Veer keluar dari mobilnya dan setengah berlari menuju pintu khusus karyawan rumah sakit. Naina belum terlihat disana, dia membuka membuka kacamata hitamnya dan menemui petugas resepsionis.
"Dokter Naina sudah pulang?" katanya sambil sesekali melirik ke arah tangga yang menghubungkan lobi dengan lantai 2, tempat istirahat para karyawan rumah sakit.
"Belum, tuan. Mungkin sebentar lagi turun." Ujar petugas front office dengan senyuman yang selalu hangat pada siapa aja.
Veer menganggukkan kepala, lalu berjalan menuju kursi tunggu dan duduk disana.
Ayan yang keluar dari lift bersama orang tuanya memandang Veer yang tengah menyilangkan kaki sambil memainkan smartphone-nya.
"Maaf, lama menunggu?"
Wanita yang telah mengusik ketenangan Ayan, alias dokter Naina datang berdiri di depan suaminya.
"Tidak, baru beberapa menit." Jawab Veer sambil berdiri, lalu mengecup kening istrinya tanpa sungkan meski di depan banyak orang.
Dengan menggenggam tangan Naina, Veer berjalan menuju parkiran sambil menceritakan pekerjaannya. Begitu juga Ayan, berjalan di belakang mereka menuju tempat parkir.
"Dokter Naina, terima kasih." Ujar ibu Ayan ketika membuka pintu mobil mereka.
Naina menoleh dan langsung menganggukkan kepala ditambah dengan senyuman lebar pada mereka. Tapi Ayan tidak membalas senyuman itu, dia hanya menatap Naina lalu masuk ke dalam mobilnya. Bahkan masih terus memperhatikan Naina dan Veer dari spion mobil yang ditumpanginya. Tangannya meremas-remas tisu yang sejak tadi dia genggam, terlebih ... bukannya masuk ke dalam mobil, Veer malah mengunci tubuh istrinya di mobil yang pintunya masih tertutup rapat. Meski tampak Naina memukul-mukul suaminya tapi dengan senyuman.
Hingga mobilnya pergi, Ayan masih menatap pasangan tersebut hingga tak terlihat lagi karena mobil yang ditumpanginya telah meninggalkan parkiran rumah sakit.
"Ada apa? Sejak tadi kau tampak murung?" tanya ayah Ayan ketika tiba di rumah mereka.
Ayan diam saja, memejamkan mata, mencoba mengingat wanita yang selalu membuatnya tersenyum kala seorang diri. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa begitu cepat dia mengagumi dokter itu meski baru beberapa kali saja memeriksanya. Dan setiap diperiksa olehnya, dia merasa gelisah namun juga senang.
Meski hati juga jantungnya terasa sakit, tapi ada rasa menyenangkan yang dia rasakan ketika melihat Naina. Dia sendiri terus mengutuk dirinya yang menyukai wanita bersuami.
"Salahkah aku jika menyukai wanita yang telah menikah?" tanyanya pada ayah.
Ayahnya tersentak kaget, menoleh dan menatap putranya. "Tentu saja tidak salah, tapi tidak bisa direalisasikan. Tidak bisa diwujudkan." Jawab ayahnya mencoba bijak.
Ayan tersenyum sambil mengangguk, "Kalau begitu biarkan saja aku mati, bagaimana jika aku semakin menginginkannya?"
"Ayan... " ayahnya tetap tenang.
"Maaf, ayah. Aku terlalu dramatis, karena untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan seperti ini pada wanita." katanya dengan senyuman. "Jangan khawatir, aku tidak akan merusak pernikahan mereka." Lanjutnya sambil berlalu, dan masuk ke kamar.
***
Naina berdandan sangat cantik, hari ini dia memutuskan untuk datang ke perayaan yang dibuat oleh keluarga Nanda untuk anaknya.
Veer datang dan memakaikan kalung yang dia telah siapkan sejak lama. Kalung sederhana namun terlihat mewah jika dikenakan di leher istrinya.
"Semakin cantik." Bisiknya.
Naina hanya mengelus pipi suaminya, lalu berbalik dan berjalan menuju putranya yang tengah tertidur di ranjang. Lalu menggendongnya perlahan, membawanya turun hingga naik mobil. Jantungnya masih berdegup kencang karena masih tidak yakin untuk kembali ke rumah itu.
"Veer ...." panggilnya dengan suara pelan. "Kau ingat? Aku pernah mengatakan ... sumpah tidak akan lagi menginjak rumah itu lagi?" tanya Naina.
Veer meraih tangan Naina dan menggenggamnya. "Kau saat itu hanya sedang marah. Begitu juga ayah. Lupakanlah." Bisiknya dengan menatap wajah istrinya yang masih gamang.
Hingga mobil mereka memasuki pekarangan rumah, dan berhenti di pintu utama. Naina masih enggan turun. Jantungnya masih terasa berdegup cepat sekali. Bagaimanapun dia akan bertemu dengan pria yang pernah menghina dan menuduhnya sebagai wanita tidak baik.
"Ayo." Bisik Veer, menatap Naina yang masih terdiam mendekap putranya.
Sementara keluarga Nanda dan para tamu langsung menyambut keluar, menuju pintu utama dan menunggu mereka turun dari mobil.
Veer turun lebih dulu, memberi salam pada semua orang. Lalu memutar membuka pintu sebelahnya, dimana Naina berada.
Dengan tarikan nafas dalam, Naina akhirnya mengeluarkan sebelah kakinya meski masih tampak ragu. Mengingat dia pernah bersumpah untuk tak menginjak lagi rumah itu. Tapi dia tak punya pilihan lain, dia ingin menyenangkan pria yang dicintainya. Yaitu suaminya, diapun tak ingin Veer berbisah dengan keluarganya hanya karena dirinya.
Ibu Veer tersenyum senang saat melihat Naina turun dari mobil dan menggendong cucunya. Dia segera menghambur dan meminta Gauri menggambil nampan puja.
Dia melakukan puja pada menantunya diiringin lemparin bunga oleh para kolega dan tamu yang hadir. Lalu memakaikan tika di kening cucu laki-laki pertama di keluarga mereka.
Naina menyerahkan Nandu pada Veer, lalu membungkuk menyentuh kedua kaki ibu mertuanya.
"Semoga selalu diberkati, nak." Katanya sambil mengangkat tubuh Naina, lalu memeluknya dan mengusap pipinya dengan penuh kasih sayang.
Selanjutnya mereka masuk ke dalam rumah, tampak Kailash tengah berdiri di dalam ruang tamu menyambut kehadiran cucu yang dirindukannya.
Mata Naina tertuju pada ayah mertua yang tak pernah akur dengannya itu, lalu semakin dekat dan kini mereka berhadapan. Memandang satu sama lain, ego keduanya masih sedikit besar. Hingga Naina sempat menoleh pada suaminya dulu, barulah dia membungkukkan badan, menyentuh kaki ayah mertuanya.
"Panjang umur, menantuku." Katanya dengan senyuman yang tak biasanya, terlihat hangat.
"Terima kasih, ..." Naina bingung harus memanggil tuan atau ayah. Maka dia memutuskan tidak mengatakan apapun setelah itu.
Veer langsung menyerahkan Nandu pada Naina, dan kini diberi doa-doa oleh pemuka agama yang telah dihadirkan. Sesaat acara sangat menyenangkan, Naina pun berusaha tersenyum pada semua orang.
Dan mereka mengaku pindah ke apartemen agar Naina lebih dekat ke tempat kerjanya yang merupakan rumah sakit di pusat kota.
"Aku harap kalian menginap disini. Kamar telah dirapihkan sejak beberapa hari ini." ujar Gauri ketika tamu sudah pulang.
Veer menoleh pada Naina yang masih sibuk dengan Nandu, tidak terlalu tertarik bicara apapun sejak tadi. Kecuali jika ada yang bicara padanya langsung.
"Tidak bisa, kak. Besok Naina masih harus bekerja." Jawab Veer.
"Justru karena Naina bekerja, Nandu tidak akan kesepian selama ibunya bekerja. Disini banyak orang, ada ibu juga aku dan ayah. Bisa bergantian menemaninya." Pinta Gauri, yang sudah jelas pesanan dari orang tuanya.
Veer kembali menoleh pada Naina yang diam saja. Dan kali ini, Naina menoleh juga pada suaminya.
"Mungkin tidak sekarang." Jawab Naina singkat dengan senyuman yang masih dingin.
Kailash hanya mengangguk pasrah ketika Veer memberinya isyarat agar tak memaksa dulu.
***
Naina dan Veer kembali ke apartemen menjelang malam. Setelah cukup lama Veer mayakinkan orang tuanya, bahwa Naina butuh waktu untuk kembali pada mereka. Bagaimanapun, tuduhan penghianatan sangat menyakiti dirinya. Bahkan diawal kehamilannya, dia tidak memiliki siapapun untuk bermanja selain adiknya.
Veer juga berjanji akan terus membujuk Naina pada orang tuanya.
"Ibu tahu? Untuk pertama kali dia menyatakan mencintaiku. Dan itu membuatku sangat bahagia. Tidak ada wanita yang begitu tulus mengatakan itu padaku. Ada banyak wanita yang dengan mudah mengatakan itu padaku, tapi tidak dengan Naina. Butuh proses panjang. Karena itu aku yakin, dia sungguh-sungguh mencintaiku dan sudah pasti akan menerima kalian kembali." Katanya pada ibunya yang senang mendengar cerita putranya.
"Dan untuk ayah, dia hanya butuh berdamai dengan hati kecilnya yang sempat kau hancurkan. Beri dia waktu, dia pasti kembali." Ujar Veer. "Lihat, dia bahkan tidak sungkan memberi hormat padamu, meski dia masih sangat tertekan." Katanya lagi.
Kailash mengangguk pelan. "Tapi, sering-seringlah bawa cucuku bermain kemari. Aku sangat senang ketika dia tergelak dalam pangkuanku tadi." Ujar Kailash dengan mata yang berkaca. "Aku belum pernah merasa lebih kuat paska serangan jantung lalu, kecuali saat menggendong cucuku." Katanya dengan sumringah.
Veer mengangguk sebagai janji akan membawa putra mereka kembali ke rumah itu lebih sering.
Dan kini, Naina masih tidak banyak bicara meski sudah tiba di rumah mereka kembali. Hingga Veer harus terus menggodanya, agar istrinya itu tersenyum kembali.
Veer menyanyi sambil joget-joget dengan kaos singlet dan celana panjangnya, mengikuti sebuah lagu yang dia putar dari phonselnya. Lalu mendekati Naina dan mengajaknya menari, berdansa setengah memaksa. Menggodanya, mencubit pipinya, hingga mencium bibirnya dengan singkat.
"Kau ini sedang apa?" protes Naina pada akhirnya.
"Mengikuti lagu ini, rasanya cocok sekali syairnya untuk kita yang sedang jatuh cinta. Yang sedang sangat membara rasa cintanya." Bisik Veer menekan keningnya ke kening Naina.
Naina menarik nafas cepat, lalu melengos dan mengikat rambutnya berniat mandi.
"Baby.... " panggil Veer. "Kau tahu? Aku kadang cemburu membayangkan pasien-pasien priamu itu. Tubuh mereka kau sentuh tanpa sehelai benangpun, dan bu dokter itu sangat cantik dan seksi. Aku rasa mereka bisa mendadak sembuh atau mendadak mati." Goda Veer sambil menekan istrinya ke dinding.
"Lalu? Apa itu salahku?" tanya Naina masih serius.
"Tidak. Tapi tidakkah sekali saja kau pakai pakaian seragam doktermu, lalu memeriksa aku, menyentuh setiap bagian tubuhku, lalu...." Veer meniupkan hawa panas ke telinga istrinya.
"Membelah dadamu dengan pisau?" Naina mulai tersenyum geli.
"Aku pernah lihat video pasien dan dokter...."
"Shut up!! Itu menjijikan dan tidak ada di dunia nyata. Benar-benar memuakkan bagaimana bisa mereka membuat video menjijikan itu dengan tema demikian?" omel Naina sambil memukul pundak Veer yang tengah asik mencumbunya.
"Make it real..." bisik Veer parau.
"Dengan?" goda Naina.
"Siapa lagi...?" Veer mengecup pipinya.
"Ayan?" goda Naina dan seketika membuat Veer berdecak kesal. Hingga menatapnya dengan tatapan cemburu.
"Katakan, apa kau berfikir demikian ketika sedang memeriksanya?" dia mulai terbakar api cemburu. "Aku bisa lihat dia pura-pura sakit hanya karena ingin dekat denganmu. Baiknya kau belah dada dia dan keluarkan hatinya agar tidak mencintai istri orang lain."
Naina langsung terkekeh geli sambil memegan kedua pipi suaminya.
"Kenapa kau jadi kehilangan selera humor begini? Aku kan hanua bercanda." tanyanya sambil menatap penuh goda diiringi tawa yang renyah.
Veer masih bertolak pinggang. Meski berulang kali Naina menggoda dengan mencolek pipinya, atau bahkan perut kotaknya. Dia diam saja membuang muka.
Naina tertawa geli sekali, sambil berjalan ke kamar mandi.
"Demi Tuhan, Veer. Aku tidak pernah berfikir sejorok itu dengan pasien manapun. Meski pasien tampan sekalipun. Yang kupikirkan adalah bagaimana menyembuhkan mereka. Kau tahu kan? Pasienku rata-rata mengerikan kondisinya." Ujar Naina dengan santai berjalan ke kamar mandi.
Sedang Veer mengikutinya dari belakang, dan ikut masuk ke kamar mandi bersama istrinya.
Naina menoleh dan melotot. "Mau apa kau ikut kemari?" tanya Naina dengan mata yang bulat dan terang.
"Jika tidak bisa memakai pakaian dokter, bagaimana kalau propertinya adalah shower dan bath-tub?" goda Veer.
"Menjijikan sekali. Keluar!" omel Naina sambil mendorong suaminya keluar kamar mandi.
Sementera Veer hanya terkekeh geli sambil memegangi handuk Naina yang dia curi tadi. Dia yakin istrinya itu akan berteriak meminta handuknya ketika selesai mandi. Dan itu benar, hingga terpaksa harus membuka pintu kamar mandi lagi. Dan itu menjadi momen emas dirinya untuk masuk tanpa perlawanan lagi.
***
Hari ini, jadwal Ayan melakukan check-up dengan Naina. Tidak biasanya, pria ceria itu tampak murung dan tak banyak bicara.
"Ada keluhan?" tanya Naina ketika Ayan duduk di kursi pasien menghadap dirinya.
Ayan menoleh dan menatap Naina sesaat, lalu memalingkan padangan.
"Ya, hatiku sakit sekali." Katanya dengan nafas yang sesak sepertinya.
Naina sedikit panik, dia langsung meminta Ayan berbaring dan mengambil stetoskop.
"Kau rutin meminum obatnya kan?" tanya Naina ketika memeriksa detak jantung Ayan yang cepat.
"Ya." Jawabnya singkat. "Berapa lama lagi lagi hidupku?" tanyanya pada akhirnya.
Naina memandang Ayan yang tampak murung, lalu dia tersenyum agar pasiennya tenang.
"Livermu sudah membaik, ini hasil tes kemarin." Katanya memperlihatkan hasil rontgen. "Hanya, jantungmu masih sedikit bermasalah. Tapi itu tidak perlu dikhawatirkan, selama kau mengikuti aturan kami para dokter, semua bisa membaik. Sembuh total mungkin tidak, tapi setidaknya akan membaik dan perlu penjagaan dari pemiliknya." Papar Naina dengan tenang.
Ayan hanya menganggukkan kepala, lalu menatap Naina hingga mereka saling tatap satu sama lain.
"Ada pertanyaan?" tanya Naina lagi.
Dia diam saja. 'Apa yang akan terjadi jika kau tahu aku mencintaimu? apa kau akan menolak mengobatiku lagi?' batin pria itu berbicara.
"Ayan? Ada masalah?" Naina duduk di ranjang periksa. "Dengar, kesembuhan setiap penyakit tergantung dari pasiennya, dan dokter hanya memberikan bantuan secara medis, sebagai perantara, setelah itu semua kita serahkan pada Tuhan." Lanjutnya menatap pria yang tampak putus asa tersebut.
Tentu, Naina dan suster mengira dia putus asa karena penyakit yang dideritanya. Bukan karena dia menahan perasaan cinta yang kini menghinggapinya.
"Apa aku masih boleh meminta pada Tuhan?" tanya Ayan pelan.
"Tentu, apapun." jawab Naina.
Dan kini Ayan tersenyum sambil mengangguk. "Baiklah. Aku akan memintanya. Segala sesuatu masih mungkin bukan?"
Naina mengangguk dengan pasti.
"Karena itu, kau harus yakin bahwa kau bisa sembuh total." Ujar Naina lagi.
Ayan tersenyum dengan senang mendengarnya. Hingga dia kembali ke rumahnya, dia duduk dengan serius dan berdoa pada Tuhan. Agar dia bisa mendapatkan Naina sebagai wanita yang dia idamkan.
"Aku menginginkannya Tuhan, dan apapun akan aku lakukan agar mendapatkannya. Karena tugasku berusaha, dan Kau yang menentukan ... mengabulkan atau tidak." Katanya dengan senyuman.
***
Naina hari ini disibukkan dengan pasien yang harus menjalani operasi. Hingga dia berulang kali terlambat pulang, dan Veer yang menjaga Nandu di rumah. Itu sudah terjadi beberapa hari, hingga Veer kadang jenuh dan berniat membawa putranya itu ke rumah orang tuanya agar lebih ramai.
Seperti biasa, hari ini juga jadwal Ayan kontrol kondisi liver dan jantungnya. Kondisinya mulai membaik, dan dia sangat senang dengan itu.
"Kau harus percaya kekuatan self-talk. Kau harus berteman dengan tubuhmu sendiri, berteman dengan penyakitmu. Terimalah segala yang terjadi pada tubuhmu, dialoglah dengannya bahwa penyakit itu boleh ada dalam tubuhmu, berteman agar kau tidak merasa dia mengganggu. Namun, jangan beri dia makan agar mereka hilang pada akhirnya. Seperti apa itu? Kau harus menjaga pola makanmu. Mengerti?" ujar Naian menatap Ayan yang mengangguk senang.
"Satu lagi, seseorang pernah bicara tentang hukum tarik menarik, jika kau selalu berfikir positif, maka pikiranmu akan menarik hal positif. Begitu juga sebaliknya." Tambah Naina. "Faham?"
"Sure!" Ayan tersenyum riang.
"Baiklah. Sekarang kau boleh pulang." Dokter Naina berdiri.
"Tidak bisakah satu kali saja kita makan siang bersama? Ah hanya ungkapan terima kasih dan pertemanan baru baru terjalin diantara kita." Ayan berdiri menatap Naina yang tampak ragu.
Tapi mengingat dia adalah orang yang pernah membantunya mencapai rumah sakit ketika akan melahirkan, dia tak bisa menolak.
"Tiga pasien lagi. Kau siap menunggu?" tanya Naina pada akhirnya.
"Pasti." Katanya dengan senang dan mengulurkan tangan untuk bersalaman, lalu keluar ruang konsultasi dokter Naina.
Ayan memasang earphone dan asik menunggu Naina di ruang tunggu periksa sambil menggoyang-goyangkan kaki diiringi musik yang membuatnya bahagia seperti suasana hatinya kini.
Sementara Naina baru saja selesai dengan pasien terakhir. Lalu keluar menemui Ayan yang sumringah melihatnya terlihat langsung berdiri ketika Naina datang, serta langsung melepas earphone-nya.
Mereka menggunakan mobil Naina menuju sebuah restoran yang tak jauh dari rumah sakit. Tak banyak yang mereka katakan selama di mobil, Ayan lebih sibuk memandang Naina diam-diam ketika Naina fokus menyetir. Dan tampak dia gugup dengan berulang kali mengusap hidungnya.
Setelah tiba di restoran, mereka duduk di balkon yang tampak ke jalanan. Lalu memesan makanan, Naina sempat protes ketika Ayan memesan minuman bersoda. Dan menggantinya dengan air putih saja.
"Apa suamimu juga kau larang minum minuman soda?" tanya Ayan penasaran.
"Tidak. Dia bebas minum apa saja selagi tidak berlebihan." Jawab Naina.
"Artinya kau tidak sayang padanya? seharusnya tidak boleh, kan tidak sehat kau bilang." Pancing Ayan.
"Aku selalu melarangnya, tapi dia masih sesekali meminumnya. Tidak masalah selagi tidak setiap hari." Jawab
Naina sambil memandang Ayan yang menunduk karena sejak tadi terus memandang wajah dokternya.
"Siapa yang paling mencintai diantara kalian?" tanya Ayan untuk mengisi kekosongan bahasan ketika menunggu pesanan makanan mereka yang belum datang juga.
Naina tersenyum sambil memandang ke atas.
"Entahlah, pastinya kami saling mencintai." Jawab Naina dengan senyuman.
"Suamimu, sepertinya tidak suka padaku."
"Kita lanjutkan nanti, aku sudah lapar." Naina segera mengambil makanan yang dibawa pelayan untuk segera ditaruh di depannya.
Naina terlihat lahap, dia memang kelelahan karena banyak pasien setiap harinya. Sampai dia lupa mengecek ponselnya dan segera dia lakukan setelah beberapa suapan. Sementara Ayan baru tiga suap saja karena sibuk memandang wanita pujaannya.
Ada lima panggilan tak terjawab dari suaminya. Naina segera menghubungi Veer karena khawatir penting.
"Hai, maaf ... tadi banyak pasien. Ada apa?" tanya Naina sembari menyuapkan makanan.
Sementara Ayan tampak tidak senang, dia menatap Naina dengan ekspresi kecewa.
"Aku dan Nandu dalam perjalanan ke rumah ayah. Maksudku, aku tadi mau minta ijin tapi kau tidak juga mengangkat telepon." Veer tetap tersenyum sambil menyetir. Sementara Nandu digendong oleh susternya.
"Veer, jujur aku ... " Naina menggantung kalimat dan memijat keningnaya. "Aku tidak suka." Katanya dengan nafas yang berat dan menghentikan suapannya.
"Naina, mereka kakek dan neneknya. Please... dan kami sudah di jalan." Veer memohon.
"Aku tahu, tapi hargai aku sebagai ibunya! Ibu yang pernah ayahmu anggap...." Naina mengatur nafasnya dengan berat.
"Kau masih dendam dan marah? Kupikir sudah...."
"Tidak mudah, Veer! Aku mohon kembali. Apa yang terjadi kemarin karena aku hanya ingin menyelamatkan muka kalian saja." Naina akhirnya emosional.
Ayan menggantung suapannya, dia menyadari pasangan ini tidak seperti yang dikatakan Naina bahwa saling mencintai. Tapi ada masalah diantara mereka berdua.
Di tempat lain, tepatnya dalam mobil, Veer memijat lehernya karena bingung harus bicara apa. Sementara dia sudah mengabarkan akan datang ke rumah orang tuanya bersama Nandu. Tidak mungkin jika pulang lagi dengan alasan Naina tidak memberinya izin. Yang ada akan terjadi masalah lagi dengan keluarganya.
"Aku sudah terlanjut ... shit!!"
"Veer ... kembali!" teriak Naina namun tidak ada jawaban. Telepon terputus dan Naina mencoba menghubungi kembali. Tapi tidak tersambung.
Naina sedikit panik mengingat kalimat terakhir Veer adalah 'shit!' apa dia marah? Atau bahkan menghindari kendaraan lain? Ah tidak ... Naina mulai gelisah.
"Bertengkar? Apa sering bertengkar seperti ini?" tanya Ayan menyelidik.
Tapi Naina tidak konsen, dia memukul-mukul ponsel ke telapak tangan kirinya. Dan mencoba menghubungi kembali. Namun masih tak tersambung. Dia mulai mengira Veer marah dan mematikan teleponnya.
"Mungkin dia marah." Katanya berbicara sendiri.
"Makan saja lagi, sayang makananmu masih banyak." Ayan memandang Naina yang gelisah.
Dia kembali mengambil makanan dari piring, tapi dia urungkan. Dia menaruh makanan dan berdiri.
"Ayan, aku akan menyusul Veer. Kau pulanglah, terima kasih untuk makan siangnya." Katanya dengan segera mengambil tas.
Ayan menaruh sejumlah uang di meja restoran dan melambaikan tangan pada pelayan. Lalu mengejar Naina yang sudah turun hingga ke tempat parkir dan masih tampak tidak terkontrol.
Ponselnya berdering kembali, dia mengambil dan ternyata dari rumah sakit.
"Ya, Dokter Naina disini." Katanya.
"Dok, bisa kembali? Ada pasien darurat yang dibawa ambulance dalam perjalanan ke rumah sakit." Ujar petugas rumah sakit.
"Ok, aku akan kembali." Ujar Naina.
"Aku menumpang ya, sekalian mengambi mobilku di rumah sakit." Ujar Ayan langsung masuk ke mobil Naina.
Naina segera melajukan kembali kendaraannya menuju rumah sakit. Dia bahkan lupa jika Ayan bersamanya, karena setelah memarkirkan mobil dia langsung masuk menemui petugas yang berjaga.
"Pasien darurat apa?" Naina memberikan tasnya pada suster yang selalu menjadi asistennya untuk disimpan di ruangannya.
"Kecelakaan." Jawab petugas. "Tiga orang totalnya. Satu laki-laki dewasa, perempuan dewasa dan bayi."
Deg! Naina seperti merasakan firasat buruk. Dia menatap ke pintu ruang UGD yang sudah mulai dibuka dan terdengar ambulance masuk. Petugas berlarian membawa peralatan yang dibutuhkan. Sementara Naina mengatur nafasnya saat korban pertama diturunkan.
"Nandu!"
==========
"Nandu!" teriak Naina ketika melihat suster yang bertugas menjaga Nandu diturunkan kemudian dibawa ke ruang UGD karena mengalami luka serius.
Tak lama bayi mungil itu diturunkan tim medis dan Naina segera mengecek kondisinya.
"Dia terluka cukup parah." Ujar petugas.
"Dia putraku." Naina sedikit gugup.
Semua saling pandang melihat Naina mencucurkan airmata.
"Jika anda tidak sanggup, biar dokter lain yang menangani." Ujar dokter jaga. "Tidak baik menangani pasien ... dalam kondisi emosional yang mungkin anda terbawa perasaan."
Naina menggeleng. "Tidak. Aku akan menanganinya sendiri. Aku baik-baik saja." katanya segera mengecek alat-alat pada tubuh putranya. Berusaha setenang mungkin memasang beberapa alat di tubuh putranya yang belum sadarkan diri.
Infus sudah terpasang sejak di mobil ambulance dan juga tabung oksigen. Lalu bersama para petugas medis lainnya dia masuk ke ruang ICU.
Sementara Veer yang hanya mengalami luka ringan di bagian kepalanya, sejak tadi hanya memandang istrinya dari dalam ambulance. Dia tahu, Naina pasti akan sangat marah padanya. Dia bahkan tak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Juga dia amat ketakutan akan keselamatan putranya.
Di ruang ICU, Naina membersihkan luka-luka putranya, meski harus menahan sakit di hatinya. Terlebih ketika bayinya tersadar dan menangis, dia segera menenangkan dengan membuka masker.
"Mama disini sayang ... kau akan baik-baik saja." Naina berusaha tidak menangis, tapi tetap saja matanya menggenang. Hingga yang di lap suster bukanlah keringatnya, melainkan pipinya yang basah oleh air mata.
"Syukurlah, tidak ada hal yang serius. Hanya luka luar dan kaki yang terkilir. Sepertinya susternya sangat melindunginya." Ujar dokter pendamping Naina.
Naina mengangguk, lalu dia segera ke ruang lain. Melihat kondisi suster yang menjaga Nandu, dia masih belum sadarkan diri karena benturan dan memeluk Nandu hingga tak terluka parah meski sama-sama terkena serpihan kaca.
"Dia baik-baik saja, hanya belum sadarkan diri saja." Ujar dokter yang menanganinya.
"Lalu korban satu lagi?" tanya Naina dingin, seolah enggan menyebut namanya.
"Dia mengalami luka ringan saja, hanya sedikit luka di kepala karena pecahan kaca. Mereka bertubrukan dengan sebuah truk. Tapi berhasil menghindar." Ujar dokter dan petugas lapangan yang tadi menjemput pasien dengan ambulance.
Naina hanya mengangguk lemah, lalu kembali ke ruang Nandu. Menatap putranya yang diberi obat penenang, dan masih tertidur. Tampak dia menggeliat, dan Naina segera memasang pakaian khususnya, lalu masuk dan mengelus putranya. Lalu memberikan ASI langsung meski harus sambil berdiri sementara anaknya terbaring.
"Tidak pakai pivet atau spuit saja, dok?" tanya suster.
"Tidak. Direct breastfeeding akan membuatnya lebih kuat karena dia menyadari keberadaanku." Katanya dengan lemah.
Suster mengangguk dan terus membantu mengawasi. Dan setelah kenyang, Nandu kembali tertidur. Naina mengelus jari-jari kecilnya. Dia masih enggan meninggalkan ruangan itu, dia begitu takut kehilangan putranya. Baru kali ini dia merasakan apa yang dirasakan orang-orang terdekat pasiennya. Dia tak bisa membayangkan jika putranya itu meregang nyawa dalam penanganannya.
"Jangan tinggalkan mama, nak." Bisiknya lembut. "Mama janji, akan selalu bersamamu setelah ini." katanya dengan linangan airmata.
Sementara Veer berdiri melihat istri dan anaknya dari jendela kaca ruang itu. Dia masih belum berani masuk.
Sedang Ayan berdiri tak jauh dari Veer yang masih memakai perban di kepala dan lengannya. Menatap pria yang istrinya telah mengobati serta mengambil hatinya. Dan tak lama, dia melihat Naina keluar berhadapan dengan Veer yang tampak memandang dengan perasaan bersalah dan pilu.
"Maaf, aku ...." Veer tampak kelu dan bingung, "aku berniat kembali tapi, aku... tidak melihat ada...."
Naina masih diam menatap Veer cukup lama. Keduanya berpandangan. Namun pandangan Naina tampak kosong.
"Sayang ...."
"Pergilah dari hadapanku, Veer."
Veer terbelalak mendengar kalimat pertama yang keluar dari bibir istrinya. Dia tak menyangka, meski menduga dia pasti marah.
"Naina tenangkan dulu pikiranmu. Aku tahu kau marah dan aku sadar aku salah."
"Aku bilang pergi dari hadapanku!" Teriak Naina dengan wajah merah namun mata berair. "Aku tidak ingin melihatmu lagi dalam hidupku."
Veer segera mendekat dan merengkuh pundak istrinya. Meski mendapat penolakan.
"Naina, aku tahu kau marah tapi kumohon jangan begitu cepat mengambil keputusan dalam keadaan marah." Veer berusaha tenang, dia sadar istrinya dan ayahnya memiliki karakter yang sama. Keras kepala dan emosi yang meledak-ledak di kondisi tertentu.
"Aku serius." Naina menatap tajam wajah suaminya. "Aku tidak ingin melihatmu lagi. Kau tidak mengerti seperti apa tanganku ini saat membersihkan luka-luka putraku, putraku yang kukandung selama sembilan bulan bahkan tanpa kasih sayangmu diawal kehamilanku. Dan kulahirkan tanpa dirimu juga. Masih layakkah aku memaafkanmu?" teriak Naina. Membuat semua orang menoleh padanya, begitu juga Ayan tidak menyangka jika Naina akan semarah itu.
Beberapa dokter dan suster berusaha menenangkan Naina. Dan tak lama, keluarga Nanda datang ke tempat itu. Beruntung, kehadiran orang berpengaruh itu membuat area disana dikosongkan kecuali Ayan yang memang masih berada disana sejak tadi.
"Aku serius, Veer." ujar Naina lagi. "Di hadapan keluargamu aku katakan sekali lagi. Pergi dan menjauhlah dari kehidupanku dan Nandu. Kembalilah pada orang tuamu."
Naina menatap ke arah Veer lalu pada orang tuanya.
"Aku tidak main-main. Kalian tidak akan mengerti perasaanku. Bagaimana aku kalian hina saat mengandung! Lalu hidup sendiri tanpa kasih sayang suami dan keluarga. Dan diam-diam kau melakukan tes DNA pada anakku. Akupun memaklumi tindakanmu!" Isak Naina. "Tapi tadi ... aku harus ... melihat anakku dalam lingkaran antara hidup dan mati. Semua demi dirimu dan keluargamu, kau tak pernah memikirkan perasaanku. Melihat dari posisi aku. Aku benci kau, Veer!!" Naina akhirnya tak kuasa menangis histeris pada akhirnya.
Veer panik dan langsung mendekap istrinya. Membenamkan kepalanya di dada seperti selama ini. Memberikan rasa nyaman dikala hati tak lagi sinkron dengan pikiran.
"Aku mohon." Naina mendorong dada Veer menjauh lalu mengatupkan kedua tangannya. "Jangan pernah hadir dalam hidupku lagi. Dia anakku, bukan anakmu. Dia cucu dari orang tuaku, bukan dari keluarga Nanda." Tubuh Naina tampak bergetar ketika mengatakan itu.
Sementara Veer tak berani berkata apapun. Dia tahu, istrinya hanya sedang marah saja. Tidak bersungguh-sungguh mengatakan itu.
"Pergilah, Veer. Biarkah aku hidup dengan caraku sendiri. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Aku benci sekali padamu!" teriak Naina sekali lagi yang langsung disambar oleh Veer dan dipeluk dengan erat lebih erat dari sebelumnya. Dia menangis histeris di pelukan suaminya hingga semua yang menyaksikan harus menyeka sudut mata mereka.
Sementara Ayan menatap dari kejauhan, menyaksikan bagaimana luapan emosi Naina pada suaminya.
"Aku tidak bisa, Naina." Bisik Veer di telinga istrinya. Dia mengecup kepala istrinya dengan dalam. "Kalian adalah segalanya bagiku." Katanya bergetar.
"Bohong. Kau bohong ... sekarang aku ingin kau pergi dari kehidupanku. Aku bersungguh-sungguh." Isak Naina.
"Bukankah kau bilang, hanya maut yang akan memisahkan kita?" Veer memegang kedua rahang istrinya dengan lembut.
Naina berusaha menghindar bertatap mata, dia mendorong suaminya agar menjauh.
"Kau tidak mengerti. Karena aku tidak pernah menyadari bahwa kau akan begitu ceroboh, kau lebih mementingkan keluargamu daripada aku, bahkan setelah aku dengan kerendahan hati memaafkan semua penghinaan kalian padaku dan keluargaku! Apa aku harus ingatkan semua itu agar kau mengerti apa yang aku rasakan saat ini?" teriak Naina lagi, dia benar-benar kehilangan kontrol kali ini.
"Aku sudah bersumpah tak akan menginjak lagi rumah kalian, dan kau memaksaku! Aku mengalah, dan sekarang lihat apa yang terjadi pada putraku?!" Naina menatap keluarga Veer dengan mata merah penuh amarah dan basah.
"Aku tidak ak...."
Veer tidak membiarkan Naina mengatakan sumpah serapah lagi. Dia tarik istrinya ke dalam dekapannya secepat kilat, dan membungkan mulut istrinya dengan bibirnya untuk beberapa detik. Lalu melepaskannya, menahan tubuh Naina dan mengelus bibirnya.
"Cukup! Jangan lagi mengatakan sumpah yang tak berguna." Veer menatap mata istrinya yang basah.
"Aku akan pergi, sesuai keinginanmu. Tapi aku lakukan itu karena aku mencintaimu, ya ... aku akan pergi karena aku mencintaimu. Menemuhi keinginan wanita yang sangat kucintai, istriku, ibu dari anakku." Veer menahan dagu Naina yang terisak.
"Kau dengar? Aku akan pergi, sampai kau memintaku kembali. Dan semua itu karena aku sangat mencintaimu. Aku mencintaimu." bisik Veer kemudian memeluk Naina dengan lembut.
Naina diam tak menjawab, sementara semua orang tertegun melihat apa yang terjadi. Begitupun Tania dan Arav juga orang tua Naina yang baru saja datang. Mereka tidak menyangka amarah Naina bisa meledak hari ini. Naina yang dulu lebih sering mengalah pada siapapun, lebih banyak diam. Dan tak pernah menunjukkan kekerasan hatinya. Kini dapat dilihat siapa saja.
"Nak ...." ibu Naina berjalan mendekat.
Naina segera melepaskan pelukan Veer, dan berlari ke arah ibunya. Menangis tersedu di pelukan ibunya. Sementara Veer berjalan mundur, mendekati keluarganya.
"Veer ...." Kailash menatap putranya.
"Kalian dengar kan? Sebaiknya, kita pergi sekarang." Veer mengusap airmatanya dan berjalan lebih dulu. "Shid, pastikan orang-orang yang melihat ini tidak membocorkan keluar. Buat perjanjian diatas kertas dengan mereka." Ujar Veer pada asistennya.
Dia segera keluar dari rumah sakit. Mereka tidak ingin semakin memperuncing masalah di tempat umum ini. Karena bisa merusak nama baik mereka.
"Bagaimana keadaan cucuku?" Kailash enggan masuk ke dalam mobil dan menatap Veer dan menahan kaca mobil Veer yang hendak di tutup.
"Ayah lupa? Ibunya adalah seorang dokter hebat. Dia akan baik-baik saja." Jawab Veer datar.
"Tapi, kami ingin ..."
"Ayah,..." Veer menatap ayahnya. "bisakah sekali saja kita mengalah untuk memenangkan hatinya? Dia hanya sedang terguncang. Aku yakin, dia akan kembali pada kita. Dia mencintaiku, dia mengatakan itu dan aku bisa melihat ketulusannya." Veer mengusap sudut matanya.
"Untuk saat ini, biarkan dia merawat Nandu tanpa memikirkan kita, yang telah menyakitinya selama ini. Agar Nandu segera sehat." Pintanya.
Ibu Veer menyentuh pundak suaminya dan mengangguk perlahan. "Mengalahlah, demi cintanya. Kadangkala, kita orang tua harus mengalah setelah terlalu keras pada anak-anak kita. Belajar memaafkan anak-anak kita, akan membuat mereka menyadari bahwa kita sangat menyayangi mereka."
Kailash menganggukkan kepala, lalu berjalan ke arah mobilnya. Untuk kemudian masuk dan meninggalkan rumah sakit.
Sementara, Ayan ditemui oleh Shidart asisten Veer untuk menandatangani perjanjian bahwa dia tidak akan membocorkan kejadian barusan ke publik. Begitu juga petugas rumah sakit yang menyaksikan kejadian tadi.
***
Naina duduk di kursi ruang tunggu pasien ditemani orang tuanya juga adiknya. Sementara Ayan telah pergi karena dia tidak ingin mengganggu pikiran Naina yang sedang kacau. Dia sadar, Naina sedang mengalami depresi berat. Tapi dia salut, karena masih bisa bekerja dengan tenang ketika menangani anaknya.
"Naina, seharusnya kau tidak bicara seperti tadi. Yah ... ayah faham, kau terluka tapi...," ayah Naina menarik nafas dalam.
"Aku bahkan masih ingat mereka menghina kalian." ujar Naina dengan tertunduk.
"Ayah ingat. Bagaiman keadaan cucuku?" katanya mengelus kepala putrinya. "Ayah ingin sekali datang saat kau melahirkan, tapi kondisi ayah masih belum fit."
"Ayah seharusnya jangan memaksakan diri jika sakit. Aku akan kembali ke rumah kalian setelah Nandu sehat." Katanya dengan mengusap airmata.
Ayahnya enggan berkomentar. Dia hanya memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang. Karena dia tahu, bukan waktu yang tempat memberikan nasihat untuk saat ini.
Tak lama, suster mengabarkan Nandu terbangun lagi dan Naina segera masuk ke ruangan. Dia sudah lebih kuat dan tampak tersenyum dengan pipi chubbynya.
Naina menggendongnya skin to skin, agar anaknya merasa nyaman. Memberikan haknya seperti biasa, sambil terus membelainya agar dia kuat menahan rasa sakit dari luka yang ada.
Bahkan Naina memilih cuti, hanya untuk memantau anaknya saja di rumah sakit itu. Kepala rumah sakit tak punya pilihan, karena andai Naina menerima pasien lain belum tentu konsentrasinya baik. Maka pilihan bijak membiarkan dia fokus pada anaknya lebih dulu.
Dan setelah satu minggu dirawat, akhirnya bayi tampan itu sudah dilepas alat infus dan juga sudah mulai bergerak leluasa lagi. Beberapa luka mulai mengering. Sementara ayahnya, diam-diam mengunjunginya meski tanpa sepengetahuan Naina. Dia memanfaatkan waktu jika Naina tengah makan, atau mandi atau sekedar pulang dulu ke apartemennya. Maka dengan memohon pada Tania dan orang tua Naina, Veer bisa leluasa masuk dan menjenguk putranya.
"Maafkan papa, nak. Untuk saat ini kita akan jarang bertemu." Katanya dengan mencium putranya. "Jaga mama, dan jangan membuatnya menangis. Oke. Jangan seperti papa." Dia mendekap Nandu dengan keharuan.
Sementara Arav yang berjaga di koridor melihat Naina, dan segera mengirim pesan pada Veer bahwa Naina datang. Segera Veer melepaskan putranya yang malah menangis karena masih merindukan pelukannya. Dengan berat hati, Veer keluar dan lari ke arah berlawanan dengan Naina. Bersembunyi di sudut dinding sambil memperhatikan istrinya yang tersenyum pada beberapa orang yang menyapanya.
"Aku merindukan senyum itu untukku." Bisiknya dengan menatap Naina yang kini masuk ke dalam ruang rawat.
Dia berjalan meninggalkan koridor rumah sakit hendak kembali ke parkiran. Tapi dia melihat Ayan membawa boneka dan kotak berwarna merah muda. Dia mengikuti Ayan dari belakang. Dan jelas, Ayan masuk ke ruang rawat Nandu. Namun tak lama keluar lagi dengan istrinya.
"Terima kasih, Ayan. Maaf tidak boleh terlalu banyak orang di dalam." Katanya dengan senyuman yang masih belum seceria sebelumnya.
"It's ok. Senang melihat Nandu sudah sehat, dan kau sudah tersenyum lagi." katanya dengan menyerahkan kotak merah muda.
"Apa ini?" tanya Naina heran.
"Buka saja." Ayan tampak sumringah sementara Veer mengepalkan tangannya dari kejauhan.
Naina membuka kotak tersebut dan tampak hanya kerta bertuliskan, SMILE saja. Naina langsung tertawa dan memukul lengan kiri Ayan yang juga tertawa.
"Lihat, hadiah sederhana ini sukses membuatmu tertawa, bukan Cuma tersenyum." Ayan menatap wajah Naina yang masih tertawa kecil.
"Ya, terima kasih." Naina memasukkan kertas itu ke saku bajunya.
Dan Ayan tiba-tiba saja menariknya ke dalam pelukan. "Aku bersedia menjadi tempatmu berkeluh kesah, menangis atau apapun untuk melegakkan setiap kegelisahanmu." Bisik Ayan.
Veer memejamkan mata, tangan mengepal kuat dan membalikkan badan karena tak sanggup melihat itu. Bahkan dia meninju dinding rumah sakit lalu pergi meninggalkan tempat itu.
"Kau pasti kembali padaku, Naina. Tapi jika pria itu bisa menjadi mainan untuk menghiburmu sementara waktu, aku ikhlaskan."
Naina sendiri langsung menolak dekapan Ayan.
"Aku wanita kuat, jangan mengasihaniku." Ujar Naina dengan senyuman tenang.
"Aku tahu. Hanya ... jika kau butuh sandaran, maka dada dan pundakku ini ... siap sedia." Katanya sambil menepuk dadanya.
Naina hanya tertawa, masih mengira pria itu hanya sedang bergurau seperti biasa. Menggoda dan menghibur seperti selama ini.
***
"Ada banyak yang kami lewati ya?" tanya Geet ketika mengunjungi Naina di apartemennya. Setelah Nandu sembuh dan dibawa pulang, kembali ke apartemen lama yang diberikan rumah sakit.
"Maaf, aku hanya tidak ingin melibatkan kalian. Kalian temanku, tapi ... urusan rumah tangga, tidak sebaiknya aku ceritakan pada kalian kan?" Naina menarik nafas dalam.
"Kami tahu, saat Anu mengaku hamil. Aku kesal sekali, bahkan aku memakinya saat itu. Tapi, ya mau gimana? Kami kan hanya teman." Ujar Geet lagi.
"Bagaimana kabar Anu sekarang?" tanya Naina pada kedua temannya.
"Lost contact. Kami tidak lagi berhubungan dengannya." Jawab Kia santai.
"Semoga dia baik-baik saja, paska ...." Naina tak melanjutkan kalimatnya.
"Kami tahu, kami juga marah dan kecewa padanya. Karena itu menjauhinya." Jawab Kia lagi. "Dan sekarang, masalahnya apa lagi dengan tuan muda Nanda itu?"
Naina tersenyum sambil memalingkan wajah, menarik nafas dalam lalu menatap kedua sahabatnya. "Bisa tidak membahas itu?"
Kia dan Geet hanya saling pandang dan mendelik seperti biasa. Dia faham betul temannya ini lebih senang menelan penderitaannya sendiri.
"Oh ya, lusa kami mau menemui Rohan. Dia berulang tahun kan? Kau pasti juga lupa padanya." sindir Geet dengan seringaian jahil.
Naina mengangguk lemah. "Untuk pertama kalinya, aku benar-benar telah melupakan pria malang itu. Karena hatiku telah dipenuhi oleh ayah dari anakku." katanya dengan melebarkan matanya, mencoba menahan air mata agar tak keluar.
"Terkadang, saat ini kau harus berperang melawan keegoisanmu sendiri. Menurutku, Veer tak sepenuhnya salah. Dan kau bisa kukatakan salah karena apa-apa kau luapkan dengan sebuah perpisahan. Meninggalkan rumah." Omel Kia.
"Kenapa jadi aku yang salah?" Naina melotot.
"Haisss ... sudah. Besok jam makan siang. Di apartemen Rohan." Teriak Geet melerai kedua temannya itu.
Kini, Naina hanya mendelik kesal pada Kia. Sementara Kia cekikikan sambil menutup wajahnya dengan rambut Geet. Dan sudah tentu Geet juga mengomel sambil menarik rambutnya. Ketiganya kini makan sambil bergantian menggendong Nandu yang tidak mau ditaruh di ranjangnya.
Setelah kedua temannya pulang, Naina menatap setiap barang yang ada. Semua adalah pemberian Veer, menurut Tani awalnya penuh sekali. Tapi karena sesak sebagian boneka diserahkan adiknya itu pada anak-anak yang bermain di luar apartemen.
Senyum tipis mengembang di bibir Naina, lalu matanya tertuju pada foto dirinya dengan Veer. Foto yang diambil Arav, dengan Veer memeluknya dari belakang sambil memegang perut besarnya. Tak terasa airmatanya mengalir kembali, segera dia hapus dan teralihkan karena rengekan Nandu yang kembali terbangun.
***
Veer diam-diam selalu mengawasi Naina seperti dulu. Tak berani menemuinya, namun selalu memandangnya dari jauh. Seperti hari ini, dia melihat Nina sibuk membawa perlengkapan Nandu ke dalam mobil. Dia tersenyum saat putra tampannya itu tampak sudah sehat, timbul keinginannya untuk mendekati mereka.
Tapi langkahnya terhenti saat melihat pria yang membawakan box makanan di belakang Naina. Ayan, ya pria itu menemani Naina untuk pergi ke rumah Rohan. Bahkan dia yang menyetir dan Naina duduk di kursi sebelahnya.
Tangan Veer mengepal kuat. Dia segera memasuki mobil sport-nya dan mengejar mobil Naina dan Ayan. Dia sendiri terkejut ketika melihat mobil itu menuju apartemen Rohan. Setelah memarkirkan mobil, dia mengikuti Naina yang berjalan ke taman belakang apartemen. Tampak Rohan, Geet dan Kia sudah disana.
"Hai, Nandu ... muaah." Geet langsung lari dan mengambil Nandu dari pangkuan Naina.
"Hmm, kenalkan ini ... Ayan." Naina membuat ketiga orang itu terdiam saling pandang. "Dia,..." Naina menatap Ayan yang tersenyum padanya. "Pasienku. Tapi sekarang jadi temanku." Ujar Naina lagi. "Dan Ayan, ini Geet. Ini Kia, dan ini ... Rohan."
"Hai semua!" Ayan mengulurkan tangan pada mereka.
Rohan hanya tersenyum dan menatap Ayan untuk beberapa saat. Dia bisa menangkap kegilaan Ayan pada Naina hanya dari sorot matanya saja.
Sementara Veer tak berani mendekat, dia hanya menyaksikan dari tempat lain. Memperhatikan bagaimana Ayan telah menjadi pesaingnya dan bukan lagi Rohan. Terlebih di depan Rohan pun dia berani menunjukkan perasaannya pada Naina, karena berulang kali membantu membetulkan rambutnya.
Rohan hanya tersenyum kecut sambil sesekali bercanda.
Bersambung #11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel