Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 12 Februari 2022

Bukan Cinta Semalam #1

Cerita Bersambung
Karya : (Un-known)

"Nih ada undangan dari Bos, Mas Adit diminta datang, harus katanya,"
"Hmmm..."

Sudut mataku hanya melirik sekilas, melihat undangan pernikahan yang disorongkan Pak Rifki barusan, aku tetap fokus di layar laptop.

"Siapa yang nikah Pak,"

Deretan angka di RAB membuatku bergeming walau sesaat.

"Princess, putri Bos, makanya Mas Adit harus datang," ucap Pak Rifki sambil duduk di depan meja kerjaku.
"Ohhh..." jawabku pendek dan datar.
Hampir semua orang di kantor sudah tahu, acara apapun kalau waktunya pas weekend jelas dan bahkan sudah menjadi barang taruhan kalau aku sampai datang.
Sudah setahun lewat tiga bulan dan genap duabelas hari, pas hari selasa ini.

Aku bekerja sebagai partner utama kontraktor pembangunan perumahan di Jakarta. Hidupku yang nyaman dan tenang di Jogja setelah lulus kuliah, tiba tiba bak terkena hantaman angin puting beliung 2 tahun lalu. Bekerja di kota penuh kenangan, nyaman dan damai, bahagia karena telah menemukan belahan hati, cinta yang begitu teduh dalam segala imaji dan asa untuk membangun rumah tangga yang diidamkan semua orang.
Semua berawal dan saat ini hampir tiada akhir, gara gara Rara, gadis cantik khas anak metropolis. Rara...Rara dan Rara.
Cinta kami bersemi, bersemayam dalam damai, penuh asa dan rindu akan cita cita membangun mahligai rumah tangga.
Semua berantakan sewaktu satu setengah tahun lalu, Rara pamit pulang ke Jakarta dan sejak itu seolah lenyap ditelan bumi. Kehilangan kontak sejak pesawatnya lepas landas meninggalkan Adi Sucipto. Entah sudah berapa kali, nggak terhitung lagi sms, WA dan telepon dariku yang seolah bertemu tembok batu dalam diam kelam membeku.
Dan gelaplah sudah hidupku sesaat kemudian, tak ada lagi aura cerah, ceria bahagia apalagi senyum penuh semangat. Hanya berbilang dua bulan kemudian, aku memutuskan menyusul Rara ke Jakarta.
***

"Kamu ngetik atau melamun Mas?"

Sindiran Pak Rifki sesaat menggoyang buyar lamunanku.

"Mas..., Mas...sudahlah lupakan gadis itu, di Jakarta berjibun, masak setahunan ini gak ada yang nyantol sama sekali sih?"

Ucap Pak Rifki dengan nada gemas.
Aku hanya mendesah sambil menyandarkan dalam punggungku di kursi. Nasehat Pak Rifki ini sudah layak menjadi makananku setiap hari, 3 kali pagi siang sore.
Sebagai Manajer Proyek lapangan, beliaulah yang pertama aku temui dan menjadi sahabat dekat sekaligus partner kerja.

Selama sebulan setelah menginjakkan kaki di ibukota, hidupku seperti layang layang putus talinya, begitu bodohnya diriku selama menjalin kisah kasih dengan Rara, tak pernah diriku meminta alamat dimana dia tinggal di Jakarta, bahkan namanya pun hanya Rara saja yang kukenal, benar benar bodoh.

Aku hanya mengutuki diri sendiri, setiap hari kelayapan mengukur jalanan di seantero daerah Kemang, hanya nama daerah Kemang itu saja yang pernah terucap di bibir mungil Rara.
Sudah setiap gang, jalan dan pusat keramaian di seantero Kemang, aku telusuri siang malam dengan motor yang terpaksa aku paketkan dari Jogja. Benar benar seperti orang gila nggak ketulungan. Mal, kafe, hotel dan puluhan komplek rumah mewah di Kemang, aku susuri demi dan hanya untuk mencari sosok Rara, sosok yang semakin hari membuatku laksana rindu dendam tiada kira. Namun Rara seolah lenyap ditelan bumi. Bayangannya pun tidak pernah nampak, hanya hinggap dalam mimpi mimpiku setiap hari.
Akal sehatku baru tumbuh dan sadar menjelang hampir frustasi dan lelah mencari Rara.
Tak mungkin terus mendiamkan kondisi gila ini, dan bulat sudah kuputuskan tak kan kembali lagi ke Jogja. Aku harus bekerja di Jakarta untuk menjaga kemungkinan kesempatan bertemu Rara yang masih ada, kalau kembali ke Jogja, jelas makin jauh panggang dari api.
Sebagai partner utama kontraktor pembangunan perumahan berbagai developer besar di Jogja, tidak susah diriku bertemu dan berenang dalam kolam bisnis yang sama dengan pekerjaanku sebelumnya. Dan bertemulah dengan Pak Rifki, seorang manajer lapangan developer besar di Jakarta.
Berbekal berbagai surat rekomendasi dari developer besar di Jogja, sudah merupakan modal yang sangat berharga dan cukup membuatku untuk melamar menjadi partner kerja.

Aku tidak ingin terikat hidupku menjadi seorang karyawan, irama pekerjaan yang sudah 5 tahun lebih kujalani di Jogja seolah olah sudah mendarah daging.
Alhamdulillah semua berjalan lancar, bekal pengalaman, dukungan ratusan pekerja bangunan yang menjadi anak buah setiaku di Jogja yang tetap setia mendukung diriku untuk segala proyek di Jakarta. Langkah awal yang bagus, langkah yang selanjutnya entah sampai kapan aku dapat menemukan Rara, wanita yang mengisi penuh sepenuhnya elegi cinta dalam sanubariku.
Di antara kesibukanku dalam pekerjaan, setiap weekend adalah waktu yang tidak bisa diganggu gugat siapapun, waktu weekend itulah diriku kembali berburu sosok dan bayangan Rara, memburu cinta, entah sampai kapan.
***

[Adit...sudah terima undangan dari Rifki kan?]
[Sudah Pak]

Balasan WA ku tak berbilang 2 detik ketika Pak Handoko sang big bos kantor mengirim pesan persis sehabis sholat Jumat.

[Kamu harus datang ya]
[Baik pak]

Tak apalah weekend ini aku bolos memburu Rara barang sehari.
Hanya senyum kecut kala sampai kantor, Pak Rifki habis habisan kembali menyindirku.
Semua karyawan kantor harus datang dalam resepsi pernikahan agung sang princess, putri big bos, calon pewaris tahta perusahaan.

Sebagai putri tunggal bos, tentu saja semua karyawan sibuk membantu persiapan pernikahan sejak awal. Aku hanya menguping saja pembicaraan sepanjang siang sampai sore itu, seperti biasa tidak terlalu antusias kalau menyangkut acara di weekend yang bagiku sudah merupakan hari keramat.

"Mas Adit, besok tak jemput saja ya" ucap manja Ratna kepala bagian personalia kantor.
"Bareng kita aja Mas, ini kejutan lho, dan saya menang taruhan hihihi," ucap renyah Riska, staf bagian logistik sub kontraktor.

Dan berbagai ajakan datang riuh silih berganti yang membuatku tersenyum kecut.

Sabtu malam, taksi biru yang membawaku ke tempat resepsi di daerah Kelapa Gading, sudah berhenti di turunan setelah exit tol Kelapa Gading, antrean macet sudah mengular ditambah serbuan puluhan WA dari Pak Rifki.
Posisi dimana, sampai mana, cepetan dan bla bla bla. Melihat panjangnya antrean kemacetan yang masih harus belok kiri Gading Kirana, masih harus antri putar balik, dan diam tak bergeraknya laju kendaraan menuju Kelapa Gading.
Uhhhhh...segera saja tanpa babibu, aku turun dari taksi, berjalan cepat dan langsung kusambar saja ojek di pojok Gading Kirana.
Kerlap kerlip lampu berpendaran menyambutku di gerbang gedung megah Balai Samudera, tempat resepsi agung.
Pak Rifki yang sejak tadi menunggu di dekat antrean deretan penerimaan tamu.

"Nyasar dimana Mas..?"

Ucapan menyindir sambil senyum kecut.

"Saya pikir daerah Kemang Pak...ups,"

Hanya jawaban tonjokan di bahuku. Jelas mengkal habis Pak Rifki mendengar gurauanku.
Kalau tadi macet di jalanan, sekarang macet antrean untuk bersalaman dengan mempelai.
Benar benar pernikahan yang megah, di gedung yang megah dan deretan tamu undangan kelas wahid di Jakarta.
Nama besar Pak Handoko dalam dunia properti di Jakarta memang layak diacungi 4 jempol sekaligus.
Berkali kali antrean panjang berhenti ketika tamu tamu VIP dan VVIP nyelonong minta didahulukan untuk bersalaman dengan orang tua dan mempelai. Tentu saja masih harus menunggu untuk berfoto bersama. Aku tidak terlalu memperhatikan mempelai di panggung pelaminan megah penuh bunga aneka rupa.
Hanya tamu VIP dan VVIP saja yang menarik perhatianku setiap kali MC memberikan ucapan selamat datang kepada tamu tamu istimewa tersebut. Deretan nama nama besar membuatku berdecak kagum, luar biasa.
Lebih dari setengah jam aku dan Pak Rifki perlahan merayap dalam antrian hanya untuk bersalaman saja.

"Selamat ya Pak..." mantab ucapanku dalam erat genggaman tangan Pak Handoko setelah sabar menanti dalam antrean.
"Terima kasih Adit..." ucapan hangat beliau, berlanjut dengan jabat erat juga dengan Nyonya Handoko yang anggun.

Sumringah penuh senyum mempelai pria menyambut jabat tangan dan ucapanku. Dan aku begitu tercekat ketika bersiap menyalami mempelai wanita. Sesaat bergetar dan sejenak laksana patung, kaku, sedikit mengejang dan begitu tak dapat diungkapkan dengan ribuan kata kelu.

"Rara..."

Bibirku serasa kelu, tercekat dan tak sanggup melangkah walau setapak kaki saja.

"Mas Aditya..."

Senyum yang sedari tadi berpendar dalam rona wajah mempelai wanita, tiba tiba sama tercekatnya dengan diriku, bibir mungil itu, wajah cantik itu, wajah Rara yang begitu kurindukan dalam bilangan ratusan hari.
Wajah Rara sang mempelai wanita, tiba tiba terkatup rapat bibir merona itu dan bayangan bening air di sudut matanya sekilas terlihat.
Sekejap seolah suasana mendadak gelap buatku, tidak beranjak walau setapak, kelu laksana patung tua kering yang setia tertimpa panas setiap hari.
Kalau tidak dipegang dan ditahan punggungku oleh Pak Rifki di belakangku, sepertinya horor panggung pelaminan karena lemas tubuhku bisa jadi jatuh lunglai.

==========

Hanya beberapa detik saja lidahku kelu dan tercekat, nggak mungkin aku membuat malu diri sendiri dan panggung megah pelaminan agung di hadapan ribuan tamu undangan.

"Selamat ya...Rara...semoga berbahagia..."

Kuucapkan dengan segenap kekuatan yang masih ada.

"Terima kasih Mas...Aditya..."

Kami hanya bersentuhan ujung jari tangan saat bersalaman, masih sempat kulihat bening di sudut mata indah Rara.
Masih sedikit gontai perlahan aku berlalu untuk menyalami orang tua mempelai pria di samping Rara, harus dan harus segera aku turun sebelum benar benar jatuh tubuhku.
Hanya segelas air putih yang mampu masuk ke mulutku, dengan pandangan nanar, kulihat kembali sekilas panggung pelaminan.
Ahh bodoh benar diriku, aku jelas lelaki bodoh bak si pungguk merindukan bulan. Kemana saja akal sehatku selama ini, dengan perih sembilu, aku hanya bisa menunduk.

"Kamu nggak pa pa kan Mas Adit?" ucap halus Pak Rifki yang sedari tadi bengong melihatku.
"Nggak Pak, maaf saya pulang duluan ya,"
"Makan hidangan dulu lah..."
"Makasih Pak, cukup air putih saja, maaf saya duluan ya,"

Perlahan aku berjalan gontai di antara ribuan tamu undangan yang memenuhi hampir setiap jengkal area gedung.

"Semoga kamu bahagia...Rara,"

Sejenak aku memandang dari kejauhan panggung pelaminan, tempat pernikahan agung wanita yang sangat aku cintai.
Begitu keluar dari gedung megah Balai Samudera, terasa benar bagiku langit seolah runtuh menimpaku.

The moment I first saw you, the warm sunlight shone on us, one day.
But after time passed, even the trembling feels familiar, someday.
Our memories together seemed like a secret that no one knows of, one day.
Your smile that makes my heart race will hurt me, someday.

Like the wind, you seep into my heart and linger
But sometimes, I’m afraid that you would disappear like dust

Be my love! I love you, although there’s nothing that won’t change
Be my love! Hug me, love, though it will all change someday

One day Love is come Some day Love is gone, love
One day Love is come Some day Love is gone, my strong love

At some point, we wanted each other, one day.
Some day, we will long for each other, some day.
***

Jogja...2 tahun lalu.

"Bos, usuk kurang sebongkok, begel cilik rongatusan (200 an), blabak (papan cor) 10 meneh (lagi), paku plepet sekilo..."

Dan daftar belanja material meluncur dari mulut Yanto si pipi bakpao, kepala tukang kesayanganku.

"Aku opo kon kudu ngapalke, WA wae yo,"
---(Apa aku kamu suruh menghapal? WA saja ya)

Buru buru aku stater motor honda megapro kelir maroon kesayanganku.

"Booosss...ojo lali ngko sore kasbon..."
---(Booosss...jangan lupa ntar sore kasbon)

Teriak Yanto yang hanya kubalas lambaian tangan saja, sambil berlalu secepatnya menuju marketing galery perumahan mewah di dekat Monumen Jogja Kembali itu.
Panggilan darurat lewat HT barusan sungguh membuat rencanaku pagi ini hampir saja berantakan.

"Ciiìiiiiiit..."

Suara ban mobil berdecit panjang di aspal jalan komplek perumahan karena pedal rem diinjak habis, sungguh mengagetkanku.
Ahhh aku yang jelas salah karena nyelonong di belokan dekat marketing galery.
Yaris putih yang datang dari arah kiri tentu saja pengemudinya kaget.

"Maaf...maaf...mbak"

Segera aku turun dari motor mendekati pintu kemudi Yaris...ups wajah ayu berkaca mata hitam itu merengut tanda marah benar.

"Sekali lagi mohon maaf mbak..."

Aku hanya menunduk dalam dalam sebagai tanda benar benar bersalah, tak kuasa aku memandang wajah yang sangat mempesona dalam aura kemerahan itu.
Aku jelas hanya bisa menunduk kembali dan sekali lagi meminta maaf sambil perlahan berlalu karena tidak mendapat respon.
Urusan komplen yang infonya darurat lewat HT tadi, ternyata bisa diselesaikan nggak berbilang 30 menit saja, hanya salah informasi perubahan desain unit rumah ke customer.

Aku harus segera mengurus daftar belanja material yang sudah bolak balik di WA sama Yanto. Daripada si pipi bakpao ngambek, lebih baik segera aku bereskan urusan material sebelum jam istirahat.

"Upss..."

Hampir saja aku menabrak wanita yang baru keluar dari toilet marketing galery.
Aku hanya bengong sesaat melihat wajah ayu yang tadi naik Yaris itu, wajah itu sudah persis di depan mataku berjarak tak lebih dari semeter.

"Maaf..."

Entah aku tersenyum malu atau tersenyum simpul melihat kembali wajah merah merona yang sekarang tidak berkaca mata hitam lagi.

"Mas nya kerja di sini?"

Pertanyaan yang kali ini ada secercah senyuman.

"Iya mbak, lha mbaknya...?" ucapku pelan.
"Saya janjian sama sales untuk melihat unit rumah,"
"Oooo..."

Entah melongo atau terpesona benar dengan wajah bening itu.

"Saya Adit...eee...JM di proyek perumahan ini,"

Entah darimana aku mendapat keberanian memperkenalkan diri.

"Saya...Rara..."

Sungguh hangat jabat tangan kami.

"Mas Adit...GM proyek ini?" tanya Rara yang mendadak membuatku sedikit tersedak.
"Wadiuuuh mateng iki, kleru ngomong,"
---(Haduh mampus ini, keliru ngomong)

Batinku mulai meradang.
Dan itulah saat yang tidak pernah aku lupakan, saat berkenalan dengan Rara. Yang membuatku kecut setengah mati, yang membuat mendelik lucu wajah cantik Rara yang tidak dapat kulupakan.
Yang membuatku benar benar tak berkutik mati kutu untuk yang pertama kalinya di hadapan wanita.
Sungguh mampus saat sales marketing perumahan dengan tergelak tawa menyebutku JM Jenderal Mandor yang jelas bukan GM General Manager.
***

Kaca mobilku Lancer Evo III GTi diketuk perlahan yang membuat lamunanku buyar sesaat. Entah lamunan atau halusinasi barusan, yang kentara hampir seminggu ini hilang entah kemana semangat kerjaku.

Sudah hampir setengah jam lewat dari jam sembilan pagi, sejak datang dan parkir di basement gedung megah 12 lantai milik kantor developer tempatku bekerja sebagai partner.

Pak Rifki yang mengetuk kaca mobilku tadi, hanya tersenyum melihatku tergagap.

"Kamu tadi ketiduran atau melamun sih, lusuh benar Mas,"
"Ngantuk Pak, semalam lembur di Serpong, nggak kira kira ya, kantor ngirim pasir 5 tronton sekaligus,"

Tas cangklong segera kuambil di kursi samping kemudi.
Kami berdua berjalan menuju tangga naik ke lobby kantor. Seminggu lebih sejak menghadiri resepsi pernikahan Rara, sejak itu kok malas benar diriku ke kantor. Kalau nggak ada panggilan dari Pak Rifki, sepertinya lebih enak ngopi di warung langganan dekat komplek pembanguan perumahan dan ngobrol dengan para mandor sebelum bekerja.
Karena aku hanya partner, hampir semua waktuku habis di proyek lapangan. Urusan ke kantor hanya kalau dipanggil, kalau mengurus tagihan, dan hal hal penting saja.

"Jangan lupa, siapin progress lapangan buat meeting besok,"
"Baik Pak,"

Singkat saja jawabku sambil menunggu di depan lift.
Pintu lift terbuka namun sepertinya sudah full penumpang. Sesosok anggun tiba tiba keluar dari lift begitu melihat kami.

"Selamat pagi Bu Rara..." ucap Pak Rifki halus menyapa. Aku terdiam sesaat, sesaat saja, jelas wajah itu menatapku tajam begitu pintu lift terbuka.

Jelas sekali lift dalam kondisi penuh, jelas sekali tujuan Rara bukan ke ground floor di lobby, jelas sekali.

"Pak Rifki, saya naik duluan ya,"

Tak lebih dari waktu jeda pintu lift terbuka, Rara keluar dari lift dan secepat itu aku masuk lift yang perlahan pintu lift menutup dengan irama yang mengiringi dari pandangan mata Rara.
Masih kulihat pandangan bengong Pak Rifki dan pandangan Rara kepadaku setajam dan secepat pintu lift tertutup.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER