawab pada bayinya. Ia meraung.
***
Beberapa jam yang lalu.
Adam meminta pak Apin mengantar map berisi foto ke rumah Desi dan harus pastikan yang menerima adalah Desi sendiri.
Setelah titipannya di terima, Desi langsung memanggil Adam, bertanya Alamat perempuan selingkuhan suaminya. Adam pun mengirimkan alamatnya, sebelumnya mereka sering berkomunikasi, Adam menjanjikan akan memberi tahu Desi segalanya jika pencariannya sudah selesai.
Saqila memerhati gerak gerik suaminya yang senyam senyum sendiri. Beberapa jam kemudian Adam menerima telepon lalu pergi meninggalkan Saqila tanpa pamit.
Saqila bertanya-tanya, mau kemana suaminya. Apakah akan menemui Aline?
Pintu kamarnya diketuk, bu Wening mengantarkan jamu yang ia rutin konsumsi lebih dari seminggu ke belakang dan selama itu pula ia tak bersikap baik pada suaminya, ia masih merajuk.
Bu Wening menyimpan jamu di meja samping tempat tidur lalu kembali ke luar. Saqila kembali pada kegusarannya, membayangkan Adam menemui wanita lain. Apalagi sudah seminggu lebih suaminya tak ia hiraukan, penyesalan dan ketakutan mulai berselubung.
Saqila sudah memutuskan harus segera baikan dengan Adam, semakin lama ia marah semakin bimbang Adam malah berpaling darinya. Ia berganti pakaian, memakai lingerie yang dibelinya waktu itu. Rambut ikal mayang yang ia rapikan di salon di uraikannya.
Sedikit memoles wajah dengan riasan. Setelah selesai, ia merebahkan diri di tempat tidur menunggu Adam pulang.
Harap-harap cemas.
Menunggu beberapa lama, pintu kamarnya terbuka. Saqila bangkit menatap suaminya yang tertegun menatapnya.
"Abang."
Saqila berhambur memeluk suaminya yang masih mematung.
"Abang ke mana tadi?" Saqila mendongak, masih memeluk Adam.
"Ada urusan di luar sebentar," jawab Adam.
"Qila tunggu dari tadi," rajuk Saqila.
"Nunggu abang?" Adam masih bertanya perubahan istrinya yang tiba-tiba, tadi waktu Adam ke luar, bibir istrinya itu masih kedepan lima senti.
"Hu'um. Qila kangen," manja Saqila.
"Sa udah nggak marah? Sakit hatinya udah sembuh?" tanya Adam memastikan.
"Hu'um."
Adam tersenyum lebar. Menuntun Saqila ke tempat tidur.
"Bener, udah nggak marah?"
"Iya."
Saqila tunduk.
"Abang kangen, Sa."
"Qila juga," ucapnya malu.
Adam berhambur memeluk Saqila, sudah seminggu lebih Saqila mengabaikannya, ia benar-benar merindukan istrinya. Tanpa bertanya Adam memanja Saqila, seperti singa yang lapar sudah seminggu tak makan.
"Tunggu sebentar," bisik Saqila.
"Kenapa?"
"Qila minum itu dulu," tunjuk Saqila pada minuman pemberian mertuanya.
"Apa itu?"
"Jamu."
"Untuk abang?"
"Bukan, ini untuk Qila," sahut Saqila lalu meminum jamu tersebut.
"Jamu apa?" Adam penasaran.
"Jamu anti pelakor kata amih," jawab Saqila.
Adam tergelak. Mereka kembali melanjutkan melepas rindu. Mereka berdua baru merasakan, mereguk madu setelah pertengkaran ternyata lebih indah.
Satu jam kemudian.
"Bilang ke amih, efek jamunya luar biasa. Abang suka," bisik Adam.
Saqila tersipu, masih membenamkan wajah dipelukan Adam.
"Terima kasih, Sa. Abang sayang, Sa. Nggak akan menyakiti lagi hati istri abang."
"Janji?"
"InsyaAllah."
Tak terlukiskan kebahagiaan antara keduanya. Kembali menabur senyum dan canda tawa.
==========
Mentari pagi membiaskan sinarnya, menerobos masuk ke celah gorden yang masih tertutup rapat. Hawa dingin Penyejuk ruangan, membuat pemilik kamar masih berkutat dengan selimut.
Selesai salat subuh berjamaah tadi, dua sejoli yang masih di landa rindu kembali melanjutkan tidur, begadang semalaman membuat keduanya diliputi rasa kantuk, hingga mereka kembali merajut mimpi.
Saqila membuka kedua matanya, tangan Adam masih memeluk erat. Ia raih gawai yang berada di atas kepalanya.
"Jam delapan?" gumamnya terbelalak.
"Abang bangun, udah siang, kerja nggak?"
Adam mengucek mata, menatap ke arah istri yang masih berada dipelukannya.
"Ini hari Sabtu, Sayang. Abang nggak kerja," jawab Adam malas.
Belum tua sudah pikun.
"Sabtu?" tanya Saqila, ia mengingat-ngingat. Lalu tersenyum menggaruk kepala.
Mikir apa sampai lupa. Ia hendak turun dari tempat tidur, Adam mempererat pelukannya, meminta Saqila agar berlama-lama di sampingnya.
"Lepas, Abang. Qila mau bangun, udah siang banget," pinta Saqila. Banyak pekerjaan menantinya, terutama bunga yang rutin ia siram tiap pagi, sudah mewanti-wanti pada bi Ijah, bunga-bunga adalah tugas Saqila.
Adam bangun, menatap lekat pada Saqila. Terpancar binar bahagia dari sorot matanya. Kini keduanya duduk berhadapan, diraih tangan Saqila.
"Terima kasih, Sa, udah mau maafin abang," ucap Adam.
"Asal jangan ulang lagi," sahut Saqila, agak merengut. Jika ingat kembali tentang chat suaminya, hatinya kembali terusik.
"Nggak, Sa. Abang udah nggak ada hubungan sama Aline."
"Sekarang nggak ada hubungan, karena masih di rumah. Kalau udah ke luar rumah, siapa tahu?" ketus Saqila, ia tertunduk.
"Nggak, Sa. Abang janji." Adam mengasongkan jari kelingkingnya seperti anak kecil sedang membuat perjanjian.
"Kita tukeran handphone," usul Saqila.
"Boleh, tapi kartunya jangan," jawab Adam.
"Sama aja bohong," celetuk Saqila kesal.
"Abang 'kan kerja, Sa. Nomor abang sangat penting, kalau masih nggak percaya, mulai sekarang ikut aja tiap hari ke kantor," saran Adam memastikan.
Memang sulit membangun sebuah kepercayaan yang sudah di rusak, perlu kesabaran untuk meraihnya kembali.
Saqila menyambut jari kelingking suaminya yang masih diasongkan. "Ok."
"Kita mandi bareng?" pinta Adam.
Saqila angguk, tersenyum kembali.
Sebelum itu Adam melayangkan satu kedipan.
Saqila tergelak. "Nggak capek, Bang?"
"Nggak. Salah sendiri, siapa suruh minum jamu Amih," goda Adam.
***
Adam dan Saqila, ke luar dari kamar, rumah tampak sepi. Di meja makan tak ada siapa pun. Adam menuju kamar ibunya, ternyata kosong.
"Apih sama Amih pada ke mana, Bi?" tanya Adam pada bi Ijah yang ia hampiri di dapur.
"Anu, Den. Katanya mau ke bandara jemput Den Zacky," jawab bi Ijah.
"Emang Zacky mau pulang, Bi? Kok aku nggak tahu?" Adam bertanya heran.
"Mendadak, Den. Tahu-tahu udah minta jemput aja, nggak ngasih kabar sebelumnya. Malah katanya udah sehari ada di Indonesia, nginap di rumah temenya di Manado," terang bi Ijah.
"Emang ya tuh anak, suka-suka aja kerjanya, kadang nggak mikir orang tua khawatir," gerutu Adam. "Terima kasih, Bi."
Bi Ijah angguk. Dari dulu anak bungsu majikannya memang begitu, jarang memberi kabar, sulit dihubungi. Menelpon hanya sesekali jika ia rindu dan butuh kiriman.
Sore hari rumah pak Praja diramaikan suara gelak tawa, semua anak cucu dan menantu berkumpul bersama termasuk si bungsu. Makin bertambahlah kabahagian pasangan paruh baya itu, sebagai orang tua, moment seperti ini yang selalu dinanti.
"Kamu lama di sini, Zack?" tanya Elya pada adik bungsunya.
"Nggak, Kak, paling seminggu," sahut Zacky. Tatapan matanya tertuju ke arah istri abangnya. Saqila.
Perempuan yang baru di temuinya hari ini, cukup membuatnya terkesan, Saqila mampu menaklukkan hati kakaknya. Membuat Adam bangkit kembali dari keterpurukan. Yang dia tahu, dulu Adam menjadi pendiam karena penyakitnya, sekarang tampak begitu antusias berbicara dan tertawa, bahkan tak segan menunjukkan perhatian dan kemesraan di depan keluarga pada istrinya. Zacky sangat bersyukur, kakaknya sudah sembuh.
Dikesempatan lain, Adam berdua dengan adiknya, sedikit bercengkrama melanjutkan pembicaraan dengan kelurga yang lain tadi.
"Pasti yang tadi itu istri, Abang'kan?" tanya Zacky.
"Hu'um."
"Kok beda dengan yang di foto?" tanya Zacky lagi, waktu pernikahan Adam, Lena mengirim foto mereka pada Zacky.
"Dulu masih dalam cangkang, sekarang udah jadi mutiara," sahut Adam, bibirnya melengkung jika ingat awal mereka bertemu.
"Pantesan yang ini lebih cantik dari yang di foto," celetuk Zacky.
Adam melirik. "Jangan macam-macam."
"Nggak lah, paling semacam," usik Zacky.
Adam mengerling, tinjunya di layangkan ke lengan adiknya. Mereka tertawa.
***
Sore hari Saqila menyiram bunga-bunganya, memotong beberapa tangkai dan bunga yang sudah layu. Tangannya lincah menggemburkan tanah dipinggiran pot bunganya. Lalu ia berdiri mencium bunga mawar yang berada di rak paling atas, bunga yang paling ia nantikan mekarnya.
Seseorang datang menghampiri, berdiri sejajar tepat di sampingnya.
"Abang, lihat ini. Mawar hitamnya mekar, cantik'kan?" tanya Saqila tanpa menoleh ke arah orang yang berdiri di sebelahnya.
Tiba-tiba alisnya bertaut tika memerhati tangan yang ia genggam bukan milik suaminya. Memakai gelang tangan aksesoris dan jam tangan yang tak ia kenal. Sontak ia lepaskan kasar tangan itu, lalu menoleh.
"Ma-maaf," ucap Saqila. Lelaki yang di sampingnya bukan Adam tetapi-Zakariya-adik iparnya. Adam dan Zacky sama-sama berbadan tinggi dan kurus, hanya saja Zacky menggunakan kaca mata. Wajah mereka ada kemiripan, tetapi wajah Adam tampak lebih kalem.
"Kamu beneran sayang sama Adam?" tanya Zacky tiba-tiba.
"Maksudnya?" Saqila menoleh dan menatap penuh tanya.
"Waktu Adam menikah, aku dikabarkan ia menikahi perempuan kampung dan tak di kenal kakakku. Sempat menjadi pertanyaan, tahu sendiri Adam memiliki kekurangan, apakah kamu menikah benar-benar karena cinta atau punya maksud lain? Agak absurd sih, jika bukan karena harta, lantas apa?"
Deg!
Mata Saqila memerah, dadanya panas. Rasa perih menjalar di relung hati, pertanyaan Zacky membuatnya tersinggung.
Tanpa menjawab pertanyaan Zacky, Saqila berlalu meninggalkannya yang masih berdiri di hadapan bunga-bunganya. Bagi Saqila, rasa cintanya tak perlu diucapkan, cukup Adam yang merasakan.
Zacky mematung ditinggal kakak iparnya tanpa jawaban.
"Apa pertanyaanku salah?" Gumamnya. Ia hanya ingin memastikan bahwa yang menikahi kakaknya itu benar-benar mencintai dan menerima kekurangannya, bukan karena alasan lain. Apalagi jika ingat sakit yang selama ini diderita Adam, sebagai seorang adik yang dulu cukup akrab dengan kakaknya ia hanya khawatir.
***
Sudah dua hari, Saqila mengurung diri di kamar, malas ia ke luar, ke luar hanya melakukan hal-hal penting saja, selebihnya ia habiskan sendiri di kamarnya. Belakangan semenjak Adam di ketahui selingkuh, parasaanya sangat sensitiv, ditambah lagi pertanyaan adik iparnya, ia sangat terusik.
"Lho, kok malah di sini? Bukannya ngumpul bareng yang lain?" tanya Adam, ia menghampiri istrinya yang tidur membelakangi.
"Sa...."
Saqila memejamkan mata.
Adam menyangka istrinya tidur, ia kembali ke luar berkumpul dengan orang tua dan adiknya.
Sudah beberapa hari, sikap Saqila berbeda dari biasanya. Ia hanya diam tak banyak bicara. Bahkan ketika Adam protes tentang rasa masakan yang ia masak, Saqila tak mengoceh, hanya beranjak ke kamarnya menjauhi suaminya. Adam tak suka melihat diamnya Saqila, jika ada kekesalan, istrinya itu selalu mengomel panjang lebar, tetapi kini lain lagi.
Adam meluangkan diri bersama dengan Saqila, ingin bertanya tentang perubahan sikapnya beberapa hari ini, sangat tak nyaman membiarkan hubungan mereka dingin begitu saja.
"Sa."
"Hm."
"Sa ada masalah? Kenapa belakangan jadi banyak diam dan murung, apa abang ada bikin salah sama, Sa?" tanya Adam, mengusap lembut rambut istrinya yang berbaring di tepi tempat tidur.
Saqila memutar badannya menghadap Adam, masih berbaring, lama ia tatap suaminya itu.
"Apa keluarga abang semua menyangka Qila menikahi abang itu karena harta?"
Adam terkejut mendengar ucapan Saqila, ada apa lagi dengan istrinya ini.
"Kenapa Sa ngomong gitu? Siapa yang bilang?"
Saqila bangun, merapikan rambut.
"Qila ikhlas nikah dengan abang, tak peduli kondisi abang dulu seperti apa, nggak sedikit pun Qila mikir soal harta Abang," cetus Saqila, ia terisak, bahunya berguncang. Bahkan jika bukan karena takut pada Iwan, mungkin saja dulu ia tak akan menikahi Adam, meskipun dulu ia tahu Adam anak orang kaya.
"Memangnya siapa yang ngomong gitu, Sa? Abang tahu, Sa mencintai abang dengan tulus, udah jangan mikir anah-aneh." Adam merangkul Saqila ke pelukannya.
"Abang lebih suka istri abang mengoceh, daripada murung begini, kalau Sa diam saja, abang nggak tahu masalahnya apa," tutur Adam kemudian.
Tangisan Saqila mereda, pelukan Adam menjadi tempat ternyaman untuknya. Suami yang selalu memahami dan mengerti perasaanya. Rasa syukur yang selalu ia lirihkan dalam doa, dipertemukan dengan laki-laki pengganti ayahnya.
"Qila kangen ayah," lirih Saqila.
Adam melepas pelukannya, mengusap lembut pipi istri cantiknya.
"Nanti kita pulang kampung, ziarah ke makam ayah, sekarang-sekarang ini abang masih sibuk" bujuk Adam, menenangkan hati Saqila.
Saqila angguk. "Terima kasih, Abang."
***
Adam pikir masalahnya selesai setelah memujuk istrinya kemarin, ternyata hari ini sikap Saqila makin aneh.
"Sa, dasi yang ini kayaknya baru dipakai dua hari yang lalu," cetus Adam. Dasinya dalam lemari sangat banyak, tak ada salahnya jika ia memakai dasi yang berbeda dalam satu minggu.
Saqila yang sedang memakaikan dasi pun, berubah merengut mendengar penuturan Adam, menghentikan aktivitasnya. Wajahnya ditekuk.
Adam menggaruk kepala, ini bukan sikap istrinya, jika Adam protes akan sesuatu, biasa Saqila akan menanggapi dan tak lupa tersenyum.
"Ya udah, abang pake yang ini." Adam berharap istrinya memasangkan dasinya kembali.
Saqila diam.
"Sa."
Tetap mematung.
Adam meremas rambut, kepalanya serasa berdenyut, jengkel, tak paham melihat istrinya diam saja. Dengan rasa kesal, Adam berangkat ke kantor. Namun ia harus tetap bersabar menghadapi Saqila, kasih sayang Saqila selama ini mengalahkan dan meluruhkan kekesalannya.
***
Beberapa petugas kepolisian memasuki ruangan Adam, di sana sudah ada Tiyo yang sedang menyerahkan berkas yang kemarin belum Adam tanda tangani.
"Saudara Tiyo, Anda kami tangkap," ucap salah satu anggota polisi sambil menunjukan surat penangkapan.
Tiyo bangkit, polisi memborgol tangan lelaki itu.
"Apa-apaan ini?" Tiyo menolak tangannya di borgol.
"Anda kami tangkap atas laporan pemangkasan dana perusahaan dan penipuan atas nama perusahaan."
"Apa maksudnya ini, Dam?" Tiyo menatap tajam ke arah Adam.
"Kita bertemu di pengadilan manti, loe harus bertanggung jawab atas perbuatan loe," sahut Adam.
"Gua pastikan loe dapat hukuman setimpal, terima kasih loe sudah perkenalkan gua dengan kekasih loe. Berkat dia, gua jadi tahu, loe juga penyebab kecelakaan gua dulu," cetus Adam kemudiam.
Tiyo menyatukan giginya, menahan kesal, pertanyaannya kini terjawab, Desi tahu segala tantang Aline pastinya dari Adam.
"Jadi loe sengaja jebak gue? Barengsek loe, gue dah banyak berkorban untuk perusahaan ini, harusnya loe nggak perlakuin gue kayak gini," protes Tiyo geram.
"Bawa aja, Pak," perintah Adam pada petugas kepolisian, malas harus berdebat dengan Tiyo.
Cukup Adam sadari, Tiyo selalu berada di sampingnya selama ini. Membantu menyelesaikan tugas-tigasnya selama ia sakit. Namun kejahatan tetaplah salah, Tiyo harus diberikan hukuman atas perbuatanya, sebagai pelajaran.
Ada kalanya, orang yang baik dan selalu di sisi kita itu perlu di waspadai. Musuh dalam selimut itu lebih berbahaya, bisa saja mematikan, ia harus lebih selektif memilih asisten pribadinya nanti.
Sore Adam pulang dari kantor, disambut Saqila. Sudah kebiasaan jika ia pulang, Saqila akan selalu bertanya, ingin makan dulu, istirahat atau dirinya dulu. Kali ini Saqila hanya membisu sambil membukakan dasi.
"Sa."
"Iya."
"Kalau abang selingkuh, Sa marah kan?"
Saqila menatap. "Iya pastilah," jawab Saqila.
"Kalau minta izin, marah nggak?"
"Maksud?" tatapan Saqila mulai tajam.
"Abang dengar Sa bilang, kalau mau nikah lagi abang harus bilang, Sa pasti izinkan, beneran nggak tuh?" Adam mengusik Saqila, niatnya hanya ingin meramaikan kamar yang belakangan selalu sunyi tanpa gelak tawa istrinya, berharap Saqila balas mengusik.
"Qila izinin, tapi abang ceraikan dulu Qila," jawab Saqila ketus.
Glek!
Umpannya meleset. Malah Adam bimbang sendiri, istrinya berani mengucap kata cerai.
"Nggak, Sa, abang bercanda."
"Kalau serius juga nggak apa-apa," jawab Saqila judes.
"Kok gitu?" Adam gelagapan.
"Abang sudah nggak sayang'kan sama Qila? Makanya minta kawin lagi," cecar Saqila, matanya berembun.
Jangan sampai perang lagi.
"Ya Alloh, Sa. Kenapa jadi serius gini, abang rindu istri abang yang selalu tertawa. Cuma bercanda sayang," terang Adam, ia sangat gusar jika terjadi pertengkaran lagi antara mereka.
"Nggak tahu, belakangan ini Qila benci sama abang."
"Benci kenapa?"
"Nggak tahu," ketus Saqila.
"Abang minta maaf, Sa." Rasa bersalahnya kembali menjalar.
Malam ini dilewati dengan hambar, Adam kewalahan menghadapi sikap Saqila yang mudah sekali berubah-ubah.
Tiap pagi, Saqila selalu merasa mual, kepala pusing, hingga ia demam. Kondisi kesehatannya menurun. ia juga merasakan siakapnya yang tak ceria seperti biasa, kandang kesal sendiri dan lebih sensitiv. Di ingat lagi tanggal periode bulanannya, katika dihitung ulang, sudah telat dua minggu. Namun hal itu tak ia ceritakan pada Adam.
Apa jangan-jangan?
Saqila menggeleng, ia pernah beberapa kali menyangka dirinya hamil, gara-gara mual dan pusing, juga telat datang bulan. Namun tak lama 'tamunya' tetap datang, kini ia pun tak terlalu berharap.
Seminggu sudah Zacky berada di rumah, ia harus kembali ke luar negri untuk melanjutkan study. Selama di rumah, tampak Saqila kurang bersikap ramah padanya, masih jadi unek-unek, mungkin karena pertanyaanya waktu itu.
Adam dan pak Praja sudah berangkat bekerja, sementara bu Wening berada di kamarnya, biasanya jika pagi perempuan paruh baya itu akan melaksanakan salat duha dan berzikir di kamarnya.
Zacky mendekati Saqila yang sedang mencuci piring di dapur, sedangkan bi Ijah pergi kepasar.
"Aku minta maaf, jika perkataanku waktu itu menyinggungmu," ucap Zacky.
Saqila tak menjawab, anteng dengan piring kotornya.
"Saqila!" panggil Zacky, agak kesal tak juga mendapat respon.
Saqila menoleh. "Apa?"
"Aku udah denger dari Apih dan Amih, kalau kamu orang baik, kamu menjaga Adam selama ini, kamu juga membantu penyembuhan kakakku. Maaf jika aku salah menilaimu, aku hanya ingin memastikan, kakakku baik-baik saja.
Jika dia tertekan, bukan tak mungkin penyakitnya kambuh lagi, tetap bersamanya, sayangi dia, jangan tinggalkan Adam sendirian, apapun yang terjadi," lanjutnya kemudian.
"Kamu nggak usah khawatir, aku tahu apa yang harus aku lakukan," tegas Saqila.
"Sekali lagi, aku minta maaf."
"Aku sudah maafkan."
"Sore ini aku balik ke Amerika, aku titip Adam juga Amih. Aku jarang mengubungi mereka, bukan nggak mau, aku hanya sedih jika berlama-lama melihat wajah sayu Amih."
Saqila menatap adik iparnya, perasaan seorang anak yang jauh dari orang tua pastilah sedih, meskipun tampak tegar, relung hatinya pasti menyimpan kerinduan, apalagi mertuanya kurang sehat, gusar jika terjadi apa-apa selama mereka berjauhan. Sama seperti dirinya, kuat berjauhan dari ibunya, tapi hati tak bisa dibohongi, jika mampu Saqila ingin bertemu setiap hari, meluangkan waktu bersama ibunya. Mungkin saja hati adik iparnya ini lebih lembut dari yang ia tahu.
"IsyaAlloh, aku akan selalu di sini bersama mereka, kamu nggak usah khawatir" jawab Saqila.
"Terima kasih." Zacky cukup tenang, ia berlalu meninggalkan Saqila.
Sore hari, pak Praja, bu Wening, Adam dam Saqila ikut mengantar Zacky ke bandara, ia mengambil penerbangan malam. Padahal Zacky sudah melarang, ia bisa pergi sendiri. Namun mereka memaksa tetap ingin mengantar.
"Selamat ulang tahun, Bang. Harusnya besok aku ucapkan, berhubung aku berangkat sekarang, jadi ucapanya sekarang saja," ucap Zacky.
"Kamu masih ingat tanggal lahir abang? Abang aja lupa besok hari ulang tahun," tutur Adam.
"Pasti ingatlah, dari dulu siapa yang sering ngucapin lebih dulu," cetus Zacky.
"Hahaha iya, ngucapin karena ada maunya, minta traktiran," sahut Adam, mereka tertawa.
"Doanya, semoga panjang umur, sehat selalu, cepat diberi momongan, biar rumah Amih tambah rame dan semakin disayang istri," tutur Zacky, kalimat terakhir sedikit ia bisikan, matanya mengerling ke arah Saqila.
"Aamiin, Zack, terima kasih. Kamu baik-baik di sana, jangan lupa hubungi Amih, jangn biarkan Amih nahan rindu," Adam memeluk adiknya.
"Siap, Bang." Zacky menepuk pundak kakaknya.
Setelah mengatar Zacky, semua pulang, tapi sebelum itu mereka jalan-jalan untuk makan dulu di luar.
***
Pukul sebelas malam, Saqila dan Adam sampai di rumah, mereka hendak membersihkan diri bersiap untuk tidur.
Saqila sudah rapi dengan baju tidurnya, ia menunggu Adam yang masih membersihkan diri. Adam ke luar dari kamar mandi, melihat Saqila tersenyum ke arahnya.
"Sebentar ya, abang ganti baju dulu," ucap Adam seolah ia tahu Saqila sedang menunggunya.
Sejurus kemudian, Adam sudah berada di tempat tidur, badannya terasa lelah.
"Bobo yuk, abang capek," ajak Adam.
"Qila mau ngasih sesuatu," ujar Saqila.
"Apa?"
Saqila menyodorkan bungkusan kecil pada Adam.
"Apa ini?"
"Selamat ulang tahun abang," ucap Saqila, ia juga tahu besok tanggal lahir suaminya.
Adam tersenyum. "Terima kasih, Sayang. Apa isinya?" tanya Adam menilik kado yang ia terima.
"Harusnya besok Qila kasih kadonya, tapi nggak sabar jadi sekarang aja."
"Kadonya kecil banget, nggak mungkin isinya mobil kan?" usik Adam.
Saqila mencubit manja lengan suaminya, Adam trekekeh.
Klotrek ... klotrek!
Adam mengguncang bungkusan kecil yang ringan, diarahkan ke telinganya, penasaran apa isinya.
"Abang buka sekarang ya?"
"Boleh."
Bungkusan dibalut kertas kado yang diikat pita berwarna biru itu pelan ia buka. Siang tadi Saqila sengaja menyiapkan hadiah itu untuk suaminya.
Kertas kado sudah Adam buka, ia membuka dus kecil yang terbungkus tadi lalu meraih isinya, dadanya berdebar. Netranya menatap Saqila, ia tertegun.
"Ini beneran, Sa?" tanya Adam tak percaya.
Jantungnya berdetak semakin kencang.
"Iya Papi, selamat ulang tahun," ucap Saqila mengusap perutnya yang masih rata.
"Ya Alloh, terima kasih Sayang."
Adam didekap pujaan hatinya erat, di hari kelahirannya ia mendapat kado terindah dari istrinya, kebahagiaan yang sangat luar biasa.
Air matanya berjatuhan, air mata bahagia, sungguh bagi Adam itu sebuah anugrah terbesar dalam hidupnya. Tak ada kado terindah selain kado yang istrinya berikan sekarang. Pantas saja sikap Saqila belakangan terasa berbeda, hal itu terjawab hari ini.
"Abang seneng?" tanya Saqila.
"Seneng banget, Sayang."
Berkali-kali Adam berterima kasih, doanya telah terkabul. Istrinya hamil, ia akan menjadi ayah.
"Sehat selalu Mami sama baby," ucap Adam, ia mengecup kening Saqila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel