Saqila bersama bayinya di tempatkan di bangsal khusus pasca melahirkan, ruangan yang mewah dengan fasilitas wah nan lengkap.
"Abang, Qila udah dibolehin pulang belum?" Baru satu hari Saqila di rumah sakit, ia sudah minta pulang. Biar pun berada di ruangan mewah, tetapi tak membuat ia betah.
"Kalau bisa sampai satu minggu aja, Sayang, sampai benar-benar sembuh. Kata Elya biar sekalian dibantu sampai asi ke luar, kalau udah normal menyusui baru bisa pulang," terang Adam, ia selalu bertanya pada adiknya seputar pasca melahirkan.
"Seminggu? Kelamaan, Abang. Nggak mau ah, besok aja pulang, boleh ya?" pinta Saqila. Lagipula di rumah kini ada bu Dewi yang sudah dikabarkan tentang persalinannnya dan Muaz yang diminta menjemput ibunya itu ke kampung.
"Kata Elya nanti itunya bengkak lho, kalau di sini ada yang ngasih arahan harus apa dan gimana," jelas Adam lagi.
"Qila udah pernah melahirkan, udah tahu kalau soal itu. Payudara* bengkak habis melahirkan itu biasa," celetuk Saqila, ini kelahiran anak ke dua, ia cukup berpengalaman.
Adam hanya garuk-garuk kepala, tak bisa mengelak permintaan Saqila. Ia hanya menginginkan yang terbaik untuk istri dan bayinya, tetapi jika istrinya kukuh ingin pulang, ia sendiri tak bisa menghentikan, terpaksa ia mencari-cari banyak alasan agar istrinya mau bertahan.
"Baiklah, biar abang bicara dulu sama Elya," cetus Adam.
Dengan berbagai alasan yang diberikan Adam, akhirnya Saqila bertahan di rumah sakit tiga hari. Meskipun adiknya sendiri mengatakan kalau Saqila baik-baik saja dan bisa pulang sehari pasca melahirkan, Adam tetap khawatir. Menyaksikan sendiri istrinya melahirkan membuatnya gusar.
Di rumah sudah ada beberapa saudara keluarga bu Wening yang menyambut kepulangan Saqila dan bayinya. Di sana juga turut serta bu Dewi dan Santi, semua bersyukur bahagia atas kelahiran bayi Adam.
Kamar tamu sudah disulap menjadi kamar khusus bayi dengan warna cat dinding yang soft. Dilengkapi segala penunjangnya dengan pernak-pernik perlengkapan bayi sudah disiapkan jauh-jauh hari, serta baby sitter pun sudah standby di sana. Namun Saqila tak mengizinkan bayinya tidur terpisah, apalagi ia asi eksklusif membuatnya harus selalu dekat dengan sang buah hati.
"Baby tidur disini sama kita?" tanya Adam.
"Iya, Abang. Baby' kan asi, masa tidur jauhan," sahut Saqila.
"Kalau gitu abang harus tidur dibawah?" Kalau satu kasur nanti baby tertindih sama abang."
"Ranjang segede gini, masa nggak muat. Mau tidur apa balapan?" ledek Saqila. Adam hanya terkekeh.
"Terima kasih, Sayang sudah melahirkan bidadari cantik untuk abang," ucap Adam seraya memeluk istrinya.
"Sama-sama, Abang. Qila juga terima kasih, Abang selalu setia menjaga kami berdua," sahut Saqila, ia menyatukan hidungnya ke hidung Adam.
"Berarti abang harus puasa?"
"Puasa apa?" tanya Saqila tak paham.
"Berlayar ke negri kayangan."
Saqila mendelik, tangannya mencubit lengan Adam yang masih melingkar renggang di pinggangnya.
"Berapa lama kira-kira, Sa?"
"Tergantung masa nifas," jawab Saqila.
"Kata Amih harus 40hari, kok lama?"
"Empat puluh hari itu batas maksimal masa nifas, Bang. Kalau tujuh hari sudah beres masa nifas, tetap harus mandi wajib, melaksanakan salat, puasa dan ibadah wajib lainnya termasuk hubungan badan," terang Saqila.
"Di kampung Qila masih banyak yang melahirkan dibantu dukun beranak seperti zaman dulu, sudah pasti proses penyembuhannya lama, rata-rata masa nifas lama sampai 40hari. Sekarang sudah modern, melahirkan dibantu medis dan obat-obatan mempercepat proses penyembuhan, masa nifas pun tak terlalu lama.
Dulu waktu Qila lahiran, 40hari masih ada darah nifas, menurut sebagian ulama darah itu dianggap suci karena 40hari dianggap batas maksimal, tetapi sebagian ulama menyarankan untuk melanjutkan sampai 60hari batas maksimal masa nifas," jelas Saqila panjang lebar.
"Moga aja Sayang nggak lama-lama masa nifasnya, kasihan abang," goda Adam.
"Harusnya, biarpun masa nifas cuma sebentar, Abang harus lihat kondisi fisik dan psikis istri Abang juga, melahirkan itu sakit, Bang, ada luka juga, nggak mungkin sembuh dalam waktu cepat."
"Jadi tetap aja abang harus nunggu lama?"
"Iya, kurang-kurangnya enam bulan sampai benar-benar sembuh, itu juga masih kurang sebenarnya,"usik Saqila, ia ingin tahu reaksi suaminya.
"Hah? Enam bulan? Cekik aja abang, Sa."
Saqila tergelak mendengar jawaban suaminya, ia tahu tak semua kondisi dan libido laki-laki itu sama. Ia juga tahu suaminya itu bagaimana, mudah tegangan tinggi.
"Abang puasa aja untuk menekan peningkatan hasrat Abang yang sering berkecamuk itu," usik Saqila.
"Puasa apa?"
"Puasa sunnah, bisa Senin-khamis, bisa puasa Nabi Daud."
"Sehari puasa, sehari nggak itu?"
"Hu'um."
"Buat kesembuhan istri abang, pasti abang bisa sabar kok, yang penting masih bisa hug n kisses," ulas Adam menggoda Saqila.
"Selamat berjuang." Saqila tergelak, setelah usik-usik manja dengan suaminya.
Malam-malam mereka lewati, bergadang bersama. Bayi baru lahir, jam tidurnya masih berantakan, siang ia nyenyak tapi malam hari ia terbangun, sering menyusu dan buang air kecil malam hari, membuat sang ibu harus bangun untuk memberi asi menahan ngantuk, beruntung Adam selalu ikut bangun, menemani Saqila, kadang ia belajar mengganti popok bayinya.
"Abang tidur aja, besok kerja nanti di kantor ngantuk," ucap Saqila, tak tega juga jika suaminya harus ikut begadang, sementara siang hari ia harus bekerja.
"Nggak apa-apa, abang seneng kok," sahut Adam, pengalaman pertama menjadi ayah membuatnya merasa takjub.
***
Tujuh hari usia bayinya, mereka mengadakan aqikah sekaligus pemberian nama bagi bayi mereka. Acara syukuran diadakan sederhana, mengundang ibu-ibu pengajian untuk acara cukur rambut. Mengundang sanak saudara dan kelurga serta tetangga terdekat.
"Nama anak kita Chaiza aja ya, Bang," usul Saqila. Ia mencari referensi dari berbagai sumber tentang pemberian nama untuk anak perempuan.
"Chaiza? Apa artinya?" tanya Adam.
"Artinya 'perempuan cantik'," jawab Saqila.
Adam manggut-manggut. "Tambahin Dienzy di belakangnya."
"Chaiza Dienzy?" tanya Saqila.
"Abang tadinya suka dengan nama Adila, artinya adil, Adila perpaduan nama kita juga, Adam dan Saqila. Selain cantik, abang ingin dia berani dan adil ketika sudah besar nanti, tapi kalau Sayang suka nama itu, abang ikut aja."
"Gabungin aja semua, Chaiza Adila Dienzy," usul Saqila.
"Hmm. Bagus juga, panggilannya apa?"
"Bisa Dila atau Iza," sahut Saqila.
"Abang tetap suka nama Adila. Panggil Adila aja," komentar Adam.
"Ya sudah, baby Adila aja."
"Semoga anak kita jadi anak yang salehah, luhur budi pekerti, menjadi anak yang berbakti pada orang tua, untuk agama, bangsa dan negara," tutur Adam.
"Aamiin."
Nama adalah sebuah doa, selain mudah di ucap, enak didengar, maknanya juga harus baik, nama dengan arti yang baik dan enak didengar akan membuat anak percaya diri ketika sudah dewasa nanti, pemberian nama hanya sekali seumur hidup, tak sedikit yang kadang merasa nama pemberian orang tua terasa kurang bagus ketika sudah besar, Saqila dan Adam hanya ingin memberi nama- nama terbaik untuk anaknya.
***
Tiga bulan sudah usia baby Adila, Adam selalu ingin cepat-cepat pulang dari kantor, untuk segera bertemu bayi kecilnya. Di usia tiga bulan, Adila sudah bisa merespon suara yang ada di sekitarnya, aktiv menggerak-gerak tangan dan kaki, tersenyum ke arah suara orang di dekatnya. Hal itu jadi moment yang di tunggu Adam setiap pulang dari kantor, lelah bekerja seketika hilang melihat senyuman mungil Adila.
Adam juga belajar memandikan Adila dibantu Saqila. Menjadikan hubungan ayah, ibu dan anak itu semakin erat. Ia menggendong bayinya yang sudah mandi, wangi bayi katanya wangian syurga, ia betah berlama-lama menciumi bayinya yang baru selesai Saqila rapikan.
"Kalau udah sama Adila, lupa deh sama mami," rajuk Saqila.
"Cemburu nih ceritanya?" goda Adam menjawil dagu Saqila yang merengut.
"Iya cemburu, pulang kerja yang ditanya Adila, yang dipeluk cium Adila, maminya nggak," omel Saqila mendelik manja.
"Lihat Adila, ada yang cemburu sama kita," goda Adam mengajak anaknya berbicara.
Saqila tak menjawab, masih cemberut dengan usikan suaminya.
"Sini Adila, nen dulu," ucap Saqila ia meraih bayinya dan menyusuinya.
"Adila tahu nggak, nen Mami itu punya papi lho," usik Adam.
"Bukan, Papi, ini sekarang punya Adila, papi jangan ganggu." Saqila yang menyahut.
"Malam ini, Dila bobok yang nyenyak ya, Papi belum buka puasa lho, pasti Mami udah kangen pengen dimanja sama, Papi," bisik Adam pada Saqila, istrinya mengerling, senyumnya merekah.
"Nggak ke balik? Papi yang udah kangen banget kayaknya, mepet-mepet terus," usil Saqila ia tertawa.
"Syukurlah kalau tahu," ucap Adam terkekeh.
"Sabar. Malam ini special deh, buat papi," manja Saqila ikut menggoda suaminya.
"Beneran? Emang udah nggak sakit?"
"Nggak."
"Ehem, harus siap-siap ni, minta jamu sama Amih, biar bisa lembur."
"Qila juga rutin minum jamu dari Amih," sahut Saqila. Siang tadi juga Saqila sengaja ke spa untuk perawatan.
"Jamu anti pelakor?"
"Iya." Saqila tertawa lepas.
"Udah nggak sabar bikin dede bayi buat Adila," bisik Adam.
"Hah? Bayi lagi? Adila baru tiga bulan , Abang. Nggak ah nggak jadi."
"Hahaha, takut banget. Becanda, Sayang," ucap Adam sambil menciumi leher Saqila, tangannya mulai tak mau diam.
"Ya pasti takut, Adila masih bayi, sakit melahirkannya aja masih terasa."
Adam tak menghiraukan ucapan Saqila yang masih menyusui bayinya, ia tetap memanja istrinya dengan ciuman.
"Ih, Abang, sabar dulu, tunggu Adila tidur, tadi bilangnya tunggu malam," ulas Saqila melihat suaminya sudah tak sabar.
"Lama, maunya sekarang."
Sampai bayinya selesai menyusu dan tidur pulas, Adam dan Saqila kembali melanjutkan bulan madu kedua mereka. Saat-saat yang mereka nantikan dari beberapa bulan lalu.
Rumah tangga yang semakin bahagia setelah lahirnya buah hati pengikat ikatan cinta diantara keduannya. Sadar akan kekurangan masing-masing, membuat Adam dan Saqila saling menerima, saling melengkapi dan memberi dukungan, kasih sayang dan cinta.
***
Tiga tahun kemudian.
Iwan dituntut 12 tahun penjara, tetapi atas pertimbangan dan permohonan Saqila pada suaminya, serta pengajuan banding, ia akhirnya dihukum lima tahun penjara. Kini masa hukumannya sudah berjalan tiga tahun lebih.
Dina sering membawa Erwin melawat ayah anaknya itu di tahanan, ia tetap setia menjadi seorang istri menemani Iwan dan menjaga Erwin seorang diri sambil membantu bekerja di peternakan.
Iwan kini tampak lebih kurus, kulitnya hitam lusuh, kumis dan jambang memenuhi wajahnya, tampak tak mengurus diri.
"Ayah kapan pulang, kenapa di sini terus?" tanya bocah laki-laki berusia lima tahun itu ketika dipangku Iwan.
"Sebentar lagi, Sayang. Erwin baik-baik main sama Mama ya, jaga Mama gantiin ayah, nanti ayah pulang, kita kumpul sama-sama," sahut Iwan. Bukan tak sedih tiap kali ditanya anaknya itu, ia pun tak bisa berbuat apa-apa.
"Aku pengen main bareng ayah," rajuk Erwin memanyunkan bibir.
"Nanti ayah pasti pulang, sabar ya."
"Mama sering nangis lihatin foto ayah," adu Erwin.
Iwan menatap Dina mencari kebenaran dari ucapan anaknya, yang ditatap terlihat mengalihkan pandangan. Kesalahannya dulu membuat anak dan istrinya itu terlantar, ia cukup menyesali perbuatannya. Mengejar cinta semu yang bukan miliknya, terlalu terobsesi, hingga melupakan orang-orang yang menyayangi disekelilingnya, mengejar bayangan yang semakin hilang. Sedangkan ada cinta yang selalu setia bersamanya.
Jam kunjungan untuknya sudah berakhir, rasanya baru sebentar ia habiskan waktu dengan Erwin, masih ingin berlama-lama, tetapi ia harus akur dengan keadaan. Dina dan Erwin harus pulang, mereka akan kembali lagi minggu depan. Dina pun pamit.
"Din, tunggu."
Dina menoleh.
"Apa, Wan?"
"Terima kasih, selama ini kamu sudah jaga Erwin dengan baik." Iwan menghampiri Dina.
"Dia juga anakku, pasti aku akan selalu menjaganya tanpa kamu minta," sahut Dina tersenyum tipis.
"Maafkan aku," lirih Iwan.
"Sudahlah, lupakan, kami pulang dulu." Dina menuntun tangan Erwin dan melangkah hendak pulang.
"Dina ...!"
"Ya." Dina kembali menoleh dan menatap suaminya.
"Jika masih ada kesempatan buatku, masih maukah kamu menunggu? Apa masih ada ruang di hati kamu buat aku?" tanya Iwan, masa hukumannya masih kurang dua tahun lagi, ia tak tahu apa masih sanggup Dina menunggunya.
Perasaan Dina jadi tak menentu, selama ini Iwan tak pernah bersikap manis padanya, tiba-tiba detak jantungnya berpacu dengan cepat, perasaan bahagia ketika sebuah cinta yang sudah lama membeku akhirnya mulai menunjukkan perubahan.
"Aku akan selalu menunggu, Wan dan di hati aku cuma ada kamu." Netranya berkaca-kaca, terharu dengan ucapan manis suaminya yang selalu ia nantikan. Ia beberapa kali mencubit pipi, entah yang didengarnya benar atau hanya mimpi.
"Aku serius, Dina. Aku janji akan memperbaiki sikapku. Maafkan aku, Din. Aku akan belajar mencintai kamu," lirih Iwan, ia mendekat dan menarik Dina ke pelukannya. Tak terbendung lagi, air mata Dina berjatuhan, ia terisak dipelukan suaminya.
"Terima kasih, Wan." Tangan Dina melingkar di pinggang suaminya, pelukannya semakin erat.
Iwan mengusap kepala Dina yang kini berhijab, istrinya terlihat semakin cantik. Hakikatnya Dina dari dulu memang cantik, hanya saja cinta butanya pada Saqila menutup semua itu. Ia akan kubur cinta untuk Saqila dan mulai menerima Dina.
Melupakan masa lalunya, membuka kehidupan baru bersama anak dan istrinya. Ia sadar tak ada cinta terbaik untuk dirinya selain cinta Dina yang selalu setia tak pernah bosan menunggu dan menemai dalam suka maupun duka.
Dikunjungan berikutnya, mereka bercanda bersama. Iwan pun sebelumnya sudah mempersiapkan diri merapikan penampilannya, kedatangan Dina dan Erwin kini selalu ia nantikan. Perlahan kasih sayangnya tumbuh untuk Dina.
Begitu pun dengan Dina, ia sangat bersyukur kesabarannya berbuah manis, proses tak pernah mengkhianati hasil. Ia akan bersabar menunggu Iwan kembali berkumpul bersamanya.
***
Muaz dan Santi sudah tak tinggal di ibu kota, mereka kembali ke kampung halaman dan membuka bisnis kue di sana. Usahanya berjalan lancar, ada dua cabang yang ia buka termasuk di kampung bu Dewi yang dikelola sendiri oleh ibu Saqila itu dan sudah memiliki beberapa pegawai untuk membantunya. Mereka pun sering bertemu terutama untuk membahas soal penjualan kue-kue mereka.
Saqila cukup tenang, meski pun jauh dari ibunya, ada Muaz, Dina dan Riyan yang sering berkumpul bersama menjaga bu Dewi dan memberi kabar padanya.
***
Saqila dan Adam akan mengajak Adila ke kampung, semenjak putrinya lahir hanya dua kali saja membawa gadis kecil mereka ke sana bertemu bu Dewi. Semua perlengkapan sudah mereka siapkan dan menyimpannya di bagasi. Kini Adam sudah bisa mengemudi sendiri, pak Apin beralih menjadi sopir pibadi pak Praja-ayahnya.
"Sebelum berangkat kita baca doa naik kendaraan dulu," ajak Adam pada putrinya dan Saqila.
"Baca bareng-bareng ya," pinta Saqila.
"Bismillahirrahman nirrahim. Subhaanal lazdii sakh'khoro lanaa hadzaa wamaa kunnaa lahuu muqriniina wainnaa ilaa robbinaa lamunqolibuuuuuun." Mereka membaca doa bersama dengan serentak, Adila yang masih cadel hanya ikut mengucap sebisanya, mulutnya saja yang ikut komat kamit membaca doa yang belum ia hafal.
"Artinya : Maha suci Alloh yang telah menundukkan kendaraan ini bagi kami, padahal kami tidak kuasa menundukkannya dan kepada Alloh kami akan kembali."
Mereka pun bertolak, perjalanan mereka lebih menyenangkan karena ada suara riuh celotehan dari bidadari kecil mereka. Adila beralih kepangkuan ayahnya yang sedang mengemudi, biar pun sudah dilarang Saqila, ia tetap tak mau dengar.
"Adila sini, Sayang, Papi lagi nyetir, Adila sama Mami aja," bujuk Saqila.
"Nggak mau, aku mau sini sama Papi," jawab putri kecilnya, duduk menghadap Adam mendekap erat.
"Nggak apa-apa, Sayang, Adila duduk yang manis ya." Adam menoleh ke arah Saqila, ia tak keberatan.
"Papi, Papi. Ini apa melah?" tanya Adila, tangan kecilnya menunjuk leher Adam sambil digosok-gosok oleh telunjuk mungilnya.
"Oh itu, digigit nyamuk, Sayang, nyamuknya nakal," sahut Adam, melurik ke arah Saqila, mengingat tanda merah itu maha karya istrinya tadi malam.
Saqila mendelik, ia mencubit paha Adam yang tengah mengejeknya.
"Kita mau kemana, Papi?" celoteh Adila, meskipun sudah berkali dikatakan kalau mereka akan kekampung, pertanyaan itu tetap saja terlontar dari bibir mungil anaknya itu.
"Kita mau berkunjung ke rumah nenek, sekalian pamit juga sama reader, biar mereka nggak ngikut lagi ke mana kita pergi," jawab Adam.
"Ayo, say goodbye sama reader," titah Saqila pada putrinya.
"Bye-bye leadel, sampai ketemu lagi lain waktu ya, Adila cayang cemua, muaaaach."
Saqila meraih Adila kepangkuannya, tangan sebelah Adam menggenggam erat jemari Saqila, tangan satunya di atas kemudi. Pandangan lurus kedepan, sesekali mereka saling tatap dan melempar senyum. Senyum kebahagiaan.
Sesampainya di rumah Saqila di kampung, badannya tiba-tiba merasa kurang nyaman, beberapa kali ia muntah.
Huek!
"Masuk angin ya, Sayang? Kok muntah-muntah gini biasanya juga nggak," kata Adam sambil memicit tengkuk Saqila yang tengah muntah di kamar mandi.
"Biasanya nggak pernah mabuk perjalanan, beda aja gitu rasanya," sahut Saqila.
"Udah beberapa hari ini, lewat tanggal putaran menstruasi, ditunggu belum datang juga," keluh Saqila masih terasa mual.
"Apa jangan-jangan...?" Saqila menatap suaminya.
"Nggak apa-apa, Sayang. Adila juga udah gede. Kasih dia dede bayi, pasti seneng ada temannya," ulas Adam.
"Adila mana?" tanya Saqila ketika kembali ke kamar tak menemukan putrinya di sana.
"Tadi dibawa main ke rumah ibu, biar kita fokus bikin dede bayi buat Adila."
"Ih Papi nakal." Cubitan manja hinggap di pinggang Adam.
Adam menariknya ke tempat tidur.
"Biar mualnya abang obati," bisik Adam, ia mulai menciumi wajah istrinya. Parlahan turun ke leher, kembali mengigit bibir Saqila yang hanya terpejam menikmati permainan, seluruh tubuhnya mulai menghangat. Tangan suaminya tak mau diam, meremas ke sana ke mari, membuat gairahnya semakin memuncak.
---Tamat---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel