Cerita Bersambung
Kailash membaca hasil tes DNA anak Naina. Tangannya memegang erat surat dari dokter tersebut, lalu menyeka keningnya.
"Hasilnya, identik." Katanya dengan menatap seluruh anggota keluarganya.
Ibu Veer tampak tersenyum bahagia, sedang bibinya sedikit salah tingkah karena merasa malu, lalu Gauri dan suaminya tampak lega. Mereka senang, akhirnya semua bisa baik-baik saja. Tidak ada alasan lagi untuk Kailash sang tetua rumah ini untuk terus bersikap keras pada Naina.
Veer mendekat, lalu menyerahkan foto anaknya yang ada di phonselnya.
"Dia tampan bukan? Seperti aku, beruntung tidak sepertimu, ayah. Karena selama hamil Naina pasti kesal padamu." Ujar Veer dengan tersenyum diiringi tawa kecil keluarganya.
Kailash tersenyum dan mengangguk, lalu menatap foto cucunya.
"Kapan dia boleh pulang? Aku tidak sabar untuk menggendong cucuku." Katanya dengan ceria namun sedikit gugup karena bahagia.
Veer terdiam, lalu tersenyum dan menarik nafas panjang.
"Dia tidak akan pulang ke rumah ini. Ayah pasti mengerti. Kalian berdua sama-sama keras kepala." Ujar Veer sambil melangkah meninggalkan semua orang di ruang keluarga.
Ibu Veer menatap suaminya yang tampak kecewa. Dia sadar, suaminya terlalu egois dan keras kepala. Juga terlalu menyakiti hati Naina. Pasti sangat sulit bagi Naina untuk memaafkan segala tuduhan padanya.
"Orang tua pun tak luput dari dosa. Tidak ada salahnya jika kita meminta maaf pada anak-anak kita." Katanya dengan tenang. "Kita akan kesana, membawa banyak hadiah. Kita jangan dulu memaksanya kembali ke rumah ini. Kita tunjukkan dulu betapa kita tulus menyayanginya, bukan karena status anaknya yang ternyata darah daging kita." Paparnya berusaha meyakinkan suaminya.
Kailash mengangguk, dia tahu konsekuensi dari kesombongan dia selama ini. Tapi dia juga lega, karena Naina bukanlah pendendam. Suatu saat pasti menantunya akan memaafkan dirinya, karena dia tahu Naina adalah wanita yang sangat baik.
***
Veer membuat banyak persiapan di apartemen Naina, dibantu Tania dan Arav. Terlalu banyak barang yang dia beli, sementara apartemen tersebut tidaklah terlalu besar. Hingga terus melakukan bongkar pasang barang-barang bayi hingga mainan.
"Ayolah Veer, dia masih bayi dan tidak perlu sesibuk bahkan sebanyak ini barangnya." Protes Tania kelelahan, begitu juga Arav yang memilih merebahkan diri di sofa.
"Kalian akan mengerti jika kalian punya anak. Maka dari itu jangan hanya membuat saja, tapi jadikan juga." Oceh Veer membuat Tania dan Arav saling lirik dan angkat alis.
"Baiklah, kau jemput saja kakak ipar. Biar aku yang mengatur barang-barang ini." Arav berdiri dan meluruskan tangannya hingga jari-jarinya gemeretak.
"Ok, atur dan tata senyaman mungkin." Veer langsung menyambar kunci mobil dan keluar apartemen.
"Mungkin sudah saatnya kita pindah rumah?" tanya Arav pada Tania.
"Kita tidak punya cukup uang untuk menyewa rumah." Tania menatap Arav, sementara Veer yang kembali menatap sepasang suami istri tersebut.
"Kalian tidak harus pergi, tapi bantulah aku membuat Naina mau tinggal bersamaku. Aku sudah membeli apartemen untuk kami tinggali, lengkap dengan semua perlengkapan bayi kami. Tapi dia terus menolak." Veer berpangku tangan, menatap Tania dan Arav.
Arav angkat bahu, lalu menatap Tania yang juga garuk-garuk kepala tak gatal.
"Kalian cari tahu idenya. Ok." Veer mengambil sweaternya yang tertinggal. Lalu kembali keluar untuk menjemput Naina.
Veer langsung lari ke ruang perawatan Naina, tampak istrinya tengah bersiap untuk pulang. Semua tengah diangkut ke luar, dimasukan ke dalam mobil van milik Veer yang sudah lebih dulu tiba disana.
Naina berjalan perlahan, hingga akhirnya tiba di halaman rumah sakit.
"Hey, sudah mau pulang?" Ayan mengejutkan mereka berdua.
"Ya, kau kemari untuk apa?" tanya Veer dengan menggandeng pinggang istrinya.
"Oh, aku hanya check-up. Kebetulan melihat dokter Naina." Katanya dengan tersenyum pada Naina.
Veer melirik ke arah istrinya yang hanya tersenyum lalu melirik juga padanya.
"Oh, aku lupa tanya. Kau memang sakit apa hingga ingin diperiksa olehku?" tanya Naina pada akhirnya penasaran.
"Hmmm, nanti kau akan tahu saat sudah mulai bekerja." Ayan tersenyum dan akhirnya berpamitan pada pasangan ini.
Veer membantu Naina naik ke dalam mobil, lalu segera duduk di belakang stir. Kemudian mobil mereka meluncur meninggalkan rumah sakit.
Sepanjang jalan mereka masih saling diam. Hingga akhirnya Veer tidak tahan untuk bertanya.
"Kurasa dia hanya modus ingin diperiksa olehmu." Katanya dengan tatapan penuh cemburu.
"Hm? Siapa?" tanya Naina sambil menoleh pada Veer.
"Pria tadi. Aku tidak ingat siapa namanya." Veer enggan menyebut nama pria itu.
"Oh, Ayan? Kenapa kau berfikir konyol seperti itu?" Naina menatap jalanan yang mulai padat. "Mana ada orang pura-pura sakit hanya ingin cari perhatian dokter yang sudah menikah dan baru saja melahirkan?"
Veer menggaruk dagunya, lalu tersenyum senang mendengar jawaban istrinya. Yang lebih menyenangkan adalah karena Naina hampir tidak mengingat Ayan sama sekali, jika bukan karena dia yang mengingatkan.
Naina merasa heran dengan jalan yang dilewati, bukan menuju apartemennya.
"Kita akan kemana?" tanya Naina menatap Veer yang tersenyum.
"Kejutan."
"Aku tidak suka kejutan." Protes Naina.
"Kau akan suka. Tenang, bukan ke rumah ayah." Goda Veer, sukses membuat Naina mendelik kesal.
Mereka akhirnya tiba di sebuah tower mewah, gedung apartemen kelas atas. Veer langsung memarkir mobil di depan lobi. Lalu petugas segera membuka pintu mobilnya.
Dia turun dan menyerahkan kunci mobil pada bawahannya yang sejak tadi menunggu disana. Lalu membuka pintu mobil dimana Naina berada.
"Veer.."
"Naina, kasihan Arav dan Tania disana jika kita harus tinggal seatap dengan mereka. Apartemenmu penuh sesak, kasian juga anak kita." Bujuk Veer lemah.
"Yang membuat sempit kan kau." Naina akhirnya turun dari mobil, membuat Veer tersenyum bahagia.
Dengan dibantu pelayan Naina menggunakan kursi roda menuju lift, sementara bayinya digendong oleh suster.
Veer membuka pintu apartemen mereka yang sangat luas. Tampak ruang tamu terdiri dari sofa yang lebar dan lega serta ada kolam dangkal yang dipenuhi gemercik air.
Lalu ruang makan yang tak kalah besar, hingga ruang televisi dan ruang keluarga pun tampak luas. Hampir berkali-kali lipat dari apartemen Naina.
"Taraaaa..." Veer membuka pintu kamarnya, dan tampak tempat tidur mereka sangat luas dengan nuansa putih dan krem ditambah bantal dan selimut bayi disana. "Kita akan berbagi tempat tidur bertiga. sharing bed..." katanya dengan ceria. "Tapi box bayi juga ada. Jika kau butuh. Hmmm.. lalu...." dia membuka pintu di sebelah kanan tempat tidur, dan ternyata ada kamar bayi disana. Sangat luas, dengan tempat tidur yang luas juga.
"Veer..."
"Naina aku mohon. Jangan menolak." Veer menaruh kedua tangan di telinganya. "Aku lakukan ini demi terus bersamamu. Melakukan apapun yang kau inginkan. Sebagai ganti waktu yang terlewati olehku selama kehamilanmu." Veer meraih kedua pipi Naina. "I love you." bisiknya lembut, lalu mengecup kening istrinya.
Naina tak bisa menolak, dia melihat ketulusan yang luar biasa dimata suaminya.
"Veer, maafkan aku." bisiknya.
"Hey, aku yang seharusnya meminta maaf. Lagipula ini bukti tanggung jawabku sebagai seorang suami dan ayah." Katanya dengan senyuman bahagia. "Meski harus sedikit durhaka pada ayahku." Godanya.
Naina tertawa pada akhirnya, lalu memeluk Veer dengan tenang.
***
Hari demi hari mereka lalui dengan penuh suka cita. Meski Naina masih enggan bertemu dengan keluarga Veer. Dan suaminya memahami perasaan juga kondisi istrinya yang butuh ketenangan dan kebahagiaan paska melahirkan.
"Dia butuh ketenangan. Wanita baru melahirkan membutuhkan dukungan dan rasa bahagia agar terhindar stress, atau sindrom-sindrom paska melahirkan. Jadi aku belum bisa membahas rumah ini dengannya." Ujar Veer pada orang tuanya.
"Jika ibu dan ayah ingin datang ke apartemenku, pastikan tidak membahas apapun yang akan membuat dia tertekan." Veer menatap ayahnya yang menandang kosong. "Aku tidak menyalahkan ayah, hanya..."
"Aku tahu, Veer. Kami berdua membutuhkan waktu untuk membaik." Ujar ayahnya dengan tarikan nafas berat. "Tapi bujuklah dia agar kembali kemari. Bukan aku egois enggan menemuinya disana, tapi karena disinilah rumah kita. Aku ingin membuat perayaan atas kelahiran cucuku disini, mengundang orang-orang selayaknya ketika cucu pertamaku dari Gauri lahir. Terlebih putramu adalah cucu laki-laki pertama, penerus keluarga kita." Kailash menatap Veer dengan tatapan serius.
Veer mengangguk dan menoleh pada ibunya yang mengelus pundaknya.
"Aku akan menemuinya di apartemen." Ujar Gauri menatap ayahnya, seolah meminta ijin.
Kailash hanya mengangguk. Sebenarnya ia pun ingin pergi segera melihat dan menimang cucunya. Tapi dia masih merasa sungkan dan malu serta menjaga wibawanya sebagai seorang kepala keluarga yang patut disegani dan dihormati oleh semua anggota keluarga.
Meski dia menyadari kesalahannya, dia masih tetap menjaga tradisi bahwa dia adalah orang yang harus dituruti, sama seperti orang tuanya dulu. Dan kelak, Veer pun akan menjadi seperti dirinya. Meski jelas, Veer bukan tipe pria yang keras terhadap wanita yang dicintainya. Dia terllihat lemah karena takut kehilangan wanita yang telah memberikan kisah lain yang indah baginya.
Kailash hanya mendapatkan cerita dari Gauri bagaimana pertemuan dia dengan Naina. Dia tetap ramah, meski memang terlihat tidak suka ketika berbicara tentang kembali ke rumah mertuanya.
Gauri juga memperlihatkan foto-foto cucu laki-laki pertama keluarga Nanda tersebut pada semua orang.
"Dia tampan. Mirip sekali dengan Veer." ujar mereka ketika menayangkan slideshow foto-foto tersebut di layar televisi besar di ruang keluarga.
Kailash tak bisa menyembunyikan senyum, dia ingin sekali menggendong cucunya tersebut.
***
Waktu terus berjalan, Naina dan Veer hidup bersama mengurus buah cinta mereka berdua di apartemen baru tersebut. Naina setiap hari memasak sarapan untuk Veer, dan menyiapkan makan malam jika Veer menghubungi akan segera pulang.
Sepanjang waktu mereka bercengkrama bersama putra kecil mereka. Bergantian menjaga anaknya jika terbangun di malam hari. Naina pun rutin memerah ASI agar ketika dia sudah mulai bekerja, anaknya masih tetap mendapatkan air susu terbaik di dunia tersebut. Dia rela rutin memerah ASInya setiap dua jam. Ya, karena menyiapkan ASIP haruslah konsisten.
"Kenapa tidak berhenti bekerja saja?" tanya Veer ketika melihat Naina sedang memerah ASI lalu memasukannya ke freezer.
"Veer, aku bekerja bukan semata-mata mencari uang. Tapi pekerjaan seorang medis lebih dari itu. Kami lebih dituntut karena masalah kemanusiaan." Jawab Naina dengan tenang.
"Tapi, masih banyak dokter lain. Dokter laki-laki yang mana merekalah yang bertugas mencari nafkah, sementara wanita menjaga anak mereka di rumah." Veer masih tampak tidak rela putranya diasuh oleh baby sitter nantinya.
"Aku tahu, Veer. Tapi tidak semua orang percaya pada dokter laki-laki, terutama wanita pasti ingin bertemu dengan dokter wanita juga." Naina tersenyum lagi. "Jangan khawatir, dia akan tetap tumbuh dengan baik. Dan pekerjaanku di rumah sakit hanya sekitar empat sampai enam jam saja. Sisanya akan banyak waktu bersamanya."
"Tapi banyak juga pasien laki-laki yang memang sengaja mencari dokter wanita. Apalagi dokter cantik sepertimu." Bisik Veer dengan menggoda, suaranya dibuat-buat agar terdengar seksi hingga mengehmbuskan nafas di telinga istrinya yang kegelian.
"Itu mungkin kau." Naina menoleh dan menatap mata suaminya yang mulai berbinar namun sedikit berkabut.
"Bukan. Tapi pria yang waktu itu memaksa ingin diperiksa olehmu, hingga rela menunggu sampai kau selesai cuti." Tangan Veer mulai berjalan membetulkan rambut Naina yang berada di pipi.
Lalu jarinya turun menyusuri leher hingga ke bawah dan semakin ke bawah.
Naina segera menepis tangan suaminya yang mulai nakal. "Kau boleh lihat, tapi tidak boleh menyentuhnya." Naina tertawa sambil berdiri dan lari keluar dari kamar anaknya.
Veer mengacak rambut sambil tersenyum bahagia, lalu menoleh pada bayinya yang terlelap.
"Jangan bangun saat ini. Tidurlah yang nyenyak. Ok." Katanya bicara sendiri pada anaknya.
Dia segera bangkit dan menyusul Naina yang sudah lari ke kamar mereka. Tampak Naina tengah memilih pakaian di lemari. Tangannya keatas karena sedang mengambil baju disana. Veer seperti punya ide jahil, dia berjalan mengendap-endap. Namun ketika sudah dekat, Naina menoleh dan menatap Veer yang mengangkat tangannya.
"Aaaa... apa perlu kubantu ambil pakaian yang diatas sana?" dia tersenyum cengengesan.
"Tidak perlu. Sudah kudapatkan." Katanya dengan senyuman mencibir.
"Naina...." panggil Veer manja, ketika istrinya hendak ke kamar mandi.
Naina menoleh dan mengangkat dagu sebagai isyarat pertanyaan.
"Tidak. Cepat mandinya ya." Ujar Veer pelan.
Naina segera masuk ke kamar mandi, sedang Veer membuang nafas kasar sembari mengacak-acak rambut.
"Ditolak tidak ya?" gumamnya sembari masih mengacak rambutnya.
***
Naina asik memandikan anaknya, sedang Veer duduk di depan pemandian. Menatap dua manusia yang sangat dia cintai. Kadang dia berfikir, bagaimana bisa... tiba-tiba takut kehilangan Naina, wanita yang baru saja masuk ke dalam hidupnya dan langsung berstatus istri, bahkan sempat membencinya.
"Psstt...psstt..." Veer memberikan kode sambil menatap dengan penuh cinta.
Naina menoleh dan kembali hanya mengangkat alisnya.
"Kapan, hmmm... kapan kita akan membawa putra kita pada... ayah dan ibu? Kakek neneknya." Katanya dengan sedikit menahan kata, mungkin dia takut Naina tidak suka.
Naina terdiam sejnak. Lalu mengangkat putranya, yang biasa dia panggil dengan nama Nandu. Meski nama lengkapnya adalah Nawaz Veer Nanda. Lalu berjalan ke kamar Nandu diikuti oleh suaminya.
"Aku tidak tahu, Veer." jawabnya dengan nafas berat.
"Aku mengerti. Ayah sudah mencoba ingin datang, tapi... dia sudah tidak berani naik lift karena sempat terkena serangan jantung. Dan setiap kali naik lift, dia sedikit berdebar jantungnya. Karena itu, dia berharap kau bersedia datang ke rumahnya lagi." ujar Veer dengan hati-hati.
Naina diam saja, tampak dia berfikir sejenak karena berhenti memakaikan pakaian pada anaknya.
"Mungkin tidak sekarang-sekarang ini." katanya dengan tenang.
"Kapan? Usia pak tua itu sudah tidak muda lagi."
"Veer, bicara usia tidak tua atau muda jika Tuhan berkendak maka terjadilah." Protes Naina.
"Oke, oke... Setidaknya, hargailah ibu. Ibu sangat menyayangimu, tapi dia menghormati ayah hingga tidak bersedia datang sendiri kemari." Bujuk Veer lagi.
Naina hanya mengernyitkan alis.
"Ayolah sayang." Veer akhirnya merangkul pinggang Naina dan mengecup pipinya, hal yang sudah sangat lama dia ingin lakukan tapi selalu takut untuk memulai.
"Beri aku waktu lagi." jawab Naina dengan menoleh ke belakang dan menatap suaminya.
Veer menatapnya dengan bara dari hasrat yang sudah lama terpendam.
"Aku rela jadi anak durhaka, asal bisa jadi suami dan ayah yang baik untuk kalian." bisiknya lembut, mengelus pipi dan akhirnya mengelus bibir istrinya.
Naina tersenyum, dia menyadari itu. Veer sudah sangat berubah dan membuktikan dia rela keluar dari rumah orang tuanya demi dirinya.
"Lalu?" Naina menaruh tangan di dada suaminya.
"Kita bicarakan masalah ayah nanti." Katanya dengan setengah berbisik, karena dia sudah terlanjur menginginkan hal lain.
Dia mengangkat tubuh istrinya untuk membawanya ke tempat tidur. Tapi tangisan Nandu membuat keduanya saling pandang, dan akhirnya Naina minta turun untuk kembali pada anaknya.
Veer membuang nafas kasar lalu meringkuk di belakang Naina. "Ayolah, nak. Ayah juga ingin bersama ibumu." Gerutunya, yang berakhir mendapat cubitan di paha dari Naina.
***
Naina sudah mulai bekerja, dan Veer jika sempat akan menjaga anaknya hingga Naina pulang. Meski di rumah mereka ada baby sitter tapi dia tetap ingin merawat anaknya sendiri. Setidaknya, pengasuh bisa membantunya mengambilkan barang-barang saja, sedang urusan mengganti popok atau memberikan ASIP (Air Susu Ibu Perah) dia ingin melakukannya sendiri.
Dia sudah banyak belajar selama Naina cuti, jadi tidak lagi kesulitan ketika anaknya haus atau bahkan rewel. Dan masalah pekerjaan, dia lebih sering berangkat siang jika memang penting. Atau memantau pekerjaan dari rumah, lalu berangkat ketika Naina pulang kerja. Kemudian pulang di malam hari.
Naina sendiri sudah mulai mendapat pasien darurat yang harus melakukan operasi. Sebagai dokter spesialis dia memang dituntut harus siap sedia kapan saja.
"Satu orang pasien lagi, dok." Ujar suster yang menemaninya praktek hari ini.
"Ya, suruh masuk." Katanya dengan membuka kumpulan riwayat pasien berikutnya. "Ayan Saksena?" dia seperti mengingat nama seseorang.
"Hai." Ujar Ayan yang sudah duduk di hadapannya.
"Oh, hai. Jadi kau?" tanya Naina dengan senyuman.
Ayan tampak sumringah dan mengangguk. Sementara Naina sibuk membaca riwayat penyakit pasiennya yang dibawa dari rumah sakit lamanya, atau surat rujukan dari rumah sakit tersebut.
"Baiklah, berbaring dulu disana." Katanya. "Suster tolong tensi dulu darahnya." Katanya dengan berdiri dan berjalan ke dekat ranjang pemeriksaan.
Ayan berbaring disana, sementara suster memeriksa tekanan darahnya.
"Nomral. 100/80." Katanya dengan bergeser, dan membiarkan Naina memeriksa selanjutnya.
"Jadi, apa keluhanmu?" tanya Naina sambil memasang stetoskop di telinganya.
"Masalah hati." jawab Ayan sambil menatap mata Naina yang tengah memeriksa detak jantungnya dengan menempelkan stetoskop di dadanya.
Naina menatap Ayan, dan mereka saling diam berpandangan.
"Maksudku, liver. Masalah dengan liverku." Jawab Ayan tertawa kecil.
Naina hanya tersenyum, lalu menekan perut sebelah kiri Ayan perlahan.
"Uhhh...."
"Sakit?" tanya Naina.
"Sedikit." Bisik Ayan tampak gelisah.
Naina lalu membaca rekam foto dari hasil rontgen milik Ayan. Dia memang bermasalah dengan liver atau hatinya. Jadi harus rutin meminum obat dan juga menjaga pola makan, serta menghindari makanan tertentu.
Pembicaraan mereka hanya seputar pengobatan dan penyakit yang diderita. Dan setelah Ayan faham, dia pun berpamitan keluar.
"Ayan." Naina berdiri dan menatap pria itu. "Terima kasih untuk hari itu ya." Katanya dengan senyman manis.
"Aku jadi memiliki semangat hidup lagi." jawab Ayan sambil mengedipkan mata.
Naina tersenyum, lalu merapikan semua berkas bersama suster yang menemaninya. Untuk kemudian mengecek pasien rawat inap yang dibawah pengawasannya. Setelah itu dia pulang.
***
Nandu sudah tidur ketika Veer kembali dari kantor. Sedang Naina tengah membaca buku di tempat tidur.
"Jika disuruh memilih, aku ingin menjadi buku yang setiap santai akan kau pegang, kau tatap dan ..."
"Kutaruh di laci." Naina membuka kacamata.
Veer tersenyum, kemudian menarik buku di tangan Naina. Melemparnya sembarang, kemudian mendorong tubuh Naina ke bantal dengan senyuman nakal.
"Veer, kau masih ingat pria yang menolongku?" tanya Naina ketika suaminya asik mencium aroma tubuhnya.
"Hmm.. tidak." Jawabannya sekenanya, karena terlalu semangat membuka paksa piyama istrinya.
"Dia tadi datang, dan benar-benar sakit." Naina membetulkan posisi tubuhnya untuk memudahkan suaminya melepas piyama yang dikenakan.
"Bisa skip dulu bahasan tentang itu?" bisik Veer sambil mengatur nafas.
Dan untuk pertama kalinya, mereka kembali menyatu dalam deburan cinta yang sempat tertahan oleh ego orang-orang disekitarnya. Kini, Naina berusaha menerima apapun yang terjadi. Berdamai dengan takdir, bahwa mungkin memang Veer adalah jodohnya.
Dia sempat ragu akan hal itu, mengingat banyak sekali konflik diantara mereka. Campur tangan ayah Veer membuat Naina sempat ingin mengakhiri pernikahan setelah melahirkan. Tapi ketulusan cinta Veer menahannya. Pun sama, dia mulai menyadari bahwa dia mencintai pria yang jadi suaminya secara tiba-tiba.
Mata Naina masih menatap kosong, sedangkan tangan Veer melingkar di pinggangnya. Naina masih berfikir tentang bagaimana memulai kembali hubungannya dengan ayah mertuanya. Karena tidak mungkin dia menerima Veer, tapi menolak berdamai dengan orang yang pernah menghinanya bahkan tidak hanya satu kali. Yaitu ayah mertuanya.
Karena luka yang ditorehkan di hati, lebih sulit sembuh daripada luka yang nampak di permukaan.
***
Naina kembali bekerja, dan pasien paling rutin datang padanya adalah Ayan. Pria itu tidak hanya sakit liver, tapi juga jantung yang melemah. Karena itu, hari ini terpaksa dia menjalani rawat inap karena tiba-tiba kesakitan saat sedang asik dengan komputernya.
Naina terus mengingatkannya untuk rutin minum obat yang diresepkan, dan juga menjaga pola makan serta istirahat yang cukup. Banyak minum air putih, harus lebih dari 2 liter perhari. Untuk membantu kerja ginjal.
Tapi Ayan lebih sering bermain game di depan komputer, dia adalah seorang ahli IT yang berhasil menciptakan beberapa game laris di playstore atau appstore. Karena itu, kadang dia lupa makan dan minum hanya untuk menemukan game baru, atau sekedar menambahkan fitur baru pada game yang sudah ada, agar orang-orang tetap mengupdate aplikasi mereka.
"Aku sudah bilang, dok. Agar dia makan sesuai jam yang kami jadwalkan, tapi dia selalu lupa. Dan hobi sekali meminum softdrink." Keluh ayahnya sambil berpangku tangan.
Ayan hanya tersenyum lalu mendelik pada ayahnya.
"Dengar, Ayan. Kau harus sehat agar bisa menciptakan game atau bahkan robotic canggih untuk negara ini." ujar Naina sambil menyuntikkan obat ke selang infus.
"Oke, aku akan sembuh dok. Tenang saja." Jawabnya santai.
"Usia anda masih muda, memang tidak ingin menikah dulu?" goda dokter spesialis jantung yang menemani.
Membuat semua tertawa riuh, jauh dari kesan menegangkannya suasana rumah sakit.
"Ingin, tapi mana ada yang mau menikah denganku." Katanya dengan menatap mata Naina yang sedang tersenyum.
Dan siapa sangka Naina menoleh padanya, dan mata mereka bertemu.
"Pasti ada." Ujar Naina dengan tersenyum. Berusaha menyemangati Ayan.
"Ingin seorang dokter, agar bisa merawatku, menjagaku setiap saat dan menyembuhkanku." Bisik Ayan manja.
Semua tertawa mendengar rengekan manja Ayan.
"Dokter Naina sudah menikah, suster saja ya." Goda dokter Sp. Jantung, lagi.
Semua kembali tertawa mendengarnya. Tak terkecuali Naina. Ayan merasakan getaran tak biasa ketika menatap Naina yang tengah tertawa lepas. Dia memegangi dadanya. Detak jantungnya yang selalu lemah tiba-tiba berdetak cepat dan hatinya berdesir. Menambah campuran rasa antara sakit dan bahagia.
Gerak bibir, rahang, dagu yang bulat namun sedikit belah, serta tarikan pipi ketika wanita itu tersenyum membuatnya merasakan semangat hidup yang baru.
Sebaris senyum terukir di bibir Ayan, menyamakan diri dengan ekspresi dokter Naina yang masih tersenyum meski tengah menunduk dan menuliskan sesuatu di kertas resep.
==========
Naina kembali bekerja, dan pasien paling rutin datang padanya adalah Ayan. Pria itu tidak hanya sakit liver, tapi juga jantung yang melemah. Karena itu, hari ini terpaksa dia menjalani rawat inap karena tiba-tiba kesakitan saat sedang asik dengan komputernya.
Naina terus mengingatkannya untuk rutin minum obat yang diresepkan, dan juga menjaga pola makan serta istirahat yang cukup. Banyak minum air putih, harus lebih dari 2 liter perhari. Untuk membantu kerja ginjal.
Tapi Ayan lebih sering bermain game di depan komputer, dia adalah seorang ahli IT yang berhasil menciptakan beberapa game laris di playstore atau appstore. Karena itu, kadang dia lupa makan dan minum hanya untuk menemukan game baru, atau sekedar menambahkan fitur baru pada game yang sudah ada, agar orang-orang tetap mengupdate aplikasi mereka.
"Aku sudah bilang, dok. Agar dia makan sesuai jam yang kami jadwalkan, tapi dia selalu lupa. Dan hobi sekali meminum softdrink." Keluh ayahnya sambil berpangku tangan.
Ayan hanya tersenyum lalu mendelik pada ayahnya.
"Dengar, Ayan. Kau harus sehat agar bisa menciptakan game atau bahkan robotic canggih untuk negara ini." ujar Naina sambil menyuntikkan obat ke selang infus.
"Oke, aku akan sembuh dok. Tenang saja." Jawabnya santai.
"Usia anda masih muda, memang tidak ingin menikah dulu?" goda dokter spesialis jantung yang menemani.
Membuat semua tertawa riuh, jauh dari kesan menegangkannya suasana rumah sakit.
"Ingin, tapi mana ada yang mau menikah denganku." Katanya dengan menatap mata Naina yang sedang tersenyum.
Dan siapa sangka Naina menoleh padanya, dan mata mereka bertemu.
"Pasti ada." Ujar Naina dengan tersenyum. Berusaha menyemangati Ayan.
"Ingin seorang dokter, agar bisa merawatku, menjagaku setiap saat dan menyembuhkanku." Bisik Ayan manja.
Semua tertawa mendengar rengekan manja Ayan.
"Dokter Naina sudah menikah, suster saja ya." Goda dokter Sp. Jantung, lagi.
Semua kembali tertawa mendengarnya. Tak terkecuali Naina. Ayan merasakan getaran tak biasa ketika menatap Naina yang tengah tertawa lepas. Dia memegangi dadanya. Detak jantungnya yang selalu lemah tiba-tiba berdetak cepat dan hatinya berdesir. Menambah campuran rasa antara sakit dan bahagia.
Gerak bibir, rahang, dagu yang bulat namun sedikit belah, serta tarikan pipi ketika wanita itu tersenyum membuatnya merasakan semangat hidup yang baru.
Sebaris senyum terukir di bibir Ayan, menyamakan diri dengan ekspresi dokter Naina yang masih tersenyum, lalu menunduk dan menuliskan sesuatu di kertas resep.
"Untuk sementara kau dirawat dulu ya, untuk memantau apa yang menyebabkan kau pingsan." Ujar Naina dengan senyuman yang hangat namun datar.
Ayan tersenyum lalu menarik nafas panjang, menatap langit-langit kamar rumah sakit. Sementara Naina diskusi dengan dokter jantung dan suster.
Phonsel Naina berdering, ternyata dia lupa masih membawanya. Padahal biasanya dia taruh di ruangannya jika sedang menemui pasien.
"Maaf. Aku lupa menaruhnya." Ujar Naina dengan wajah tidak enak, namun bagi Ayan itu adalah wajah paling innoccent yang pernah dia lihat dari seorang wanita dewasa. Membuatnya tersenyum menikmati wajah dokter yang kini mencoba mengecek phonselnya.
"Ya, Veer?" Naina mencoba menerimanya.
"Kau belum pulang?" tanya Veer dari seberang.
"Ah, sebentar lagi. Ada pasien darurat masuk dan harus dirawat. Nanti aku telepon yah, aku masih di ruang pasien dan lupa malah membawa phonsel." Ujar Naina sambil menunggu mendapat jawaban oke dari Veer, kemudian menutupnya.
Lalu dia kembali bicara dengan suster dan meminta Ayan agar diawasi selagi dia mengecek pasien lain. Setelah itu dia keluar bersama dokter jantung tanpa menyapa Ayan.
"Jahat." Gumam Ayan manja.
***
Veer akhirnya memutuskan tidak berangkat bekerja, karena Nandu sedikit rewel. Dia tak rela meninggalkan putranya meski suster yang menjaganya sudah sangat ahli dan lulusan terbaik perawat bayi. Tapi dia lebih senang menimang Nandu yang menangis tidak biasanya.
Veer menggendong Nandu di dadanya sambil berjalan perlahan ke jendela dan mengelus-elus punggungnya. Sementara seorang wanita cantik memperhatikannya dari pintu masuk. Senyumnya merekah melihat pemandangan itu. Dia tak menyangka jika pria yang sempat dia benci itu, sangat penyayang pada anak.
Naina berjalan perlahan, menaruh tasnya di sofa. Lalu mendekat pada suami dan anaknya, memeluk Veer dari belakang, dan menjatuhkan kepalanya di punggung suaminya.
"Sudah pulang?" bisik Veer karena takut Nandu terbangun lagi.
"Ya, maaf terlambat." Bisik Naina sambil mengecup tengkuk suaminya yang memejamkan mata. Sedang tangannya memeluk penuh punggung suaminya.
"Kalau sudah pulas, biar kutaruh. Kau pasti pegal." Naina mengangkat pipinya yang menempel di punggung Veer.
"Tidak. Aku ingin tetap seperti tadi, rasanya indah sekali saat menyadari kau datang padaku, dan memelukku." Bisik Veer lemah.
Naina tersenyum, lalu mengambil Nandu dari pelukan Veer dan berjalan menuju kamar. Menaruhnya di tempat tidur, anak manis itu bergerak sedikit tapi kemudian terlelap lagi.
Veer memandang Naina yang mengelus Nandu agar tak terbangun lagi. Pandangannya belum terlepas dari Naina meski dia telah bangkit dan mendekat padanya.
"Kau pasti lelah. Anak kecil jika tidak enak badan pasti ingin digendong terus." Bisik Naina sambil mendekat dan memijat kedua lengan suaminya, sementara Veer hanya tersenyum menatap wajah istrinya yang tengah asik memijat.
Kini tangan Naina berhenti bergerak, wajahnya terangkat dan menatap mata Veer yang masih tak berkedip menatapnya. Seperti orang yang terpesona dan merasakan jatuh cinta untuk pertama kalianya.
Naina mengangkat dagunya, mengisyaratkan tanya. Tapi Veer hanya menggeleng perlahan, lalu menoleh pada Nandu dan mereka berjalan ke sofa mengawasi putra mereka.
"Banyak pasien?" tanya Veer sambil menyandar di sofa, sedang dadanya dia jadikan sandaran untuk istrinya.
"Ya." Jawab Naina singkat. Lalu dia menoleh pada suaminya dan menatapnya lagi.
"Ada apa? Hari ini kau tampak aneh. Tapi aku senang, karena kau terus menatapku, dan aku melihat cinta dimatamu. Beda dengan kemarin-kemarin." bisik Veer membetulkan rambut Naina dan menyelipkannya ke telinganya.
"Kau benar, aku sedang jatuh cinta." Bisik Naina sambil tertunduk malu.
"Dengan?" bisik Veer.
"Seseorang yang dulu sangat kubenci." Jawab Naina sambil memainkan jarinya di dada suaminya. "Dulu aku benci sekali padanya, hanya aku tidak pernah bisa menunjukkan rasa benciku. Aku tidak ahli membenci." Jari Naina kini meremas kaos suaminya, yang memamerkan senyuman dengan dimple yang terukir di pipinya.
"Kau percaya hukum tarik menarik?" tanya Naina menatap mata Veer.
Veer hanya mengangkat sebelah alisnya. Lalu seperti berfikir dan menggeleng.
"Bahwa benar, jangan terlalu membenci sesuatu, karena dia akan semakin mendekat padamu. Karena ditarik oleh pikiranmu." Jawab Naina. "Begitupun yang terjadi padaku, kau yang kubenci, yang menyakitiku di awal pertemuan kita, selalu ada dalam pikiranku. Dan semakin ditarik hingga memenuhi setiap ruang kosong di hatiku." Naina menatap kosong.
Veer tersenyum dan merapatkan tangannya di punggung Naina, lalu menyatukan kening mereka.
"Sejak kapan itu terjadi padamu? Karena aku sudah merasakannya sejak lama, tapi aku tidak memiliki kemampuan untuk memperjuangkannya, baru saat ini." bisik Veer dengan lembut.
Naina terdiam, lalu menatap mata suaminya. "Aku tidak tahu. Karena sampai beberapa jam lalu, masih ada rasa benci padamu, tapi juga rasa rindu yang memenuhi nafasku."
Veer mengecup hidung istrinya, lalu ke pipi, menyusurinya dengan perlahan.
"Aku tidak menyangka, kau yang sangat kasar di malam pertama kita, adalah seorang ayah yang luar biasa untuk anakku." Bisik Naina lagi.
Veer semakin tersenyum, menghirup aroma rambut istrinya yang menenangkan. Membiarkan istrinya menumpahkan segala isi hati, karena selama ini dia tak pernah mengeluh atau terbuka pada siapapun. Dan kini, luar biasa ketika dia mulai membuka diri dan menyatakan cinta padanya.
"Aku sangat bahagia, Naina. Ada banyak wanita yang menyatakan cinta padaku, tapi tidak ada yang setulus dan semanis kata-katamu." Ujar Veer sambil mengecup kening istrinya.
Naina tersipu, lalu menahan kedua rahang Veer dengan kedua tangannya.
"Berjanjilah, hanya kematian yang bisa memisahkan kita." Ujar Naina dengan berkaca-kaca. "Semarah apapun, ujian sebesar apapun, kita akan membicarakannya dan tak boleh memadamkan cinta kita."
Veer mengangguk cepat. "Tentu, aku tidak akan pernah rela kau pergi lagi dari kehidupanku."
Naina tersenyum senang, lalu memeluk erat suaminya. Malam ini mereka lalui di kamar putra mereka, hanya saling memeluk dan sesekali bergantian menjaga Nandu yang gelisah dan terus terbangun.
"Kau tidurlah, seharian menjaganya." Ujar Naina menimang Nandu yang sempat terbangun, namun kini kembali terlelap.
Veer memeluk Naina dari belakang, setelah Naina mulai menaruh Nandu meski tangannya masih menjadi bantalan agar putranya tersebut tetap nyaman dan merasakan kehadirannya.
Senyum tipis mengembang di bibir Naina merasakan kenyamanan diantara dua orang pria yang sangat dia cintai. Dan cintanya tentu berbeda seperti ketika jatuh cinta pada Rohan. Yang mana kini dia telah melupakan Rohan sepenuhnya dari pikiran dan hatinya.
Karena baginya, menikah dengan siapapun dia akan berusaha jatuh cinta. Dan meski tidak jatuh cinta pun dia akan tetap setia, karena pernikahan bukanlah sekedar menyatukan cinta. Tapi sebuah sumpah dan janji yang disampaikan pada Tuhan. Karena itu, meski selama ini dia sadar Veer tidak mencintainya, dia tetap tak pernah berani menentangnya. Yang akhirnya menjadikan pria itu bertekuk lutut dengan ketulusannya.
***
Veer terbangun kala matahari masih belum menampakkan diri. Dia menatap istri dan anak yang semalam sulit tidur. Dia segera keluar kamar, meminta pelayan menyiapkan air hangat untuk istrinya. Lalu menampung air hangat di bath tub untuk Naina mandi.
Nandu terbangun lebih dulu, dan Veer segera menggendongnya, bercanda di karpet sambil menunggu ibunya terbangun.
Naina mendengar tawa kecil Nandu dan juga ayah anaknya, dia segera terbangun dan menatap keduanya yang tengah bercanda.
"Ey, mamma sudah bangun." Veer melambaikan tangan Nandu ke arah Naina yang tersnyum.
"Air putih hangat sudah kusiapkan." Ujar Veer menunjuk ke meja.
Naina segera berjalan, lalu duduk dan meneguknya hingga habis.
"Hari ini, kau masuk kerja atau libur?" tanya Naina membasuh wajahnya di washtafel tempat Nandu mandi.
"Kau ingin aku libur? Kau libur kan?" tanya Veer sambil menggendong Nandu dan mendekat pada Naina yang tengah menyandar di lemari.
Dia terus asik menggoda putranya yang menggemaskan.
"Kupikir kita akan jalan-jalan. Aku akan libur saja." Ujar Veer mengambil phonselnya dan menghubungi asistennya, untuk mengabarkan tidak masuk lagi hari ini.
Setelah saling bercanda satu sama lain, Veer akhirnya mandi lebih dulu. Mereka berniat jalan-jalan mengajak Nandu main ke taman dan juga ke arena bermain anak-anak. Meski tentu anaknya belum faham apapun. Hanya saja itu akan menjadi quality time bagi keluarga kecil mereka.
Sepanjang jalan bahkan hingga tiba di taman bermain, keduanya tak berhenti menebar senyuman. Tak jarang berfoto bersama, atau hanya bergantian bersama si kecil. Berdebat hal-hal sepele hingga saling cubit, atau Veer berusaha menutupi Naina ketika Nandu meminta ASI.
"Tutup yang benar." Omel Naina ketika dia berusaha mengeluarkan ASInya. Setelah Nandu menghisap dengan benar, barulah dia bebas tak harus di tutupi lagi, karena aman dengan pakaian menyusui.
"Sampai kapan itu menjadi milik Nandu?" goda Veer dengan wajah memelas.
Naina langsung menampar pelan pipi suaminya sambil tersenyum geli.
"Masalahnya aku hanya dapat beberapa saat saja ketika itu. Keburu marahan." Ujar Veer.
Lagi Naina terkekeh dan mengusap pipi suaminya dengan tekanan agar dia menoleh ke tempat lain.
"Jangan bicara aneh-aneh, malu jika di dengar orang." Protes Naina.
Veer terkekeh, lalu duduk di belakang Naina dan memeluknya dari belakang, seolah enggan lepas dari istri dan anaknya.
"Aku ingin anak yang banyak." Bisiknya.
"Satu saja kau protes membahas jatahmu." Cibir Naina, diiringi tawa menggemaskannya.
"Tapi kan ...."
"Shut up! Aku tidak suka membahas hal seperti itu di tempat umum." Naina membenturkan kepalanya ke kening Veer yang tengah berada di belakangnya.
Keduanya tertawa, lalu Veer mengambil phonsel dan mengambil foto mereka berdua. Sementara Nandu tak terlihat karena asik dengan dunianya sendiri bahkan sudah mulai terlelap.
Namun kemudian ada panggilan masuk dari Gauri.
"Yap, ada apa kak?" tanya Veer. Wajah Veer berubah seketika. "Ayah sakit?" dia menoleh pada Naina. "Oke, aku akan datang." Katanya dengan tampak cemas.
Dia memandang Naina yang mengelus kepala anaknya, karena telah tertidur pulas.
"Maaf, aku harus..."
"Tidak apa, Veer. Tentu saja kau harus kesana. Aku tidak akan pernah mencegahmu." Ujar Naina pelan.
"Kau ... ikut?" Veer tampak ragu-ragu.
Naina terdiam, mencari jawaban yang tepat untuk menolak pastinya.
"Tak apa, aku akan antar kalian dulu. Baru kesana." Ujar Veer langsung berdiri dan merapikan bawaan mereka. Memasukkannya ke tas dan keranjang, lalu mengangkutnya ke dalam mobil.
Setelah tiba di apartemen, Veer langsung menuju rumah orang tuanya. Sementara Naina hanya dibantu security membawa bawaannya ke atas.
Naina sendiri terdiam, hati kecilnya ingin sekali menemui ayah mertuanya. Tapi rasa sakit hatinya masih besar. Terlalu banyak kata-kata mertuanya yang menyakitkan. Tapi dia juga tidak ingin menjadi menantu durhaka, karena dengan mengabaikannya sama saja dia melakukan balas dendam.
Dia mengambil phonselnya, dan menekan nomor Veer.
"Ya, kenapa sayang?" tanya Veer ketika menerima telepon Naina.
Kailash menatap putranya yang tampak kikuk menerima telepon istrinya sendiri.
Naina menarik nafas dalam, "Bagaimana kondisi ... ayahmu?" tanya Naina menahan nafas.
Veer tersenyum, "sudah lebih baik. Hanya tekanan darah tinggi." Veer menatap ayahnya yang juga memandang ke arahnya.
"Oh, syukurlah." Jawab Naina masih tampak bingung. "Salaam saja untuk semua, maaf belum bisa datang." Katanya mengakhiri panggilan.
Veer tersenyum dan mengangguk.
"Naina mencemaskanmu." Ujar Veer. "Mungkin juga basa basi." Veer mengangkat alis. "Tapi aku yakin dia tulus. Dia hanya butuh waktu untuk melupakan semua kepahitan yang dia alami disini." Lanjutnya.
Kailash menarik nafas berat. Dia sadar, semua itu memang tak mudah bagi siapapun setelah mengalami sikap buruk darinya.
"Kuharap ayah bersabar, aku yakin, dia kembali pada kita." Ujar Veer lagi.
Ibunya mengangguk dan tersenyum menghampiri suaminya.
"Kau harus lebih lembut padanya. Kau dan Naina sama, keras kepala. Persamaan kalian harusnya menjadikan kau faham bagaimana menghadapinya."
Veer tersenyum senang mendengar jawaban ibunya. Dia terharu, karena akhirnya semua kembali membaik. Bahkan dia masuk ke kamarnya, menatap semua hantaran barang-barang keluarga Nanda yang diberikan pada Naina, dan tetap dia simpan di kamar itu. Karena hanya Naina yang akan jadi menantu di rumah ini selamanya.
PR dia saat ini adalah membujuk Naina agar mau kembali ke rumahnya, atau minimal membawa Nandu untuk bertemu orang tuanya. Terlebih keluarganya berencana mengadakan pesta sederhana dengan mengundang seluruh kolega dekat mereka untuk merayakan kelahiran Nandu.
Selama ini, dengan berbagai alasan kesehatan Kailash, mereka belum mengadakan acara tersebut. Dan semua orang tidak ada yang tahu jika terjadi perdebatan hebat di rumah tersebut.
Veer membuka pintu apartemen, dan tampak Naina sedang merapikan meja makan untuk makan malam. Sedang Nandu sudah tidur.
"Kau sudah makan?" tanya Naina pada Veer yang melepas kemejanya dan melemparkannya begitu saja ke sofa.
"Belum. Aku tahu kau pasti masak untukku." Katanya dengan berjalan ke belakang istrinya dan memeluk pinggangnya.
"Mandi dulu sana!" Naina melengos ketika Veer hendak mengecup pipinya.
"Aku tidak sebau itu meski belum mandi." Protes Veer.
"Supaya makannya lebih lahap karena tidak kegerahan." Naina berbalik dengan wajah memerintah.
Veer angkat bahu, lalu berjalan ke kamar untuk mandi dan ganti pakaian. Sementara Naina menuangkan air minum ke gelas mereka.
Tak ada obrolan selama mereka makan, Veer masih ragu untuk mengatakan bahwa orang tuanya telah membuat acara untuk anak mereka. Hingga usai makan, Veer masih gelisah dan mencari kalimat pembuka yang baik.
"Kau ini kenapa? Sejak tadi gelisah?" Naina akhirnya buka suara.
Veer tersenyum dan setengah melompat ke sofa yang diduduki istrinya. Lalu meraih kedua tangan Naina dan menatapnya dalam.
"Berjanjilah, tidak akan marah." Katanya dengan suara yang manja. "Ayah sudah mengundang banyak orang, minggu depan akan memperkenalkan Nandu pada semua kolega kami. Aku harap kau tidak keberatan. Dan tentu, kami pun berharap kau datang." Veer menatap wajah Naina yang datar.
Naina menarik nafas panjang, lalu melepaskan tangan Veer dan meraih remote televisi.
"Kenapa tidak dibicarakan dulu denganku? Seperti ini malah membuatku tersinggung." Katanya dengan mata fokus ke layar televisi.
"Karena kami pikir, kau sudah memaafkan ayah dengan menghubungi dan menanyakan keadaannya. Kami terlalu bahagia, dan juga ... kami terlalu yakin bahwa kau sangat pemaaf." Ujar Veer menatap wajah istrinya dari samping.
"Rayuan itu cocok diberikan pada gadis muda. Bukan pada wanita dewasa sepertiku."
"Tapi bagiku kau gadis yang selalu muda." Goda Veer mencolek pipi Naina hingga dia mendelik kesal.
"Please ..." bisiknya, "aku menyayangi kalian semua. Sampai detik ini, semua barang-barang hantaran untuk menantu keluarga Nanda masih ada di kamarku, karena tidak akan pernah ada yang bisa menggantikanmu." Veer menaruh kepalanya di pundak istrinya.
Naina tidak menjawab, dia masih bingung harus bersedia atau tidak. Jika dia bersedia begitu saja, apa tidak tampak begitu lemah dan mudah sekali memaafkan mereka yang berulang kali menyakitinya? Hingga mereka menuju tempat tidur, Naina belum memberikan jawaban apapun.
"Aku harap, kau menjawab di malam hari-H ya." Veer menarik kepala istrinya, lalu mengecup keningnya.
Sementara Naina segera memunggungi suaminya, dan masih terus berfikir. Bertarung antara sisi baik dan sisi buruknya, hingga matanya terlelap dia masih tidak bisa menentukan pilihan.
***
Naina berangkat bekerja seperti biasa, sementara Veer juga harus berangkat bekerja karena ada urusan yang sangat penting. Nandu dirawat oleh suster yang ahli, hingga orang tuanya tidak harus cemas keadaannya. Paling mereka harus menahan rindu dengan buah hatinya tersebut. Terlebih bayi lucu itu baru saja sakit demam dan kini telah membaik.
Naina sendiri ketika tiba langsung menuju ruang pasien rawat inap. Salah satu diatara mereka adalah Ayan. Dia tampak senang ketika mendengar suara dokter favoritnya menuju ke ruangannya.
"Semua baik-baik saja? Baguslah." Ujar Naina ketika berbicara dengan beberapa suster yang menemaninya menemui para pasien.
"Hai." Ayan menyapanya lebih dulu, dia tampak sumringah melihat Naina.
"Hai, bagaimana keadaanmu?" tanya Naina dengan senyuman yang lebar. Lalu mengecek rekam medis Ayan.
"Membosankan." Jawab Ayan.
Naina mengerutkan alis sambil menatap Ayan yang cemberut.
"Aku pikir, jika rawat inap akan sering bertemu denganmu. Ternyata malah sering bertemu suster Meeta." Goda dia pada suster gemuk dan lucu itu, yang diiringi tawa suster-suster muda, juga Naina.
"Suster Meeta kan sangat menyenangkan. Dia peraih pin suster terbaik terus." Ujar Naina sambil menutup rekam medis, lalu mulai mendekati kepala Ayan. Mengecek kornea matanya, sudah tidak sekuning kemarin. Lalu detak jantungnya yang terasa cepat sekal, tidak biasanya.
"Detak jantungmu cepat sekali." Ujar Naina mengulang pemeriksaan, kini dia memasang stetoskop lalu menaruhnya di dada pria yang terus tersenyum dengan ceria menatap wajah dokter cantiknya.
"Aku selalu begini jika bertemu denganmu." Katanya pelan.
Suster-suster terkekeh mendengar jawaban Ayan. Menganggap dia tengah bergurau seperti biasa. Begitu juga Naina hanya menganggap itu guyonan sambil tersenyum dengan bibir dirapatkan.
"Ada keluhan?" tanya Naina lagi.
"Banyak." Jawab dia.
"Tolong dicatat." Ujar Naina pada asistennya.
"Jenuh, bosan, pegal, aku ingin berjalan dan bergerak, bahkan ingin mengajak anda makan siang bersama." Jawab Ayan.
Kembali suster-suster tertawa mendengar keluhan pasien ini. Sementara Naina menarik nafas berat sambil menarik sebelah alisnya ke atas, menatap Ayan dengan seksama.
"Seriuslah, aku sedang sungguh-sungguh ingin mengobatimu. Jika kau terus bercanda, aku tidak tahu kondisimu yang sesungguhnya dan bagaimana mengobatinya." Naina berpangku tangan menatap Ayan yang garuk-garuk pipi.
"Aku sudah lebih baik. Hanya kadang masih suka sesak saja." Katanya dengan tatapan memelas.
"Oke. Itu normal karena efek obat yang kau minum." Ujar Naina. Dia segera mengecek dada sebelah kiri. "Masih sakit jika ditekan seperti ini?" tanyanya.
Ayan hanya mengangguk, tapi kemudian menggeleng lagi.
"Ayan, apa pada semua dokter kau seperti ini? Jika kau tidak serius, dokter sehebat apapun tidak akan mampu membantumu." Naina memberikan senyuman. "Jadi bantulah kami." Ujar Naina lagi.
Ayan diam saja, dia melirik ke arah orang tuanya yang sejak tadi cemas melihat dirinya.
Setelah selesai memeriksa Ayan, Naina memanggil orang tuanya ke ruang periksa. Dia menanyakan seperti apa Ayan sesungguhnya. Karena sulit sekali menjawab dengan serius tentang apa yang dia rasakan.
"Jika di rumah dia sering mengeluh sakit, tapi jika di rumah sakit dia tampak baik-baik saja. Kami juga tidak tahu." Ujar ibunya Ayan melirik pada suaimnya yang mengangguk.
"Baiklah, dia boleh pulang nanti sore. Dan obatnya tetap harus rutin diminium, serta minum air putih yang banyak agar tidak mengganggu kerja ginjal. Karena obat-obatan yang dia minum cukup tinggi dosisnya, meski saya telah membuat dosis terendah untuk meminimalisir efeknya." Ujar Naina dengan senyuman menenangkan.
Selanjutnya dia beristirhat sebentar, untuk kemudian membuka praktek dan memeriksa pasien-pasien yang sudah mengantri sejak tadi.
Siangnya, dia harus melakukan tindakan operasi untuk beberapa orang. Meski lelah dan harus terus konsenterasi, dia tak lupa menghubungi suaminya yang sejak tadi tidak dia terima panggilan teleponnya.
"Maaf, sedang banyak sekali pasien tindakan." Katanya dengan mengusap keringat lalu menyandarkan punggung di kursinya.
"Ok, aku sebentar lagi pulang. Mau kujemput?" tanya Veer.
"Tentu." Ujar Naina dengan senyuman. "Jam 4 yah."
"Oke, bye baby ... muach!"
Naina hanya tersenyum, lalu sekali lagi mengecek pasien-pasiennya sambil berdiskusi dengan dokter jaga nanti malam. Dia masuk ke ruang Ayan dan tersenyum melihat pria itu tengah berkemas.
"Pasien ini pulang hari ini." katanya pada dokter pengganti. "Cepat sembuh, Ayan." Naina hanya tersenyum lalu kembali menyusuri setiap ranjang pasien dan menanyakan kondisi mereka.
Sementara Ayan terus menatapnya dengan senyuman, dia memegang sedikit dadanya.
"Kau sakit lagi?" tanya ayahnya saat melihat Ayan meringis memegang dada sebelah kirinya.
Ayan menggeleng dan segera memalingkan wajahnya dari dokter cantik yang selalu terbayang dalam pikirannya itu. Karena dia sadar, dokter itu telah memiliki suami. Tapi hatinya tidak bisa dibohongi, selalu bahagia ketika di dekatnya, dan jantungnya berdebar cepat ketika bersentuhan dengannya.
Ayan jatuh cinta pada dokter Naina... dan dia tidak bisa mengendalikan perasaannya itu pada akhirnya.
Bersambung #10
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel