Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 31 Desember 2021

Purnama Di Balik Awan #5

Cerita Bersambung

Naina keluar dari kamar mandi dan terkejut Veer sudah rebahan di ranjangnya. Dia segera melemparkan handuk dari kepalanya pada Veer.

"Hey, ada apa?" Veer terkejut dan membuka mata.
"Ini kamarku, jadi bersikap sopanlah." Protes Naina.
"Hah? Salahku apa?" Veer tidak merasa bersalah sama sekali.

Naina menarik nafas dan kembali menoleh pada suaminya.

"Jadi begini, di kamarmu ada aturan bukan? Begitu juga di kamarku."
"Kau tidak bilang." Veer bangun dan duduk dipinggir ranjang.
"Sekarang aku akan jabarkan." Bentak Naina kesal. "Satu, dilarang pamer tubuh artinya pakai pakaian lengkap selama di kamarku ini. Dua, kau tidak berhak tidur di ranjangku sama seperti aku tidak berhak tidur di ranjangmu. Tiga, jangan banyak bicara." Naina berpangku tangan. Veer menelan ludah memandang istrinya, sambil menarik nafas. "Ok. Lalu aku tidur dimana?"
"Di lantai." Jawab Naina singkat.
"Shit!" maki Veer sambil berdiri. "Di kamarku ada sofa lebar dan nyaman, kau tidur disana. Disini, hanya ada karpet tipis. Apa kau gila?" protes Veer.
"Apa aku yang memintamu datang? Tidak kan?" Naina langsung mengambil sisir dan hairdryer lalu mengeringkan rambutnya. Sementara Veer masih berdiri lalu duduk lagi di sisi ranjang.

Naina naik ke tempat tidurnya, lalu menyerahkan bantal, namun ketika Veer hendak mengambilnya, dia lempar ke bawah. Lalu melempar bedcover juga ke bawah.

"Aku rasa itu cukup menghangatkan." Naina segera mematikan lampu dan meringkuk ke arah berlawanan.

Veer turun ke lantai dan mencoba merebahkan diri, baru lima menit tulang-tulangnya terasa ngilu karena lantai terlalu dingin di malam hari.

"Lantainya dingin sekali." Katanya sambil berdiri.
"Jangan merengek, kau bukan anak kecil." Omel Naina sambil tetap memunggungi Veer.

Veer diam beberapa saat, dia mulai berfikir menunggu Naina tidur. Lalu akan pindah keatas. Dan benar, setelah beberapa saat dia mulai duduk di kasur dan merebahkan dirinya pelan-pelan.

"Aku bilang dibawah!" Omel Naina dengan penekanan, tapi tak berani berteriak keras.
"Tidak mau! Kau mau apa? Hah?" Veer cuek dan merebahkan diri di kasur.
"Veer!" bentak Naina.
"Kau tenang saja, aku tidak akan memperkosamu." Jawabnya enteng.
"Lalu? Kenapa kau suruh aku tidur di sofa? Kau kira aku akan memperkosamu? Kasurmu lebih luas tapi kau pelit dan kau ingin tidur di kasurku yang kecil." Gerutu Naina sambil duduk dengan wajah kesal.

Veer tak peduli, dia terus memeluk guling sambil membelakangi Naina. Hingga gadis itu menyerah, lalu turun ke lantai dan menempati tempat yang disediakan untuk suaminya.
Veer membuka mata dan menatap Naina yang tidur di lantai dengan desahan lelah.

"Dasar keras kepala." Omel Veer, lalu turun ke bawah.
"Mau apa lagi kau?!" tanya Naina.
"Aku tidak tega kau tidur di bawah." Katanya sembari merebahkan diri di samping Naina, di karpet yang sama.

Naina malas berdebat, dia memunggungi Veer dan tak berniat pindah ke kasurnya. Begitu juga Veer, merasa tak adil jika pria tidur di kasur dan wanita di lantai. Dia kembali menoleh ke arah Naina yang meringkuk seperti bayi karena dingin. Veer menarik selimut miliknya dan memiringkan tubuhnya, berniat menyelimuti Naina juga. Lalu membetulkan rambut Naina yang menutupi wajahnya. Namun Naina terkejut dan mengira Veer sedang berniat memeluknya.

"Aaaaaaaaaaaw Veer!!!" pekik Naina sangat keras. "Mau apa kau?"
"Sssttt... kenapa harus teriak. Aku hanya membetulkan rambutmu." Omel Veer sambil mengeratkan gigi.
"Kupikir kau..."
"Memelukmu? Heh... cuaca memang dingin. Tapi aku masih waras." Katanya sambil duduk dan mengacak rambutnya dengan kasar.
"Sikutmu menekan rambutku tadi. Kupikir kau mau mengerjaiku." lanjut Naina sambil membetulkan rambutnya.
"Teriakanmu itu, jika sampai keluar bisa membuat orang salah faham." Omel Veer sambil menyandarkan diri di lemari. Jadinya dia semakin susah tidur.
***

Hari ini upacara pernikahan akan digelar. Semua sibuk menyiapkan apa saja yang dibutuhkan. Veer tampak sibuk membantu dan mengatur acara dengan para tetangga pria, layaknya tuan rumah yang baik. Sedang Naina membantu Tania berhias, lalu keluar dan memastikan semua telah siap.

"Naina, kupikir kau akan kesiangan." Ujar seorang wanita paruh baya.
"Memangnya kenapa?" Naina heran sambil merapikan bunga-bunga dan juga mengecek manisan dan suguhan untuk para tamu.
"Semua orang mendengar teriakanmu semalam hihihi.. kami pikir kalian pasti sangat kelelahan sampai pagi." Bisik tetangganya itu.

Naina melotot dan menoleh ke arah para wanita lain yang ikut tertawa dan menutup mulut mereka. Rupanya teriakan Naina dikira karena 'sesuatu hal yang dahsyat' yang dialami bersama suaminya.

"Aku tidak mengerti." Ujar Naina menjadi gugup tidak karuan.
"Sudahlah, tidak usah malu. Seusia kalian memang sedang seru-serunya, apalagi kalian bermula dari tidak saling kenal dan menikah dadakan. Pasti itu sangat penuh tantangan." Timpal yang lain.
"Ya Tuhan, bibi maaf... aku harus pergi. Aku harus lihat Tania." Naina jadi tidak karuan.
"hahaha dia masih malu. Tapi aku jadi benar-benar penasaran, sehebat apa suaminya Naina." Celoteh para wanita paruh baya membuat Naina bergidik dan segera pergi dari tempat itu.
***

Naina berjalan setengah lari menuju ruang depan. Veer menarik tangannya dan tersenyum.

"Kenapa wajahmu seperti semangka?" tanya Veer sambil menundukkan kepala sedikit ke arah wajah Naina yang jadi malu karena bertemu Veer.
"Tidak perlu sok romantis di depan orang banyak." Protes Naina dengan setengah bergumam, mengalihkan masalah.
"Tidak ada salahnya berakting." Jawab Veer santai sambil menundukkan kepala sedikit pada para tamu yang melintas dan menyapanya.
"Memangnya tidak takut kalau aku jatuh cinta padamu?" ledek Naina, teringat ketakutan Veer yang hingga melarang mereka berbicara satu sama lain di kamar selama ini.

Veer menoleh dan menatap Naina dari samping. Dia tak menjawab, hanya memandang istrinya yang juga membalas senyuman para tamu. "Mungkin...tidak." gumam Veer.
"Hm? Kau bilang apa?" Naina menoleh pada Veer.
"Aku bilang jangan kegeeran. Hm?" Veer menyambut tamu pria dengan lebih terlihat sok akrab, karena jelas mereka tidak kenal siapa Veer.

Upacara pernikahan Tania dan Araav dimulai. Keduanya tampak bahagia namun juga penuh haru. Bagi Naina, itu mengingatkan pada pernikahannya dengan Veer yang sungguh tak pernah dia harapkan. Ada buliran bening jatuh dari matanya, segera dia menghapusnya.
Veer pun sama, dia teringat bagaimana prosesi ini dia lalui dengan penuh kemarahan, kebencian dan keinginan balas dendam. Ingin menyakiti wanita yang dijadikan istri pengganti, agar keluarganya sadar bahwa dia sakit hati, agar mereka sadar bahwa dia tidak terima dengan penghinaan ini.

"Kak...." Tania memohon restu lalu memeluk Naina. Keduanya menangis penuh haru dan lama saling berpelukan.
"Jaga dia, Araav. Cintai dia, seperti kami mencintainya." ujar Naina.

Veer menoleh pada istrinya. Sungguh kalimat yang sangat menyentuh, Araav harus mencintai Tania seperti keluarganya mencintainya. Itu benar, dan dia tak pernah mencintai atau menjaga Niana selayaknya orang tuanya.
Tania memandang Veer yang menatap kosong. Lalu menyentuh kaki Veer bersama Araav.

"Semoga kalian bahagia, bahagia hingga akhir hayat. Dan selalu bersama." Bisik Veer tulus.

Tania dan Araav mengangguk, lalu beralih pada sesepuh yang lainnya.
Kelegaan tampak di mata Naina meski banjir airmata, tentu itu airmata bahagia. Dan Veer mengusap airmata Naina itu dengan tangannya. Naina menoleh dan menatap suaminya.

"Tidak perlu overacting, Tania tidak akan terpengaruh. Kecuali kau memang berniat menghibur hatimu." Sindir Naina sambil berbisik di telinga Veer.

Veer faham, Naina mengira perhatiannya sebatas akting. Agar orang mengira dia tak kecewa wanita yang pernah akan menikah dengannya menikah dengan orang lain.

"Kau mau tahu seperti apa overacting?" bisik Veer lagi di telinga Naina, sambil tetap memandang mata Naina.

Naina menoleh dan mengerutkan alis.

"Begini." Veer langsung memeluk Naina dengan erat.

"Jangan sedih sayang, adikmu menikah dengan pria yang dicntainya. Dia akan baik-baik saja, tenanglah sayang." kalimat itu terdengar keras hingga semua orang menoleh. Lalu Veer mencium pipi dan kepala Naina bergantian, lalu mendekap Naina lagi dengan sangat... sangat erat. Hingga Naina merasa pengap.

"Lepaskan! Aku tidak bisa bernafas." Gumam Naina dengan kesal.
"Aku overacting kan?" bisik Veer sambil lagi-lagi mengecup kening dan kepala Naina.
"Hentikan!" omel Naina sambil membenamkan kepalanya di dada Veer, entah kenapa dia seperti dejavu. Seperti pernah melakukan itu sebelumnya, dada yang sama, kehangatan yang sama, wangi yang sama. Tapi kapan? dia tidak ingat.
***

Pagi mereka bersiap untuk kembali ke Mumbai, orang tua Naina berterima kasih pada Veer yang telah dengan kelapangan dada hadir di pesta pernikahan Tania yang pernah menyakitinya.

"Terima kasih, Veer. Semoga Tuhan membalas segela kerendahan hatimu. Semoga kau dipertemukan dengan cinta sejatimu." Ujar ayah Veer sambil merapatkan kedua tangannya memberi hormat.
"Jangan seperti itu, tuan. Ini sudah seharusnya." Jawab Veer pelan. Lalu menoleh pada Naina yang tengah memasukkan kopernya ke mobil.
"Naina, jaga dirimu nak." Ujar ibunya dengan linangan airmata, merasa sedih karena harus berpisah lagi dengan putri kesayangannya.
"Ibu jangan khawatir." Naina memeluk ibunya.

Naina dan Veer masuk ke dalam mobil. Lalu melaju meninggalkan rumah orang tuanya, Naina berulang kali menoleh ke belakang, melambaikan tangan. Meski tak sesedih ketika pertama kali dibawa oleh keluarga Nanda, tapi tetap saja terasa terlalu cepat berpisah dengan orang yang sejak kecil merawatnya.
Mobil mereka melaju perlahan ketika melewati padang rumput dengan pemandangan kambing-kambing tengah digembalakan rumput. Naina menatap dengan serius dan tersenyum.

"Kau mau kambing?" tanya Veer setengah meledek.
"Saat kecil aku dan Tania selalu bermain di padang rumput. Mengejar kambing, desa ini sudah banyak berubah." Jawab Naina, tak memperdulikan candaan Veer.
"Tolong berhenti." Pinta Veer pada sopir. Lalu turun dan menggulung kaos panjanganya. Berjalan ke tengah padang rumput dan mengejar anak kambing, lalu menggendongnya dan melambaikan tangan kambing pada Naina.
Naina tersenyum melihat Veer yang semakin ramah padanya. Naina turun dan memotret Veer dengan anak kambing.

"Kambing ini memiliki ayah yang tampan." Ujar Naina, membuat Veer melotot dan menampar pipi Naina dengan kaki anak kambing.
"Ish!" Naina melotot kesal.
"Jangan menatapku seperti itu wahai ibu kambing." Veer mencium anak kambing sambil menatap Naina. Membuat Naina tertawa geli, lalu duduk di rumput sambil memandang ke jalan raya yang mulai ramai.

Veer menoleh dan menatap Naina yang tak pernah memakai perhiasan dari keluarganya.

"Kenapa tidak memakai perhiasan yang kau pilih kemarin?" tanya Veer sambil memainkan phonselnya setelah anak kambing itu lari pada induk aslinya.
"Terlalu mahal. Aku risih memakainya." Jawab Naina.
"Tapi kulihat kau selalu membeli perhiasan mahal, seperti mutiara saat di Goa." Balas Veer.
"Itu hadiah untuk ibu." Jawab Naina singkat.

Veer menoleh lagi dan memandang Naina yang tengah melamun, entah apa yang sedang gadis itu pikirkan. "Ibu-ibu tetanggamu itu menggodaku saat akan prosesi pernikahan Tania." Lanjut Veer kembali mengajak Naina mengobrol.
"Salahnya dimana? Ibu-ibu kan biasanya senang bercanda." Ujar Naina sambil berdiri dan kembali menuju mobil. Masuk dan duduk sambil memasang earphone.
Veer masuk kemudian menarik earphone Naina, "Mereka bertanya apa yang membuatmu berteriak sangat keras malam-malam."
Naina menoleh sambil terlihat penasaran. "Kau jawab apa?"
"Aku jawab sesuatu yang keras yang membuatnya sakit."

Naina langsung menggeleng kesal sambil membuang muka. "Pantas saja mereka menggodaku." Katanya.

"Mereka bilang apa padamu? Maksudku kan sikut." Veer penasaran, dan tampak sumringah.

Naina tak menjawab dan terus membuang muka dari Veer meski pria itu terus memaksanya cerita.
Dan entah kenapa mereka jadi sering mengobrol, bukankah perjanjiannya mereka tidak akan mengobrol untuk menghindari terjadinya jatuh cinta? Sepertinya mereka lupa dengan perjanjian itu, atau mereka terlalu terlena dan merasa cocok satu sama lain, serta saling melengkapi karakter.
***

Veer bertemu dengan detektif Sinha. Dia memberikan beberapa informasi berupa data dan foto. Veer terdiam, memandang foto itu, hatinya jadi ragu. Haruskah dia beritahukan pada Naina tentang Rohan yang baru saja dia ketahui? Dan mungkin alasan kenapa dia meninggalkan Naina di hari pernikahannya.
Di sisi lain, dia merasa ketakutan. Tiba-tiba saja ada rasa takut kehilangan wanita yang telah resmi jadi istrinya itu.

'Jika Naina tahu tentang ini, dia pasti akan kembali pada Rohan. Dan meninggalkan aku, atau bahkan pergi sebelum pernikahan kami sampai enam bulan. Naina mengatakan akan menyerahkan apapun asal Rohan tidak meninggalkannya. Tidak! Tidak Veer! Naina istrimu!
Tapi, tapi dia tidak mencintaimu Veer! Dan dia juga pasti sakit hati atas sikap kasarmu selama ini.'
Bathin Veer terus berkecamuk.
Tunggu! Veer takut kehilangan Naina??
***

Veer berjalan di lobi rumah sakit, lalu berjalan hingga ke ruang tunggu praktek Naina. Dia melihat Naina tengah berdialog dengan petugas rumah sakit, memberikan instruksi. Veer berjalan mendekat, wajah tenang istrinya membuat dia sulit melepaskan pandangannya.
Bagi Veer, penampilan Naina dengan jas dokternya terlihat sangat seksi dan memikat hatinya. Dan diapun tidak tahu, atau entah bagaimana bisa jatuh cinta pada akhirnya. Padahal dialah yang menolak keras untuk jatuh cinta.

"Veer?" Naina menoleh saat Veer mengelus rambut ikalnya.

Veer tak menjawab, dia malah menatap mata Naina dengan intens, membuat Naina bingung.

"Andai langit runtuh hari ini, aku tidak akan pernah menyesalinya. Karena aku telah dianugerahi seorang istri yang teduh namun juga seterang bulan purnama. Meski aku sempat menjadi awan yang hampir menutupinya." Bisik Veer mengelus wajah Naina dengan kedua tangannya.
"Veer..." Naina bingung.
"Jangan bicara apapun Naina, biarkan aku memujamu, biarkan aku melakukan yang seharusnya." Veer menekan keningnya ke kening Naina. Nafasnya terdengar memburu dan penuh kegelisahan. "Biarkan aku menghirup aroma wangi dari tubuhmu, biarkan aku menghilangkan kebodohanku, yang telah menyakitimu."

"Veer..kau bicara apa?" bisik Naina.
"Andai kau tahu apa yang telah terjadi dengan hatiku.... Andai kau tahu ada yang telah merampas lelap tidurku.... Andai kau tahu kau telah mengambil kesadaranku." bibir Veer semakin bergerak diantara rambut Naina. "Kaulah rembulanku, cahaya dalam hidupku." Lanjut Veer.
"Veer..!" Naina memanggilnya. "Veer! kau baik-baik saja?" Naina menggoncang pundak Veer yang sedari tadi menatap kosong. "Ada masalah?" Naina heran.

Veer menghirup udara sebanyak mungkin sambil berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dia terlalu jauh berimajinasi, karena hatinya kini benar-benar merasakan perubahan yang tak pernah dia duga sebelumnya. Dia berusaha agar tak jatuh cinta, tapi justru dia yang terjebak sendiri.

"Halloooo...." Naina masih merasa heran karena tidak biasanya Veer seperti ini.
"Ya, tadi aku menjenguk rekanku yang sakit." Jawab Veer terbata-bata.
"Oh, dia baik-baik saja?" tanya Naina lebih lanjut.
"Dia menderita sakit di hatinya." Jawab Veer asal sambil menepuk-nepuk dada sebelah kiri.
"Siapa nama pasiennya?" tanya Naina penasaran.
"Sudahlah. Aku tadi tidak sengaja lewat. Kau sudah mau pulang?" tanya Veer tak biasanya.
"Belum. Aku akan mengecek dulu pasien-pasien di ruangan mereka. Baru setelah itu pulang." Jawab Naina tenang.

"Aku pergi dulu. Bye." Lanjut Naina karena seorang suster tampak memberi isyarat padanya.

Veer memandang punggung Naina yang semakin menjauh.

"Aku akan menunggumu!" teriak Veer ketika Naina sudah berada dalam lift yang terbuka. Naina tak terlalu mendengarnya, terlihat dari alisnya dikerutkan. Namun pintu lift sudah tertutup, dan Veer menarik nafas berat.

"Aku tidak pernah segugup ini Tuhan. Apa yang kau lakukan padaku?" gumam Veer sambil berjalan keluar menuju parkiran mobilnya.

Phonselnya berdering, nama Anu muncul. Veer menerima panggilan, dan mereka bernjanji bertemu di suatu tempat.
***

Naina baru saja berniat pulang ketika melihat kepanikan di ruang UGD.

"Ada apa?" tanya Naina.
"Pasien kecelakaan, dok." Ujar suster dengan sigap membawa dua korban kecelakaan ke dalam ruang UGD untuk segera diperiksa.
"Dokter Naina, bisa bantu menangani?" ujar dokter jaga tampak panik.
"Tentu." Naina segera mengurungkan niatnya untuk pulang dan masuk ke ruang UGD.
"Mereka kabarnya tengah bermesraan dalam mobil yang melaju kencang, hingga akhirnya malah bertabrakan dengan kendaraan di depannya." Ujar suster.
"Jangan menggosip." Omel Naina sambil memasang semua safety yang tersedia.
"Iya dok, hanya memberitahu kronologisnya saja." Suster tersenyum.

Naina berbalik dan menuju pasien pertama. Jantungnya seperti terlepas dan seketika melihat ke arah pasien satunya.

"Veer?" Lalu menoleh ke pasien lainnya. "Anu?"

==========

Naina harus berjuang sebagai seorang dokter sekaligus seorang istri ketika menangani Veer yang mengalami kecelakaan. Pikirannya terganggu dengan kabar bahwa mereka kecelakaan saat sedang bermesraan di dalam mobil. Meski tidak ada cinta, tetap saja membayangkan pria yang berstatus sebagai suami bermesraan dengan wanita lain hingga mengalami kecelakaan adalah hal menyakitkan.

"Dokter, anda baik-baik saja?" tanya suster ketika melihat Naina tampak memejamkan mata.
"Ya, hanya sedikit pusing. Bisa panggil dokter lain?" tanya Naina sepertinya tak mampu melanjutkan.
"Tidak ada dokter lain, semua sedang menangani pasien. Jika memanggil dokter yang tak di rumah sakit, membutuhkan waktu lama lagi." jawab suster.

Naina terpaksa melakukan tindakan seorang diri ditengah kegalauan hatinya.
Namun semua berhasil dilalui dengan baik, setelah harus berperang antara pikiran dan perasaannya. Anu sendiri ditangani dokter jaga karena beruntung tidak mengalami luka separah Veer, dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan.
Naina keluar dari ruang tindakan di UGD sambil membuka maskernya.

"Naina!" ibu Veer langsung menghambur. "Apa dia baik-baik saja? Ya Tuhan, untung kau yang menanganinya." Isaknya dengan kepanikan.
"Dia baik-baik saja. Hanya mengalami sedikit benturan di kepala hingga tak sadarkan diri. Dan tulang kaki retak karena tertekan badan mobil." Jawab Naina dengan berusaha memberikan senyuman yang tenang seperti pada keluarga pasien lainnya.
"Syukurlah." Ibu Veer tampak lega dan menyeka sudut matanya.

Tak lama tuan Kailash datang dengan wajah penuh amarah.

"Bagaimana kondisinya?" tanyanya. Ibu Veer menjelaskan apa yang dikatakan Naina. "Suruh semua yang tahu kejadian ini tutup mulut. Bungkam mulut mereka dengan uang." Omelnya sambil terlihat menahan kemarahan.

Lagi, dia memamerkan kekuasaan dengan tidak ingin nama baiknya rusak. Dia minta semua saksi yang mungkin diwawancara televisi untuk mengatakan Veer seorang diri saat kecelakaan. Dan itu terbukti ketika di headline beberapa surat kabar dikatakan 'Veer Nanda kecelakaan saat berkendara, sumber mengatakan rem mobilnya blong.'
***

Setelah tiga jam, Veer siuman dan tampak masih meringis. Merasakan sakit di kepala dan kakinya, dia sedikit lega dan tenang saat melihat dokter yang datang untuk memeriksanya. Dokter cintanya.
Dia tersenyum dan memandang wajah Naina yang serius mengecek kepalanya.

"Cantik." Gumam Veer sambil tersenyum memandang dokter yang tampak jutek padanya.

Lalu Naina berpindah ke bagian tubuh, Veer pasrah dan terus menatap Naina yang serius menekan bagian perutnya, untuk memeriksa adakah yang sakit disana. Lalu memeriksa kaki dan menjelaskan pada dokter tulang yang datang bersamanya.

"Ada sedikit retakan di pergelangan kaki, ini hasil rontgennya." Naina menunjukkan foto rontgen dan dokter tulang mengamati.
"Ini tidak terlalu parah. Bisa sembuh tanpa pembedahan. Mungkin istirahat satu atau dua minggu akan pulih, dengan balutan gif dan istirahat total. Bed rest." Terang dokter tulang.

Naina mengangguk, lalu menoleh pada Veer yang tersenyum padanya. Namun Naina tak memberikan senyum balasan, dia malah melengos dan berbicara pada suster untuk menjaga pasien karena dia akan memeriksa pasien lain.

"Naina...." panggil Veer. "Maksudku, dokter Naina...." bisik Veer dengan manja dan menggoda.
"Anda baik-baik saja tuan Veer Nanda, saya harus memeriksa pasien lain yang dalam kecelakaan ini sedang bersama anda." Tekan Naina, padahal tak seharusnya dokter mengatakan itu. Tapi sepertinya Naina tengah kesal, marah atau entahlah. Dia jadi sensitif, dan Veer menyadari itu. Menyadari bahwa Naina pasti sudah tahu semuanya.

Naina keluar ruang perawatan Veer dan menuju ruang perawatan Anu. Disana Kia dan Geet tengah menemaninya. Pandangan Kia sedikit tajam dan tak bersahabat padanya.

"Sudah enakan?" tanya Naina sambil melakukan pengecekan.
"Ya." Jawab Anu singkat.

Keempat sahabat itu tak biasanya saling diam, tak banyak bicara. Naina sibuk mengecek kepala Anu yang juga mengalami robekan akibat pecahan kaca. Lalu tangannya yang tertindih beban, juga kakinya. "Dokter tulang akan kemari sebentar lagi, dan menjelaskan kondisi lengkapnya." Ujar Naina menatap Anu dengan tatapan kosong.
Setelah itu dia berpamitan, hanya menyentuh pundak Geet dan Kia. Dia keluar dan menyandar di dinding sambil memjamkan mata. "Profesionallah Naina." Bisiknya hampir tak terdengar.

"Dok, diminta hadir di ruang rawat tuan Veer Nanda. Polisi disana sedang menyelediki kasus kecelakan ini." Ujar suster.

Naina mengangguk, lalu setelah suster pergi dia membenturkan sedikit kepalanya ke dinding. Kemudian berjalan menuju ruang peratawan suaminya.
Naina masuk dan disambut oleh inspektur polisi, setelah berbasa basi soal keadaan Veer. Inspektur itu menjelaskan.

"Jadi, menurut laporan bahwa kecelakaan ini dikarenakan anda tidak fokus pada berkendara." Ujar inspektor memulai pembahasan.
"Apapun itu, tolong jangan sampai semua ini bocor ke publik. Orang-orang dan saksi di lokasi sudah kubereskan untuk tidak mengatakan pada media bahwa Veer dengan seorang wanita." Kailash tampak emosi.

Inspektor hanya manggut-manggut dan mengatakan sudah memberikan pernyataan pada wartawan bahwa kecelakaan akibat rem mobil yang tiba-tiba blong.
Ekspresi Naina pun datar, diam tak merespon, dan Veer menyadari, Naina mungkin kecewa padanya. Dia baru berbicara ketika inspektor polisi mengatakan butuh tanda tangannya untuk bahan laporan. Formalitas.

"Tunggu! Aku jelaskan kronologisnya." Ujar Veer yang sudah bisa duduk di tempat tidur. "Kami tidak sedang bermesraan seperti dugaan orang-orang." Ujar Veer sambil menatap Naina. "Saat itu aku katakan bahwa tak bisa melanjutkan hubungan kami, dan dia marah... lalu mencekekikku. Dan aku kehilangan kendali kendaraanku." Papar Veer sambil tetap memandang ke Naina yang memandang lantai rumah sakit. "Itu yang sesungguhnya terjadi. Kau bisa tanyakan pada Anu." Tambah Veer, membuat Naina menoleh padanya.
Karena kalimat itu seperti tidak ditujukkan pada inspektor polisi, melainkan pada dirinya.

"Kami akan memeriksa nona Anuradha juga." Ujar inspektor sambil melihat tulisan asistennya yang menulis kronologis kejadian.
"Silahkan, inspektor. Tapi semua harus tahu bahwa tidak ada adegan tidak senonoh dalam kendaraan itu. Itu penting untuk diketahui seseorang." Lanjut Veer sambil tetap memandang Naina yang juga memandang dirinya.

Kailash mengernyitkan alis sambil bergantian menatap putranya dan Naina. Dia hanya mengangguk-anggukkan kepala, lalu menoleh pada istrinya dan Gauri. Mereka menganggukan kepala, entah kesepakatan apa yang mereka tangkap.
Namun dia meminta inspektor untuk tidak memeriksa gadis yang bersama Veer, dan tidak harus dimasukkan dalam laporan.
Selanjutnya dia meminta anak buahnya untuk membayar biaya pengobatan gadis itu dan tidak lupa mengancamnya untuk tutup mulut.
***

Naina duduk di ruang kerjanya, sambil menatap kosong.

"Kenapa Veer? Kenapa aku merasa ada yang berubah padamu? Apa kau... Tidak, tidak mungkin dia mengetahui kekesalanku..

Ya Tuhaaan, jangan buat aku jatuh cinta padanya. Aku tidak akan bisa menyakiti Anu, dan belum tentu keluarganya menerimaku.. dan Rohan, aku merasa Rohan semakin dekat padaku..."
Naina keluar dari ruangannya, lalu melajukan kendaraannya untuk pulang ke rumah Veer. sepanjang jalan dia teringat bagaimana sikap manisnya Veer selama di rumah orang tuanya. Awalnya dia mengira itu hanya akting, namun semakin dicerna setiap kata-katanya semakin mengarah pada satu hal, yaitu Veer gagal membencinya.

"Saat itu aku katakan bahwa tak bisa melanjutkan hubungan kami, dan dia marah lalu mencekekikku. Dan aku kehilangan kendali kendaraanku."
"Itu yang terjadi. Kau bisa tanyakan pada Anu."
"Silahkan, inspektor. Tapi semua harus tahu bahwa tidak ada adegan tidak senonoh dalam kendaraan itu. Itu penting untuk diketahui seseorang."

Naina memarkirkan kendaraannya, dan masih termenung mengingat semua perkataan Veer. Entah kenapa dia jadi begitu takut untuk bertemu pria itu. Lebih takut dari pertama kali dia menginjakkan kakinya ke rumah ini.
Naina berjalan menuju ruang tamu, dan disambut keluarga Nanda yang dia sendiri tak mengerti, kenapa semua jadi berubah baik.
Merekan menyambut Naina layaknya anggota keluarga mereka. Menanyakan rasa lelahnya hingga mau dibuatman masakan apa untuk makan malam. Tapi Naina hanya menggeleng lemah.

"Sudah, biarkan Naina ke kamarnya. Veer sudah pulang hari ini, dia sudah dikamar." Ujar ibu dengan senyum merekah.

Naina hanya mengangguk, lalu melangkahkan kakinya menuju kamar. Tangannya seperti kaku, sulit dia gerakkan untuk membuka handle pintu. Jantungnya berdegup amat cepat, melebihi ketika pertama kali datang ke kamar itu. Namun, akhirnya dia membuka pintu dan tampak Veer tengah terbaring di ranjangnya.
Naina berjalan perlahan, lalu duduk di sofa tempat dia tidur. Merebahkan diri, dan membuka grup chat bersama temannya. Sudah tak ada. Ya, dia telah dikeluarkan dari grup itu. Bahkan ketiga temannya memblokir nomornya.

"Kau sudah pulang?" Veer membuka mata dan menatap Naina yang tengah mengusap airmatanya.
"Ya." Jawabnya singkat.
"Ada masalah?" tanya Veer heran.
"Tidak. Hanya terlalu lelah. Aku tidur dulu ya." Naina memiringkan tubuhnya membelakangi Veer, meski belum mengganti pakaiannya.
"Ganti dulu pakaianmu. Masih bau rumah sakit." Goda Veer.

Naina tak menjawab, airmatanya terus mengalir deras. Dan dia terus menahan suara tangisnya, agar tak terdengar oleh suaminya.
Dia teringat ketika mengunjungi Anu di apartemen. Dan justru malah dimusuhi ketiga sahabatnya.

"Bagaimana keadaanmu, Anu?" Naina menemui Anu yang juga pulang hari ini ke apartemen.
"Masih berani menemuiku? Cari muka? Benar-benar wanita berwajah malaikat berhati iblis." Maki Anu, membuat Naina langsung bingung.
"Anu, kau baik-baik saja?" Naina tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Sudah jelas aku celaka. Dan pasti kau pun sudah tahu bahwa Veer memutuskan hubungan kami karena siapa. Masih berani bertanya dan so suci?" teriak Anu sambil tetap duduk di kursi tamu.
"Anu.... ini pasti salah faham." Naina mencoba menenangkan sahabatnya itu.
"Inikah caramu membalas kebaikanku? Membalas setiap bantuanku? Kau menghianatiku. Kau menusukku dari belakang! Kau mengambil pria yang aku cintai! Sekarang aku faham kenapa Rohan meninggalkanmu, dia pasti tahu sifat busukmu itu." Anu berdiri memandang Naina dengan tajam, meski perban masih menempel di kepalanya.
"Jangan mengelak lagi Naina, aku melihat sendiri kau mengembalikan key card hotel Veer ke saku celananya. Kau pasti semalaman di kamarnya, apa yang mungkin terjadi dengan pria dan wanita dalam satu kamar? Hah?" Kia tampak emosi.
"Demi Tuhan, dengarkan dulu penjelasanku." Naina berusaha menenangkan ketiga sahabatnya.
"Sudah jelas Veer memutuskan hubungan dengan Anu pasti karenamu, karena dia lebih memilih wanita yang so suci sepertimu." Teriak Kia.
"Begini... aku dan Veer..."
"Keluar!!!!" teriak Anu sambil mendorong tubuh Naina. "Aku bilang keluar dan pergi dari sini! Aku jijik melihatmu! Keluar!" teriak Anu sambil memegangi kepalanya.
"Pergilah dulu Naina, kau jelaskan nanti saja." Geet tak bisa berbuat apa-apa.
"Geet, kau harus dengarkan aku dulu. Kami...."

Geet sudah menutup pintu apartemennya, dan Naina tak sempat menjelaskan bahwa dia dan Veer adalah suami istri. Veer adalah suami yang selalu mereka ejek itu.
Naina membersihkan luka kaki Veer di pagi hari, dibantu Gauri dan juga dua orang pelayan. Lalu mengganti perban di kepalanya. Saat itulah Veer bisa menikmati wajah istrinya yang tengah sibuk memakaikan obat.

"Terima kasih." Jawab Veer setelah selesai.

Veer masih memandang Naina yang sedang merapikan obat. Gauri tersenyum melihat itu, dan meminta para pelayan keluar bersamanya.

"Matamu bengkak kenapa?" tanya Veer memandang Naina.
"Bukan urusanmu." Jawab Naina ketus.
"Besok-besok suruh pelayan saja yang mengganti perban dan mengobati kakiku. Jangan so perhatian depan mereka hingga kau harus turun tangan." Canda Veer sambil tersenyum. Sayang Naina tak melihat wajahnya.
"Kau benar, seharusnya aku menyuruh mereka. Lupa tentang siapa aku di rumah ini. Atau aku panggil kekasihmu itu untuk mengobati lukamu diiringi adegan romantis, meniup dan mengelus?" Naina bicara dengan nada emosi.

Veer jadi heran dan sedikit tersinggung mendengarnya.

"Sudah kukatakan, kami bukan sedang bermesraan saat kecelakaan." Veer kembali membela diri.
"Baik, aku akan tanyakan pada mobilmu yang rusak itu." Naina berdiri dan merapikan kemeja juga rambutnya.
"Kalopun ya kenapa kau harus marah?" Bentak Veer mulai terpancing emosi.
"Marah? Tidak. Aku hanya tidak mau kau mengira bahwa aku masih mencari kesempatan agar kau jatuh cinta padaku. Tidak akan pernah." Naina bertolak pinggang memandang Veer.
"Aku juga tidak berniat menjelaskan itu padamu. Aku jelaskan itu di rumah sakit agar ayahku tidak salah faham. Penjelasanku untuk ayahku." Ralat Veer dengan kesal.
"Aku tahu. Aku tidak pernah mengira itu penjelasan untukku." Naina menyemprotkan minyak wangi di badannya.

Veer jadi kesal dengan sikap Naina yang tak semanis kemarin.

"Sekali lagi aku tekankan Veer Nanda. Aku tidak pernah mengharap kau mencintaiku atau keluargamu menerimaku sebagai menantu keluarga ini." Naina menatap tajam Veer yang juga menatapnya. "Aku mencintai orang lain, dan cintaku tidak berubah, hingga detik ini."
"Hehhh... pada pria yang mencampakkanmu di pelaminan? Hebat." Veer membuang muka dan merasa terluka dengan pengakuan Naina.

Naina menyambar tasnya dan segera meninggalkan Veer yang hanya menatap punggungnya, dan mendengar Naina sedikit membanting pintu. Veer merebahkan dirinya di bantal.
Naina masih pusing memikirkan hubungannya dengan ketiga sahabatnya. Baginya lebih baik kehilangan Veer daripada tiga orang itu, terutama Geet. Karena saat dia seorang diri di kota ini, hanya merekalah yang peduli.
***

Malamnya Veer turun dengan memakai tongkat, menuju ruang makan. Semua sudah berkumpul, hanya Naina yang belum datang.
Veer langsung meminta pelayan menaruh makanan di piringnya.

"Kau tidak menunggu istrimu dulu, Veer?" tanya Gauri sambil tersenyum.
"Istri? Memangnya sejak kapan kalian menganggap dia sebagai istriku?" tanya Veer menatap kakaknya.
"Aku bisa melihat kalian mulai saling menyukai." Jawab Gauri sambil menoleh ke arah ayahnya.
"Kau salah, kami tidak saling mencintai. Kami akan tetap pada keputusan awal, akan berpisah setelah enam bulan pernikahan kami." Ujar Veer tegas.

Gauri dan ibunya saling melempar pandangan, begitu juga Kailash yang sempat mengira Veer mulai menerima Naina.

"Veer benar, kami hanya mencoba berdamai dengan takdir. Tapi tidak akan mengubah apa yang seharusnya terjadi." Ujar Naina yang baru saja datang. Lalu dia duduk di dekat Veer dan menoleh ke arah Veer yang tampak jutek padanya.

Dan benar, esoknya Naina sudah berangkat seperti biasa jam enam. Gaurilah yang mengobati dan membersihkan luka Veer. Gauri menatap adiknya yang melamun dan menatap kosong.

"Akui saja kalau kau sudah mencintainya."
"Untuk apa? Karena dia tidak mencintaku. Dia mencintai pria lain." jawab Veer dengan menahan kesedihan.
"Darimana kau tahu? Aku bisa melihat saat dia kesal sekali ketika tahu kau bersama Anu saat kecelakaan." Gauri masih tidak percaya.
"Dia kesal karena Anu adalah sahabatnya. Bukan karena cemburu."

Gauri diam tak tahu harus menjawab apa. Dan Veer terus melamun namun gelisah.

"Kak, aku tahu dimana keberadaan pria yang Naina cintai. Pria yang meninggalkannya di hari pernikahan." Ujar Veer, "haruskah aku memberitahukannya pada Naina?" tanyanya pelan.

Gauri terdiam, dia tidak tahu harus bicara apa. "Kau mencintainya?" tanya Gauri memastikan. Veer hanya mengangguk pelan. "Ini bukan film Veer, Naina belum tentu menghargai pengorbananmu. Kau hanya harus buat dia jatuh cinta padamu, lupakan tentang keberadaan pria itu." Gauri menatap Veer. Dia tidak ingin adiknya terluka karena cinta. Dia terus membujuk Veer untuk melupakan pria yang dicintai Naina.

"Bagaimana jika dia tahu di kemudian hari, dan membenciku?" tanya Veer lagi.
"Buang semua bukti yang kau punya. Dia tidak akan tahu kalau kau tutup mulut." Gauri tampak serius.

Veer semakin dilematis dan tak bisa menentukan harus berbuat apa. Pikirannya semakin tidak karuan, setiap kali berhadapan dengan Naina yang berubah jadi dingin padanya.
***

Veer sudah bisa berjalan dengan normal setelah dua minggu perawatan. Dia mulai kembali bekerja, dan sepulang kerja dia menghubungi Naina.

"Temui aku di apartemen dengan alamat yang telah aku kirimkan di whatsapp." Ujar Veer saat menghungi Naina.
"Ada apa?" Naina heran.
"Temui saja. Ini penting, aku akan membahas soal perpisahan kita juga." Veer mematikan telepon.

Naina tertegun, memegang phonsel dan menggenggamnya. Lalu keluar dan melajukan mobilnya ke alamat yang dikirimkan Veer. Setelah janjian bertemu di parkiran, keduanya berjalan menuju lobi.

"Aku membeli apartemen disini untukmu. Sebagai pembagian harta setelah perceraian kita." Ujar Veer menjelaskan.
"Kau tidak perlu repot-repot Veer, aku tidak menginginkan semua itu. Aku hanya ingin semua cepat berakhir, dan tidak ada lagi yang tersakiti diantara kita." Jawab Naina keberatan.

Veer mencerna kalimat Naina, namun berusaha tidak memperdulikan. "Ini sudah kewajiban seorang suami yang menceraikan istrinya. Ayo." Veer sudah memegang kunci yang baru saja diberikan pihak pengelola.
"Jika kau parkir di basement, kau bisa naik lift. Tapi jika kau parkir di halaman, kau bisa melewati taman ini. Indah bukan?" Ujar Veer sambil berjalan lebih dulu.

Naina memandang ke arah taman yang penuh bunga. Apartemen ini sangat asri dan indah dengan banyaknya bunga di tamannya. Namun yang membuat Naina menghentikan langkah adalah seorang pria yang tengah menggambar sketsa gedung di taman.
Dia tidak lagi mengikuti Veer yang sudah lebih dulu. Dia berbelok dan berjalan dengan airmata menggenang ke arah taman. Mendekati pria yang tengah sibuk dengan pekerjaannya.
Veer menoleh ke belakang, dan melihat Naina berdiri di hadapan seorang pria. Veer menggigit bibirnya, dan mengusap wajahnya dengan nafas yang memburu, menahan tangis yang hampir meledak dirasanya. Meski dia sendiri yang merancangnya, agar Naina melewati taman ini.

"Rohan...." bibir Naina bergetar.

Pria itu menoleh dan membuat Naina histeris pada akhirnya...

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER