"Kemarilah menantu." Ujar Kailash menatap ke arah Naina yang masih terpaku, menatap kosong. Dia masih mematung dengan sejuta pikiran yang memenuhi kepalanya.
Veer yang sejak tadi duduk di kursi VVIP menoleh pada istrinya yang diam saja, lalu berdiri mendatangi meja Naina dan ketiga temannya, lalu mengulurkan tangan, namun Naina masih diam.
"Ayolah." Bisik Veer dengan meraih jari jemari Naina.
Naina akhirnya berdiri, berjalan berdampingan dengan Veer menuju panggung untuk diperkenalkan.
"Ini adalah menantuku, namanya Naina Veer Nanda." Ujar Kailash, yang diikuti tepuk tangan para tamu.
Naina mengerjapkan mata dan langsung tersenyum memberi salam pada semua orang. Terpaksa, karena dia tak mungkin menyangkal dan mengatakan yang sesungguhnya terjadi pada semua orang. Dia masih punya perasaan untuk menjaga nama baik keluarga ini. Meski mereka pernah menyakiti hatinya.
"Tuan Nanda, anda benar-benar kelewatan. Merahasiakan dokter cantik ini sebagai menantu anda." Ujar salah satu tamu yang merupakan rekan Kailash. Mereka mengenal Naina sebagai seorang dokter.
Semua memberikan selamat dan menyapa Naina, membuat Naina tak bisa berkutik. Hanya bisa menyambut uluran tangan mereka sambil tersenyum sambil sesekali menjawab seperlunya tentang keterkejutan mereka.
"Veer, apa maksud semua ini?" bisik Naina menatap Veer ketika semua orang mulai menjauhi mereka.
Veer memandang Naina dan tersenyum. "Sesuatu yang seharusnya terjadi." Katanya sambil mencium pipi Naina dengan singkat.
"Ternyata kalian serasi juga." Ujar Kia sambil memeluk Naina. "Doa kami manjur, bahwa kelak suamimu yang jahat itu akan jatuh cinta padamu." Lanjutnya sambil setengah berbisik, lalu diikuti tawa Anu dan Geet.
Naina malah kikuk, dia ingin menjelaskan semua pada temannya. Tapi tidak ada kesempatan, dia tak mungkin mempermalukan keluarga Nanda.
"Anu." Veer memandang Anu yang sejak tadi tertawa juga. "Aku minta maaf, sebenarnya aku mendekatimu untuk menyakiti Naina. Tapi apa daya, pesona dia terlalu luar biasa. Malah aku yang jatuh hingga bertekuk lutut padanya." Ujar Veer sambil menoleh pada Naina yang juga tengah menatapnya.
"Jangan khawatir Veer, aku sudah biasa putus cinta." Ujar Anu sambil tertawa bersama teman-temannya.
Pikiran Naina justru kacau, dia teringat pada Rohan. Dan tidak tahu penjelasan apa yang harus dia berikan. Dan harus bagaimana setelah ini?
Semua menikmati acara hiburan sambil menikmati hidangan pesta. Tangan Veer tak pernah lepas menggenggam tangan istrinya. Seolah takut dia akan lari darinya. Bahkan diperkenalkan pada semua rekannya dari meja ke meja. Menyapa setiap tamu yang datang sebagaiman pasangan tuan rumah umumnya.
Anu dan artis yang bertugas menghibur di pesta itu menggandeng Naina ke panggung utama. Disana ibu Veer telah menanti dan lagu pun terhenti.
"Hari ini masih karvachaut, bagi seorang menantu biasanya dia akan mendapatkan hadiah dan hantaran dari mertuanya." Ujar ibu Veer tersenyum pada Naina.
"Dan hari ini, aku juga akan melakukannya untuk menantuku." Katanya sambil meminta Veer dan Kailash juga Gauri beserta suaminya maju.
"Hari ini, kau telah resmi kami perkenalkan sebagai menantu kami pada dunia. Maka sudah selayaknya, kau memakai gelang keluarga ini." Ibu Veer melepaskan gelang di tangannya. "Gelang ini menjadi milikmu, pertanda kau adalah menantu dan akan menjadi nyonya besar menggantikanku di rumah ini." Katanya.
Veer mengangkat tangan Naina, dan dipakaikan gelang itu. Naina benar-benar kebingungan, tidak mungkin dia menolak di hadapan semua orang bukan? Semua orang melemparkan bunga kearah Naina dan ibu Veer.
"Dan ini, ini adalah kumpulan kunci semua ruang dan lemari di rumah ini. Ini adalah simbol bahwa aku menyerahkan tanggung jawab rumah kami padamu setelah ini." Katanya sambil menyerahkannya ke tangan Naina yang masih menengadah diatas tangannya Veer.
Naina menahan airmatanya, entah kenapa kepalanya pusing dan yang dia ingat adalah bagaimana perlakukan keluarga ini saat pertama kali dia datang ke rumah ini. Seharusnya semua ini terjadi saat dia tiba pertama kali. Kenapa baru saat ini?
Airmatanya menetes, dan Gauri menghapusnya, semua mengira Naina merasa terharu. Tidak ada yang tahu bahwa Naina tengah menangisi masa lalunya di rumah ini.
Setelah selesai prosesi, semua kembali menikmati hidangan makan malam yang tersedia.
"Veer, aku ingin bicara." Naina menarik Veer ke sudut ruangan.
"Kau tidak sabar?" Goda Veer sambil mendorong Naina ke dinding dan mengunci dengan kedua tangannya.
"Veer, dengar aku tidak...."
"Hey, pesta masih berlangsung." Gauri menarik Veer dan mengajaknya ke lantai dansa. Mereka menari, sedang Naina memegangi kepalanya yang terasa pusing. Dan tak lama, diapun ditarik oleh ketiga temannya untuk menari bersama.
"Aku pamit dulu, kepalaku pusing." Ujar Naina. Dia segera meninggalkan tempat pesta dan menuju kamarnya.
Dia membuka kamar dengan nafas panjang, lalu menutup pintu dan menyandarkan diri di pintu. Namun dia kembali terkejut melihat dekorasi kamar itu. Persis seperti ketika dia pertama kali masuk ke kamar ini enam bulan lalu.
Rangkaian bunga di setiap sudut, dengan lilin aroma therapi. Dan tempat tidur yang penuh dengan kelopak mawar merah. Sedang sofa tempat dia tidur telah hilang entah kemana.
Naina berjalan perlahan menatap setiap sudut ruangan itu. Hingga kedua tangannya diremas oleh seseorang dari belakang, dan langsung menghisap rambutnya yang terurai.
"Kamar yang indah bukan?" tanya Veer dengan manja.
Naina tak mampu mengeluarkan suara, terlebih tangannya dikunci dengan kuat oleh Veer dikiri kanan pahanya.
"Veer... apa ini?" Naina berusaha menolak.
Naina memejamkan mata, dan ingatannya terus berlari ke masa lalunya. Masa lalu bersama Rohan, hingga dia ditinggalkan di pesta pernikahan dan kemudian menjadi pengantinnya seorang Veer Nanda yang tak pernah dia temui sebelumnya.
Naina membuka matanya dan terkesiap ketika menyadari dirinya telah berada dihamparan kelopak bunga mawar merah yang artinya diatas tempat tidur!
Mata keduanya bertemu, jantung mereka saling berdetak tak beraturan.
"Kau adalah istriku. Saat ini... dan selamanya." Bisik Veer di telinga Naina.
Tirai-tirai bergerak berirama tertiup angin dari luar. Lilin-lilin menyebarkan aroma terapi yang semakin menambah suasana intim. Keduanya seolah lupa akan kebencian yang pernah ada di antara mereka. Malam ini tepat enam bulan pernikahan, Veer berjanji akan menjadikan Naina satu-satunya wanita dalam kisah cintanya.
***
"Kau sudah tidur?" tany Veer pelan. Berusaha membalikkan tubuh istrinya agar menghadap padanya. Tapi Naina menolak dan tetap membelakanginya dengan selimut rapat hingga ke leher.
Veer tersenyum dan kembali mengelus rambut istrinya, mengelusnya perlahan. "Tidurlah. Maaf jika membuatmu tidak bisa tidur." Bisiknya. "Salah sendiri kenapa meninggalkan pesta terlalu cepat." Godanya Veer lagi diiringi tawa kecil.
Naina tak menjawab, dan tatapan matanya kosong. Dia seperti tengah menyadarkan dirinya dari apa yang telah terjadi.
Lama keduanya saling diam, hanya nafas mereka yang terdengar mulai normal. Tak lama, Naina bangkit dan menarik saree di lantai untuk menutupi tubuhnya.
"Apa yang kita lakukan Veer? bukankah seharusnya kita berpisah besok?" tanya Naina dengan menatap kosong, menatap langit yang penuh bintang, karena tirai-tirai tidak tertutup malam ini.
Veer duduk, lalu merangsek mendekat tepat di belakang istrinya. Lalu menatapnya dengan dalam dari arah samping.
"Apa yang kita lakukan?" tanya Veer sambil tersenyum dan terus menatap wajah istrinya. "Yang kita lakukan adalah apa yang seharusnya dilakukan sejak enam bulan lalu. Dan itu adalah hakmu selain harta yang telah kuberikan." Lanjut Veer sambil melingkarkan tangan kanan di leher Naina, lalu menariknya ke dalam pelukannya.
"Bukankah kau..." suara Naina terdengar menahan tangis.
"Aku mencintaimu. Aku gagal untuk membencimu, aku gagal untuk mengabaikanmu, aku gagal untuk bersikap biasa saja padamu." Bisik Veer sambil mengecup puncak kepala istrinya.
Bagi Veer semua belum terlambat. Dan menganggap ini adalah malam terbaik untuk memulai semua dari awal.
"Maafkan sikapku yang dulu. Aku rela menjadi abdimu seumur hidupku, untuk membalas kebodohanku selama ini." Lanjut Veer sambil menghapus lelehan airmata di pipi Naina.
"Tapi...." Naina masih terisak. Entah apa yang dia tangisi, apakah karena begitu mudahnya menyerahkan kesuciannya, menyetujui melanjutkan pernikahan atau karena hatinya masih mencintai Rohan.
"Naina...." Veer menarik nafas dalam. "Aku yakin bahwa Tuhan memang menjadikan kita jodoh, pasangan seumur hidup. Kenapa?" tanya Veer sambil mengeratkan dekapannya. "Karena dia tidak mengijinkanmu menikah dengan Rohan, lalu Dia juga tidak mempersatukan aku dengan Tania. Dan kemudian, tanpa pernah kita duga, Dia menjadikan kita suami istri. Begitu mudahnya."
Naina menerawang jauh, dan dia merasa itu memang benar. Dia melepaskan tangan Veer dari lehernya, dan berbalik menatap suaminya.
"Apa kau sungguh-sungguh, Veer?" tanyanya dengan mata yang basah.
Veer mengangguk. "Aku mencintaimu, entah sejak kapan. Tapi aku begitu takut untuk berpisah denganmu, hingga aku... melakukan semua ini untuk membuatmu tetap bersamaku." Bisik Veer sambil menatap mata madu Naina yang semakin terang karena basah oleh airmata.
"Apa aku boleh menemui Rohan?" tanya Naina sambil menunduk. "Untuk memberitahunya, bahwa aku... akan bertahan bersamamu." Katanya dengan tetap tertunduk.
"Kapanpun kau mau. Karena aku yakin kau tidak akan menghianati pernikahan kita." jawab Veer sambil kembali menarik Naina ke dalam pelukannya.
***
Matahari mulai menyeruak, menerangi kamar pengantin lama namun rasa baru. Membangunkan dua insan yang masih terlelap dalam selimut yang sama.
Naina membuka mata, dan menatap matahari yang tepat di jendela kamarnya. Dia melirik jam dinding, sudah pukul tujuh. Diliriknya pria yang masih melingkarkan tangan di pinggangnya. Lalu beranjak dari tempat tidur, dan menutup tubuhnya dengan sari merah yang semalam telah dilepaskan dua kali oleh suaminya.
Langkahnya sedikit gontai menuju kamar mandi, siraman air dingin mulai membasahi kepala hingga tubuhnya. Dia terus memandang dirinya dicermin yang tengah dihujani air yang terasa menusuk pori-porinya. Dia menatap setiap bekas yang tersisa, apa yang ditinggalkan oleh pria yang dulu pernah membencinya.
Pikirannya terus berkecamuk, haruskah dia melupakan sikap buruk suaminya dan juga keluarganya selama ini begitu saja? Dengan menerima mereka dan tetap menjadi istri dan bagian dari keluarga ini? Dia terus berperang dengan hati dan pikirannya.
Di sisi lain, Veer menyadari bidadarinya telah lepas dari pelukan. Dia duduk di tempat tidur dan tersenyum bahagia. Dia membuka phonselnya, dan menatap foto yang dia ambil semalam saat wanitanya tengah terlelap dalam lelah. Tampak natural dan menenangkan mata, dia pun menjadikannya sebagai wallpaper.
Veer berjalan ke jendela dan membuka pintu balkon, lalu menghirup udara segar darisana. Menatap dunia yang sudah semakin terang, sedang Naina keluar dari kamar mandi telah rapi siap kembali bekerja.
"Tetap bekerja hari ini?" tanya Veer yang melihat Naina tengah berdandan seperti biasa.
"Ya, aku ada jadwal praktek hari ini." Jawab Naina singkat.
"Hmm, kupikir kita akan berpacaran hari ini." Goda Veer sambil menatap nakal dari jendela.
"Veer, aku dokter, bukan pekerja biasa." Naina tersenyum manis.
"Aku antar, atau aku jemput. Atau keduanya?" tanyanya lagi dengan manja dan mulai menunjukkan gelagat tak baik bagi Naina.
Naina segera menjauh, "pergilah mandi. Aku akan berangkat sendiri. Aku akan menemui Rohan dulu." katanya sambil menatap Veer yang menatapnya dengan wajah tak terbaca.
"Baiklah. Aku akan jemput nanti." Veer menarik handuk Naina di kursi rias, lalu kembali dan mencium pipi istrinya, baru berjalan ke kamar mandi.
Naina tersenyum, namun kemudian kembali terdiam. Dia masih bingung harus bagaimana.
***
Rohan menunduk, lalu menatap Naina yang tengah duduk disampingnya. Naina telah menceritakan semua. Perubahan keluarga Nanda, janji Veer dan juga telah menjadi istri sepenuhnya.
"Aku senang mendengarnya. Veer sepertinya orang baik." Ujar Rohan sambil tersenyum, meski tak bisa dipungkiri rasa cemburu pasti ada. Dia dulu memiliki Naina tapi tak pernah bisa menyentuhnya seperti yang dilakukan Veer.
"Kau tidak marah?" tanya Naina heran, sambil menundukkan wajahnya.
"Kenapa harus marah? Kau punya hak memutuskan hidupmu sendiri. Kau bukan siapa-siapa aku." jawab Rohan bijak.
Naina mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Boleh aku tetap menemuimu?" tanya Naina lagi.
Rohan menatap Naina dan tersenyum. "Harusnya kau tanyakan pada suamimu." Ujar Rohan diakhiri genggaman di tangan Naina. "Aku selalu berdoa kau mendapatkan pria yang lebih baik dariku. Akhirnya.... Aku senang kau menikah dengan Veer. Sungguh." Bisik Rohan.
Naina menatap Rohan dan mengangguk pelan. Lalu dia berdiri, melangkahkan kakinya meninggalkan taman diiringi tatapan sendu Rohan.
"Aku masih mencintaimu, Naina. Tapi kau layak mendapatkan yang lebih baik dari aku." gumam Rohan. "Berbahagialah." Lanjutnya sambil memutar kursi rodanya, meninggalkan semua masa lalunya.
***
Kehidupan Naina dan Veer memasuki babak baru, sebagai suami istri yang saling menerima dan berusaha saling mencintai. Veer sudah menyatakan cintanya, tapi bagi Naina, dia belum bisa menyadari benarkah dia mencintai Veer? Atau hanya terpaksa karena telah melepaskan kegadisannya pada pria yang merupakan suaminya.
Tapi apapun itu, Naina berusaha menjadi istri yang baik, istri yang selalu melayani dan merawat suaminya.
"Kau belum tidur?" Kailash melihat Naina di dapur bersama pelayan malam hari.
"Veer belum pulang. Dan dia meminta dibuatkan makan malam." ujar Naina tersenyum manis pada ayah mertuanya.
"Oh, baiklah." Ujar Kailash seolah tak mampu berkata apa-apa lagi.
"Anda mau kubuatkan sesuatu?" tanya Naina.
"Kenapa masih memanggil Anda? Panggil dia ayah, dan aku ibu." Protes ibu Veer yang datang ke dapur.
Naina tersenyum, dia hanya mengangguk.
"Aku tahu, pasti belum terbiasa. Tapi kau harus membiasakan diri." lanjut ibu sambil mengelus pundak Naina.
"Baik, bu." Katanya dengan senyuman.
"Wangi...." Veer masuk ke dapur ketika mencium bau masakan. "Malam bu, yah." Katanya sambil mencium ibunya. "Malam, istriku." bisiknya pelan di telinga Naina. Lalu mendaratkan ciuman di pipi dekat telinganya.
Kailash dan istrinya hanya tersenyum, lalu segera meninggalkan pasangan baru itu. Dan Veer tak menyia-nyiakan kesempatan dengan memaksa membalikan badan istrinya, dan berniat melancarkan aksinya.
"Veer!" protes Naina.
"Ayah dan ibu sudah pergi." Bisik Veer dengan penuh nafsu.
Naina melirik ke arah kanan, para pelayan tengah tersipu berusaha tidak melihat tapi penasaran.
"Makan dulu. Kami sudah repot-repot di dapur malam hari." Naina menarik Veer ke meja makan, lalu menemaninya makan.
"Suapi." Rengek Veer dengan manja.
Naina mendelikkan mata, namun kemudian langsung menyendok makanan dan memasukkannya ke mulut suaminya. Veer tampak menikmati makan malamnya, bahkan mengacungkan kedua ibu jarinya.
"Thank you mamma... baby Veer sudah kenyang." Godanya. Naina cemberut dan langsung berdiri meninggalkan Veer yang tercengang karena bingung.
"Hey, honey... apa aku salah bicara?" teriak Veer sambil menyusul Naina ke tangga menuju kamar mereka.
"Apa karena aku terlihat sudah tua, jadi kau panggil aku seperti itu?" omel Naina dengan ketus.
Veer bertolak pinggang sambil membuang nafas kasar, kemudian tertawa.
"Baiklah, sorry honey bunny baby." Veer lari dan langsung menggendong tubuh Naina yang karena terkejut langsung mengalungkan tangannya di leher Veer.
"Memangnya aku bayi kelinci?" omel Naina lagi sambil membuang pandangan.
"Aku tidak bilang baby rabbit." Veer berfikir sambil terus berjalan menuju kamarnya.
"Tapi bunny bukannya nama kartun kelinci?" Naina tersipu malu.
Veer merebahkan Naina di atas ranjang. Lalu menatapnya.
"Kau bukan bayi kelinci, kau akan jadi ibu dari banyak kelinci nakal." Bisik Veer sambil langsung mendekat ke arah Naina.
"Pintunya Veer...." protes Naina sambil mendorong tubuh suaminya.
Veer berdecak kesal karena lupa menutup pintu kamar. Lalu kembali ke tempat tidur dan mengunci kedua tangan Naina. Namun getaran phonsel Naina membuat Veer terganggu.
"Bisa matikan phonsel jika malam?" pintanya.
Naina meraih phonselnya, dan ternyata dari rumah sakit. Lalu dia malah menerima panggilan itu.
"Ada pasien darurat." Naina mendorong tubuh Veer yang tercengang.
"Hey, tidak! Kau istriku. Kau tidak boleh pergi." Protes Veer.
"Istrimu seorang dokter. Ada sumpah yang harus kutepati sebelum aku menjadi istrimu, dan kau harus siap dengan profesi istrimu." Ujar Naina sambil sibuk memakai celana panjangnya.
"Tapi,..."
"Veer, tangan ini telah disumpah untuk menyelamatkan nyawa orang lain." Naina menatap suaminya.
"Lima belas menit saja. Kita percepat." gumam Veer kesal.
"Lima belas menit bisa melewatkan berapa detakan jantung mereka." Naina memakai kaos dan juga kardigan, "Doakan pasiennya selamat dan baik-baik saja, supaya aku pulang cepat." Naina mengangkat dagu suaminya yang cemberut.
Veer malah membuang muka, sambil semakin cemberut.
Naina malah tersenyum, lalu keluar kamar dan Veer dengan cepat mengejarnya.
"Aku antar."
"Kau baru pulang, istirahatlah. Aku akan minta sopir mengantarku." Ujar Naina berbalik, lalu mencium pipi Veer.
"Here." Protes Veer menunjuk bibirnya.
Naina tersenyum, lalu mendekat dan malah meniup mata suaminya. Lalu lari keluar dari kamar.
"Aaargghh!" grutu Veer sambil menjambak rambutnya.
***
Naina tiba di rumah sakit, dia langsung mengecek kondisi pasien. Hampir tiga puluh menit dia di dalam ruang ICU. Pasien ini cukup menguras tenaganya.
"Bagaimana keadaan suamiku, dok?" tanya seorang wanita ketika Naina keluar dari ruang ICU.
"Kami akan berusaha sebaik mungkin. Anda tenang saja. Banyak-banyaklah berdoa." Tambah Naina sambil memegangi pundak istri dari pasien.
Wanita itu terisak sambil kembali duduk dan memanjatkan doa. Naina jadi berfikir, bagaimana jika dia ada di posisi wanita itu? Dengan anak yang masih kecil dalam pangkuannya.
Sungguh menjadi dokter adalah tanggung jawab yang berat. Setiap harinya bisa melihat gurat kesedihan atau bahkan tangisan histeris yang kehilangan, tapi ada juga yang tangis bahagia dan suka cita.
"Anda akan pulang atau menunggu disini?" tanya suster ketika Naina masuk ruang istirahat dokter.
"Aku akan disini. Pasien masih harus dalam pengawasan." Jawab Naina.
Suster mengangguk dan segera menyiapkan minuman hangat. Sedang Naina mengirim pesan pada suaminya, bahwa malam ini tidak pulang.
Veer melemparkan phonselnya, dan merebahkan diri di sofa. Dia sadar, Naina adalah seorang dokter dan sudah disumpah untuk menjalankan kewajiban menolong sesama. Jadi dia harus menerima semua resiko itu. Meskipun artinya dia harus sering tidak melihat istrinya jika malam hari.
Hingga pagi menjelang, Veer masih tertidur di sofa dengan televisi menyala. Naina mematikan televisi, lalu menatap suaminya yang tertidur pulas disana. Dia langsung menuju kamar mandi, dan membersihkan dirinya. Lalu mengganti pakaian dengan pakaian santai.
==========
Tiga bulan Naina merasakan kebahagiaan bersama suaminya. meski sama-sama
bekerja, mereka selalu saling menghubungi dan mengingatkan untuk makan
atau hanya sekedar berbicara melepas rindu.
Veer semakin mencintai istrinya, dan pelan-pelan Naina mulai merasakan getaran cinta yang sama.
Dan siang ini Naina merasa tidak konsentrasi dengan tugasnya, dia
merasakan perubahan mood dan juga emosi. Karena itu dia berdiri di
apotik dan membeli test pack.
Dengan gugup dia memandang gerakan garis yang terus melaju cepat. Satu
garis, hingga tampak jelas dua garis. Dia memejamkan mata dengan
sunggingan senyum manis di bibir. Dia meraih phonsel dan berniat
memberitahu suaminya.
Tapi tidak! Bukankah memberitahu langsung lebih baik? Naina segera
merapikan tasnya dan bergegas keluar dari rumah sakit tempatnya bekerja.
Tempat yang dia tuju adalah kantor dimana Veer bekerja.
Tapi ternyata, Veer sudah pulang dan hanya setengah hari bekerja. Naina
heran, ada apa? Tidak biasanya? Bahkan dia tidak menghubungi Naina jika
sakit atau ada urusan penting di rumah.
Naina segera melanjutkan perjalanannya ke rumah. Dan ketika tiba di
pintu utama, dia melihat cukup banyak orang disana. Di ruang tamu.
Dia berjalan perlahan, mencoba mengenali siapa saja orang yang ada disana. Dan dia melihat Anu?
Entah kenapa firasatnya buruk. Dia segera memasukkan test pack ke dalam
tas yang sejak tadi dia genggam untuk dia pamerkan pada suami dan
keluarganya. Saat masuk, semua mata tertuju padanya dan saling diam.
"Ah, kau sudah pulang menantu. Duduklah." Ujar Kailash.
Veer tampak duduk dan tertunduk, sedang anggota keluarga lain pun sama hanya diam.
"Naina," Kailash kembali membuka suara. "Anu tengah hamil, anak Veer."
Bagai disambar petir Naina hampir rubuh dari tempat duduknya. Bibirnya
bergetar dan nafasnya cepat, secepat kilat pandangannya beralih pada
suaminya yang tertunduk diam. Lalu pada Anu yang juga tertunduk diam.
"Bukankah kalian sudah tidak berhubungan?" Suara Naina terdengar bergetar.
"Kehamilanku sudah lima bulan." Jawab Anu cepat.
Artinya Anu sudah hamil saat Veer dan Naina masih belum baikan. Naina
mengangguk sambil berusaha menyeka sudut matanya meski dengan tangan
yang bergetar. Dia tak kuasa mengatakan apapun lagi. Hanya mampu menahan
airmata dengan berusaha mengatur nafasnya sebaik mungkin.
"Kau jangan khawatir. Veer tidak akan menikahi Anu. Tapi untuk
sementara, Anu akan tinggal disini untuk menutupi kehamilannya dari
dunia luar. Setelah anak itu lahir, jika kau bersedia kau boleh
merawatnya, atau menggunakan jasa suster nantinya. Anu hanya meminta
perlindungan agar dia tidak malu karena hamil tanpa suami." Papar
Kailash seolah jadi juru bicara Anu saat ini.
Naina tak berkomentar, wajahnya hanya tertunduk dan menatap kosong ke
meja. Ingin rasanya dia ceritakan bahwa diapun tengah mengandung. Tapi
sepertinya ini bukan saat yang tepat. Keluarga ini terlanjur bahagia
mendengar akan memperoleh cucu pertama dari Anu, bukan darinya.
"Apa aku sudah boleh pergi ke kamarku?" tanya Naina sambil berdiri.
Tampak getaran bibir dan juga lengannya ketika menarik tas di kursi
tempat dia duduk.
"Pergilah." Ujar Kailash.
Naina segera pergi setengah berlari, menuju kamarnya. Veer segera
menyusulnya tanpa memperdulikan pandangan minta perhatian dari Anu,
wanita yang tengah mengandung anaknya.
"Maafkan aku." Veer langsung memeluk Naina dari belakang. Memeluknya
dengan sangat erat, karena Naina berusaha melepaskan dirinya.
"Kupikir kalian,... tidak... pernah." suara Naina tertahan lelehan airmata dan isakan yang kini terdengar dari bibirnya.
"Maaf." Hanya itu yang keluar dari bibir suaminya sambil terus memeluknya.
Sedang Naina terus meronta, merasa tak senyaman kemarin lagi pelukan itu. Terasa begitu panas dan terjal baginya.
Dan hari-harinya menjadi sangat berat. Dia harus melihat perhatian demi
perhatian anggota keluarga ini yang baru dia dapatkan, kini beralih pada
Anu.
Berulang kali dia berniat mengatakan kehamilannya, tapi rasa kecewa dan sakit di hati membuatnya tak kuasa untuk bicara.
Bahkan setiap malam dia tak lagi bicara pada suaminya. Meski Veer selalu
memeluknya ketika tidur, menggodanya. Tapi Naina hanya diam dan
berpura-pura tidur.
Lebih menjengkelkan ketika Anu ingin ditemani Veer untuk memeriksakan
kandungannya. Namun Veer memilih meminta dokter kandungan yang
ditunjuknya datang ke rumah dengan peralatan mereka. Veer tidak mau
dunia luar tahu tentang kehamilan Anu.
"Aku tahu kau kecewa dan marah." Veer memeluk Naina yang tengah menyisir rambutnya.
Naina diam saja, bahkan ada penolakan darinya. Dengan berusaha melepaskan tangan Veer dari pinggangnya.
"Sebenarnya aku tidak ingat kejadiannya. Tapi kami memang pernah mabuk
ketika menghadiri pesta. Setelah itu kami memang ke sebuah hotel karena
aku mabuk berat. Dan Anu bilang malam itu terjadi...."
Naina segera menaruh sisir dan menarik tangan Veer dengan keras.
Melepaskannya dari pinggang dan meraih tas kerjanya. Siapa yang sudi
mendengar kisah suami tidur dengan wanita lain? Tentu Naina pun tidak.
"Naina setidaknya bicaralah. Aku tersiksa kau diam dan mengabaikanku.
Aku tahu aku salah. Aku berniat melakukan tes DNA saat ini tapi
undang-undang melarang itu ketika janin masih dalam kandungan. Kumohon
berikan pandanganmu soal ini. Aku benar-benar... kacau." Veer
menggenggam tangan Naina yang menyeka sudut matanya.
Naina diam, nafasnya terdengar cepat. Dia lebih tersiksa dari siapapun
saat ini. Terlebih perhatian ibu dan Gauri pun telah jadi milik Anu.
Bahkan ayah mertuanya yang baru saja baik padanya.
"Naina... please." Veer menatap istrinya.
Tapi Naina tak mampu berkata apapun. Jika bicara, pasti dia akan
menangis histeris meratapi nasibnya saat ini. Dia memilih keluar dari
kamar. Menuju mobilnya yang telah siap.
Bahkan dia mengabaikan Anu yang menyapanya di taman. Dia tidak tahu
siapa yang harus disalahkan. Karena semua itu terjadi sebelum dia dan
Veer memutuskan bersama. Artinya Anu tidak sepenuhnya salah, tapi dia
tak sanggup dan tidak setegar itu. Hingga bisa bersikap baik pada
sahabatnya yang kini mengandung anak suaminya.
***
"Rohan." Naina menghambur ke dalam pelukan Rohan dan menangis tersedu di dadanya.
Rohan bingung dan hanya mengelus kepalanya. Dia berfikir bahwa mungkin
Naina tak akan pernah kembali padanya, tapi ternyata dia datang kembali.
"Ada apa?" bisik Rohan heran.
Naina hanya menggeleng, dia tak berani mengatakan semuanya. Sudah satu
minggu dia memendam semua itu sendirian. Membiasakan diri dengan
hadirnya wanita lain di rumahnya.
Meski tidak berstatus sebagai istri kedua suaminya, tapi perhatian
keluarga Nanda pada Anu tentu lebih dominan dan lebih istimewa daripada
kepada menantu yang sesungguhnya.
"Anu hamil anak Veer." akhirnya dia membuka mulutnya.
Rohan terbelalak dan hampir tak percaya mendengarnya. Naina menceritakan
semua dengan detail, dan Rohan hanya terdiam menyimak dengan perasaan
yang juga kelu.
"Aku sendiri tengah hamil. Tapi aku tidak berani mengatakannya pada mereka saat ini." Ujar Naina melankolis.
"Kau harus katakan bahwa kau tengah hamil, Naina." Rohan mengangkat dagu
Naina. "Mungkin setelah itu mereka akan jauh lebih memperhatikanmu
daripada Anu. Kau butuh perhatian dan juga kasih sayang selama
kehamilanmu. Ceritakanlah pada Veer, lalu pada keluarganya." Rohan
menatap wajah Naina yang sembab.
"Akankah mereka bahagia? Toh mereka sudah memiliki cucu pertama?" tanya Naina kosong.
"Keduanya adalah penerus keluarga Nanda bukan? Mereka akan sama sayang juga pada anakmu." Hibur Rohan tenang.
Naina menatap Rohan dengan polos. "Menurutmu begitu?"
Rohan mengangguk sambil meraih pundak Naina dan memeluknya lagi. "Pergilah." Bisiknya.
***
Naina tiba saat makan malam. Semua baru saja memulai makan malam mereka.
"Sayang, kau baru pulang? Kupikir tidak akan pulang di jam makan malam?
Jadi kami makan lebih dulu." veer berdiri dan menyambut istrinya lalu
menggandengnya untuk duduk di sampingnya.
"Ada yang ingin aku katakan." Ujar Naina cepat.
"Katakan saja." Veer mengecup pipi istrinya, dan Anu hanya melihat itu dengan tatapan cemburu.
"Aku... aku sedang hamil Veer. Tpatnya, baru sekitar tiga minggu usia
kandungannya." Naina menoleh dan menatap Veer yang tersenyum bahagia.
"Benarkah? Ya Tuhan, terima kasih." Veer langsung berdiri dan memeluk Naina dengan penuh kasih sayang.
Namun ekspresi Kailash tampak datar dan tidak ada respon apapun.
"Ayah, kau akan mendapatkan dua orang cucu." Veer tersenyum bahagia.
Yang lain hanya saling pandang. Naina mulai mencium gelagat aneh keluarga ini lagi.
"Kau yakin dia anakmu?" tanya Kailash menaruh sendok dan menatap putranya.
"Apa maksud ayah? Naina istriku dan tentu dia mengandung anakku." Veer
menatap wajah istrinya yang mulai terlihat kehilangan aura kebahagiaan.
"Lalu siapa pria yang selalu memeluk istrimu selama beberapa hari ini?
Aku melihat itu tadi di sebuah apartemen?" Kailash menatap Naina dengan
tajam.
Rupayanya Kailash beberapa kali ke apartemen dimana Rohan tinggal untuk
sebuah pekerjaan, dan dia berulang kali melihat Naina bersama Rohan.
Awalnya tidak yakin Naina, tapi hari ini dia jelas melihat Naina yang
tengah mengadu.
"Dia... dia... Rohan. Dia..." Naina jadi gugup, haruskah menyebut mantan calon suaminya?
"Rohan? Kau masih bertemu Rohan? Aku pikir setelah menikah dengan Veer
kau tidak akan menemui mantan calon suamimu itu, Naina." Anu tersenyum
manis.
Kailash menatap Naina dengan tajam dan itu disadari semua orang, Tuan
besar di rumah itu tidak yakin dengan kehamilan menantunya sebagai
keturunan darinya.
"Aku kenal Rohan, ayah." Veer membela.
"Aku akan memutuskan anak itu cucuku atau bukan setelah kelahirannya." Kailash berdiri. "Setelah tes DNA."
Kata-kata Kailash sangat melukai Naina. Dia langsung berdiri dan menatap
ayah mertuanya yang tengah melangkah meninggalkan meja makan, diiringi
diamnya semua anggota keluarga. Seolah sama semua menuduh Naina
berselingkuh.
"Aku tidak akan pernah melakukan tes DNA." Ujar Naina tegas. Emosinya
seolah meninggi karena hormon kehamilan juga karena merasa dipojokkan.
Semua menatap padanya. Begitupun Kailash, dia berbalik dan menatap menantu yang baru diakuinya itu.
"Itu artinya...."
"Aku tidak butuh pengakuan dari kalian. Jika kalian ragu, lalu bagaimana
kalian bisa dengan mudah yakin dengan kehamilan Anu?" Tanyanya dengan
penuh amarah.
"Andai aku bersedia tes DNA, sama saja aku membenarkan bahwa aku telah menghianati suamiku." Naina tegas.
Dia tak mau harga dirinya kembali diinjak seperti awal tiba di rumah
itu. Dulu dia mengalah karena sadar akan kesalahan yang dibuat orang
tuanya dan Tania. Tapi tidak sekarang, dia tak bersalah sama sekali.
Karena itu dia tidak mau kembali diremehkan.
"Berarti kau siap untuk pergi dari rumah ini?" Kailash tampak emosi. Dia kembali menunjukkan sisi keangkuhan dan kuasanya.
"Ayah, aku yakin Naina tidak berselingkuh. Aku juga yakin anak ini
anakku." Bela Veer sambil berdiri dan berusaha menenangkan dua orang
keras kepala itu.
"Aku yang punya aturan disini." Ujar Kailash. "Kau ikuti aturanku, atau
memilih wanita yang baru saja kau kenal dan baru saja kau kira
mencintaimu!"
Veer diam membisu, menatap ayahnya lalu pada istrinya.
"Veer?" Naina meminta pembelaan dari suaminya.
"Aku rasa tidak ada salahnya melakukan tes DNA, Naina. Agar semua yakin dan percaya." Ujar Veer pelan.
Hancur seketika hati Naina, bahkan suaminya sendiri seolah merasa ragu dengan anak yang dikandungnya. Buah cinta mereka.
"Hebat, Veer. Setelah aku begitu mudah menyerahkan hidupku padamu.
Sekarang kau menganggapku tidak berarti sama sekali." Isak Naina sambil
menyeka airmatanya.
"Tidak. Bukan begitu, aku tidak bisa memilih antara kau dan ayah. Kau
lebih muda, jadi kuharap kau lebih bersabar dengan sikapnya. Mengalah
saja." Bisik Veer lembut.
Anu memandang kedua pasangan suami istri itu dengan wajah iba namun juga
merasa bahagia. Tak bisa dibohongi, hatinya masih ada keinginan untuk
menjadi nyonya Nanda berikutnya. Tapi diapun sebenarnya tak tega melihat
Naina kembali terluka.
Naina sudah tak kuasa berdebat, diapun langsung lari ke dalam kamarnya.
Mematung di balik pintu, dan pintu didorong pelan oleh suaminya. Naina
segera mengusap aimatanya dan berjalan menjauh dari pintu.
"Naina, please...." bujuk Veer.
"Ayahmu telah mengusirku darisini. Dan suamiku tak bisa berbuat apa-apa
untuk membela istrinya. Mau apa lagi?" Naina menatap tajam Veer dengan
sorot mata yang basah.
Veer menggeleng dan berusaha merangkulnya. Tapi Naina menghindar dan segera menuju lemarinya, mengemasi pakaiannya.
"Naina, kumohon. Jangan terlalu terburu-buru mengambil keputusan." Veer
menutup kembali lemari pakaian Naina. "Kalian benar-benar sama persis,
sama-sama keras kepala. Tidak bisakah satu dari kalian mengalah?" Veer
tampak frustasi karena dia tak bisa mengabaikan ayahnya ataupun
membiarkan Naina pergi.
"Pilihan ada di tanganmu, Veer. Sebagai anak, tugasmu adalah berbakti
pada orang tuamu. Dan sebagai suami juga ayah, kau harus melindungiku
dan ankmu." Ujar Naina berat.
Veer mengacak rambutnya dengan frustasi. Dia berfikir cukup lama, memikirkan apa yang harus dilakukannya.
"Tunggu disini, aku akan bujuk ayah." Ujar Veer sambil meremas pundak istrinya. Lalu dia keluar dari kamar menemui ayahnya.
Naina berusaha menenangkan dirinya selama di kamar seorang diri. Sedang
Veer terus membujuk ayahnya. Namun justru dia malah disuguhi foto-foto
dari phonsel ayahnya ketika Naina memeluk Rohan.
"Mereka memang mantan kekasih." Ujar Veer tak terlalu peduli.
"Anu lebih tahu tentang mereka bukan?" Kailash menatap Anu.
"Yang aku tahu, Naina memang sangat mencintai Rohan. Begitupun
sebaliknya. Tapi aku tidak tahu jika mereka sudah bertemu kembali."
Jawab Anu hati-hati.
"Aku tahu ayah. Bahkan Rohan yang memintaku untuk menjaga Naina." Ujar Veer.
"Waah, romantis sekali mereka. Dan kau tampak seperti keledai yang
menuruti keinginannya." Kailash semakin marah. "Panggil istrimu kemari.
Kita selesaikan malam ini." Ujar Kailash dengan wajah berapi-api.
Tak lama Naina turun ditemani pelayan. Semua diam menunggu Kailash membuka suara.
"Aku melihatmu bersama pria itu tidak satu atau dua kali. Tapi sering.
Aku juga baru tahu kalau kalian adalah mantan kekasih. Jadi, jangan
hanya karena kami sempat kagum karena kau seorang dokter, lantas kau
berfikir kami akan begitu luluh padamu." Ujar Kailash. "Kau tetap harus
memenuhi aturan di rumah ini, jika ingin tetap diakui sebagai menantu
dan anakmu sebagai cucuku." Tambah Kailash.
Naina memejamkan mata, mencoba menguatkan hatinya.
"Mungkin anda benar, kalian terlalu cepat kagum padaku hanya karena aku
seorang dokter yang pernah menyelamatkan anggota keluarga ini. Anda
benar, aku terlalu mudah menyerahkan diriku pada putramu, hanya karena
dia telah mengambil kegadisanku. Anda juga benar, anda tidak pernah
salah. Dan aku yang salah." Naina mengatakan itu dengan rahang mengeras,
lalu menahan nafasnya dengan berat.
Semua semakin tak berani bicara apapun.
"Jadi, kau bersedia melakukan tes DNA pada anakmu nanti?" tanya bibi Asha akhirnya ikut buka suara.
"Tidak akan pernah!"jawab Naina cepat.
Kailash terlihat emosi dan berdiri memandang Naina. "Kau benar-benar
wanita yang sombong hanya karena kau seorang dokter. Jika aku mau, aku
bisa menghancurkan karirmu kapanpun." Katanya dengan penuh kebencian.
"Ayah!" Veer berdiri karena merasa masalah ini bukan selesai malah
semakin rumit. "Naina, kumohon mengalah saja." Pinta Veer dengan lembut.
Baginya mengalah pada orang tua lebih baik.
"Aku akan tetap mempertahankan harga diriku. Melakukan tes DNA sama saja
aku mengakui telah berselingkuh dan menghianatimu." Jawab Naina.
Veer memejamkan mata karena dia sadar, istri dan ayahnya sama-sama keras kepala.
"Kalau begitu silahkan angkat kaki dari rumah ini." Kalimat Kailash ini
membuat semua orang terperanjat, terutama Veer yang sejak tadi
memejamkan matanya. Dia menatap ayahnya dengan rasa tak percaya.
Naina tersenyum dan berdiri dari tempat duduknya. Dia pergi ke kamarnya
dan mengambil dua tas yang telah dia kemas. Sementara Veer masih
berusaha membujuk ayahnya.
Naina tiba kembali di ruang tamu, dia buka tas kecil pertama dan menaruhnya di meja. Setengah dia banting.
"Ini adalah barang-barang yang kalian berikan padaku. Dan aku tak pernah
menggunakannya. Gelang keluarga, perhiasan-perhiasan dan juga buku
tabungan serta kartu kredit yang diberikan untukku kala itu. Semua masih
tersimpan rapi, ini." Ujar Naina sambil menatap tajam Kailash.
Menantang ayah mertuanya yang sombong, yang selalu mengira Naina
mengidamkan jadi bagian dari keluarga ini.
"Dan ini kunci-kunci rumah dan lemari, pakaian-pakaian yang kalian
berikanpun masih tersusun rapi di lemari. Aku tahu, kalian pasti akan
mempertanyakan semua ini juga kan?" Naina menatap tajam dengan mata yang
basah.
Kailash semakin terlihat emosi menatap Naina yang telah menyerahkan
semua yang telah menjadi haknya. Artinya Naina benar-benar menantangnya
dan tak menginginkan maafnya.
"Kau benar-benar lancang, Naina! Aku semakin yakin bahwa anak yang kau
kandung bukan darah daging keluarga ini. Dan aku tak sudi menyebutmu
sebagai menantu lagi. Pergilah dari rumah ini!" teriak Kailash. Diikuti
keterkejutan semua orang yang ada disana, istrinya berusaha menenangkan
namun tampak jelas Kailash sudah sangat murka.
"Ayah!" Veer hampir tak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia mendekat
dan menggenggam tangan ayahnya. Menatapnya penuh pengharapan agar
menarik kata-katanya.
"Kau memilih aku... ayahmu, keluargamu, atau wanita itu. Kau bebas
memilih. Tapi selangkah saja kau tinggalkan rumah ini demi wanita ini,
kau bukan lagi anakku!" teriak Kailash pada putranya.
Veer hanya terdiam menoleh Naina yang kini ekspresinya dingin, bahkan
sudah tak setetespun air mata keluar dari sudut matanya. Dia berharap
Naina mengerti ketidakberdayaannya. Mengalah pada ayahnya saja, daripada
mereka dipisahkan.
"Pergilah!" teriak Kailash lagi dengan penuh amarah.
Naina mengangkat wajahnya dan menatap Kailash.
"Aku pasti pergi. Dan akupun bersumpah dihadapan kalian semua, aku tidak
akan pernah menginjakkan kakikku di rumah ini lagi. Meskipun kalian
bersujud mencium kaki anakku kelak." ujar Naina pasti, lalu menarik tas
pakaiannya menuju keluar rumah.
Mereka saling menatap diantara celah pintu yang terbuka. Naina menunggu, satu detik, dua detik hingga detik ke tiga puluh suaminya masih tetap diam seolah ragu untuk mengikutinya. Naina membalikkan badan, membelakangi Veer yang masih memohon pada ayahnya.
"Kau tidak mencintaiku, Veer." gumam Naina. Saat itu airmata meluncur di pipinya. Langkahnya berat untuk meninggalkan tempat itu untuk selamanya. Teringat bagaimana dia datang ke rumah ini pun tanpa melalui pintu utama. Seolah memang dia bukan ditakdirkan jadi menantu di rumah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel