Tentang kehamilan Saqila, sudah dikabarkan pada bu Wening dan pak Praja, mereka gembira menyambut kabar baik dari anak dan menantunya.
"Alhamdulillah, selamat, Dam, Saqi. Amih ikut bahagia," ucap bu Wening matanya berkaca-kaca. Binar kebahagian jelas terpancar dari maniknya.
"Apih juga ikut senang, jaga kandungannya baik-baik," ucap pak Praja. Meskipun mereka sudah dikaruniai dua orang cucu dari Elya dan Lena, tetapi ini lain lagi. Cucu dari anak lelaki mereka yang dulu nyaris tak ingin hidup, jangankan terpikir untuk memiliki keturunan, bisa bertahan hidup pun bu Wening dan pak Praja sangat bersyukur.
"Gimana kalau aku nambah asisten rumah tangga, Mih? Biar Saqila nggak ikut-ikutan ngerjain kerjaan rumah," usul Adam, ia tahu istrinya tak bisa diam, selalu merasa kasihan pada bi Ijah yang sibuk sendiri mengusrus urusan rumah.
"Qila nggak apa-apa, Abang. Setakat kerjaan rumah nggak bakal bikin kecapean, kok. Malah bagus sekalian olah raga, banyak gerak 'kan bagus buat kesehatan baby," sanggah Saqila menolak usul suaminya.
"Adam bener, Saqi, kamu istirahat aja, jaga kehamilan kamu baik-baik, kerjaan rumah nggak usah dipikirin, kalau mau olah raga, bisa jalan kaki keliling komplek, olah raga ringan," timpal bu Wening.
"Qila ikut aja," ucapnya seraya tersenyum.
Saqila akhirnya akur dengan saran suami dan mertuanya, itu semua demi kesehatan diri dan janin yang sekarang bersemayam dalam rahimnya.
Trimester pertama Saqila lewati dengan susah payah, morning sickness yang tak berkesudahan, selalu menyiksa paginya, siang dan sore hingga ke malam ia terus saja mual.
"Mual banget ya, Sayang?" tanya Adam yang menemani Saqila muntah di kamar mandi. Tangannya mengurut-ngurut tengkuk Saqila, istrinya itu tampak pucat dan kelelahan.
"Iya, Bang. Qila pengen makan yang asem-asem boleh nggak?" Saqila memegang tangan Adam, ia dituntun berjalan menuju tempat tidur, badannya lemah. Sudah beberapa hari tak masuk makanan selain buah-buahan, itu pun cuma sedikit.
"Makan nasi dulu ya, nanti abang carikan yang asem-asem," tukas Adam, ia membantu membaringkan Saqila yang tampak lesu.
"Qila nggak mau nasi, bau," jawab Saqila.
"Paksain dikit aja, mau ya?" Meskipun istrinya menolak, ia tetap berusaha memujuk, setidaknya ada sedikit nasi yang mengisi perut Saqila. Adam bergegas ke dapur mengambil makanan untuk Saqila, ia kembali ke kamar dengan sepiring nasi dan lauk.
"Aaaa." Adam meminta Saqila membuka mulut.
Huek!
Saqila menggeleng, menutup hidung.
Belum juga makanan masuk ke mulutnya, ia sudah mual lebih dulu, bau makanan dan masakan sangat menyiksa penciumannya.
Adam mendengkus, melepas nafas panjang. Kasihan pada istrinya yang tak juga lalu makan.
"Gara-gara abang, Sa jadi begini," lirih Adam, tangannya mengusap lembut pipi istrinya.
"Jangan ngomong gitu, Abang. Qila redho, sudah hakikat seorang istri mengandung dan melahirkan, Qila cuma minta, Abang bersabar menghadapi polah Qila nanti selama hamil, bisa saja Qila jadi nyebelin atau ngeselin," pinta Saqila.
"Abang akan selalu bersabar buat Sa, buat baby. Pokoknya, Sa ngidam apa pun pasti abang laksanakan," cetus Adam. Meskipu harus terbang ke luar negri demi mencari permintaan istrinya, ia akan lakukan.
"Makasih. Qila sayang, Papi," bisik Saqila, menghibur suaminya yang tampak sedih melihat kondisnya.
"Papi sayang, Mami, sayang baby juga," sahut Adam.
"Boleh cium baby nggak?" pinta Adam.
Saqila angguk, memegang perutnya yang masih rata.
Adam meletakan piring di nakas, merapatkan duduknya mendekati Saqila. Kepalanya ditundukan mendekati perut istrinya, secepat kilat ia mengubah haluan.
Cup!
"Eh salah, mau cium baby 'kok malah cium Maminya ya," canda Adam, ia terkekeh.
"Ih Papi nakal." Saqila tertawa.
Pagi, siang, sore, Saqila hanya makan buah-buahan, makanan lain membuatnya mual. Untuk ke dapur saja ia tak sanggup, apalagi ketika bi Ijah sedang masak, Saqila memilih tak ke luar dari kamar.
"Sa, itu nanti sakit perut nggak, pagi-pagi makan mangga muda?" tanya Adam ketika melihat Saqila pagi-pagi duduk di teras belakang, bersemangat menyuap mangga muda dicampur sambal yang ia racik sendiri.
"Terus Qila harus makan apa? Masuknya cuma ini," tunjuk Saqila mengangkat potongan mangga muda yang dibaluri sambal.
"Makan buah lain aja ya? Abang kupasin," tawar Adam.
"Nggak usah, udah sana Abang berangkat kerja aja," cegah Saqila sambil berdiri mendorong suaminya agar segera berangkat ke kantor.
"Hati-hati di rumah ya, kalau ada apa-apa telepon abang, ok?"
"Iya Papi bawel," sahut Saqila.
Bagi Saqila ini kehamilan keduanya, tetapi bagi Adam ini anak pertama, sesuatu yang sudah sangat ia impikan. Itu sebabnya ia jadi posesif, selalu cerewet apa pun yang dilakulan istrinya.
"Len, Saqila tiap pagi yang dimakannya mangga muda, nggak apa-apa gitu buat kesehatanya?" tanya Adam pada adiknya kala itu, ia cukup khawatir.
"Mau gimana lagi, yang bisa dimakan cuma itu, ya masih lebih baik dari pada nggak masuk makanan apa-apa sama sekali," jawab Lena.
"Iya, makan biskuit sama teh manis aja langung ke luar lagi," tukas Adam.
"Nggak apa-apa yang penting jangan lupa kasih vitamin sama pil tambah darah aja, tiap hari," saran Lena.
"Iya itu selalu abang paksa, Saqila rajin minum madu sama VCO, biar pun kadang dimuntahkan lagi."
"Baguslah. Harus sabar, Bang. Trimester pertama memang agak rewel, tergantung bawaan hamilnya juga, ada yang biasa-biasa saja tanpa mual, ada yang parah sampai nggak bisa makan. Masuk trimester ke dua nanti mulai membaik biasanya, malah aku lebih parah waktu hamil dulu, sampai trimester ke tiga masih aja ada mual-mual," jelas lena lagi.
"Sesulit itu ternyata perjuangan wanita mengandung," ucap Adam.
"Ya makanya, Abang harus sayang istri, menghormati wanita yang sudah melahirkan Abang dan anak Abang, perjuangan istri masih panjang, belum lagi nanti melahirkan, itu taruhannya nyawa, sudah melahirkan harus menASIhi pula sampai anak usia dua tahun, perjunagan wanita itu nggak ada sudahnya, makanya hati wanita akan teramat sakit jika suami kedapatan berkhianat," cetus Lena menjelaskan panjang lebar.
"Gimana Abang bisa nyakitin Saqila, lihat kondisinya sekarang aja hati Abang cukup sakit," cetus Adam.
"Syukurlah." Lena sangat mengerti, hati kakaknya sudah tak sama seperti dulu, kini Adam lebih sensitive, entah karena takut kehilangan istrinya, akibat kejadian masalalu.
Adam hanya berpikir bahwa Saqila satu-satunya wanita yang sanggup menerima segala kondisi dan kekurangannya. Saqila yang datang memberi terang di gelap hidupnya, ia sudah menerima segala kekurangan istrinya, selain teman hudup, Saqila juga teman ibadah, mereka saling melengkapi, menutupi kekurangan masing-masing.
***
Di rumah bu Asih.
Dari awal menikah, Nunik dan bu Asih selalu saja perang mulut, ada saja yang mereka berdua tengkarkan. Ada kalanya wanita tua itu lelah dan membatin, selalu meminta Wahyu untuk menceraikan saja istrinya yang kurang ajar itu. Nunik sama sekali tak pernah menghormatinya, ia sudah tak peduli jika tak lagi bergantung hidup pada menantunya itu.
"Ceraikan saja dia itu Wahyu, sampai kapan kamu akan buat ibu seperti ini?" Bu Asih mengeluhkan lagi kekesalannya pada wahyu.
Sedangkan yang ditanya hanya mematung, pikirannya berkecambah. Meskipun Nunik sama sekali tak ia inginkan, tetapi ia juga harus berpikir seribu kali jika harus menceraikan Nunik, bukan hanya tentang keuangan saja. Namun juga menyangkut rumah tanggagnya, ia tak ingin gagal untuk ke dua kalinya.
Wahyu pernah mendengar nasehat seorang teman, berkata bahwa 'istri adalah pakaian suami, begitu pun sebaliknya. Keburukanya adalah tanggung jawabnya. Ia harus bisa menuntun istrinya menjadi lebih baik, jika istrinya salah langkah itu karena suamilah yang tak tegas mendidiknya'.
"Sudahlah, Bu, nanti aku pikirkan, aku malas membahas masalah ini," sahut Wahyu.
Istri adalah masa depannya, sedangkan ibu adalah orang yang sangat ia cintai, dari dulu ia tak pernah melawan kehendak ibunya. Namun sekarang ia harus lebih berpikir panjang sebelum mengambil sikap.
Sudah lama ia memikirkan tentang hal ini, dia tak mungkin bisa memilih antara ibu dan istri, teringat lagi pada Saqila, rumah tangganya dulu sangat di atur oleh ibunya, hingga berujung perceraian dan penyesalan tak berkesudahan.
"Aku ingin bicara sebentar," ucap Wahyu, ia menghampiri Nunik yang sedang mematut diri di hadapan cermin.
"Apa, Mas," sahut Nunik tanpa menoleh.
"Kita pindah dari rumah ini," ajak Wahyu.
"Lho kok pindah?"
"Aku nggak mau kamu berantem terus sama ibu," ulas Wahyu.
"Emang kamu mau tinggal di rumah Mami aku?"
"Kita ngontrak."
"Hah? Ngontrak? Kamu yang bener aja, Mas. Udah enak di sini, ada ibu, bisa bantuin aku di rumah, kamu'kan tahu, Mas, aku kerja, nanti di rumah kontrakan aku sibuk sendiri." Nunik beralasan.
"Soal kerjaan rumah, aku akan bantu. Kalau kamu masih mau bersama aku, kita pindah," tegas Wahyu.
"Mas!"
Wahyu bangkit meninggalkan Nunik yang tengah kesal dengan sikap suaminya. Bagaimana pun ia sangat mencintai Wahyu, selama ini lelakinya itu mendiamkannya, berbicara hanya seperlunya.
Setelah memikirkannya berkali-kali, Nunik akhirnya akur juga dengan pilihan Wahyu. Ia gusar jika lelaki yang ia cintai meninggalkannya.
"Mas, tunggu!" Nunik mengejar Wahyu yang berjalan ke luar rumah.
Wahyu menghentikan langkahnya, lalu menoleh.
"Ada apa lagi?"
"Aku setuju dengan ajakan, Mas. Kita pindah dari sini," ujarnya.
"Baiklah, nanti aku bicarakan dengan ibu."
"Mas akan bersikap baik padaku, 'kan?" Mata Nunik menatap bola mata Wahyu, ia mencari arti dirinya dalam tatapan Wahyu.
"Akan aku usahakan," ulas Wahyu. Ya, ia harus mencoba melupakan masa lalu, kembali menata masa depan dengan wanita yang mau mendampinginya selama ini, biar pun selalu mendapat perlakuan yang tak layak darinya.
Wahyu mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu ibunya, agar ibunya itu mengerti dan menyetujui keputusannya.
Wahyu menghampiri bu Asih yang tengah termenung di kamarnya, perempuan yang ia kasihi itu semakin tua, tampak wajah keriputnya semakin menghiasi. Wajah yang sudah tak terawat, ibunya itu kini tampak kusam tak seperti dulu yang selalu memoles diri dengan riasan meskipun sudah berumur.
"Bu, aku mau bicara," kata Wahyu yang menghampiri dan duduk di samping bu Asih.
"Ada apa?" tanya bu Asih.
"Aku sama Nunik mau pindah dari sini," sahutnya, berat ia ucapkan kata-kata itu.
"Pindah? Maksud kamu mau ninggalin ibu?"
"Bukan, Bu. Aku masih bisa ketemu ibu di sini, aku cuma mau ngontrak agar bisa mandiri, agar bisa mendidik Nunik," tukas Wahyu.
"Tapi Wahyu, ibu ini sudah tua, kalau terjadi kenapa-napa sama ibu, siapa yang mau menolong?"
"Bu, di rumah ini'kan ada Naila dan Nadia, mereka bisa jaga ibu, kalau soal biaya dan keperluan hidup, aku dan Nunik pasti cukupi kebutuhan ibu seperti yang aku lakukan selama ini," terang Wahyu.
"Nggak ibu nggak mau, ibu nggak izinkan kamu ikut si Nunik itu," sergah bu Asih.
"Bu! Aku nggak mau pernikahanku gagal ke dua kalinya hanya karena ibu nggak suka Nunik, sampai kapan pun jika sikap ibu masih seperti ini, nggak ada yang mau nikah sama aku, Bu!" Wahyu sedikit meninggikan suara, ia tak pernah melukai hati ibunya selama ini. Namun sekarang ia harus tegas dengan hidupnya dengan pilihannya, tak mungkin hidupnya hanya berkutat dengan aturan ibunya.
Bu Asih cukup terpukul dengan pilihan anaknya, anak yang selalu menuruti perintahnya, kini berani melawan.
"Aku janji, Bu, akan selalu datang jenguk ibu, aku tetap anak ibu, jauh bukan berarti kita bermusushan," lirih Wahyu. Suaranya melunak melihat kaca-kaca di manik ibunya. Ia hanya ingin menyelamatkan rumah tangganya, ibu dan istri adalah dua wanita yang harus ia perjuangakn, bukan harus dipilih.
Air mata bu Asih luruh, bagaimanapun anaknya sudah membuat keputusan, tak banyak yang bisa ia lakukakn. Mau tak mau ia harus terima, merelakan anak laki-laki satu-satunya yang selama ini ia banggakan dikuasai oleh seorang wanita yang bergelar istri.
***
Memasuki trimester ke dua, sensasi mual tak terlalu Saqila rasakan, tetapi tetap saja beberapa bau makanan ia masih tak sanggup menghidunya. Makanannya sehari-hari tetap buah-buahan terutama yang asam ditambah pedas, dapat menghilangkan mual dan pusingnya.
Tengah hari, Saqila bergegas ke depan mencari-cari satpam yang biasa berjaga di pos depan rumahnya. Namun pak Irman tak berada di sana, ia melenggang ke dapur mencari bi Ijah.
"Bi, pak Irman ke mana ya?" tanya Saqila.
"Jam segini biasanya makan siang, terus ke masjid," jawab asisten rumah tangganya. Bu Wening sengaja memberi uang makan harian, pada satpam dan sopir-sopirnya, ia tak ingin membebankan bi Ijah yang sudah sibuk mengurus urusan rumah, jika harus di tambah memasak untuk pekerja lain pasti akan sangat kewalahan.
"Ya sudah, Qila ambil sendiri aja," tutur Saqila, ia berjalan menuju ke gudang, menarik tangga lipat yang tersimpan di sana.
Bi Ijah mengekori majikannya itu.
"Lho, Non mau ngapain itu bawa-bawa tangga segala, jangan! berat itu!" pekik bi Ijah, ia tergopoh menghampiri Saqila dan membantu menenteng tangga yang dipegang Saqila.
"Nggak berat kok, Bi. Qila mau metik mangga, udah nggak kuat, lidah rasanya pahit," sahut Saqila.
"Hah? Metik mangga? Jangan, Non, nanti jatuh, tunggu pak Irman aja, " sergah bi Ijah, ia cukup bimbang dengan tingkah majikannya.
Tak mendengar ocehan bi Ijah, Saqila rentangkan tangga tepat di bawah pohon mangga yang sudah menjadi targetnya. Kakinya satu per satu menaiki anak tangga tersebut, sengaja ia memakai celana kulot panjang agar memudahkan ia menaiki tangga.
"Aduh, Non, turun, bibi takut!" pekik bi Ijah lagi.
Adam yang pulang dari kantor untuk makan siang di rumah, menekan bell. Lama tak ada yang membuka pintu.
"Bi, buka pintu," perintah Saqila ia masih berusaha menjaga keseimbangan badan berdiri di atas tangga lipat.
"Nggak, Non, nanti kalau Non jatuh gimana? Pasti Den Adam marah sama bibi," keluh bi Ijah, tangannya masih memegang tangga yang dinaiki Saqila.
"Bibi lebay deh, lupa ya Qila ini udah sahabatan sama tangga, dulu waktu kerja malah sering naik tangga buat ngelap tembok sama nyuci AC, tangganya lebih tinggi dari ini," cetus Saqila.
Bi Ijah tak menyahut ia lebih khawatir jika terjadi apa-pa pada majikannya yang sedang hamil, tanpa menghiraukan suara bell.
Mendengar bell berbunyi berkali-kali, bu Wening beringsut berjalan ke depan rumah membuka pintu.
"Bi Ijah kemana, Mih?" tanya Adam heran yang membukakan pintu adalah ibunya.
"Nggak tahu, amih nggak lihat, salat paling," jawab bu Wening.
Adam masuk ke kamar, mencari Saqila tak ada di tempat, di kamar mandi, di ruang ganti tak terdapat istrinya. Ia ke luar dari ruangan itu, menoleh ke arah taman belakan lewat jendela kamar, matanya terbelalak.
Ya Alloh.
Saqila.
Setengah berlari ia menuju halaman belakang, melihat istrinya menaiki tangga yang dipegangi bi Ijah.
"Sayang ngapain? Cepat turun!"
"Abang udah pulang?"
"Turun nggak!" tengking Adam.
"Dikit lagi abang, ini mangganya dua lagi, besar-besar," sahut Saqila. Pelan-pelan ia jingkatkan kedua kakinya, tangannya berusaha menggapai mangga yang lebih tinggi.
Alloh.
Astagfirullah.
"Turun, Sa!" jerit Adam.
"Abang nggak bisa diem ih, Qila susah ni mau ambilnya dikit lagi," ketus Saqila, ia melihat tangan suaminya memegang tangga sambil begetar
Ampun.
Taubat dah.
"Abang mohon, turun, Sa," pinta Adam, Saqila membuatnya seperti sedang menaiki roller coaster.
"Iya ini bentar lagi," jawab Saqila kembali menjingkatkan kaki.
Ya Alloh.
Tolong.
Adam komat kamit membaca doa, ingin marah pun tak kuasa, hatinya diliputi ketakutan.
"Yey! dapat," sorak Saqila, ia turun perlahan dari tangga. Setelah aman mendarat, Adam menariknya ke dalam pelukan. Sementara bi Ijah membawa kembali tangga ke gudang.
"Sa mau bikin abang mati jantungan?"
"Apaan sih abang, ngomongnya gitu," geruru Saqila.
"Ini jantung abang nyaris berhenti Sa." Adam mendekapkan tangan Saqila ke dadanya, detaknya sangat tak karuan.
"Hehe, maaf," ucap Saqila cengengesan memasang wajah tanpa dosa.
"Gimana kalau Sa jatuh? Sa nggak sayang abang?" Mata Adam mulai mengumpulkan butiran di pelupuk mata.
Saqila merasa bersalah, ia mengajak suaminya duduk di kursi panjang dari anyaman bambu di bawah pohon mangga.
"Qila minta maaf," lirih Saqila tertunduk, sadar akan kesalahannya.
"Jangan gitu lagi, Sa, itu bahaya. Sa bisa tunggu pak Irman atau tunggu abang pulang," protes Adam, tak rela istrinya gegabah membahayakan nyawa bayi mereka.
Saqila hanya tunduk, menyatukan bibir, memainkan jari-jarinya. Adam melihat perubahan raut wajah istrinya, ia kembali memeluk Saqila.
"Abang bukan marah, Sa. Cuma khawatir, kalau Sa jatuh gimana?"
Saqila tak menjawab dan semakin tertunduk.
"Maafin, Abang. Ayo masuk, abang kupaskan mangganya buat Sa," ajak Adam.
"Nggak usah, sekarang udah nggak mau."
Hah.
Pedas.
Dirinya yang ketakutan.
Istrinya yang merajuk.
Adam menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Tak terpikirkan oleh Saqila, betapa suaminya itu ketakutan melihat tingkahnya tadi.
Saqila merajuk, masuk kamar lalu meringkuk. Selera makannya seketika sirna, ia tak makan hingga malam, hanya meminum vitamin dan madu. Berkali-kali Adam memujuknya agar calon ibu dari anaknya itu mau makan, tapi usahanya gagal, Saqila malah tidur lelap.
Malam, perut Saqila tersa perih, ia lapar.
"Abang, Qila lapar," ucap Saqila, mengguncang lengan suaminya.
Adam pun bangun, dengan mata mengantuk, ia menghadap Saqila, lalu melihat jam, baru pukul dua dini hari.
"Sa mau makan apa?"
"Makan mie instan boleh ya?"
"Kata Lena nggak boleh," larang Adam.
"Sekali ini aja boleh ya? Ya? Ya?" mohon Saqila, tangannya didekapkan satu sama lain.
"Mau mie rasa soto, kuah pedas pake cabe rawit, terus pake perasan jeruk nipis, udah kayak di lidah." Saqila turun dari ranjangnya, tadinya ia membangunkan suaminya, ingin meminta di temani ke dapur, tetapi melihat Adam matanya sangat mengantuk ia ke hendak ke dapur sendiri.
"Udah Sa tunggu di sini, abang aja masakin," sergah Adam, meraih tangan istrinya. Saqila kembali duduk.
Adam pergi ke dapur, mencari stok mie instan, ia ambil rasa soto. Lalu mengambil sawi hijau dari kulkas, dan mengambil satu telur. Saqila biasa memasak seperti itu dulu. Beberapa menit kemudian, mie sudah siap, dengan beberapa cabe rawit yang tak dipotong, lalu mengiris jeruk nipis yang ia simpan di pinggiran mangkuk. Perjuangannya menahan ngantuk akhirnya usai.
Adam meletakan mienya di ruang makan, lalu memanggil Saqila di kamarnya.
"Sa, mienya udah jadi, katanya lapar," ajak Adam.
"Ngantuk banget, nggak jadi makan, pengennya dari tadi," ucap Saqila, mulai terdengar suara dengkuran halus istrinya itu.
Tepok jidat.
Betapa berat perjuangannya tadi melawan ngantuk demi istrinya, sudah jadi malah ditinggal tidur begitu saja, berkali-kali Adam mengusap dada.
"Jika bukan istri kesayangan abang, sudah digetok dari tadi," bisik Adam di telinga Saqila, ia kembali tidur memeluk istrinya.
"Abang ngomong apa?" tanya Saqila sambil berbalik menghadap suaminya, matanya masih terpejam.
Ternyata istrinya dengar.
"Nggak, bobo lagi aja, ya" kilah Adam, ia mengusap rambut istrinya.
"Kalau mau getok ya getok aja." Saqila merengut.
Haduh.
Kumat merajuknya.
Muaaahh!
"Sudah abang getok dengan cinta," rayu Adam setelah melayangkan ciuman ke pipi istrinya. Benar-benar harus sabar menghadapi Saqila saat ini.
Saqila tersenyum lalu menyusup kepelukan Adam.
Fiuh!
Sabarkan hatiku Ya Alloh.
***
Saqila mendapat panggilan dari Madam Lee, meminta bertemu dengan mantan pekerjanya itu. Sebelum menyetujui, ia meminta izin Adam terlebih dahulu, suaminya itu mengizinkan. Saqila pun pergi diantar pak Apin yang sengaja ditugaskan oleh Adam.
Saqila bertolak menuju rumah mantan majikannya itu, sampai di sana ia disambut ramah.
"Apa kabar, Saqila?" tanya Madam Lee berbasa-basi.
Saqila pun menyahut setiap sapaan ibunya Daniel itu, mereka larut dalam beberapa percakapan.
"Saya sengaja minta kamu datang ke sini, Saqila, ada hal yang ingin saya sampaikan. Entah saya harus mulai dari mana," tutur Madam Lee, wajahnya berubah muram seperti memendam masalah.
"Ceritakan saja, Mam, Qila siap mendengar," sahut Saqila, dulu selama bekerja ia menjadi pendengar yang baik untuk perempuan paruh baya berparas jelita itu.
Madam Lee menarik nafas panjang, ia mengengam jemari Saqila.
"Waktu memang tak bisa diputar, jika mampu ingin rasanya mengulang kembali waktu itu. Waktu di mana Daniel meminta izin untuk meminang-mu. Sekarang sudah terlambat, kamu sudah ada yang punya," terang Madam Lee.
Saqila cukup terperangah, kenapa Madam Lee bicara seperti itu.
Perlahan Madam Lee ceritakan tentang permintaan Daniel untuk meminang Saqila dan tentang penolakan Madam Lee. Kini ia menyesal atas keputusannya itu.
"Bukan kesalahan, Mam. Kami nggak ada jodoh," sahut saqila coba memberi celah nafas di antara cerita mantan majikannya itu.
"Saya temukan ini diruang kerjanya, dulu saya tak tahu ini untuk siapa, sekarang saya tahu ini untuk kamu. Terimalah, saya anggap ini amanah terakhir dari anak saya untuk kamu." Madam Lee mengasongkan kotak warna merah berbentuk hati.
"Amanah terakhir?" Saqila mulai berpikir yang bukan-bukan. Lalu meraih kotak tersebut.
"Cincin?"
"Iya, cincin buat kamu."
"Kenapa Qila harus nerima ini?"
"Terimalah, dipakai atau pun dibuang nantinya, itu hak kamu, yang penting, saya sudah sampaikan amanah ini, karena saya akan menyusulnya ke Malaysia, dia sudah putuskan tak akan kembali lagi ke negara ini."
Saqila tertegun, dikiranya terjadi sesuatu pada lelaki yang pernah menyukainya dulu. Namun ia masih heran kenapa Daniel memberinya cincin.
"Saya salah karena tak tahu isi hati anak saya, baru tahu segalanya setelah membaca ini. Dia sengaja mengirim ini untuk kamu, saya juga minta maaf berani membuka isinya dan membacanya karena penasaran, akhirnya saya menyadari kebodohan saya, ibu yang tak peka," jelas Madam Lee, ada bulir menitik dari sudut matanya, tangan majikanya itu meyerahkan sesuatu dalam bungkusan paket yang sudah dibuka.
"Apa ini?" Saqila meraih bungkusan itu.
Buku?
"Itu novel dari Daniel untuk kamu, saya tahu segalanya dari situ, maaf saya lancang membukanya."
Saqila tak mempermasalahkan hal itu, hanya heran saja, selain dapat cincin iya juga dapat tiga buah novel dari Daniel. Setelah mereka selesai bercakap-cakap, akhirnya Saqila pamit. Madam Lee memeluk dan mencium kening perempuan yang pernah bekerja dengannya dulu itu, ia mendoakan kebahagiaan Saqila.
Setelah sampai di rumah, langsung saja Saqila buka bungkusan itu, ia penasaran dengan isi cerita di dalamnya, hingga bisa membuat Madam Lee menyesal.
Tiga buku novel, dengan versi bahasa yang berbeda. Satu bahasa Melayu, satunya lagi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, yang dibuka Madam Lee adalah yang berbahasa Inggris berjudul 'All Abaout Saqila'.
Dua buku lain judul sama. 'Segenggam Cinta untuk Saqila'.
Membaca judulnya saja hatinya berdesir, kenapa namanya terpampang di sana?
Ah mungkin hanya kesamaan nama untuk tokoh yang ada di dalamnya. Buku berwarna biru gelap dengan gambar seorang wanita mencium bunga, dari jauh terdapat seorang lelaki berdiri mendongak di dekat Twin Tower.
Tertulis juga dalam bulatan. 'best seller'. Terpampang pula tulisan 'true story' dan nama penulis 'Daniel Lee'.
Saqila makin penasaran, ia mulai menyobek plastik segel yang membalut novel tersebut, ia mulai membaca lembar demi lembar, semakin lama dadanya terasa sesak. Apa yang ditulis Daniel di awal adalah cerita tentang hidupnya, pandangannya terhadap seorang wanita dan penilaiannya tentang sebuah komitmen dalam rumah tangga.
Dari dulu Daniel sudah memutuskan tak akan pernah menikah, ia ingin hidup bebas tanpa kekangan, baginya janji hanya untuk dilanggar dan komitmen rumah tangga hanya untuk dihianati. Ia berkaca dari banyak kasus di sekelilingnya termasuk ibunya sendiri yang pernah dihianati.
Namun ketika dipertemukan dengan Saqila, semuanya berubah. Seorang gadis kampung yang tulus, polos dan sederhana, ia yakin bersama Saqila, janji akan ditepati dan sebuah komitmen akan dijaga dengan baik.
Saqila mulai sesenggukan membaca lembar demi lembar, diceritakan pula tentang semua dialog antara mereka, tentang pandangannya terhadap Saqila, selama enam bulan bekerja, saqila menjadi dunia baru baginya.
Dada Saqila sesak, tangannya mendekap mulut, air mata terus mengalir menitik membasahi novel tersebut. Beberapa lembar terpaksa ia skip, tak sanggup membacanya.
Daniel mengetahui dari ibunya tentang kabar pernikahan Saqila, waktu Saqila menelpon Madam Lee untuk menanyakan nomor Ustadz pengobatan untuk suaminya.
Tertulis patah hati dan rasa sakit yang diperangi Daniel di sana, hingga ia kembali menutup hati untuk wanita mana pun. Kembali Saqila skip banyak lembaran, jika diteruskan ia bisa saja tak berhenti menangis, ia berhenti pada satu kalimat tanya.
'Bisakah kita bertemu kembali walau hanya satu kali lagi saja, Saqila?'
Tangisnya pecah juga, salahnya dulu yang tak bisa menunggu. Walaupun hanya sebuah novel tetapi jika yang diceritakan adalah dirinya sendiri, rasa sedihnya sangat luar biasa
Saqila tak melanjutkan membaca buku terebut, hati terasa sakit jika ingat lelaki yang sangat baik padanya itu, tak sangka cintanya luar biasa. Namun cintanya pada Adam jauh lebih besar, Sempat terpikir akan ia buang saja buku-buku itu, bimbang suaminya cemburu, tetapi, ia harus menghargai sebuah karya yang dituangkan dalam sebuah buku yang tertulis namanya. Saqila akan jujur pada Adam tentang buku itu.
Adam pulang dari kantor, tak ada Saqila menyambut di depan pintu seperti biasanya. Ia langsung menuju kamar, terlihat Saqila sedang berbaring di ranjang, mata istrinya tampak sembab.
"Assalamu'alaikum, abang pulang Sa."
"Wa'alaikum salam."
"Sayang kenapa? Kok, wajahnya sedih gini? Abis nangis?" Adam memberondong Saqila dengan pertanyaan, ia gusar ada yang mengusik hati istrinya.
Saqila menggelang, ia duduk lalu meraih buku yang dibacanya tadi.
"Apa ini? Oh jadi Maminya baby nangis gara-gara baca novel? Sedih ya ceritanya?" tanya Adam sambil mengusap-ngusap rambut Saqila.
"Pantesan nangis ... nama tokohnya sama, kalau bisa cari bacaan yang bikin tertawa, jangan sedih-sedih nanti baby ikut sedih," saran Adam, ia belum tahu bahwa novel tersebut nyata berisi kisah cinta seseorang pada istrinya.
Adam mengganti pakaiannya, jelang magrib ia mengajak istrinya berjamaah lalu tadarus bersama hingga isya, Saqila menyarankan agar selama kehamilan, mereka tak hanya membaca surah-surah tertentu saja untuk mendoakan bayinya, ia ingin mereka berdua mengkhatam berkali-kali bacaan alquran selama ia hamil.
Selesai salat isya, mereka makan malam, lalu Saqila pamit untuk tidur lebih dulu, ia lelah. Adam ikut merebahkan diri di samping istrinya menghilangkan penat, ia raih novel yang tadi dibaca istrinya.
Adam larut dalam cerita, ia baru sadar istrinya menangis karena apa. Ia menyelesaikan membaca buku tersebut hingga jam sebelas malam, itu pun banyak bagian yang ia lewati, tak sanggup juga ia membaca kaseluruhan tentang perasaan cinta seorang laki-laki lain pada istrinya.
Saqila terbangun dari tidurnya, melirik ke arah Adam yang masih bersandar di kepala ranjang.
"Abang belum tidur?"
Adam mengulas senyum. "Belum."
"Kenapa?"
"Abang pengen pekluk, Sa."
"Maafin Qila tadi tidur duluan," ucap Saqila, ia memeluk Adam, ia menyandarkan kepala di dada suaminya.
"Ternyata istri abang ini primadona, semoga cinta abang lebih besar dari cinta orang-orang yang pernah singgah di hidup, Sa."
Saqila menautkan alis, lalu melirik ke arah buku.
"Abang baca?"
"Hm."
"Abang nggak marah?" Pelukan Saqila dikencangkan, ia resah.
"Nggak, cuma sedikit sesak dan cemburu, tapi abang bersyukur abang yang memiliki Sa, orang lain hanya mampu berharap."
"Abang baca sampai habis?"
"Iya."
"Endingnya gimana?" tanya Saqila penasaran, untuk membaca sendiri ia tak sanggup.
"Di ujung cerita itu tertulis ia sedang dekat dengan seorang gadis Melayu bernama Azura, ada tanya untuk Sa," ulas Adam.
"Tanya apa?"
"Dia bilang, sulit membuka hati untuk orang lain, ada satu nama di hatinya yang sulit digantikan," terang Adam."
'Bolehkah aku membuka hati untuknya, Saqila?'
"Ada pertanyaan itu, dia juga mendoakan kebahagian Sa, abang aminkan doanya."
"Terima kasih karena abang nggak marah."
"Abang malah makin sayang sama, Sa, abang juga akan kurung Sa dihati abang, abang kunci, lalu buang kuncinya ke laut yang dalam biar nggak ada yang bisa membukanya," ucap Adam, diciumnya punca kepala Saqila.
Adam mendongakkan dagu Saqila, menatapnya lekat.
"Malam ini boleh?" Adam memberi kode.
Saqila mencubit pinggang suaminya.
"Boleh, tapi pelan-pelan ya, biar baby nggak bangun," ucap Saqila menggoda Adam.
Adam mengusap perut istrinya yang mulai berisi.
"Baiklah Sayang, pelan-pelan dengan kasih dan cinta, abang persembahkan malam ini untuk Sa."
==========
Novel pemberian Daniel, Saqila simpan di rak buku suaminya. Biarlah buku itu menjadi kenangan untuk ia ceritakan di masa tua kelak. Bahwasanya ada hati yang ikhlas mencintai, tanpa menilai status dan siapa dirinya. Adam pun mengijinkan Saqila untuk menyimpan novel tersebut.
Pelan Saqila usap buku-buku yang berjejer di sana, semua buku koleksi suaminya. Selama Adam sakit, entah sudah berapa puluh buku dijadikan teman oleh kekasih hatinya itu dulu.
Adam seorang yang terbuka, ia tak mempermasalahkan hal kecil yang dapat membuat rumah tangganya kisruh. Ia sangat percaya pada istrinya yang selalu setia di sisinya, justru makin ia eratkan genggaman, agar Saqila tetap di sampingnya.
Nafas Saqila masih belum terasa lega, masih ada satu lagi yang mengganjal dihati, belum ia ceritakan, tentang cincin pemberian Daniel, apa harus ia beritahukan pada suaminya. Ataukah hanya menyimpannya saja sebagai cendera mata dari orang yang mengasihinya dulu.
Untuk saat ini biarlah suaminya itu tak tahu, pelan-pelan akan ia ceritakan nanti. Ia juga yakin suaminya bukan orang mudah tersulut emosi, hal-hal kecil tak akan mudah membuatnya marah.
Memasuki usia kandunganya yang ke lima bulan, mual sudah mulai tak terasa. Namun hidungnya sangat sensitive, mencium bau yang tajam membuat nafasnya sesak dan hidung terasa ditusuk.
"Abang berangkat dulu, ya," pamit Adam. Ia menghampiri Saqila yang tengah mematut diri di depan cermin, ingin meluk istrinya.
"Abang pake minyak wangi apa?" tanya Saqila sambil mendekap hidung.
"Kenapa memang?"
"Bau, bikin mual," jawab Saqila.
Adam menghidu bau tubuhnya dengan mengangkat tangan, mendengus kanan kiri lengannya.
"Ini parfum yang biasa abang pakai, kok, emang bau ya?"
"Iya, bikin sesak," sahut Saqila, masih menutup hidung.
Semua yang dialami Saqila selalu Adam kaitkan dengan kehamilan istrinya itu, bisa saja itu juga bawaan kehamilan. Biasa pun Saqila tak protes tentang minyak wangi.
"Ya udah, lain kali abang pakenya di mobil aja, biar Sa nggak bau," cetus Adam, ia mendekap Saqila yang masih mencubit hidung, lalu berangkat.
Ketika Adam pulang dari kantor sore hari, Saqila terlihat merebahkan diri masih dengan handuk membalut tubuhnya. Pantas saja istrinya itu tak menyambutnya di depan, baru selesai mandi dan belum berpakaian.
"Pakai baju, Sa." Adam mendekati Saqila.
"Ih abang bau, mandi dulu sana," komentar Saqila, padahal biasanya istrinya itu nyaman-nyaman saja dicium dan dipeluk ketika dirinya pulang.
"Masa sih? Bau banget ya?" tanya Adam sengaja makin mendekat ke arah Saqila.
Saqila makin mendekap hidungnya. "Syuh, syuh." Saqila seperti tengah mengusir ayam.
"Emang abang ini kucing? pake syuh, syuh segala," ucap Adam, ia tergelak.
"Hidung Qila beneran sakit, Abang."
"Iya, abang mandi dulu. Sa pake baju sana, kalau nggak...."
"Apa?"
"Tunggu aja nanti habis abang mandi." Adam tertawa.
Selesai membersihkan diri, Adam masih melihat istrinya seperti tadi, berbalut handuk.
"Kok belum pake baju?"
"Masuk ke sananya bau," ucap Saqila menunjuk ke ruang ganti.
"Bau apa?"
"Pewangi laundy, baunya kuat banget," jawab Saqila.
Baju kerja Adam memang selalu dicuci di laundry dan wanginya sudah familiar, ia sedikit heran, sampai bau pewangi saja mengganggu indra penciuman Saqila.
"Biar Abang ambilkan bajunya."
Saqila angguk.
Sejak saat itu, jika ingin dekat dengan Saqila, Adam harus rajin mandi. Saqila benar-benar terganggu dengan aroma tubuh suaminya yang sekarang terasa asing.
"Abang mandi sana." Lagi-lagi Saqila menyuruhnya mandi.
"Baru tadi abang mandi, Sa. Masih wangi kok," alasan Adam.
"Nggak, baunya aneh."
Bahkan menjelang tidur pun, Adam tetap harus mandi. Malam, Saqila akan menjauh dari suaminya, aroma tubuh Adam membuatnya sangat tak nyaman.
Elya dan Lena pun cukup ke heranan, waktu mereka berkumpul, Adam sering mandi dan ganti pakaian.
"Kenapa, Bang?" tanya Elya, melihat Adam mengusap cairan hidung dengan tisu dan hidungnya merah.
"Pilek kayaknya, udah beberapa hari mual juga," sahut Adam.
"Gimana nggak pilek, dilihat-lihat keramas mulu," ledek Lena.
"Iya padahal Saqila udah hamil, masih aja rajin, kasian juga kalau bumil diporsir terus," usik Elya cekikikkan.
"Apaan sih, Saqila jadi aneh, nggak mau dekat-dekat kalau nggak mandi, padahal baru berapa jam yang lalu abang mandi, masa udah bau," dengkus Adam.
"Bawaan bayi paling, Bang, hidungnya jadi sensitive, ada'kok yang begitu," sahut Elya.
"Saqila udah jarang mual, malah abang sekarang yang sering mual, kenapa ya?"
"Masuk angin mungkin," sahut Lena.
"Bukan, badan biasa aja, kalau masuk angin badan greges, ini nggak, udah seminggu kayak gini."
"Nular paling dari Saqila," cetus bu Wening menimpali, dari tadi hanya mendengakan saja celotehan anak-anaknya.
"Masa, Mih. Udah masuk lima bulan hamilnya juga, nggak masuk akal, Saqila hamil masa aku yang mual, kan nggak nyambung," sanggah Adam.
"Jangan salah lho, dulu di kampungnya Apih ada yang begitu, waktu amih berkunjung ke sana, saudaranya Apih ada yang lagi muntah-muntah, tiap hari mual, ternyata istrinya hamil, hampir dua bulan kayak gitu," jelas bu Wening.
"Kalau secara medis memang nggak masuk akal, tapi kadang kejadian seperti itu ada, entah tersugesti atau apa," terang Elya.
Untung saja hal itu tak berlangsung lama, kondisi Saqila pun sudah seperti biasa, meskipun terkadang masih ada hal-hal yang membuat Saqila masih terasa mual.
"Abang, kapan kita mau ke kampung? Waktu itu abang bilang mau ajak Qila ziarah ke makam ayah, Qila juga udah kangen ibu," ucap Saqila menagih janji.
Adam merenung mengingat-ngingat jadwalnya minggu ini.
"Besok aja kita ke kampung, gimana? Tapi nggak bisa lama-lama," ajak Adam.
"Beneran besok?"
"Iya."
Saqila sangat antusias, moment paling ditunggu adalah pulang kampung menemui ibunya. Lagi pula sekarang kondisi Saqila sudah di zona aman, tak khawatir jika bepergian jauh.
***
Semenjak Aline diputuskan Adam waktu itu, bu Riska sering menghubungi Adam, mengadu tentang kondisi anak gadisnya. Aline tertekan, malu tak ada yang menikahinya, sementara Tiyo ayah bayi yang di kandung gadis itu sudah di penjara. Ia sering meraung , menjerit dan memekik memaki siapa saja yang berkunjung ke rumahnya .
Namun hal itu tak dihiraukan lelaki berbadan kurus itu. Baginya, Aline sudah tak ada kaitan lagi dengan hidupnya. Apapun yang terjadi dengan Aline, pantas didapatkan gadis yang menghianatinya itu.
Satu bulan yang lalu Aline melahirkan bayinya, selama hamil ia tertekan dan setelah melahirkan terserang baby blues syndrom, gejalanya semakin parah menjadi postpartum depression.
Aline sempat akan membunuh bayinya dan ingin bunuh diri. Kini Aline di rawat di rumah sakit jiwa dan ikut ditangani seorang psikolog. Anak lelaki Aline di rawat oleh bu Riska sendiri, meski malu memiliki cucu tanpa ayah, tetapi bayi itu tak bersalah, ia tetap cucunya.
Sempat juga bu Riska meminta Adam sering-sering menjenguk Aline, karena anaknya itu sering menyebut-nyebut nama Adam. Berharap jika sering bertemu dengan mantan kekasihnya, Aline bisa sembuh, tetapi Adam menolak, yang lebih penting baginya saat ini adalah Saqila. Apa yang dialaminya dulu, kini dialami Aline dan Adam tak peduli, sama halnya seperti gadis itu yang tak mempedulikannya dulu.
***
Di kediaman bu Laras tampak sepi, semua ke peternakan. Hanya ada Dina dan kedua anaknya yang sedang tidur siang, Dina sendiri tengah masak di dapur menyiapkan makan siang untuk seisi rumah.
Iwan jarang pulang ke rumah ibunya, katanya ia membuka bengkel di kampung lain dengan kawan-kawannya, hanya sesekali saja ia pulang untuk bertemu Erwin.
Niatnya ingin pergi ke kota kembali untuk mencari Saqila, tetapi untuk saat ini ia urungkan. Iwan akan mengumpulkan uang agar bisa mencari kediaman suami Saqila, dirinya masih tak terima perempuan yang masih mengisi hatinya menikah dengan orang lain, ia sangat ingin tahu hati Saqila yang paling dalam, masih adakah cinta untuknya.
Jika ada, ia tak segan membawa perempuan yang ia cintai itu lari dari kehidupan suaminya. Cinta membuatnya buta dan tuli, tak melihat dan mendengar jeritan istrinya yang selalu mendampingi.
Dina ia anggap sebagai pengasuh anaknya, jika Erwin sudah tak menyusu, ia akan ambil alih hak asuh anaknya itu dan menceraikan Dina.
"Sampai kapan kamu mau kayak gini, Wan? Apa kamu nggak kasihan sama ibu?" ucap bu Laras ketika Iwan datang menginap.
Iwan tahu arah pembicaraan ibunya, yang dimaksud adalah hubungannya dengan Dina, ia hanya diam dan tertunduk.
"Setidaknya kamu kasihan sama Erwin, dia butuh kasih sayang ayah, bukan cuma kamu kasih uang. Dina juga baik, Wan, dia selalu nunggu kamu, mengurus rumah, mengurus keperluan keluarga ini, jangan hanya karena kesalahannya yang dulu, kamu melupakan semua kebaikannya selama ini," sambung bu Laras.
Iwan tak juga menyahut, tak ada seorang pun yang mengerti perasaannya, tak ada yang memahami cintanya. Baginya Saqila bukan hanya sekadar cinta, tapi juga adalah hidupnya, tanpa gadis itu, dirinya terasa hampa.
Betapa ia sangat mengharap perempuan yang masih ia cintai itu sedari dulu, bagaimana mungkin semudah itu ia melepaskan dan melupakan Saqila begitu saja. Hatinya tak rela melihatnya bahagia, jika dirinya menderita, maka Saqila pun harus sama.
"Terima Dina, Wan. Ibu yakin dia bisa jadi istri yang baik," lanjut bu Laras, ia sendiri sudah menerima Dina dan yakin menantunya itu sebenarnya wanita yang baik, semua manusia pernah melakukan kesalahan, termasuk Dina.
Iwan bangkit meninggalkan ibunya, tanpa menjawab sepatah kata pun. Ia menuju kamar, perlahan beringsut ke tempat tidur menghampiri Erwin yang sedang pulas. Bayi berusia satu tahun setengah itu sangat mirip dengannya, seolah takut tak diakui. Iwan menatapnya lekat, dikecup kening anak mungil yang sesekali menggerakkan tangan merasa terganggu.
Dina masuk ke kamarnya, lalu meraih Erwin.
"Aku hari ini mau main ke rumah ibu," ujar Dina seraya menggendong Erwin.
"Biarkan Erwin di sini, aku besok pulang ke bengkel, ingin main dulu sama dia," pinta Iwan.
"Aku agak lama di rumah ibu, nanti dia nangis." Tanpa menunggu suaminya menjawab, Dina bergegas ke luar.
"Bu, aku ke rumah ibu dulu, di sana ada Saqila, nanti sore aku pulang," izin Dina pada bu Laras yang tengah duduk di meja makan.
"Ada Saqila? Kapan dia datang?"
"Baru sampai, Bu."
"Sudah lama ibu nggak ketemu dia, kangen juga, titipkan salam ibu untuk Saqila ya, ibu harus kepeternakan lagi bantu bapak, nanti ibu sempatkan ketemu dia," pesan bu Laras.
Dina angguk, "Baik, Bu."
Iwan di kamar mendengar ucapan Dina, istrinya itu tak memberitahunya tentang Saqila. Ada rasa senang mendengar kekasih hatinya berkunjung ke kampung, ia tak perlu susah payah mencarinya ke kota, ia harus menemui perempuan yang selalu ia rindukan, apapun resikonya.
***
Sebelum ke rumahnya, Saqila dan Adam ke rumah bu Dewi lebih dulu, ia sangat merindukan ibu dan adiknya. Riuh rendah dengan canda tawa meramaikan rumah bu Dewi, jarang-jarang mereka bisa berkumpul seperti sekarang. Saqila menceritakan pengalamannya mengandung anak keduanya, kadang ia tertawa jika ingat tingkah suaminya yang over protektiv, yang diceritakan hanya mesem-mesem menyimak ocehan istrinya.
Setelah melepas rindu, mereka pamit menuju rumah Saqila. Kini rumahnya itu sudah lengkap dengan perabot dan pernak-perniknya.
"Kapan Abang isi rumah ini dengan barang-barang?" tanya Saqila, perabotan rumahnya sangat lengkap.
"Sudah lama, ibu yang bantu, abang minta ibu suruh orang buat bersihkan rumah ini tiap minggu," jawab Adam.
Pantas saja rumahnya tampak bersih dan rapi meskipun sudah lama ditinggal. Kamarnya pun sudah lengkap dengan lemari dan meja rias, suaminya memang sangat pengertian, tanpa ia minta semua sudah tersedia.
Adam merebahkan tubuhnya di atas spring-bed.
"Sini, Sayang," panggil Adam, tangannya menepuk kasur disebelahnya.
Saqila membuka jendela kaca, membiarkan semilir angin masuk ke kamar mereka. Ia menutup pintu kamar, lalu mendekat ke arah Adam dan ikut melemaskan punggung di samping suaminya.
"Hawa di kampung siang-siang gini tetap terasa nyaman, biarpun nggak ada Ac, nggak ada kipas. Nggak kayak di kota, panas, gerah," ulas Adam.
"Hu'um, kadang Qila pengen tinggal di kampung, udaranya segar, tapi abang nggak mungkin bisa, harus kerja" cetus Saqila, ia memiringkan badan menghadap Adam.
"Kita bisa main ke sini, anggap sebagai villa, tempat bulan madu kita," tutur Adam, ibu jarinya mengusap bibir mungil istrinya.
"Kayak pengantin baru aja bulan madu, kita kan pengantin lama."
"Kita juga pengantin baru, baru setahun lebih." Adam terkekeh. Ia mulai mengajak istrinya bercanda, menggelitik pinggang istrinya.
Saqila tertawa menahan geli. "Ampun Abang, ampun," ucap Saqila, ia menyerah, tetapi Adam tak menghiraukan.
"Auh! Sakit," keluh Saqila.
Adam menghentikan candaannya.
"Sakit apa, Sa?" Adam terlihat kaget, ia merasa menggelitik istrinya cukup pelan.
"Ini." Saqila menunjuk bibir, ia tertawa lepas, berhasil mengelabuhi suaminya.
"Ngagetin aja, awas ya."
Adam kembali menggelitik tanpa ampun. Perlahan suara canda tawa mereka hilang, berganti suara manja dan tarikan nafas keduanya yang terengah bahagia, menikmati indahnya cinta. Embusan angin yang mengelebatkan gorden memaksa masuk ke kamar, sudah tak mereka hiraukan.
***
Pagi hari, Saqila menyiram bunga-bunga di halaman depan, sementara pak Apin dan pak Irman izin ke luar untuk servis mobil, salah satu ban ada yang kempes, sebelum nanti kembali ke ibu kota, mereka harus menyiapkan kendaraan agar aman.
"Sa, abang tinggal sebentar ya, ambil sarapan di rumah ibu," pamit Adam, Saqila ditelpon bu Dewi agar mengambil sarapan dari rumah ibunya saja, ia tak perlu masak, ibunya sudah menyiapkan sarapan untuk mereka. Adam tak mengizinkan Saqila pergi, ia yang akan mengambilnya sendiri.
"Iya, Abang, hati-hati. Nanti bawa motor Qila yang di rumah ibu aja ya, biar cepet balik lagi, kalau jalan kaki jauh," pinta Saqila.
"Ok, Sayang."
Adam pun berlalu, Saqila kembali pada bunganya. Taman kecilnya tampak terawat meskipun ia jarang pulang ke kampung, Adam yang meminta bu Dewi agar menjaga bunga-bunga kesayangan istrinya.
"Apa kabar, Qila?"
Deg!
Saqila menoleh.
Iwan?
Bukankah Dina bilang Iwan tak berada di kampung ini?
"Nga-ngapai kamu ke sini, Wan?" Saqila gugup, ia risau Iwan membuat kekacauan lagi.
"Aku ingin bicara sebentar," pinta Iwan lembut. Ditatapnya lekat wajah perempuan yang tak pernah jauh dari pikirannya, parasnya semakin cantik, rindunya semakin membuncah.
"Pulanglah, Wan. Nanti suamiku marah."
"Aku tahu dia nggak di sini, dia keluar tadi." Dari pagi sekali Iwan mengintai mereka, tepatnya dari kemarin. Iwan mendekat, menarik tangan Saqila.
"Eh, apa-apaan ini, lepasin Wan!" pekik Saqila ia berontak ingin lepas dari genggaman tangan Iwan.
Lelaki bertubuh kekar itu tak menggubris ucapan Saqila, ia terus menarik tangannya. Berjalan belok ke belakang rumah, menyusuri pesawahan.
Tangan Saqila terus berontak agar lepas dari Iwan, ia juga menjerit meminta tolong. Padi yang mulai menguning membuat pesawahan sepi, para petani hanya tinggal menunggu panen, jarang ke sawah, hanya tampak beberapa orang dari jauh yang sedang menunggu padi dari serangan burung. Saqila berteriak meminta tolong, tapi tak ada yang mendengar. Saqila jongkok agar Iwan sulit menarik tubuhnya. Bukan Iwan namanya jika kalah dengan perempuan yang hanya bertubuh kecil seperti Saqila. Ia mengangkat gadis itu kepundaknya, lalu melanjutkan perjalanan.
"Lepaskan, Wan, aku mau dibawa ke mana?" Tangan Saqila memukul-mukul punggung iwan dan menjambak rambut lelaki itu, tanganya tak mau diam mencakar wajah Iwan.
Geram dengan gelagat Saqila, Iwan berhenti di sebuah saung di tengah pesawahan, di dudukannya Saqila di sana.
Saqila makin menyerang Iwan, ia mengoceh dan memaki.
"Diam, Saqila!"
Bentakan Iwan tak di dengar Saqila, tangannya terus memukul tak karuan.
Plak!
Tamparan hebat mendarat di pipi putih Saqila, ia diam seketika, memegang pipi yang berdenyut.
"Aku sudah bilang, Qila. Diamlah, aku mohon," lirih Iwan.
"Kamu jahat, Wan." Saqila mulai terisak, merasakan panas pipi dan sakit yang menjalar.
"Aku cinta kamu, Saqila, harusnya kamu ngerti."
"Lepasin aku, Wan, aku mau pulang." Saqila bangkit hendak meninggalkan lelaki yang kini bersikap kasar padanya.
Tangan Saqila kembali di tarik, ia merogoh sesuatu dari kantong celananya. Sudah menyiapkan hal itu. Diikat tangan Saqila menggunakan sapu tangan dan menyekap mulut perempuan itu dengan lakban hitam. Ia kembali membopong Saqila ke pundaknya dan membawa gadis itu ke suatu tempat.
Saqila tak berkutik, hanya kakinya yang menjuntai menendang-nendang. Namun ia lemah, tak cukup kuat menumbangkan mantan kekasihnya. Air matanya terus mengalir, ia membayangkan apa yang akan dilakukan Iwan padanya. Lelaki yang pernah ia kagumi kini berubah bak monster yang menakutkan.
Iwan membawa Saqila ke sungai ujung kampung, tempat kenangan mereka masa kecil.
"Kamu masih ingat tempat ini, Sayang?" Iwan membuka selotape yang membungkam mulut Saqila. Tampak pipinya merah terkena tamparan, terdapat sedikik bercak merah di ujung bibir, Saqila begitu kerakutan.
"Maafkan aku, Saqila, tolonglah mengerti aku," lirih Iwan mengusap luka di bibir Saqila.
Ditepis kasar tangan Iwan oleh tangan Saqila yang masih terikat.
"Kenapa kamu jahat begini, Wan. Aku mohon lepaskan aku," pinta Saqila. Maniknya tak henti mengeluarkan bulir bening dengan isakan pilu.
Iwan membuang nafas berat, ia sendiri lelah tak bisa melupakan Saqila, entah yang dirasakannya kini adalah cinta atau hanya sekadar ambisi. Ia melepaskan ikatan gadis pujaannya yang tampak menyedihkan.
"Saqila, pernahkah sekali saja kamu meraba perasaanku, pernahkah kamu melihat cinta yang begitu besar buat kamu?"
"Hentikan, Wan. Aku sudah menikah, kamu juga sudah punya Dina dan Erwin, kita bisa bahagia dengan kehidupan masing-masing."
"Bahagia?" Iwan tertawa, hatinya perih.
"Aku tersiksa, Saqila. Bagaimana kamu bisa bilang bahagia?"
"Tolong, Wan. Aku mau pulang, suamiku pasti khawatir dan mencariku."
"Biar dia datang ke sini, itu pun kalau dia tahu kita di sini, aku ingin tahu reaksinya melihat kita pacaran," ulas Iwan, ia menyeringai. Wajahnya didekatkan ke wajah Saqila, bibirnya hampir menyentuh bibir Saqila, segara Saqila dekap mulutnya. Iwan kembali tergelak.
"Apa aku begitu menjijikan bagimu, Qila?" Tangannya menarik kerudung Saqila yang tak beraturan. Ikatan rambut Saqila ia lepaskan.
"Kurang ajar kamu, Wan." Saqila mengusap kasar air mata di pipinya.
"Aku nggak akan berbuat jahat, Qila. Aku hanya kangen." Iwan merebahkan diri di saung yang dibangun ayah Saqila dulu. Tempat itu dahulu terasa indah, kenangan manis tumbuh di sana.
"Begitu cepat kamu berubah, melupakan cinta kita, sedangkan aku, hanya berjuang sendiri, mungkin aku juga akan bahagia jika mudah melupakan-mu. Sayangnya perasaanku tak sedangkal itu," lirih Iwan, ia menoleh menatap Saqila.
"Apa masih ada rasa cinta di hati kamu buatku, Saqila?"
Saqila masih terisak, ia sangat merindukan Adam, pasti suaminya kalang kabut mencari-cari, hatinya lirih memanggil nama suaminya. Berdoa bekali-kali agar dijauhkan dari hal-hal yang tak diinginkan. Ia mengusap perutnya, lalu meraung.
Saqila melihat iwan lengah, lelaki itu masih berbaring menatap langit-langit, menerawang jauh, mengenang nasib cintanya yang tak berujung. Terkatung-katung menyasar cinta yang tak bertepi, jika dikata lelah, sungguh ia lelah.
Saqila berjalan pelan, lalu setengah berlari hendak meninggalkan Iwan. Namun tak sampai jauh ia pergi, Iwan cepat meraihnya kembali, dengan kesal menarik tangan Saqila ke bibir sungai.
Byuuur!
Saqila dilempar ke sungai, tenggelam lalu timbul, berdiri menjaga keseimbangan dan mengusap wajahnya yang terperangah dengan tindakan Iwan.
"Kamu gila, Wan, apa yang kamu lakukan? Hah!"
"Aku memang gila, sejak kamu tinggalkan. Kamu suka berenang, aku cuma ingin melihat kamu mandi. Kamu masih ingat, Qila? Dulu kamu pernah mendorongku sama seperti tadi, begitu bahagia melihat aku tenggelam," sindir Iwan, ia hanya ingin bermain-main denga Saqila.
"Aku nggak tahu kalau hal itu menjadi dendam," ucap Saqila.
"Aku nggak marah, Qila, malah aku senang, dari situ aku mulai mencintai kamu, sayangnya kamu pinter berenang, jadi nggak mungkin tenggelam. Jika kamu tenggelam setidaknya aku bisa bikin nafas buatan untuk kamu, sama seperti yang kamu lakukan dulu."
Saqila perlahan naik dari sungai, tetapi Iwan kembali mendorongnya, tertawa senang melihat Saqila kembali berenang.
"Iwan aku mohon, biarkan aku pulang." Saqila meraung, lama ia di dalam air, tak dilepskan Iwan, tangannya mulai keriput dan tubuhnya menggigil.
"Tarik tangan aku, Saqila. Katakan kalau kamu ingin kembali padaku, aku akan bahagiakan kamu." Iwan menghulurkan tangannya.
"Nggak, lebih baik aku mati di sini, kamu jahat, kamu monster."
Dengan badan menggigil Saqila berenang menjauh dari Iwan, ia perlahan naik. Iwan tak tinggal diam, langkahnya mengikuti kemana Saqila pergi, ia kembali mengasongkan tangan. Saqila tak menyambut tangan lelaki jahat yang ada di depannya, ia menapak batuan licin dan kakinya terpeleset.
Saqila terjatuh, keningnya terbentur batu sungai.
Arrgh!
"Saqila!" pekik Iwan terkejut. Ia tak berniat mencelakakan orang yang ia cintai.
Darah mengalir dari kening Saqila, tertatih mencoba bangkit menuju tepi sungai. Kepalanya sakit, pandanganya mulai kabur, tubuhnya mengigil.
Bruk!
Saqila tak sadarkan diri.
Iwan berhambur ke arah Saqila yang tersungkur di tanah, ia menyesal atas perbuatannya yang bermain-main dengan gadisnya tadi.
***
Sementara di tempat lain, Adam kelabakkan mencari istrinya, ketika ia pulang dari rumah bu Dewi, Saqila tiada di tempat. Ia kembali ke rumah mertuanya, mengabarkan kehilangan Saqila.
Bu Dewi panik, ikut mencari Saqila, ia pergi mencari ke rumah bu Laras, tetapi nihil. Mereka mencari ke seluruh kampung tetapi Saqila tak kunjung di temukan. Lunglai Adam kembali ke rumah bu Dewi, menunggu istrinya di sana. Pak Apin dan pak Irman masih mencari ke kampung lain, mereka pun kembali dengan tangan kosong.
Riyan berlari menuju rumahnya, nafasnya terengah, membungkuk menahan penat.
"Buuu!" panggil Riyan.
"Ada apa, Yan?" Bu Dewi tergopoh menghampiri anaknya yang tersengal.
"Tadi aku sama teman lagi nyari belut, aku lihat kak Qila di bawa kak Iwan," terangnya dengan nafas yang masih tersendat.
Adam terperangah, ia menghampiri adik iparnya, ingin tahu lebih lanjut.
"Dibawa ke mana, Yan?" tanya Adam.
"Kayaknya sih, ke sungai ujung kampung, jalannya mengarah ke sana," jelas Riyan.
Adam tahu ke mana istrinya pergi, ia mengajak sopir dan satpamnya serta meminta beberapa orang kampung untuk ikut mencari Saqila.
Benar saja, Adam melihat Iwan sedang memangku Saqila yang terkulai menuju saung dan membaringkan Saqila yang tak sadarkan diri. Amarahnya memuncak, nafasnya memburu. Ia menghampiri, menarik kerah baju Iwan dari belakang.
Bug!
"Bajingan! Kamu apakan Saqila, hah!"
Bug!
Pukulannya didaratkan lagi ke wajah Iwan, lelaki berbadan tegap itu terhunyung ke belakang, tak berkutik mendapat serangan tiba-tiba.
Adam mengibas tangan yang terasa sakit, sudah lama ia tak menggunakan tinjunya.
Iwan mengusap bibir, berdiri memasang kuda-kuda, siap melawan Adam.
Mata Adam melirik kanan kiri, ia meraih potongan kayu yang berserakan di dekatnya. Ia menyerang Iwan membabi buta, bertubi-tubi ia layangkan pukulan kayu ke tubuh Iwan, amarah yang tak terbendung.
Iwan tak mampu melawan, hanya menahan serangan dengan tangan untuk melindungi tubuhnya, tetapi ia kewalahan.
Tendangan Adam membuatnya terjungkal, mencium tanah. Belum sempat ia mengumpulkan tenaga, Adam berlutut di sampingnya, menindih dan kembali melayangkan pukulan berkali-kali ke wajahnya, tiada ampun.
"Kamu apakan Saqila, Hah!"
Iwan terbatuk beberapa kali, menyemburkan darah segar dari mulutnya, Adam masih berada di atasnya. Seperti kerasukan, hilang kendali.
Tangan Adam meraih batu di sekitarnya, ia melayangkan tangan di udara.
"Jangan, pak Adam, hentikan," sergah Pak Irman, ia tak ingin majikannya jadi pembunuh.
"Aku bersumpah, jika terjadi sesuatu pada anak dan istriku, aku akan membunuh-mu," ancam Adam, sulit mengontrol amarahnya.
Iwan sudah memejamkan mata, pasrah menunggu batu yang dipegang lawan yang akan menghantam kepalanya.
Adam menghentakan batu tepat di samping kepala Iwan. Ia meraung sekuat hati, melepaskan ke marahan yang mengerumuni hatinya, ingin saja ia membunuh Iwan. Perlahan ia bangkit, kaki palsunya bergeser tak tepat posisi, ia berjalan berjingkat menuju saung.
Beberapa orang yang ikut berhambur ke arah Iwan, mencekalnya agar tak kabur atau pun bertindak melawan.
Saqila berbaring tak sadarkan diri, tanpa kerudung, darah membasahi wajah manisnya. Adam merangkul istrinya, ia menjerit memekikkan nama Saqila.
"Saqila. Bangun, Sayang. Ini abang, maafin abang, Sa, maafin. Bangun, Sa, abang datang." Adam menepuk-nepuk pipi istrinya, wajah Saqila pucat, tubuhnya dingin, ia menyesal tak mampu menjaga istrinya.
Aku mohon.
Jangan lagi.
Tak sanggup kehilangan dia, Ya Alloh.
"Ayo pak Adam, kita bawa Neng Qila ke rumah sakit," ajak pak Irman.
Pak Apin dan beberapa warga sudah membawa Iwan untuk diserahkan ke kantor polisi.
Pikiran Iwan berkeliaran, ia tak tahu jika Saqila hamil, gamis dan kerudung labuh menutupi kehamilan perempun berwajah sendu itu, ia mengira Saqila hanya berisi melihat pipinya yang chuby. Terbayang lagi ekspresi suami Saqila tadi, lelaki itu benar-benar mencintai istrinya. Iwan berjalan tertunduk, ia menyesali perbuatanya, tak sangka permainannya berujung mencelakai Saqila.
"Mafkan aku, Saqila," gumamnya, air matanya menitik, kini hilang sudah harapan, Saqila pasti akan sangat membencinya. Iwan pasrah, ini akhir kisah cintanya bersama Saqila, ia siap mendapat hukuman atas perbuatannya.
Adam meminta satpamnya itu menggendong Saqila, keadaannya tak memungkinkan untuk memangku istrinya. Sepanjang jalan ia menangis, berdoa semoga Saqila dan bayinya baik-baik saja.
***
Dokter sudah menangani Saqila, akibat kedinginan lama di dalam air dan mengenakan pakaian basah terlalu lama, ia mengalami hipotermia.
"Gimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Adam.
"Bu Saqila baik-baik saja, beruntung segera mendapatkan perawatan, hipotremia bisa menyebabkan kematian jika telat ditangani," jawab dokter.
"Bayinya juga baik-baik saja, janinnya kuat," lanjut dokter.
"Alhamdulillah ... Terima kasih, Dok. Sekali lagi terima kasih," ucap Adam.
Dokter menepuk pundak Adam, lalu meninggalkan ruangan Saqila.
Adam mendekati Saqila yang terbaring belum sadarkan diri, beberapa selang terpasang di tangannya termasuk cairan intravena untuk menghangatkan darah, masker oksigen terpasang di hidungnya. Kepala diperban, akibat terhantuk batu lukanya cukup dalam. Tubuh istrinya berselimut tebal agar suhu tubuhnya kembali normal
Adam meraih tangan Saqila, menciumnya lembut, air matanya kembali menetes. Ia berjanji akan membuat Iwan meringkuk di penjara dengan waktu yang lama, ia tak peduli jika harus mengeluarkan uang banyak sekali pun.
Adam berbaring di samping istrinya, terguguk, mengusap pipi Saqila yang masih terpejam.
"Cepat sembuh, Sayang. Abang kangen. Kita tertawa dan bercanda lagi. Sa pengen jalan-jalan ke pantai,'kan. Abang janji kalau, Sa sembuh nanti abang bawa, Sa dan baby ke pantai." Adam kembali tersedu, ia sangat takut kehilangan Saqila. Entah bagaimana dunianya tanpa istrinya. Masih terisak, Adam terlelap di samping istri yang selalu ia kasihi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel