Aku perlahan menghentikan Lancer Evo ku di depan gerbang rumah mewah di daerah Kemang. Nomer rumah yang ditempel di samping pos security itu, nggak salah lagi sudah sama dengan alamat yang Pak Fariz kirim sore tadi. Perlahan aku turun mobil sambil melirik sesaat memastikan sekali lagi alamat rumah di layar hpku.
"Malam Pak, apakah benar ini rumah Pak Fariz," tanyaku ketika seorang penjaga pos rumah itu, keluar dari pintu kecil persis di samping pintu gerbang utama.
"Betul Pak, silahkan masuk, Pak Fariz sudah menunggu di dalam,"
Penjaga pos mempersilahkanku sambil perlahan membuka pintu gerbang.
Rumah besar yang megah, khas milik aristokrat ibukota. Gerbang besar, halaman luas, garasi terbuka dengan deretan pameran mobil mobil mewah mulai dari sedan sport sampai SUV keren produk label non Jepang.
"Masuk aja Pak,"
Kembali penjaga pos yang ramah menemaniku sampai di foyer elegan depan ruang tamu.
"Hai Pak Adit, silahkan masuk,"
Pak Fariz menyambutku dengan hangat.
"Malam Pak,"
Senyumku sambil menjabat tangannya.
"Kita ngobrol di sana saja,"
Pak Fariz mengajakku menuju ruang kecil terbuka menghadap kolam renang kecil, kecil ruangannya namun sungguh cozi dengan berwarna warni cahaya lampu di pinggir kolam renang.
"Kita relaks saja di sini, jangan khawatir, Rara pulang malam kok,"
Aku hanya mengangguk ringan, sebuah jawaban yang jelas melegakan diriku, jelas aku nggak akan bisa tenang kalau Rara ada di rumah. Kejadian minggu lalu di Cibubur sudah sangat membuatku tidak nyaman hati. Sebenarnya undangan Pak Fariz sore tadi sudah ingin langsung kutolak begitu beliau meminta bertemu di rumahnya.
Terpaksa aku mengiyakan karena Pak Fariz langsung menelponku ketika aku belum juga membalas WA nya.
"Jadi...maksud Bapak mengundang saya?" tanyaku sedikit nggak sabar ketika Pak Fariz hanya memandangku saja sejak kami duduk.
"Relaks saja Pak, kita ngobrol sebagai teman saja, OK!"
"Apakah ini lanjutan Cibubur minggu lalu yang tertunda atau?"
Masih dengan nada halus dari sedikit ketidaksabaranku.
"Yeaaah katakanlah begitu,"
Sungguh senyum simpul Pak Fariz itu malah seakan menekanku.
"Ini tentang Bu Rara atau...?"
"Apakah menurut Pak Adit, saya dianggap merebut Rara?" jawaban yang sungguh tidak kuduga.
"Dulu awalnya saya menganggap begitu, namun setelah Bu Rara resmi menjadi istri Pak Fariz, saya anggap masalah selesai,"
Walau terasa mantab jawabanku, tak urung ada sedikit sesak dalam dadaku.
"Saya percaya kepada Pak Adit sebagai sesama laki laki, namun yang merisaukan saya malahan Rara sekarang ini,"
"Apa saja yang Bu Rara ceritakan tentang saya,"
"Banyak..."
"Trus..." sergahku penuh tanda tanya.
Dengan perlahan Pak Fariz menceritakan semuanya, entah dengan jujur atau tidak, ringkas saja ceritanya, itupun sudah cukup membuatku menarik nafas dalam dalam.
Kalau ceritanya benar, sungguh posisi yang sulit yang menjepit Rara. Ahh sudahlah saat ini, aku hanya ingin segera tuntas berbagai kesalahpahaman yang mungkin timbul.
"Sekali lagi, Pak Fariz nggak usah merisaukan saya, memang..."
Belum usai ucapanku sudah dipotong Pak Fariz.
"Saya percaya, namun apakah ada yang bisa menjamin sementara Pak Adit bekerja dengan Rara,"
"Saya bukan karyawan Pak, hanya partner saja, sebulan bisa dihitung, berapa kali saya ada di kantor!"
"Tolong Pak Adit jaga jarak dengan Rara,"
"Pak Fariz..."
"Saya bukan type orang yang mudah kompromi," lanjut Pak Fariz.
"Sedari awal bekerja pun, saya bahkan nggak tahu kalau Bu Rara itu putri Bos di kantor,"
"Terus..."
Sekarang gantian Pak Fariz yang seakan paripurna mendesakku.
"Saya masih waras dan bisa membedakan mana urusan kantor dan mana urusan pribadi,"
Tajam pandangan mata menyelidik Pak Fariz itu sudah membuatku meradang.
"Cintailah Rara dengan caramu, jangan kamu libatkan atau bahkan meminta tolong orang sebagai sesama laki laki,"
Batinku berucap sengau sambil memandang Pak Fariz.
"Baik nanti kita lihat saja, nanti kita lihat sebagai sesama laki laki..." ucapan halus yang langsung tepat menohokku.
Ini jelas sebuah tantangan buatku, ucapan Pak Fariz walau terlihat kalem namun justru menyimpan sebuah aroma menyengat. Aroma yang jika tersulut sedikit saja bisa membuat perpecahan saling tuding saling menyalahkan.
Aku harus siap siap menghadapi segala resikonya, resiko pertentangan karena dan hanya karena seorang wanita.
Kami sesaat terdiam kembali dengan pikiran masing masing. Walau hanya sesaat saja, tempo ini sudah cukup untuk membuatku mengambil keputusan bulat, mulai saat ini aku harus melupakan Rara, harus.
Sebagai laki laki sudah tak ada gunanya menekuri nasib atau mempertanyakan sebuah kejelasan yang sudah jelas di depan mata. Rara sudah menjadi istri orang, tak ada gunanya memikirkan bahkan meminta penjelasan beribu pertanyaan. Tak akan lagi.
Aku meraih cangkir kopi untuk meneguk tandas sebelum berpamitan, sudah cukup malam ini dan tak akan berlanjut lagi malam malam kemudian.
Suara celoteh wanita yang masuk ke dalam rumah membuyarkan lamunanku dan aku bersiap untuk pamit segera.
"Ooo...disini rupanya, halo om Fariz, ehh,"
Mendadak suara renyah itu berubah begitu melihatku.
"Maaf om, ada tamu ya," sambil melirikku sesaat.
"Iya Rin, sama siapa kamu," ucap Pak Fariz sambil perlahan berdiri.
"Sama tante Rara..."
"Maaf saya pamit dulu Pak..."
Terlambat rupanya diriku menyadari ada sosok Rara di pintu masuk ruang tamu yang berdiri mematung.
Mungkin Rara sedikit terkesiap tak percaya melihat diriku ada di rumahnya. Sama persis dengan diriku yang mengira tak akan bertemu Rara karena Pak Fariz tadi bilang Rara pulang malam.
Sedikit terhenyak karena tidak mengira Rara akan pulang secepat ini, waktu yang baru 2 jam lepas dari magrib.
"Mas Adit..."
Masih seakan tidak percaya dengan kehadiranku.
"Maaf Bu, sekalian saya pamit..."
Aku berjalan pelan sambil menunduk sedikit.
"Ngapain Mas kesini..."
Bolak balik jelas kulihat Rara memandangku dan memandang Pak Fariz.
"Mas Fariz...ini apa maksudnya?" ucap Rara setengah berteriak kepada Pak Fariz karena tak mendapat jawaban dariku yang langsung bergegas keluar rumah.
Buru buru Rara meletakkan tas belanja dan mengejarku tanpa memperdulikan lagi suaminya yang tak kunjung memberi jawaban juga.
Aku jelas melihat Rara mengejarku sampai halaman rumah. Kalau melihat keputusan bulatku tadi seharusnya aku nggak akan bersikap seperti ini. Entah kenapa rasa pedih itu masih saja mengiris sebagian dalam hatiku. Entah kenapa juga Rara bersikap seperti itu yang jelas di depan suaminya pula.
Aku hanya meradang sambil bolak balik merogoh kantung celana mencari kunci Lancer Evo ku. Kenapa kunci mobil juga seolah nggak mau kompromi dengan situasiku sekarang?
"Mas Adit..."
Sekali lagi suara Rara begitu merejamku.
Aku hanya memandangnya sambil berkali kali merogoh kantung celana mencari kunci mobil.
"Maaass..."
"Maaf saya hanya diundang Pak Fariz...Bu,"
Lelah juga diriku bertahan ketika mendengar ucapan yang dulu begitu kurindukan.
"Bukan itu pertanyaan Rara...Mas?"
"Maaf Bu, Pak Fariz yang mengundang saya, kami hanya ngobrol saja masalah pekerjaan,"
"Bukan ituuuu maksud Rara..."
Setengah menjerit ucapannya saja sudah membuatku menghentikan mencari kunci mobil sialan ini.
"Benar Bu, hanya itu kok..."
Entah jawaban apalagi yang mampu kuucapkan.
"Apakah Mas Adit akan seperti ini terus, apakah akan selalu menghindari Rara terus...apakah?"
Aku sungguh tak mengerti melihat mulai ada setitik bening air mata Rara.
"Mengapa Raraaaa...?"
Batinku benar benar meradang, hilang sudah pikiran bulatku tadi.
Baru saja aku bersiap hendak meluncurkan ucapan yang kuyakin persis, bakalan tidak dapat kukendalikan.
Tiba tiba sudut mataku bersitatap dengan wanita lain di belakang Rara. Sejenak aku terdiam sambil menatap wanita yang sama sama cantik hampir sebaya dengan Rara itu.
"Eee maaf..." ucapan lembut itu menyadarkan Rara sejenak.
"Kenapa Rin?"
Rara menoleh setelah sebelumnya menghapus air di sudut mata.
"Ini tante..., om Fariz minta Erina menyerahkan kunci mobil yang ketinggalan di meja,"
"Terima kasih..."
Langsung saja kusambar kunci Evo ku dan kembali memandang Rara.
"Maaf Bu, saya pamit..."
Hanya sekilas kupandang sekali lagi Rara dari balik kemudi mobil tanpa menurunkan kaca samping.
Mobilku mundur pelan sambil kepalaku menunduk, perlahan saja mobilku mundur dan begitu keluar sampai di jalan komplek depan rumah Rara, hanya raungan khas knalpot Evo membelah malam.
Sungguh sudah tak kuperdulikan lagi suara raungan knalpot itu.
Tak peduli lagi yang mungkin diiringi makian tetangga rumah Rara.
***
Kejadian dua malam lalu di rumah Rara sudah dapat kulupakan, saat ini aku benar benar berharap tak kan lagi mengingat segala sesuatu tentang Rara.
Aku harus melanjutkan hidup dan pekerjaan yang selama ini sudah kutekuni sejak lulus kuliah. Mungkin hanya dengan pekerjaan ini, yang dapat membuatku melupakan Rara secepatnya.
Hari ini aku harus ke kantor untuk mengurus invoice mandor mandor lapangan. Ratusan tukang jelas menunggu setiap 2 mingguan untuk pembayaran upah, mereka menggantungkan urusan upah pembayaran kepadaku. Ratusan mulut balatentara tukang yang harus aku urus setiap 2 minggu.
"Tunggu...tunggu..." teriakku sambil bergegas ketika melihat pintu lift yang perlahan menutup begitu aku sampai di lobby kantor.
"Makasih...ehh mbak..."
Aku tersenyum melihat wanita cantik yang pengertian membukakan kembali pintu lift.
"Ehh om...ehh Pak, ketemu di sini," ucapan sedikit gugup masih di antara senyum.
"Hahaha iya, maaf keponakan Bu Rara kan?"
Langsung aku mengingat wajah cantik yang kikuk 2 malam lalu ketika menyerahkan kunci mobilku di depan rumah Rara.
"Iya Pak...saya Erina,"
"Aditya..."
Langsung kusambut jabat tangan hangat itu.
"Mau ketemu tante Rara kah?"
"Nggak sih...hanya ngurus tagihan tukang lapangan,"
"Oooo..." ucapan dengan mulut mungil membulat sambil manggut manggut.
"Enak kayaknya ya, punya keponakan sudah gede,"
Entah darimana ucapan bercanda itu tiba tiba muncul begitu saja.
"Hihihi...om Fariz itu adik bontot papi, Erina lahir pas Om Fariz masuk SD," meluncur begitu saja ucapan Erina.
"Oooo..." jawabku seakan membalas sambil manggut manggut, mirip jawaban Erina tadi.
Entah kenapa obrolan ringan di dalam lift yang paling hanya berbilang tak lebih dari 3 menit itu. Ringan dan hangat menuju lantai yang sama, lantai 6 tempat marketing dan finance berkantor, tempat Rara juga.
Kami berpisah di lantai yang sama, aku menuju bagian finance di sayap kiri, Erina menuju bagian marketing di sayap kanan lantai 6.
Urusan tagihan rutin menyita waktu tak lebih dari satu jam. Syarat dan prosedur yang tidak berbelit belit mengingat diriku yang partner utama kantor dan sudah lebih dari setahun ini hampir tidak ada masalah berarti dengan timku di lapangan.
Daripada bengong menunggu validasi tagihan, aku duduk di pojok ruangan tunggu sambil membuka laptop. Membuka email dan berbagai update informasi di web kantor.
Keheningan sesaat diriku di depan laptop hanya bergeming saat sejak dari kapan aku nggak menyadari ketika Erina kembali sudah dihadapanku dengan senyum simpul.
"Mas Aditya...dipanggil Tante Rara, penting katanya," ucapan halus dengan mata berbinar binar.
"Oooo...baiklah,"
Belum ada sejam lalu Erina memanggilku Pak, kini barusan aku dipanggil Mas.
Aku berdiri perlahan sambil menutup laptop dan ngeloyor menuju ruangan Rara.
"Silahkan tunggu di dalam aja Mas, tante baru ke toilet sebentar,"
"Awas kalo bilang oooo...lagi,"
Senyum manis dengan nada ancaman itu membuatku tak jadi menjawab dengan oooo..., kenapa begitu persis seperti yang ingin kukatakan.
Aku hanya senyum sambil manggut manggut saja.
Rara hanya memandangiku tanpa berkata kata sejak dia duduk di depanku di sofa ruangan kantornya.
"Kenapa hanya memandangiku saja, kangen ya..."
Aku sendiri juga heran darimana aura canda meruah begitu saja, meluncur begitu saja dari mulutku, seolah tanpa remote kontrol kendali.
Rara terhenyak sesaat, mungkin tak mengira ucapanku seperti itu.
Aku jelas meringis begitu menyadari.
"Maaaf Bu..." ucapku pelan sambil menunduk.
"Mas Adit..."
"Maaf ini urusan kantor atau pribadi," sahutku nyaris tanpa jeda dengan panggilan lembutnya tadi.
"Mas...begitu susahkah ngobrol enak seperti dulu?"
"Maaaf...kantor atau pribadi," aku mengulang lagi perkataan barusan.
"Begitu susahkah? Rara hanya ingin ngobrol dengan enak..."
"Rara..." sentakku tanpa embel embel Bu.
"Mas Aditya..." sahutnya tajam memandangku.
"Lebih mudah mencari jarum di tumpukan jerami daripada mencari dirimu,"
Ini jelas ucapanku yang lepas kontrol, jelas meluncur tanpa kendali lagi
==========
"Maafkan Rara, Mas...,"
Sungguh melihat isak lirih tangisnya malah membuatku naik sampai ubun ubun segala resah dan galau selama ini.
Rem dobel disk brake yang selama ini mengerem habis habisan segala keingintahuanku, mendadak blong hilang kendali.
"Apakah aku hanya laksana patung penghias hatimu sajakah?"
Tanda tanda pedal remku mulai tidak berfungsi.
"Begitu susahkah memberi kabar walau satu huruf saja, Raraaa..."
Ini kali kedua aku mengignore panggilan Bu.
"Maaaaaaf...Mas," ucapan sendu dari wajah ayu yang sangat sangat kurindukan itu begitu luruh sambil menunduk dalam derai derai tipis air mata mengalir, meleleh perlahan.
Sesaat aku hanya mendesah melihatnya seperti itu, pernah sekali waktu di antara binar ceria cerita cinta kami di Jogja, derai tangisnya waktu itu sungguh berbeda dengan kali ini.
Dulu begitu bahagianya diriku ketika elegi cinta bertemu dengan orkestra melodi indah.
Isak tangis penuh senyuman dari bibir mungil Rara ketika cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.
Saat itu aku memeluknya penuh kehangatan dan kedamaian, basah baju di dadaku laksana tetesan air dari perdu yang meneduhi rumput dan ilalang di bawahnya sehabis hujan menerpa.
Kali ini tanganku seakan kaku, tertahan sama kuatnya dengan keinginanku merengkuh Rara. Tarik menarik kutub magnet yang membuatku terdiam karena daya yang sama kuatnya.
Namun itu hanya sesaat saja, dari titik terdalam hatiku memerintahkan sinyal di kepala untuk memerahkan kembali aura wajahku, stand by posisi emosi dalam radar jangkauan.
"Apakah cintaku hanya kamu anggap selingan saja Rara, Begitu tidak berhargakah diriku menggapaimu,"
"Cukup Maaaaas,"
Hentakan pilu ucapannya sambil menengadah, memandangku lekat, derai air matanya benar benar berjatuhan.
"Dengar Raraaaa, cintaku bukan hanya sesaat saja, bukan hanya semalam saja, yang esok harinya lenyap tak berbekas, itukan maksudmu..."
"Plakkk..."
Walau hanya pelan, tamparan tangan lembut Rara di pipi kananku, bukan membuat diriku perih namun malahan tawa merekah mengiringi dengan semburat sinisku.
"Tidak bisakah Mas Adit mendengarkan sedikit saja penjelasan Rara?" ucapan seolah tanpa penyesalan setelah menamparku tadi.
"Nggak usah, aku sudah dengar dari suamimu,"
Mendadak Rara dari wajah tanpa sesal menjadi terhenyak seketika.
"Apa yang Mas Fariz telah ceritakan?"
"Tanya saja sendiri, emangnya aku media tempat curhat apa?"
Tak mereda wajah dan senyum sinisku.
Aku segera beranjak, tak ada gunanya lagi segala obrolan omong kosong ini.
"Maaf sudah menyita waktunya Bu,"
"Tolong dengarkan Rara sekali lagi Mas,"
Tangan yang barusan menampar pipiku sekarang memegang erat lenganku.
"Maafkan saya Bu, maafkan kalau membuat Ibu nggak nyaman barusan,"
Tak peduli lagi aku segera melangkah menuju pintu.
"Rara akan membenci Mas Adit seterusnya, mulai dari Mas Adit keluar dari ruangan ini,"
"Begitu lebih baik saya kira,"
Datar saja walau perih pilu menyesakkan dadaku.
"Rara sudah meminta maaf, jangan menambah rasa bersalah Rara seperti ini Mas..."
Kembali lagi isak lirihnya.
"Saya sudah memaafkan, satu jam setelah keluar dari gedung pernikahanmu waktu itu,"
Langkahku masih lurus tanpa menengok menuju pintu.
"Sekali lagi Rara minta maaf Mas,"
"Tolong Mas, jangan membuat Rara tambah gila dengan membawa beban rasa bersalah ini!" lanjutnya lirih dengan nada menghiba.
"Aku sudah setengah gila, saat kamu naik pesawat waktu itu Rara..., benar benar gila tak menjumpai bahkan bayangan dirimu, sekarang baru setengah waras, maaf..."
Handel pintu secepat kutarik sedikit menghentak.
Ucapanku barusan nyata benar tak kuatnya diriku menahan bendungan air mata. Bocor kecil mengalir dari sudut mataku secepat pintu kubuka, secepat diriku melangkah keluar.
Wajah terhenyak Erina yang entah sejak kapan berada di balik pintu tadi.
Sedetik saja sudah cukup buatku untuk menyadari keadaan yang benar benar hampir meruntuhkan diriku.
Aku tersenyum melihat Erina dan melirik sesaat ke dalam ruangan, melihat Rara yang masih dalam deraian air mata.
Aku bergegas tanpa mempedulikan lagi segalanya, melangkah menuju lift, sesegera mungkin meninggalkan kantor.
Suara panggilan Erina juga tak mengusikku walau sekejap saja.
"Mas Aditya..." panggilan Erina di antara terkejut berbaur dengan kombinasi bengong dan bingung tentu saja.
***
Lebih dari seminggu kemudian, aku menghilang dari kantor maupun proyek. Setelah upah mandor kutransfer esok harinya, dengan alasan sakit, aku ijin ke Pak Rifki dan keenam mandorku.
Siangnya benar benar sakit menderaku, badan panas, menggigil, meriang dan kombinasi atau malah komplikasi akut lahir dan batin.
Sakit yang kurasakan perlahan membulatkan tekatku untuk melupakan Rara. Melupakan secepat cepatnya, setiap hari aku malah bersyukur diberi rasa sakit, rasa sakit yang segera menyadarkanku bahwa aku masih ada, masih hidup. Bersyukur banyak hikmah yang perlahan satu per satu terpapar nyata.
Sejak meninggalkan Jogja merantau menuju Jakarta dengan tujuan utama mencari Rara dan akhirnya terdampar di kantor sekarang ini.
Situasi yang lebih dari setahun tidak pernah menyangka sama sekali. Sama sekali tidak tahu bahwa kantorku merupakan perusahaan milik papa Rara.
Dulu sewaktu di Jogja, aku hampir tak pernah bisa menabung. Begitu bekerja di Jakarta malah bisa menabung dengan harapan nantinya sebagai bekal mempersunting Rara.
Rejeki mengalir senantiasa penuh rasa syukur dan penuh harap bertemu Rara di kemudian hari.
Rejeki yang laksana aliran Kali Pesanggrahan tempat dimana aku mematok mendirikan rumah masa depanku. Rumah mungil yang nekat aku beli tanahnya dan membangun rumah pelan pelan. Rumah masa depanku di hamparan pemandangan sungai di sudut Bintaro.
Sungguh di antara kegilaanku mencari Rara sampai benar benar berdiri rumah mungilku.
Di beranda belakang rumah dengan pemandangan Kali Pesanggrahan itulah aku menekuri kembali perjalanan hidupku.
Minggu sore, aku kembali merenung, kegiatan membunuh waktu sejak aku ijin karena sakit.
Suara melodi bel rumah mungilku mendadak membuyarkan renungan di sore yang cerah sedikit berawan itu.
Tidak banyak orang di Jakata ini yang tahu rumahku, kecuali mandor, seingatku hanya beberapa gelintir saja yang tahu alamat rumahku.
Masih dengan malas aku melangkah menuju pintu depan sambil bertanya tanya, siapa gerangan tamunya.
Aku sedikit terkesiap melihat Erina dengan wajah manis tersenyum lucu, sudah ada di depan rumah, menenteng buah buahan dalam keranjang kecil.
"Nggak salah rumahkah Non?"
"Sepertinya tidak..."
Wajah bening sambil pura pura melihat sesuatu di layar gelap hpnya.
"Oooo...benarkah?" geli yang kutahan.
"Kayaknya ada yang sakit, makanya Erina bawa ini,"
Masih dengan senyum penuh binar binar matanya sambil menyerahkan keranjang buah.
"Dari siapa Non tahu rumahku?"
"Rahasia..."
"Kalo gitu, boleh dong saya bilang salah alamat!"
Keranjang buah itu masih belum berpindah tangan.
"Pegel nih om, nggak kasihan apa?"
Keranjang buah itu benar benar disorongkan sampai menyodok perutku.
"Ok terima kasih Non, mana yang perlu saya tanda tangani surat tanda terimanya?"
Masih kutahan geliku.
Erina dengan enteng nyelonong saja masuk rumah tanpa permisi. Entah kenapa sore itu mendadak rasa sakitku lenyap. Entah kenapa serasa kami sudah lama berkenalan berbilang berbulan bulan. Canda tawanya seakan merobek sekat yang diterobos dari segala sisi.
Celoteh dan cerita Erina benar benar telah membungkus sore itu dengan segala keceriaannya. Akankah dukaku meruah pelan menjadi bahagia? entahlah.
Yang jelas kedatangan Erina sore itu sedikit dan pelan namun pasti mengisi ruang kosong. Ruang kosong yang hampir tidak pernah kutengok, bahkan aku sendiri sudah lupa mempunyai ruang kosong tersebut.
***
Sejak kejadian di ruangan Rara beberapa minggu lalu, aku malah rajin ke kantor. Bukan malah menghindari Rara, namun sering bertemu Rara. Seformal mungkin, sedatar mungkin dan sebisa mungkin bersikap biasa saja di depan Rara.
Program program yang dicanangkan tim marketing memaksa dan mengharuskanku sering meeting dan koordinasi dengan Rara.
Posisi GM Marketing dan posisiku di lapangan sebagai JM lah yang membuat kami harus bahu membahu bekerja bersama.
Sampai detik ini aku bahkan nggak tahu posisi Erina di kantor sebagai apa. Erina hanya selalu bilang diminta membantu tantenya, begitu saja jawaban Erina setiap kutanya baik dengan canda maupun serius.
Sebagai keponakan GM dan keponakan Pak Fariz suami GM, Erina bebas lalu lalang di kantor.
Rara mungkin sudah kebas dengan segala perlakuan formal setiap berhadapan dengan diriku. Aku jelas sudah menambah perangkat penahan rem dari dobel disk brake dengan tambahan rem angin berbagai sensor. Aku tak ingin sekarang ini terlihat kedodoran di depan Rara.
Sebenarnya aku tak ingin terlihat lemah di depan Rara, tak juga sedikitpun mempunyai angan untuk membalas sakit hati ini kepada Rara. Tak terbersit sekalipun.
Erina lah yang memicu segalanya. Pelan namun pasti kedekatanku dengan Erina jelas sudah tidak mungkin ditutup tutupi di kantor, khususnya di lantai 6.
Semakin hari semakin nyata, entah karena melihat segala formalitas dan usaha Rara untuk "berbaikan" denganku atau sikapku yang datar sedatarnya nyaris tanpa ekspresi apalagi emosi di depan Rara.
Karakter Erina masuk dengan pas membelah di antara kami. Aku sendiri juga heran dengan perubahan sikapku yang begitu mendadak bak mendapat durian runtuh.
Formal seformalnya di depan Rara, manis penuh canda tawa dengan Erina, bahkan di depan Rara sekalipun.
Sering kulihat dan kupergoki Rara merenung kadang sambil mengusap air mata. Kadang melengos setiap bertemu pandang denganku di saat meeting, dan seolah semakin hari membuatku di atas angin melaju selangkah di depan.
Jelas seperti remaja konyol mengumbar aura cemburu, jelas seperti permusuhan anjing dengan kucing.
Kadang aku sangat bahagia melihat Rara memandangku kosong walau lekat tak berpaling sedikitpun jika kami meeting berdua. Entahlah dan mulai tak ambil pusing diriku melihat Rara.
Sungguh suatu ironi dan sungguh suatu kondisi yang kadang sewaktu akal warasku timbul, begitu menyesakkan dadaku.
Berbulan bulan dan suatu waktu aku menyadari pasti bom bakalan meledak hanya tinggal menunggu waktu saja.
***
Pagi itu sudah jelas aku terlambat lebih dari 15 menit untuk menghadiri meeting dengan marketing. Meeting koordinasi untuk program penjualan rumah di sektor Serpong.
Dengan buru buru aku berlari menuju lift setelah diomeli petugas parkir di basement karena parkir paralel bukan di jam jam operasionalnya.
Dengan memasang wajah memelas karena terlambat meeting dan menyodorkan kunci mobil sambil menyelipkan kertas bernominal rupiah tentu saja, aku bergegas naik tangga.
Aku selalu naik lift dari lobby mengingat lift basement hanya untuk akses karyawan di jam awal masuk kantor.
Pintu lift terbuka dan kulihat hanya Rara yang ada di dalam lift, masih dengan wajah kusut berbingkai kaca mata hitam.
"Pagi Bu..." ucapku yang hanya bertemu keheningan setelah mendapat anggukan kepala.
"Kenapa Bu..."
Kulihat Rara mengeluh sambil memegang perut. Dan tubuh itu mendadak lemas sambil bersandar di dinding lift.
Perlahan kuperhatikan Rara yang hanya bersandar sambil memegangi perut, mengeluh kecil, menunduk dan tiba tiba kaca mata hitamnya merosot jatuh perlahan.
Kulihat mata memerah dan di ujung kanan ada sedikit lebam yang jelas terlihat.
"Ada apa Rara..."
Hanya batinku saja yang sedikit terkesiap.
"Ibu kelihatan sakit, apa tidak sebaiknya meeting ditunda dulu!"
Ingin sekali tanganku merengkuhnya, apa daya perangkat sensor rem angin sudah sekuat kuatnya membelengguku.
"Nggak usah, lanjut saja sesuai jadwal," datar saja ucapan Rara.
"Terima kasih..." masih datar juga ketika kusorongkan kaca mata hitamnya yang kuambil di lantai lift barusan.
Dan begitu saja, berlalu begitu saja, Rara bergegas ke ruangannya dan aku menuju ruang meeting.
Sejenak aku termangu di depan ruang meeting. Meeting tentu saja belum dimulai karena GM nya baru datang dan belum ada di dalam ruang meeting.
"Pak Adit diminta ke tempat Pak Rifki...,"
Aku baru melongok dan masuk ruang meeting ketika staf bagian finance memberitahuku.
"Ok..."
Aku hanya meletakkan tas di meja meeting dan segera keluar ruangan lagi.
Aku turun lewat tangga karena hanya beda 2 lantai di bawah saja menuju tempat Pak Rifki di lantai 4.
Kakiku mendadak seperti tersengat listrik mendengar suara orang berbicara di tangga, persis ketika aku baru beberapa langkah saja menuruni tangga.
"Om kejam...," jelas suara Erina dalam isak lirih.
"Rin...ingat kesepakatan kita dulu," jelas juga suara Pak Fariz, tak salah lagi, aku terpaksa menahan langkah.
"Nanti saja kalau ketemu papa..." masih lirih suara Erina.
"Ingat Rin...aku menyuruhmu mengikuti Adit kemanapun, bukan menyuruhmu untuk jatuh cinta...ngertikan!"
Suara Pak Fariz itu sungguh membuatku terpaku.
"Om Fariz jahaaaat..., nggak boleh ya Erina mencintai Mas Adit..."
Dari terpaku, diriku berubah kelu mendengar walau samar suara Erina masih dengan isak lirih tangisannya
Bersambung #4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel