Cerita Bersambung
Kedekatan Arya dengan Irin berubah total saat ia mulai masuk SMP. Ia mulai merasa udah gede dan mulai merasa terganggu selalu diikuti oleh Irin.
Tapi Irin tidak perduli dengan sikap dan kata-kata kasarnya. Irin secara perkasa mengumumkan ke semua orang bahwa dia mencintainya. Bahkan saat ada teman ceweknya yang datang ke rumahnya, Irin bisa marah dan mengomel. Arya tersenyum mengingat wajah Irin kecil yang sering kali menangis saat tak bisa menahan emosi dan marah.
Suatu saat Irin menemuinya yang sedang jogging di taman belakang sambil membawa puding mangga.
"Mas Arya, ini," panggilnya sambil menyodorkan kotak plastik. Arya melirik sekilas ke puding mangga di dalam kotak.
"Aku nggak mau!" Responnya dengan suara keras dan wajah sebel. Irin tampak sedih.
"Kenapa nggak mau? Mas Arya kan suka mangga."
"Aku tidak mau, titik!" Arya bermaksud meneruskan joggingnya tapi Irin dengan sigap menarik kaosnya.
"Mas Arya, aku yang buat puding ini. Tadi pudingnya masih panas trus tumpah kena kakiku. Lihat, kakiku perih." Arya melihat ke bagian yang ditunjuk, memang benar ada bagian yang memerah seperti terkena air panas.
"I don't care!"
"Mas Arya, aku sayang sama Mas Arya. Aku cinta Mas Arya." Dia baru duduk di kelas 4 SD saat itu.
"Otak kamu itu ya...korslet!" Ucapnya kasar sambil meneruskan jogging dan ia kemudian mendengar Irin yang menangis dengan suara pelan tapi sangat menyayat hati, tapi ia tidak perduli. Sosok Irin baginya sudah seperti virus yang kehadirannya bisa menyebarkan bad mood.
Saat mereka pindah ke Amerika, Arya merasa sangat lega karena bisa terbebas dari virus Irin. Tapi tak lama setelah ia merayakan ulang tahun pertamanya sejak tinggal di Amerika, di dalam paket surat yang dikirimkan dari Jakarta buat papa mama, ia menemukan sebuah kartu ucapan ulang tahun.
'Happy Birthday, Mas Arya. Irin'
Arya sangat marah sekali saat itu, ternyata ia belum bisa bebas total dari virus Irin.
Sejak saat itu ia selalu menerima kartu ucapan ulang tahun dari Irin dengan kata-kata yang sama sampai dengan tibanya kartu ke-7 yang isinya berbeda.
'Mas Arya, sebentar lagi aku akan berusia 17 tahun. Aku akan menjadi gadis dewasa. Dari kecil sampai dengan kartu ini aku tulis, aku sangat yakin kalau aku mencintai Mas Arya. Jadi tidak ada yang salah dengan isi otakku. I love you. Irin.'
Kartu selanjutnya yang ia terima sampai dengan kartu yang ke-18 hanya bertuliskan 'Happy birthday, Mas Arya. I love you.'
Tidak ada kata-kata lain yang menceritakan keadaan Irin. Seolah semua tentang dirinya tidak penting. Isi kartu itu hanya untuk memberitahukan bahwa dia masih tetap mencintainya.
Kartu terakhir yang Arya terima sekitar 1 bulan yang lalu adalah kartu dengan tulisan terpanjang, mendalam dan sepertinya akan menjadi kartu terakhir.
'Dear Mas Arya,
Happy birthday, semua yang terbaik aku doakan menyertai Mas Arya. I Love U.
Ini adalah kartu ucapan yang ke-19 yang aku kirimkan ke Mas Arya...ini akan menjadi kartu ucapan ulang tahun terakhir yang aku kirimkan. Bulan depan aku akan berusia 29 tahun...sudah saatnya aku melepaskan impian indah masa kecilku.
Good bye, my dream.
Irin'
Arya ingat sesuatu...Hari lahir Irin sekitar 1 bulan dari hari ulang tahunnya...berarti sekitar September. Dan Aerin yang juga lahir di September. Sebuah kebetulan tapi tentu saja tidak mungkin, nama orangtuanya berbeda.
Ada sedikit rasa kecewa. Arya menatap sekali lagi photo Aerin yang seolah tersenyum kepadanya. Apakah ia berharap Aerin adalah Irin?
==========
Jumat malam, Aerin dan mama kembali ke Surabaya. Keduanya sangat happy setelah menghabiskan quality time tanpa ada yang mengganggu.
Papa dan yang lain sudah menunggu di rumah buat makan malam bersama karena besok pagi-pagi sekali, Aerin akan kembali ke Jakarta. Ia telah mendapat kabar dari penyelenggara training kalau Bagas harus tiba di Singapore seminggu sebelum acara dimulai karena ada banyak briefing yang harus diikuti. Jadi saat training berlangsung semua peserta bisa fokus ke teori dan praktek tanpa terganggu dengan urusan teknis lainnya.
Aerin membelikan oleh-oleh sepatu buat semua keponakannya. Mereka happy sekali.
"Begini rasanya punya tante cantik, baik hati...I love you Tante Irin," ucap Clara yang berbinar-binar melihat sepatu Novello Loafers dari Salvatore Ferragamo berwarna silver dengan hiasan pita cantik yang memang sedang diidamkannya.
Saat ulang tahun Tante Irin, Clara yang juga memakai gaun silver, memang pernah bilang ke Tante Irin kalau gaun malam yang ia kenakan paling pas dipakai dengan sepatu Novello Loafers dari Salvatore Ferragamo. Clara benar-benar suprised, tidak menyangka Tante Irin mengingatnya.
"Irin, ini." Papa meletakkan sebuah black card bertuliskan American Express di hadapan Aerin.
"Apa ini, pa?"
"Allowance kamu," terang mama.
"Allowance? Tapi aku sudah dewasa dan punya penghasilan sendiri yang sangat berlebih."
"Kami tau, tapi ini allowance dari orangtua untuk anaknya. Tidak perduli seberapa banyak yang dihasilkan anaknya, memberi allowance kepada anak menjadi suatu kebanggaan bagi orang tua."
"Mama."
"Bahkan Chandra dan Ricky yang sudah setua itu...masih harus mau menerima allowance dari kami." Aerin tidak bisa membantah lagi.
"Itu allowance kamu dari sejak kembali dari Amerika. Papa sengaja menahan allowance kamu karena kamu tidak mau bergabung di BraDia. Papa pikir kamu akan kekurangan uang, tapi ternyata tidak. Passwordnya 6 digit tanggal lahir kamu.
"Makasih ma, pa." Aerin memeluk keduanya dengan erat.
***
Bagas melambaikan tangannya saat melihat sosok Aerin keluar dari pintu kedatangan bandara. Walapun sosoknya yang berjaket kulit dengan celana jins biru yang bolong sana-sini dan berkacamata hitam agak susah dikenali, tapi Bagas sangat mengenalnya.
"Apa kabar, mbak? Surabaya bikin cewek makin wow..." Aerin menurunkan sedikit kacamatanya dan mendelik ke Bagas. Bagas tertawa ngakak.
" I really missed you, boss. Let's go," ucapnya sambil merampas paksa koper Aerin dan mendorongnya menuju tempat Range Rover terparkir.
"Kamu sudah siap berangkat besok?" Tanya Aerin begitu mereka masuk ke mobil.
"Semua sudah beres, mbak."
"Sudah kasih handover report ke Mas Andy?"
"Sudah juga."
"Ada yang perlu aku bantu? Kamu akan pergi selama 3 bulan. Kamu punya duit yang cukup buat orangtua kamu?"
Bagas adalah tulang punggung keluarga, ia masih punya ayah-ibu dan 3 orang adik yang masih bersekolah dan membutuhkan biaya. Bagas tersenyum, Aerin memang sangat memperhatikan stafnya, bukan hanya ia.
"Tabunganku cukup, mbak. Ntar kalo kelurgaku ada keperluan mendesak, aku akan hubungi Mbak Ririn."
"Okay, keep your promise. Aku mau kamu disana fokus dengan ilmu yang diajarkan, tidak terganggu dengan urusan lain. Urusan keluarga kamu disini, akan menjadi urusan kami. Deal?" Bagas mengangguk.
"Makasih banyak, Mbak Ririn."
"Bye the way, cuaca di Singapore lagi panas banget. Jaga kesehatan."
"Mbak Ririn cuti ke Singapore?" Ririn mengerdipkan matanya sambil merogoh kantong backpacknya.
"Ini buat kamu. Prof. Daniel sangat strict dengan waktu, so kamu perlu jam yang lebih canggih." Aerin tersenyum lebar melihat reaksi Bagas yang terkaget-kaget melihat kotak jam di tangannya yang bertuliskan TISSOT.
"Iya, ini jam Tissot yang selalu kamu liat-liat, tapi gak beli," ledek Aerin sambil mencibirkan bibir indahnya.
Nah kan, mata Bagas langsung berkaca-kaca. Memang sudah lama ia terpesona dengan jam Tissot T Touch Expert Solar II Swiss Edition. Harganya yang mahal membuat ia harus berpikir panjang untuk memilikinya.
Sebenarnya ia bisa membeli dengan menabung beberapa bulan, tapi setelah dipikir-pikir sayang banget duit yang dihabiskan untuk kesenangan itu. Sementara masih banyak kebutuhan lain yang lebih penting daripada sebuah jam tangan mahal.
"Makasih kembali," sambung Aerin yang tahu Bagas tak kuasa mengucapkan terimakasih.
Sebelum Aerin cuti, Aerin memang pernah meminta semua staf IT untuk menulis di secarik kertas tentang barang apa yang sangat mereka impikan dan belum terpenuhi. Dan saat itu Bagas menulis 'Jam Tissot T Touch Expert Solar II Swiss Edition' bahkan menggambar bentuk jam itu di kertas, sementara yang lain hanya menulis nama barang saja.
Aerin tau, Bagas suka buka website Tissot dan memandangi jam itu. Makanya pas ia melewati outlet Tissot, ia langsung mencari jam tipe itu.
***
"Kita langsung ke rumah?" Tanya Bagas setelah Aerin yang tadi sempat tertidur, terbangun dan menguap lebar.
"Ke rumah kamu saja. Kamu harus stay dengan keluarga kamu hari ini, besok pagi aku jemput ke bandara."
"Baik, mbak."
"Singgah di Beau Bakery sebentar."
"Baik, mbak." Bagas memarkirkan mobil dan Aerin keluar. Tak sampai 10 menit Aerin sudah kembali dengan paperbag besar berisi aneka roti dan kue.
Mereka tiba di rumah Bagas yang sederhana tapi sangat nyaman dan penuh cinta. Aerin mengenal semua anggota keluarga Bagas.
"Apa kabar, bu?" Sapa Aerin begitu membuka pintu mobil.
Ibu Bagas yang sedang merapikan tanaman sayur mayur, sudah menantinya.
"Alhamdulillah, baik."
Aerin mengambil paperbag dan menyerahkan ke Ibu Bagas. Bagas memang sudah menebak, tadi Aerin memang sengaja membeli kue buat ibunya.
"Buat ibu."
"Walah...selalu ngerepotin Ririn."
Aerin tersenyum. Ibu Bagas itu ramah dan keibuan banget. Bagas mewarisi semua kebaikannya.
Seperti biasa kalau sudah ke rumah Bagas, Aerin harus minum dan makan sesuatu dulu, baru diizikan pulang. Pagi ini Ibu Bagas membuat lupis untuk sarapan pagi keluarga dan Aerin ikut menikmatinya.
Bersambung #8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel