Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 01 Januari 2022

Purnama di Balik Awan #6

Cerita Bersambung

Rohan mengangkat wajah, dan menatap wanita yang tengah berdiri di hadapannya. Keduanya saling tatap dalam diam, dan air mata meleleh deras di pipi Naina dan genangan bening di mata Rohan.

Flashback:

"Usiaku sudah tidak muda lagi, Rohan. Kurasa, sudah saatnya kita menikah." Naina tersipu sambil meneguk segelas jus orange di tangannya.

"Pekerjaanku masih belum baik. Rasanya aneh ketika penghasilanmu lebih besar dariku. Aku masih arsitek bawahan, bukan leader." Rohan menatap kosong.

"Kenapa jadi membahas pekerjaan?" tanya Naina.
"Naina," Rohan memandang Naina yang tampak kecewa. "Pernikahan tidak hanya menyatukan dan meresmikan perasaan kita, lebih dari itu akan ada banyak yang kita lewati. Salah satunya masalah keuangan. Dalam kenyataan banyak terjadi ketika suami memiliki penghasilan lebih kecil dari istri, maka akan ada rasa minder. Andai tidak pun kemungkinan terungkit saat pertengkaran itu mungkin terjadi. Ketika si istri marah, kecewa, dia tidak sengaja menyinggung hal itu. Dan  tentu akan merusak ketentraman yang ada." Papar Rohan panjang lebar.

Naina diam saja. Tak merespon apapun.

"Aku tahu kau bukan wanita seperti itu, tapi aku ingin menjadi suami yang membanggakanmu, membanggakan bagi diriku sendiri, juga anak-anak kita. Adalah suatu kebanggaan jika aku bisa menunjukkan pada dunia bahwa aku mampu memberikan materi berlebih pada istriku diminta ataupun tidak."

Naina memalingkan wajah, tak berani mendebat karena itu ada benarnya. Hanya dia merasa entah sampai kapan harus menunggu.

"Beri aku waktu enam bulan. Jika dalam enam bulan, aku tidak juga dapat promosi jabatan, ya sudah. Kita akan menikah apa adanya. Tapi janji, akan saling menjaga perasaan kita soal posisi keuangan." Rohan tersenyum sambil menarik Naina kepelukannya.

Naina hanya tersenyum kecut menanggapinya. Dia sendiri dilematis, antara memahami perasaan Rohan dan karena usianya yang tak lagi muda, mendekati kepala tiga.
Mereka tetap menjalin hubungan seperti biasa, Rohan menjemput Naina jika dia pulang praktek di rumah sakit. Atau bahkan Naina pulang sendiri karena Rohan harus terjun ke proyek. Keduanya masih saling berusaha menjalani pekerjaan masing-masing.

Karir Naina memang semakin baik, seiring dengan keberhasilannya menolong banyak pasien. Namanya harum, banyak rumah sakit besar di kota-kota utama India menawarinya praktek disana, tapi dia menolak dan lebih memilih tetap di kota sejuk itu, Manali.
Namun hingga enam bulan berlalu, Rohan masih belum mendapatkan promosi jabatan. Sesuai janjinya, dia datang ke rumah Naina bersama orang tuanya untuk melamar. Mereka diterima dengan baik, bahkan Naina terus memancarkan rona bahagia.

Tanggal pernikahan merekapun ditentukan,  mereka akan menikah dalam waktu satu bulan ke depan dengan perayaan sederhana. Naina dan Rohan sepakat tidak melakukan pesta mewah, dan hanya mengundang keluarga terdekat mereka. Untuk prosesi adat pun, ada bebarapa yang dianggap tak terlalu penting dilewatkan saja.
Namun pesta mehandi tetap dilaksanakan. Semua teman Naina hadir saat itu termasuk Anu, Geet dan Kia. Mereka merasakan kebahagiaan yang sama, tertawa bersama.

Hingga esoknya hari pernikahan, semua sibuk menyiapkan untuk upacara adat. Naina dirias dengan pakaian pengantin berwarna merah, dan terus menebar senyum yang lebar menandakan kebahagiaan.
Namun hingga jam sepuluh siang, rombongan Rohan tidak ada kabar. Awalnya telepon Rohan masih tersambung, namun setelah pukul sebelas, nomornya tak bisa dihubungi. Keluarga Naina mulai panik. Namun Naina masih tetap yakin Rohan akan datang, meski waktu sudah menunjukkan jam tiga sore.
Sebagian tamu sudah memilih pulang, dan Naina masih tetap menunggu di depan pintu rumahnya. Menatap jalanan dan pagar rumah yang masih terbuka.

Hingga alam mulai gelap, Naina masih berdiri mematung disana. Ketiga temannya dan Tania menyentuh pundak Naina, membawanya ke dalam rumah. Menutup pintu rumah yang sejak kemarin terbuka lebar. Dan saat itu airmata Naina tak lagi terbendung.
Naina lari ke kamarnya dan mengurung diri, sementara semua orang bergumam, berceloteh dan mengaitkan bahwa itu akan jadi simbol kesialan bagi Naina. Terlebih malam ini pun bulan tampak besar namun gelap tertutup awan tebal, dan suasana sangat sunyi dan dingin.

Naina hanya menangis tak henti-hentinya di dalam kamar, tak seorangpun yang dia ijinkan masuk.
Lalu apa yang terjadi dengan Rohan?
Tidak, Rohan tidak mencampakkan Naina. Dia sangat bersemangat untuk hari pernikahannya.
Rohan masih sangat gugup ketika dirias dan dipakaikan baju pengantin oleh teman-temannya. Diantaranya adalah Saahil.

"Aku iri sekali, akhirnya kau mendapatkan wanita yang selalu kuincar." Ujar Saahil sambil tersenyum di cermin.
"Kau mau menggantikanku?" canda Rohan.
"Itu candaan buruk kawan. Jangan bicara aneh-aneh, bagaimana jika benar-benar posisimu sebagai pengantin pria digantikan orang lain?" omel Saahil.
"Tidak! Aku tidak akan rela. Naina adalah milikku. Dan aku sangat mencintainya. Aku rela menaruh harga diriku di kakinya, karena aku memang mencintainya." ujar Rohan sambil menatap foto kekasihnya di meja.
Saahil menepuk pundaknya. "Ayo, mobil sudah menunggu." Ujarnya.

Rohan yang semangat memilih menyetir sendiri bersama Saahil dan keempat temannya yang lain. Dia mengatakan ingin menghilangkan kegugupan dengan fokus pada jalanan, jika duduk jadi penumpang dia akan semakin gugup tidak karuan.
Semula perjalanan aman, hingga tiba di jembatan dan jalanan berkelok-kelok karena Manali adalah dataran tinggi, Rohan mulai sedikit kehilangan kendali kendaraannya.

"Slow Rohan, chill...." goda Saahil.
"Aku ingin cepat sampai. Aku tidak sabar menjadi suaminya." Katanya sambil tertawa dan fokus pada jalanan.

Namun tiba-tiba sebuah truk dari arah atas menukik seperti tidak terkendali. Rohan berusaha menghindari truk yang mengalami rem blong, namun dia terlambat. Truk yang ngebut tersebut menabrak mobil Rohan hingga terseret cukup jauh. Saahil yang duduk di belakang dengan ketiga temannya berhasil melompat dan hanya mengalami luka lecet. Sedang Rohan dan satu temannya terjepit bada truk dan terpepet ke tebing.
Teman Rohan meninggal di tempat, sedang Rohan masih sadar dan merasakan kakinya tidak karuan. Dia sadar, tubuh bagian bawahnya hancur. Tapi dia masih berusaha menahan rasa sakitnya tersebut.

"Rohan!" Saahil berlari ke arah Rohan, namun dia tak bisa menarik Rohan keluar. Mereka harus menunggu petugas menarik truk besar tersebut.

Semua orang turun dari kendaraan mereka. Sebagian mengatur lalu lintas dan sebagian lainnya mencoba menolong korban.

"Saahil...." dalam keadaan parah Rohan masih bicara. "Jangan sampai Naina tahu keadaanku. Jangan bawa aku ke rumah sakit dimana dia bekerja. Aku tidak mau dia melihatiku seperti ini." Ujar Rohan dengan sisa nafas yang ada.

"Rohan, pikirkan saja dulu keselamatanmu." Saahil berusaha membuka pintu mobil Rohan.
"Berjanjilah Saahil, kau tidak akan memberitahu Naina tentang aku." Dia meringis. "Berjanji!!!" teriak Rohan dengan menahan rasa sakit.
"Ya... ya... kawan... aku janji." Saahil gugup dan tak lama alat berat datang menarik truk dan polisi mengeluarkan Rohan dari mobil, saat itu Rohan sudah tak sadarkan diri. Bahkan diprediksi banyak orang tidak akan selamat mengingat kakinya tak lagi utuh.

Saahil memberitahu keluarga Rohan untuk tidak menghubungi keluarga Naina. Dia tidak mau Naina tetap memaksa menikah dengannya andai tahu mengalami kecelakaan. Rohan lebih rela Naina membencinya dan menikah dengan pria lain.

Flashback off.

Mata Naina tertuju pada kaki Rohan yang tak nampak sama sekali, hanya setengah paha yang dia miliki. Naina memejamkan mata, dan airmatanya terus berderai. Lalu rubuh dan menjatuhkan kepalanya di pangkuan Rohan.
Rohan menjatuhkan pensilnya dan tak bisa menahan airmatanya lagi, dia mengangkat kedua tangannya untuk mengelus rambut Naina, tapi dia tidak sanggup malah tangannya gemetaran.

"Kenapa?" isak Naina. "Kenapa kau...." Naina tak sanggup bicara, dia hanya memeluk paha Rohan sambil menangis tersedu-sedu.

Veer mengusap airmatanya yang tak terasa mengalir deras selama menyaksikan pertemuan dua kekasih itu. Dia tak beranjak dan tetap berdiri di tempat dimana dia berdiri sejak tadi.
Naina mengangkat kepalanya dan mulai bisa mengendalikan tangisnya.

"Kau itu memang jahat sejak dulu." Omel Naina berusaha mengembalikan masa-masa kebersamaan mereka. Berusaha tenang agar tak tampak syok melihat kondisi Rohan saat ini.
Rohan tersenyum sambil menghapus airmatanya. "Itulah aku, dan memang tidak layak untukmu." Jawab Rohan sambil tersenyum.
"Aku menerimamu apapun adanya dirimu, Rohan. Kau pasti tahu itu."
Rohan menarik nafas panjang, mengendalikan perasaannya. "Kau keras kepala. Itulah kenapa aku selalu ragu menikah denganmu."
"Keras kepala dalam hal mencintaimu." Bela Naina sambil duduk di samping Rohan.

Rohan tersenyum. Dan dia menatap Naina yang meraih dan mencium tangannya. Dia tak menyangka Naina masih tetap sama, meski dua tahun telah berlalu.

"Jangan pernah ada dalam keragu-raguan lagi. Karena kau selalu ragu-ragu, jadilah kau seperti ini." Omel Naina sambil mengelus pipi Rohan yang kini lebat dengan cambang.
"Kau benar. Kekuranganku adalah selalu ragu-ragu."
"Tapi aku tetap mencintaimu, dan akan tetap menuntut pernikahan darimu." Ujar Naina tampak memelas.
Rohan menatapnya dengan intens. "Menikah dengan pria cacat sepertiku?" tanya Rohan sambil tertawa sinis. "Aku akan menikahimu jika tidak ada pria normal yang tertarik padamu." Kekeh Rohan sambil kembali mengusap pipinya.
"Memang tidak ada." Jawab Naina polos.

Keduanya tertawa meski pipi mereka basah oleh air mata. Rohan berulang kali menarik nafas panjang untuk menenangkan dirinya. Rasa rindu pada wanita pujaannya selalu dia kubur, namun sekarang ketika ada di hadapannya dia seperti merasa buruk karena kondisi dirinya.

"Lalu siapa pria yang sedari tadi memandangmu? Memperhatikanmu?" tanya Rohan dengan menormalkan suaranya sambil melirik ke arah Veer.

Naina baru ingat kedatangan dia ke tempat itu bersama Veer. Dia bangkit dan memandang Veer yang masih berdiri di tempat semula, hanya memandang dirinya dan Rohan. Naina ingat kata-katanya sendiri, bahwa tak pantas seseorang yang sudah berstatus menikah meski tak saling mencintai namun dekat dengan pria atau wanita lain.

Akhirnya Veer mendekat, berdiri di hadapan Naina dan Rohan yang diam membisu.

"Dia...." Naina kelu dan kaku. "Veer." ujar Naina dengan kikuk.
"Veer?" Rohan penuh selidik.
"Temannya. Aku temannya Naina...." jawab Veer sambil mengulurkan tangan pada Rohan.

Rohan menyambut uluran tangan Veer dan mereka saling senyum satu sama lain. Sementara Naina memandang tangan kedua pria itu.

"Bukan. Dia suamiku." Potong Naina lalu menatap Veer yang juga menatap intens padanya.

Rohan terdiam dan menatap Naina dan Veer bergantian.

"Tapi kami tidak saling mencintai." Naina dengan cepat memperjelas keadaan.

Veer masih menatap Naina yang tengah menatap Rohan. Ada rasa sesak dan sakit yang kini dia rasakan di dadanya. Dan mungkin itu yang juga dirasakan Naina saat melihatnya bersama Anu.

"Kami menikah karena terpaksa. Ceritanya panjang, nanti aku akan ceritakan." Ujar Naina sambil tersenyum dan duduk kembali di samping Rohan. "Jika Veer tidak keberatan aku menemuimu lagi." katanya sambil menoleh ke arah Veer yang lebih banyak diam. 
***

Naina menemui Rohan di apartemennya setelah meminta ijin Veer terlebih dahulu. Naina menceritakan tentang pernikahannya dengan Veer, dan bagaimana perlakuan keluarga Veer padanya ketika itu.

"Tapi meski seperti itu, jangan pernah menemuiku sampai kau benar-benar telah resmi menjadi seorang single kembali." Ujar Rohan menatap Naina yang gusar.

Naina diam saja. Dia membenarkan maksud Rohan namun juga keberatan jika harus berpisah lagi.

"Naina, jika kau tetap menemuiku. Apa bedanya dengan perselingkuhan?" Rohan mengingatkan.
Naina mengangguk, lalu berjalan ke arah Rohan. "Aku dan Veer akan berpisah sekitar tiga minggu lagi. Tepat di enam bulan pernikahan kami. Saat itu aku akan kembali padamu." Ujar Naina. Lalu dia berdiri dan keluar dari apartemen Rohan.

Rohan terdiam, sedang Saahil yang sedari tadi ada disana langsung duduk menatap Rohan.

"Dia tetap mencintaimu, seharusnya kau senang dan bangga akan itu." Ujar Saahil.
"Aku senang, aku bangga. Tapi tidak adil bagi Naina." Jawab Rohan.

Rohan membuka laptopnya dan mencari tahu siapa Veer Nanda dari google.

"Jadi Veer adalah seorang pengusaha sukses dan dari keluarga terpandang. Dia pengusaha periklanan." Ujar Rohan. "Tolong pertemukan aku dengannya Saahil, jangan sampai Naina tahu."

Saahil hanya mengerutkan alisnya. Dia tak faham dengan maunya sahabatnya itu.
***

Veer dan Rohan saling memandang untuk beberapa saat. Mereka bertemu di apartemen baru yang dibeli oleh Veer untuk Naina.

"Kau yang membawa Naina kemari?" tanya Rohan sambil memandang langit-langit. "Kau sangat mencintainya?" tanya Rohan lagi bahkan sebelum Veer menjawab.
"Aku tidak suka dicampuri oleh siapapun." Ujar Veer dengan angkuh.
"Lalu kenapa kau ikut campur dengan hubunganku dan Naina?" tanya Rohan.
Veer diam memandang Rohan, dia tidak tahu harus menjawab apa. "Baiklah aku mencampuri urusan Naina, bukan dirimu." Jawab Veer.
Rohan tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya. "Kau sangat mencintainya. Itu wajar. Siapapun yang dekat dia memang akan dengan mudah jatuh cinta padanya." lanjut Rohan sambil menatap kosong.
"Kalau begitu, kalian pasangan yang tepat. Kalian saling mencintai." Ujar Veer. "Apalagi yang ingin kau katakan padaku?" tanya Veer lagi.
Rohan menatap Veer dengan tajam. "Ok, kita bicara selayaknya pria sejati saja." Rohan menarik nafas dalam. "Aku memang masih mencintai Naina." Katanya, membuat Veer memejamkan mata, menyesali ataupun merasa ketakutan.
"Tapi..." Rohan menarik nafas cukup panjang, "tapi aku tidak ingin memilikinya." Lanjut Rohan, membuat Veer mengerutkan alisnya.

Tentu terdengar aneh ketika seseorang mencintai wanita namun tak ingin memilikinya. Terlebih si wanita pun mencintai pria tersebut.

"Aku tidak punya apa-apa yang bisa aku berikan padanya. Jangankan harta, karirku jauh di bawah dia. Bahkan secara pria maksudku... oke... aku..," Rohan kembali menarik nafas dan menahannya. "aku bahkan tidak akan bisa memuaskannya secara biologis." Rohan memejamkan mata penuh kepiluan. Sedih, marah, malu seolah menjadi satu ketika harus mengatakan kekurangannya.

Veer menarik nafas dalam dan ikut memejamkan mata, menyadari betapa hancurnya diri Rohan saat ini.

"Aku tidak akan bisa membahagiakan dia dari segi apapun, bahkan akan sulit memberikan keturunan. Lalu apa yang dia dapatkan dengan kembali padaku? katakan!? Tidak ada." Pertanyaan yang dijawab sendiri oleh Rohan. "Apalah arti cinta saat ini, Naina hanya akan menua denganku, menghabiskan hidupnya dengan merawatku. Tidakkah kau merasa itu tidak adil baginya?" tanya Rohan lagi.

Kecelakaan itu tidak hanya menghilangkan kakinya. Namun juga menjadikan dia kehilangan kebanggaannya sebagai lelaki. Ketika itu setengah tubuhnya terhimpit hingga merusak beberapa jaringan tubuhnya.

Veer menundukkan kepala, dia mencerna dan memahami keinginan Rohan yang tidak hanya kehilangan kakinya tapi juga hal inti dalam dirinya. Hingga membuatnya merasa tak berarti sama sekali.

"Naina wanita yang baik. Dia bukan wanita biasa, dia tidak akan menemuiku selama belum berpisah denganmu. Jadi, itu kesempatanmu untuk membuatnya tetap bersamamu. Jangan pernah lepaskan dia." Rohan kembali membuka suara.

"Aku mengerti Rohan. Tapi jika Naina tidak mencintaiku? Apa dia bisa bahagia? Aku takut malah akan menyakitinya." Veer duduk dan menundukkan kepala di depan Rohan.

"Dia mulai mencintaimu, Veer. Aku bisa lihat dari sorot matanya padaku tak lagi sama seperti dulu. Sekarang dia hanya terobsesi padaku, terobsesi akibat sebuah ego. Bukan lagi karena cinta yang dulu pernah ada." Rohan menepuk lengan Veer dan menatapnya tajam.

"Bagaimana cara aku menahannya? Bahkan kupikir... setelah aku mempertemukannya denganmu, dia akan terharu dan menyadari cintaku, tapi ternyata tidak." Veer mengusap wajahnya, dia jadi begitu cengeng di hadapan Rohan.

Rohan tersenyum, "Kau seorang laki-laki, kau seorang suami. Kau bisa menguji dia, dengan...." Rohan menggigit bibirnya.

"Kalian belum... mmmm... kau pasti faham maksudku."
"Oh, aku.... " Veer jadi gugup tidak karuan.
"Membayangkan saja kau gugup, bagaimana kau benar-benar melakukannya?" ledek Rohan sambil memukul lengan Veer. Sesaat mereka tertawa sambil saling menceritakan banyak hal tentang mereka, dan tentang wanita yang mereka cintai.

"Kau punya waktu tiga minggu untuk membuatnya bertekuk lutut padamu. Jadilah pria sejati."
Rohan berfikir jika Naina tak lagi suci oleh Veer maka dia tak akan berani kembali padanya.
***

Naina kembali dari rumah sakit masih siang. Tidak biasanya dia langsung pulang ke rumah keluarga Nanda.

"Sudah pulang?" sapa Gauri yang tengah menyiapkan makan siang.
"Ah, ya. Aku membawa hasil pemeriksaan terakhir Veer." jawab Naina sambil menyerahkan map pada Gauri.
"Kenapa diberikan padaku? Kau kan istrinya." Gauri melengos dan sibuk menyiapkan meja bersama pelayan.
Naina sedikit mengernyitkan alis sambil mulut terbuka sedikit. "Hmm, Veer sudah masuk kantor atau masih istirahat?" tanya Naina ragu.
"Dia sedang di kolam belakang. Katanya mengetes kekuatan kakinya lagi." ujar Gauri sambil tersenyum.

Naina hanya hanya mengangguk, lalu melangkahkan kakinya ke belakang. Ke kolam renang, namun tak menemukan suaminya disana. Dia berniat kembali ke ruang makan, sampai seorang pria keluar dari air.

"Mencariku?" tanya Veer sambil mengusap wajahnya yang kini tidak terlalu tebal cambangnya.

Naina hampir tak fokus melihat tubuh basah Veer, yang berjalan hanya dengan boxer renang mendekat padanya.
 

Veer membuka kacamata renangnya dan menatap Naina yang masih terpana melihatnya. "Baru melihat seorang pria naked?" Goda Veer sambil menyambar map di tangan Naina. Sepertinya dia mulai melancarkan ide Rohan dengan memamerkan kegagahan pada istrinya.

Naina berusaha terlihat biasa saja meski sempat terpesona.

"Bukan yang pertama." Jawab Naina.

Veer nampak terkejut mendengar jawaban istrinya. Dia mulai berfikir yang tidak-tidak.

"Pasienku terkadang naked saat aku mengambil tindakan." Lanjut Naina sambil berlalu.

Veer tersenyum sambil mengambil handuk di kursi. Lalu menahan tangan istrinya yang hendak pergi.

"Mau berenang bersama?" tanyanya penuh basa basi.

Naina tak memperdulikan pertanyaan Veer, hanya menepis angin kemudian segera pergi berniat naik ke kamar. Namun Gauri menghentikannya di ruang tamu.

"Naina, besok adalah karvachaut. Aku harap kau tidak kemana-mana. Kami biasa menghias diri dengan henna dan juga memilih perhiasan." Ujar Gauri dengan tersenyum.
"Oh, aku tidak bisa janji. Karena aku tidak libur, ada pasien yang kujanjikan untuk diambil tindakan besok." Naina tersenyum berusaha tampak menyesal.
"Tidak apa. Jika sudah selesai, kau bisa pulang segera." Ujar ibu yang tengah mengecek saree untuk diberikan pada pelayan.
"Akan aku usahakan." Jawab Naina sambil mengerutkan alis. Dia semakin tak mengerti dengan perubahan sikap keluarga Nanda padanya.

Dia segera masuk ke kamar, membuka laci tempat menyimpan perhiasannya. Memandang perhiasan yang pernah dia pakai saat karvachaut tiga tahun lalu, dia berpuasa untuk Rohan. Naina tersenyum, dia berniat memakainya lagi kali ini.
***

Dini hari para pelayan tengah memasak dan tuan mereka bersiap untuk makan sebelum matahari terbit. Naina turun dan membantu menyiapkan makanan, lalu makan bersama dengan para wanita di rumah itu. Tapi pikirannya jauh ke tempat Rohan. Ingin sekali dia menghubunginya, tapi sudah terlanjur janji tidak akan ada komunikasi sampai perceraiannya dengan Veer terjadi.
Hingga matahari bersinar, semua sibuk menyiapkan untuk karvachaut nanti malam. Sedang Naina memilih pergi bekerja seperti biasa.
 

Mobilnya berhenti di depan apartemen Rohan. Lalu Naina menekan nomor teleponnya. Tersambung, namun dia matikan lagi. Dia memilih keluar dari mobil, berjalan menuju taman. Dan Rohan seperti biasa tengah menggambar disana. Ingin menghampiri, tapi teringat akan janjinya.
Sedang Veer yang sedari tadi mengikuti Naina, menyadari bahwa Naina pergi ke tempat Rohan bukan ke rumah sakit.

"Sepertinya aku gagal membuatnya untuk bertahan denganku." Gumamnya sambil menyandarkan kepalanya ke kursi mobil. "Jika dia masih mencintai Rohan, bagaimana mungkin aku memaksanya untuk hidup bersamaku? Apalagi harus... sama saja aku tampak memperkosanya." katanya terus berperang dengan hatinya. "Aku tidak bisa memaksanya Rohan. Dia masih sangat mencintaimu. Kau salah. Bahkan mungkin dia berpuasa untukmu." Veer memundurkan mobilnya dan segera meninggalkan tempat itu.
***

Naina pulang lebih awal sesuai janjinya dan bersama Gauri menghias tangannya, lalu memilih perhiasan untuk acara pemujaan nanti malam. Tapi Naina memilih memakai perhiasan yang pernah dia pakai saat merayakannya dengan Rohan.
Hingga sore menjelang, para pria sudah mulai kembali ke rumah. Begitu juga dengan Kailash yang disambut hangat oleh istrinya yang telah berhias dengan sangat cantik.

"Veer belum pulang?" tanya Kailash menoleh pada Naina yang tampak cantik dengan saree dan dupatta biru langit.
"Belum." Jawab Naina singkat sambil menaruh makanan di lantai berkarpet tebal, karena mereka akan berbuka puasa dengan duduk di lantai malam ini.
"Phonselnya tidak aktif. Dia tahu kan kau puasa untuknya hari ini?" tanya Gauri.

Naina terdiam, karena memang Veer tidak mengetahuinya.
Veer masih sibuk mengatur pekerjaan di kantor. Dia tak tahu bahwa Naina sedang berpuasa untuknya. Dan phonselnya lowbat namun dia tak menyadarinya.
Sedang Naina duduk di balkon, menatap purnama yang sudah penuh di langit. Semua wanita telah berbuka puasa dengan disuapi pasangan mereka masing-masing, hanya Naina yang masih belum meneguk air sedikitpun. Dia masih bersabar menunggu kepulangan suaminya.
Rambut dan selendangnya tertiup angin. Berulang kali dia menyentuh phonsel dan hendak menghubungi suaminya, tapi entah kenapa dia merasa ragu.
Akankah Veer pulang dan tahu pengorbanan Naina?

Note: karvachaut adalah tradisi dan budaya di India. Dan poin dari cerita ini hanya unsur romansa dengan setting film/serial India.

==========

Veer masih sibuk mengatur pekerjaan di kantor. Dia tak tahu bahwa Naina sedang berpuasa untuknya. Dan phonselnya lowbat namun dia tak menyadarinya.
Sedang Naina duduk di balkon, menatap purnama yang sudah penuh di langit. Semua wanita telah berbuka puasa dengan disuapi pasangan mereka masing-masing, hanya Naina yang masih belum meneguk air sedikitpun. Dia masih bersabar menunggu kepulangan suaminya.
Rambut dan selendangnya tertiup angin. Berulang kali dia menyentuh phonsel dan hendak menghubungi suaminya, tapi entah kenapa dia merasa ragu.
Akankah Veer peduli? Atau justru malah mengabaikan pengorbanannya?
Dia kembali mematikan phonselnya, gurat gelisah tampak diwajahnya yang sesekali menyingkirkan rambut yang menutupi paras cantiknya.
Biarlah dia berpuasa hingga fajar kembali muncul, jika memang suaminya tak membukakan puasanya malam ini. Dia sudah mantap namun akan tetap mendoakan kesehatan dan kebahagiaan suaminya.

"Kau belum pulang, Veer?" tanya Geet ketika bertemu di studio untuk menemani Anu melakukan shooting sebuah iklan bersama aktor besar bollywood.
"Belum. Bagaimana kabar Anu?" tanya Veer.
"Sudah lebih baik. Dia sudah bekerja, aku sedang menemaninya." Jawab Geet.

Veer mengangguk lalu berniat pergi.

"Veer." Geet kembali mendekat dan menatap pria itu. "Jika tidak keberatan, boleh aku tahu apa hubungan kau dan Naina? Jujur, aku tidak percaya jika Naina menghianati Anu dengan merebutmu." Ujar Geet menatap Veer yang terkejut.
"Maksudmu?" tanya Veer heran.

Geet menceritakan apa yang terjadi, kecurigaan Kia pada Naina ketika melihat memasukan keycard ke celana Veer. Lalu menuduh Naina merebut Veer dari Anu, hingga Veer mengakhiri hubungan salah satu temannya itu sebelum terjadi kecelakaan.

"Kami semua mengira Naina telah berbuat jahat pada Anu." Ujar Geet. "Tapi hati kecilku tidak mempercayainya. Aku tahu persis seperti apa dia." Katanya pelan.

Veer terdiam, lalu dia menyalakan phonselnya, namun kemudian mati lagi. lalu dia membuka dompetnya dan engeluarkan sebuah foto, untuk kemudian diserahkan pada Geet.
Geet tersentak dan menatap tajam Veer. "Jadi, kau?" Geet menarik nafas berat. "Kau pria yang tak mengakui Naina sebagai istri itu?" Geet tampak tidak percaya dan terlihat sedih. Genangan airmata menumpuk di sudut matanya. Dia merasa bersalah pada Naina, juga merasa emosional dengan sikap Veer selama ini pada sahabatnya.

"Kau benar. Aku dan Naina adalah suami istri. Jadi tidak benar jika Naina merebutku dari Anu." Jawab Veer tenang. "Tapi kami memang tidak saling mencintai." Lanjut Veer.
"Sudah kuduga, Naina itu memang terlalu baik, bahkan dia bisa bersikap biasa saja melihat kalian bermesraan di depan matanya. Sungguh keterlaluan, kalian!" Geet membuang nafas kasar sambil menyeka airmatanya juga berusaha mengendalikan emosinya. "Pulanglah, dia pasti tengah berpuasa untukmu."
"Bagaimana kau tahu? Aku meilhat dia menemui Rohan tadi pagi." Ujar Veer sambil memasukkan foto ke dompetnya. "Dia pasti berpuasa untuk pria yang dicintainya."
"Rohan?" Geet heran.
"Ya, aku telah mempertemukan mereka. Kupikir Naina layak bahagia paska sikap burukku padanya. Dan kebahagiannya adalah Rohan bukan? Dan aku ingin dia bahagia setelah ini." Veer tersenyum sambil berpamitan pergi.
Geet diam saja, menatap kepergian Veer yang tampak tidak bersemangat. "Veer!" teriak Geet lagi. "Apa kau mencintai Naina?" tanyanya penasaran dengan raut wajah penuh harap.

Veer menatap Geet, lalu memalingkan pandangan ke arah lain. Namun dia tak menjawab dan kembali membalikan badan, meninggalkan Geet yang masih menunggu jawabannya.
Geet tak tinggal diam, dia mangambil phonsel dan menghubungi Naina. Setelah meminta maaf atas kesalahfahaman yang terjadi, dia menanyakan apakah Naina saat ini berpuasa?

"Tentu saja." Jawab Naina sambil tersenyum penuh haru, karena akhirnya dia bisa berbaikan dengan salah satu sahabatnya. Sambil menyandarkan dirinya di dinding balkon, Naina tersenyum karena percakapannya dengan Geet menjadi hiburan tersendiri baginya.

"Kau berpuasa untuk Rohan atau suamimu?" tanya Geet ragu-ragu.
"Kau tahu aku sudah bertemu Rohan?" tanya Naina heran, dia membetulkan duduknya sambil terus membetulkan rambut yang tertiup angin malam.
"Ya." Jawab Geet singkat.
"Tapi... tentu saja aku berpuasa untuk suamiku." Jawab Naina sambil tersenyum dan menatap ke bawah, dimana para pelayan tengah merayakan karvachaut dengan suami mereka.
"Ok." Geet segera mengakhiri percakapan, lalu lari mencari keberadaan Veer. Tapi tak dia temukan di studio. Menurut karyawan yang bekerja disana, Veer sudah ke parkiran untuk mengecek lokasi lain.

Geet berlari sekuat mungkin menuju parkiran. Dan tampak mobil putih Veer tengah melaju menuju gerbang studio.

"Veer!!" teriak Geet sambil melambaikan tangan. Security yang melihat langsung menahan laju mobil Veer. Memberi isyarat ada yang mengejarnya.

Dengan terengah-engah Geet berdiri di hadapan Veer. "Naina... hhhh" katanya dengan mengatur nafas karena lelah, namun secercah senyum terukir di wajahnya. "Naina berpuasa untukmu. Dan sampai sekarang dia belum berbuka, karena kau belum pulang." Ujar Geet sambil tersenyum namun dengan wajah sedih juga.
Veer memandang Geet dengan tatapan tidak percaya. Lalu segera masuk ke dalam mobil dan tancap gas menuju rumahnya.
Ya, Karvachaut adalah perayaan dimana seorang istri akan berpuasa untuk suaminya. Kemudian suami akan memberikan makan dan minum ketika berbuka, lalu berdoa dibawah cahaya bulan purnama. Dan jika suami tak datang, biasanya para istri di India baru akan minun setelah fajar di hari berikutnya.
***

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tapi Veer belum juga datang, akhirnya Naina memutuskan untuk melakukan puja saat itu juga. Dia mengangkat selendang tembus pandang yang dikenakannya, lalu mengibarkannya dan mengarahkannya ke langit. Memandang bulan purnama dari balik selendang itu.

"Kau mungkin tidak tahu aku berpuasa untukmu. Tapi doaku semoga kau selalu sehat dan panjang umur, bahagia dimanapun kau berada. Dan menemukan cinta sejatimu nantinya." Katanya sambil menatap bulan purnama.

Sedang Veer terjebak macet, banyak warga merayakan karvachaut di jalanan hingga sulit dilewati mobil. Dia turun dari mobil dan berusaha menerobos kepadatan manusia yang tengah bersuka cita bersama pasangan masing-masing, tengah saling menunjukkan cinta mereka.
Dengan terengah-engah dan keringat bercucuran, dia tiba di rumah. Security yang membuka gerbang tak sempat bertanya apapun, karena Veer langsung ke dapur dan mengambil air juga makanan yang tersedia di nampan.

Naina masih menatap rembulan dari balik selendangnya dan membaca doa-doa untuk suaminya. Sedang Veer mengatur nafasnya di belakang Naina. Veer berjalan perlahan ke depan Naina yang tengah memejamkan mata, lalu berdiri di hadapan istrinya yang masih komat kamit membaca doa. Mata Veer terus menatap wajah penuh kehangatan itu, hingga istrinya membuka mata dan terkejut Veer sudah berdiri di depannya.

"Veer...?" bisik Naina tak percaya dengan pria yang tengah berdiri di hadapannya.

Veer menyerahkan cangkir berisi air minum. Dengan sedikit gemetar karena menahan lapar dan haus, Naina menerima cangkir tersebut. Melihat itu Veer langsung mendekatkan cangkir ke bibir Naina, lalu membantu Naina meminumnya. Tampak sekali Naina sangat haus dari nafas dan kegugupannya ketika minum. Veer jadi merasa amat bersalah, sekaligus merasa puas bisa memberikan buka puasa untuk istrinya.

"Cukup." Naina menurunkan cangkir juga tangan Veer yang masih tetap memandang wajahnya yang bersinar bersaing dengan rembulan malam ini.
"Darimana kau tahu aku berpuasa?" tanya Naina berbasa basi.
"Dari ibu. Aku disuruh pulang oleh ibu." Jawab Veer sambil tetap memandang wajah Naina. Lalu mengambil makanan di nampan dan mendekatkannya ke bibir Naina, menyuapinya layaknya pasangan pada umumnya.

Suapan pertama Naina memang tampak kelelahan dan kelaparan hingga terasa giginya sedikit menyentuh jari-jari Veer, lalu suapan kedua semakin terasa lidah Naina kembali menyentuh jarinya hingga memberikan sensasi tak biasa baginya. Tak terasa Veer tersenyum dan sudut matanya menggenang.
Suapan ketiga, Naina tersenyum pada Veer yang tengah memandangnya. "Sudah cukup." Ujar Naina.

"Ya, ini sudah malam. Tidak baik makan banyak-banyak, nanti kau makin...." Veer menggoda sambil menyerahkan minum lagi.

Naina tersenyum dan berniat menerima cangkir, tapi Veer kembali menaruhnya di bibirnya. Hingga Naina kembali minum dari tangan Veer.

Selesai minum, tangan Veer sudah penuh makanan lagi dan mendekatkannya ke bibir Naina. Tanpa banyak bicara, Naina kembali membuka mulutnya dan tangan Veer memasukkan kembali makanan hingga suapan kelima dan terus dia tak berhenti menyuapi istrinya.

"Cukup, kau bilang nanti aku tambah lebar." Protes Naina sambil memalingkan wajahnya menghindari suapan suaminya.
"Siapa peduli?" Bisik Veer sambil terus memaksakan tangannya untuk masuk ke mulut istrinya.

Terpaksa Naina kembali membuka mulutnya.

"Cukup. Sekarang waktunya berdoa." Ujar Naina. "Mumpung rembulan masih terlihat jelas. Sebelum dia sembunyi di balik awan." Katanya sambil mengambil selendang dan merentangakannya lagi.

Veer menaruh piring dan cangkir, lalu mencuci tangannya dari kran yang tak jauh dari sana, sedang Naina kembali berdiri memandang rembulan, Veer berjalan ke hadapan Naina yang mengangkat selendang dengan kedua tangannya. Kini pandangan mereka terhalang selendang tipis itu. Naina mengarahkan selendang ke arah rembulan, lalu ke arah suaminya.

"Suami adalah penerang bagi istri dikala gelap dan sunyi. Sama seperti rembulan yang menyinari malam dengan ketenangan." Bisik Naina sambil memejamkan matanya.

Sementara Veer hanya tersenyum melihat Naina komat kamit memanjatkan doa.

"Kau mendoakan apa untukku?" Bisik Veer lembut.
Naina membuka matanya dan menatap Veer dengan lekat. "Semoga kau mendapatkan kebahagiaan, kesuksesan, kesehatan, dan menjadi pelindung dan penerang untuk... istrimu." Ujar Naina dengan seutas senyuman di wajahnya. "Siapapun yang akan menjadi istrimu kelak, setelah kau melepaskanku." Tambahnya dengan suara semakin pelan, hampir tak terdengar.

Veer tak berkomentar, dia hanya mematung sambil terus menatap istrinya yang tengah berdoa. Lalu mata mereka kembali bertatapan cukup lama, entah kenapa Naina merasakan hal tak biasa. Dia begitu gugup dalam pandangan Veer malam ini. Dia segera menutup matanya dan kembali berdoa, untuk menormalkan degup jantungnya yang berdetak cepat seperti ingin keluar dan menghambur pada pria di hadapannya.
Sedang Veer semakin gelisah, dia tak lagi bisa menahan keinginan untuk memiliki wanita ini. Dia berjalan dua langkah menyingkap selendang dengan perlahan dan membuat dirinya berada di hadapan Naina tanpa terhalang selendang lagi, kini hanya berjarak sepuluh centi meter saja.

Naina merasakan nafas yang panas menerpa wajahnya, dia membuka mata dan terkejut menatap Veer yang sangat dekat dengan wajahnya. Tangannya masih memegang selendang dibelakang tepat di atas kepala Veer, sedang matanya menatap mata Veer yang berkabut.

"Vee..." belum selesai dia berucap, tangan Veer sudah mengelus bibirnya dengan lembut, Naina terkesiap hingga berniat mundur. Tapi tangan kiri Veer yang lain menahan tubuhnya dari belakang.

Selendang terlepas dan menutup kepala keduanya, namun kemudian tergerus tangan Naina yang meremas jas suaminya sebagai tanda bahwa hak bernafasnya telah dihentikan sementara oleh Veer.

"Na... ups." Gauri mundur kembali saat menyaksikan pemandangan tak biasa itu.

Namun terlambat, teriakannya telah membuat Veer melepaskan Naina dan menoleh padanya.

"Maaf, kukira kau belum pulang Veer dan Naina belum makan." Ujar Gauri sambil garuk-garuk tak gatal dan mundur kembali ke balik pintu, lalu pergi dengan wajah geli dan senang menjadi satu.

Naina menundukkan kepala sambil menyentuh bibirnya yang terasa kebas. Lalu menatap Veer yang masih tersenyum nakal menatapnya.
Dia tak lagi mampu menyembunyikan rona malu di wajahnya, dadanya terasa berdegup lebih cepat melihat pandangan pria di hadapannya, dia membalikkan badan mengejar Gauri. Namun selendangnya ditahan Veer dengan kuat, ditariknya dengan perlahan hingga punggung Naina menempel di dadanya. Dan kembali tangan Veer menghirup aroma rambutnya.
Naina yang gugup melepaskan selendangnya yang ditahan Veer, lalu lari keluar kamar menyusul Gauri. Veer tersenyum puas, sambil menghirup wangi selendang milik istrinya.

"Pergilah, selagi kau bisa." Katanya sambil berjalan keluar menyusul Naina.

Naina berlari di koridor kamarnya, dengan senyuman yang terus mengembang. Dia sendiri tak mengerti kenapa dia bisa sebahagia ini, kenapa dia bisa begitu menikmati moment ini. Hingga langkahnya tiba di tangga dan turun dengan cepat, berbaur dengan anggota keluarga lain yang tengah berpesta menikmati makanan yang tersedia.
Naina duduk di dekat Arvita, gadis kecil itu memamerkan gelang juga hiasan tangannya, Naina memujinya sambil mengelus rambutnya.

Tak lama Veer tiba langsung menyentuh kedua kaki ibunya, memeluknya dan menciumnya. Entah kenapa Naina begitu gugup melihat pria itu untuk saat ini. Hingga dia tak berani menampakkan wajahnya lagi pada pria yang telah menggigit bibirnya tadi.

"Ibu tidak tahu kau sudah pulang." Ujar ibunya.
"Ya, aku langsung ke kamar tadi." Jawab Veer sambil mengambil manisan di piring.

Naina mengerutkan alis, bukannya tadi Veer bilang disuruh pulang oleh ibunya?
Tapi yang pasti keluarga Nanda sedang merencakan pesta karvachaut besok dengan mengundang semua kolega dan rekan bisnis mereka.

Naina tak terlalu faham apa yang sedang dibahas, dia hanya sesekali melirik mencuri pandang ke arah Veer yang ternyata tengah menatapnya dengan tatapan menggoda. Dan tak jarang mengecupkan bibirnya untuk mengganggu Naina.

Naina menggigit bibirnya sambil mengalihkan rasa gugup dengan kembali mengajak Arvita berbicara. Lalu kembali melirik pada suaminya, yang masih juga menatap sambil mengedipkan mata, lalu memberi sebuah kode dengan tangan. Menunjuk bibirnya, seolah mengatakan ada makanan di bibir istrinya. Naina menyentuh bibir, kemudian menatap Veer dan menggeleng menandakan tak ada apapun di bibirnya. Lalu Veer memberi kode agar dia mendekat padanya, tapi Naina tak mau dan tetap duduk bersama Arvita.

Veer tersenyum dan kembali memajukan bibirnya, seperti tengah mencium sesuatu. Naina tersenyum sambil membuang muka dan memilin ujung baju. Lalu melirik lagi dan Veer masih memberi kode nakal dengan menjilat bibirnya, membuat Naina harus menahan tawa dengan menutup mulutnya dan menundukkan kepala.

Gauri yang melihat tingkah keduanya, menyenggol lengan ibunya dan memberi kode agar ibunya menyaksikan tingkah sepasang suami istri itu. Ibu tersipu dan meminta Gauri tak mengganggu mereka.

"Jadi besok akan dimulai sore hari." Ujar Kailash, "Semua undangan telah diterima dan mereka akan hadir." Tambahnya.

Semua bahagia karena esok akan kembali memilih perhiasan untuk pesta. Naina tak terlalu ambil pusing dengan pesta itu. Dia kembali menoleh ke arah Veer yang masih juga menatapnya, membuat dia jadi salah tingkah dan berpamitan masuk ke kamar.

Veer berniat menyusul, tapi Kailash memintanya tidak ke kamar dulu. "Ada yang ingin aku bicarakan." Katanya sambil memandang putranya dengan serius.
***

Naina sudah tertidur ketika Veer masuk ke kamarnya, atau lebih tepatnya pura-pura tidur. Veer duduk di sofa dan mengelus rambut istrinya.

"Cepet sekali tidur." Ujar Veer dengan suara lembut.

Naina berusaha menahan gejolak di hatinya, menahan degup jantungnya yang kembali tak beraturan ketika Veer mengecup jari-jari tangannya.

"Selamat malam." Veer kembali mengelus rambut Naina.

Dia sempat berniat memindahkan istrinya ke tempat tidur, tapi dia urungkan.
Lalu dia berjalan ke ranjangnya, sedang Naina membuka mata dan mengerutkan alisnya karena bingung. Tidak tahu kenapa ini bisa terjadi? Perubahan Veer sangat jelas dan kontras.

Pagi pun menampakkan kesejukan. Naina melakukan rutinitas seperti biasa. Mandi, lalu bersiap untuk bekerja. Veer masih tidur, Naina tak berani membangunkan dan memang tak pernah melakukan itu. Naina memilih mengeringkan rambutnya dengan hairdryer lalu mengikatnya.
Namun ikatannya ditarik oleh Veer hingga rambutnya kembali tergerai, lalu terasa kepala Veer menghirup wangi rambutnya.

"Kau sudah bangun?" Bisik Naina menolak perlakuan Veer yang baru bangun sudah menggodanya. Dia menghindar.
"Hmm.." Veer hanya bergumam manja tangannya tak bisa diam yang seketika dibalas dengan sikutan.
"Ugh!" Veer memegangi dadanya sambil kembali menarik kemeja Naina dan menabrakan tubuh mereka berdua.
"No...." Protes Naina sambil membuang wajah, hingga sebuah kecupan mendarat di pipinya.
"Kau sangat seksi dengan kemeja putih, akan lebih seksi jika dengan jas doktermu itu." Bisik Veer nakal.

Naina tersipu dan mendorong Veer dengan kuat, lalu lari sambil menarik tasnya di kursi.

"Pergilah, lain kali tidak akan kubiarkan kau lolos." Gumam Veer sambil mengacak rambutnya lalu menarik handuk Naina yang ada di kursi. Menciumnya dan membawanya ke kamar mandi dengan cara dipeluk erat.
"Naina, kau tetap masuk kerja hari ini?" tanya Gauri.
"Ya, ada pasien yang harus aku tangani. Memangnya aku harus ikut pesta nanti malam?" tanya Naina merasa tidak biasanya.
"Ya, tidak ada salahnya kan?" jawab Gauri dengan balas bertanya.
"Aku akan kembali sebelum pesta dimulai." Ujar Naina sambil berlalu meninggalkan kediaman keluarga Nanda.
***

Sekembalinya dari rumah sakit, Naina tak berani ke kamar. Dia menarik nafas berat karena bingung, lalu memilih berbaur dengan para pelayan dan EO yang tengah menyiapkan kursi hingga bunga-bunga di taman.

"Kau disini? Aku pikir belum pulang." Ujar Gauri sambil bertolak pinggang.

Naina hanya tersenyum melihat tingkah Gauri yang bertolak pinggang namun tampak manis.

"Kau sudah menyiapkan pakaian untuk nanti malam?" tanya Gauri.
"Apa aku harus hadir? Bukankah nanti ada banyak orang, bahkan mungkin selebritis dan pejabat. Bagaimana jika mereka bertanya tentang aku?" ujar Naina sambil sibuk menata meja.

Gauri berfikir sejenak.

"Belum tentu juga, mereka pasti sibuk berselfie ria dan membahas pekerjaan mereka." Ujar Gauri sambil tertawa. "Sudahlah, persiapkanlah baju pestanya. Jika kau tak mau bertemu mereka, kau bisa ambil tempat di taman belakang dengan anggota keluarga lain." ujar Gauri lagi.

Naina hanya mengangguk, lalu dengan gugup menuju kamarnya.

"Nona, pakaian anda telah disiapkan di kamar tamu." Ujar pelayan yang sedang merapikan tangga.
"Kenapa di kamar tamu?" tanya Naina heran.
"Tidak tahu, tuan Veer bilang anda berdandan di kamar tamu saja. Tadi dia berpesan demikian." Jawab pelayan.

Naina hanya mengangguk lalu berbelok menuju kamar tamu, mengikuti pelayan. Di kamar itu memang telah disiapkan pakaian hingga make-up dan perhiasan. Naina berdandan, dan hanya berfikir mungkin setelah inipun dia akan menempati kamar ini.
***

Matahari terus bergerak dan para pekerja tampak semakin sibuk. Beberapa kolega mulai berdatangan, Naina tak berani menampilkan dirinya. Dia hanya membantu sedikit tugas EO dan pelayan di taman belakang. Menaruh makanan dan minuman di meja.

Hingga matahari mulai menghilang, semua keluarga Nanda mulai keluar dari kamar menuju tempat pesta. Begitu juga para tamu mulai berdatangan.
Naina tidak melihat Veer sejak kepulangannya tadi, dan dia tak nampak di manapun. Namun dia pun tak berani ke tempat pesta utama di halaman depan, dia tetap berada di taman belakang bersama keluarga yang sudah sepuh.

"Aunty cantik sekali." Ujar Arvita sambil tersenyum.

Naina hanya mengelus rambut gadis kecil itu. Dan tampak orang semakin banyak berdatangan, barulah terlihat Veer menyambut tamu-tamu penting dari kalangan pengusaha dan selebritis. Pria itu mengenakan sherwani hitam berpadu emas, cocok dengan pakaian yang dipakai Naina saat ini, biru dengan paduan emas.

Dan tak lama, terlihat ketiga sahabat Naina yaitu Geet, Anu dan Kia. Anu mendapat undangan khusus karena merupakan model yang bekerja untuk perusahaan Veer. Sedang Geet memaksa untuk ikut ke pesta itu bahkan mengajak Kia, hanya untuk menunjukkan pada mereka bahwa Naina adalah istri Veer.

Melihat ketiga sahabatnya, Naina segera meninggalkan taman samping. Kembali ke belakang. Sedangkan Geet mencari keberadaan Naina, namun tak terlihat di lokasi pesta utama. Sementara Anu sibuk bercakap dengan para produser hingga sutradara film.

"Naina datang juga ke pesta ini?" tanya Kia ketika sedang duduk dan menunjuk pada Naina yang terpaksa kembali ke depan karena mengantar Arvita mencari Gauri.
"Benar-benar dia mengincar Veer." Ketus Anu.

Geet tersenyum dan memandang kedua temannya.

"Ini alasan aku ingin ikut ke pesta ini." Ujar Geet, hingga Anu dan Kia menoleh. "Dia sudah selayaknya ada disini, dan dia juga lebih berhak berada di kamar Veer daripada dirimu." Lanjut Geet. Membuat Anu dan Kia menatap Geet tajam.

"Kalian pasti akan faham." Geet melambaikan tangan pada Naina, namun dia tak melihatnya. Naina sendiri masih berusaha sembunyi dari ketiga sahabatnya, untuk menghindari salah faham semakin runcing.

Anu terus mengamati Naina dari kejauhan. Dia terdiam saat melihat Gauri yang dia kenali sebagai kakak Veer menepuk pundak Naina dan mereka tampak akrab, bahkan terlihat Gauri meminta Naina mengikutinya ke ruang pesta utama. Bahkan ibu Veer merangkul lalu dikenalkan pada beberapa tamu.
Tak terasa airmatanya menetes dan dia dengan cepat menyekanya. "Dia memang menyebalkan, dia merahasiakan siapa suaminya pada kita, dan ternyata itu Veer? Begitukah, Geet?" tanya Anu dengan nafas penuh kekesalan.
Kia menoleh pada Anu yang berulang kali menyeka airmatanya.

"Wanita macam apa dia tidak cemburu melihatku dengan Veer saat bermesraan." Isak Anu lagi sambil meremas ujung gaunnya.
Geet menyentuh pundaknya, "Naina dan Veer tidak saling mencintai, itu awalnya, kita juga tahu. Tapi Veer kemudian jatuh cinta padanya, karena itu dia mengakhiri hubungannya denganmu. Dan aku juga berharap itu yang Naina rasakan pada akhirnya. Itu wajar bukan?"

Kia dan Anu mengangguk, Anu lalu berjalam mendekati Naina yang baru saja bicara dengan beberapa tamu. Dia menyentuh pundak Naina dan menatapnya dengan sudut mata basah.

"Anu?" Naina heran apalagi Anu langsung memeluknya dengan erat.
"Maafkan aku." bisik Anu.
Naina menggeleng cepat. "Lupakan semua itu. Aku selalu memaafkanmu." Bisik Naina sambil melepaskan pelukan Anu dan menghapus airmatanya.

Anu mengangguk sambil menunjuk mejanya, disana ada Geet dan Kia yang juga tersenyum ke arahnya.

"Aku senang kalian datang. Aku jadi ada teman." Naina tertawa sambil berjalan bergandengan tangan dengan Anu menuju meja dan berpelukan dengan Kia juga Geet.
"Maafkan kami ya." Ujar Kia. "Aku begitu bodoh tak berfikir ke arah sana."
"Sudahlah." Bisik Naina sambil tersenyum dan meminta mereka membahas hal lain.

Di ruang pesta utama, Veer dan Kailash menyambut setiap tamu penting yang datang. Dan acara akan dimulai dengan sambutan dari Kailash. Semua tamu duduk dan memandang Kailash yang mengucapkan terima kasih pada semua yang telah hadir.

"Hari ini aku mengundang kalian sekaligus mengumumkan hal penting yang selama ini kami rahasiakan. Ada banyak spekulasi diluar tentang putraku, Veer yang dikabarkan telah menikah dan sebagainya." katanya sambil memandang Veer. "Itu benar. Putraku Veer sudah menikah. Namun karena keduanya tidak siap mengumumkan pernikahan mereka, mereka memilih tidak mempublikasikannya." Lanjut Kailash.

Ketiga sahabat Naina memandang Naina yang tampak terkejut dengan pengakuan tuan Kailash Nanda.

Tidak, ini adalah tepat enam bulan pernikahannya. Dimana seharusnya mereka mendandatangi surat cerai. Tapi apa ini? Keluarga Nanda tanpa bicara padanya justru mengumumkan pernikahannya?

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER