Naina menekan bel apartemennya, tak lama Tania membuka pintu dan menatapnya bingung. Dia melihat tas pakaian yang dibawa Naina. Tania menutup mulutnya saat melihat wajah kakaknya penuh dengan airmata.
"Masuklah." Katanya dengan sedih. Lalu mengambil alih tas, dan membawanya ke dalam kamar.
Naina sendiri langsung duduk di balkon apartemen, menatap langit yang biru tapi terasa panas menyiksa. Airmatanya berulang kali meluncur cepat di pipinya, meski berulang kali juga dia mengusapnya.
Kemudian dia mengelus perutnya, mencoba tersenyum dan menarik nafas panjang untuk menghentikan airmatanya.
Naina masuk ke dalam kamar, menutup pintu. Barulah terdengar suara tangisan pecah. Bagi Tania ini adalah pertama kali dalam hidupnya mendengar Naina menangis tersedu.
Tania tak berani masuk, hanya mengelus pintu seolah berusaha menggapai kakaknya. Menyesali kesalahan dirinya yang mambuat kakaknya harus menerima kepahitan seperti ini.
Hingga malam tiba, tak ada obrolan dari dua adik kakak itu. Tania faham betul, jika Naina tak suka diajak bicara jika tengah marah atau sedih. Dia akan setia menantikan kakaknya menceritakan dengan sendirinya.
Tak lama, Arav suami Tania pulang. Pasangan ini pun hanya saling pandang dan tak berani menyapa Naina yang sibuk memasak di dapur.
"Sudah pulang? Ayo kita makan." Ujar Naina membawa hidangan ke meja makan, dia tampak lebih tenang.
"Kakak akan tinggal dengan kami?" tanya Arav ragu-ragu.
"Ya, aku akan tinggal disini mulai sekarang." Jawab Naina sambil sibuk merapikan hidangan di meja.
Tania memeluknya dari samping sambil menangis, tapi Naina malah melepaskan dan mengangkat dagu adiknya. "Kau kenapa?" tanya Naina dengan tatapan sendu.
Tania hanya menggeleng, sambil kembali memeluk kakaknya.
"Maafkan aku." katanya, seolah menganggap semua yang terjadi pada kakaknya adalah karena dirinya yang menolak menikah dengan Veer di masa lalu.
"Semua sudah dituliskan Tania, jangan pernah merasa bersalah. Sekarang kita hanya harus melanjutkan hidup." Ujar Naina tenang.
Mereka berpelukan, dan Arav langsung memeluk keduanya. "Aku akan menjaga kalian." bisik Arav dengan senyuman yang lembut.
***
Sebelumnya, setelah Naina pergi, Veer berniat mengejar istrinya. Namun langkah kakinya dihentikan Kailash.
"Selangkah lagi, maka aku tak akan mengakui kau sebagai anakku." Ujar Kailash dengan tatapan tajam.
Semua yang disana tak berani berkomentar apa-apa. Hanya diam seperti deretan manekin yang bernafas.
Veer berbalik dan menatap ayahnya dengan tatapan tajam juga.
"Baiklah ayah. Aku akan tetap menjadi putramu, tapi Naina pun sama. Dia tetap menantumu. Tidak akan ada yang lain." ujar Veer dengan tenang. "Tidak akan ada yang menggantikan dia sebagai menantumu dan sebagai istriku, aku juga bersumpah... aku akan membawanya kembali, ke rumah ini. Seperti pengantin yang seharusnya, dan seperti menantu yang selayaknya. Kalian semua yang akan menyambutnya. Memulainya dari awal, karena dulu kita tidak pernah memperlakukan dia dengan semestinya." Tegas Veer panjang lebar.
Dia mendekati tas berisi perhiasan dan kunci, lalu mengambilnya dan mengemasnya kembali. Kemudian membawanya ke dalam kamar. Semua baru bisa bernafas lega dan tenang, setelah ketegangan ini berakhir.
Sedang Anu, diam membisu mendengar kata-kata Veer bahwa Naina tidak akan pernah tergantikan siapapun di rumah itu, apalagi di hatinya. Dia tampak kesal, sedih atau gabungan dari kesemuanya.
***
Rohan menaruh kedua tangannya di dagunya sambil memandang pria yang baru saja datang padanya. Lalu dia menyandarkan diri di kursi rodanya, dan masih tetap memandang pria yang sejak tadi diam saja.
"Jadi, maksud kedatanganmu?" tanya Rohan dengan pandangan sedikit kesal.
"Aku pikir Naina disini." Ujar pria yang tak lain adalah Veer.
"Sudah berapa lama dia meninggalkan rumahmu?" tanya Rohan lagi seperti seorang polisi yang tengah menginterogasi penjahat.
"Tiga bulan." Jawab Veer sambil menggaruk cambangnya meski tak gatal.
"Parah!" Rohan berdecak kesal sambil menggelengkan kepalanya.
"Dia pergi selama itu dan kau tidak tahu dia kemana? Sia-sia saja aku melepaskannya untukmu!" Omel Rohan dengan nada kesal.
Veer diam saja, lalu kemudian menatap Rohan dengan pandangan serius. "Dia sedang hamil. Dan ayahku menyangka itu anak hasil hubungan gelap denganmu. Ayahku beberapa kali memperegoki kalian berdua tengah berpelukan." Papar Veer sambil menyelidik.
"Dan kau percaya?" Rohan tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
"Ya Tuhan, Veer. Andai aku bisa, aku ingin sekali menghamilinya sejak dulu." Rohan tampak kesal dengan tawa sinisnya. "Jika aku bisa melakukan itu, untuk apa aku biarkan dia menikah denganmu?" Tatapan Rohan tajam.
"Hah? Masihkah harus aku jelaskan semua itu? Aku memang masih mencintainya Veer, tapi aku tidak bisa melakukan apapun padanya, karena itu aku biarkan dia hidup bersamamu!" teriak Rohan penuh emosi. "Dan kau mengabaikannya. Ck!" Rohan memukul kursi rodanya. "Bodoh sekali kau!" umpatnya lagi.
Veer memejamkan mata. Menyesali kekeliruannya dan menyesali sikap abainya.
"Aku dia disini bersamamu, maka dia aman. Dia butuh kebahagiaan, dan ya... kukira dia menemuimu untuk mencari perlindungan. Aku tidak ingin membebaninya dengan segala macam masalah, karena itu aku tak berani menemui dia." Bela Veer sambil terus mengusap wajah dan juga matanya.
Veer mengira Naina bersama Rohan hingga dia merasa ragu untuk mencarinya. Selama tiga bulan dia memendam rindu dan tak berani menemui Naina karena takut menyakitinya lagi. Dan dia salah, Naina bahkan tidak menghubungi Rohan sama sekali.
"Jadi kau kira dia serendah itu?" teriak Rohan lagi. "Jika masalahnya melibatkan aku, maka sudah dipastikan dia akan menjauhiku. Kupikir cintamu itu bisa memahaminya, ternyata tidak. Atau jangan-jangan cintamu tak lebih besar dari cintaku padanya?!" Rohan terdengar mengejek karena teramat jengkel dengan Veer. Bagaimana tidak, dia sudah mengalah memberikan Naina tapi malah disia-siakan.
Veer menggeleng, dia menarik nafas dalam dan berjalan ke arah Rohan.
"Maafkan aku. Dan terima kasih atas semua ini. Kau telah membuka mata hatiku." Veer menggenggam tangan Rohan.
"Aku akan mencarinya, dan membawanya kembali dalam kehidupanku. Doakan aku Rohan." Bisik Veer sambil memeluk Rohan, lalu bangkit dan meninggalkan pria yang tengah jengkel tingkat dewa padanya.
"Dasar bodoh. Brengsek!" umpat Rohan sambil mengepalkan tangannya. Sayang memang, dia tak bisa berbuat apa-apa, selain tetap mengalah. Jika tidak, mungkin dia akan mengambil alih tempat Veer saat ini. Karena pasti Naina sedang butuh kasih sayangnya.
Sementara Veer memacu kendaraannya menuju rumah sakit tempat Naina bekerja. Memang, selama ini dia hanya mengawasi ketika istrinya itu datang dan pulang untuk bekerja. Hanya memantaunya dari jauh. Memastikan dia baik-baik saja, dan tak pernah berani untuk menghampiri. Dia mengira ketegaran Naina selama ini karena bersama Rohan. Tapi ternyata bukan, ternyata dia salah. Dan sudah saatnya dia membawa kembali istrinya pada kehidupannya.
Mobil Veer masuk parkiran rumah sakit. Jam 15.00 biasanya Naina keluar dari rumah sakit untuk pulang. Sepertinya dia hanya praktek dan tidak melakukan tindakan pada pasien. Jadi, setiap hari dia pulang di jam yang sama dan tak pernah lagi tugas malam.
Veer masih memandang pintu samping rumah sakit, tempat dimana para dokter dan petugas disana keluar masuk. Tak lama, wanita yang dirindukannya keluar dari pintu dan berdiri dengan perut yang mulai tampak membesar. Veer segera keluar dari dalam mobil, berniat menghampirinya. Namun tiba-tiba sebuah mobil sedan putih berhenti, dan seorang pria keluar lalu membuka pintu mobilnya dan Naina tampak masuk ke dalamnya. Tak lama, mobil itupun melaju meninggalkan tempat itu.
Veer segera kembali ke dalam mobil sportnya dan langsung tancam gas dengan penuh kecemburuan mengejar mobil sedan itu. Berulang kali dia menekan klakson mobilnya keras-keras, agar mobil di depannya minggir dan memberinya jalan untuk segera mencegat mobil yang ditumpangi istrinya.
Dan ketika tiba di jalanan kosong, dia langsung menginjak gas lalu menyalip mobil yang ditumpangi Naina, dan berhenti tepat di depan mobil itu. Dia keluar dengan wajah emosi dan menggedor pintu kaca dimana pria yang menjemput Naina berada.
"Veer? Mau apa dia?" Naina heran ketika melihat Veer terus menggedor mobil yang ditumpanginya. Naina dan pria itu keluar, namun seketika Veer menarik kerah kaos pria yang bersama Naina dan mendorongnya ke mobil.
"Jangan coba-coba mengambil kesempatan. Dia istriku!" tekan Veer dengan penuh cemburu.
"Veer! lepaskan dia!" teriak Naina sambil menarik kuncir suaminya. Ya, rambut Veer kini tampak panjang hingga harus diikat.
"Veer, lepaskan suaminya Tania!" teriak Naina untuk kedua kalinya.
Baru Veer melemah dan melepaskan cengkramannya di leher Arav.
"Suami Tania?" gumam Veer sambil menoleh ke arah Naina, lalu kembali memandang Araav yang kini bercambang lebat hingga dia lupa, karena mereka hanya bertemu satu kali saat pernikahan Tania.
Keduanya saling diam dan memandang dalam kerinduan. Veer mendekat dan tanpa aba-aba langsung saja memeluk istrinya itu dengan erat.
"I miss you." bisiknya lembut sambil mengecup puncak kepala istrinya cukup lama. Sedang Arav mencoba menormalkan nafasnya yang hampir sesak karena cekikan Veer.
Naina mendorong tubuh suaminya setelah sekian lama merasakan kehangatan dekapan suaminya. Dia hendak kembali ke dalam mobil, namun Veer menahan tangannya.
"Please, aku akan jelaskan semuanya. Bukan berarti aku mengabaikanmu selama tiga bulan ini. Sungguh. Setiap hari aku berada di parkiran rumah sakit hanya untuk bisa melihatmu." Ujar Veer sambil mendekat perlahan ke arah Naina yang tak berkata apa-apa lagi.
Perlahan Veer menaruh jari-jarinya di kedua pipi istrinya, lalu mendekat dan mengecup kening istrinya yang tetap diam saja. Lalu menariknya ke dalam pelukannya, membiarkan dia membenamkan wajahnya di dadanya sama seperti dulu.
Ketika di pantai, ketika di hari pernikahan Tania, agar dapat merasakan isi kegelisahannya selama ini, dan dapat merasakan debaran kerinduan yang memuncah.
Namun Naina teringat sosok Anu, wanita yang juga tengah mengandung anak Veer. Dia melepaskan pelukan suaminya, dan kembali masuk ke dalam mobil Arav.
"Naina, ..." Veer tak bisa berkata apapun selain hanya memasang wajah penuh kerinduan di kaca mobil yang ditumpangi istrinya.
"Kita pulang Arav." Ujar Naina.
Arav perlahan menginjak gas dan melaju meninggalkan Veer yang masih menatap istrinya dengan penuh penyesalan.
Tiba di apartemen, Naina langsung masuk kamar dan memeluk guling sambil menangis. Sedang Arav menceritakan kejadian hari ini pada Tania, lalu mereka membiarkan Naina menyendiri dan tak berani turut campur jika sudah masalah hati.
"Aku merindukanmu, Veer. Kau harusnya tahu, wanita sedang hamil itu sangat merindukan pelukan manja dari suaminya." gumam Naina sambil memeluk guling dan membasahinya dengan airmata.
"Tapi mungkin kau lebih memilih memberi kenyamanan pada anak pertamamu, bukan pada anak yang kukandung." Isaknya lagi sambil merapatkan pelukannya.
Dia rindu wangi keringat suaminya, rindu pelukan nyaman seperti selama ini dia rasakan. Pelukan penuh kasih sayang dan perlindungan, yang hampir tiga bulan semasa kehamilan muda tak dia dapatkan.
Tok tok tok!
Pintu kamar Naina diketuk dari luar. Naina segera bangkit dan mengusap airmatanya. "Masuk saja." Katanya.
Tania langsung membuka pintu dan menatap kakaknya dengan wajah bimbang.
"Veer, ada diluar." Katanya pelan.
Naina menoleh pada adiknya, kemudian spontan berdiri dan berjalan keluar. Tampak Veer tengah berdiri di pintu bersama Arav. Dia belum berani masuk karena tidak diijinkan oleh Arav dan Tania jika tanpa izin dari tuan rumah.
Melihat Naina keluar kamar, dia akhirnya berani melangkah melewati Arav, lalu kembali memeluk Naina yang jelas matanya sembab karena menangis. Tak ada kalimat apapun yang keluar dari bibir mereka, selain hembusan nafas yang terdengar cepat dan gelisah.
Arav memberi isyarat pada Tania untuk membiarkan mereka berdua saja. Lalu pasangan suami istri itu keluar dari apartemen dan menutup pintunya, memberikan kesempatan pada sepasang suami istri lainnya untuk memperbaiki hubungan yang hampir retak.
Naina melepaskan pelukan Veer, lalu berjalan ke arah balkon dan menatap kosong disana. Seolah tidak tahu harus memulai darimana dan bagaimana memperbaiki keadaan ini. Sedang Veer mengikutinya, lalu kembali memeluknya dari belakang. Perlahan, mengelus perut istrinya yang mulai besar. Memberikan rasa nyaman yang teramat dirindukan oleh Naina selama ini.
"Aku akan membeli apartemen untuk kita tinggal berdua." Bisik Veer sambil merapatkan pipinya di pipi istrinya. "Kita akan memulai semua dari nol." Tambahnya.
Naina menarik diri dari pelukan suaminya, dan memilih menatap langit yang sedikit cerah.
"Lalu ayahmu?" tanya Naina, "Anu?" tambahnya, "anakmu darinya?" seolah tak memberi ruang untuk dijawab.
"Aku tidak ingin membahas mereka saat ini."
"Itu bukan solusi, dan bukan jawaban yang bijak, tidak akan mengatasi semua ini." Naina kecewa.
"Baiklah. Untuk ayah, dia sudah tua. Egonya pasti cukup besar. Kita hanya butuh berusaha menghargai dia dan memakluminya. Sedikit mengalah." Veer sedikit gelisah sambil sesekali berusaha menatap wajah istrinya yang terus menolak berhadapan.
"Dan soal Anu. Sungguh, aku tidak pernah berbicara dengan dia meski dia ada di rumahku. Aku pergi pagi, dan pulang malam ketika semua orang telah terlelap. Aku lebih senang menghabiskan waktu di parkiran, sambil melihat seseorang yang sangat kucintai berbicara dengan orang lain. Meski setelah itu dia pergi." Veer berusaha tersenyum sambil terus memandang wajah istrinya dari samping.
"Setiap hari aku ingin melihatmu, ingin bicara denganmu. Tapi aku takut jika aku menghampirimu, kau akan malah tertekan lagi, aku tidak ingin membuat kehamilanmu terganggu." Veer meremas jari jemari istrinya yang tak bersuara sedikitpun.
"Aku juga tahu jadwal kau kontrol kehamilan dengan dokter Mehta. Aku selalu menanyakan hasil pemeriksaan esoknya. Dan aku senang kalian baik-baik saja. Aku juga senang bisa melihat foto anak kita yang ada dalam rahimmu." Veer tak kuasa untuk tak memeluk istrinya.
Naina memejamkan mata, berusaha menahan buliran bening yang terus mendesak keluar.
"Kau tidak boleh seperti itu pada Anu. Dia mengandung anakmu, bagaimana kalau dia tertekan? Seorang wanita hamil sangat sensitif, membutuhkan perhatian dan belaian serta pelukan dari suaminya." protes Naina sambil menyeka airmatanya.
"Aku tahu. Aku akan selalu membelai dan memelukmu mulai hari ini." Jawab Veer, seolah celotehan Naina bukanlah untuk Anu tapi keluhan akan istrinya sendiri.
"Bukan aku. Aku bicara soal Anu." Suara Naina semakin serak karena menangis.
"Tapi aku hanya ingin bicara soal istriku." Veer memeluknya dengan erat.
Naina masih terisak. Walau dia merasa nyaman dalam pelukan suaminya, tapi tetap saja menyadari suaminya akan jadi ayah dari anak bersama wanita lain sangat menyakitkan baginya. Dia kembali melepaskan pelukan suaminya dan berjalan ke kursi. Kadang setiap Veer memeluknya, menciumnya, terlintas kenangan masa lalu saat Veer melakukan hal sama dengan wanita itu. Dulu tidak cemburu, tapi sekarang mengingat itu sangat menyiksa.
"Untuk saat ini, biarlah semua seperti ini Veer. Sebagai anak, aku maklumi kau harus berbakti pada kedua orang tuamu. Aku ingin kehamilanku tidak terganggu dengan pikiran macam-macam, jadi tetaplah seperti kemarin, melihatku tanpa menemuiku." Naina membuang wajahnya ke arah kanan.
"Kau sedang berakting. Kau sendiri yang bilang kalau seorang wanita hamil membutuhkan suaminya. Dan aku akan selalu ada untukmu. Titik." Veer berjalan ke sofa, lalu membuka jasnya dan merebahkan diri di sofa panjang.
"Pulanglah, Veer."
"Tidak. Aku akan tinggal disini. Aku akan membawa pakaianku nanti." Katanya sambil memejamkan mata dengan tangan dijadikan bantalnya.
***
Esok pagi Veer baru pulang ke rumahnya. Dia tak banyak bicara atau bahkan tak menjawab pertanyaan ibunya kemana dia semalaman. Dia hanya sibuk sarapan, lalu ke kamar dan mengganti pakaian.
Dia kembali bersiap untuk berangkat bekerja.
"Veer." panggil Anu ketika dia keluar dari kamarnya.
"Hmm." Jawabnya singkat.
"Bolehkah hari ini kau menemaniku menemui dokter kandungan?" tanyanya ragu.
"Dan membiarkan orang tahu bahwa kau sedang mengandung anakku? Bukankah dalam perjanjian kemarin dengan ayah, kau berada disini untuk bersembunyi dari dunia? Dokter akan datang kemari nanti sore bukan?" tolak Veer.
"Benar. Tapi aku harap kau ada dan menyaksikan pemeriksaannya. Selama ini kau tidak pernah ada." Anu tampak takut untuk memohon. "Sebentar lagi, anak kita akan lahir." Ucapnya lagi dengan lirih.
"Hari ini aku tidak bisa. Aku banyak pekerjaan." Tolak Veer tegas.
Anu tampak kecewa, dia tak menyangka meski telah mengandung anaknya ternyata Veer tidak bisa menerimanya. Bahkan setelah Naina pergi, Veer tetap tidak mau menerimanya.
Anu berlari ke kamarnya dan memukul-mukul perutnya karena kesal, lalu menangis tersedu hingga dia merasakan sakit pada akhirnya. Dia memanggil pelayan yang selama ini bertugas menjaganya, dan sang pelayan mengabarkan pada tuan Kailash bahwa Anu sudah mengalami kontraksi.
Semua panik bercampur bahagia sekaligus cemas. Dengan menggunakan mobil milik asisten Kailash mereka membawa Anu ke rumah sakit, dan mem-booking satu lantai agar tidak tercium oleh media dan orang lain soal kelahiran anak Veer dari Anu.
Semua harap-harap cemas, karena Anu menolak melahirkan secara normal, maka dokter mengambil jalan cepat yaitu dengan caesar.
***
Kailash tampak mengepalkan tangannya, sedang istrinya berusaha menenangkannya dengan mengelus-elus punggungnya. Sedang Anu duduk lemah di kursi, paska satu minggu dari melahirkan anaknya.
"Kenapa kau membohongiku? Apa kau tidak tahu akibatnya karena telah mempermainkan aku?" tanya Kailash dengan geram.
"Aku tidak bermaksud membohongi anda. Aku hanya ingat, Veerlah orang terakhir yang tidur bersamaku. Jadi aku berfikir bahwa itu adalah anaknya Veer. Aku minta maaf, tuan." isak Anu ditemani orang tuanya yang pada akhirnya datang menemuinya.
"Semua sudah terjadi. Aku bahkan sudah mengusir istrinya Veer." bisik Kailash lemah. "Pergilah. Dan jangan pernah menampakkan diri lagi di hadapanku, di hadapan keluargaku. Pergi!" teriak Kailash dengan penuh amarah.
Ya, Kailash melakukan tes DNA pada anak Anu. Dan ternyata tidak identik sama sekali dengan gen putranya, Veer. Jelas, bahwa anak itu bukan cucu pertamanya.
"Kenapa semua wanita disekitar putraku tidak ada yang benar?" keluhnya sambil duduk dengan wajah muram.
"Menantumu itu, mungkin benar anaknya Veer." ujar bibi Asha yang merupakan adik dari Kailash.
Kailash masih tidak yakin, dia masih yakin bahwa itu anak dari Rohan. Karena itu dia menilai semua wanita yang mengaku mencintai putranya hanya karena hartanya.
Lalu bagaimana dengan Veer?
Ketika dia tahu bahwa anak yang dilahirkan Anu bukan anaknya, hal yang pertama dilakukannya adalah menghubungi Naina. Mengabarkan bahwa ternyata dia tidak memiliki anak lain selain yang berada di rahim Naina.
"Oh, selamat." Jawab Naina tidak terlalu bahagia atau ekspresi apapun.
"Kau tidak senang?" Veer merasa heran.
"Biasa saja." Jawab Naina.
"Moodmu sedang buruk?" goda Veer.
Naina diam saja, karena bagi Naina meski anak itu bukan anak Veer, mengetahui suaminya pernah bersama wanita lain tetap saja menyakitkan.
"Aku masih banyak pasien. Bye." Tutup Naina sambil meletakkan phonselnya di meja.
Veer hanya tersenyum, lalu memarkirkan mobil. Tanpa bicara dengan siapapun, dia langsung mengemas beberapa pakaian. Lalu turun kembali hendak menuju mobilnya.
"Kau mau kemana, Veer?" tanya ibunya yang baru saja tiba di ruang depan.
"Aku sudah memutuskan untuk tinggal bersama istriku, bu. Saat ini dia tengah hamil besar dan sangat membutuhkan kehadiranku setiap saat." Jawab Veer lembut.
"Bagaimana kau bisa yakin jika dia anakmu? Bukankah ayahmu bilang...." bibi Asha angkat bicara.
"Bibi, ada banyak hal yang tidak bisa aku ceritakan pada kalian. Tapi Naina tidak menghianatiku, dan tidak mungkin." Potong Veer cepat.
"Oh ya? Kau bahkan baru mengenalnya saat membawanya kemari sebagai pengantinmu, bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa dia tidak menghianatimu?" Kailash berdiri di tangga sambil bertolak pinggang.
Veer menatap ayahnya dan mereka saling berpandangan, berhadap-hadapan. Keduanya saling memandang, seolah saling menunjukkan kekuatan dan keyakinan mereka dalam hal penilaian terhadap Naina.
"Katakan, apa jaminan bahwa dia sudah pasti cucuku?" tanya Kailash sambil tetap bertolak pinggang.
"Karena aku kenal baik dengan Rohan. Dan Rohan pula yang meyakinkan aku bahwa cintaku pada Naina sangatlah tepat." Jawab Veer.
Kailash tampak tidak puas. Dia tetap memandang tajam putranya dan meminta jawaban yang lebih pasti agar dia bisa menerimanya.
"Baiklah." Veer sebenarnya merasa tak enak harus membuka aib Rohan. Tapi dia sepertinya tak punya pilihan lain. "Rohan merelakan Naina menikah denganku, karena dia mengalami kecelakaan dan tidak bisa menjadi pria normal pada umumnya. Dia tidak akan bisa menghamili Naina."
Semua terdiam dan saling pandang. Tapi Kailash masih belum puas.
"Bagaimana kau bisa seyakin itu?" tanya Kailash.
"Jika Rohan normal, dia tidak akan membiarkan Naina menikah denganku tentunya." Veer menatap ayahnya. "Ya, benar. Aku mendapatkan Naina karena Rohan yang menyerahkannya padaku, karena dia tidak sempurna. Dan aku malah menyia-nyiakannya. Ah tidak, tapi karena Naina tidak ingin menjadikan aku anak durhaka." Veer tertunduk, lalu kembali mengangkat wajahnya, menatap ayahnya yang kini hanya terdiam.
***
Kailash duduk di taman belakang, tatapannya kosong. Jelas menandakan dia tengah berfikir banyak hal. Sang istri datang, lalu duduk di sampingnya, menatapnya lembut.
"Temui Naina, dan mintalah maaf darinya." Katanya pelan.
"Belum jelas anak itu cucuku atau bukan."
"Kau masih saja berkeras. Meski aku tahu, hatimu tengah gundah karena takut Naina tidak membiarkanmu menimang cucumu itu kelak. Iya kan?" ibu Veer mengelus punggung suaminya.
Kailash diam saja. Benar, ada perasaan seperti itu di hatinya. Mengingat Naina sama sepertinya, keras kepala. Akankah dia membiarkannya menemui cucunya nanti? Atau masih berkeras karena dendam dan sakit hati??
==========
Veer memarkirkan mobilnya tak jauh dari pintu keluar para dokter.
Security sempat melarangnya parkir disana, tapi dia beralasan hanya
sebentar, hanya ingin menjemput istrinya yang seorang dokter. Setelah
diberi tahu, akhirnya dia diijinkan parkir di tempat itu.
Veer
langsung bergegas menuju koridor rumah sakit, menanti istri tercintanya
keluar dari ruangannya dengan perut seksinya. Dan tak butuh waktu lama,
akhirnya sang dokter yang tengah hamil besar keluar ditemani beberapa
orang suster.
Senyum mengembang terlihat di wajah Veer sambil menyambut kedatangan istrinya.
"Veer? Ada apa?" tanya Naina sembari melirik ke arah para suster yang segera memisahkan diri dengannya.
"Sengaja menjemput istriku, apa salahnya?" tanya Veer lembut, lalu
mengelus rambut istrinya dan mendaratkan ciuman hangat di keningnya.
Beberapa orang tersenyum melihat kemesraan mereka. Hingga Naina segera
berjalan keluar, tidak membiarkan dirinya jadi objek tontonan para
pekerja di rumah sakit tersebut.
Veer membuka pintu mobilnya
untuk Naina, lalu menutupnya perlahan ketika sang istri tercinta sudah
duduk nyaman. Dia segera naik dan melajukan mobilnya perlahan
meninggalkan tempat istrinya bekerja. Tak ada obrolan selama lima belas
menit perjalanan.
Hingga Veer membelokan mobilnya ke sebuah shopping mall terbesar di Mumbai.
"Untuk apa kita kemari?" tanya Naina pada akhirnya.
"Lihat saja nanti." Veer tersenyum dan segera turun, lalu membuka pintu
mobilnya dan mengulurkan tangan agar Naina keluar. Naina menurut saja,
lalu dengan berjalan bergandengan mereka menuju lift. Hal yang tak
pernah mereka lakukan selama ini. Dan Naina menyadari itu, hingga dia
melepaskan kaitan tangan Veer di jari jemarinya.
Tapi Veer
sangat ingin melindungi istrinya, terlebih ingin sekali menunjukkan pada
dunia bahwa mereka adalah pasangan. Dia kembali meraih tangan Naina dan
dengan erat menggenggamnya, hingga memasuki lift, dan keluar di lantai
yang dituju.
Veer memasuki sebuah showromm perlengkapan bayi.
Tentu bukan sebuah toko biasa, tapi sebuah showroom. Tangannya masih
terus menuntun istrinya, hingga seorang pria menyambut mereka.
"Hallo tuan muda Nanda, senang anda datang kemari." Sapanya dengan sopan.
"Ya, sebentar lagi aku akan memiliki anak pertama. Dan aku ingin kamar
yang luar biasa dan spesial." Ujar Veer dengan sikap bangga.
"Tentu, aku sendiri yang akan mendesign-nya. Anda tinggal sebutkan
gambaran sederhananya seperti apa, dan aku akan membuatkan gambar
visualnya lalu anda bisa menyetujui, atau ada yang harus diubah dan lain
sebagainya." ujar sang designer interior panjang lebar.
Veer
mengangguk sambil berjalan mengikuti sang designer ke ruangannya. Mereka
duduk di sofa yang sangat empuk untuk para tamu istimewa, sambil
melihat-lihat hasil karya yang empunya tempat.
Sejak tiba,
Naina tidak banyak bicara. Sampai akhirnya sang designer meninggalkan
mereka berdua untuk mendiskusikan kamar seperti apa yang mereka idamkan.
"Katakan, kamar seperti apa yang kau inginkan!" veer memandang wajah Naina yang sedari tadi hanya memasang senyuman basa basi.
"Aku sudah menyiapkan semuanya, Veer. sederhana saja disesuaikan dengan kamar di apartemenku." Jawab Naina santai.
"Kau ini, ini untuk di rumahku. Karena aku sudah berjanji pada diriku
sendiri dan semua orang disana, bahwa hanya akan ada satu menantu di
rumah itu. Yaitu, kau." Veer menatap manik mata Naina yang terdiam
menatapnya juga.
Namun kemudian Naina memalingkan pandangan, menghindari kontak mata yang terasa membuatnya pedih untuk saat ini.
"Terserah kau saja jika itu untuk di rumahmu. Karena anakku, akan
tinggal dan tumbuh di rumahku." Jawab Naina sambil melihat ke arah lain.
Veer menarik nafasnya yang tiba-tiba terasa sesak. Dia tahu, istrinya
masih terluka, tapi dia harus berusaha menyembuhkan secepatnya.
"Aku tidak akan memaksamu untuk kembali secepatnya ke rumah orang
tuaku. Tapi aku akan menunggumu, sampai kau siap. Sampai kau bisa
memaafkan kami semua. Kau jangan khawatir." Veer langsung mengecup
tangan Naina dengan kilat.
Tak lama, sang designer datang. Dan
Veer menggambarkan keinginannya untuk kamar putra pertamanya yang akan
segera lahir. Naina diam saja, dia hanya sesekali tersenyum, atau
mengangguk. Tidak menambahi atau mengurangi apa yang dikatakan suaminya.
"Baiklah, dalam tiga hari aku akan kirimkan gambar ilustrasinya." Ujar sang designer.
"Aku akan menunggu." Ujar Veer.
Mereka bersalaman, lalu Veer dan Naina keluar dari showroom itu ditemani sang designer hingga pintu keluar.
***
Malam ini Tania yang bertugas memasak makan malam. Ditemani suaminya
Arav, mereka asik memanggang roti dan membuat kari ayam serta sayuran
sebagai pelengkap.
Naina sendiri sibuk menonton televisi, sedang Veer sibuk dengan laptop dan kacamatanya. Mengecek urusan bisnisnya.
"Makan malam sudah siap." Teriak Tania sambil menaruh kari di meja.
Disusul Arav yang membawa piring dan gelas, lalu mereka susun bersama.
"Kelihatannya enak." Veer lebih dulu menghampiri meja makan. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi.
"Tentu saja, ini masakan dibuat dengan penuh cinta dari kami berdua." Ujar Tania sambil tersenyum sangat lebar.
"Bagus. Kuharap kalian tidak salah memasukkan garam, gula dan merica
karena asik bercinta di dapur." Celoteh Veer membuat Tania melotot.
"Dengan cinta, Veer! Bukan sambil bercinta!" protes Tania sambil mendelikkan mata.
Naina akhirnya datang ke meja makan, dan segera disambut Veer dengan menarik kursi untuknya.
"Kau mau makan apa sayang? Biar kuambilkan." Ujar Veer seolah tidak ada masalah, lalu menaruh roti di piring istrinya.
"Aku bisa ambil sendiri. Kau makan saja." Ujar Naina lembut.
"Tidak. Aku ingin memastikan istri dan anakku gizinya terpenuhi lebih
dulu. Baru aku setelahnya." suara Veer pelan dan penuh kemesraan. Bahkan
matanya terus menatap mata teduh istrinya yang juga memandangnya pada
akhirnya.
"Coba ini, enak sekali." Ujar Veer mengambil kare dan
sayuran lalu membungkusnya dengan roti dan siap menyuapkan ke mulut
istrinya.
"So romantis. Padahal ..." ledek Tania sambil melirik ke arah Arav yang juga tersenyum geli.
"Kalian jangan iri seperti itu. Kami memang romantis. Iya kan sayang?"
Veer mengecup tangan Naina dan membuat istrinya itu mengernyit aneh.
Veer mungkin ingin pamer kemesraan layaknya Tania dan Arav, namun Naina
masih merasa canggung. Sehingga Veer terkesan memaksakan diri untuk
tampak romantis.
Keempatnya kemudian makan bersama. Tanpa obrolan, hanya suara piring dan sendok mereka yang terdengar.
"Apa kau cemburu melihat kemesraan Tania dan Arav?" bisik Naina ketika
selesai makan, sementara Tania dan Arav sedang mencuci piring.
Veer menoleh dan mengerutkan alis. Lalu tersenyum mencolek dagu istrinya.
"Apa kau sedang cemburu juga?" dia memainkan alisnya. Kali ini Naina yang mengerutkan alis.
"Aku hanya menggoda mereka saja. Kenapa kau berfikir aku cemburu?" Veer
merebahkan diri di sofa, lalu melirik pada Naina. "Aku ini kakak
iparnya kan? Tidak salah kan bercanda dan menggoda mereka? Supaya lebih
akrab." Veer akhirnya takut Naina salah faham.
Naina hanya tersenyum dan mengangguk.
'Kau cemburu pun wajar, Veer. Kau dulu menyukainya dan hampir menikah dengannya.' Ujar Naina dalam hatinya.
***
Naina sibuk merapikan pakaian bayi ke box khusus di kamarnya. Tak lama
Veer masuk dengan kaos oblong dan celana selutut. Dia memandang semua
persiapan Naina untuk bayinya. Semua tampak sederhana, bahkan tidak ada
box bayi sama sekali.
"Ehm, apa tidak sebaiknya membeli box
bayi yang muat di kamar ini?" tanya Veer sambil mengambil bantal-bantal
kecil dan merapikannya.
"Aku berencana sharing bed dengan
anakku. Supaya kami lebih dekat lagi, dan itu baik untuk
perkembangannya, baik untuk kelancaran ASI dan kontrol emosi kami
berdua. Dia akan sangat peka terhadap perasaan ibunya, juga mempermudah
pemberian ASI jika malam." jawab Naina panjang lebar.
"Oh, aku
baru tahu. Kupikir box itu harus." Veer garuk-garuk kepala tak gatal.
"Kalau begitu, di kamar bayi kita yang di rumahku, akan kubuat tempat
tidurnya lebih lebar supaya bisa dipakai bersama ibu dan ayahnya."
Katanya dengan tersenyum penuh semangat.
Naina tak menjawab. Dia asik memasukkan baju bayi ke tas, untuk persiapan jika tiba-tiba dia merasa kontraksi.
"Dua minggu lagi perkiraan kelahirannya kan?" Veer merebahkan diri di pangkuan Naina sambil mencium perut besarnya.
Naina hanya mengangguk sambil tangannya hendak mengelus kepala
suaminya, tapi dia urungkan. Sepertinya perasaannya belum sembuh benar.
"Kau sudah siapkan nama?" tanya Veer sambil bangkit dan duduk berhadapan dengan istrinya.
Naina hanya menggeleng lemah sambil mengedarkan pandangan ke mana saja, asal tidak harus memandang suaminya.
Veer tersenyum, lalu tangannya meraih dagu istrinya dan membuatnya menatap dirinya.
"Aku sangat merindukanmu Naina. Karena meski kau ada di depanki, kau
seperti jauh." Bisik Veer lemah. "Sungguh, tapi jika ini hukuman bagiku.
Atas semua kesalahanku. Aku tidak keberatan. Aku akan terus mengajakmu
bicara meski kau mungkin malas dan masih marah padaku. Aku tidak akan
menyerah mengejar cintamu." Bisik Veer sembari mengelus dagu istrinya
yang bak cupcake malam ini.
Badannya semakin besar dan pipinya Chubby. Membuat dagunya semakin bulat dan menggemaskan.
"Semua butuh proses. Setiap proses memerlukan waktu. Dan waktu yang
dibutuhkan tiap orang tidaklah sama." Jawab Naina sambil menundukkan
kepalanya.
"Aku tahu." Veer tersenyum. "Boleh aku memelukmu?" lanjut Veer sambil merentangkan tangannya.
Naina tersenyum dalam sedikit tangis. Lalu dia mengangguk pelan, yang disambut Veer dengan pelukan yang hangat.
Malam ini, Veer bisa bernafas lega. Dia tidak lagi harus tidur di sofa ruang tamu dan mendapat ejekan dari Tania dan Arav.
Malam ini, dia bisa memeluk istrinya yang tengah hamil besar. Dan
berharap akan menjadi suami siaga, menjadi orang yang pertama mendapati
istri tercintanya merasakan kontraksi. Lalu dia membayangkan betapa
panik dan sibuknya dia membawa tas, hingga menggendong istrinya ke mobil
untuk melahirkan. Hingga senyumnya mengembang malam itu.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Naina merasa suaminya seperti tertawa sendiri.
"Aku membayangkan saat kau merasakan kontraksi, aku panik tidak
terkendali. Jadi sedang aku pikirkan apa yang akan aku lakukan
nantinya." Jawab Veer sambil menaruh dagunya di kepala istrinya.
Naina tak berkomentar lagi, dia hanya tersenyum kecut sambil berusaha memejamkan matanya.
***
Naina sudah memasuki cuti bekerja, jadi setiap hari dia habiskan di
rumah. Atau berjalan-jalan di taman, menunggu kontraksi melahirkan.
Tapi hari ini, dia rindu bertemu teman-teman dokternya. Mereka bertemu
di sebuah restoran di jam makan siang. Ada banyak hal yang mereka bahas,
tentu selain tentang pekerjaan mereka, juga tentang kehidupan mereka.
Setelah selesai makan, dan jam menunjukkan pukul satu siang, satu per
satu temannya kembali ke rumah sakit untuk bekerja. Naina memutuskan
untuk pergi ke toko buku, mencari bacaan untuk menemaninya di kala
jenuh.
Dengan menggunakan taksi, dia tiba di toko buku. Lalu
masuk dengan jalan yang sudah membuat orang khawatir melihat perut
besarnya. Dia asik membaca judul-judul buku dan juga rangkumannya.
Selain membeli buku tentang kesehatan, dia pun membeli buku novel roman.
Merasa lelah, dia duduk sembari menunggu antrian kasir yang cukup
panjang hari ini. Tiba-tiba dia merasakan perutnya mengencang di bagian
atas. Dia mencoba menarik nafas lalu membuangnya perlahan. Cukup lama
terasa.
"Ya Tuhan, kenapa cepat sekali kontraksi ini.
Sepertinya ini benar kontraksi." Gumamnya sambil berdiri dan berniat ke
kasir minta di dahulukan.
Tapi... "Aduh..." kontraksi itu
datang lagi dengan cepat. Membuat semua orang menoleh padanya. Wajahnya
mulai aga pucat dan terus melakukan tarik dan buang nafas untuk
mengurangi rasa sakitnya.
"Anda akan melahirkan?" tanya seorang petugas.
"Sepertinya begitu." Naina tiba-tiba merasa panik dan bingung sendiri.
"Panggil ambulance!" teriak pegawai toko buku.
"Tidak akan sempat. Sepertinya nyonya ini sudah mengalami kontraksi
rutin." Ujar seorang ibu sambil membantu Naina duduk kembali di kursi.
Naina sendiri sudah tak konsentrasi, sudah tak ingat dengan phonsel
untuk menghubungi Tania atau bahkan suaminya. Dia hanya merintih
merasakan sakit di perutnya dan dorongan kuat dari bayinya.
"Cari taksi!" ujar ibu-ibu lainnya.
"Biar aku antar dia." Ujar seorang pria berambut aga panjang dan
berkacamata hitam. Pria itu langsung keluar dan kebetulan mobilnya
paling dekat dari pintu toko buku tersebut.
Beberapa orang membantu Naina berjalan, lalu masuk ke dalam mobil dan pria itu membawanya ke rumah sakit.
"Baiklah, aku akan membawa anda ke rumah sakit terdekat dari sini." Ujar pria itu.
"Terii..ma.. kasih." Ujar Naina sambil memegangi perutnya dan tangannya mencengkram tempat duduknya.
Butuh lima belas menit untuk tiba di rumah sakit terdekat, yang
kebetulan tempat Naina bekerja. Ketika tiba di UGD, semua panik dan
segera membawa Naina ke ruang bersalin.
"Hmm... haruskah aku mengurus administrasi?" tanya pria itu pada petugas di rumah sakit.
"Tidak perlu tuan, kami kenal dengan pasien. Dia kebetulan dokter disini dan kami tahu keluarganya." Ujar petugas dengan ramah.
Petugas langsung menghubungi Tania yang datanya ada di CV Naina. Mereka tidak memiliki nomor suaminya.
"Oh syukurlah." Ujar pria itu.
"Tapi, sebaiknya anda tetap disini menunggu keluarga pasien datang." Cegah petugas ketika pria itu akan pergi.
"Aku mengerti." Dia langsung duduk di ruang tunggu sambil mengeluarkan phonsel dan sepertinya memberi kabar pada keluarganya.
Tak lama, Tania datang ditemani Arav. Mereka langsung menuju ruang
bersalin. Setelah Tania datang, Veer datang kemudian setelah dihubungi
oleh Tania. Dan ketika itu anaknya sudah lahir.
"Selamat. Anak laki-laki." Ujar dokter pada Naina yang terlihat pucat meski tersenyum bahagia.
Veer langsung masuk dan menatap istrinya yang tengah terbaring dan sedang dibersihkan suster.
"Naina...." Veer langsung memeluk kepala istrinya dan menciumnya
berulang kali. "Selamat ya, dan terima kasih. Telah menjadikan aku
sangat sempurna dalam hidup ini."
Meski dia sedikit menyesal
karena tidak mengetahui proses melahirkan. Bahkan tiba ketika anaknya
sudah lahir. Namun dia tetal bersyukur.
Setelah itu Veer menemui dokter untuk menanyakan banyak hal karena dia baru saja datang.
Setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Naina baru ingat dengan pria
yang mengantarnya ke rumah sakit. Dia bertanya pada suster yang sejak
dia datang hingga melahirkan terus mendampinginya.
"Sepertinya dia masih menunggu di ruang tunggu." Ujarnya tampak berfikir.
"Ya Tuhan, kenapa tidak dibiarkan pulang saja dan minta nomornya, nanti
aku bisa menghubunginya untuk berterima kasih." Protes Naina merasa
kasian.
"Aku lupa. Tadi Sanjeev yang memintanya tetap disini
untuk bertemu keluarga anda. Mungkin tuan Veer sudah menemuinya." Suster
itu tampak tidak yakin.
"Bisa kau lihat dulu?" pinta Naina.
Suster langsung ke ruang tunggu, dan benar pria itu masih ada disana sambil mendengarkan musik di headsheetnya.
"Maaf, dokter Naina ingin bertemu anda." Ujar suster sambil menepuk
lengan pria yang tampak memejamkan mata sambil mendengarkan lagu.
"Apa? Dokter? Aku bukan keluarga pasien." Katanya mengira salah faham.
"Kami tahu. Maksudku nyonya yang tadi melahirkan ingin bertemu anda.
Namanya dokter Naina, dia dokter spesialis disini." Suster itu meralat.
"Jadi, dia dokter Naina?" pria itu langsung berdiri dan tanpa perintah langsung masuk ruang perawatan.
"Hallo!" katanya sambil tersenyum.
Naina mengangguk dan membalas senyumnya. "Terima kasih sudah
mengantarku sampai kemari. Dan maaf membuatmu lama menunggu. Sepertinya
perawat lupa memberitahu keluargaku tentangmu. Sekali lagi maaf." Ujar
Naina lemah.
"No problem! Syukur aku belum pulang. Beberapa
minggu ini aku datang ke rumah sakit ini mencari anda, tapi anda sedang
cuti. Dan ini seperti jodoh, kita bertemu di toko buku." Katanya dengan
senyuman lebar.
Naina mengernyit sambil tersenyum. "Bukankah
masih banyak dokter lain disini di bidang yang sama denganku?" tanya
Naina sambil tersenyum ramah.
"Ya, tapi aku mendapat referensi
dari beberapa orang kalau Anda dokter spesialis terbaik. Jadi aku
berusaha menemui anda." Katanya tersenyum senang. "Kenalkan, namaku
Ayan." Katanya sambil mengulurkan tangan.
"Oke, tapi kau masih
harus menunggu tiga bulan lagi sampai aku selesai cuti melahirkan." Ujar
Naina sambil tersenyum penuh penyesalan meski tetap membalas uluran
tangan Ayan. "Aku bisa rekomendasikan dokter lain jika itu mendesak."
Tambahnya.
"No, thanks. Aku akan menunggu Anda saja." Katanya dengan senang.
Keduanya saling tersenyum sambil saling menatap. Dan tanpa diduga, Veer masuk dan menyaksikan keduanya tengah saling tersenyum.
"Apa aku mengganggu?" tanya Veer datar. Rona cemburu tergambar jelas disana.
Keduanya menoleh dan kompak menjawab "tidak".
"Veer, ini Ayan. Orang yang mengantarku ke rumah sakit ketika aku di toko buku." Ujar Naina menjelaskan.
"Oh, terima kasih kawan. Terima kasih sudah menolong istriku. Namaku
Veer, Veer Nanda, suaminya." ujar Veer mengulang hal yang sebenarnya tak
perlu.
"Aku tahu kau suaminya, ketika kau menyebutnya istriku." Goda pria itu.
Ayan tertawa begitu juga Naina. Namun tidak dengan Veer.
"Apa itu masalah?" Veer mendadak sensi.
"Tentu tidak. Hanya pemborosan kalimat." Jawabnya dengan senyuman yang lucu.
Lagi-lagi Naina tertawa sambil menepuk keningnya pelan. Dia merasa Ayan sangat lucu dan polos.
"Ok." Veer segera melenggang dan duduk di ranjang istrinya. Mencium
keningnya bahkan mengelus pipi dan kepalanya. Tampak seperti tengah
pamer kepemilikan.
Ayan hanya tersenyum sambil menggaruk dagunya.
"Baiklah, kurasa aku akan mengganggu disini. Jadi aku lebih baik pamit pergi." katanya meraih tas kecil di sofa.
"Oh sure... bye." Veer menatapnya datar.
"Terima kasih, Ayan. Semoga harimu menyenangkan." Ujar Naina lembut menatap pria yang menolongnya.
"Sangat menyenangkan, karena akhirnya aku bertemu denganmu." Katanya
dengan mengerlingkan mata, lalu melambaikan tangan pada Veer yang
memasang mata heran serta tampak berfikir.
Naina memandang
suaminya yang cemburu dengan senyuman. Veer menolah pada istrinya, ingin
menginterogasi tapi takut terjadi lagi salah faham.
Akhirnya dia memillih diam.
****
Veer bahagia bukan main, dia pulang ke rumah orang tuanya dengan
membawa sekardus manisan. Dia bagikan pada semua pekerja di rumahnya.
Lalu dia memeluk ibunya dan menyuapkan manisan ke bibir ibunya.
"Selamat ya, nek." Godanya sambil tersenyum.
Ibunya melotot dan langsung memeluk putranya. "Aku sudah jadi nenek
lagi? Ya Tuhan... syukurlah." Katanya sembari menggigit manisan dan
memeluk kembali Veer. "Selamat, nak." Katanya dengan haru.
"Ibu harus mengucapkan itu pada Naina langsung. Dia pasti sangat senang." Ujar Veer dengan wajah sumringah.
"Laki-laki atau perempuan?" Tanya ibu berbinar.
"Laki-laki. Penerus Nanda telah tiba."
Ibunya hanya mengangguk sambil tersenyum bahagia.
"Apa kau sudah melakukan tes DNA padanya?" Kailash berdiri di tangga,
menatap Veer yang tengah membagikan manisan pada semua orang yang
tinggal di rumahnya.
Tampak bibi Asha, Gauri yang hendak memakan manisan tertegun. Dan kembali harus menyaksikan drama perdebatan soal DNA.
"Hasilnya akan keluar dalam satu minggu. Tapi aku yakin dia anakku."
Jawab Veer dengan menatap tegas. "Aku lakukan itu demi dirimu, semoga
Naina tidak tahu. Jika dia tahu, dia pasti marah sekali padaku." katanya
dengan mendekat pada ayahnya. Lalu menyerahkan manisan.
"Berikan ini padaku jika sudah keluar hasilnya." Katanya tetap dengan angkuh.
Veer memejamkan mata dan menarik nafas berat. Ibunya mendekat dan menyentuh pundak putranya.
"Bersabarlah, seminggu lagi. Semua akan kembali seperti sedia kala." Katanya dengan bijak.
Veer hanya mengangguk lemah. Lalu masuk ke kamarnya, mengambil beberapa pakaian untuk dibawa ke rumah Naina.
Sementara Kailash yang masih enggan melunak di hadapan putranya, menatap kepergian putranya dengan tatapan gelisah.
"Sampai kapan kau akan keras begini? Apa tidak malu nantinya jika
ternyata benar dia cucumu? Sementara Naina terlanjur sakit hati oleh
kita?" tanya istrinya dengan gelisah.
Kailash terdiam, dia pun memikirkan hal yang sama. Tapi sifat keras kepalanya lebih besar daripada kegelisahan di hatinya.
"Dia akan memaafkanku. Dia wanita yang baik, bukan?" tanyanya dengan menyeka sudut matanya.
Bersambung #9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel