Cerita Bersambung
Persahabatan yang terjalin hingga mereka lulus kuliah dan bekerja, membuat mereka selalu menyempatkan diri untuk bertemu. Naina dengan cepat mendapatkan pekerjaan yaitu praktek di rumah sakit pemerintah daerah Manali. Sedang Rohan masih harus terus melamar pekerjaan kesana kemari.
Kadang Rohan yang frustasi mengaku lebih memilih berkencan dengan wanita-wanita yang tergila-gila padanya. Mendapatkan uang dari mereka, hingga Naina mengejeknya tidak berguna, memalukan.
"Aku tidak meminta, mereka sendiri yang memberikan." Elak Rohan sambil menyandarkan diri di kursi taman.
Naina menatapnya dari samping.
'Apa kau tidak pernah merasakan perasaanku, Rohan?'
Bathin Naina terus bertanya. Ya, Naina jatuh cinta pada Rohan, namun sang pria tak pernah menyadarinya. Naina sendiri tidak mengerti kapan rasa itu mulai datang padanya. Yang dia tahu, dia selalu merasa cemburu jika Rohan dikelilingi para gadis.
Kesal, ketika Rohan menceritakan kencannya dengan gadis lain. Namun tak pernah mampu mengatakan isi hatinya. Harga diri sebagai wanita masih menahannya, dan tetap mengharuskan prialah yang harus mengutarakan cinta lebih dulu. Hingga dia terus memendam perasaan hingga bertahun-tahun lamanya. Bahkan hingga tiga tahun paska kelulusan mereka.
***
Setiap saat, Naina selalu menyediakan waktu untuk Rohan. Karena cintanya, karena harapannya untuk mendapatkan perhatian sang pujaan hati. Namun Rohan tetap saja cuek dan menceritakan soal gadis-gadis lain pada Naina.
Hingga membuat Naina semakin jengkel.
"Pergi dan temui gadis-gadis bodoh itu saja." Omel Naina ketika Rohan menjemputnya di rumah sakit.
"Hey, ko tiba-tiba marah?" Rohan heran dan mengejar Naina yang berjalan kaki dengan menjinjing jas dokternya.
Naina tak menjawab dan terus berjalan hingga halte bus.
"Naina, kau ini kenapa?" Rohan meraih tangan Naina yang tetap tak mau menjawab dan hanya sibuk melihat ke arah kanan menunggu kedatangan bus.
Rohan tersenyum dan menatap mata Naina yang tampak penuh rasa cemburu. Dan tak lama bus datang. Naina bersiap untuk naik, namun tangan Rohan terus mencegahnya.
"Lepaskan aku Rohan. Aku harus pulang." Ujar Naina tanpa menoleh pada sang pria yang terus menatapnya.
Tapi Rohan tak bergeming dan terus menahannya. Hingga hampir semua orang disana tak tersisa karena sudah naik semua ke dalam bus.
"Hey, Nona! Naik tidak?" tanya kondektur bus.
"Tunggu sebentar." Ujar Naina sambil berusaha melepaskan tangan Rohan. "Lepaskan Rohan. Aku harus pulang. Aku lelah, kau bisa mencari keseruan dengan gadis-gadis itu kan?" Katanya sambil menggunakan tangan kirinya untuk melepaskan tangan Rohan yang mencengkram lengan tangannya.
"Beri aku waktu sampai benar-benar sukses." Ujar Rohan.
Naina menoleh dan menatap mata Rohan yang masih setia menatap matanya. Naina terdiam, mata mereka pun saling terkunci satu sama lain.
Bus melaju pergi melihat adegan itu. Karena sang sopir tahu, bahwa Naina tidak mungkin naik pada akhirnya.
"Rohan?" Naina memandang mata Rohan tak berkedip.
"Aku tahu Naina, tapi aku merasa belum pantas untukmu." Ujar Rohan pelan.
Bibir Naina tampak bergetar, dan matanya berbinar. Pada akhirnya dia menundukkan pandangannya dari pria yang amat dia cintai itu.
"Aku tidak pernah menemui gadis manapun, selain dirimu. Hanya aku ingin kau menjauh dariku, agar mendapatkan pria mapan yang akan membahagiakanmu kelak. Bukan pemalas sepertiku."
Naina seketika menutup bibir Rohan dengan jari telunjuknya, sambil menggelengkan kepalanya.
"Aku juga mencintaimu, Naina. Tapi kau terlalu istimewa untuk pria sepertiku." Bisik Rohan sambil mengecup jari telunjuk Naina, membuat sang gadis tak kuasa menitikkan air mata.
"Rohan." Bisik Naina.
"Dari tadi kau hanya menyebut namaku."
Naina tersipu dan menundukkan pandangannya.
"Jangan pernah mengalihkan matamu dari mataku, karena itulah yang membuatku selalu semangat mengejar impianku." Rohan menaikkan dagu Naina dengan telunjuknya hingga kembali menatapnya.
Wajah mereka semakin saling mendekat. Naina mengangkat kepalanya agar lebih tinggi dan Rohan merundukkan kepalanya agar lebih rendah.
Teeeet!!!!
Suara klakson bus berikutnya membuat mereka terkejut dan saling menjauh sambil tertawa. Naina langsung mendorong Rohan dan naik ke dalam bus. Rohan tertawa dan menatap Naina yang memberinya kecupan dari dalam bus.
"Muah!" Rohan membalasnya, dan tetap berdiri hingga bus tak terlihat. Lalu kembali ke depan rumah sakit untuk mengambil motornya.
***
Buuuuk!!!
Veer terbangun karena dikejutkan suara benda jatuh. Ternyata Naina jatuh dari sofa tempatnya tidur. Naina memegang kepalanya sambil duduk di lantai. Kepala Naina jatuh lebih dulu ke lantai hingga terdengar keras.
Naina sendiri tampak mengusap-usap kepalanya karena sakit dan terkejut.
"Kau mengganggu orang tidur saja." Protes Veer sambil mengusap wajahnya.
"Maaf. Aku lupa kalau tempat tidurku kecil." Jawab Naina sambil berdiri dan merentangkan tangannya. Kembali menggelengkan kepala dengan cepat untuk menormalkan diri.
"Bukan tempatnya yang kecil, tapi badanmu yang terlalu lebar." Ejek Veer.
Naina memang bukan wanita bertubuh indah seperti Anu. Dia hanya gadis pada umumnya dengan tinggi standar hanya 158 cm dan berat badan yang tidak terlalu ideal.
"Lebar itu bikin hangat kalau dipeluk." Jawab Naina sambil menguap malas.
"Apa? Percaya diri sekali kau." Veer berdecak mengejek.
"Kau bilang begitu saat aku memelukmu dalam hujan." Naina setengah berteriak sambil membalikkan badannya.
Seketika dia tersadar siapa yang menjadi lawan bicaranya. Sedang Veer mengangkat sebelah alisnya.
Naina menatap sekeliling kamar, dan baru menyadari bahwa dia berada di kamar suami yang tak pernah mau mengakuinya.
Dia kembali menatap ke arah Veer yang tengah memperhatikannya. Lalu duduk di sofa, dan meraih phonselnya, lalu membuka fotonya bersama Rohan.
Veer merasakan keanehan pada diri Naina. Tadi dia tampak sangat ceria dan gaya bicaranya manja. Tapi seketika jadi pendiam lagi.
Dia dan keluarganya memang mengira Naina wanita yang kaku, tradisional dan benar-benar gadis daerah yang masih ketinggalan zaman. Sehingga mereka terkesan merendahkan Naina, bahkan mereka tak pernah tahu pendidikan dan pekerjaannya. Jadi ketika Naina bersikap ceria seperti tadi sungguh diluar perkiraannya.
***
Veer jadi sering memperhatikan gerak gerik Naina. Pertama dia heran, karena Naina berbicara pada malam itu seolah pada orang lain, bukan padanya.
Kedua karena ada rasa penasaran juga pada akhirnya, dengan sosok wanita yang kemarin sangat dia benci. Bahkan ingin dia sakiti setiap harinya. Namun sepertinya wanita itu tak pernah merasa tersakiti, dia tampk biasa saja.
Dan setiap berinteraksi dengan pelayan di taman belakang, dia tampak elegan sekali, berwibawa juga tenang. Sangat menghargai siapapun, tak peduli status sosialnya. Sedang ketika di hadapan keluarga Nanda, dia tampak diam tanpa ekspresi apapun, terkesan lugu dan kaku.
Terlebih Naina dilarang berinteraksi dengan anggota keluarga Nanda tapi juga pelayan. Tapi para pelayan yang sering menghampiri Naina saat merawat taman bunga di halaman belakang. Mengajaknya bicara karena merasa kasihan juga nyaman ketika berinteraksi dengan Naina.
Dan di hari minggu seperti ini, keluarga Nanda biasanya berkumpul di taman. Khusus hari ini, mereka kedatangan penjual perhiasan langganan mereka. Setiap anggota keluarga boleh memilih perhiasan yang mereka mau untuk dipakai sehari-hari, atau untuk sebuah perayaan adat.
"Menantu anda tidak terlihat?" ujar Madhav sang penjual perhiasan. Bagaimanapun, dia tahu tentang Naina karena memang pernah menyiapkan perhiasan untuk pernikahan Veer.
"Ah iya, panggil Naina kemari." Ujar Kailash pada pelayan.
Pelayan segera memanggil Naina di taman belakang. Setelah tiba, dia duduk di kursi yang telah disediakan.
Semua wanita keluarga itu sibuk memilih perhiasan. Hanya Naina yang diam saja menunggu instruksi dari penguasa di rumah ini.
"Kau pilihlah." Ujar Kailash dengan suara dingin.
"Tidak perlu, tuan. Aku jarang memakai perhiasan." Jawab Naina mencari kalimat bijaksana.
"Kau tidak harus membantah Naina, ambillah yang mana yang kau suka. Tidakkah kau bisa menghargai kami?" tanya ibu Veer dengan tatapan tajam.
Naina mengangguk, lalu memandang perhiasan yang terhampar di hadapannya. Dia meneleti satu persatu, mencari yang sekiranya paling sederhana dan paling murah.
"Tuan, bisa aku lihat yang itu?" katanya menunjuk perhiasan dengan warna perak mendominasi.
"Ini?" tuan Madhav mengambil sebuah kotak perhiasan.
Naina mengangguk, dan perhiasan itu tampak sederhana karena tidak glowing seperti yang lain.
"Aku yang ini saja." Ujar Naina menunjukkan pada Kailash dan istrinya.
"Istri Veer memang memiliki selera yang baik. Perhiasan ini mengandung platina dan emas murni. Harganya juga paling mahal dari yang lain." ujar Tuan Madhav.
Naina langsung melotot dan menelan ludah. Lalu menoleh ke arah Kailash juga Veer yang tengah menatapnya.
"Maaf, aku pikir ini paling sederhana jadi mungkin paling murah." Naina segera menyerahkan kotak tersebut pada tuan Madhav.
"Ambil saja." Ujar Veer, "kau sudah memilihnya. Tidak masalah." Ujar Veer dingin.
"Tapi Veer, aku..."
"Bisakah kau tidak membantah?" tanya Veer tajam. Sikapnya masih saja dingin terlebih jika di depan keluarganya.
Naina segera menarik kembali tangannya dan memegang kotak perhiasan itu. Anggota keluarganya yang lain hanya saling berpandangan, dan menatap perhiasan terhamal yang dipegang Naina.
"Ibu!!!" teriak putri Gauri yang sejak tadi tengah bermain dan berlari bersama anak-anak lainnya.
"Ya Tuhan, Arvita!!" Gauri histeris saat melihat putrinya terjatuh dari balkon lantai dua rumah. Darah mengucur dari kepalanya, semua panik tidak karuan.
"Cepat panggil ambulance." Teriak bibi Asha.
"Tidak! Siapkan mobil!" teriak Kailash yang berusaha mengangkat tubuh Arvita.
Naina lari ke arah Arvita dan berusaha menyentuh kepalanya.
"Jangan sembarangan Naina!" teriak Gauri.
"Darahnya harus dihentikan dulu. Ikatkan kain halus ini di kepalanya." Ujar Naina melepas selendangnya berusaha menolong Arvita.
"Dengar! Aku bilang jangan sentuh cucuku!" teriak ibu Veer yang panik. "Mundurlah!" teriaknya.
Bibinya Veer langsung menarik Naina ke belakang dengan kasar. Lalu suami Arvita mengangkat tubuh anak kecil malang itu dan membawanya ke dalam mobil.
Veer mengambil alih kemudi, dan segera melesat ke rumah sakit terdekat.
Naina terdiam dan terlihat gelisah, haruskah dia ke rumah sakit? Atau diam saja di rumah?
Dia mondar mandir sambil berfikir, membuat orang-orang yang melihatnya aneh dan kesal.
"Apa kau tidak bisa duduk?" teriak bibi Asha yang memang paling cerewet.
Naina tersenyum dan berusaha duduk. Namun tak lama panggilan ke phonselnya membuatnya mengurungkan niat untuk duduk.
"Aku akan segera kesana." Naina langsung mematikan phonselnya dan keluar dari rumah itu dengan menggunakan mobil dinas dari tempatnya bekerja.
***
Keluarga Nanda tampak panik ketika tiba di rumah sakit. Dokter jaga mengatakan Arvita sudah kehilangan banyak darah. Selain itu harus diambil tindakan medis lebih lanjut karena ternyata selain benturan di kepala, juga kemungkinan ada luka dalam dan harus ditangani dokter spesialis bedah.
"Dokter, lakukan yang terbaik." Isak Gauri.
"Anda tenang saja, kami sudah menghubungi dokter yang kompeten menangani hal ini." Ujar dokter jaga.
"Kenapa tidak anda langsung dokter?" Kailash tidak sabar.
"Tuan, luka anak ini sangat serius. Diperlukan pemeriksaan seluruh tubuh hingga organ dalam karena itu lebih baik menunggu dokter spesialis. Saya hanya dokter umum." Katanya dengan tenang.
"Sudahlah tuan Nanda, percayakan pada tim dokter." Ujar Dr. Mishra, dokter keluarga Nanda yang juga hanya seorang dokter umum.
Semua hanya menunggu dengan kecemasan. Karena ini hari minggu, tentu dokter spesialis tidak stand-by di rumah sakit. Jadi harus sabar menunggu.
"Bagaimana kondisi pasien?" suara yang tak asing itu mengejutkan mereka. Terlebih Veer yang sejak tadi menyandar di dinding.
"Dia kehilangan banyak darah, dok. Dan kemungkinan luka dalam yang harus anda pastikan. Hasil rotgen akan segera tiba." Ujar dokter jaga.
"Ok. Aku akan periksa dulu. Stok darah tersedia? Jika tidak minta keluarganya untuk donor darah, sekarang juga." Ujar Naina yang merupakan dokter spesialis yang dihubungi pihak rumah sakit.
Keluarga Nanda saling berpandangan melihat Naina dengan jas dokter dan tampak sibuk dipakaikan alat-alat safety oleh suster. Rambutnya diikat dan dipasangkan pakaian khusus lalu sarung tangan. Mereka tidak tahu harus bicara apa, hanya tangis yang pecah dari bibir Gauri dan ibu Veer, yang sempat melarang Naina menyentuh Arvita.
"Dia?" Kailash mengerjapkan mata dan mengusap keringat di dahinya.
"Naina!" Gauri langsung menghambur ke pintu yang akan ditutup dan mengatupkan kedua tangannya. "Maafkan aku." katanya dengan linangan airmata. "Selamatkan putriku." Lanjutnya lagi.
Naina tersenyum tipis namun terlihat menenangkan.
"Sudah siap, dok." Ujar suster.
"Tutup." Naina meminta suster menutup ruangan itu.
'Dia seorang dokter?'
Hanya itu yang terpikirkan oleh Veer saat ini. Hingga dokter jaga meminta kesediaan dari keluarga untuk melakukan donor darah. Gauri dan Veer yang memiliki darah sama dengan Arvita, langsung menuju ruang khusus pendonor.
Tiga puluh menit kemudian Naina keluar dan menemui Kailash juga keluarga lainnya.
"Ada benturan keras di kepala, dan darah sedikit menumpuk disana. Harus dilakukan operasi untuk itu. Untuk yang lainnya, di bagian tubuhnya hanya sedikit retakan di tulang punggung. Dan akan diambil tindakan setelah bagian kepala. Dokter Amar adalah dokter tulang yang akan menanganinya." Ujar Naina menjelaskan sambil memperkenalkan dokter yang tampak lebih tua darinya.
Gauri tampak lemas. Dia hanya pasrah dan meminta yang terbaik saja untuk putrinya.
"Naina, maksudku... dokter." Kailash tampak tegang dan kikuk.
"Apa dia akan baik-baik saja?" tanyanya penuh kegetiran. Arvita adalah cucunya satu-satunya.
"Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan Nanda." Jawab Naina dengan senyuman penuh ketenangan. "Aku permisi dulu." Naina menuju ruangannya disusul suster dan dokter Amar untuk membahas tindakan lanjutan.
"Ya Tuhan, andai tadi kita biarkan dia menyentuh Arvita." Ujar ibu Veer penuh penyesalan.
"Kita tidak tahu dia dokter bu." Ayah Arvita terdengar lemah.
"Itulah kesalahan kita. Tidak pernah mau mengenalnya. Menjadikan dia hanya pelampiasan dari amarah kita saja." Ujar Gauri sambil terisak.
"Anda jangan khawatir, dokter Naina adalah dokter terbaik di Manali. Rumah sakit ini berulang kali menawarkan praktek disini, tapi dia menolak meninggalkan orang tuanya. Entah keajaiban apa yang membuatnya tiba-tiba datang ke Mumbai dan bersedia bekerja disini." Ujar Dr. Mishra.
Kailash terdiam, begitu juga Veer, perasaan mereka berkecamuk. Cemas dengan keadaan Arvita, juga merasa malu pada Naina. Bahkan Veer tak henti-hentinya memandang ke arah ruangan dimana Naina tadi masuk bersama suster dan tim dokter.
Dan bagai terpanggil oleh perasaan Veer, sosok itu keluar dari ruangannya lalu kembali masuk ke ruang ICU, kembali mengecek kondisi gadis malang itu.
"Naina...." bisik Veer lemah namun ada sebaris senyum tak terbaca.
==========
Naina keluar dari ruang operasi dan langsung diserbu keluarga Nanda. Dia tersenyum lega.
"Semua berjalan lancar. Semoga Arvita segera siuman." Ujar Naina memandang Gauri yang masih terus berlinang airmata.
"Terima kasih." Gauri menghambur dan memeluk Naina, yang dibalas elusan di punggungnya.
Naina tampak menahan haru dan tangis, tapi dia segera meninggalkan keluarga itu dan menuju ruangannya. Terdiam, merebahkan tubuhnya di kursi sambil memejamkan mata. Bagaimanapun ini adalah operasi yang menguras perasaannya. Karena jika terjadi sesuatu, keluarga ini akan semakin membencinya. Dan andai selamat, mungkin mereka akan menjadi baik padanya.
Tapi, tidak! Dia tak memprioritaskan perubahan sikap keluarga itu padanya. Dia juga memiliki tanggung jawab terhadap nyawa pasien, sekaligus reputasinya ke depan.
Pintu ruangannya diketuk.
"Masuk." Naina masih merebahkan diri sambil memejamkan mata serta memijat keningnya.
Veer masuk, menatap wanita yang tengah menenangkan diri dan tampak memijat-mijat keningnya. Tarikan nafasnya tampak penuh beban. Beban kehidupan pribadi, juga tanggung jawab sebagai seorang tenaga medis.
"Ada apa sus...." Naina membuka matanya dan dia terkejut melihat Veer disana. "Veer?" Naina menelan ludah dengan susah payah. "Ada masalah?" tanyanya segera bangkit dari kursinya. Sedikit panik karena takut terjadi sesuatu dengan Arvita.
"Tidak." Jawabnya singkat.
"Lalu?" Naina mematumg menatap pria yang terlihat kikuk di hadapannya.
"Hanya memastikan kau... mmm..." Veer mengusap rambutnya dan terlihat gelisah. "Kau tidak pernah bilang kau seorang dokter." Katanya pada akhirnya.
Naina berjalan ke arah kulkas dan mengambil botol air mineral. "Tidak pernah ada yang tanya." Jawabnya setelah meneguk air di tangannya.
Veer memejamkan mata. Mencoba mencari alasan kuat, untuk apa dia masuk ke ruang itu sebenarnya. Karena dia sendiri tidak tahu, dia hanya mengikuti instingnya untuk masuk ke ruangan itu. Kakinya seolah digerakan oleh perasaan lain untuk melihat dokter yang selama ini dia sakiti.
Naina menangkap kebingungan Veer, dan baginya tak lebih karena hanya ingin berterima kasih atas tindakannya pada Arvita. Menyelamatkan nyawa keponakannya.
"Ini sudah tugasku, Veer. Kau tak harus berhutang budi. Maksudku, kau tidak harus berubah dalam memperlakukan aku. Kau bisa tetap dengan aturan tidak ada obrolan dan perhatian diantara kita. Aku memahami itu. Aku tidak sedang mencari perhatian kalian. Ini murni karena pekerjaan. Siapapun yang berada di posisi Arvita saat ini, dari keluarga manapun, aku akan berusaha menyelamatkannya." Naina tersenyum sangat manis.
Veer terdiam. Dia mencoba membenarkan ucapan Naina, bahwa kedatangannya ke ruangan ini hanya karena Arvita.
"Dan Arvita, percalah. Dia akan baik-baik saja. Aku akan bekerja secara profesional." Tambahnya sambil kembali menaruh botol air mineral di dalam pendingin.
Veer memejamkan mata karena merasa Naina ada benarnya. Dia hanya merasa berhutang budi. Tak lebih dari itu.
"Ok." Dia menganggukan kepala, lalu berpamitan.
Naina menghembuskan nafas kasar. "Kau tahu Rohan, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu, seperti biasa." Gumamnya. "Andai kau tidak mencintaiku dan tak ingin menikah denganku, cukuplah kita tetap menjadi sahabat. Menjadi tempat kita mencurahkan semua cerita setiap harinya. Sampai kita bertemu teman hidup masing-masing." Naina menyeka sudut matanya. Lalu menutup wajahnya, berusaha menenangkan jiwanya.
***
Naina kembali ke rumah dan disambut baik oleh keluarga Nanda. Bibinya pun kini tampak manis, begitu juga Kailash dan istrinya.
"Mungkin terdengar licik jika aku berubah baik padamu, paska tahu kau seorang dokter dan telah menyelamatkan anggota keluargaku." Ujar Kailash seolah takut kehilangan harga diri.
Naina tersenyum dan menatap pria terhormat itu. "Anda tidak harus berubah, tuan. Di rumah ini, aku bukan seorang dokter." Ujar Naina. "Mungkin terdengar sombong, terdengar sok baik. Tapi aku lebih nyaman. Benar, aku merasa sakit dengan apa yang aku alami disini. Tapi aku menerima itu sebagai sebuah akibat, dari sebuah sebab. Aku sadar adikku telah berbuat salah. Namanya juga anak kecil, maka kami yang dewasa yang harus bertanggung jawab."
Kailash menatap menantu yang tak pernah dianggap itu. Dia berfikir ada benarnya kata-kata Tania, bahwa Naina lebih siap dan lebih pantas jadi menantunya. Bahkan dia ingat cerita Gauri bahwa di belakang mereka pun Naina menerima sikap buruk keluarga ini sebagai sebuah hukuman atas kesalahan keluarganya.
"Aku permisi tuan." ujar Naina sambil mengatupkan tangannya, memberi salam. Dan hanya dibalas anggukan oleh sang penguasa.
Tiba di kamar, Naina merebahkan diri di sofa sambil memejamkan mata. lalu membaca pesan dari teman-temannya, karena dua hari ini dia tidak ikut mengobrol di grup.
"Ada pasien darurat." Tulis Naina di grup chatnya. Diapun tak tertarik membaca percakapan mereka. Paling tidak jauh dari curhatan Anu yang bermesraan dengan kekasihnya.
"Kau sudah pulang?" tanya Veer yang baru masuk ke kamarnya. Naina menoleh dan mengangguk, dan sibuk mengetik di phonselnya. Tepatnya dia hanya mengalihkan perhatian dari Veer.
Mereka saling diam, keduanya sibuk dengan phonsel masing-masing, hanya Veer yang terus memandang diam-diam. Naina melirik sebentar ke arah Veer yang tengah mengetik juga, dia menduga pasti sedang chat mesra dengan Anu. Sedang Veer mengira Naina sibuk mengetik masalah penting.
***
Keluarga Nanda mulai bersikap ramah pada Naina. Namun Naina dan Veer tetap memegang teguh perjanjian bahwa mereka akan menjaga jarak untuk menghindari kemungkinan jatuh cinta.
Naina mulai diajak makan bersama, tapi dia selalu menolak. Naina lebih sering menghabiskan waktunya di apartemen. Mendengarkan celotehan adiknya yang gagal bekerja di bidang apa saja. Dan akhirnya dia memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya, Araav.
Mereka sudah lama menjalin hubungan, dan menjadi alasan penolakan Tania pada Veer. Namun keluarganya tak pernah mengetahuinya.
"Pernikahan bukan hanya sekedar meresmikan perasaan cinta, Tani. Tapi lebih dari itu." Ujar Naina ketika mendengarkan curhatan adiknya.
"Kakak bicara seperti yang sudah menikah saja." Ejek Tania, "faktanya, kakak itu masih single." Katanya kesal.
Naina santai saja menghadapi kalimat pedas itu. "Aku dan Rohan, pasti ada alasan kenapa dia meninggalkanku. Tidak mungkin tidak, dia bukan pria tidak bertanggung jawab. Aku mengenalnya lebih dari tujuh tahun." Kenangnya sambil menerawang jauh ke masa lalu.
"Aku dan Araav sudah lima tahun menjalin hubungan, dan dia serius ingin menikahiku. Dia sekarang sudah bekerja dengan mapan. Orang tuanya setuju, sisanya tinggal proses kami belajar dan saling memahami sebagai suami istri kan?" papar Tania semakin pintar.
"Terserah. Aku hanya mengingatkan. Pernikahan juga bukan sekedar kau dan Araav. Tapi tentang orang tuamu dan orang tuanya Araav." Pungkas Naina sambil mengambil tasnya. "Aku berangkat kerja dulu." katanya mengakhiri.
"Aku akan pulang besok. Untuk mempersiapkan semuanya. Aku harap kakak datang, dengan Veer." Ejeknya sambil lari ke dalam kamar.
Naina hanya tersenyum kecut sambil mendelik ke arah adiknya. Lalu melangkahkan kaki keluar dari apartemen. Selama di dalam lift, membaca pesan teman-temannya yang mengajak liburan ke Goa. Dan mereka menunggu jawaban Naina.
'Aku belum yakin bisa cuti. Juga tidak tahu alasan apa pada keluarga suamiku.'
Balas Naina sambil menyandarkan kepala di dinding. Rasanya hari ini lelah sekali. Tapi dia tetap harus menjalani rutinitas dan tanggung jawab pada pasien di rumah sakit.
***
Arvita sudah bisa pulang setelah sekian lama dirawat di rumah sakit meski tetap ditemani tim medis, yaitu suster khusus untuk merawatnya. Gauri sangat bahagia, begitu juga dengan Kailash. Dia menjadi sangat baik pada Naina, meski tetap tak berniat menjadikan Naina sebagai menantu sungguhannya.
Baginya, menjalin kekerabatan dengan keluarga Naina itu sangat hina. Karena rasa benci dan dendamnya pada orang tua gadis itu. Naina sendiri tak keberatan dengan itu, dia masih menganggap kemarahan Kailash hal yang wajar. Lagipula dia tidak mencintai Veer, dia masih berharap Rohan kembali padanya. setidaknya memberikan alasan dan mengetahui keberadaannya.
"Kadang aku heran dengan Naina, dia tidak tidak keberatan dengan sikap Kailash dan Veer yang tetap mengatakan tidak ingin dia masuk dalam keluarga ini. Tapi dia tetap baik. Apa dia sedang berakting, atau memang bodoh? Atau memang kenapa?" tanya bibi Asha pada Gauri yang tengah memakaikan pakaian pada Arvita.
"Bibi, Naina itu sangat baik. Dia pasti punya alasan, dia juga memahami rasa sakit yang dialami keluarga kita. Jadi dia memilih menjadi tumbal untuk keluarganya." Jawab Gauri.
"Maksudmu?" tanya ibunya.
"Aku pernah dengar dia mengatakan, anggap saja aku tengah menjalani hukuman selama enam bulan atas kesalahan Tania dan orang tuanya." Jawab Gauri mengingat percakapan Naina dan Tania. "Jadi, dia pasti merasakan beban, dan ingin juga bebas dari rumah ini. Tapi dia melindungi keluarganya." Papar Gauri lagi. "Aku malah berharap, Veer dan ayah, memilihnya. Menerimanya. Dia wanita yang luar biasa bagiku." Katanya lagi.
"Hanya karena menyelamatkan Arvita? Dia memang seorang dokter." Ibunya masih tak yakin.
"Awalnya demikian, bu. Tapi semakin hari, semakin sering berdialog dengannya, aku tahu dia orang yang sangat baik. Dia tahu persis andai dia gagal menyelamatkan Arvita, kita pasti akan semakin membencinya. Tapi dia profesional." Gauri menatap ibunya.
"Mungkin benar dia baik, tapi itu belum cukup bagiku untuk bisa menerimanya." Kailash muncul dari balik pintu.
"Itu hakmu, ayah. Tapi aku, aku akan dengan senang hati merubah sikapku padanya." pungkas Gauri sambil tersenyum.
***
"Ibu jangan bermimpi keluarga Kailash Nanda akan menghadiri pernikahan Tania dan Araav." Naina tengah berbicara dengan ibunya di telepon.
Ibunya masih berharap keluarga Nanda menerima Naina, namun tidak dengan Naina. Mereka bimbang, haruskah mengundang mereka? Meski sekedar basa basi? Atau tidak perlu sama sekali, tapi itu mungkin akan membuat mereka tersinggung.
"Aku akan pikirkan nanti, bagaimana baiknya." Tutup Naina lalu mematikan sambungan teleponnya.
Naina kembali membuka grup whatsapp teman-temannya. Dia masih bimbang haruskah ikut tour ke Goa bersama mereka? Tapi alasan apa yang harus dibuat?
Dengan terus memutar otak mencari alasan, dia akhirnya tiba di rumah. Keluarga itu baru saja akan memulai makan malam. Tidak biasanya, ini sudah hampir jam delapan. Biasanya mereka makan malam pukul tujuh, karena itu untuk menghindarinya Naina pulang setelahnya.
"Kebetulan kau baru pulang, ayo bergabung." Gauri menyapa Naina yang baru saja tiba dan kebetulan melewati ruang makan.
"Aku sudah makan. Terima kasih." Jawab Naina ramah.
"Bergabunglah Naina. Kami sengaja menunggumu." Ujar Kailash yang sudah duduk disana.
"Menungguku? Adakah hal penting?" tanya Naina dalam hati. dia langsung berjalan ke arah meja makan, dan duduk di kursi yang masih kosong. Di samping Veer yang juga sudah pulang.
Makan malam dimulai, tapi tak ada obrolan diantara mereka. Naina hanya mengambil sedikit makanan, dan dia memang sudah makan malam di apartemennya.
"Makan yang banyak, Naina. Kau seorang dokter. Pasti lebih tahu tentang pentingnya makan." Gauri mencoba membuka obrolan.
Naina tersenyum, dan meneguk air mineral yang sudah disediakan untuknya.
"Kebetulan semua berkumpul, aku ... ingin mengatakan hal penting." Naina menyudahi makan malamnya.
Veer langsung menoleh dan penasaran dengan apa yang akan dikatakan istrinya. Apakah keinginan untuk pergi dari rumah ini?
"Katakan saja." Kailash menatap Naina dengan sorot mata tajam. Mungkin dia juga sama, menebak Naina ingin pergi dari rumah itu. Seharusnya mereka senang bukan? Tapi kenapa mereka seperti keberatan.
"Apa kau ingin keluar dari rumah ini?" tanya nyonya rumah. Seperti menebak semua pikiran orang disana.
Naina tersenyum dan menggeleng. "Tidak. Aku tidak mungkin mempermalukan kalian di hadapan orang yang mengetahui pernikahan ini. Aku hanya ijin untuk tiga hari mengikuti seminar. Itu saja." Papar Naina tenang.
Tarikan nafas semua orang disana seolah menandakan kelegaan. Begitu juga Veer yang kembali menyantap makanan di piringnya.
"Tentu saja. Kenapa tidak." Jawab Kailash. "Tentu yang utama kau harus ijin dengan suamimu." Tambahnya.
Naina melirik ke arah Veer yang tengah asik menghabiskan makan malamnya. Dia tak meresepon dan sibuk dengan sendok dan garpunya.
***
"Jadi, boleh aku pergi?" tanya Naina ketika mereka sedang di kamar.
"Pergi saja. Kita kan bukan suami istri. Kau lupa itu?" tanya Veer balik.
"Benar juga, kenapa aku bisa lupa." Naina mengangkat alisnya dan segera merebahkan diri di sofa sambil melakukan chatting dengan teman-temannya.
Naina : Sukses, aku ikut ke Goa. Aku pura-pura menghadiri seminar.
Kia : Haaa..! keren! Sesekali tidak apa berbohong, apalagi dengan orang-orang aneh itu.
Anu : yeaaay, selain dokter kau juga fotografer yang baik. Setidaknya fotoku tidak akan buram di tangan Geet dan Kia.
Geet : Anu!!!! Grrrr....
Anu : hahahaha..
Naina: ok. Sampai ketemu besok di bandara. Aku harus packing.
Geet: sip!
Naina tersenyum dan segera mengemas pakaiannya. Terpaksa dia berbohong pada keluarga Nanda karena ingin sekali keluar dari kepenatan, mencari kesenangan dengan teman-temannya.
Veer melihat Naina tampak aneh, karena hanya untuk pergi seminar saja kenapa dia begitu tampak bahagia? Apa karena dia akhirnya bisa pergi dari rumah ini walau untuk tiga hari?
Dia terus memperhatikan gerak gerik Naina yang tergambar seutas senyum di wajahnya ketika mengemas pakaian. Lalu menuju sofanya dan merebahkan diri.
***
Para gadis tiba di bandara. Mereka berpelukan karena gembira. Bukan apa, ini adalah petualangan mereka setelah dulu di masa-masa SMA mereka. Dan sekarang lebih berkesan, karena mereka sudah dewasa dan bisa pergi kemana saja.
"Ayo! Sebentar lagi pesawat kita lepas landas." Ujar Naina tidak sabar.
"Tunggu sebentar. Seseorang akan ikut dalam perjalanan kita." Kata Anu sambil terus menanti ke pintu depan.
"Siapa?" tanya Naina sedikit cemas.
"Itu dia!" Anu tampak sumringah saat melihat Veer dan dua asistennya datang.
Naina langsung mengerjapkan mata dan mencoba mengendalikan degupan jantungnya yang tak beraturan karena terkejut ditambah takut.
"Hai, maaf menunggu lama." Ujar Veer pada Anu yang menyambutnya.
"Its ok baby." Anu langsung mencium pipi Veer, dan teman-temannya hanya tersenyum. Kecuali Naina yang menyembunyikan tubuhnya yang tak tinggi di belakang Geet.
"Oh ya, kenalkan ini Geet." Anu memperkenalkan satu per satu temannya. "Kia." Katanya sambil menunjuk Kia. "Dan, yang paling kusayang... Naina." katanya sambil menarik tangan Naina dari belakang Geet.
Naina tersenyum sambil mengulurkan tangan. Sedang Veer sudah jelas terkejut, karena ternyata Naina bukan pergi untuk seminar kedokteran, tapi pergi dengan teman-temannya.
Keduanya bersalaman, layaknya orang yang baru bertemu dan tidak saling kenal.
"Ok, lengkap. Ayo." Anu langsung menggandeng tangan Veer dan menuju pintu keberangkatan lebih dulu.
Naina dan juga kedua temannya menyusul dibelakang, diikuti dua asisten Veer.
"Kau naiklah dulu. aku harus menghubungi seseorang." Ujar Veer ketika akan menuju pesawat. Anu langsung masuk disusul Kia dan Geet. Sedang Naina masih di belakang.
Veer menarik tangan Naina ke dinding pojok pintu dan menatapnya tajam. Naina panik karena takut dilihat oleh ketiga temannya. Dia terus menoleh ke lorong menuju pintu pesawat.
"Seminar?" tanya Veer dengan ketus.
"Sudahlah Veer. Aku hanya ingin melepaskan kepenatan. Aku juga butuh bahagia." Protes Naina sambil menarik tangannya.
Veer memanggil kedua asistennya yang mengenali Naina sebagai istrinya.
"Ingat, kalian harus berpura-pura tidak kenal satu sama lain dengan wanita ini." Katanya melirik ke arah Naina.
"Tanda kau komando pun, aku tidak tertarik mengatakan bahwa kau suamiku pada mereka." Naina segera meninggalkan Veer dan kedua asistennya. Lalu masuk ke dalam pesawat dan duduk bersama Geet dan Kia. Sedang Anu duduk bersama Veer.
Sepanjang perjalanan mereka tampak mesra. Bahkan Anu sempat mendekati ketiga temannya untuk mengatakan tak biasanya Veer begitu romantis padanya, saat Veer tengah ke toilet. Bagi Naina, Veer hanya sedang mencoba pamer saja padanya.
"Siapa peduli? Memangnya aku akan cemburu?" gumam Naina sambil terus membaca majalah di tangannya.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel