Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 27 Desember 2021

Purnama Di Balik Awan #1

Cerita Bersambung
Oleh : Majarani

Semua berlarian panik, mencari seorang pengantin wanita yang lari dari pernikahan. Ibunya tampak syok bahkan tidak sadarkan diri, sedang ayahnya sibuk tidak karuan. Berusaha tegar, dan meminta maaf pada keluarga mempelai pria.

Di sisi lain, keluarga mempelai pria merasa telah dipermalukan. Mereka tidak terima, dan apa yang harus mereka sampaikan pada tamu di kediaman mereka yang masih menanti hingga sekarang. Menanti mempelai pria membawa pengantin wanitanya.

"Naina!" teriak seorang wanita paruh baya, berlari ke belakang rumah. Menemui seorang wanita yang tengah sibuk dengan phonselnya.

"Angkat teleponnya gadis bodoh!" umpat wanita dengan rambut ikal ujungnya, rambutnya tampak hitam hingga berkibar dan jatuh ke pinggang.

"Naina, ibumu pingsan." Ujar wanita itu dengan terengah-engah.


Wanita yang dipanggil Naina itu tampak gelisah ketika menoleh pada wanita tadi.

"Tania tidak mengangkat teleponku." Ujarnya pelan. Dia berjalan cepat menuju ruang aula pernikahan. Lalu setengah berlari menyongsong ibunya. Memeriksa kondisi sang ibu.

"Seandainya kau tidak membiarkan adikmu sendirian di kamar." Omel ayahnya yang sedari tadi mengusap keringat.
"Sudah jelas, Naina memang membantu adiknya lari dari pernikahan ini. Dia merasa tidak terima harus dilangkah paska kegagalan pernikahannya." Ujar seorang pria yang tampak emosi melihat ke arah gadis bernama Naina.

"Paman, demi Tuhan aku tidak tahu jika Tania berniat pergi. Dia memang sempat mengatakan tidak mau menikah dengan pria yang tidak dia kenal. Tapi aku sungguh tidak tahu jika...."
"Sampai kapan kalian akan berdebat!? Semua itu tak penting. Aku hanya minta harga diri keluargaku disini." Ujar seorang pria yang tak lain dari ayah mempelai pria.

Semua jadi terdiam dan hanya menarik nafas dalam meski nafas mereka cepat.
Ya, hari ini adalah pernikahan putri dari Shekar Dinanath yang bernama Tania. Dia memang putri kedua, sedang putri pertamanya bernama Naina. Hanya saja, Naina pernah ditinggal oleh mempelai prianya di hari penikahan. Karena itu, lamaran yang datang untuk Tania diterima dengan mengabaikan status Naina yang masih gadis juga.

Naina tidak keberatan, karena cintanya masih untuk pria yang telah meninggalkannya di hari pernikahan mereka. Namun tidak dengan Tania, gadis berusia 24 tahun itu belum siap. Terlebih harus menikah dengan pria yang belum dia kenal. Bukan tidak kenal sama sekali, mereka bertemu beberapa kali dalam sebuah kesempatan. Sang pria menyukainya, sedang Tania tak pernah menyadarinya.
Sang pria yang bernama Veer Kailash Nanda mengutarakan ketertarikannya pada orang tuanya, dan segeralah mereka melamar gadis itu. Tania menolak tapi orang tuanya memaksa, mengingat keluarga Kailash Nanda adalah orang terpandang di Mumbai.
Pada akhirnya, Tania memilih kabur di hari pernikahan. Berkebalikan dengan apa yang dialami kakaknya. Dan semua tuduhan tentu dialamatkan pada Naina, dianggap tidak ingin dilangkah adiknya hingga memuluskan pelarian.

"Sudahlah, ayah. Kita kembali." Ujar pria dengan ikat kepala penuh bunga menutupi wajahnya.

"Tidak! Apa kata orang-orang? Aku sudah mengundang semua orang dirumah. Aku tidak ingin harga diriku diinjak seperti ini. Mereka masuk penjara pun tidak akan mengembalikan nama baikku." Tuan Kailash Nanda memandang tajam ke arah Shekar Dinanath yang masih tertunduk.

Semua hanya bagai patung, diam saling memandang tak ada yang berkomentar. Hingga adik Shekar, yang bernama Abhay bersuara.

"Semua diawali oleh Naina, maka jika hanya demi menyelamatkan nama baik saja, biarkan Naina bertanggung jawab dengan menggantikan adiknya." Katanya tanpa rasa bersalah.

Naina mengangkat wajahnya hampir tak percaya dengan apa yang dia dengar. Begitu juga sang ayah, dan Kailash Nanda.

"Paman apa kau sudah gila?" tanya Naina dengan mata merah dan hampir menangis, "demi Tuhan aku tidak terlibat, akupun tidak iri dengan pernikahan ini." Katanya tak kuasa lagi membendung airmatanya.
"Kalau begitu anggap saja kau menyelamatkan nama baik orang tuamu, bertanggung jawab atas musibah yang akan diterima orang tuamu, menyelamatkan adikmu, sekaligus buang sial setelah ditinggal di pelaminan oleh calon suamimu." Rentetan kalimat pedas yang didengar Naina sungguh merobek-robek hatinya.

"Paman..." rintihnya tak kuasa bicara.

Kailash Nanda terlihat berdiskusi dengan keluarganya dan orang-orang yang dibawa bersamanya. Juga dengan putranya yang merupakan pengantin pria.

"Baiklah, demi menyelamatkan dua keluarga ini. Aku rasa ide dari adik anda masuk akal. Putraku tak keberatan menikah dengan putri pertamamu." Ujar Kailash Nanda.

Shekar Dinanath dan istrinya yang baru siuman langsung terperangah dan saling memandang. Lalu menoleh pada putri pertamanya yang tampak mengepalkan tangan yang masih memegang phonselnya dengan erat.

"Nak, aku menaruh hidupku dan harga diriku di kakimu." Shekar melepas ikat kepala dan menaruhnya di kaki putrinya.

Naina seketika mengambilnya dan mengangkat tubuh ayahnya agar tegak di hadapannya. Bibirnya bergetar, tak sanggup mengeluarkan kalimat sepatah katapun. Lalu menoleh pada ibunya yang juga mengatupkan kedua tangan, seolah memohon padanya.
Naina terdiam dan menatap kosong dengan bibir masih bergetar karena tangisan, dan airmata yang meleleh membanjiri pipinya yang putih. Lalu dia menganggukkan kepalanya pelan.

Shekar dan istrinya langsung menghambur dan memeluk putri pertamanya.

"Maafkan kami, nak. Mereka keluarga baik, jadi kau akan bahagia meski harus seperti ini caranya." Bisik ayahnya.

Naina menoleh ke arah keluarga pengantin pria, tak tampak ekspresi baik itu di wajah mereka.
Dan tak terasa, kerudung merah telah dipasangkan di kepalanya. Beberapa wanita juga ibunya menggandengnya ke altar pernikahan, lalu duduk bersama pengantin pria yang dia tak pernah dia lihat sama sekali wajahnya. Karena terus menutupnya dengan untaian bunga di ikat kepalanya.
Dia tidak fokus ketika menghadapi ritula pernikahan. Pikirannya melayang ke masa beberapa waktu silam. Ketika dia menanti calon mempelai pria yang tak kunjung datang. Dan kini seorang asing masuk begitu saja menjadikan dirinya pengantin juga.

"Sekarang kalian resmi sebagai suami istri. Silahkan minta restu pada orang tua kalian."

Naina dan Veer berdiri, lalu menyentuh kedua kaki orang tua Naina. Shekar dan istrinya histeris sambil memberikan restu dan memeluk putrinya dengan erat. "Maafkan ayah, nak. Semoga kau selalu bahagia." Bisiknya dengan pilu.
"Doaku bersamamu, nak. Semoga kau selalu bahagia." Bisik ibunya.

Naina merasa kepalanya pusing dan pandangan berkunang-kunang. Beruntung dia tidak pingsan, dan masih sadar ketika harus meninggalkan rumah orang tuanya dan menuju kota Mumbai, rumah keluarga barunya.

==========

Gerbang keluarga Nanda terbuka lebar. Satu persatu mobil memasuki pekarangan. Naina menatap jalanan dan hamparan berumput hijau. Dan lamunannya terhenti saat mobil yang ditumpanginya berhenti di samping rumah, bukan di pintu utama rumah mewah itu.
Tampak kakak dari Veer, Gauri membuka pintu mobil yang dinaiki Naina, lalu menuntunnya masuk lewat pintu samping. Artinya tidak ada upacara penyambutan layaknya menantu pada umumnya.

"Ayah dan ibu juga Veer menemui para tamu. Mereka belum bisa memperkenalkanmu, jadi mereka mengatakan kau kurang sehat karena lelah perjalanan." Ujar Gauri sambil membuka pintu kamar.
"Tunggulah disini, nanti Veer akan datang dan bicara denganmu." Katanya sambil meninggalkan Naina yang masih duduk di atas tempat tidur penuh taburan bunga mawar merah.

Naina diam saja, dia memandang kedua tangannya yang belum memakai hiasan pernikahan, lalu melihat ke sekeliling kamar. Tak lama terdengar pintu kamar dibuka dan ditutup kembali. Langkah seseorang membuat Naina sedikit gugup dan menundukkan kepala semakin dalam.

"Bersikap biasa saja. Ini bukan malam pertama kita." Katanya dengan datar.

Naina mengangkat wajahnya dan membuka kerudungnya sedikit. Terdengar tarikan nafas berat dari pria yang kini telah jadi suaminya.

"Kita menikah hanya untuk menyelamatkan nama baik kedua keluarga kita. Jujur, aku tidak berfikir untuk menganggap semua ini sebuah pernikahan. Bahkan kau pun tak bisa kuanggap sebagai istriku." Ujar Veer sambil berdiri di depan jendela kamarnya.

Naina hanya menarik nafas sambil menganggukan kepala.

"Dan keluargaku, sama. Mereka tidak bisa menganggap kau sebagai menantunya. Atau memperkenalkanmu pada dunia sebagai menantu keluarga ini." Veer berdecak kesal. "Ini mungkin terdengar kejam, tapi maaf, keluargamu benar-benar telah menghina kami. Menyakiti kami, maka kami sudah tidak sudi menjalin hubungan apapun dengan kalian. Termasuk dengan kau." Tambahnya.

Naina melepaskan kerudungnya ke lantai dan memandang Veer yang masih membelakanginya.

"Aku faham." Akhirnya Naina mengeluarkan suaranya. Meski terdengar berat karena menahan beban yang begitu besar.

"Bagus." Veer menoleh dan menatap wanita di hadapannya. "Kau pun tidak bisa tidur di ranjangku. Aku tidak ingin ada interaksi apapun diantara kita. Tidak mengobrol, tidak bicara, apapun. Aku tidak ingin salah satu diantara kita jatuh cinta pada akhirnya."

Naina mengangkat wajahnya dan menatap Veer dengan menganggukan kepalanya. Matanya tampak bersinar karena terang purnama dari luar. Namun wajahnya sangat sendu seperti awan yang gelap.

"Kaupun tidak harus melayani diriku. Tapi kau jangan khawatir, kau akan mendapatkan semua fasilitas selama disini. Besok kakakku akan memberikannya. Kartu kredit, tabungan, uang setiap bulan dan perhiasan layaknya anggota keluarga lain. Namun tidak dengan hubungan dengan dunia luar. Kau boleh keluar, tanpa membawa embel-embel keluarga ini." Papar Veer dengan jelas.

Naina hanya mengangguk-anggukan kepala.

"Sekarang tidurlah. Kau boleh mengambil sudut manapun di kamar ini untuk kau tidur." Ujar Veer sambil membuka baju pengantinnya, memamerkan otot-otot kekarnya di hadapan wanita yang dia ceraikan di malam pertamanya.

"Sampai kapan semua ini?" tanya Naina memberanikan diri.
"Maksudmu?" tanya Veer sambil menoleh.
"Sampai kapan aku berada disini?" tanya Naina. "Mungkin aku bisa dapat kamar lain? Kamar tamu? Atau kamar pembantu, aku tidak keberatan." Tambahnya.

Veer terdiam. Lalu membuka lemari pakaiannya.

"Ibu bilang kau harus tetap di kamar ini untuk menghindari pandangan dari dunia luar, karena tidak seorangpun dengan mudah mengakses kamarku. Dan agar aku bisa mengawasi tindak tandukmu. Kau bisa tidur di sofa itu." Veer melemparkan pandangan ke arah sofa hitam di dekat jendela yang memang cukup besar, lalu dia melenggang ke kamar mandi.

Naina melangkahkan kakinya, lalu duduk di sofa yang akan jadi tempat tidurnya.

"Rohan." Bisiknya sambil mengepalkan tangan, lalu cepat-cepat menghapus airmatanya yang sempat menetes.
***

Naina duduk di hadapan semua keluarga Nanda. Tampak Kailash dan istrinya memasang wajah tak bersahabat padanya. Itu wajar, siapa yang tidak kesal dengan pernikahan asal-asalan ini?
Tapi rasanya tak adil menumpahkan kemarahan kepada Naina seorang.

"Veer sudah mengatakan semuanya padamu?" tanya Kailash sambil duduk dengan angkuh.

Naina menganggukkan kepala sambil menatap ke bawah. Berusaha menghormati keluarga ini.

"Bagus. Gauri, berikan hak-hak dia selama disini." Ujar Kailash lagi.

Gauri mendekati Naina dan membuka sebuah kotak besar.

"Ini kartu kredit untuk membiayai kebutuhan belanjamu, ini tabungan dengan ATMnya isinya bisa kau cek sendiri. Dan ini uang cash untuk kebutuhanmu juga, dan di akhir bulan, kami biasa membeli perhiasan, kaupun akan dapatkan hak itu." Paparnya.

"Terima kasih." Naina tak berani membantah, menolak atau apapun. Dia memilih cari aman, dia tahu keluarga ini masih dalam kondisi penuh amarah.

"Ada yang ingin kau sampaikan?" tanya Kailash.
"Iya, tuan." Naina tersenyum dan mengangkat wajahnya. Tampak wajah anggun dan menyejukkan yang terasa oleh Kailash yang sedang kesal. "Aku ingin tetap bekerja."
"Bekerja? Kau sudah mendapatkan semua kemudahan materi. Untuk apa bekerja?" tanya ibu Veer dengan keheranan.
"Aku berterima kasih, nyonya. Aku juga menerimanya. Hanya saja, semua fasilitas ini hanya berlaku untuk sementara bukan? Sedang karir dan pekerjaanku? Itu akan jadi masa depanku. Itu menurut pandanganku." Ujar Naina sedikit takut mengungkapkan alasannya.

Keluarga Nanda saling berpandangan, hanya Veer yang cuek dan sibuk dengan iPhone-nya. Namun akhirnya angkat suara.

"Biarkan saja, ayah. Asal dia tak membawa nama keluarga kita. Biarkan dia bebas diluaran." Katanya dengan menatap sinis pada Naina yang tersenyum manis.
"Baiklah." Ujar Kailash. Merekapun bubar dan menuju meja makan, sedang Naina masih terdiam di ruang keluarga. Dia memilih keluar dan berjalan di taman. Lalu duduk disana sambil menatap kosong, memainkan phonselnya.

"Geet, dulu kau bilang ada yang menawarkanku pekerjaan di Mumbai, masih bisakah?" Naina menghubungi temannya.
"Tentu saja. Kapan kau ke Mumbai?" tanya temannya dari seberang telepon.
Naina sumringah dan dengan semangat menjawab, "besok aku datang ke apartemenmu bisa?"
"Tapi tidak bisa menginap ya, kau tahu disini sudah ada Anu dan Kia haha sempit." Canda Geet.
"Tenang saja, aku sudah ada tempat tinggal, dengan...." Naina terdiam dan menarik nafas, "dengan paman dan bibiku, tapi kalian juga tidak akan bisa berkunjung kemari." Balas Naina sambil tertawa.
"Haha oke, aku sudah tidak sabar bertemu denganmu." Teriak Geet dan terdengar suara heboh lainnya mungkin suara Anu dan Kia.

Naina mematikan teleponnya lalu berjalan kembali ke kamar Veer. Membuka kopornya, dan baru ingat dia hanya membawa pakaian.
***

Naina berangkat jam enam pagi, saat Veer masih tidur dan keluarga Nanda lainnya masih sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Anda tidak sarapan dulu, nona?" tanya pelayan.
"Tidak paman, terima kasih." Jawab Naina lembut.
"Aunty, mau main denganku dulu?" sapa seorang anak kecil yang merupakan anak Gauri.
"Aunty harus bekerja, sayang... besok mungkin...."
"Arvita, kemari!" teriak Gauri sambil menarik anaknya.
"Naina, tolong jangan terlalu dekat dengan anakku juga. Ingat statusmu disini. Kau tidak harus cari muka pada siapapun, terlebih pada anak polos ini." Ujar Gauri ketus.

Naina mengangguk dan langsung keluar rumah. Lalu berjalan menuju gerbang, security membukakan gerbang.
Naina menghentikan taksi dan segera menuju alamat apartemen Geet.
Tiba disana, pertemuan dramatis keempat sahabat itu sangat heboh. Mereka semua mendengar kabar Naina menikah menggantikan adiknya dari orang tua mereka.

"Kau berbohong dengan mengatakan paman dan bibi, katakan saja kau tinggal dengan mertua palsu hahaha." Celoteh Anu sambil tertawa mengejek.
Naina merebahkan badannya dan menatap langit-langit, "begitulah." Jawabnya singkat.

Mereka terus membahas banyak hal, mencoba membantu melupakan kesedihan sahabat mereka yang harus menjadi istri yang tak dianggap. Setelah itu, Naina menghubungi keluarganya meminta dikirimkan surat-surat berharga miliknya.

"Apa mereka memperlakukanmu dengan buruk? Kenapa kau ingin bekerja?" tanya Ibunya melodrama.
"Bu, jangan pernah mengharap mereka akan menerimaku sebagai menantunya. Bagaimanapun kita telah membuat mereka marah, membuat mereka malu, menyakiti perasaan mereka. Mereka tidak menyiksaku seperti di serial-serial televisi saja sudah syukur. Jadi sekarang biarkan aku memainkan tugasku. Ibu jangan khawatir." Ujar Naina menenangkan ibunya.
"Hahahaha... aku membayangkan kau disiksa mertuamu kenapa jadi tertawa hahaha" Geet malah tertawa keras.
"Siapa itu?" tanya ibunya.
"Itu Geet, aku bertemu teman-temanku disini. Jadi ibu jangan khawatir. Kirimkan saja surat-surat berhargaku ke apartemen Geet."

Setelah bicara panjang lebar dengan orang tuanya, akhirnya Naina bisa lega.

"Nanti malam kita ke club? Buang kesedihanmu disana." Ujar Anu sambil melipat kedua kakinya. "Tapi setelah aku selesai pemotretan yah." Katanya dengan semangat.
"Anu, meski Naina datang ke Mumbai, bukan berarti dia menjadi gadis modern. Iya kan?" Kia tersenyum.
"Ya, aku bisa digantung mertuaku, ups... mertua palsuku."

Semua tertawa keras mendengar jawaban Naina.
***

Lalu bagaimana dengan Veer? Pria itu masih penuh amarah dan kesal, bahkan dia menghubungi semua agensi untuk menolak gadis bernama Tania Dinanath untuk menjadi model di manapun. Dia masih dendam, dia masih tidak terima dengan semua ini.

Bagaimana mereka bertemu?

Veer memegang perusahaan ayahnya di bagian periklanan dan hiburan. Jadilah dia banyak menghabiskan waktu dengan agensi-agensi untuk mencari model untuk iklan perusahaan atau iklan yang ditanganinya. Dia yang masih muda dan dinamis tentu lebih senang terjun langsung, dan disitulah dia bertemu Tania yang melakukan casting.

Veer tertarik dengan wajah lembut dan imutnya, juga sopan santunnya. Ketika itu Veer sedang mengunjungi Manali, kota kelahiran Tania dan Naina.

Pertemuan demi pertemuan saat casting hingga proses pembuatan iklan, membuat Veer semakin kagum dengan kesantunan dan kelembutan gadis itu. Bagaimana bisa dia berniat jadi artis dan model tapi begitu santun dan lembut? Biasanya para gadis sangat liar dan berani melakukan adegan atau pose apa saja, tapi tidak dengan Tania. Dia masih mencoba melobi agar apa yang dilakukannya tidak melanggar adat ketimuran.

Itulah yang membuat Veer merasa gadis ini lebih layak jadi seorang istri daripada seorang artis. Bahkan mereka sering berbincang, dan Veer menunjukkan perhatian. Tania pun menunjukkan sikap sangat manis, seolah mengetahui isi dan perasaaan Veer.

Tapi tak disangka, justru Tania menolak karena mencintai pria lain. Itu yang tak Veer ketahui, kebaikannya pada Veer selama ini lebih karena merasa hormat dan segan saja pada atasan. Sedang hatinya lebih mencintai pria lain.

Dia mengutarakan penolakan pada orang tuanya saat Veer melamarnya, tapi orang tuanya terlanjur bahagia mendapatkan lamaran dari keluarga terpandang, hingga mengabaikan perasaan putrinya.

Dan akhirnya inilah yang terjadi.

***

Veer membuka pintu kamarnya, dan tampak Naina tengah tertidur dengan lingeri merah muda selutut. Veer menutup pintu dengan keras hingga Naina terbangun dan berdiri menatapnya.

Veer melemparkan selimut pada Naina dan menatapnya tajam.

"Jangan coba-coba menggodaku dengan mamakai pakaian seperti itu lagi. Ingat! Aku tidak akan pernah tertarik denganmu." Veer mendorong pundak Naina yang kini tertutup selimut.

"Aku tidak bermaksud...."

"Tidak perlu mengelak. Keluargamu sangat ingin anaknya jadi menantu kami bukan? Heh! Materialistis." ejek Veer sambil membuka kemejanya dan menaruhnya di box cucuian, lalu mendorong box tersebut dengan kakinya.

"Aku tidak membawa piyama kemari, jadi memakai yang ada di lemari." Jawab Naina.

"Aku sudah memberikanmu banyak uang. Belilah kebutuhanmu." Veer terdengar meninggi.

"Besok aku beli. Maaf." Naina malas berdebat, dia langsung menyelimuti tubuhnya serapat mungkin. Bibirnya tertarik ke pipi, tandanya dia menangis. Namun dia membekap mulutnya dengan selimut agar tak terdengar menangis.

Berulang kali dia mengusap airmata yang menetes di pipinya. Berusaha memejamkan mata, tapi tetap saja sulit. Sangat sulit.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER