Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 28 Desember 2021

Purnama Di Balik Awan #2

Cerita Bersambung

Naina mempersiapkan semua kebutuhan untuk lamaran pekerjaannya di apartemen Geet.

"Geet, bisa aku pinjam uang? Untuk membeli beberapa pakaian tidur baru. Suamiku, maksudku pria itu mengira aku memancing dia dengan memakai lingeri yang ada. Padahal karena aku tidak sempat membawa piyamaku." Ujar Naina.
"Hahaha, sungguh lucu. Berarti dia takut khilaf denganmu." Canda Geet dibalas delikan mata kesal dari Naina. "Jujur, aku belum gajian. Anu mungkin bisa meminjamkanmu, dia kan uangnya banyak. Model..."
"Berapa kau butuh uang?" tanya Anu sambil membuka dompetnya. "memangnya mereka tidak memberimu apa-apa?" tanyanya lagi, heran. "Mereka memberiku fasilitas mewah berupa uang dan lainnya, tapi aku tidak berniat bekerja pada mereka atau menjual statusku, atau mengemis pada mereka." Naina menyandarkan punggungnya di sofa.


"Jadi kau masih tetap seperti dulu, angkuh dan tidak menerima belas kasih orang lain? Harga diri? ah Naina, bukankah saat ini harga dirimu memang tidak ada artinya di depan mereka?" Anu malah menabur garam.
"Kau benar, karena itu aku tidak ingin tampak semakin rendah dengan menerima uang mereka. Aku masih gagah, aku masih punya skill, aku masih bisa bekerja. Meski tak sebanyak yang mereka berikan, tapi aku merasa ini lebih dari cukup. Aku akan ganti setelah gajian pertamaku nanti." Papar Naina panjang lebar. Sedang Anu tak terlalu peduli dan ambil pusing dengan sikap Naina, baginya Naina terlalu menyulitkan diri sendiri di tengah kesulitan.

"Ini. Ayo, sekalian belanja denganku. Aku juga ingin membeli beberapa pakaian." Katanya sambil berdiri dan disusul Geet juga Naina, sedang Kia sudah lebih dulu berangkat bekerja.
***

Naina kembali ke rumah dengan beberapa shopping bag di tangan. Pandangan sinis dilemparkan keluarga Nanda padanya. Tentu mereka mengira Naina berpoya-poya dengan uang mereka. Padahal tidak sama sekali. Naina hanya membeli lima piyama, dan beberapa pakaian dalam.

"Enak kan menikah dengan orang kaya? Belanja sepuasnya dan jalan-jalan sesuka hati." ujar bibinya Veer yang seorang janda.
"Itu haknya. Toh kita memang memberikannya, anggap saja itu amal." Jawab Gauri.

Naina yang sedang meminum air mineral di dapur langsung tersenyum kecut. Baginya percuma mengklarifikasi, jika sudah benci apapun akan terlihat salah bukan?

Setelah masuk ke kamar, dia menghubungi orang tuanya. Agar dikirimkan pakaian kerja juga. Lelah, kalut, menyelimuti hatinya. Tapi dia harus tetap tegar dan kuat, menunggu hari itu datang. Karena menurut undang-undang pernikahan negara, mereka baru boleh bercerai setelah enam bulan. Jadi mau tidak mau mereka harus bersama dan menjaga diri mereka agar tak jatuh cinta.
Veer pulang cukup larut malam. Jam dua dia baru tiba, dan melihat Naina sudah tidur dengan piyama di sofa. Meringkuk seperti bayi yang kedinginan. Tapi suaminya tak peduli, dan memilih merebahkan diri di kasur king size-nya.
Dan jika pagi menjelang, Naina berangkat ke rumah Geet jam enam. Dikala Veer belum bangun, namun dia sudah merapikan kamar dan memasukkan baju kotor Veer ke dalam boxnya. Juga sofa tempatnya tidur telah rapih dengan bantal yang dia masukan dalam lemari, hingga tak tampak bahwa ada orang tidur di tempat itu.

"Gadis itu pergi pagi-pagi sekali, lalu pulang dengan tas belanjaan yang banyak." Keluh bibinya Veer ketika sarapan.
"Biarkan saja, selagi dia tidak mengusik nama baik kita." Ujar Veer membela.
"Aku tahu. Tapi aku takut dia bertindak berlebihan." Balas bibinya lagi.
"Dia sedang mencari pekerjaan, karena itu berangkat pagi. Dan belanja karena dia memang tidak sempat membawa pakaian bukan?" bela Veer lagi. Bibinya diam tak berani berkomentar.
"Bagaimana usahamu, Veer?" tanya ayahnya kali ini membahas hal lain.
"Sedang banyak proyek. Dan menerima banyak permintaan iklan. Jadi memang harus pulang malam untuk mengecek ide-ide yang diberikan." Jawabnya sambil terus menikmati sarapannya.
"Dan soal gadis itu?"
"Dia sudah kubuat hancur karirnya. Aku keluarkan anjuran blacklist, dan dijamin karirnya tamat." Jawab Veer dengan berapi-api.
"Maksudku, wanita yang jadi istrimu. Beri saja dia pekerjaan di kantormu." Ujar ayahnya.
"Tidak. Aku tidak ingin ada interaksi apapun dengannya."
"Bagus Veer. Dia tampak sekali cari muka agar diterima di keluarga ini." Hasut bibinya lagi.

Selanjutnya tak ada kalimat yang keluar dari bibir keluarga yang tengah sarapan ditemani dendam yang belum usai.
Di sisi lain, Naina bahagia karena mendapatkan pekerjaan. Bahkan dua hari kemudian paket dari orang tuanya datang. Dia semakin semangat menatap hari esok.
Biarlah kisah cintanya hancur, tapi tidak dengan karirnya. Dia harus menjadi manusia berguna, setidaknya bagi banyak orang dan keluarganya.

"Gals, nanti malam aku diundang pesta. Bisa kalian temani aku?" tanya Anu dengan berbinar.
"Aku pasti tidak bisa." Jawab Naina cepat.
"Aku sudah tahu. Kalian?" Anu menatap Geet dan Kia, mereka mengangguk.
"Aku gugup sekali, tadi wawancara dan casting di depan tuan Veer Nanda langsung. Bayangkan! Aku pikir dia tua, bulat dan galak. Ternyata dia masih sangat muda, gagah dan tampan." Anu membayangkan pria itu dengan berbinar. Sedang Naina jantungnya sempat berdegup mendengar nama itu.

"Lalu?" Kia penasaran.
"Dia manis sekali. Aku rela tidak menjadi artis agar menjadi nyonya Veer Nanda saja." Gelak tawa Anu membuat perut Naina terasa mulas, seperti terkena maag atau bahkan ingin melahirkan bagi yang pernah mengalaminya.

"Jadi, targetmu sekarang berubah?" goda Geet.
"Sudahlah, temani aku nanti malam ya. Aku ingin menemui dia lagi. Semoga aku terpilih jadi model kesayangannya." Katanya dengan berbinar.
***

Naina kembali ke rumah pukul empat sore. Tampak keluarga itu memang sedang sibuk untuk pergi ke pesta. Naina berjalan kikuk di ruang tamu, dan Gauri yang menyadari kepulangannya.

"Kami ada pesta di kantor Veer, dan kau tidak bisa ikut. Tidak masalah kan?" tanya Gauri seperti menjaga perasaan Naina.
"Tentu. Aku akan senang hati diam di rumah." Naina menjawab dengan senyuman. Lalu naik ke kamarnya.

Masih terngiang ketika Anu sangat histeris mendapat pesan balasan dari suaminya, tepatnya dari pria bernama Veer Nanda. Pria yang menjadi suaminya namun tak pernah mau jadi suaminya.
Veer masuk ke kamar membuyarkan lamunan Naina. Mereka sempat saling bertemu pandang, namun Veer langsung melengos dan membuka iPhone-nya. Dia tampak tersenyum-senyum sendiri sambil membalas pesan itu.
Naina merasa itu dari Anu, dia sangat tahu bahwa sahabatnya itu sangat pandai memikat kaum adam. Bukan hanya cantik, sikap manja dan menggodanya memang sangat digilai para pria.
Naina cemburu? Entahlah, itu hal wajar dirasakan seorang wanita berstatus istri. Tapi Naina berusaha membuang perasaan aneh dan tak nyaman di hatinya itu. Dia memilih mengirim pesan di room chat group bersama ketiga temannya.
Dan benar saja, Anu tidak muncul. Dan Geet bilang sedang sibuk membalas pesan dari pria idamannya. Naina segera mematikan phonselnya dan merebahkan diri di sofa. Berusaha memejamkan mata, menahan sesak yang menyiksa.
Veer menoleh padanya, menatapnya sedikit iba. Tapi rasa sakit hati lebih besar menguasainya. Dia keluar dari kamar dan bergabung dengan anggota keluarga lain menuju pesta.
Benar, Anu cepat sekali akrab dengan Veer, bahkan duduk satu meja dengan petinggi-petinggi disana. Dia tak sungkan menyapa orang tua Veer dan keluarganya. Sikap manis dan manjanya memang membuat pria mana saja terpesona. Jadi wajar, jika Veer pun demikian.

"Jangan terlalu baik dengan model, Veer. Mereka bisa saja menjeratmu." Ujar Gauri mengingatkan.
"Kau tenang saja. Aku juga bisa menilai." Katanya sambil meneguk minuman yang berada di mejanya.
***

Di room chat group whatsapp, Anu memamerkan kedetakannya dengan Veer. Bahkan foto-foto mereka saling berpandangan yang diambil oleh Geet dan Kia. Naina hanya menarik nafas dalam. Entahlah, dia juga tak pantas cemburu karena Veer bukan pria yang dicintainya. Namun naluri sebagai seorang istri, ada sedikit perih disana.
Berusaha mengabaikan dan bersikap seperti layaknya Geet dan Kia soal kedekatan Veer dan Anu. Bahkan, setelah satu bulan dari kejadian itu, Anu mengatakan bahwa dia sudah resmi menjadi kekasih Veer.

"Kau percaya? Aku saja hampir tak percaya." Pekik Anu berbinar-binar.
"Bagaimana dia melamarmu?" tanya Kia penasaran.
"Saat itu, kami makan malam setelah pemotretan untuk brand sebuah pakaian bersama seorang aktor besar. Dan dia, mengajakku dinner di sebuah restoran mewah. Lalu dia mengatakan 'Anu, kau sangat cantik malam ini.'" Anu membayangkan kejadian itu.
"setelah itu, dia mengecup tanganku, dan mengantarku pulang. Lalu mengirim pesan romantis."
"Itu saja? Apa dia tidak mengatakan maukah kau jadi kekasihku?" tanya Geet heran.
"Ayolah Geet, kami orang dewasa. Dari cara dia memperlakukanku jelas itu adalah sebuah ikatan hubungan. Dia mengirimku pesan, good nite sweety... love you." Anu memamerkan isi chat whatsapp bersama Veer. Dan benar, ada banyak kata romantis disana.

Naina hanya tersenyum dan berusaha menyembunyikan perasaannya yang tidak karuan. Ya, sangat tidak karuan. Bagaimana jika Anu tahu bahwa pria yang menjadi suaminya adalah Veer? Mungkin Anu tidak akan peduli, karena dia tahu bahwa Veer dan Naina tidak saling mencintai.
Tapi bagaimana dengan Veer? Apakah dia akan tetap mencintai Anu setelah tahu mereka adalah sahabat?

"Naina, kebiasaan melamun." Omel Anu ketika melihat Naina memandang kosong.
"Aku lelah. Pekerjaanku beda dengan kalian. Aku pulang dulu ya." Katanya sambil melangkah mengambil tasnya.
"Besok aku dapat apartemen baru sebagai fasilitas dari pekerjaanku. Bantu aku membereskan ya." Naina kembali menoleh sebelum membuka pintu apartemen Geet.
"Woow keren! Mereka memang sudah lama ingin kau bekerja disana kan? Apartemennya besar?" tanya Geet semangat.
"Lumayan, tidak terlalu jauh dari sini juga. Pokoknya bantu aku besok." Naina membuka pintu.
"Aku tidak bisa. Aku ada dating." Anu langsung ngacir ke kamarnya. Sedang Kia dan Geet langsung menyorakinya.

Naina tertawa sambil menutup pintu apartemen, berjalan gontai mengingat semuanya. Kenapa harus Veer? Kenapa harus pria itu yang terhubung dengan teman-temannya?

"Rohan, biasanya kau yang menghiburku jika aku kalut seperti ini." Bisiknya sambil menekan tombol lift. Lalu menyandar di dalam dan memejamkan mata.

Bunyi lift yang terhenti membuyarkan lamunannya, seorang pria masuk dan tersenyum menyapa dengan hormat. Naina hanya menganggukan kepala lalu kembali fokus menunggu lift tiba di ground flour.

"Kau Naina bukan ya?" sapa pria itu lagi.

Naina menoleh dan menatap pria itu lekat-lekat. Tapi dia tidak ingat siapa pria tersebut.

"Kita dulu satu kampus. Kau teman baiknya Rohan kan? Dan aku teman sekelasnya Rohan, dia sering menceritakan tentangmu. Mungkin kau tidak ingat atau tidak peduli saat bersalaman dulu." ujarnya mempertegas.

Mendengar nama Rohan dan pria itu mengaku temannya, entah kenapa perasaan Naina seperti diaduk-aduk. Apakah pria ini tahu keberadaan Rohan?

"Aku Saahil." Pria itu kembali membuat Naina terperanjat.
"Hai, ya aku lupa. Mungkin faktor usia." Jawab Naina asal.
"Bisa saja. Itu karena kau selalu terfokus pada Rohan, bukan pada yang lain." balasnya sambil tersenyum.
"Apa kau masih berhubungan dengan Rohan saat ini?" tanya Naina to the point.

==========

Veer membuka semua laporan keuangan ketika menjelang makan malam. Dia melihat pengeluaran keluarga membengkak.

"Kita kedatangan penghuni baru yang senang belanja. Maklumi saja." Ujar bibinya dengan senyuman sinis.

Veer mengecek lampiran keuangan dari semua kartu kredit di keluarga itu. Namun tak ada tagihan dari kartu kredit Naina. Begitupun tabungannya masih utuh.

"Bahkan dia belum mengaktifkan kartunya, tuan." ujar sekretaris Veer yang sudah berusia paruh baya namun sangat enerjik.
"Benarkah?" Veer heran.
"Benar, saya sudah mengeceknya. Tabungannya juga utuh." Jawab sekretaris.
"Tapi sudah satu bulan ini dia selalu berbelanja. Setiap hari ada saja yang dia jinjing di tangannya." Gauri juga heran. Tanpa terkecuali Kailash dan istrinya.
"Maaf, jika boleh saya bicara." Ujar pelayan.
"Katakan saja. Ada apa?" tanya Kailash.
"Nona Naina memang tiap hari membawa shopping bag, tapi isinya air mineral." Ujar pelayan takut-takut menjawab.
"Maksudmu? Dia tidak minum di rumah ini?" tanya bibi Veer melotot. Pelayan hanya menganggukan kepala. "Keterlaluan, dia anggap apa rumah ini?"

Veer diam saja, lalu naik ke kamarnya dan membuka lemari di pojok ruang kamar. Benar saja, disana banyak botol air mineral. Veer menarik nafas dalam menatap deretan botol itu. Artinya Naina bahkan enggan minum air dari rumah ini.

Pintu kamar terbuka, dan tampak Naina baru pulang.

"Ada apa Veer? Ada masalah?" tanya Naina heran melihat pria itu membuka lemarinya.

Veer tak menjawab dan langsung meninggalkan Naina di kamar, kembali menuju ruang makan. Sedang Naina hanya angkat sebelah alis, lalu mengambil air mineral di botol dan meminumnya.
***

Pagi yang cerah di hari minggu, semua keluarga Nanda bersenda gurau di taman depan. Anak Gauri, Arvita berlari kesana kemari bersama pelayan. Sedang Naina memilih di taman belakang, merawat bunga yang baru saja dia tanam sebagai kegiatan jika tidak bekerja.

"Tuan, ada seorang gadis ingin bertemu anda." Ujar security pada Veer yang tengah memeras keringat dengan melakukan angkat barbel di taman.
"Suruh kemari saja." Jawab Veer sambil terus mencetak otot-ototnya.

Seorang gadis berjalan diantar oleh security menghampiri Veer dan keluarga.

"Salam, namaku Tania." Katanya membuat barbel yang sedang dipegang Veer terjatuh seketika. Untung tidak mengenai kakinya sendiri.

Veer menoleh dan menatap gadis yang meninggalkannya di pelaminan. Dia berani datang ke rumahnya? Mau apa dia? Semua pertanyaan bercampur jadi satu di dalam hatinya.
Tania menundukkan kepala namun sesekali mengangkat wajahnya sedikit. Melihat ekspresi Veer yang tengah menatapnya penuh kemarahan.

"Mau apa kau kemari? Menemui kakakmu?" tanya Veer ketus.
"Bukan. Aku ingin menemuimu." Jawab Tania pelan.
"Aku?" Veer membuang nafas kasar dengan wajah sinis. "Setelah kau meninggalkan aku di hari pernikahan?"

Tania diam saja dan tampak kikuk. Sesekali dia menggesek-gesekkan sepatunya ke rumput.

"Aku ingin minta maaf. Sekaligus memohon supaya hentikan blacklist yang kau lakukan padaku." jawab Tania langsung pada inti pembicaraan.

Keluarga Veer yang sejak tadi memperhatikan satu persatu mendekat. Mereka memandang sinis pada gadis itu, gadis yang cukup berani datang ke sarang macan lebih tepatnya.

"Aku tidak bisa."
"Veer, kumohon. Kau tidak bisa memakai perasaan dalam pekerjaan kan? Karir dan masa depanku disana, mengertilah. Aku lari dari pernikahan karena memang tidak siap. Aku telah katakan pada orang tuaku. Tapi mereka tidak mengerti." Rengek Tania.
"Kalau begitu minta orang tuamu untuk membersihkan blacklist yang kubuat. Mereka kan yang gila harta dan memaksamu menikah dengan pria yang tidak kau cintai ini?" Veer tampak emosi.
"Sebenarnya,..." Tania menarik nafas. "Selain tidak siap, aku juga merasa bahwa kau lebih layak mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku. Yaitu kakakku, karena aku yakin. Jika aku lari, maka demi menyelamatkan nama baik, kakakku yang akan menggantikanku. Seperti di film-film." Jawabnya polos tanpa memikirkan akibatnya.

Veer dan Kailash tampak emosi mendengarnya. Kailash mendekat dan berdiri tegap di depan Tania.

"Berani sekali kau menentukan apa yang harus kami dapatkan. Kau pikir kau siapa?" Kailash tampak berapi-api.

Tania berusaha tenang dan hanya menundukkan kepala lalu mengangkatnya pelan. Jiwa muda dan labil membuat dia teramat polos hingga bicara blak-blakkan sesuai isi hatinya.

"Karena kakak lebih siap menjadi istri, dan dia pernah ditinggalkan di hari pernikahannya. Aku ingin dia bahagia juga." Jawabnya jujur.
"Jadi ini rencana busuk keluarga kalian untuk menikahkan wanita sial itu?" teriak Kailash. Membuat Naina yang berniat pergi dan melintas mendengar teriakan itu, lalu segera berlari ke arah suara.

Dia terkejut melihat Tania disana, dan seperti tengah dikeroyok.

"Tania?" Naina setengah berlari dan berdiri di samping adiknya.
"Aku tidak pernah menyangka kalian sehina ini. Ayahmu sengaja menerima lamaran atas nama gadis ini dan membuatnya lari agar menikahkan putraku denganmu yang ditinggal pengantin pria sebelumnya? Cih!!" teriak Kailash, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Disusul anggota keluarga yang lain termasuk Veer.

Naina terhenyat dan segera memeluk adiknya. Ingin rasanya menangis, berteriak, tidak terima orang tuanya dihina sedemikian rupa. Tapi dia selalu bersabar dan mencoba memaklumi kemarahan keluarga ini.

"Kenapa kakak diam saja dihina seperti itu?" tanya Tania kesal.

Naina menoleh pada adiknya lalu menatapnya dengan tenang. "Jika mereka marah, lalu aku marah. Apa yang akan terjadi? Semakin marah? Semakin runyam." Naina menarik nafas dalam. "Tania, carilah pekerjaan lain, belajarlah menyelami kehidupan."
"Oke, tapi kenapa kakak diam saja mereka menghinamu??" Tania tetap tak terima.
"Anggap saja aku sedang menjalani masa hukuman selama enam bulan atas tindakan tidak terpuji keluarga kita. Atas kesalahanmu. Aku yakin, setelah ini semuanya akan membaik." Jawabnya.

Gauri yang mendengar ucapan Naina tertegun sambil mengelus dadanya yang terasa sesak. Dia tidak menyangka Naina benar-benar seperti yang dikatakan Tania. Dewasa dan sangat baik.

"Maksud kakak, mereka akan menerima kakak?" tanya Tania lagi.
Naina menggeleng dan tersenyum. "Setelah enam bulan, pernikahan ini akan berakhir. Dan aku akan kembali pada ayah dan ibu. Saat ini keluarga ini masih sakit hati, apapun kemarahan mereka, itu adalah wajar."

Tania masih tak mengerti kenapa kakaknya sebaik itu. Dan akhirnya Naina membawa Tania ke apartemennya. Tania kagum, karena kakaknya bisa memiliki apartemen sebagus ini. Ya meski itu fasitilas dari tempat kerjanya, tapi itulah hebatnya Naina.

"Kurasa aku punya ide kak." Tania membuka obrolan ketika sudah beberapa saat di apartemen. "Kakak buat saja si Veer itu bertekuk lutut dan jatuh cinta padamu. Lalu tinggalkan, biarkan dia menderita karena telah menyakitimu." Ujar Tania berapi-api.
Naina tertawa sinis sambil melempar bantal kecil pada adiknya. "Lalu sampai kapan kebencian itu akan terus ada? Bagaimana kalau malah aku yang jatuh cinta? Ide aneh." omel Naina sambil merebahkan diri di sofa.

Mereka saling melepas rindu dan melupakan kegalauan yang ada. Naina meminta adiknya menempati apartemen ini, sedang dia akan datang pagi dan pergi bekerja. Lalu sore hingga pukul delapan. Setelah itu dia kembali ke rumah mertuanya.
Tania juga heran, kenapa mereka tidak mengusir Naina padahal dikenalkan sebagai menantu juga tidak. Namun Naina memberikan jawaban bijak.

"Mereka mungkin tidak tega, karena berfikir aku tidak memiliki apa-apa di Mumbai." Jawab Naina santai.
"Bisa juga mereka memang ingin menyakiti ayah dan ibu, membiarkanmu di kurung dalam sangkar emas mereka." Bantah Tania.

Naina hanya mengangkat bahu sambil menikmati camilan sambil menonton televisi.
***

Veer yang pusing dengan masalah kehidupan dan pernikahannya memilih menghabiskan waktu dengan kekasih barunya. Yang juga sahabat dari Naina, Anu. Nama lengkapnya Anuradha hanya saja dia lebih suka dengan panggilan pendek dan terdengar manja, Anu.
Mereka menghabiskan waktu dengan menonton di bioskop, lalu belanja pakaian mereka berdua. Veer tak ragu merogoh kocek lebih untuk membayar semua barang yang dibeli oleh kekasihnya.

"Thanks baby, ini sangat banyak." Anu menatap Veer sebelum turun dari mobil.
"Itu tidak seberapa." Jawab Veer santai.
"Aku tahu, bahkan kau bisa membelikanku dunia. Iya kan?" goda Anu dengan manja.

Veer tersenyum dan menoleh pada Anu yang tengah menatapnya dengan nakal. Mereka semakin mendekat, dan kecupan singkat di bibir membuat keduanya tak berani beranjak dari mobil. Mereka melanjutkan dengan ciuman yang lebih dalam, hingga phonsel Anu berdering.
Mereka saling melepaskan pautan mereka, lalu Anu turun dari mobil dan lari menuju lift dengan wajah merona dan malu. Bertindak seolah baru saja melakukan pengalaman pertama dalam hidupnya. Sedang Veer tersenyum puas, seolah mendapatkan imbalan pas atas uang yang telah dia gelontorkan. Setelah Anu tak terlihat, diapun pergi meninggalkan parkiran apartemen dimana Anu dan teman-temannya tinggal.
***

Naina memandang room chat group dimana Anu tengah menceritakan bagaimana dia berciuman dengan Veer.

'Aku tidak tahu perasaanku. Sedih atau sakit? Atau biasa saja? Faktanya Veer memang bukan suamiku nantinya. Dia tidak mencintaiku dan aku tidak mencintainya.'

Bathin Naina berkecamuk.

'Andai Rohan tak meninggalkanku. Rohan... dimana kau sekarang?'

Tanpa dia sadari airmatanya meleleh, meluncur melewati pipi yang mulai tirus . Segera dia bersihkan dengan kedua tangannya.

"Apa yang kau tangisi?" tanya Veer dari belakang.

Naina segera mematikan layar phonselnya lalu menoleh pada pria yang baru saja ada dalam pikirannya. Dia menggeleng cepat, lalu beranjak dari sofa dekat tempat tidur Veer menuju sofa di dekat jendela tempat tidurnya.

"Akupun ingin kau keluar dari kamar ini, bahkan dari rumah ini. Tapi aku tidak mengerti kenapa orang tuaku membiarkan kau disini. Padahal dikenalkan pada dunia juga tidak." Tambahnya membuka obrolan, mengira Naina menangis karena lelah diperlakukan buruk oleh keluarganya.

Apa tidak salah dia mengajak mengobrol? Itu yang ada dalam pikiran Naina. Tapi dia tak berani menjawab dan berkomentar, lebih memilih merebahkan dirinya di atas sofa dan menerawang jauh. Mengingat kembali masa-masa kebersamaan dengan Rohan. Hampir tidak pernah ada air mata, lalu apakah sekarang penyeimbang dari semua itu? Hingga hari-harinya harus selalu dipenuhi airmata.

Dia ingat ketika bertemu Saahil, pria itu tak mau memberitahu dimana keberadaan Rohan. Tapi dari kekikukannya saat menjawab pertanyaan Naina, jelas dia tahu banyak hal.

"Apa kau tuli?" bentak Veer karena Naina malah melamun.
"Aku hanya mentaati peraturan. Dilarang mengobrol." Jawab Naina singkat.

Veer menelan ludahnya dengan kasar, dia baru ingat aturan yang dia buat.

"Oke, khusus malam ini. Aku ijinkan kau menjawab." Veer berdiri di hadapan Naina dengan bertelanjang dada, seolah pamer keindahan tubuhnya atau bahkan sedang menggoda sang wanita. Tapi Naina tetap memejamkan matanya.

"Apa kau terlibat dengan pelarian adikmu?" tanya Veer pada akhirnya.

Naina membuka mata dan menatap tubuh Veer, lalu beralih pada wajahnya. Baru kali ini dia memandang suaminya dengan seksama.

"Apa kau akan percaya dengan kata-kataku?"
"Aku tidak suka pertanyaan dijawab dengan pertanyaan." Veer sedikit merunduk namun penuh intimidasi.
Naina menggigit bibirnya, lalu menatap Veer. "Tidak. Aku tidak tahu rencana dia. Bahkan aku tidak pernah tahu siapa dirimu dan keluargamu. Aku hanya tahu adikku mendapat lamaran orang terpandang. Itu saja. Aku tidak pernah turut campur masalah keputusan karena masih memiliki ayah." Jawab Naina panjang kali lebar.

Veer terdiam, kemudian berjalan ke arah walk in closet lalu mengambil kaos oblong untuk tidur.
Mereka kembali saling diam. Hanya nafas mereka yang terdengar dari tempat masing-masing. Untuk kemudian keduanya larut dalam pikiran yang berbeda.

Sesosok pria tampan dengan rambut aga panjang tersenyum, merentangkan tangan dan Naina lari ke dalam pelukannya. 'Aku merindukanmu Rohan.'
Seketika Naina membuka matanya, lalu menatap rembulan yang tampak dari balik tirai yang sedikit tertiup angin dari AC. Naina kembali memejamkan mata, berusaha mengingat kisah cintanya bersama pria yang amat dia cintai.

Flashback :

Naina berpangku tangan dengan jas kelulusan yang dilipat di tangan kirinya. Seorang pria berlari ke arahnya dang langsung menutup matanya.

"Apa aku harus menebak?" tanya Naina.
"Tentu, bisa saja penjahat kan?" tawa renyah terdengar.
"Rohan, kau tidak biasanya terlambat." Naina melepaskan tangan Rohan dari matanya lalu berjalan lebih dulu.
"Kau ini, seperti gadis yang menanti kekasihnya saja. Ingat, aku harus membagi waktu untukmu dan untuk gadis-gadisku." Katanya sambil berjalan disamping sahabatnya.
"Huh, aku tahu. Tapi kau hari ini janji mau mentraktir aku makan. Aku tidak punya banyak waktu seperti pengangguran." Ledek Naina.
"Hey, kau lupa aku baru saja dapat gaji pertama sebagai arsitek?" Rohan menarik tangan Naina hingga dia kesakitan dan berhenti. Lalu Naina memukul perut Rohan dengan tasnya. Cengkraman Rohan lepas dan Naina lari, lalu Rohan mengejarnya.

"Kau tidak akan bisa lolos dariku, dokter nakal." Rohan menangkap tubuh Naina dari belakang. Lalu mengangkatnya dan memutarkannya. Naina berteriak histeris, tapi Rohan malah tertawa.
"Phuuuhh... berat sekali." Ledek Rohan setelah menurunkan tubuh Naina.

Naina kembali marah dan kali ini melompat ke punggung Rohan. "Kau terus mengejekku, hukumannya gendong aku sampai restoran yang kita tuju." Omel Naina.
"Aku bisa mati Naina..." keluh Rohan sambil berjalan sempoyongan. Tapi Naina tak peduli, dan mereka terus bercanda hingga tiba di restoran.

Rohan dan Naina bersahabat sejak masih kuliah. Meski berbeda jurusan, tapi mereka sangat akrab. Berawal dari masa ospek, Rohan selalu menyelamatkan Naina dari bullying para senat. Naina tampak lemah kala itu, dan Rohan yang tak tersentuh oleh para senior sangat kagum dengan keteguhan Naina menolak perintah senior-senior mereka.
Jadilah mereka bersahabat baik meski berbeda, Rohan memilih jurusan arsitek dan Naina memilih jurusan paling berat, kedokteran. Bahkan setelah mendekati semster akhir dia bersiap dengan mengambil gelar spesialis. Rohan heran dengan Naina yang mengambil jurusan mengerikan itu. Terlebih dia jadi harus full time di kampus, tapi Rohan kadang menjemputnya jika harus pulang malam.

"Kau bisa menghabiskan waktu delapan tahun di kampus, tapi kau ambil keduanya hingga mungkin lulus dalam waktu enam tahun. Tapi apa kepalamu tidak pecah?" protes Rohan saat menjemput Naina malam hari.
"Aku ini anak pertama, Rohan. Tanggung jawabku besar." Jawab Naina sambil berpegangan pada jaket Rohan. Mereka naik motor di malam hari, hingga angin terasa dingin menusuk.
"Apa hubungannya?" tanya Rohan heran.
"Dokter spesialis itu memiliki bayaran besar, dan aku bisa mendapatkan uang banyak nantinya. Untuk membiayai orang tuaku, juga adikku." jawab Naina.
"Biaya yang harus kau keluarkanpun besar." Balas Rohan.
"Ya, ayah masih sanggup membiayaiku, dan kelak aku yang akan menggantikannya menjadi tulang punggung keluarga. Lagipula separuhnya dari beasiswa." Naina membetulkan rambutnya yang tertiup angin.
"Kalau berhasil. Kalau gagal? Wanita itu kelak akan dicarikan nafkah oleh suaminya. Maka carilah pria mapan dan kaya raya." Celoteh Rohan seenaknya.

Naina mendorong helm Rohan ke depan dengan kesal. 

"Ya... andai iya dapat pria mapan dan kaya raya seperti, tapi bagaimana andai dapat pria pemalas sepertimu?"

Rohan tertawa sambil menarik gas motornya hingga Naina terkejut dan spontan memeluknya.

"Ups." goda Rohan merasa ada yang menabrak punggungnya.
"Rohaaaan...! Menjijikan." omel Naina sambil mencubit punggung Rohan.
"Hei hentikan kita bisa jatuh." Protes Rohan menahan sakit.

Naina cemberut hingga mereka tiba di rumah.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER