Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 06 Januari 2022

Purnama di Balik Awan #11

Cerita Bersambung


"Apa, kau masih mencintai suamimu?"

Naina menoleh dan menatap Ayan, lalu tersenyum dengan sangat manis.

"Ayan, kau tahu siapa yang kau temui tadi? Namanya Rohan." Ujar Naina.

Ayan mengangguk, dan terus menyimak dengan seksama. Dia penasaran dengan isi hati Naina, apakah dia masih bisa masuk ke dalamnya?

"Rohan dan aku hampir menikah." Lanjut Naina. Membuat Ayan terbelalak dan menatap tak percaya.
"Tapi, dia mengalami kecelakaan. Rohan meninggalkanku di pelaminan karena enggan mengabarkan tentang apa yang menimpanya. Hingga kami dipertemukan kembali saat aku sudah menikah dengan Veer." Naina menarik nafas dalam. "Kau tahu bagaimana aku bisa menikah dengan Veer?" Naina kembali menatap Ayan yang bingung. "Aku menggantikan Tania, adikku yang lari di hari pernikahannya dengan Veer, bersama pria lain."
Ayan hampir menganga mendengar cerita itu. Dia sungguh tak pernah menduga dengan semua yang dia dengar. Dia menunduk, mencoba mencerna apa makna dari itu semua.

"Saat itu, hatiku masih mencintai Rohan. Kami saling mencintai. Tapi Tuhan tidak mentakdirkan kami bersama. Namun, malah mengirim pria yang tak pernah kukenali sebelumnya sama sekali. Masuk begitu saja dalam kehidupanku. Aku begitu membencinya, karena dia tidak pernah mencintaiku." Kenang Naina dengan sedikit isakan. "Tapi, dia suamiku. Ya, dia suamiku ... aku berusaha menghormati sumpah yang kuucapkan atas nama Tuhan, bahwa kami menikah karena Tuhan. Jadi ...." Naina menarik nafas cukup lama, membuat jeda untuk menguatkan hatinya.

Sementara Ayan hanya diam, dia tak menyangka Naina mengalami petualangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

"Perbedaan cintaku pada Rohan dan Veer. Aku mencintai Rohan berawal dari persahabatan, dan aku mencintai Veer ... dengan proses yang panjang diantara kebencian, namun ... aku tak pernah menyangka bahwa justru cintaku lebih besar pada Veer dan berhasil melupakan Rohan."
Ayan menoleh dengan cepat. "Atau, karena terlanjur memiliki anak?" tanyanya penasaran.
Naina menggeleng, "Kebersamaan membuat cinta datang karena terbiasa. Tapi ... uniknya, meski aku sangat marah padanya seperti sekarang, aku selalu merasa sakit dan gelisah karena merindukannya. Dan aku selalu berharap dia muncul di hadapanku, memintaku kembali, karena meski aku memintanya pergi, sesungguhnya aku hanya ingin dia tahu bahwa aku ingin dimengerti." Isakan Naina pada akhirnya terdengar jelas.

Ayan memejamkan mata. Dia sekarang sadar, bahwa tak pernah ada harapan baginya di hati Naina. Dan doa-doanya adalah kesia-siaan. Dan mungkin hanya menjadi cobaan yang menguatkan cinta mereka.

"Aku mencintainya, dan masih tetap mencintainya. Tapi aku masih marah padanya. Itu saja."

Ayan mengangguk, lalu menarik Naina ke dalam pelukannya. Sementara di tempat lain, Veer memejamkan mata. Karena dia hanya melihat tanpa mendengar, lalu pergi dengan menyeka sudut mata.

"Mungkin kau telah menemukan tambatan hati yang baru. Yang lebih bisa memahamimu, dan selalu membuat tawa bagimu." Veer menyandarkan kepala di kursi mobilnya sambil berulang kali memejamkan mata, berusaha agar tak tumpah airmatanya.

Lalu pergi meninggalkan apartemen yang ditinggali Rohan, dan menjadi pengakuan kesetiaan bagi Naina, sekaligus memupus harapan untuk Ayan, namun menjadi tempat yang kelam di mata Veer.
Dia tak sempat melihat penolakan Naina pada rengkuhan Ayan.
***

Kembali ke rumah, Ayan tampak gelisah. Berulang kali memegangi dadanya yang terasa sesak dan sakit. Hingga ayahnya bertanyapun, dia abaikan.

'Aku mencintainya dan masih tetap mencintainya.'

Kalimat itu terngiang kembali di telinganya.

"Dia hanya menganggap kau pasien yang harus dikasihani, Ayan. Bagaimana kau bisa berfikir bahwa dia mencintaimu?" Katanya, berbicara sendiri dengan nafas yang cepat namun terlihat menyesakkan.
"Tapi aku mencintaimu, Naina!!!" teriaknya diikuti erangan kesakitan yang membuat orang tuanya terkejut dan panik.

Mereka mendobrak paksa kamar Ayan dan menemukan anaknya sedang kesakitan. Dengan bantuan kerabat dan tetangganya, mereka segera membawa Ayan ke rumah sakit. Mereka juga menghubungi Naina karena mendapatkan kontak pribadi Naina dari ponsel Ayan.
Naina berada di restoran dengan teman-temannya untuk makan malam, Kia dan Geet terus bercanda menggoda Nandu yang kini semakin cerdas. Sementara di sudut lain, seorang pria yang tengah meeting dengan beberapa rekan bisnis dan seorang model tampak tersenyum melihat istri tercinta dan anaknya berada disana.

"Tuan Nanda, anda mendengar ide kami kan?" tanya sang manajer keheranan.
"Oh, ya. Sorry aku sedang tidak fokus. Jadi bagaimana?" tanya Veer kembali berusaha mendengarkan proyek iklan baru mereka.
"Sepertinya anda tidak fokus, pikiran anda bersama orang lain?" goda sang model cantik yang bernama Divya San.
"Tidak. Hanya sedang merindukan istri dan anakku saja." Ujar Veer jujur sambil kembali melirik ke arah Naina yang kini menyadari keberadaan Veer.

Pandangan mereka bertemu, dan saling pandang cukup lama. Veer merapatkan matanya dengan lembut, memberi isyarat bahwa dia merindukan istrinya itu. Sementara Naina hanya mencoba melihat ke arah lain. Dan ketika kembali menoleh Veer, dia melihat sang model tengah membisikkan sesuatu lalu tertawa manja. Dan Veer tertawa sambil mengacungkan jempol. Entah apa yang mereka bicarakan.
Namun lamunan Naina terganggu dengan panggilan teleponnya.

"Ayan?" tanyanya ketika nama Ayan muncul.

Namun ternyata itu orang tua Ayan, mengabarkan Ayan keskitan lalu tak sadarkan diri dan sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Naina tampak panik karena tidak melihat tanda-tanda Ayan sakit mengingat seharian bersama dirinya.

"Kalian bisa rawat anakku dulu? Ayan pingsan dan aku harus ke rumah sakit." Ujar Naina pada Geet dan Kia.

Mereka mengangguk dan Naina segera menyambar tasnya. Lalu kembali dan mencium Nandu.

"Sorry sayang, mama harus menolong nyawa orang dulu. Baik-baik dengan aunty-aunty bawel ini ya." Katanya diikuti protes dari Geet. "Nanti bawa pulang ke apartemenku, ada ibu disana. Dan jangan berikan pada siapapun." Katanya melirik ke arah Veer yang tengah keheranan melihat Naina meninggalkan anaknya pada kedua temannya.
Naina menerima panggilan dari rumah sakit lagi. "On the way." Katanya pada petugas yang menghubunginya.

Dengan setengah berlari dia keluar restoran dan mengendarai mobilnya. Sementara Veer meminta ijin rekan bisnisnya untuk menemui Geet dan Kia.

"Hai, Veer? Kau disini?" tanya Geet heran.
"Ya." Veer mengambil Nandu dari Geet dan menaruhnya di pangkuannya. "Naina ada panggilan darurat?" tanyanya pada mereka.
"Ya, teman barunya itu katanya pingsan." Ujar Geet.
"Ayan?"
"Kau tahu juga?" tanya Kia sambil melanjutkan makannya.
"Ya, dan mungkin akan menjadi the next ..." Veer menggelengkan kepala sambil mengecup kepala Nandu dengan dalam.
"Aku tidak melihat Naina mencintai pria itu. Kau tahu kan? Butuh waktu lama bagi Naina melupakan Rohan hingga akhirnya tergantikan oleh dirimu." Geet meyakinkan Veer.
"Rohan saja bisa digantikan, tentu akupun bisa bukan? Terlebih ... Naina selalu melihat ada kesalahan dalam diriku." Katanya lemah.
"Kau dan Rohan beda. Kau suaminya Veer, ayah dari anaknya." Kia menambahi. "Dia masih mencintaimu, hanya butuh waktu untuk menenangkan diri saja. Percayalah. Dan di saat dia hanya sedang memulihkan hatinya, cobalah rubah juga cara pandang keluargamu padanya. Maaf ... tapi ... sebuah hubungan akan tetap tidak imbang jika yang memperbaiki diri hanya satu pihak saja. Begitu bukan?"
Veer menganggukkan kepala. "Thanks nasihatnya."
"Maaf, bukan so bijak. Kadang ... ketika kita dalam posisi baik-baik saja, maka kita akan menemukan solusi bagi orang yang mungkin dalam masalah. Kebetulan saja aku sedang waras." Kia tertawa pada akhirnya.

Veer ikut tertawa, dan kembali memberikan Nandu pada Geet.

"Sudah malam, kalian bawa kendaran? Atau biar sopirku yang mengantar kalian ke apartemen Naina." Veer tidak ingin membawa Nandu sepihak. Dia tak mau membuat istrinya marah karena memaksa membawa Nandu tanpa ijinnya.

Kia dan Geet setuju pulang diantar oleh sopir Veer, sementara Veer menumpang mobil Divya dan manajernya.
***

Naina tiba di rumah sakit. Seperti biasa, dia serahkan tas pada asistennya lalu mengikat rambutnya dibantu para suster. Dengan berjalan cepat dia menuju ruang operasi.

"Pasien terus memegangi dada sebelah kiri dan kami pikir harus menjalani pemeriksaan lanjutan. Dari hasil sementara, ada gumpalan darah di livernya." Ujar dokter pendamping yang sudah bertugas sejak tadi.
"Siapkan saja semua prosedur operasi pembedahan. Beritahu keluarganya." Ujar Naina masuk ke dalam ruang dimana Ayan tengah mengerang kesakitan.
"Ada apa Ayan? Kenapa livermu kembali luka?" tanya Naina berusaha tenang.

Mata Ayan terbuka mendengar suara Naina, dari bibirnya tampak senyuman tipis pada sang dokter tercinta.

"Karena ...." katanya tampak lemah dan sesak. "Karena aku mencintaimu."

Jawaban Ayan membuat Naina terkejut, begitu juga suster dan dokter anastesi yang berada di ruang operasi.

"Emm ... jangan banyak bicara. Kami akan melakukan tindakan sementara untuk ...."
"Tidak!" Ayan berontak saat dokter anastesi berniat menyuntikkan obat bius. "Aku tidak mau!" dia berontak dan menepis tangan dokter.

Tangannya dengan cepat menarik lengan Naina hingga dokter itu  berada amat dekat padanya.

"Aku mencintaimu, dan kau mencintai suamimu. Ya kan?" katanya dengan terengah. "Biarkan aku mati. Karena jika aku hidup, aku akan memisahkanmu dengan suamimu." Katanya dengan tatapan tajam.

Semua kebingungan melihat kejadian tak biasa di ruang operasi itu. Sementara Naina berusaha tenang, lalu menyentuh tangan Ayan perlahan.

"Ayan, kita bicarakan setelah operasi. Oke?" Naina berusaha menenangkan Ayan.
"Tidak! Aku bilang tidak! Biarkan aku mati! Atau ya, belah sekarang dadaku dan kau akan melihat hatiku terluka karenamu. Lalu ambillah hatiku dan biarkan aku mati. Aku tidak mau hati yang menginginkanmu ini ada dalam tubuhku. Aku tidak mau!" dia terus berteriak, membuat semua panik.
"Aggggh! Dia kembali memegangi dadanya."

Melihat Nain kebingungan, dokter anastesi yang mendampingi memaksa akan memberikan suntikan untuk tetap menjalankan tindakan. Tapi Ayan semakin meronta, bahkan kini bibirnya mulai membiru dan wajahnya pucat.
Beberapa suster pria diminta masuk dan ditugaskan memegangi tangan dan kaki Ayan. Tapi dia terus meronta dan berontak.

"Aku bilang tidak, dokter! Aku tidak ingin hidup untuk menghancurkan pernikahan wanita yang kucintai!" pekiknya dengan kuat. Dan kini tampak mengejang dan tangannya mengepal.
"Ayan!" Naina berusaha menenangkannya tapi Ayan terus kejang dan matanya semakin melihat ke atas.

Wajahnya membiru dan pucat.

"Aku ... cinta ... kau ... Naina." Katanya ketika amukannya melemah, namun sebelum diambil tindakan khusus dia tampak tak bergerak lagi.

Dokter anastesi memeriksa denyut jantungnya. Dan dia menggeleng perlahan dengan memandang Naina. Sementara yang berada di ruangan itu saling pandang, menatap Naina yang tak biasanya tampak kebingungan dan panik.

"Anda jangan khawatir, semua ini tidak akan bocor keluar." Ujar dokter pendamping menatap semua petugas yang ada di dalam.

Memberi isyarat agar semua yang ada di ruang itu tidak menceritakan pada siapapu kejadian tadi.

"Dokter Prem benar. Kami tidak akan buka mulut dan tidak akan membiarkan siapapun tahu tentang kejadian hari ini." ujar seorang suster yang berada disana.
"Aku, ..." Naina tampak gugup. Dia tak menyangka bahwa Ayan akan mati di meja operasi namun tanpa tindakan apapun yang dia lakukan. Dia menyesal karena tidak bisa menyelamatkan pria yang telah membantunya.

Naina juga syok karena mengetahui Ayan mencintainya. Betul kata Rohan, seharusnya dia menjaga jarak dengan laki-laki lain. Bahwa kebaikannya bisa dilasah artikan.
Dokter anastesi meminta Ayan diperlakukan selayaknya pada petugas medis yang ada disana. Sementara dia dan dokter pendamping meminta Naina keluar untuk menemui orang tua Ayan. Untuk mengabarkan bahwa mereka gagal menolong pria malang itu.

Ibu dan Ayah Ayan berdiri ketika melihat tiga dokter keluar dari ruang operasi begitu cepat. Terlebih melihat Naina yang selalu tersenyum ceria tampak murung dan tertekan.

"Maaf, kami ... tidak bisa menyealmatkannya." Ujar dokter Prem pada orang tua Ayan.

Mereka hanya mengangguk sambil menunduk dan menangis.

"Terima kasih dokter Naina, setidaknya karena anda. Kami masih sempat memiliki waktu beberapa saat bersamanya. Karena dokter sebelumnya, mengatakan dia hanya memiliki waktu kurang dari 1 bulan saja. Dan karenamu, dia sempat merasakan hidup normal, bisa bercengkrama bersama kami seperti dulu." ujar Ayah Ayan dengan linangan airmata.
"Jangan merasa bersalah. Kami sudah tahu dia mencintaimu, dan itu salah. Dan dia, mungkin sudah selayaknya pergi. Setidaknya dia jadi tahu apa itu cinta, apa itu pengorbanan dan segala keindahan di balik rasa sakit yang selama ini mengurung hidupnya dari siapapun, dari wanita manapun yang menyukainya." Ibu Ayan kali ini mendekat, lalu memeluk Naina. "Maafkan putraku jika menyusahkanmu."

Naina menggeleng, lalu membalas pelukan ibu Ayan. Untuk kemudian kembali ke ruang kerja pribadinya. Menyeka sudut matanya yang masih juga tak bisa kering dari airmata. Mengingat bagaimana seorang pria meregang nyawa karena mencintai dirinya. Sebagaimana yang terjadi pada Rohan yang akan menikah dengannya, malah mengalami nasib naas. Dan bersama Veer, masalah selalu timbul dan tenggelam yang membuat dirinya tidak tahu harus bersikap seperti apa.

"Mungkin ini takdirku, tak layak dicintai siapapun. Veer juga hampir kehilangan nyawa dengan dua kali kecelakaan, lalu Nandu. Sebenarnya kenapa ini?" dia terisak pada akhirnya.

Dia segera mengemasi barang-barang dan surat berharga yang ada di ruangannya. Lalu mengemasnya dan membawanya ke dalam mobil. Kemudian dia kembali ke apartemen, tak banyak yang dia bahas dengan orang tua dan adiknya.
Dia sibuk memeluk Nandu. Sesekali seperti orang terkejut ketika ibunya bertanya padanya.

"Kau kenapa?" tanya ibunya heran.
"Aku, aku memutuskan keluar dari rumah sakit. Dan pergi, ke tempat baru." Jawab Naina kosong.
"Kau ini bicara apa?" tanya ibunya semakin heran.
"Aku lelah, bu. Aku ingin menikmati kehidupanku berdua saja dengan Nandu. Sambil meresapi sesungguhnya ... ada apa dengan hidupku ini? Kenapa setiap pria yang mencintaku ... terluka."
"Ya Tuhan, itu kebetulan saja, Naina. Jangan dramatis." Ibunya mengelus punggung Naina. "Kebetulan kau seorang dokter, tentu bertemunya dengan orang-orang yang tak jauh dari orang sakit, atau apalah sejenis itu semua." Canda ibunya.

Naina hanya tersenyum, dia membuka ponsel dan menatap foto Veer dan Nandu.

"Aku merindukanmu, Veer." bisiknya lembut.
"Temui suamimu, tidak baik setiap ada masalah kau lari dari rumah." Bujuk ibu.
"Masalahku beda, bu. Pernikahan kami pun beda. Apa ibu lupa bagaimana aku menikah?" Naina menatap ibunya.
"Lalu, apa semua ini benar? Kau memutuskan melanjutkan pernikahan pun kami tidak tahu. Lalu kau dalam masalah kemudian saat mereka menuduh kau selingkuh, kami juga tidak kau libatkan, dan sekarang ... nak bisakah kita diskusi dulu untuk menentukan masa depan kalian? Kami masih orang tuamu."
Naina menangis tersedu dalam pelukan ibunya. "Aku hanya ingin menenangkan diri, bu. Maafkan aku."

Ibu mengelus-elus kepala putrinya. Dia tahu Naina tidak memberitahunya agar tidak membebani pikiran orang tuanya.
***

Keluarga Veer tengah bersiap di halaman rumah mereka. Setelah semua barang hantaran masuk ke dalam mobil, tinggal Veer yang masih di dalam. Dia mengambil gelang keluarga, memasukkannya ke saku jasnya. Lalu keluar menemui anggota keluarga lainnya.
Iring-iringan kendaraan Veer sedikit terjebak kemacetan di hari minggu. Dengan sabar mereka menunggu, meski tampak jalur sebelahnya pun lebih padat mengingat banyak orang yang akan pergi berlibur. Jalur sebelahnya menuju ke bandara.

Setelah hampir satu jam terjebak macet, akhirnya mereka bisa bernafas lega. Kini mereka telah sampai di apartemen Naina. Dengan rasa tidak sabar, Veer menekan lift yang lama terbuka. Dan setelah terbuka, satu persatu dari mereka masuk termasuk Kailash yang duduk di kursi roda karena kurang sehat.
Sementara Veer menunggu lift lainnya yang masih bergerak turun.

"Veer, yang ini terbuka." Ujar Gauri.
"Ok. Ayah dan suamimu sudah tahu kan lantai berapa Naina tinggal?" tanya Veer sibuk. Dia menekan tombol tutup.
"Sudah. Tenang saja." Gauri menepuk pundaknya.

Sementara di lift yang tadi ditunggu oleh Veer, tampak terbuka dan Naina keluar bersama Nandu. Membawa tas berisi pakaian menuju parkiran.
Keluarga Veer tiba di depan pintu ruang apartemen Naina, Veer segera menekan bell dengan senyuman bahagia.
Pintu terbuka, tampak Tania sedikit terkejut melihat mereka.

"Oh, silahkan masuk." Tania mempersilahkan mereka masuk.

Lalu disambut oleh ayah dan ibu Naina yang sama terkejut dengan kehadiran keluarga kaya itu.
Kailash berdiri dari kursi rodanya, lalu mengatupkan kedua tangannya.

"Sebelum memohon maaf pada putrimu, kurasa sudah sepantasnya aku memohon maaf padamu, besan." Ujarnya pada Ayah Naina.
"Tidak, tuan Nanda." Shekar Dinanath segera menahan tubuh Kailash Nanda untuk tak menunduk padanya. "Semua hanya kesalahfahaman, keegoisan. Sudah saatnya kita meredakan semua itu." Lanjutnya dengan memeluk besannya itu.

Semua bahagia, karena akhirnya sedikit demi sedikit masalah teratasi. Namun Veer masih gelisah, karena tak mendengar suara Naina apalagi Nandu. Atau mereka tidur?

"Hmm, Veer. Naina baru saja turun untuk pergi." Tania akhirnya buka suara, mengejutkan semua orang yang berbaikan.
"Oh, benar. Dia berniat pergi. Dan tidak menyebutkan tujuan. Aku sudah mencegah tapi dia memaksa. Dia hanya mengatakan akan memberitahu kami setelah menemukan tempat yang membuatnya nyaman." Shekar tampak menyesal.

Veer segera keluar dari apartemen dan berlari menekan semua tombol lift agar bisa segera turun. Dan begitu ada lift terbuka, dia terus gelisah berharap lift tersebut tidak terhenti. Namun apa daya, di beberapa lantai ada orang naik dan turun. Hingga dia keluar dari lift dan memilih menggunakan tangga darurat. Tak peduli lelah dan pegal, dia bertanya pada security kemana Naina pergi.

"Dia menggunakan mobilnya seperti biasa." Jawab security.
"Ke arah mana?" tanyanya dengan nafas cepat.
"Ke arah kiri tuan."

Veer segera menghubungi anak buahnya, Shidart. Untuk meminta semua bawahannya mencari keberadaan Naina.

"Suruh semua anak buahmu menyebar ke stasiun, bandara dan jalanan yang biasa dilalui orang untuk pergi keluar kota." Perintah Veer pada anak buahnya.

Sementara Veer terus menyusuri jalan yang mungkin dilewati Naina. Dia juga sempat menghubungi Rohan, namun pria itu mengatakan dia sudah pergi ke Jaipur untuk tinggal disana. Veer juga menghubungi Kia dan Geet, dan mereka janjian bertemu di stasiun setelah Shidart mengecek semua penerbangan tak ada nama Naina terdaptar disana. Maka sudah pasti dia menggunakan kereta api untuk pergi.
Mereka menyebar mencari keberadaan Naina di setiap gerbong kereta yang akan berangkat. Namun mereka tidak menemukannya.
Kia dan Geet berusaha menghubungi ponsel Naina namun tidak tersambung.

"Menyebalkan sekali kalau dia sudah marah." Omel Kia sambil terus menatap kereta yang pergi. Dan tak lama kereta baru masuk. Tampak orang-orang berbondong-bondong turun.

Kia berjalan di peron kereta, menatap setiap orang yang menunggu disana. Bahkan dia menyapa seorang wanita yang menggendong anak, hanya untuk melihat anaknya. Mungkin saja Naina sembunyi dan menitipkan anaknya pada orang. Meski itu konyol dan sedikit ceroboh, tapi bisa saja terjadi kan? Bagitu pikirnya.

"Tidak ada." Kia menghubungi Geet, lalu menoleh pada Veer yang juga baru saja turun dari kereta terakhir yang mereka periksa.

Mereka menyerah, dan mengira Naina pergi dengan mobil menuju luar kota.

"Aku akan tunggu kabar dari anak buahku. Mungkin mereka menemukan Naina menuju luar kota." Katanya dengan tampak terengah karena lelah. "Kenapa dia harus pergi seperti ini?" Veer mengangkat wajah ke atas, lalu mengusapnya dengan keputusasaan.
Veer terdiam, lalu menoleh pada Geet dan Kia. "Apa dia pergi dengan Ayan?" tanyanya dengan perasaan gelisah.

Kia dan Geet saling pandang.

"Veer, Naina bukan wanita seperti itu." Geet keberatan.
"Tidak, hanya saja mereka tampak akrab. Dan beberapa hari lalu, sempat melihat kalian merayakan ultah Rohan dan dia ada disana juga." Veer berjalan menuju parkiran.
"Ya, tapi Naina tidak mengatakan dia ada hubungan spesial. Hanya menyatakan pasienku dan aku memiliki balas budi padanya. Lalu Rohan mengingatkan dia, bahwa kebaikannya bisa disalah artikan." Geet menatap Veer yang tampak lelah.
"Aku mencintainya, Geet. Hanya permasalahan orang tua kami yang mengganjal. Sekarang orang tua kami mulai saling memaafkan, tapi dia keburu pergi. Ayahku sudah luluh, dan siap meminta maaf padanya." Veer berjalan gontai, melepas sweaternya karena mulai terasa panas. "Jangan-jangan kami memang bukan jodoh." Katanya kembali menoleh pada kedua sahabat Naina.

Geet dan Kia saling tatap, lalu menunduk karena tidak tahu harus menjawab apa.

"Kalian pulanglah, maaf merepotkan kalian." lanjut Veer dengan senyuman yang berat.

Kia dan Geet masih mematung, menatap kepergian Veer yang semakin terhalang oleh kerumunan orang-orang.

"Akupun berfikir sama, mungkin kami bukan jodoh."

Geet dan Kia menoleh ke arah belakang mereka. Naina tengah menatap kepergian Veer dengan linangan airmata.

"Kau? Veer bilang ayahnya..."
"Aku tahu." Naina berjalan mendekat pada kedua sahabatnya.
"Rahasiakan keberadaanku. Aku hanya ingin menyendiri, mencari jawaban dari setiap kejadian yang menimpaku. Urusan hati, selalu terasa rumit bagiku." Naina menatap kedua sahabatnya. Dan mereka menganggukkan kepala.

==========

Bulan berganti, Veer masih setia pada pencarian akan istrinya. Hampir setiap rumah sakit dia datangi, mencari tahu keberadaan Naina yang seorang dokter. Dalam pikiran Veer, Naina pasti akan mencari pekerjaan ke rumah sakit atau klinik.
Hampir seluruh rumah sakit dan klinik di India datangi oleh Veer atau anak buahnya, untuk mencari dokter Naina. Tapi tidak ditemukan dimanapun. Hingga Veer semakin merasa putus asa. Pekerjaannya terbengkalai, bahkan dia sedikit emosional ketika digosipkan dengan model yang pernah bekerja untuknya. Hanya karena sempat satu mobil.

"Veer, kau sedang apa?" tanya Gauri ketika masuk ke kamar Veer dan hanya terdengar air mengalir deras dari kamar mandinya.

Veer memang sedang melamun, tak menyadari air shower terlalu deras hingga terdengar keluar dan terbuang sia-sia. Namun pukulan tangan Gauri ke pintu kamar mandinya, membuat dia tersadar. Segera dia mengambil handuk, mematikan shower dan membuka pintu.

"Aku tertidur." Jawabnya singkat.
"Dasar konyol." Gauri tertawa. "Kami sudah siap. Kau ikut kan?" tanya Gauri membantu mengambilkan pakaian adiknya.
"Kurasa tidak." Katanya lemah.
"Ayolah, Veer. Sejak kecil kau senang naik kereta. Pasti pergi ke Chennai dengan kereta akan sangat menyenangkan." Gauri menatap adiknya yang kini tampak selalu murung.

Veer hanya mengangguk. Lalu memakai kaos tak lupa mengenakan sweater karena memasuki musim hujan udara cukup dingin. Hingga harus selalu menggunakan jaket atau baju tebal.
Di bawah, tampak keluarganya telah menunggu. Pun dengan mobil yang sudah menanti mereka.
Namun ketika Veer sudah masuk mobil, dia dihubungi ada masalah dengan iklan yang mereka buat. Kantor pajak mengklaim belum menerima pajak dari mereka.

"Ah, shit!" Veer mengumpat kesal. Lalu menghubungi bagian perpajakan di perusahaannya. Ternyata ada miss komunikasi dengan pihak pajak pemerintah.
"Kau menyusul saja, Veer. Selesaikan dulu. Tapi harus datang. Kau tahu kan, Oberoi adalah rekan bisnis kita yang paling banyak bekerja sama. Jadi jangan sampai tidak datang." Ujar Kailash menatap Veer yang gelisah.

Veer mengangguk, dia keluar dari mobil keluarga dan mengendarai mobil sportnya menuju kantor. Menyelesaikan pekerjaannya. Sementara keluarganya mengabarkan telah naik kereta ke Chennai karena tak bisa menunggunya.
Veer memutuskan akan naik kereta malam menuju Chennai, setelah pekerjaannya selesai. Dan ternyata masih ada ketidakcocokkan antara data perusahaannya dengan pihak dirjen pajak.
Terpaksa dia mengatakan akan datang esoknya langsung ke acara pernikahan.

"Besok saja aku naik kereta pertama, dan langsung ke lokasi. Kau siapkan saja pakaianku." Katanya pada Gauri ketika dia kembali ke rumah.
"Bajumu tidak ada, Veer." Gauri membongkar tas Veer.
"Ah, kau lupa memasukkan bajuku." Omel Veer ketika mendapati jas putihnya masih ada di lemari pakaian.
"Ya sudah, besok langsung pakai saja." Gauri hanya cengengesan. "Makanya punya istri. Ups." Gauri segera mematikan telepon sebelum adiknya marah-marah karena ejekannya.

Sementara Veer membuang nafas kasar.

"Aku punya istri, bodoh. Kau lupa ya, kak." Omelnya dengan suara pelan.

Dia memejamkan mata meski sulit, entah kenapa hatinya terasa gelisah malam ini. Dia dan istrinya sudah hampir dua tahun tak bertemu. Dan pasti Nandu sudah sangat besar.
Tak terasa Veer menitikkan airmata, menyesali bahwa dia tidak pernah bisa jadi suami dan ayah yang baik untuk mereka.

"Maafkan papa, Nandu." Bisiknya sambil menatap foto Nandu ketika masih bayi.

Hingga pagi menjelang, dia masih kesulitan memejamkan mata. Dan ketika tersadar sudah pagi, dia segera mandi dan mengenakan pakaian pesta. Dengan cepat dia menuju mobil sportnya dan tancap gas menuju stasiun.
 

 Setelah mendapatkan tiket dari anak buahnya yang sudah siap disana, dia segera naik kereta menuju Chennai. Selama perjalanan dia tersenyum memandang foto istri dan anaknya di ponsel.
Hingga keanehan terjadi pada kereta yang dia tumpangi. Veer berdiri dan berjalan menuju pintu keluar untuk memastikan ada apa. Ternyata jembatan yang dilewati kereta mengalami kerusakan, hingga kereta harus berjalan perlahan. Semua menatap ke jendela dengan ngeri, sementara petugas memandu masinis untuk terus melewati bagian jembatan yang rusak secara perlahan.
Namun tak disangka, keretakan melebar hingga membuat petugas berhamburan menyelamatkan diri. Sementara kereta sudah terlanjur ada di tengahnya. Semua panik dan histeris berharap diselamatkan. Veer ikut turun dari kereta dan membantu anak-anak di dalam kereta untuk berjalan perlahan keluar dari kereta dan melewati jembatan.

"Anak-anak prioritaskan, lalu wanita!" Teriak petugas dengan kepanikan.

Satu persatu anak-anak dan wanita melewati jembatan, dan ketika para pria mencoba melalui terjadilah saling cekcok karena ingin lebih dulu dengan alasan anak istri mereka sudah disana menanti. Dan seketika itu, jembatan roboh membuat kereta dan sisa penumpang pria terperosok dan terjun bersama ke sungai yang deras.
***

Kailash mendapat kabar kereta Veer kecelakaan dari Shid yang tidak ikut naik. Mereka menyalakan televisi, dan benar tim SAR tengah melakukan evakuasi para korban.

"Cepat kesana dan cari tahu Veer!" Kailash memegangi dadanya yang sesak.

Menantunya yang tak lain suami Gauri, segera meluncur ke lokasi. Dia mencari tahu keberadaan Veer, namun belum ditemukan. Total lima orang yang belum ditemukan dan kemungkinan hanyut terbawa derasnya air sungai.
Kailash lemas, dan istrinya menangis histeris. Mereka membatalkan kehadiran di pesta pernikahan keluarga Oberoi. Semua berduka, semua menangis.

Sementara di sebuah desa tampak penduduk berkerumun membawa korban yang mereka temukan hanyut di sungai. Mereka mengangkat tiga korban yang mereka sendiri tidak tahu masih hidup atau sudah tiada, dengan traktor lamban mereka yang biasa diperuntukkan untuk mengangkut hasil bumi.
Tiba di rumah sakit kota tersebut, para korban langsung dibawa ke ruang UGD dan mendapat bantuan tim dokter disana.

"Mereka masih hidup." Ujar petugas yang segera memasang selang oksigen, lalu infus di tangan para korban.
"Dokter Naina, pasien ini paling parah. Sepertinya dia tertimpa benda berat hingga banyak luka di hampir semua bagian tubuhnya." Ujar suster yang tengah membersihkan luka para korban.
"Veer?" Naina menatap pria yang berada di meja operasi di hadapannya.

Entah kenapa pikirannya sedikit mengalami dejavu, mengingat bagaimana kepergian Ayan yang tepat di hadapannya. Jika dulu Ayan menolak dia selamatkan, berbeda dengan Veer dia tak sadarkan diri bahkan diambang kematian. Sama seperti Nandu ketika itu.

"Dokter, Anda baik-baik saja?" Tanya suster yang heran melihat Naina menatap kosong.

Naina segera teradar, dengan cepat dia memeriksa semua kondisi Veer, dan menyedot air yang sempat masuk ke dalam tubuhnya.

"Pasang selang ini, dan pastikan jantungnya tetap berdetak. Pantau terus." Katanya dengan panik namun tetap konsentrasi.

Keringat bercucuran di kening dan lehernya. Menandakan dia sangat panik, namun kepanikannya memudar saat detak jantung Veer yang sempat melambat mulai normal. Bahkan dia sempat terbatuk dan mengelurkan air kotor dari mulutnya.

"Veer, bertahanlah." Katanya dengan mengerjapkan mata. Berharap airmatanya tidak keluar saat ini.
"Dia? Anda kenal dia?" tanya dokter pendamping.

Naina menyuntikkan obat terakhir ke selang infus Veer, dan menatap wajahnya.

"Dia ... suamiku."

Semua tertegun mendengarnya. Mereka hanya saling pandang, tak berani berkomentar apalagi bertanya kenapa mereka bisa berpisah.
Selama ini mereka heran, karena Naina sangat tertutup. Dia tinggal di kota kecil itu cukup lama, tapi baru melamar pekerjaan ke rumah sakit sebagai dokter setelah satu tahun tinggal disana. Dan mereka sangat kagum dengan CV yang Naina ajukan. Dia adalah dokter terbaik yang ada di India. Namun dia enggan menyebutkan alasan pindah dari rumah sakit elit kota besar ke kota kecil ini.
Namun pihak rumah sakit tak ambil pusing, mereka senang kehadiran dokter hebat dengan track record hampir sempurna. Hingga mereka tak pernah bertanya kenapa Naina hanya tinggal dengan seorang anak tanpa ayahnya. Mereka hanya merasa itu adalah privasi sang dokter.
Dan kali ini terjawab, Tuhan mempertemukan mereka kembali dengan cara yang tak pernah mereka duga.

"Veer, maafkan aku." bisik Naina ketika semua telah berjalan normal. Hanya tinggal menunggu Veer sadar, meski mungkin butuh waktu berjam-jam efek obat penenang mengingat lukanya cukup parah agar dia tak merasakan sakit.

Naina menatap suaminya yang tampak pucat dan lusuh. Cambang tebal hampir menutupi wajahnya ketika pertama kali dibawa oleh para petani. Kini lebih rapi karena dipotong untuk memudahkan pengobatan.
Naina meremas jari jemari Veer dengan lembut. Memberikan energi positif agar dia segera sadar dan kembali tersenyum padanya.

"Maafkan aku."

Hanya dua kata itu yang terus meluncur dari bibir indahnya. Disertai isakan lembut dan lelehan bening di pipi. Baru kali ini dia benar-benar merasa ketakutan. Takut kehilangan suaminya.
Andai ... andai kemarin tak egois. Andai membiarkan suaminya menemukannya saat dia baik-baik saja. Selama ini dia selalu menolak jika orang tuanya mengabarkan Veer datang mencari tahu keberadaannya. Dia masih butuh waktu, dan kini dipertemukan dengan cara yang menakutkan.

"Maafkan aku." Lagi, dua kata itu keluar saat Naina mengingat hari demi hari kebersamaan mereka hingga kemudian berpisah.

Meski dia beberapa kali melihat suaminya di televisi. Memberikan klarifikasi seputar hubungannya dengan seorang artis.
Veer tegas mengatakan bahwa hanya ada satu wanita dalam hatinya. Yaitu istrinya.
***

Kailash mendapat kabar ditemukannya Veer di kota kecil tak jauh dari Chennai, mereka segera menuju rumah sakit dimana Veer dirawat.

"Maaf, dokter masih di dalam sedang memeriksanya kembali." Ujar petugas ketika Kailash dan keluarganya tiba dan hendak masuk ke ruang rawat Veer.

Sudah tiga hari Veer tak sadarkan diri. Dan Naina tetap setia merawatnya. Dia hanya pulang untuk menemui Nandu. Karena tidak mungkin dibawa ke rumah sakit.
Naina mendengar suara ayah mertuanya, dia memejamkan mata. Siap tidak siap, dia harus bertemu kembali dengan mereka. Dengan orang-orang yang sempat dia benci. Tapi, ketika dia sadar cintanya untuk Veer maka dia pun harus menyisakan cinta untuk keluarganya.
Naina mengusap sudut matanya, lalu menarik nafas dalam dan membuka pintu.
Semua terkejut melihat Naina, namun ibu mertuanya langsung histeris memeluknya. Begitu juga Gauri, tak kuasa menahan haru dan bahagia karena yang menyelamatkan Veer adalah istrinya sendiri. Seorang dokter terbaik yang mereka yakini akan mampu menyelamatkan dengan cara apapun.

"Tuhan mengembalikannya padamu, seharusnya kami sadari sejak dulu." Ujar Kailash dengan suara berat.

Naina menatap ayah mertuanya, lalu mendekat dan menyentuh kedua kakinya lalu merapatkan kedua tangan di dada.

"Maafkan aku, ayah." Ujar Naina.
"Tidak, nak. Akulah yang harus meminta maaf. Karena aku, kalian harus melewati kisah sulit ini. Dan anakku, harus menjadi korban dari keegoisanku." Kailash mendekap erat menantunya lalu melepaskannya dan hendak bersujud meminta maaf.
"Tidak, ayah. Jangan lakukan." Naina kembali memeluk ayah mertuanya sambil menangis.

Semuanya hanya bisa menangis, menyaksikan dua orang yang selama ini sangat keras kepala akhirnya menyadari kesalahan mereka. Meski terlambat, karena harus menunggu orang yang mereka cintai berada dintara hidup dan mati.
Kini mereka hanya harus menunggu Veer sadar dan ikut merasakan kebahagiaan. Dan sementara menunggu Veer sadar, Kailash dan keluarganya tinggal di rumah Naina, dan sudah hampir 37 jam lebuh dia belum juga menunjukkan tanda-tanda membaik.

Naina kembali memeriksanya, memastikan semua baik-baik saja. Semua alat terpasang dengan benar, begitu juga detak jantung sudah sangat normal.
Ketika Naina hendak pergi, tangan Veer menahannya dengan erat. Dan matanya terbuka perlahan. Naina tersenyum melihatnya, segera mengecek kembali kondisi Veer yang kini penuh dengan luka dan perban.

"Hai, dokter cantik." Suara serak itu menggoda seolah dia baik-baik saja.

Naina menatapnya dengan tatapan rindu namun juga tak menyangka dengan kalimat pertama yang dia dengar.

"Dasar nakal." Bisik Naina dengan mendekat ke dekat kepala Veer. Mengecup pelipisnya yang tak terhalang perban.

"Sepertinya kau menyuntikkan obat tidur terlalu banyak. Aku jadi sulit bangun. Padahal ingin sekali memelukmu." Veer tetap tersenyum meski suaranya masih serak.

Naina tertawa dan mengelus jari jemari Veer dan menatap wajahnya. Lalu memeriksa beberapa luka yang kian membaik.

"Kau tahu ... sayang, aku hampir akan pergi. Jika bukan karena suaramu itu." Bisik Veer lemah, menatap wanita tercintanya dengan penuh kerinduan.

"Ketika tubuhku terlempar dari jembatan, aku sudah pasrah akan hidupku. Begitu juga ketika air deras menyeretku dan memaksa masuk ke dalam kerongkonganku. Setelah itu aku lemas, aku hanya mendengar riak air dan teriakan orang-orang yang kemudian mengangkat tubuhku." Katanya lagi. "Kupikir itu adalah akhir dari semua, meski aku tidak rela karena belum bertemu denganmu dan Nandu. Hingga aku mendengar suara itu. Suara yang selalu terngiang di telingaku setiap saat, suara yang begitu indah, suara yang selalu kurindukan. Saat itu aku berteriak, aku ingin hidup! Aku ingin hidup dan ingin memelukmu. Aku tidak ingin pergi ...."

Naina hanya mengusap airmatanya, lalu mencium tangan Veer yang terus tersenyum.

"Setiap hari aku mendengar suaramu. Tapi aku kesulitan menggerakkan badanku. Aku ingin memelukmu. Dan menutup bibirmu agar tidak meminta maaf terus padaku." Veer menatap wajah istrinya yang terisak dengan airmata yang menganak sungai.
"Bicaralah ... aku merindukan suaramu." Suara Veer sudah lebih jelas.

Naina hanya menggeleng pelan. Sambil mengecup tangan suaminya tanpa jeda. Menghirupnya dengan segenap rasa cinta.

"Aku juga mendengar ayah datang, dan kalian sudah baikkan. Aku ingin sekali segera bangun, tapi aneh, tubuhku kaku sekali. Lemas. Mungkin efek obat dokter cantik yang terlalu banyak." Keluhnya dengan wajah menggemaskan. "Aku akan menuntutnya."
"Sudah, kau pasien tercerewet yang pernah ada." Omel Naina dengan mata sembab. Akhirnya dia buka suara setelah sejak tadi hanya diam dan menangis.
"Aku akan menuntut dokter seksi itu, dengan hukuman seumur hidup bersamaku." Tegas Veer sambil membetulkan lehernya.
"Kau berani?" Naina mendekat dengan menaikkan posisi ranjang hingga Veer sedikit duduk atau bersandar.
"Sure." Bisik Veer menatap mata istrinya. "You're so sexy." Pasien ini seolah tak peduli kondisi fisiknya yang penuh luka.

Naina tersenyum, dia teringat betapa Veer selalu cemburu membayangkan pasien-pasiennya yang mungkin memandang dia sebagai dokter yang cantik. Dan entah kenapa, sepertinya ini waktu yang tepat untuk membahagiakannya, memenuhi keinginannya.

"Mungkin ini jawaban doamu untuk bisa bermesraan dengan seragam dokterku." Goda Naina, mereka seolah lupa sedang berada dimana.

Veer tersenyum menang dengan menatap mata istrinya yang semakin terasa dekat. Dan kini terasa kecupan hangat di bibirnya. Membuat tubuhnya semakin terasa lemah tapi juga membara, meski hanya sentuhan kecil saja.

"Dokter nakal. Mana boleh melakukan itu pada pasien." Veer tersenyum penuh kemenangan. "Tapi aku merindukan aromamu ini, sangat menggodaku. Wangi antiseptik."
"Hahaha, Veer dasar bodoh." Naina menampar perlahan pipi Veer yang diikuti tawa suster yang ada disana.

Naina dan Veer menoleh ke belakang sang dokter, tampak para suster masih disana. Tawa Naina seketika terhenti dan menatap bingung juga malu.

"Se ... sejak kapan kalian disini?" tanya Naina dengan segera berdiri dan merapikan rambut sebagai pengalihan rasa malu.
"Sejak anda masuk, dok. Kami kan biasa menemani anda memeriksa pasien-pasien." Jawaban suster paruh baya itu dengan merona dan menahan tawa.

Naina seketika tertawa menutup wajahnya, lalu menatap Veer yang merasa senang melihat tawa istrinya yang selalu rindukan. Terlebih ketika tawa itu sambil kemudian menutup wajahnya, sangat menggemaskan.

"Dia suamiku." Katanya dengan malu-malu.
"Kami tahu, dok." Goda mereka diikuti gelak tawa yang lain.

Naina segera keluar dari ruangan Veer dengan terus tertawa menahan malu. Membuat Veer terkekeh meski harus menahan sakit di beberapa bagian tubuhnya.
Sementara suster paruh baya tadi masih di kamar Veer, mengambil beberapa peralatan yang sudah tak terpakai. Dan menoleh pada Veer yang tersenyum padanya.

"Anda beruntung sekali, tuan." katanya dengan senyuman menggoda. Membuat Veer mengangguk dengan rona bahagia yang enggan hilang dari wajahnya.
***

Akhirnya Veer sudah bisa pulang, dan sudah tentu tidak langsung kembai ke Mumbai. Melainkan ke rumah mungil Naina di kota kecil tersebut. Tampak keluarganya sudah berada disana, menantikan kedatangan Veer dengan Naina. Sementara Nandu tampak nyaman digendongan kakeknya.
Bukan Cuma keluarga Nanda, orang tua Naina pun datang setelah diberitahu keberadaan Naina oleh Gauri. Mereka datang kesana ditemani Tania dan Arav.

"Rasanya sempurna sekali hari ini." ujar Gauri, dia mengambil ponselnya dan memotret beberapa moment yang sedang berlangsung. Seperti ketika Naina menyuapi Veer, lalu Kailash dan Shekar bermain dengan Nandu bahkan sedikit berebut cucu mereka. Lalu Tania dan Arav yang membantu para ibu menyiapkan makanan, mereka berencana membuat kambing guling sebagai perayaan.

Rumah kecil dengan halaman luas itu Naina sewa dengan uang tabungannya, juga menjual mobilnya. Itulah alasan dia tidak bertemu dengan Veer di stasiun kala itu, karena dia menjual dulu mobilnya. Kemudian naik kereta menuju Chennai dan turun di stasiun kecil kota ini.
Sementara waktu, dia tidak melamar pekerjaan sebagai dokter. Karena dia yakin, Veer akan menggunakan koneksinya sebagai orang terpandang untuk mencari keberadaannya. Itu benar, Veer tak menemukan Naina meski setelah enam bulan perpisahan mereka, di rumah sakit manapun.
Dia hanya bekerja sebagai pelayan di sebuah toko obat untuk kehidupan sehari-harinya, dia benar-benar seperti tidak memiliki masa depan. Hanya menenangkan pikiran saja.

Hingga terjadi sebuah kecelakaan, dimana pemilik toko obat tempat dia bekerja mengalami stroke dan jatuh di kamar mandi. Beruntung Naina yang menemukannya, dan dengan cepat dia menangani pemilik toko itu dengan peralatan seadanya. Dan tuannya itu selamat, serta sangat terkejut dengan kegesitan Naina menangani dirinya. Begitu juga para apoteker yang bekerja disana, tidak menyangka pelayan bagian kasir itu sangat gesit mengobati seorang pasien.

"Sebenarnya, aku seorang dokter." Kata Naina ketika tiba di rumah sakit dan ditanya bagaimana dia berani mengambil tindakan sembarangan sementara dia bukanlah seorang petugas medis.

Semua tercengang ketika Naina memberikan bukti-bukti berupa surat resmi pengangkatan dan ijin praktek dari pemerintah. Bahkan pernah bertugas di rumah sakit besar di Mumbai.

"Aku hanya sedang menenangkan diri, sedikit lari dari masalah pribadi." Katanya lagi ketika semua orang merasa heran.

Setelah itu dia diminta bertugas di rumah sakit tersebut, dengan momohon ... direktur rumah sakit bahkan rela membayarkan sewa rumah yang Naina tinggali karena memang hanya setahun masa sewanya. Akhirnya Naina menerima, dan saat itu Veer sudah menyerah mencarinya di semua rumah sakit dan klinik.

"Kau tidak tahu, aku mencarimu sampai ke seluruh India." Veer menyandar di kursi malas taman sambil memandang Naina yang tengah menjemur pakaian dan beberapa helai kain bekas ompol Nandu.
"Drama, memangnya kau berkeliling India langsung? Kau hanya menghubungi rumah sakit dan klinik seluruh India kan?" cibir Naina sambil memasang penjepit ke kain.
"Aw!" teriak Veer.
Naina menoleh dan heran. "Kau kenapa?"
"Hanya membayangkan jadi kain itu, dijepit dengan penjepit." Goda Veer membuat Naina mendelik dan berbalik kembali memasang penjepit ke kain.

Lalu menaruh box cucian dan mendekat pada suaminya yang tersenyum menyambut kedatangannya. Menarik tangannya, hingga Naina duduk di pangkuannya. Rambut panjangnya dibiarkan terurai ditambah kaos putih yang membuatnya semakin terang dan menggoda.

"Kau sangat cantik." Bisik Veer seolah enggan berkedip memandang istrinya.
"Apa kau baru menyadarinya?" Naina merundukkan tubuhnya, hingga wajahnya seolah berada di atas suaminya sedikit saja.
"Sejak lama, tapi setiap kali melihatmu, seperti baru menyadarinya. Kemudian aku selalu seperti baru merasakan jatuh cinta." Bisik Veer dengan senyuman tulus.

Naina tersenyum senang, lalu mencium hidungnya, kemudian mengecup keningnya. Lalu membalikkan badan, merebahkan diri di dada suaminya. Sementara Veer memeluknya penuh hingga tak henti mengecup rambutnya.
Keduanya saling melepas rindu setelah sekian lama terpisah karena ego yang menggunung. Itu wajar, mengingat mereka menikah bukan karena komitmen apalagi cinta. Mereka disatukan karena keterpaksaan, bahkan tanpa saling mengenal sebelumnya. Tanpa ada niat, tanpa ada harapan. Semua terjadi begitu saja.

"Veer, bagaimana kalau kita mengulang semuanya dari awal?" tanya Naina sambil menatap langit yang cerah.
"Hmm, maksudnya?"
"Bahwa kita akan membicarakan ini seperti layaknya kita baru saling jatuh cinta, kemudian memutuskan untuk menikah dan hidup bersama selamanya." Suara Naina terdengar tenang dan menyejukkan. Membuat Veer memejamkan mata, menyimak apapun keinginan istri tercinta.
"Lalu?"
"Lalu kita kembali bersumpah di hadapan Tuhan bahwa kita saling mencintai dan ingin hidup bersama untuk selamanya."

Veer mengecup rambut Naina lagi. Lalu menyingkap rambutnya agar wajahnya menoleh ke belakang.

"Apapun," Veer memamerkan senyun terbaiknya. "Apapun maumu, kita akan melakukannya asal kita tetap bersama." Veer membetulkan posisi duduknya. Kini mereka berhadapan. Veer menundukkan kepala di hadapan Naina seolah tengah memuja, lalu mengangkat kembali wajah dan menatap istrinya.

Sementara Naina menatap intens pria yang begitu cepat masuk ke dalam kehidupannya. Tanpa aba-aba, begitu saja jadi bagian dari hidupnya bahkan jadi pria paling penting baginya karena berstatus sebagai suami.

"Apa kita harus mengucap ikrar lagi? Menikah lagi?" bisik Veer tanpa berkedip. Memandang sosok mempesona di hadapannya. Yang selama ini mati-matian dia coba abaikan, tapi akhirnya tak mampu. Dan malah mengusai seluruh hidupnya dari terjaga hingga tertidur.
 

"Kurasa tidak." Jawab Naina singkat.
Veer tersenyum. "Kita dipertemukan begitu cepat, tanpa pernah kita duga. Langsung dijodohkan Tuhan, sebagai suami istri. Kurasa hubungan kita sangat istimewa." Katanya lagi. "Berulang kali badai kehidupan menutup keindahan sang rembulan dalam pelukku, tapi dia tetap bercahaya dengan segala pesonanya, dan terus menyinari hatiku. Aku ingin kau tetap menjadi istriku, selamanya. Menjadi cahaya dalam setiap kehidupanku. Tidak hanya jadi rembulanku, tapi juga jadi matahariku." Veer mengelus pipi istrinya dan menyingkirkan rambut yang bermain-main disana karena terhempas angin.

Naina hanya tersenyum, lalu meniup wajah suaminya dengan nakal. Dan Veer memejamkan mata dengan senyuman bahagia.

"Kau benar. Kau datang seperti cahaya siang, begitupun pergi seperti datangnya malam. Mengabaikanku seperti awan-awan gelap, menutup cahayaku hingga aku seperti purnama di balik awan." Naina memejamkan mata. "Tuhan menyatukan kita bukan diawali dengan jatuh cinta, tapi seketika mengikat kita dalam ikrar suci, menjadikan cinta bagian dari puja, kemudian menghadiahkan kesetiaan pada akhirnya. Hingga setiap nafas ... setiap kata ... setiap kejapan mata ... setiap debaran jantung ... selalu untuk dirimu."
 

Veer memamerkan giginya yang rapi sebagai balasan dari puisi indah istrinya.

"Ternyata kau tak hanya seorang dokter yang selalu berkutat dengan pasien-pasien darurat, tapi kau juga seorang penyair yang seksi." Bisik Veer menarik kerah kemeja putih istrinya.

Naina tersipu, sedang rambutnya terus berkibar terkena angin yang terus menerpanya. Wajah mereka semakin dekat, tanpa bisa dihalangi apapun lagi, mereka saling berbagi nafas.

"Sebaiknya kalian pergi ke kamar." Gauri membetulkan jemuran yang berjatuhan tertiup angin meski sudah memakai penjepit. "Mumpung Nandu sedang asik bermain." Katanya lagi diiringi seringaian jail.

Naina dan Veer saling menjauh meski masih saling tatap, seolah enggan melepas pandangan yang sekian lama terpisahkan. Lalu Veer bangkit, mengangkat tubuh istrinya.

"Aw! Oh shit!" Veer mengaduh dan hampir menjatuhkan Naina jika saja istrinya tak segera melompat ke tanah.

Naina tertawa geli sambil menatap Veer yang mengaduh memegangi kakinya.
Tawa juga terdengar dari Gauri dan anggota keluarga yang lainnya. Mereka mentertawakan Veer yang terlalu ambisius padahal kakinya masih terluka.

Veer kembali menatap Naina yang mengulum senyum. "Aku bisa. Kemari." Katanya kembali mengangkat tangannya.
"Jangan memaksakan diri. Ayo kubantu kau jalan." Naina memapah Veer menuju kamar mereka.
"Jadi, kita akan ...."
"Aku akan memeriksa kakimu." Potong Naina.
"Periksa juga lainnya. Yang sejak lama kau abaikan, tak pernah kau lihat."

Naina segera melempar bantal ke badan Veer yang setengah terbaring dengan kedua tangan menopang tubuhnya di belakang. Naina membuka perban di kaki suaminya, dan membersihkan lukanya. Sama seperti dulu yang pernah dia lakukan saat Veer kecelakaan bersama Anu, kekasihnya saat itu.

"Kau tahu apa yang aku pikirkan?" tanya Naina.
"Hmm, tidak. Kuharap kita berpikiran sama." Jawab Veer.
"Aku sedang mengenang setiap kejadian yang kita alami di masa lalu." Naina mengangkat wajahnya, lalu menatap suaminya, kemudian kembali memasang perban di kaki Veer yang hampir sembuh.
"Untuk apa? Aku takut kau akan membenciku, karena kebodohanku saat itu." Ujar Veer lemah.
"Tidak." Naina merangsek ke arah suaminya. "Tapi, ya ... kadang aku merasa masih sakit hati. Kau bahkan membuatku tidur hanya di sofa. Lalu ...."

Veer menarik kepala istrinya dan mengecup bibirnya, menghentikan kalimat yang akan meluncur dari sana. "Lupakan Veer yang bodoh itu, lihatlah Veer terbaik yang ada di hadapanmu sekarang." Bisiknya mesra.

Naina memainkan matanya. Mengejek dan menggoda suaminya.

"Aku ... mencintaimu ... Naina." Bisik Veer lagi. "Jadilah milikku selamanya, dan jadikan aku milikmu selamanya." Dia menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya.

Saling memeluk dan merasakan debaran jantung mereka. Saling menyelami perasaan yang selama ini selalu terhalang keegoisan sebagai godaan. Kini mereka berusaha dan berjanji untuk saling menjaga cinta yang dianugerahkan.
Karena mereka meyakini, semua yang terjadi bukanlah kebetulan. Tapi mereka memang diciptakan sebagai jodoh yang dipertemukan dengan cara yang tak biasa. Dengan cara yang tak lazim dimana harus melalui sebuah kesuraman dan kemuraman. Seperti purnama yang tersembunyi di balik awan.
Karena itulah cinta, jalannya tak pernah sama, tapi tujuannya pasti sama.
***

"Tunggu!" Veer memandang istrinya yang membuka mata setelah tadi terbuai dalam cumbuannya.
"Apa kabar si pasien itu?" Tanya Veer tampak gelisah.
"Ya Tuhan, kenapa masih memikirkan orang lain disaat kita sedang ... seperti ini." Naina mendengus kesal.
"Aku takut dia mengganggu lagi."
"Dia sudah pergi, Veer. Dia menolak kuobati karena takut kelak akan memisahkan aku darimu." Naina menerawang jauh.
"Semoga dia tenang di alam sana." Gumam Veer. "Baiklah, kita harus merayakannya." Veer menarik selimut menutupi tubuh mereka.
"Veer, kau itu jahat sekali. Masa merayakan kematian seseorang." omel Naina.
"Bukan. Aku merayakan pengorbanannya. Memenuhi keinginannya agar kau tetap jadi milikku."

--- The End ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER