Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 30 Desember 2021

Purnama Di Balik Awan #4

Cerita Bersambung

Hamparan laut menyambut kedatangan mereka. Hotel yang mereka tempati tepat di tepi laut, dan sebelum menuju kamar masing-masing, mereka memilih berlari-lari di tepi pantai. Menari menandakan kebahagiaan, menari selayaknya masa SMA dan Veer hanya memperhatikan dari jauh.
Naina pun jauh dari sikapnya yang dewasa dan pendiam seperti yang ada di rumah. Dia menari dengan riang, bahkan mengajak teman-temannya berlari ketika ombak mengejar mereka.
Naina merentangkan tangan ketika matahari mulai menguning. Menatapnya dengan penuh takjub.

"Rohan, dia memejamkan mata." ada tetesan bening di sudut matanya.

Mereka pernah datang ke pantai yang sama seperti saat ini. Dan disitulah kenangan manis itu tercipta. Disaat sunset Rohan mengatakan perasaannya untuk pertama kali. "Kau tahu, Naina?" katanya sambil menatap matahari yang tenggelam.
"Begitu banyak dari teman-temanku yang menyukaimu. Saat itu aku merasa tidak pantas untuk memilikimu." Katanya sambil menatap sendu matahari. Sedang Naina menatap Rohan dengan penuh tanya.
"Aku? banyak yang menyukaiku? Lelucon macam apa itu?" Naina tertawa sinis sambil berjalan ke arah kerang yang tersingkir karena deburan ombak.
"Itu benar. Mereka menyukai kecantikanmu, mereka menyukai kecerdasanmu, mereka menyukai sikap santunmu. Entah apa lagi. Saat itu aku merasa paling beruntung bisa menjadi sahabatmu." Ujar Rohan menghampiri Naina yang tersenyum dan sibuk mengambil kerang yang tampak indah.

"Lebih beruntung saat tahu kau mencintaiku." Rohan memeluk Naina dari belakang. Membuat Naina tertegun dan sedikit gugup. Rohan mengusapkan pipinya di pipi Naina yang merona.
"Dan apa kau mencintaiku?" tanya Naina sambil berbalik. Matanya semakin bersinar terkena pantulan sinar oranye dari langit.

Rohan menatap wajah Naina dengan tatapan tak terbaca.
"Apa kau perlu bukti?" tanya Rohan seolah tengah menantang Naina.

Naina kembali menatap langit, menarik nafas, dan berfikir.
Rohan melepaskan pelukannya dan berlari agak ke tengah.

"Rohan!" teriak Naina terkejut melihat Rohan membuka bajunya dan melemparkannya ke laut.
"I love you, Nainaaaaa...!!!" teriak Rohan sambil menceburkan dirinya ke laut.
"Rohan!" Naina mengejar Rohan yang seperti terseret ombak. Lalu bersusah payah menarik pria berorot besar itu ke tepi.
"Ini bukan kau yang membuktikan cintamu, tapi aku!" omel Naina sambil mendorong dada Rohan.

Rohan malah tersenyum dan menatap gadisnya yang tengah mengatur nafas karena kelelahan menarik dirinya. Lalu meraih dagu Naina dan menatapnya dengan intens.
Alam semakin gelap, namun mereka masih bertahan di hangatnya udara pantai. Dan semakin terasa hangat ketika bibir Rohan mengecup pipi dekat telinga Naina yang memejamkan mata. lalu mengecup hidung Naina yang semakin merona, dan mengusap bibir merah itu dengan ibu jarinya.
Naina menatap mata Rohan yang mulai berkabut. Dan seperti kehilangan kesadaran, keduanya semakin mendekat satu sama lain, nafas mereka semakin memburu. Namun sebuah jari menghalangi pertemuan bibir mereka.

"Aku ingin merasakannya saat malam pertama." Telunjuk Naina mendorong bibir Rohan menjauh. Lalu berlari meninggalkan Rohan yang mendesah kesal.
"Hey!" Kia memeluk Naina dari belakang, "ayo kita taruh barang-barang dulu. Veer sudah keatas dengan Anu." Katanya.
"Mereka sekamar?" tanya Naina penasaran.
"Tidak. Veer tentu memilih VVIP class room, dia kan memang ada urusan bisnis. Anu tidak jauh dengan kita di lantai delapan. Kamar kita bersebalahan semua." Jawab Kia.
"Owh.." Nain menarik nafas lega.
"Lagipula mereka sudah dewasa. Biarkan saja mereka mau berbuat mesum juga itu tanggung jawab mereka hahaha." Geet tertawa geli.

Naina hanya tersenyum kecut sambil kembali menoleh ke belakang. Ke arah pantai, berharap ada seseorang yang selalu dia cari berada disana.
***

Mereka duduk di restoran untuk makan malam. Veer di meja lain dengan rekan-rekan bisnisnya, sedang para gadis di meja lainnya. Lantunan musik dari penyanyi restoran tersebut terasa syahdu dan romantis terdengar. Banyak diantara mereka memang pasangan kekasih.

"Naina, kau menyanyi sana. Seperti kita SMA dulu." ujar Anu dengan semangat.
"Suarakau sekarang sumbang." Tolak Naina.

Geet langsung berdiri, dan mengatakan temannya ingin bernyanyi. Dan dari panggung nama Naina disebut dan dipersilahkan naik.

"Dasar gila." Omel Naina.
"Kau lupa kalau kami gila? Sayang kau bukan dokter kejiwaan hahaha." Mereka bertiga saling tous.

Naina terpaksa berdiri dan menuju panggung. Dia meminta gitar akustik, karena akan menyanyikan lagu sendiri. Semua mata tertuju padanya, termasuk Veer yang sempat merasa kesal.

"Mau apa dia? Mempermalukan diri sendiri?" gumam Veer tampak cemas melihat Naina tengah menyetel gitarnya.

Naina mulai memetik gitarnya dan matanya terpejam. Ingatannya kembali kepada kebersamaannya bersama Rohan.

*Aku masih disini, duduk dan terus menantimu.. meski kau tak pernah mengetahui
Hanya kaulah yang bisa mengobati kekosngan di hati..
Hari ini, kau katakan menjadi paling beruntung bersanding bersamaku
Kebersamaan bersamamu, adalah keberuntunganku
Dengarkanlah alunan musik yang ku persembahkan..semua karena cintaku padamu
Hanya kaulah yang bisa menjadikan setiap syair memiliki melodi..
Bunga-bunga yang kau taburkan pada tubuhku..
Tak seharum sentuhan nafasmu di setiap hembusannya padaku..
Hanya kaulah yang bisa menjadi candu yang selalu memabukkanku
Hingga ..... tak satupun kumbang yang dapat menarik bunga seperti diriku..*

Veer menatap Naina yang tengah menikmati alunan musik dari gitar akustik yang dipetiknya, dan berusaha mencerna syair yang dinyanyikan. Lalu menatap ketiga teman Naina yang terpaku dan tampak dari mereka seperti sedih dengan lagu yang dinyanyikan sahabatnya.

Setelah selesai, semua bertepuk tangan, dan ketiga temannya memeluk Naina yang tampak sedih.

"Ayolah, kita kemari untuk bersenang-senang." Anu memeluk Naina.

Naina hanya mengangguk, berusaha kembali tersenyum sambil kembali menikmati makan malamnya. Dan tak lama Veer bergabung dengan mereka. Naina tampak biasa saja meski Veer berulang kali melirik ke arahnya.

"Naina, bisa tolong ambil foto kami?" ujar Anu sambil menyerahkan iPhonenya. Naina mengangguk dan mengambil foto Veer dan Naina yang duduk berdekatan.
"Naina itu selain dokter, suaranya juga lumayan. Lumayan jelek hahaha." Canda Anu yang diikuti tawa teman-temannya.
"Dia juga kalau mengambil foto sangat bagus. Coba lihat!" Anu menunjukkan hasil foto pada Veer.

Naina memandang Veer yang tampak tersenyum dan menatap Anu dengan mesra.

'Tidak! Aku tidak cemburu. Tidak cemburu. Aku mencintai Rohan.'

Hati Naina terus berkecamuk, antara tidak suka melihat kemesraan Veer dan Anu, yang menurutnya tak pantas mereka lakukan. Terlebih dia adalah istri dari pria itu. Ya ya ya meski istri yang tak diakui, tapi secara hukum dan adat juga agama, mereka adalah sepasang suami istri yang sah.
Dan tidak sekali dua kali, Naina harus mengambil gambar mereka berdua. Mulai dari hanya saling pandang, hingga Anu yang tiba-tiba mengecup pipi Veer.

Naina tidak menikmati liburan ini, karena kemanapun mereka pergi, Veer akan turut serta. Dia merasa tidak bebas menjadi dirinya sendiri. Entah kenapa. Padahal Veer tidak mengintimidasinya ataupun meminta dia menjaga sikap. Tapi dia merasa tidak nyaman dengan kehadiran suaminya itu.

"Anu mana?" tanya Kia sesaat setelah makan malam, di hari terakhir mereka di Goa.
"Seperti biasa. Dengan pangeran hatinya." Jawab Geet.
"Bagaimana kalau malam ini kita habiskan di club malam?" ajak Kia.
"Aku tidak ikut." Jawab Naina cepat.
"Ck! Ayolah, sekali-kali. Ini malam terakhir kita disini. Lagipula mau apa kau di kamar? Anu saja mungkin sedang beradegan hot dengan Veer hahaha." Geet tertawa lebar.

Entah kenapa Nain tidak suka mendengarnya. Dia merasa kesal mendengar itu, dia marah tapi entah apa yang membuatnya kesal.

"Aku akan ke kamar saja. Kalian pergilah." Ujar Naina segera meninggalkan teman-temannya. Langkahnya kian cepat menuju lift dan terlihat gelisah. Entah kenapa perasaannya tidak enak malam ini. Keluar dari lift dia berjalan cepat, dan ketika belok ke arah kamarnya dia melihat Veer dan Anu disana.
Tidak, bukan hanya melihat mereka berdua, tapi pemandangan ini lebih dari biasanya. Anu tampak tengah menggoda Veer yang menolak masuk ke kamarnya. Naina tertegun dan menghentikan langkahnya, karena kamar Anu dan kamarnya bersebalahan.
Dia mengawasi dari jarak sekitar sepuluh meter, dan sepertinya mereka tidak menyadarinya. Dan tak lama pemandangan yang sungguh membuat Naina mual terjadi. Veer dan Anu berciuman bibir dengan liarnya, di hadapannya!!! Bahkan tangan Anu bergerilya di dalam kemeja yang dipakai suami resmi dari Naina. Sedang tangan Veer mendekap erat punggung Anu yang tak tertutup kain.

Naina segera membalikkan badan dan menyandarkan tubuhnya di dinding. Sungguh dia tak pantas melihat itu. Tidak! Sungguh Veer tak pantas melakukan itu dihadapannya. Tau atau tidak ada dirinya, Veer harusnya bisa menjaga ikatan mereka.
Naina kembali ke lift dan menekan semua tombol lift seperti orang frustasi. Lalu masuk dan menyandarkan tubuhnya dengan nafas tak beraturan. lalu keluar dan mencari kedua temannya. Mereka sudah berada di club malam.
Naina masuk dan mencari kedua temannya, tapi tak dia temukan. Dia berjalan dan duduk di kursi bar, sambil berusaha menenangkan nafasnya.

"Minum, nona?" sapa bartender.

Dia memandang gelas yang disodorkan bartender. Ntah jenis apa, dia tak tahu dan tak pernah ingin tahu. Tapi dia menerimanya, lalu meneguknya sekaligus.

"Anda peminum yang hebat?" puji bartender sambil tersenyum.
"Satu lagi." kata Naina sambil menatap kosong. Bartender menyerahkan satu gelas lagi, lalu Naina meminumnya lagi dengan cepat. Dia tampak kepanasan pada akhirnya.

Naina mengeluarkan uang dari saku bajunya dan menaruhnya di meja bartender. Lalu mencari toilet karena ingin muntah.

"Apa aku tidak salah lihat? Itu Naina?" tanya Kia ketika tengah menari di tengah kerumunan.
"Mana mungkin, sudah ayo menari saja." Ujar Geet kembali menggoyangkan badannya.

Naina mengeluarkan semua isi perutnya, tapi percuma kepalanya terasa pusing. Dia sempoyongan keluar dari toilet dan menemui sekuriti.

"Bisa antar aku ke pintu keluar?" tanyanya dengan mata berkunang-kunang.
"Tentu nona." Sekuriti itu langsung menuntun tangan Naina hingga pintu keluar. "Perlu kupanggilkan pelayan hotel untuk mengantar anda ke kamar?" tanya sekuriti lagi saat melihat Naina tampak tak stabil.

Naina menggeleng dan kembali berjalan ke lift. Tiba-tiba dia melihat sosok yang amat dia kenal dan amat dia nantikan.

"Rohan!" teriak Naina. Tapi orang itu tidak menoleh dan terus berjalan ke lobi, lalu keluar.
"Rohan!! Rohan!!" Naina yang sedang mabuk berlari mengejar pria yang diduganya sebagai Rohan. Dia terus mengikuti orang itu, hingga ke tepi pantai.

"Rohan!" teriak Naina dengan suara semakin serak. Dia berjalan tak beraturan di pasir pantai. Lalu melepas sepatunya dan masih terus berjalan.

"Rohaaaaan!!!" teriak Naina sekuat tenaga. Lalu menangis dan mundur perlahan, karena pria itu tak terlihat lagi.
"Naina?" sapa seorang pria dari belakang.
Naina menoleh dan tersenyum senang. "Rohan!" Naina langsung menghambur dan memeluk pria itu. Mencengkram kemejanya dan menangis di dadanya.

"Kenapa kau jahat sekali Rohan? Aku mencarimu." Isaknya.
"Rohan?" gumam pria itu. Ternyata itu adalah Veer, yang sesaat setelah adegan liarnya dengan Anu dia menyadari tindakannya salah.
"Aku tidak bisa melakukan ini, Anu." Veer melepaskan tautan bibir dan tangannya.
"Kenapa? Kita saling mencintai. Aku rela melakukan apapun demi dirimu, Veer." Anu kembali mendekat.
"Tidak. Aku tidak bisa. Aku... aku.." Veer mengusap wajahnya. "Aku sudah menikah." Lanjutnya. Anu terhenyat dan menatap Veer dengan tatapan tidak percaya.
"Lalu hubungan ini?" Anu hampir menangis karena tak menduga dengan jawaban Veer.

Veer tak sanggup menjawab, Dia meninggalkan Anu yang tengah kehausan dan patah hati, memilih keluar dari kamar kekasihnya. Mencari udara segar di pantai. Tak dinyana dia melihat Naina lari bagai orang gila ke arah pantai, dan Veer terus mengejarnya.

"Rohan..." bisik Naina lagi. "Kenapa kau mencampakkan aku? Kenapa kau tinggalkan aku di pelaminan? Kenapa kau tidak datang ke pernikahan kita? Kenapa Rohan? Kenapa?" Naina terus bergumam di dada Veer.
"Semua orang iba padaku. Semua orang melihat aku seperti wanita sial. Semua orang menganggap aku ....hh.." hanya isakan yang terdengar.

Veer diam saja, dia tidak tahu harus berkata apa. Naina mengira dirinya orang lain, namanya Rohan. Dan itu adalah pria yang meninggalkannya di hari pernikahan.
Naina mengangkat wajahnya. Veer dapat merasakan bau alkohol dari mulut Naina, dia menyadari Naina tengah mabuk.

"Kau mabuk, ..." Veer berusaha menenangkan Naina, menyadarkannya.
"Biarkan aku mencengkrammu seperti ini. Agar kau tidak meninggalkanku lagi." Naina semakin erat mencengkram kemeja Veer.
"Kau tahu? Setelah kepergianmu, aku seperti tak memiliki tujuan hidup lagi. Aku merasa telah mati, karena malu dan sakit hati." Isak Naina sambil menjatuhkan kepalanya di dada Veer. "Tapi demi orang tuaku, aku harus terus hidup. Aku harus menjaga mereka, orang tua dan adikku." isaknya.
"Hingga... hingga... orang itu datang. Dan tiba-tiba saja mereka menikahkan aku dengannya. Menikahkan aku dengan pria yang tidak kucintai, menikahkan aku untuk menggantikan Tania yang sama denganmu lari dari pernikahan." Isakan Naina semakin terdengar menyedihkan di dada Veer. "Dia tidak mencintaiku, aku juga tidak. Tapi... tapi dia sangat jahat. Dia tidak pernah memperlakukan aku dengan baik, dia mengira aku mengharapkan menikah dengannya. Padahal tidak, Rohan. Aku masih mencintaimu, aku tidak pernah mencintainya." Naina mengeluarkan semua keluh kesahnya pada Rohan seperti biasa. Namun yang dihadapannya justru bukanlah Rohan. Melainkan orang yang sedang dia ceritakan.

Sementara Veer terdiam, mencoba menggali apa yang dirasakan wanita itu selama ini. Meski sebenarnya tak pernah ingin dia ketahui. Tapi entah kenapa dia tak bisa mengabaikan Naina untuk saat ini.

"Kau tahu? Aku tidak masalah dia seperti itu. Tapi saat tahu dia menjadi kekasih Anu, aku ingin marah. Kenapa harus sahabatku?" tanyanya lagi.

Veer tersenyum kecut. Sambil terus memeluk tubuh Naina.

"Bukan, bukan cemburu. Tapi... dia tidak boleh menjalin hubungan selagi masih menjadi suamiku. Iya kan Rohan?" Teriak Naina sambil membentur-benturkan kepalanya pada dada Veer. "Dia harus menghormati pernikahan kami bukan? Jawab Rohan. Kenapa diam saja?" Niana mengangkat wajahnya dan memegang kedua pipi Veer yang terdiam membisu, bibirnya kelu.

"Dan kau tahu? Tadi mereka berciuman dengan sangat menjijikan. Aku ingin muntah melihatnya." Naina mendorong tubuh Veer sambil pandangannya tak karuan ke arah pasir di pantai. "Aku jijik, aku marah. Bukan cemburu! Tapi dia tidak pantas melakukan itu. Cinta atau tidak padaku dia harus bisa menghargai status kami. Dia harus menghormati Tuhannya, karena kami menikah atas nama Tuhan." Naina ambruk dan duduk di pantai yang basah.
Veer memjamkan matanya, lalu mendekat dan membangunkan Naina.

"Jawab Rohan. Kenapa kau diam saja?" Naina kembali mengalungkan tangannya di leher Rohan. "Aku akan kembali padamu, setelah berpisah dari Veer. Tapi kau tidak boleh menemuiku selama kami masih suami istri, ingat itu. Tapi aku akan kembali padamu." Bisik Naina sambil memeluk kembali Veer yang dikiranya Rohan.

"Kau belum menjawab kenapa meninggalkanku?" tanya Naina dalam dekapan Veer. "Apa karena aku menolak kau cium?" tanyanya lagi dengan polos.

Veer tersenyum geli namun juga merasa miris dengan keadaan gadis ini. Naina kembali memandang Veer yang tengah memandangnya.
"Aku akan memberikan apapun setelah aku berpisah dari suamiku. Apapun. Apapun yang kau minta. Sebelum atau sesudah pernikahan kita, asal jangan tinggalkan aku lagi." bisik Naina dengan lembut.

Veer menatap Naina dengan tatapan tidak suka. "Tidak boleh. Kau tidak boleh seperti itu." Gumam Veer menatap mata Naina. "Kau harus tetap menjadi wanita baik-baik."

Naina menggeleng seperti anak kecil. "Karena aku tidak mau kau pergi lagi." bisik Naina, sambil menarik kepala Veer dan mengecup bibirnya.

Veer hampir tak percaya dengan apa yang terjadi, namun dia merasa ada kehangatan yang luar biasa yang menyelimutinya.
Tangannya dengan lembut memeluk Naina dan mengelus punggungnya, lalu membalas kecupan Naina di bibirnya.
Naina mendorongnya pelan.

"Saat ini mungkin aku sama saja dengan dia. Maafkan aku telah menghianatimu, Veer." Gumamnya seolah menyesali ciumannya dengan Rohan.
"Aku adalah milikmu, Rohan." Katanya sambil memeluk Veer dengan erat. Namun lama kelamaan ambruk dan seperti tertidur.

Veer segera menahan tubuh Naina, lalu menggendongnya dan berjalan di pantai sambil menatap wajah istrinya yang terkena cahaya dari bulan purnama.

"Kau seperti bulan purnama, yang tertutup awan, Naina. Sesungguhnya sangat terang dan indah, tapi awan telah menutupinya. Dan mungkin aku bagian dari awan-awan itu." Bisik Veer sambil terus menggendong tubuh Naina hingga hotel.

Para pelayan menawarkan membantu dan menanyakan kondisi Naina, tapi Veer mengatakan dia hanya tertidur dan memilih membawa ke kamarnya.
Veer merebahkan Naina di kasurnya yang luas. Menatap wajah istrinya yang lelah, dan penuh tekanan. Namun dalam keadaan terpejam, dia tampak sangat manis dan seutas senyum tersungging di bibirnya.

Lama Veer menatap wajah Naina, dan akhirnya dia merebahkan diri di sampingnya. Menatap langit-langit kamar. Sesekali masih menoleh pada istrinya yang terdengar mendengkur halus karena pulas. Menatap bibirnya yang tadi dia rasakan untuk pertama kali. Sebaris senyum tersinggung di bibirnya.

"Dokter nakal." Bisik Veer sambil mengelus rambut Naina.
"Rohan. Siapa pria itu?" gumam Veer sambil menjadikan tangannya sebagai bantalan.

==========

Matahari membangunkan keduanya dari tidur panjang, untuk pertama kali di ranjang yang sama sebagaimana layaknya suami istri. Naina membuka matanya dan mengerjap beberapa kali untuk memperjelas pandangannya. Dia menatap tak percaya dengan pria yang tengah tertidur pulas dengan tubuh meringkuk ke arahnya.

"Veer?" Naina setengah berteriak dan segera duduk menatap Veer yang membuka matanya.
"Hmm...." Jawab Veer sambil merentangkan tangannya keatas, lalu memijat lehernya karena tidur miring ke arah kanan terus menerus, membuatnya pegal.
"Kenapa aku ada di kamarmu? Dan... apa...." Naina menahan kalimatnya.
"Tidak terjadi apa-apa. Itu sudah pasti." Potong Veer cepat.
"Maksudku... Anu tahu?" Tanyanya sedikit panik.
"Tidak. Dia tidak tahu." Jawab Veer entang sambil berjalan ke lemari pendingin dan meneguk satu botol penuh air mineral. Entah kenapa dia seperti kehausan padahal baru bangun tidur.

"Bagaimana aku ada disini? Bukannya semalam kau dengan..." Naina tak melanjutkan kata-katanya, karena takut Veer tahu bahwa dia melihat ciuman itu.
"Semalam aku jalan-jalan ke pantai. Dan menemukan kau tertidur di pantai seperti ikan paus yang terdampar." Jawab Veer enteng.

Naina mendelikkan matanya dan merasa tidak percaya. "Kau boleh mengataiku ikan paus, tapi jangan mengarang cerita." Protes Naina.
"Itu sungguhan. aku takut kau ditangkap nelayan, jadi aku bawa kemari."
"Kenapa tidak dibawa ke kamarku?" protes Naina.
"Resikonya teman-temanmu bisa melihat kita."
"Kau takut Anu melihat kita." Ralat Naina dengan kesal. Lalu bangkit dan bersiap keluar kamar itu. Namun langkahnya terhenti saat bel kamar itu berbunyi. Dia mengintip dari lubang khusus, dan ternyata itu Anu.
"Anu kemari." Katanya mundur dengan cepat. Dia mencari tempat persembunyian dan langsung masuk ke kamar mandi.

Veer berjalan ke pintu, dan benar Anu yang datang.

"Aku minta maaf atas kejadian semalam." Ujar Anu. Naina melihat mereka dari kaca kamar mandi, namun yang diluar tidak dapat melihatnya. Dia juga tidak tahu apa yang dibicarakan sepasanga kekasih itu.
"Aku yang minta maaf." Veer tampak bingung.
"Tapi bagiku tidak masalah. Kau beristri atau tidak. Jika kau begitu nekat menjalin hubungan denganku, pasti pernikahanmu tidak baik-baik saja. Dan aku akan menunggu sampai kau berpisah dengannya." Ujar Anu optimis, membuat Veer tercengang dan hanya terdiam.
"Sekarang ayo kita habiskan hari terakhir kita disini. Teman-teman sudah menunggu dibawah." Anu menarik tangan Veer, dan tidak ada penolakan dari pria itu.

Naina keluar dari kamar mandi, namun seketika lari masuk kembali ke tempat itu. Karena Veer dan Anu kembali ke kamar. Veer lupa belum mandi dan belum memakai pakaian utuh.
Veer masuk ke kamar mandi sementara Anu duduk di sofa sambil membaca majalah. Sementara Naina berpandangan dengan Veer yang hendak mandi.

"Aku... aku... akan duduk di toilet." Naina mendekati toilet duduk dan menyandar di dinding itu.

Sementara Veer masuk ke dalam ruang mandi, menutup tirainya dan tal lama terdengar percikan shower.  Naina mendengus kesal, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Dia hanya ingat mengejar Rohan, lalu memeluknya. Setelah itu dia tak ingat apapun lagi.
Veer keluar dengan pakaian lengkap yang dia bawa, lalu menoleh pada Naina yang masih menyandar dengan berpangku tangan.

"Aku pergi dulu." Katanya singkat.

Naina melihat mereka pergi, lalu keluar dan berjalan ke pintu. Mencabut key card dari dinding, kemudian meninggalkan kamar setelah memastikan Anu dan Veer jauh. Dia berjalan cepat ke kamarnya, lalu mandi secepat mungkin dan segera menyusul ke lobi.

"Naina tidak menjawab dari tadi aku tekan bell kamarnya." Ujar Kia saat Anu dan Veer datang.
"Mungkin dia sedang tidur pulas." Jawab Geet sekenanya.
"Paling dia sedang meratapi Rohan. Kau ingat kan? Mereka pernah liburan di tempat ini juga?" Ujar Anu sambil duduk di sofa lobi.

Veer diam saja, entah kenapa setiap mendengar nama Rohan dia merasa penasaran.

"Siapa Rohan?" tanyanya asal, sambil memainkan iPhone agar dipandang tak serius.
"Pria yang meninggalkan Naina di hari pernikahannya." Jawab Anu. "Kasian Naina. Dan sekarang dia harus menikah dengan pria lain, menggantikan adiknya. Hidupnya tidak bahagia, terutama kisah cintanya. Padahal dulu aku iri melihat kemesraan dia dengan Rohan." Tambahnya lebih mendalam.
"Ya, tapi mungkin itu takdir Naina. Aku harap yang menjadi suaminya sekarang bisa melihat kelebihan dan kebaikan Naina. Lalu berakhir mencintainya, seperti cerita pada umumnya." Timpal Kia sambil menyeruput kopi panas.

Veer hanya memandang foto Naina yang dia ambil bersama ketiga temannya, tentu atas perintah Anu saat itu. Dia merasa bersalah, juga merasa terlalu egois dan terlalu keji menuduh Naina merencanakan semua ini dengan Tania.

"Hai, sorry telat." Naina duduk lalu meneguk jus kiwi di gelas Geet.
"Kemana saja?" tanya Anu.
"Tidurku terlalu pulas." Jawab Naina tanpa menoleh pada pria yang tengah menatapnya sejak tadi.

Setelah mengobrol banyak hal, mereka langsung menuju pusat perbelanjaan di pinggir pantai. Mereka asik membeli pernak pernik untuk oleh-oleh keluarga mereka.

"Naina, kau tidak membeli sesuatu untuk mertuamu?" goda Geet sambil tertawa. Jelas hanya mengejek.

Veer menoleh ke arah Naina yang tersenyum sambil mengambil sebuah kalung mutiara. Dia berfikir, selera Naina selalu berkelas, dan selalu sederhana namun mahal.

"Aku mau lihat selendang itu." Anu langsung melepas gandengannya di tangan Veer. Melihat Veer seorang diri, Naina langsung mendekat dan menyenggolnya.
"Key card." Bisiknya sambil menyelipkan key card kamar Veer ke saku celana belakang.

Kia melihat adegan itu, dan dia heran serta penasaran dengan apa yang diselipkan Naina ke saku celana Veer. Hingga sepanjang jalan hingga tiba di tempat makan siang, Kia terus mengawasi gerak gerik Veer yang memang tak lagi mesra pada Anu, melainkan selalu diam-diam memandang ke arah Naina. Dia menyelediki apa yang dimasukkan Naina ke saku dengan menyenggol punggung Veer hingga minuman yang dia pegang tumbah dan mengenai punggung dan celana bagian belakang.

"Sorry Veer." Kia memandang celana Veer.
"Tak apa." Veer berdiri dan mengambil key card untuk memastikan tidak terkena tumpahan air.
'Key card kamar hotel? Bagaimana bisa key card kamar Veer ada pada Naina? Sedang naina sejak pagi tidak menjawab bell di kamarnya.'
"Ada apa, Kia?" tanya Geet melihat Kia melamun.
"Tidak." Jawab Kia santai. Lalu menoleh pada Anu dan Veer. "Jadi, apa kalian serius dalam hubungan ini?" tanyanya penasaran.

"Kau ini seperti ibuku saja." Protes Anu. Naina dan Geet tertawa geli mendengarnya.
"Aku hanya ingin tahu, sebagai sahabat saja. Jangan sampai, kelak kau akan terluka karena apa yang kau cinta menjadi milik orang lain. Terlebih, menjadi milik orang yang sangat dekat denganmu." Ujar Kia seolah menyindir Naina.
"Kau ini sedang membicarakan apa?" tanya Geet lagi.
"Nothing." Kia melirik ke arah Naina yang asik menikmati kepitingnya, lalu ke arah Veer yang juga menikmati kelapa mudanya, dan masih sesekali melirik ke arah Naina, bukan ke arah Anu.
***

Kia membuat strategi dengan memesan tiket pesawat agar Naina dan Veer duduk berdampingan. Berbagai alasan dia buat pada pihak maskapai agar tiket Naina dan Anu ditukar. Setelah berusaha akhirnya permintaannya dipenuhi.
Anu sempat heran karena dia harus duduk dengan Geet, sedang Veer dengan Naina dan Kia dengan salah satu asisten Veer. Tak ada percakapan selama perjalanan, Kia terus mengawasi Naina yang cuek pada Veer dan lebih sibuk membaca majalah. Begitu juga Veer lebih memilih memejamkan mata alias tidur selama perjalanan.
Dan tiba di bandara Mumbai, mereka berpisah. Naina memilih naik taksi untuk kembali ke rumah suaiminya. Sedang ketiga temannya menuju apartemen mereka. Veer sendiri sudah lebih dulu pulang dengan mobil jemputan miliknya.
Tarikan nafas berat Naina menandakan bahwa telah tiba di rumah keluarga Nanda. Pelayan membantunya mengangkat koper dan membawakannya ke dalam kamar Veer. Tampak disana, Veer tengah merebahkan diri di kasur king sizenya.

"Seminar yang seru." Ledek Veer, entah apa maksudnya.
"Peraturan di kamar ini adalah tidak ada percakapan bukan?" timpal Naina sambil memasukkan pakaian ke lemari.
"Ini kamarku, aku bebas membuat aturan baru." Protes Veer.

Naina tak menjawab, dia sibuk mengirim pesan pada Tania dan mengabarkan kepulangannya.

"Kenapa kau tidak jujur soal jalan-jalan dengan temanmu?" tanya lagi.

Naina berdecak dan menoleh sambil menatap pria itu dengan kesal. "Karena aku takut tidak diijinkan. Itu kan sudah sangat jelas, Veer." Jawab Naina sambil merebahkan dirinya di tempat tidur.

"Anu tidak tahu soal pernikahanmu?" tanya Veer lagi.
"Dia tahu aku sudah menikah, tapi dia tidak tahu aku menikah dengan siapa." Jawab Naina sambil membetulkan kepalanya. "Kau jangan khawatir, aku tidak akan membocorkan ini. Sampai kita benar-benar berpisah, dan kau bisa meresmikan hubunganmu dengannya." Lanjut Naina.

Entah kenapa setiap mendengar kata berpisah, telinga Veer seperti terbakar. Dulu dia ingin sekali berpisah dan mengakhiri pernikahan ini, tapi kenapa dia sekarang begitu kesal jika Naina yang mengatakannya. Entah keegoisan dia, yang berharap bahwa yang mengakhiri semua ini harus dia lebih dulu. Atau karena hal lain.

Flashback:

Veer meminta orang kepercayaannya menyelidiki siapa saja yang Naina temui selama keluar dari rumah. Dan didapati bahwa dia ke rumah Geet, yang juga tinggal dengan Kia dan Anu. Anu adalah salah satu talent sebuah PH yang artisnya rutin dipakai oleh perusahaan iklan milik Veer.

"Ketiga gadis ini memiliki pekerjaan berbeda. Geet seorang administrasi di perusahaan swasta, Kia seorang pelayan restoran kelas atas dan Anu seorang model." Ujar detektif bayaran Veer.
"Anu, Anuradha namanya bukan?" tanyanya.
"Benar. Dia sedang bekerja di perusahaan iklan milik anda. Untuk beberapa iklan." Jawab sang detektif.

Veer akhirnya menghadiri casting untuk iklan terbaru dan dia melihat Anu. Dari gerak geriknya wanita ini sangat gila popularitas dan karir, dan juga mudah ditaklukan.

"Kau pasti akan sangat kesal jika aku menjalin hubungan dengan sahabatmu." Gumam Veer sambil duduk di meja juri casting dan tidak biasanya memberikan penilaian.

Setelah itu, dia memberi perhatian pada Anu dan rencananya adalah menyakiti Naina, agar semakin merasa tertekan dalam pernikahannya.
Dan ketika berlibur ke Goa, Veer juga sengaja memamerkan kemesraan dengan Anu untuk menyakiti Naina. Namun dia salah. Naina tampak tidak terpengaruh sama sekali. Justru dia mengetahui kisah gadis itu, bahwa Naina mencintai pria lain.

Flashback off.

"Dia mungkin tidak sakit hati karena dia memang tidak mencintaiku, tapi mencintai pria bernama Rohan. Siapa pria itu? Dan kenapa mencampakkannya?" batin Veer terus bergumam saat berusaha memejamkan mata.

Dia kembali menghubungi detektif Sinha, untuk mencari tahu perihal pria yang bernama Rohan.

"Kau bisa cari tahu detail namanya dari ketiga gadis teman istriku itu. Usahakan sehalus mungkin."

Perintah Veer pada detektif sewaannya.
***

Hari pernikahan Tania dan Araav hampir tiba. Ibu meminta Naina untuk hadir selama seminggu prosesi upacara adat.

"Aku tidak mungkin mengundang keluarga Nanda, bu. Hubungan kami masih tetap sama." Ujar Naina disambungan telepon.
"Setidaknya kau bisa ijin untuk datang, nak. Ibu benar-benar sedikit trauma akan hal ini." Pinta ibunya dengan iba.
"Aku akan usahakan. Ibu tenang saja." Naina menutup teleponnya dan terpaku, berfikir mencari ide agar bisa pergi ke rumah orang tuanya.

Sekembalinya ke rumah keluarga Nanda, seperti biasa mereka tengah bersiap makan malam. Naina pun kini duduk bersama mereka.

"Ada yang ingin saya sampaikan tuan Kailash Nanda." Ujar Naina mencoba memberanikan diri.

Semua menoleh padanya, penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh menantu yang tak pernah dianggap ini.

"Adikku akan menikah." Ujar Naina ragu, karena sudah pasti mereka tak peduli dan mungkin tersinggung. "Ibuku meminta aku hadir selama seminggu upacara adat." Lanjut Naina dengan cepat, sebelum Kailash menjawab apapun.

Semua terdiam, saling memandang dan tak ada yang bicara.

"Aku tahu, sebagai seorang kakak, dengan segenap rasa hormat aku ingin mengundang kalian. Tapi aku juga faham, itu bisa menyakiti perasaan kalian. Karena itu, aku hanya meminta ijin untuk bisa menghadiri sesuai permintaan ibuku." Papar Naina dengan hati-hati.
"Kau benar. Kami tidak tertarik datang, apalagi jika itu adalah adikmu yang telah mempermalukan kami." Ujar Kailash dengan tatapan tajam. "Tapi aku juga punya adat, kau boleh pergi." Katanya singkat.

Naina tersenyum dan berdiri, lalu memohon restu pada ayah mertuanya itu. "Terima kasih, Tuan. semoga anda panjang umur." Naina mengatupkan kedua tangan dan merasa terharu. Lalu dia berpamitan masuk ke kamar, untuk mempersiapkan kepergiannya.

"Tidak ada satupun yang pergi?" tanya Gauri pada keluarganya.
"Untuk apa? Untuk melihat gadis tidak tahu diri itu berbahagia setelah menyakiti Veer?" omel bibi Asha dengan nada tinggi.
"Kupikir kita sudah menerima Naina, maka kita adalah bagian dari keluarganya juga. Rasanya tidak adil jika tidak datang. Apa kata tetangga mereka?" Bantah Gauri.
"Itu bukan urusan kita. Naina pasti tahu bagaimana menjaga nama baiknya sendiri juga nama baik kita. Dia bukan gadis pendendam." Ujar ibu.
"Ibu benar, dia tidak pendendam. Tapi kitalah yang pendendam." Gauri langsung menundukkan wajahnya dan menikmati makan malamnya.

Sedang Veer tak berkomentar, rasanya kepala dia mau pecah sejak kejadian kegagalan pernikahannya. Ditambah keluarganya sekarang tidak satu suara. Gauri mungkin merasa berhutang budi pada Naina, dokter yang telah menyelamatkan putrinya. Dan yang lain, masih belum bisa menerima keberadaan Naina.
Dia sendiri tidak tahu seperti apa. Kadang merasa nyaman bicara dengan Naina, kadang dia takut akan jatuh cinta, tapi kadang dia juga kesal dengan Naina dan keluarganya.
***

Sudah dipastikan banyak pertanyaan kepada Naina ketika menghadiri pernikahan Tania, karena Veer maupun keluarganya tak ada yang datang. Sebenarnya mereka juga sudah tahu jawabannya, bahwa pernikahan Naina hanya untuk formalitas. Tapi tetap saja, kadang orang-orang selalu ingin tahu urusan orang lain.
Naina hanya mengatakan mereka sibuk, selebihnya dia memilih menghindari para tetangganya.
Naina sibuk memakaikan mehandi di tangan Tania, setelah itu tangannya ikut dihias bersama oleh teman-temannya.

"Kak Naina, lihat siapa yang datang diluar." Kata anak-anak remaja yang sedang berlarian.

Naina yang kedua tangannya kini penuh mehandi berdiri dan keluar. Tampak seorang pria dari belakang tengah berbincang dengan orang-orang disana.

"Rohan?" bisik Naina dengan hati yang berdegup. Dia mendekat dan semakin dekat, dengan perasaan berkecamuk dan air mata yang hampir meleleh. Dia berdiri di belakang pria itu, lalu dengan belakang tangannya dia menyentuh pundak pria itu.

Pria itu menoleh dan melepas kacamatanya.

"Veer?" Naina terkejut karena yang datang adalah Veer, bukan Rohan.
"Naina, suamimu datang dari jauh kenapa kau malah bengong begitu?" tanya orang-orang.

Naina kikuk dan berusaha menyembunyikan genangan di matanya dari semua orang. Dia berusaha tersenyum lalu memamerkan tangannya yang penuh dengan mehandi pada Veer, mengisyaratkan dia tak bisa menyambut dengan tangannya.

"Baiklah, aku pamit dulu." ujar Veer pada para tamu yang disana. Dia mengikuti Naina yang merasa sedih karena bukan Rohan yang datang.
"Koper anda taruh dimana tuan?" asisten Veer menyusul.
"Tentu saja di kamar Naina." Ujar para tetangga yang sibuk membantu.

Naina berjalan ke kamarnya namun kesulitan membuka handle pintu. Veer langsung mengambil alih masuk lebih dulu dan menatap sekeliling kamar Naina yang penuh dengan dominasi biru muda dan putih.

"Taruh saja disana." Ujar Naina menunjuk pojok lemari. Asisten Veer langsung menaruh koper disana, lalu keluar.

Naina diam saja dan memandang Veer yang tengah mengamati kamarnya. "Kenapa kau datang?" tanya Naina ketus.

"Ow, mentang-mentang ini wilayah kekuasaanmu, kau tunjukkan aslimu?" goda Veer sambil membuka jasnya lalu melemparkannya ke tempat tidur berukuran 160 x 200.
"Tentu saja aku harus menghadiri, menjaga nama baikmu dan juga orang tuaku." Veer menoleh dan menatap gadis bersaree pink dengan rambut dibuat lurus jatuh, sangat manis.
"Kalau begitu terima kasih." Naina berbalik ke belakang dan keluar dari kamar.

Veer angkat bahu, lalu melihat foto-foto di dinding, yang didominasi foto Naina dan Tania juga dengan ketiga sahabatnya. Dan satu foto yang menarik perhatiannya, Naina bersama seorang pria tampan.

"Rohan? Kau Rohan?" gumam Veer sambil mengambil foto itu dan menatapnya.

Veer memotret foto itu dengan phonselnya lalu mengirimnya pada detektif Sinha.
***

Veer keluar dari kamar dan bergabung dengan semua orang disana. Dia tampak tidak canggung, dan cuek dengan tatapan sekitar yang bergunjing membahas dirinya dan Tania. Dan akhirnya memang dia menemui Tania yang tengah menari dengan teman-temannya setelah dipakaikan mehandi.

"Selamat ya." Katanya dengan senyuman, dan dibalas anggukan dari Tania yang sedikit gugup.
"Kak Veer, ayo menari." Gadis-gadis remaja itu menarik Veer dan menari bersama mereka. Semua terhibur dengan tarian Veer dan para gadis.
"Ramai sekali ada apa?" tanya ibu pada teman-temannya.
"Suaminya Naina menari dengan para gadis kecil." Jawab mereka.

Naina terdiam, lalu berjalan ke tempat dimana Veer menari. Dia memandang Veer yang ceria dan seperti tak ada beban terpaksa ketika menari di hadapan Tania. Bahkan mengajak Tania menari, meski awalanya Tania canggung tapi akhirnya bisa tertawa dan menari bersama.
Naina tersenyum, sambil berbalik dan berniat kembali ke dapur. Namun tangannya ditahan seseorang dan ternyata Veer yang sejak tadi sadar bahwa istrinya tengah memandangnya diam-diam.

"Menari?" tanya Veer.
"Aku tidak bisa menari." Jawab Naina gugup.
"Kemarin di pantai lincah sekali. Mengalahkan kumpulan kepiting disana."

Naina mendesis kesal, tapi tak ada pilihan lain selain mengikuti kemauan suaminya. Dan sesekali keduanya mencuri pandang.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER