Cerita Bersambung
Perlahan Saqila membuka mata, mengumpulkan kembali ingatan. Terakhir ia berada di tepi sungai, terjatuh dan kepalanya terhantuk batu. Darah mengalir melewati wajahnya, tangannya menyentuh kening, kepalanya dibebat.
Ya, Saqila mengingat bersama Iwan, tetapi sekarang ia berada di satu ruangan serba putih, pandangannya memutar ke seluruh ruangan, ia menoleh ke arah kiri. Adam tengah berbaring di sampingnya.
"Abang," lirih Saqila.
Suaranya nyaris tak terdengar, tertutup masker oksigen. Banyak tanya di benaknya, bagaimana dirinya bisa berada di rumah sakit ini, bagaimana suaminya bisa menemukannya.
Ditatap lekat wajah Adam, tampak sisa-sisa air bening bertakung di sudut mata lelakinya itu. Pasti sangat terpukul melihat keadaannya dan akan sangat marah pada Iwan yang menjadi penyebab. Perlahan ia angkat tangan kiri, meski terasa berat ia paksakan juga mengusap wajah suami terkasih.
Adam terusik dengan sentuhan di wajahnya. Ia membuka mata, tampak Saqila menoleh menatapnya. Sontak ia bangun terduduk.
"Sa udah sadar?" Adam meraih tangan istrinya. Ia sendiri tak sadar berapa lama terlelap di samping istrinya, lalu melirik jam di tangan. Ternyata hari sudah sore, ia tertidur cukup lama.
"Abang, maafin Qila." Suara Saqila masih belum jelas terdengar.
"Sudah, jangan banyak bicara dulu, harusnya abang yang minta maaf nggak bisa jaga Sa dengan baik, sampai istri abang jadi kayak gini," sahut Adam, ia jatuh iba melihat kondisi Saqila saat ini.
"Sa masih sesak?" tanya Adam kemudian.
Saqila menggeleng, hanya kepalanya saja yang masih terasa berat.
"Baby?" tanya Saqila.
Saqila gusar jika terjadi sesuatu pada kandungannya.
"Baby baik-baik aja, nggak usah khawatir. Sekarang cuma Maminya yang harus sehat," ucap Adam mengusap lembut kepala Saqila, dikecup kening istrinya lembut, bulir bening kembali luruh, haru dan bahagia melihat istri tercintanya kembali membuka mata.
"Cepat sembuh, Sayang."
"Qila mau pulang ke Jakarta," pinta Saqila, ia masih takut pada Iwan.
"Tunggu Sayang benar-benar pulih, kita pulang. Sekarang jangan banyak pikiran dulu, di sini ada abang, akan jaga Sa, janji nggak bakal ninggalin Sayang sendiri lagi." Adam betul-betul menyesal meninggalkan Saqila sendiri pagi tadi.
"Maafin abang nggak bisa jaga Sa dengan baik" lanjut Adam lagi. Ia kembali berbaring di sisi Saqila, memeluknya erat.
***
Setelah tiga hari dirawat, Saqila diperbolehkan untuk pulang, ia bisa istirahat di rumah. Mereka kembali ke rumah Saqila, ada urusan yang harus Adam selesaikan.
"Kapan kita pulang, Bang? Qila takut di sini."
"Iya, nanti kita pulang kalau urusan dengan Iwan sudah beres, abang harus hubungi dulu pengacara abang," jawab Adam.
"Iwan mau diapain?"
"Abang mau dia dihukum setimpal atas perbuatannya, biar dia kapok dan nggak ganggu Sa lagi," jawab Adam. Ia juga menjelaskan bagaimana bisa menemukan Saqila di sungai sana.
Saqila tertunduk, betapa sayang Adam pada dirinya. Biar pun begitu, ia kurang setuju jika Iwan dilaporkan.
"Kasihan Kak Dina sama Erwin, kalau Iwan dipenjarakan, Bang."
"Abang nggak peduli, berani mengusik istri orang itu ada hukumannya, apalagi sampai mencelakai begitu," kukuh Adam.
"Tapi, Bang ...."
"Kenapa? Apa Sa masih menyimpan rasa cinta buat dia?" sindir Adam agak kesal.
"Nggak gitu, Bang. Ini bukan soal cinta, Qila cuma kasihan sama anak dan istrinya yang juga masih keluarga Qila."
"Abang lebih sayang dan kasihan sama istri dan anak abang," bantah Adam.
"Sekarang abang mau Sa ceritakan semua kronologis yang dilakukan Iwan selama di sana," pinta Adam.
Saqila hanya diam, menatap Adam. Mata suaminya itu memandang tajam ke arahnya, menunggu ia cerita. Adam benar- benar ingin menjebloskan Iwan ke penjara, tak ada ampun maupun kasihan.
Pelan Saqila menceritakan semua kejadian yang dialaminya pada Adam secara gamlang, sesekali ia berurai air mata, sesak jika mengingat hal itu.
Perih, panas hati Adam mendengar cerita Saqila, apalagi ketika mendengar istrinya itu ditampar dan ditarik paksa kerudung yang Saqila kenakan oleh Iwan, ia menyesal kenapa tak membunuh saja lelaki itu.
"Gimana abang bisa biarin laki-laki brengsek itu bebas begitu saja, seumur Sa jadi istri abang, nggak pernah abang tampar pipi Sa, dia yang bukan siapa-siapa berani berbuat seenakanya, pokoknya abang nggak rela, nggak terima, dia harus bayar perbuatannya!" Adam benar-benar meradang setelah mendengar penjelasan Saqila.
Adam mengusap lembut pipi istrinya, ia membayangkan dan ikut merasakan ketika tangan Iwan mendarat di sana.
"Maafkan abang, Sayang nggak bisa jaga istri abang," lirih Adam, ia memeluk Saqila. Air matanya luruh lagi, tak kuasa membayangkan semua yang dialami istrinya, dadanya sesak.
Adam menghubungi pengacaranya, untuk membahas kejadian yang menimpa Saqila.
Setelah beberapa lama larut dalam percakapan, ia pun sepakat dengan pengajuan menuntut Iwan yang akan diajukan ke pengadilan.
Selain kasus penculikan, Iwan juga akan dilaporkan tentang kasus kekerasan karena menampar, menyebabkan Saqila jatuh karena disengaja, hal itu bisa membahayakan Saqila dan bayi yang dikandungnya. Bukan itu saja, Iwan juga akan dituntut kerena pelecehan, membuka paksa kerudung Saqila, sebagai suami ia jelas tak ridho dan itu termasuk pelecehan.
***
Malam itu Dina datang ke rumah Saqila, ia menangis. Hatinya hancur mendengar kabar suaminya dibawa ke kantor polisi, meskipun Iwan tak mencintainya tetapi lelaki itu adalah ayah dari anaknya.
"Aku mohon sama kamu, Saqila, cabut tuntutan untuk Iwan, kasihan Erwin, dia masih kecil masih butuh kasih sayang seorang ayah, gimana nasib Erwin jika Iwan dipenjara?" Dina tersedu di depan adiknya, ia berharap Saqila bermurah hati memaafkan ayah dari anaknya itu.
"Qila nggak bisa berbuat apa-apa, Kak. Semua itu sudah menjadi keputusan bang Adam, suami mana yang tega melihat istrinya diperlakukan seenaknya oleh lelaki lain?" jawab Saqila.
"Aku mohon, Qila. Kamu bujuk suami-mu agar mau membebaskan Iwan."
"Maaf, Kak. Dari dulu Qila selalu mengalah sama kak Dina, tapi kali ini Qila ikut keputusan suami, berharap Iwan bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini," sahut Saqila tegas, ia memang menyayangi kakak dan keponakannya, tetapi bukan berarti ia harus setuju membebasakn Iwan, ia yakin keputusan suaminya tak bisa ditentang.
"Tapi Saqila ...." lirih Dina, adiknya tak seprti yang ia kenal.
"Pulanglah, Kak."
"Berapa tahun Iwan akan dihukum?" tanya Dina.
"Qila nggak tahu, itu akan diputuskan di pengadilan nanti."
Dina tertunduk lesu, meskipun ia sudah berusaha memohon dan berlutut, keputusan Saqila dan suaminya tak bisa ia goyahkan, ia harus terima Iwan jadi tersangka dan dipenjara, ia harus merelakan Erwin hidup jauh dari ayahnya. Dina pulang dengan kecewa, ia hanya bisa menangis.
Saqila masuk ke kamarnya, menghampiri Adam yang tengah memangku laptop, fokus pada pekerjaannya.
Adam menghentikan aktivitasanya, mengalihkan pandangan pada Saqila yang berada di sampingnya.
"Apa kata Dina?" tanya Adam.
"Qila nggak mau bahas itu lagi," sahut Saqila, ia ingin melupakan kejadian yang menimpanya. Ia juga iba pada kakaknya yang ikut menjadi korban kelakuan Iwan. Hatinya makin perih.
"Baiklah, kita lupakan. Sayang bisa bikinin abang kopi?"
"Kopi? Buat apa? Abang'kan nggak pernah ngopi?" tanya Saqila heran. Selama Adam sakit lambung ia tak pernah meminum kopi, apalagi Lena juga melarang.
"Abang pengen begadang malam ini, habiskan waktu bersama istri abang, kangen," manja Adam.
"Nanti lambungnya kambuh nggak?" Saqila masih bimbang.
"Sudahlah, nggak jadi" rajuk Adam.
"Abang marah? Qila cuma tanya, khawatir."
"Nggak, abang nggak marah." Adam menarik Saqila kepangkuannya, lalu memeluk.
"Abang minta susu aja," bisik Adam, ia membaringkan Saqila.
"Baby, lihat nih, Papi nakal." Saqila mencubit hidung Adam gemas.
Kepala Adam turun menuju perut Saqila, mencium dan mengusap lembut perut istrinya yang berisi, darah dagingnya ada di sana.
"Nggak kok, Baby, papi nggak nakal, kata dokter mami nggak boleh kedinginan, papi cuma pengen selalu menghangatkan Mami." Adam kembali menghadap wajah Saqila yang berbaring.
"Alasan," ledek Saqila, ia tergelak.
"Abang senang lihat Sa tertawa lagi."
"Iya'kan abang selalu bikin Qila tertawa."
"Abang cuma pengen lihat Sayang bahagia. Ayuk ...."
"Kemana?"
"Ke negri kayangan," goda Adam, ia terkekeh.
Saqila mengangguk seraya tersenyum.
"Kita pamit dulu sama reader," bisik Saqila.
"Kenapa?"
"Kita tamatin aja cerita kita sampai di sini, biar mereka nggak naxt next mulu."
"Kasihan dong mereka nggak bisa baca kemesraan kita lagi?"
"Abisnya mereka suka wafer."
"Bukan mereka aja yang suka wafer, abang juga suka."
"Maunya."
"Emang mau, pake banget."
"Sini." Saqila mengajak suaminya sembunyi ke dalam selimut.
==========
Selama Saqila belum sembuh total, mereka belum kembali ke ibu kota. Adam mencurahkan semua perhatian untuk istrinya. Ia membersihkan rumah, mencuci dan memasak. Lama-lama ia tahu arti mengasihi dan menyayangi bukan hanya sekadar memberi cinta.
"Sa mau makan apa hari ini, biar abang yang masak" tawar Adam.
"Emang Abang bisa masak?" tanya Saqila tak percaya.
"Bisa dikit-dikit, biar pun nggak sehebat chef Juna, tapi kata Amih lumayanlah."
"Masak yang simlpe aja, nasi goreng tapi harus special," pinta Saqila.
"Baik tuan putri, nasi goreng special siap meluncur, tapi nanti ada imbalannya ya," tutur Adam.
"Elah, nggak ada yang gratis ternyata," sahut Saqila.
"Iya dong, setiap karya harus ada harganya."
Saqila mendelik. "Iya deh, serah Abang aja."
Adam ke dapur untuk membuat menu pesanan Saqila, nasi yang sudah dimasak Saqila tadi pagi masih banyak sisa, ia memanfaatkan keahliannya. Jika hanya membuat nasi goreng, bukan hal yang sulit. Soal rasa belakang hitungannya. Setelah berapa lama ia berkutat dengan bumbu dapur dan alat masak, sejurus kemudian nasi goreng sudah siap.
"Abang! Udah jadi belum? Kok lama?" teriak Saqila, ia ingin tahu rasa masakan suaminya.
"Ok Sayang, on my way!" sahut Adam, sedikit teriak, ia menata masakannya di piring, lalu membawa ke kamar. Sengaja Saqila tak ia perbolehkan ke luar.
"Hmm, wanginya enak," komentar Saqila ketika masakan Adam sudah ada di depannya.
"Pasti dong, masakan chef Adam Dienzy pasti enak," godanya.
"Sini Qila makan sendiri aja." Saqila meraih piring dari tangan Adam, lalu menyuapkan ke mulutnya. Pelan ia kunyah merasa-rasa.
"Wah, ternyata Papinya baby pinter juga bikin nasi goreng," komentar Saqila lagi sambil terus menerus menyuap nasi gorengnya.
"Abang mau, suapin," pinta Adam.
"Nih, aaaaa ...."
Adam membuka mulut, sedikit lagi nasi sampai ke mulutnya, tetapi sendok berbalik arah ke mulut Saqila sendiri, ia sengaja mengunyah dengan nikmatnya.
"Gimana, enak'kan?" tanya Saqila sambil memerhati wajah suaminya yang seperti kehilangan harapan.
"Ya elah kena prank."
"Iya, iya, nih. Ini beneran." Saqila benar menyuapkan nasi ke mulut suaminya.
"Tau enak gini tadi bikin banyak," gerutu Adam menyesal sendiri.
"Emang tadi nggak dicobain sama Abang?"
"Dicoba, cuma icip-icip."
Nasi goreng sudah tandas tak tersisa, tinggal piring yang licin berminyak.
"Bikin lagi, Bang. Enak," ulas Saqila.
"Lagi? Ini lapar apa doyan?"
"Dua-duanya," ucap Saqila terkekeh.
"Yang penting jangan lupa jatah." Adam tergelak lalu kembali ke dapur, eksekusi kembali pesanan istrinya.
***
Menjelang kehamilan Saqila ke tujuh bulan, bu Wening berencana mengadakan acara tujuh bulanan dengan menjalani adat dan tradisi yang dahulu sering keluarga mereka terapkan. Namun Saqila menolak permintaan mertuanya, ia punya cara sendiri untuk mengucap syukur.
"Kenapa nggak mau diadain pesta selametan, Sayang?" tanya Adam ketika tahu Saqila menolak tawaran ibunya.
"Bukan nggak mau, tujuh bulanan itu'kan bentuk rasa syukur kita, niatnya mendoakan kesehatan dan keselamatan bayi yang Qila kandung saat ini. Bukan suatu yang wajib dilaksananakan, sunnah pun tidak, Qila kurang setuju jika harus meriah-meriah. Qila pengennya kita mengaji aja sama-sama di panti bareng anak yatim, berbagi dengan mereka itu juga bentuk rasa syukur. Nggak usah pake adat istiadat, mandi kembang dan tektek bengek segala macam."
"MasyaAllah, sejuk hati abang dengernya. Abang ikut aja apa kata Sa, nanti biar abang ngomong baik-baik sama Amih."
"Terima kasih, Abang. Nggak marah'kan?"
"Sama-sama, kenapa harus marah. Abang yakin setiap keputusan Sa, pasti ada alasannya. Abang malah makin sayaaaang sama Maminya baby."
"Hmm, nggak jauh, kalau udah bilang sayang pasti ada maunya," ucap Saqila, buru-buru ia bangkit lalu melenggang ke luar dari kamarnya.
"Sayang mau ke mana?"
"Au ah, masih siang." Saqila tak menghiraukan Adam yang mulai menggodanya.
Adam terkekeh, merebahkan diri di tempat tidur, senang rasa hati bisa mengusik istrinya.
***
Saqila termenung di bawah pohon mangga, duduk bersantai sore di sana sambil menunggu suaminya pulang. Ia mengusap perut yang semakin membesar, usia kehamilannya masuk sembilan bulan, menanti saat-saat bayinya lahir ke dunia.
"Kamu beruntung Sayang, punya Papi yang sangat perhatian dan penyayang," gumam Saqila bicara sendiri sambil mengelus perut.
Selama masa kehamilan, ia benar-benar sangat bahagia. Memiliki suami yang selalu siaga, ketika mengeluh sakit apa pun itu, tengah malan sekalipun suaminya selalu segera merespon. Berbeda dengan kehamilan Nisa dulu.
"Kamu itu hamil manja banget, semua wanita sedunia merasakan hamil. Banyak yang hamil sambil bekerja, sambil cari nafkah, mereka nggak banyak ngeluh. Kamu diam di rumah aja nggak ngapa-ngapain banyak ngadu sakit inilah, sakit itulah," cecar Wahyu dulu ketika ia mengandung Nisa.
Air matanya menitik jika ingat lagi ke sana, memang kehamilannya waktu itu mengharuskan Saqila istirahat total, kandungannya lemah. Beruntung kali ini ia sehat-sehat saja, bayinya juga kuat tetapi suaminya tetap tak mengizinkannya mengerjakan apa pun sama sekali, biar pun itu hanya pekerjaan rumah.
Bahkan, belum pun bayinya lahir, Adam sudah mencari baby sitter untuk membantu Saqila mengurus bayinya nanti. Di rumah mertuanya kini ada dua asisten rumah tangga dan satu baby sitter serta tukang kebun untuk mengurus taman bunga Saqila.
Sepulang dari kantor, Adam mencari Saqila, jika tak ada di kamar ia sudah tahu tempat ternyaman untuk istrinya. Ya, di taman belakang. Adam segera menghampiri Saqila yang tengah duduk sendiri di sana.
"Sayang nangis? Kenapa? Perutnya sakit? Apa udah mau lahiran?" Adam memberondong Saqila dengan banyak pertanyaan ketika melihat ada sisa air mata di pipi istrinya.
Saqila mengusap pipinya. "Nggak apa-apa, Bang. Qila nangis bahagia, nggak kerasa sebentar lagi baby kita lahir," alasan Saqila menyembunyikan perasaanya tadi.
"Abang juga bahagia punya kalian," tutur Adam, ia meraih tangan Saqila.
Saqila mengajak suaminya masuk untuk ganti pakaian, pasti Adam lelah seharian bekerja.
Adam membantu Saqila bangkit berdiri, jalannya terlihat kepayahan dengan perut yang semakin membuncit, Adam menuntun istrinya berjalan perlahan.
***
Minggu pagi, Adam selalu menyempatkan olahraga ringan di kamarnya, dekat jendela yang terbuka, membiarkan sinar matahari menyusup masuk memberi terang kamarnya.
Push-up rutin ia lakukan untuk menjaga kebugaran tubuh, bagi orang normal hal itu mudah dilakukan, tetapi bagi Adam itu membutuhkan konsentrasi tinggi untuk menjaga keseimbangannya.
Saqila masuk ke kamarnya, ia tersenyum melihat Adam tengah berolahraga. Adam masih anteng menghitung bilangan push-upnya. Sementara Saqila mulai menggoda Adam. Ia berbaring di arah berlawanan, perlahan kepala ia geser masuk ke celah push dan up bertepatan dengan kepala suaminya.
Push, hidung Adam menyentuh kening Saqila yang berada tepat di bawahnya, ia hanya tersenyum dan tetap fokus tak menghiraukan gangguan Saqila. Ketika Adam-up, Saqila menggeser posisinya lebih dalam. Push, hidung mereka beradu, masih Adam biarkan. Saqila makin mengeser posisinya, ketika push, bibir Adam menyentuh bibir Saqila. Adam tergelak menghentikan olahraganya, tak tahan diganggu Saqila.
"Kok berhenti?" tanya Saqila, masih berbaring, kepalanya mendongak menatap suaminya.
"Nggak tahan kalau diganggu kayak gitu, Sa harus tanggung jawab," sahut Adam.
"Tanggung jawab apa coba?"
"Push-upnya lanjut di sana," tunjuk Adam ke arah tempat tidur.
"Idih apaan, nggak diapa-apain juga, mirip tiang listrik aja Abang ini," oceh Saqila, ia duduk lalu mendelik.
"Kok tiang listrik? Apa hubungannya?"
"Iya, usik dikit, tegangan tinggi."
"Hahaha, siapa suruh ganggu singa lagi tidur." Adam makin tergelak, ia tak peduli, salah Saqila mengganggunya. Adam meraih tangan Saqila, membawanya ke tempat tidur.
Tiba-tiba Saqila meringis memegang punggung bawah, ia mengigit bibir menahan sakit.
"Kenapa, Sayang?"
"Kayaknya baby mau lahir, Bang."
"Hah! Beneran mau launching?"
"Sudah terasa kontraksi, tapi belum konsisten."
Adam mulai kalang kabut mendengar istrinya akan melahirkan, ia mondar mandir tak tentu arah, ke luar masuk kamar memberitahu ibunya.
"Abang harus ngapain?" Adam kebingungan, tangannya gemetar.
Bu Wening menghampiri anak dan menatunya.
"Adam malah mondar mandir, ayo bawa Saqi ke rumah sakit," titah bu Wening menggelengkan kepala.
Masih meringis, Saqila tertawa lucu melihat polah Adam.
"Udah kontarksi, Saqi?" tanya bu Wening.
"Iya, Mih."
Adam ke luar meminta pak Apin menyiapkan mobil, ia kembali ke kamar, lalu menghubungi Elya, adiknya itu sudah berjanji akan membantu persalinan Saqila.
"Adam bawa perlengkapan bayi dan salin untuk Saqi nanti," perintah hu Wening.
"Bawa apa aja?" tanya Adam.
"Semua udah Qila kemas dalam tas, Bang. Tinggal bawa aja," tunjuk Saqila ke ruang ganti.
Adam meraih gawainya, lalu membawa tas berisi perlengkapan baby ke dalam mobil. Ia duduk di depan di samping sopirnya.
"Ayo pak jalan, kita ke rumah sakit sekarang, pelan aja bawanya, jangan ngebut," perintah Adam.
"Lho, Neng Saqilanya mana?" tanya pak Apin heran.
Ya Alloh.
Adam menoleh ke jok belakang.
Ah lupa.
Pikirannya kalut.
Istrinya masih tertinggal di kamar, Adam turun dari mobil kembali ke dalam. Tampak Saqila berjalan perlahan memegang perutnya, tangannya menggenggam erat lengan bu Wening. Adam mengambil alih menuntun Saqila, garuk-garuk kepala dengan ke kalutannya.
Sesampainya di rumah sakit, Saqila berkali-kali diperiksa oleh Elya untuk mengetahui pembukaan. Pembukaan belum maksimal, Saqila masih diperbolehkan berjalan-jalan disekitar ruangan.
"Sayang baring aja sini," panggil Adam cemas melihat istrinya berjalan ke sana ke mari.
"Baring malah makin sakit, Abang."
Saqila menghampiri Adam, duduk di sampingnya.
"Sakit banget ya?"
"Nikmat, Bang." Saqila meringis.
Semakin lama kontraksinya semakin konsisten, ia berbaring miring. Adam mengelus punggung Saqila, masih menunggu putusan adiknya.
Elya datang untuk memeriksa kembali, pembukaan Saqila sudah penuh. Ia bersiap untuk proses persalinan. Beberapa dokter turut membantu, termasuk dokter anak. Adam sendiri yang meminta Elya agar Saqila bukan hanya ditangani olehnya saja.
Adam tetap di samping Saqila, tak mau jauh. Ia ingin mendampingi istrinya selama proses melahirkan bayi mereka. Tangan Saqila ia genggam erat, kadang ia juga ikut mengeran, membantulah konon.
Tangan Saqila bertaut di leher Adam, tak sadar setengah mencekik suaminya.
"Uhuk ... uhuk!" Adam terbatuk karena tercekik, matanya merah menahan sakit.
"Pegang lutut aja Saqila, kalau ke leher bang Adam kasian kecekik," ujar Elya terkekeh. Yang berada di ruangan itu ikut tertawa lucu.
"Maaf, Abang. Qila nggak sengaja," lirih Saqila, keningnya sudah dipenuhi keringat.
"Nggak apa-apa, sakit abang nggak seberapa dibanding sakit Sayang yang berjuang," sahut Adam, ia masih mengenggam tangan Saqila.
Ditatap setiap tarikan nafas istrinya yang tengah berjuang, Adam mengucapkan ayat-ayat suci semampunya lalu meniupkannya ke ubun-ubun Saqila. Air matanya tak terbendung, luruh begitu saja, bagaimana bisa seorang suami menyakiti hati perempuan bergelar istri, sedangkan perjuangannya begitu besar, bertaruh nyawa.
"Kuat, Sayang. Banyak istigfar," bisik Adam memberi semangat.
Berselang beberapa lama, suara bayi terdengar mengoar. Telah lahir seorang bayi perempuan mungil dan cantik. Adam berkali mengucap Alhamdulillah, anak dan istrinya selamat.
Setelah bayi dibersihkan, Elya meminta Adam mengadzankan bayinya. Adzan dilantunkan Adam ditelinga kanan bayi cantiknya. Haru dan bahagia bercampur jadi satu melihat bidadarinya lahir sehat dan selamat tanpa kurang suatu apapun.
"Terima kasih, Sayang. baby kita sudah lahir," ucap adam, ia menyerahkan bayi untuk dilihat Saqila yang masih kelelahan. Ia turut bahagia, memeluk bayinya.
"Cantik, Bang."
"Iya, mirip Maminya," sahut Adam. Ia memeluk keduanya.
Bersambung #19
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel