Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 13 Februari 2022

Bukan Cinta Semalam #2

Cerita Bersambung

"Edyaaaan kamu Mas, Bu Rara kecewa banget tadi..." sembur Pak Rifki ketika sampai di depan meja kerjaku.
"Maaaf Pak..."
Aku hanya menunduk sambil tak lepas memandang layar laptop yang baru saja belum 2 menit menyala.

Menyadari aku hanya terdiam saja, Pak Rifki hanya mendesah sambil beringsut berjalan menuju meja kerjanya.
Hampir seharian aku sama sekali nggak fokus bekerja, bahan meeting yang harus selesai besok sama sekali belum tersentuh, masih sekedar bahan.
Sudah 2 kali sampai jam istirahat siang tadi, aku bertemu dengan Rara, yang pertama tadi pagi di depan lift dan yang kedua juga di depan lift lantai 5 tempat kerjaku.
Aku melihat Rara mengobrol dengan Pak Rifki, terpaksa urung aku keluar dari toilet ketika melihat mereka berdua di depan lift sampai mereka masuk lift turun untuk istirahat siang.

Menjelang jam 3 sore aku sudah bersiap siap jalan ke proyek, malam nanti ada beberapa material masuk ke sektor Serpong. Rencanaku pulang sebentar ke rumah di Bintaro, melepas penat lelah lahir batin, memejamkan mata sejenak, kemudian jam 9 malam nanti berangkat ke sektor Serpong.

Jadwal padat minggu ini ada 4 sektor yang harus aku kunjungi satu persatu, Serpong-Alam Sutera, Bintaro, Cibubur, dan Sentul-Bogor sebagai sektor lokasi terjauh.

"Mas, kita dipanggil ke 12, acara perkenalan GM baru," ucap Pak Rifki entah darimana tiba tiba sudah di depan mejaku.
"Lha saya kan bukan karyawan," jawabku sambil beres beres meja kerja.
"Direktur Proyek yang meminta barusan, Mas Adit harus ikut naik,"
"Baiklah, habis itu saya langsung jalan ke proyek ya Pak,"

Kupercepat beres beres meja.

"Aku naik ke 12 dulu, cepetan nyusul ya,"
"Iya Pak, saya Ashar bentar baru naik,"
 
Buru buru aku keluar ruangan menuju mushola kecil di belakang storage dekat tangga darurat.
Pintu ruang meeting besar di lantai 12, lantai gedung paling atas tempat para direksi berkantor, kuketuk perlahan.

"Naahh ini dia, komandan pasukan perang kita, ayooo Adit, silahkan duduk,"

Ucapan sambutan Pak Handoko sedikit mengagetkanku ketika kepalaku baru melongok ruang meeting utama yang sudah penuh dengan jajaran direksi dan hampir semua kepala divisi kantor.
Aku hanya celingak celinguk malu karena terlambat dan melihat hampir semua kursi meeting sudah penuh.

"Sini Adit...,"

Lambaian tangan Pak Wandi Direktur Proyek menunjuk kursi di sampingnya, aku duduk perlahan sambil melihat Rara persis di depanku.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kepadanya. Anggun benar sore ini Rara dengan scarf motif bunga di leher jenjangnya.
 
Pak Handoko kemudian melanjutkan menyampaikan hal hal penting.
Aku melirik Rara kembali sambil melihat deretan hampir lengkap semua kepala divisi dan jajaran direksi. Hanya aku sendiri yang bukan karyawan di kantor ini.
Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, Rara diangkat menjadi GM baru marketing, direct report ke direktur marketing dan Presiden Direktur alias Pak Handoko, alias papanya.
Senyum merekah dari Rara ketika Pak Handoko memperkenalkan kepada semua orang tentang jabatan GM. Sekilas kulihat Rara melirikku sambil tersenyum juga.

Aku hanya mendesah pelan ketika Pak Handoko menceritakan Rara baru pulang dari kursus singkat marketing properti di Ausie, batinku sedikit meradang mendengar Rara ternyata di luar negeri satu setengah tahun ini.
Pantesan aku tidak pernah sekalipun menemukannya, selama ini aku ternyata hanya mengejar bayangannya saja di Jakarta.
Seolah lenyap di telan bumi karena ada di dunia lain di luar negeri. Ahhh hanya kepiluan dengan ribuan pertanyaan mengapa begitu pulang ke Indonesia terus menikah dan membuat langit seolah runtuh menimpaku.

"Nah sekarang Aditya sebagai JM harus kerjasama dengan GM baru ya,"

Ucapan Pak Handoko disambut gelak tawa sebagian hadirin.

"Jenderal Mandor..."

Saling bersahutan dalam gelak tawa.
Aku hanya tersenyum kecut sambil kembali melirik Rara di depanku.

"Pasukanmu sekarang berapa Adit?" tanya Pak Handoko.
"6 mandor, 679 tukang dan 122 kenek Pak," jawabku mantab.
"Rasio ideal berapa per unit standart 2 lantai?" tanya Pak Handoko kembali.
"6 tukang 4 kenek Pak,"
"Rata rata serah terima kunci berapa lama?"
"110 hari Pak, rekor kita di 103 hari,"
"Siapa mandor terbaik kita saat ini?"
"Mandor Templuk...ehh Mandor Yanto Gunungkidul Pak, sektor Cibubur,"

Kembali gelak tawa hadirin di ruang meeting, nama Mandor Yanto memang sudah cukup terkenal di kantor.

"Nah...Rara, ke depan kamu harus sering koordinasi dengan Adit ya, klop nih JM dan GM,"

Kembali ruangan penuh gelak tawa.

"Adit, sudah berkenalan dengan Rara belum?"

Ucapan Pak Handoko setelah gelak tawa mereda.
Aku hanya tersedak seakan leherku sedikit tercekik, lirikan tajam Rara semakin membuat sesak nafasku.

"Belum...Pak,"

Pelan nyaris tak terdengar.

"Habis ini kamu harus sering koordinasi dengan Rara ya, ke depan kita akan membentuk divisi baru apartemen, kami mengandalkan pasukanmu," ucap Pak Handoko penuh wibawa.

"Baik Pak, mohon Bu Rara tidak malu dengan saya yang hanya komandan mandor lapangan..."
 
Hanya pandangan tajam Rara dengan senyum tipis seribu satu makna bagiku.
Aku hanya menunduk sambil membayangkan ke depan harus sering berhubungan dengan Rara, hal itu saja sudah sebagian dalam di hatiku terasa ngilu.
Camilan ringan dan kopi yang disajikan sedikit membuat resah diriku mereda perlahan, paparan dan target penjualan unit rumah, rencana rencana perusahaan dan berbagai hal ringan masih disampaikan dalam acara perkenalan Rara sebagai GM baru.

Setelah acara ditutup Pak Handoko diiringi tepuk tangan serempak dan perlahan orang orang mulai meninggalkan ruang meeting utama.
Pak Rifki mendekatiku sambil menepuk pundakku.

"Gimana Mas JM, sudah siap koordinasikah dengan GM baru kita?"

Senyum ringan Pak Rifki yang membuatku sedikit meringis.
Baru saja aku beranjak dari kursi, sosok Rara tiba tiba sudah masuk kembali ke ruang meeting setelah tadi mengiringi papanya keluar ruangan.

"Pak Rifki, Pak Adit, malam ini ada acarakah?"
 
Ucapan dengan senyum itu sedikit mengagetkanku, aku pikir Rara tadi keluar bareng papanya dan tidak kembali lagi.

"Nggak ada Bu," sahut Pak Rifki dengan cepat.
"Eee..."
 
Belum sempat selesai ucapanku, kakiku di tendang Pak Rifki yang jelas tidak terlihat Rara. Terpaksa aku hanya menggeleng ringan.

"Oke, sampai ketemu nanti malam ya,"

Senyum manis Rara sambil berlalu setelah berucap lembut mengundang kami makan malam di Citos.

Setelah Rara lenyap di balik pintu, barulah nada protes meluncur dari mulutku, hanya jawaban senyuman ringan Pak Rifki yang membuatku semakin tak berdaya.
***

Suasana kafe di lantai 2 Citos malam itu tidak terlalu ramai. Rara menyambut kedatangan kami dengan hangat. Wajah anggun dan ayunya bersinar terang di antara temaram cahaya kafe. Jelas sekali Rara sudah pulang ke rumah, dandan dan penampilan rapi harum mewangi, sementara kami juga jelas nggak mungkin pulang dulu ke rumah. Rumahku di Bintaro dan rumah Pak Rifki di Depok nggak memungkinkan untuk pulang dulu dari kantor kami di bilangan Antasari.

Aku sangat berterima kasih kepada Pak Rifki yang mencairkan suasana dengan banyolan banyolan ringan. Hanya Pak Rifki seorang di kantor, bahkan satu satunya orang di Jakarta yang tahu benar masalahku dan hubunganku dengan Rara.

Rara jelas nggak akan menyadari kalau Pak Rifki mengetahui hubungan kami.
Obrolan ringan dan harapan harapan Rara ke depan untuk sebuah kolaborasi dalam pekerjaan, keinginan Rara tentang tim marketing yang handal dan keinginannya untuk mendapat dukungan penuh tim kami di lapangan.
Jelas Pak Rifki mengetahui sedari tadi Rara memperhatikan diriku sejak kami masuk kafe.
Dan terlambat sudah aku menyadari, terlambat mengerti bahwa undangan makan malam ini sudah direncanakan Rara lewat bantuan Pak Rifki.

Tiba tiba tangan Rara melambai ke arah luar kafe ketika kami sedang asyik mengobrol. Suasana mendadak berubah ketika seorang pria masuk.

"Hai Beib..."  ucap pria itu mendekati kami.
"Kenalkan ini Mas Fariz," ucap Rara lembut.
"Kami sudah bertemu kok, Pak Fariz suami Bu Rara kan, hehehe, saya Rifki Pak," ucapan sambil erat berjabat tangan.
"Aditya," ucapku sambil berjabat tangan juga, entah kenapa Pak Fariz memperhatikanku sesaat.
"Silahkan dilanjutkan yaak, eh Beib...aku ke Starbucks di bawah ya, ada teman yang menunggu di sana,"

Sambil tersenyum Pak Fariz berlalu meninggalkan kami.
Dan suasana benar benar berubah dalam sekejap ketika tak lama kemudian, Pak Rifki pamit sebentar ke toilet, pamitnya sebentar namun setelah itu benar benar tidak kembali lagi. Terlambat sudah aku menyadari.

"Mas Adit..." ucapan Rara memecah kesunyian setelah dalam bilangan menit aku hanya terdiam saja.
"Ya Bu..." jawabku nyaris tak terdengar.
"Panggil Rara saja, seperti dulu Mas..." sendu ucapannya.
"Entah darimana Rara harus memulai cerita..."
"Nggak usah diceritakan Bu..."

Langsung kupotong ucapannya nyaris tanpa jeda.

"Panggil Rara saja...Mas,"

Aku hanya menggeleng lemah.

"Rara minta maaf Mas,"

Kulihat setitik bening di sudut mata indahnya.

"Nggak ada yang salah kok, kenapa harus meminta maaf," jawabku sedatar mungkin.
"Bolehkah Rara menjelaskan sedikit?"
"Bolehkah saya menolak?"

Kembali jawabanku sekuat tenaga, sekeras mungkin menjaga agar mulutku tetap diam dalam ketidaktahuan, tidak berontak seperti suasana hatiku.

"Masss,"

Kembali pinta Rara masih dengan bening air yang perlahan mengembang di kedua matanya.

"Maaf Bu Rara, tadi Ibu mengundang kami terkait urusan kantor..."

Belum selesai ucapanku, langsung dipotong dengan cepat.

"Rara mohon maaf tak pernah memberi kabar,"
"Nggak pa pa Bu, saya toh bukan siapa siapa kok," ucapku perlahan sambil menunduk, tak kuat lagi aku memandang matanya sambil menahan sesak di dada.

Sebelum benar benar runtuh bendungan air mataku, perlahan aku beranjak berdiri. Aku benar benar senewen karena lebih dari 30 menit, Pak Rifki yang pamit ke toilet tadi, sama sekali tidak menunjukkan tanda tanda akan kembali.

"Maaf Bu, kalau sudah tidak ada lagi yang dibicarakan masalah kantor, saya pamit saja,"
"Rara belum selesai ngomong Mas..."
"Nggak enak saya sama suami Ibu yang menunggu di bawah, saya nyusul Pak Rifki..."
"Pak Rifki sudah pulang..."

Jawaban ini saja sudah membuatku di ujung sesak di dada.

"Ooo jadi makan malam ini sudah Ibu rencanakan dengan Pak Rifki ya..."

Wajahku sedikit memerah entah emosi atau sesak di dada meluruh sampai ke wajahku.

"Rara hanya ingin menjelaskan Mas,"
"Saya nggak membutuhkan penjelasan, sudah cukup Bu,"

Nada kerasku pertanda sudah di ambang batas.

"Maaaf Bu, saya pamit..."

Aku bergegas beranjak dan meninggalkan Rara dalam bengong sesaat.

"Mbak...titip tas dan hp saya sebentar,"

Ucapan Rara kepada pelayan kafe masih sempat kudengar ketika Rara menyusulku.
Aku berjalan cepat dengan gemuruh di dada sebagai kombinasi entah amarah atau sesak dalam kepiluan.

"Mas...tunggu,"

Tanganku dengan cepat dipegang Rara yang berlari kecil mengejarku.

"Apalagi...Rara!"

Dengan gemetar aku membalik badan.

"Sudah nggak ada lagi yang harus dijelaskan, sudah gamblang seterang matahari,"

Uhhh, sungguh air matanya itu malah semakin membuatku naik level emosi.

"Hubungan kita sudah selesai setelah kamu naik pesawat waktu itu, titik..."

Akhirnya mulutku tak mampu juga aku tahan.

"Rara minta maaf Mas,"

Kali ini air matanya mulai jatuh berderai.

"Aku juga minta maaf tak tahu diri mencintaimu, lelaki tolol merindukan bulan,"

Tanganku sedikit mengibaskan tangan Rara yang sejak tadi memegang ujung lenganku.
Uhhh ucapanku barusan lumayan melegakan sedikit rongga dada, perlahan aku membalik badan dan ingin secepatnya berlalu agar bendungan di sudut mataku tidak terlanjur jebol.
Aku mendadak terkesiap seolah darah berhenti mengalir ketika hanya beberapa langkah saja di depanku, Pak Fariz suami Rara memandang kami, tajam melihat seolah adegan drama.

"Mas Fariz..."

Jelas suara Rara di belakangku sedikit tercekat melihat suaminya seakan menonton gratis adegan live drama tanpa skenario

==========

"Mas Fariz..."

Suara tercekat Rara sama dengan pias dan terkesiapnya wajahku ketika melihat Pak Fariz suami Rara hanya beberapa langkah saja di depanku.

Hanya beberapa detik saja mungkin, sudah cukup untuk memulihkan degup jantungku, syukurlah ada 3 orang pengunjung mal melintas yang jelas sangat membantuku.
Aku melangkah pelan tanpa memperdulikan lagi Rara di belakangku.

"Maaf Pak, saya pulang dulu,"

Hanya anggukan dan senyum tipis dari Pak Fariz.
Sekali ini aku masih bisa bertahan dengan segala egoku sebagai laki laki, tapi sampai kapan? bayangan dan kenangan dengan Rara begitu memenuhi hampir setiap inci benak dan pikiranku, entahlah.

Thought it was just fate passing by
But whenever I see you
I get butterflies in my stomach
I don’t even realize that
I’m watching you
I keep watching you
Just like the love
That I’ve been waiting for

Do you know that
I try to hide and hide
But you rock my mind
You walk to me
And become a beautiful flower
I cannot resist

Pretending I don’t know you
Trying to ignore my feelings
But I cannot fight
So I’m running back to you
Over and over again

My love
You came to me just like wind
Always
You take my breath away and
Live in my life

My love
You are just like last night’s dream
Always
You are just like my fate
Live in my life
Live in my heart

You are on my mind
And you are so close
You keep knocking on my heart
I know I cannot ignore
Is this love?

Just like fate
You are so magnetic
And you rock my mind

Do you know that
I cannot hide this feeling
And you are the only one
I cannot stop loving

My love
You came to me just like wind
***

Dari kaca spion tengah di mobil milik tim marketing yang membawa kami ke unit rumah yang akan kami lihat, jelas wajah Mbak Rara masih tersenyum senyum simpul.
Canda dan tawa kecil Linda, sales marketing yang menemani kami, hampir tak henti hentinya menyindirku sejak dari marketing galery tadi.

Aku sungguh mati kutu ketika Linda menyebutku Jenderal Mandor, pandangan penuh tanya dari Mbak Rara seakan menambah kikuk diriku. Apalagi setelah Linda menegaskan sekali lagi dengan tawa berderai derai.

"Bukan GM mbak, tapi Mas Aditya ini JM, Jenderal Mandor bangunan...hihihi," ucap Linda di Marketing Galery tadi.

Dan sepanjang jalan naik mobil menuju unit rumah contoh ini, semakin membuatku meringis.
Apes benar diriku di saat berkenalan dengan wanita cantik yang langsung membuatku mati kutu untuk yang pertama kali di hadapan wanita.

Pagi itu kami mengajak Mbak Rara yang sudah janjian dengan Linda sales kantor, janjian melihat unit rumah contoh, namun unit yang masih tahap finishing. Sebelum mobil keluar dari marketing galery, sigap kuperintahkan Yanto Templuk untuk mempersiapkan segalanya di unit Dahlia.
Rasa gugupku langsung mereda perlahan melihat Mbak Rara begitu antusiasnya berkeliling unit dan bertanya segala hal.
Beberapa anak buah Yanto masih mengerjakan plafond dan perapihan dinding.

"Ini konsepnya eco natural village, memadukan konsep natural alamiah dengan suasana pedesaan,"

Dengan semangat aku menunjukkan hal hal baru dalam konsep rumah dan bahan bahan material serta methode finishingnya.
Mulai dari taman dan kolam kecil, penggunaan batuan andesit, finishing dinding lapis palimanan, plafond ekspose dan beberapa dinding ekspose di dalam kamar mandi yang sebagian langsung tanpa sekat dengan udara luar.

"Ini melawan arus trend minimalis sekarang ini ya Mas,"

Dengan ucapan lembut dan antusias memandangku penuh perhatian, bukan ke GR an namun nyata sekali yang kurasakan sejak tadi.

"Betul Mbak, kantor sepertinya tidak ingin hanya ikut ikutan trend minimalis"
"Ini kok beda ya plafondnya dengan ruangan tadi,"

Ahh sungguh bahagia bisa melayani orang dengan rasa keingintahuan yang tinggi, detail dan begitu halus tutur kata Mbak Rara ini.

"Yaap betul, plafond ruang keluarga ini nanti ekspose kayu glugu dan beberapa memakai list bambu hitam dengan poles akhir pelitur mengkilap," jawabku semantap mungkin.
"Kayu glugu itu apa Mas,"
"Eeee sejenis kayu kambil...eh,"

Belum selesai aku menjelaskan, Yanto dan 2 orang anak buahnya di kamar sebelah tiba tiba tertawa terbahak bahak.

"Hahhahahahaha...Jo krungu ra kowe (dengar nggak kamu), juraganmu ntes wae (baru saja) ngomong kayu kambil..."

Gelak tawa si Yanto Templuk.

"Seko cilik nukang ambek saiki, lagek iki aku krungu kayu kambil...wkwkwkw,"
---(Dari kecil nukang sampai sekarang, baru ini dengar kayu kambil)

Balasan ketawa tukang Marjo yang membuatku memerah bukan marah tapi malu.

"Maaaf Mbak, maksud saya kayu kambil itu kayu kelapa..."

Jelas merah wajahku tak dapat lagi aku tutupi.
Ketika Mbak Rara kembali ditemani Linda, dengan cepat aku menyelinap menghampiri Yanto yang masih senyum senyum lucu gokil dengan pipi bakpaonya. Wajahku masih terasa panas campuran malu dan mengkal.

"Bos...Bos, athik pisan iki awakku ndelok awakmu blingsatan, hahahahaha, ancen ayu nemen si mbake kuwi ya..."
---(Bos...Bos, baru kali ini aku melihat wajahmu blingsatan, hahahhaha, memang cantik benar si Mbaknya itu ya)

Melihat wajah lucu Yanto, rasa mengkal bin mangkelku mendadak luruh.
Itulah perkenalan pertama yang sama sekali nggak berkesan menurutku, malu dan meringis jadi satu.
Entah kenapa kami dipertemukan kembali dengan penuh ketidaksengajaan. Bertemu dengan tidak sengaja di warung soto dekat kontrakanku di area stadion Maguwo saat sarapan, ketemu lagi di Indomaret di komplek belakang tempat tinggal Mbak Rara di Casa Grande. Serba kebetulan dan entah kenapa setiap bertemu selalu dalam kondisi apesnya diriku kepergok duluan.

Pertemuan pertemuan yang disusul dengan janji janji ketemu, mengalir saja, ringan saja dan enteng saja berbagi nomor hp yang kemudian meluncur tanpa kendali berbagai pesan kemudian.
Entah Mbak Rara jujur baru pertama kali tinggal agak lama di Jogja atau ada alasan lain, yang jelas terpampang, begitu gembiranya Rara ketika aku mengajak makan di seantero kuliner khas Jogja.

Aku memanggil Rara tanpa sebutan mbak hanya dalam hitungan jari ketiga kencan tipis tipis kami.
Mengalir saja laksana riak halus perairan tenang tanpa gejolak penuh ombak di lautan. Jelas dan tanpa sedikitpun kami menyingung masalah di ranah pribadi, tak pernah kami menyinggung keluarga, bahkan yang aku kenalpun hanya nama dan sosok Rara saja, begitu pula sosok diriku sebagai Adit komandan mandor bangunan.
Enteng kami janjian jalan bermalam minggu kemana saja, enteng saja kami jalan menyusuri seantero kota penuh kenangan. Lebih banyak memakai motorku daripada mobilnya.
Enteng saja entah mendapat keberanian darimana ketika berjejalan di koridor Maliboro yang penuh sesak pengunjung, dengan ringan, tanganku menggandeng tangan lembutnya.
Tak ada penolakan baik gestur tubuh atau ekspresi pandangan matanya, hanya senyum penuh arti di antara wajah mandi keringat yang tetap bening penuh pesona itu.

"Ehhh...maaaf, tadi tanganku refleks...eee,"

Senyumku berbalas senyum manis yang tidak akan pernah kulupakan malam itu.

"Emang kenapa refleksnya langsung gandeng tangan tadi...,"

Hanya ucapan lirih sambil berbinar binar memandangku ketika kami duduk di depan Gedung Agung.
Area yang hanya beberapa meter dari titik nol kilometer Jogja.

"Yaaa, hanya takut ilang, takut nanti nyasar, susah lho nemuin makhluk langka di sini...ups,"

Beruntung sorot lampu lampu kendaraan menutupi wajah merahku sesaat.

"Beneran Mas Adit takut Rara hilang di sini?"
"Hooh..."

Dan kami terdiam menikmati malam minggu di tempat yang bagi sebagian orang merupakan tempat pertama mengenal Jogja.
Jika ada kamera drone dari ketinggian, posisi kami benar benar pas dalam tautan diam di antara pergerakan ribuan manusia di sekeliling kami. Malam itu elegi sebuah rasa di hati tumbuh menjalar merambat, mendekat dan semakin dekat.
Waktu jualah yang memupuk perdu tanaman cinta hingga rindang dan nyaman dalam pandangan, meneduhi rumput dan aneka tanaman kecil di bawahnya.
Kelak siraman air hujan akan menyisakan tetes tetes bening air, luruh dalam segala kelembutan cinta tanpa gejolak, lembut menghangat meneduhi segalanya.
***

Warung kopi dengan beberapa tempat duduk dari papan bekas bekisting bangunan ini merupakan tempat favoritku kalau mengunjungi proyek di Cibubur. Menghadap ke danau Cibubur dari kejauhan dan beratap pohon pohon teduh yang mengelilingi danau. Lokasi yang hanya berjarak 300 an meter dari pagar perumahan mewah yang menjadi tanggung jawabku dalam pelaksanaan proyek di lapangan. Begitu teduh dan sesaat dapat melupakan berbagai hal.
***

Sudah seminggu lebih dengan sengaja aku menghilang dari kantor, alasanku selalu di lapangan dari ujung barat ke ujung timur.
Padahal jelas aku sengaja menghindari Rara sejak kejadian di Citos malam itu.
Kenangan demi kenangan seakan mengejarku setiap kali melihat Rara. Cara terbaik jelas menghindar sesaat. Uhhh tapi sampai kapan?
Aku segera beranjak untuk kembali ke proyek, sore ini masih ada beberapa ceklist yang harus kulakukan sebelum pulang membelah selatan Jakarta menuju rumahku di Bintaro.
Aku baru selesai membayar kopi dan bungkusan titipan Yanto tadi, dia sudah hapal kalau diriku lama nggak nongol berarti ngadem di warkop. Sejenak mataku terpaku di layar hp.

[Halo Pak Aditya, ini Fariz, sore ini bisa ketemu, maaf saya tadi nanya nomer hp ke kantor, ini posisi saya dari Sentul menuju Cibubur]

WA dari Pak Fariz yang jelas tanpa basa basi.

[Baik Pak, saya stand by di lokasi]

Balasku tanpa basa basi juga, tak perlu menunjukkan lokasi perumahan kalau nomer hpku saja dengan mudah dia dapat.

Kupacu pelan motor mio milik Yanto yang tadi kupinjam, mampir sejenak di toko bangunan yang beberapa ratus meter saja dari gerbang perumahan.

Setelah mengambil beberapa material kecil yang bisa ditenteng.
Aku menuju proyek dengan bayangan dan penuh tanda tanya dari WA Pak Fariz suami Rara tadi.
Sebuah mobil BMW X4 kelir putih sudah terparkir di depan unit rumah yang menjadi barak sementara Mandor Yanto.

"Mobil mentereng ini milik siapa? nggak mungkin milik Pak Fariz karena nggak akan secepat itu menempuh jarak Sentul Cibubur," suaraku membatin.

Aku melangkah ke dalam rumah dengan rasa heran melihat sore itu tumben begitu sepi.

"Iya Bu, Bos Adit sudah kayak orang gila hampir setahun ini..."

Jelas itu suara Yanto.
Aku mendelik saat melihat Yanto sedang berbicara dengan Rara dan Pak Rifki, Yanto mendadak diam begitu melihatku masuk ke ruang keluarga di rumah yang masih tahap finishing ini.
Rara dan Pak Rifki langsung menoleh melihatku, tentu dengan ekspresi terkejut yang hampir bersamaan.

"Sore Bu Rara, sore Pak Rifki, sudah lamakah?"

Jelas sapaan konyol kalau mendengar sekilas cerita Yanto barusan, yang tanpa sengaja aku dengar, lirih saja namun bagiku seperti bunyi gong raksasa dipukul di dekat telingaku.

"Sejam..."

Hampir bareng jawaban Rara dan Pak Rifki yang terputus sejenak menyadari hampir serempak tanpa komando.

"Yan...ini titipanmu,"

Aku sorongkan tas plastik titipan Yanto.
Yanto dengan wajah merasa bersalah menerima tas sambil melirik Rara.
Rokok dari saku celana kiri terpaksa urung kuserahkan kepada Yanto, sesaat kubuka dan kusulut sebatang.
Yanto bengong sesaat melihat rokok titipannya belum berpindah tangan dan malah berkurang sebatang yang barusan kusulut.
Kepulan asap pertama rokok ini yang kelak akan menemaniku di hari hari panjang ke depan, itulah batang rokok pertama yang kuhisap, itulah kebiasaan buruk pertamaku mulai hari itu, hanya dan demi meredakan suasana lusuh sore itu.

Sejenak aku kembali memandang Rara dan rasa senewenku yang belum hilang kepada Pak Rifki.
Masih mengkal diriku mengingat kejadian malam itu, seminggu yang lalu di Citos.
Pak Rifki pamit ke toilet sebentar dan tak pernah kembali.
Hanya pembicaraan sekedar basa basi sore itu, aku yakin sekali kunjungan Rara dan Pak Rifki ke Cibubur ini, jelas bukan karena pekerjaan.
Sekelas GM developer perusahaan besar tak mungkin berkunjung ke proyek tanpa pemberitahuan.

Aku jelas meradang dan momen sesaat dalam obrolan tak menentu sore itu membuat diriku juga meyakini, tak mungkin Rara tahu kalau Pak Fariz sedang menuju Cibubur.
Aku tunggu saja nanti apa yang akan terjadi.
Entah darimana saat ini aku seolah menikmati scene demi scene drama di depan mataku.
Bermula dari menguping walau tak sengaja ucapan Yanto tadi, yang membuat gemuruh di dadaku seakan meledak mendengar rahasia hatiku terungkap di depan Rara.
Skenario drama dari kejutan demi kejutan seakan berlanjut, ini keterkejutan kedua dari Rara dan Pak Rifki.
Seperti yang sudah kuduga, kedatangan Pak Fariz membuat Rara ternganga, aku justru heran seolah menikmati betul adegan demi adegan di depan mata.

"Haloo, wah lengkap nih formasi Citos, hai Beib..."

Senyum Pak Fariz mengembang begitu turun dari Mercy E320 hitamnya.
Seolah tidak menunggu jawaban Rara yang sama terkejutnya dengan Pak Rifki.

"Sudah siap Pak Aditya, yuk kita langsung jalan saja, sorry ya Beib kutinggal dulu,"

Ucapan penuh senyum itu tentu membuat Rara kembali pias.

"Baik pak..."

Ringan saja jawabanku.

"Mau kemana Mas..."

Masih dengan tanda tanya dan berkerut kerut wajah Rara memandang lekat suaminya.

"Sorry Beib...ini urusanku dengan Pak Aditya, sekedar ingin ngobrol saja sih,"
"Aku ikut..."
"Nggak Beib...kamu pulang dulu aja ya," sahut Pak Fariz sambil mengedipkan mata kepadaku.
"Aku harus ikut Mas..." ucap Rara sambil memegang tangan Pak Fariz, sesaat kulihat kilatan merah di wajah itu. Wajah merah Pak Fariz dan sejenak hilang senyum sumringahnya tadi.
"Baiklah..."

Tangan Pak Fariz sedikit menyeret Rara untuk masuk mobil.

"Next time saja Pak Aditya ya...Pak Rifki titip mobil istri saya,"

Aku hanya melihat Pak Fariz membuka pintu mobil dan setengah menghardik Rara.

"Ayo masuk..."

Rara seolah kebingungan ketika masuk mobil, memandang bolak balik diriku dan suaminya.
Hanya sesaat dan manuver mobil mercy dengan sedikit ban berdecit itu mengakhiri drama sore itu.
Kali ini gantian aku yang bengong, gantian aku yang benar benar tidak mengerti.
***

"Untuk apa Mas nemuin Mas Adit?" tanya Rara di dalam mobil.

Pak Fariz hanya mendengus sesaat.

"Mas Adit...hemmm,"

Ucapan sinis jelas terpampang.

"Untuk apa Mas..." sergah Rara.
"Hanya memastikan saja..."
"Memastikan apa?"
"Jadi laki laki itu ya yang selama ini..."

Belum selesai Pak Fariz ngomong sudah langsung di potong Rara.

"Mas Fariz sudah tahu persis kan, sudah Rara ceritakan semuanya,"
"Belum sebulan kita menikah Rara..."
"Trus..."
"Bisa nggak kamu kasih aku kesempatan,"
"Rara hanya ingin meminta maaf telah menyakiti Mas Adit, ituuuu...saja,"
"Raraaa..."

Hanya ucapan sambil mendesah dari Pak Fariz.

"Semua sudah jelas Mas, keinginan Rara hanya minta maaf, saat Rara menerima lamaran Mas Fariz dan waktu itu Mas sudah tahu semua ceritanya kan,"
"Mulai besok tolong jaga jarak dengan Adit..."
"Maksud Mas!"
"Rara, buat apa aku menikahimu, buat apa aku memiliki tubuhmu tapi hatimu untuk orang lain,"

Ucapan dengan nada halus itu sungguh menghentak Rara.

"Apa mau dibahas lagi, kan sudah jelas selama ini Rara sudah tergadai, Rara nggak punya pilihan lainkan?"

Mulai ada isak tangis.

"Aku benar benar mencintaimu Rara,"
"Kenapa waktu itu Mas Fariz mendesak desak Papa, kenapa?"
"Karena itu satu satunya jalanku untuk memiliki kamu seutuhnya Rara, seutuhnya bukan hanya tubuhmu...titik,"

Nada keras ucapan Pak Fariz diiringi pedal gas mercy melaju cepat membelah Jagorawi menuju Jakarta.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER