Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 15 Februari 2022

Bukan Cinta Semalam #4

Cerita Bersambung

Jilid #3

Aku melangkah dengan gontai menuju ke depan lift, tak mungkin lagi aku meneruskan turun tangga ke lantai 4 tempat Pak Rifki.

"Apakah aku begitu membahayakannya sampai harus dimata matain...?"

Keluhan batinku seakan masih tidak percaya yang kudengar barusan.
Aku benar benar terlambat ketika kembali ke ruang meeting lantai 6, kulihat Rara sudah terlihat segar memimpin meeting.
Riasan tipis wajahnya menutup bekas lebam di sudut mata kanan, masih terlihat samar.
Sepanjang meeting aku banyak diam tak seperti meeting meeting sebelumnya.
Untuk urusan lapangan, aku benar benar mendominasi dalam setiap pembahasan meeting, kali ini aku terdiam sambil sering bersitatap mata langsung dengan Rara.

~Apa yang terjadi Raraaa...~

Batinku kembali meruah kelu, perasaanku yang mulai tidak perduli lagi dengan Rara beberapa bulan ini, sekarang kembali mengusikku.

"Jam berapa Bu Rara ke proyek Serpong nanti, soalnya saya harus ke Alam Sutera dulu...?"
"Mungkin sekitar jam 4 Pak," ucap Rara sambil mengemasi berkas berkas kertas kerja di meja.

Aku sengaja menunggu sampai ruang meeting benar benar hanya tinggal kami berdua.

"Ada lagikah yang masih perlu saya siapkan di lapangan?"
"Cukup...Mas eh Pak, sampai ketemu nanti sore..."

Jelas kulihat nada gugup dari Rara.

"Raraaaa...?" suara panggilanku walau pelan masih cukup untuk menghentikan sejenak Rara di dekat pintu.
"Sampai ketemu nanti sore," sahut Rara sambil membuka pintu tanpa menoleh.

Aku tidak melihat lagi Erina dan Pak Fariz di kantor, bahkan mobil mereka di parkiran basement juga tidak terlihat lagi sewaktu aku meninggalkan kantor menuju proyek.
Bayangan Rara kembali memenuhi hampir sepanjang hariku di proyek. Masih terngiang ngiang pembicaraan Erina dan Pak Fariz di tangga tadi pagi.

Sore itu Rara hanya seorang diri ke proyek Serpong, aku sedikit kaget karena menurut rencana sesuai dalam meeting tadi pagi, Rara akan ditemani beberapa orang marketing dan staf finance.
Cukup lama aku menemaninya berkeliling proyek melihat progress pembangunan rumah unit per unit, tak sedikitpun menyinggung hal hal di luar pekerjaan.

"Jadi unit Regency baru bisa hand over paling cepat sebulan lagi ya...Mas?"

Aku hanya tersenyum melihat Rara memanggilku Mas kalau kami sedang berdua, dan panggilan Pak kalau sedang bersama beberapa orang kantor di sekitar kami.

"Schedule kedatangan material sudah saya serahkan Pak Rifki, kalau itu bisa dipercepat, saya bisa ambil tambahan tukang lagi dari Alam Sutera,"

Dan kami melanjutkan berkeliling hampir semua area proyek yang seluas kira kira 3 hektar tersebut.

Jam 5 sore lewat beberapa menit, Rara pamit meninggalkan proyek. Melihat badannya agak gontai ketika mendekati pintu mobilnya, entah darimana aku langsung sigap.

"Tidak akan kubiarkan kamu menyetir mobil dalam kondisi seperti ini,"

Tangan Rara kuraih cepat, kunci mobilnya kuambil dengan sama cepatnya dan Rara hanya bengong sesaat ketika aku menghela badannya menuju pintu samping mobil.
Rara masih memandangiku ketika mesin mobil X4 menyala dan terpaksa aku memasangkan seat belt di kursi Rara dengan lembut.
Rara hanya diam saja sambil masih memandangi diriku.

"Rara nggak mau langsung pulang..."
"Terus...!"
"Terserah Mas saja,"
"Oke...tolong setel kursinya, saat ini lebih baik kamu tidur..."
"Mau kemana...Mas,"
"Katanya terserah...,"
"Maass..."
"Udah...kamu tidur saja Raraaa...!"

Kali ini nadaku benar benar memberi perintah.
BMW X4 membelah kepadatan jalan raya Serpong, hanya membutuhkan tidak lebih dari 5 menit, aku sudah dapat menguasai kendali mobil nyaman ini.
Aku hanya melirik sekilas Rara yang terpejam namun kening halus itu penuh kerutan, hembusan nafasnya pelan entah tidur beneran atau pura pura.

Mobil melaju dengan cepat ketika memasuki jalan tol Serpong Bintaro, sekali kali aku menikmati kenyamanan mobil keren produk Jerman ini, kapan lagi aku bisa mengendarainya, merasakan sensasinya, kalau tidak sekarang ini.

"Mau kemana Mas..."

Wajah ayu itu terlihat sangat menggemaskan ketika dengan lembut mengucek ucek mata.

"Ke ujung dunia...," sahutku sekenanya.

Malam itu tumpah semuanya, aku hanya menjadi pendengar saja semua cerita Rara.
Di antara hembusan lembut angin rawa di pinggiran belantara hutan bakau di daerah Pantai Indah Kapuk.
Kubiarkan saja Rara menumpahkan segala emosinya, dari diam, bercerita segalanya, diam lagi, terisak menangis, diam lagi, menangis lagi, tergugu lagi, segalanya Rara bercerita penuh emosional.
Sepanjang jalan pulang pun, Rara kembali terdiam sesekali isak lirihnya yang hanya membuatku kelu saja.

"Semoga badai lekas berlalu Rara..."

Hanya desahan batinku, ingin sekali aku merengkuhnya, ingin sekali aku menghiburnya, apa daya batas sekat itu jelas tak mungkin kuterabas.
Rara bukan wanita yang bebas lagi seperti dulu, Rara sudah milik orang lain, walau dengan sangat yakin hatinya masih bertengger kokoh namaku, terpahat tidak hilang ditelan waktu. Sudah tak mungkin diriku merengkuhnya walau begitu kuat hatiku berteriak teriak mengumandangkan pemberontakan sekuat tenaga.
Tak mungkin lagi.
Aku terpaksa turun di Ampera Raya, nalarku, akal warasku masih jalan dengan tidak mengantar Rara sampai depan rumahnya.
Aku masih melihat wajah sendu itu berlalu meninggalkanku di pinggir jalan.
Aku mencegat taksi dengan buru buru menuju Serpong kembali, mobilku masih di proyek, motorku juga dipinjam Yanto di Cibubur, mau nggak mau aku harus mengambil mobil ke Serpong.
Kembali aku merenung di dalam taksi yang membawaku ke proyek, merenung berkerut kerut dan berpikir sekeras kerasnya.
Sungguh menyesal diriku menyalahkan Rara selama ini karena kuanggap dia meninggalkanku begitu saja.
Begitu saja Rara lenyap seakan ditelan bumi sejak Rara pamit pulang dari Jogja hampir 2 tahun lalu.

"Maafkan aku Rara, maafkan telah keliru menilai dirimu,"

Dan bayangan perpisahan di bandara Adi Soecipto 2 tahun lalu meruah kembali, berpendaran memenuhi kepalaku yang mendadak pusing.
***

Cahaya merah tembaga matahari sore perlahan meredup di ufuk barat Pantai Indrayanti. Kaki telanjang Rara penuh dengan pasir putih di samping kakiku.

"Kenapa Mas Adit diam saja..."
"Ahh nggak, hanya berpikir mengapa mendadak sekali kepulanganmu besok...?"

Kurengkuh bahu mungil wanita yang benar benar telah membetot hatiku. Belum genap 6 bulan kami berkenalan, pun belum genap 4 bulan pula melodi cinta yang meneduhi kami, mendamaikan hati kami. Cinta yang datang seiring dengan kedekatan kami.
Begitu lembut hati kami bertaut, pelan namun pasti tumbuh subur merekah laksana segarnya bunga sehabis disiram hujan.
Hujan di musim ini takkan dapat kulupakan ketika cintaku bersambut tidak bertepuk sebelah tangan, luruh, sendu dan binar binar bahagia mata Rara sungguh merupakan refleksi nyata perasaan kami berdua.

"Rara pulang untuk kembali lagi kok..."

Raut manja dari wajah ayu nan teduh itu, wajah yang menyusup ke dadaku, tangan lembutnya melingkar merekat dan mendekatkan kami.

"Bener ya, kalau lama nggak balik lagi, aku akan susul ke Jakarta,"

Rara hanya mengangguk ringan sambil mempererat pelukannya.

"Serius ini Rara...!"

Kuhela dengan lembut kepalanya.

"Aku akan nekat menyusul ke Jakarta, sekalian untuk...meminangmu..."

Wajah bening itu sedikit terhenyak ketika mendengar ucapanku barusan.
Wajah kami begitu dekat, tak sampai 5 detik hitunganku, bening di pelupuk mata Rara meleleh namun wajah merekah penuh senyuman, lekat, begitu dekat dan begitu tajam mata kami beradu.

"Aku sangat serius Rara..."

Dan pertama kali dengan lembut bibir kami beradu, pertama kali dan terakhir kalinya.
Kami berpelukan sangat erat seolah nggak ingin berpisah lagi keesokan harinya di bandara Adi Soecipto. Itulah pelukan terakhirku, itulah bayangan Rara yang kulihat terakhir kalinya ketika pesawatnya lepas landas menuju Jakarta.
Pandanganku tiba tiba serasa kosong dari area parkir di depan Adi Soecipto, masih kulihat pesawatnya lepas landas menuju ke timur sampai bermanuver kembali menuju barat.
Dan terakhir kali aku melihat sampai pesawatnya lenyap menyisakan noktah kecil di antara rombongan awan, benar benar yang terakhir kalinya.
***

"Pak...maaf kita masuk tol kan?" ucap sopir taksi membuyarkan lamunanku.
"Ohh...,"

Segera kurogoh dompet.

"Eit...tunggu bentar...ikuti mobil hitam itu...,"

Dompet belum sempat kubuka, mataku nanar melihat mercedez hitam persis di depanku melaju pelan setelah lampu hijau menyala di perempatan Cilandak.

"Ya pak...!"
"Cepat ikuti mercy hitam itu...jaga jarak saja," sahutku kepada sopir taksi yang masih belum mengerti.

Jelas dan sangat jelas kuingat mercedez hitam itu, plat mobil nomer khusus itu, tak salah lagi milik Pak Fariz, tak akan keliru lagi.

"Baiklah, mari kita bermain main sejenak, memangnya hanya dia yang bisa memata mataiku,"

Taksiku perlahan mengikuti mobil yang kuyakin dengan pasti milik Pak Fariz.
Seharusnya mobil itu dari lampu merah Cilandak tadi, belok ke kanan menuju Kemang. Namun mobil malah mengambil lurus dan masuk gerbang tol menuju barat, jelas bukan arah pulang ke rumah Kemang, jelas dan terasa mencurigakan menjelang jam 11 malam ini.
Mobil Mercedez itu masih melaju dan taksiku mengikuti dengan jarak yang berkali kali kuingatkan kepada sopir taksi agar menjaga jarak mobil dengan cukup.
Mercy hitam mengambil jalur kiri dan keluar tol Pondok Indah, terus melaju melewati bundaran Pondok Indah dan membelok ke kanan.

"Ikuti terus Pak..."

Sergahku kepada sopir taksi. Mercy hitam akhirnya berhenti di dekat taman teduh di ujung deretan rumah rumah mentereng di Pondok Indah.
Benar sekali dugaanku, Pak Fariz sosok yang keluar dari mercy hitam itu dan dengan seorang wanita, jelas wanita itu bukan Rara.
Aku perintahkan sopir taksi agar mendekat namun tetap menjaga jarak aman. Aku hanya terhenyak melihat Pak Fariz memeluk wanita itu dan mereka berciuman di depan gerbang rumah mentereng itu.
Ahhh aku hanya mendesah, memastikan lagi dan memerintahkan sopir taksi untuk lanjut jalan.

"Laki laki seperti apa yang kamu nikahi Rara...?"

Batinku mendesah dan kembali melirik sekilas Pak Fariz yang masih berciuman ketika taksiku melaju tak jauh dari gerbang rumah mewah itu.
***

Jumat malam sengaja aku menunggu Rara di meja pojok di dekat mesin fotokopi di lantai 6. Beberapa hari ini Rara jelas menghindariku entah karena apa.
Ruangan Rara masih terlihat lampu menyala, aku sudah memastikan Rara belum pulang setelah mengontak petugas parkir di basement. Infonya mobil Rara masih belum bergeser semili pun dari tadi.

Sudah 2 cangkir kopi hampir tandas menemaniku, masih ada 2 orang staf finance yang sudah berkemas bersiap siap pulang.
Staf marketing kalau jumat malam sudah tak tentu rimbanya sejak jam 5 sore.
Aku sudah tidak fokus lagi melihat laptop yang hanya sekedar sebagai alasanku saja agar terlihat masih bekerja.

Sejak habis magrib sampai hampir 2 jam ini bahkan cursor di layar laptop pun tidak bergerak.
Bahuku ditepuk ringan yang tentu saja membuatku terkaget kaget, ketika Erina entah dari mana sudah muncul di sampingku, tak mungkin Erina muncul dari lift yang sejurusan dengan ruangan Rara. Aku pasti melihat kedatangan Erina jika datang dari lift.

"Wah bikin kaget saja neng...!"
"Mas Aditya ada waktukah? Erina mau bicara...,"
"Boleh, di sini saja yaaak,"

Pandanganku jelas tak lepas dari ruangan Rara.

"Nggak mau di sini,"

Tanpa permisi tanganku sudah ditarik Erina.

"Mau ngomong apa sih...?"
"Adaaa...aja, pokoknya Mas Dit nggak boleh protes,"

Tanganku seolah diseret, tanpa sepengetahuanku wajah Rara muncul dari balik pintu ruangannya.

"Haduuuuh...ngeri neng, ngapain sih ngobrol di tangga sepi begini?"

Kami turun ke tangga darurat di samping lift, tempat yang sama dengan beberapa hari lalu ketika secara nggak sengaja aku menguping dengar pembicaraan Erina dan Pak Fariz.

Beberapa hari ini memang sengaja aku menghindar dari Erina, sama dengan Rara yang sengaja menghindariku juga.

"Ada apa sih...?"

Di bordes tangga aku seolah tersudut dipepet Erina.
Bukan jawaban yang kudapat, namun Erina malah memandangku dengan tajam melekat seolah mau menerkam diriku.

"Lhoh...kok malah nangis neng...!"

Mata bening Erina entah memang penuh sumber mata air atau bagaimana, yang jelas tiba tiba sudah meleleh berderaian perlahan.

"Aduuuh, maaaaf jika saya membuat salah yang bikin neng sedih..."

Sengaja aku tetap mempertahankan aura ringan dengan senyum penuh canda.
Aku benar benar nggak mengerti dan persis setahuku nggak pernah juga membuat kesalahan di depan Erina.

"Mas Dit...,"

Masih di antara deraian air mata Erina, aku hanya terhenyak, sesaat bengong ketika Erina mendadak menubrukku, ciuman lembut itu bahkan tidak pernah, sama sekali tidak pernah kuduga.
Sama terhenyaknya diriku ketika melirik ke atas di mana pintu besi tangga darurat sedikit terbuka.
Entah mana yang membuatku lebih terkejut antara ciuman Erina atau tatapan tajam wajah sendu Rara dari balik pintu besi, pintu tangga, tangga darurat tempat yang sama, tempat yang entah kenapa selalu membuat denyut jantungku serasa dipompa dengan mesin sekaliber pompa sedot air kolam.

==========

Bibir lembut Erina dengan sepenuh hati bertemu dengan bibirku yang mendadak kaku. Hanya sekilas saja, tak lebih dari bilangan 5 detik, tak kuasa lagi aku menolak apalagi mengelak.
Mata bening nan tajam yang masih berderai air mata itu memandangku sejenak, kemudian luruh Erina memelukku dengan erat.
Antara tidak percaya, bengong sesaat dan tak bisa berkata kata, aku hanya menggeleng lemah ketika melirik ke arah pintu tangga yang hanya beberapa langkah saja di atasku.
Wajah sendu Rara masih sempat kulihat sesaat sebelum pintu besi menutup rapat kembali oleh kendali door closer yang menutup pelan tanpa meninggalkan suara.

Aku hanya terdiam dan tangis lirih Erina yang tak dapat berkata kata lagi sampai aku menghela pelan badan harum Erina. Aku tak sampai hati menanyakan maksud ciuman dan pelukannya barusan. Wajah kikuk bersemu merah pipi itu, suara lirih tangisnya itu, terpaksa menunda pertanyaan yang sudah siap meluncur dari mulutku.
Kami kembali lagi ke ruangan di lantai 6, Erina seakan sudah lupa bahwa dia yang ingin mengajakku ngobrol sampai menyeretku ke tangga tadi. Sudah lupa dia, entah karena ciuman itu atau entah karena rasa kikuk yang melanda dirinya.

Kini lantai 6 benar benar sepi, ruangan Rara sudah gelap tanda bahwa sang empunya ruangan sudah meninggalkan kantor.

"Maafkan yang barusan ya Mas..."

Wajah malu sambil menunduk itu benar benar seolah bukan Erina yang selama ini kukenal ceria penuh canda.

"Nggak papa, besok saja kita ngobrolnya, sekarang kita pulang yuk...,"

Erina hanya memperhatikanku membereskan laptop dan beberapa berkas kertas kerjaku saja. Kami hanya kembali terdiam sambil melangkah menuju lift, masih terdiam di dalam lift menuju parkir basement.
Aku mengantar Erina sampai di depan mobil Nissan Juke merah miliknya.

"Besok ada waktu kan Mas...," ucap Erina lembut dibalik kemudi Juke.
"Kabarin saja, besok malam mungkin kita bisa ngobrol banyak,"
"Erina yang nentuin ya, Mas Dit nggak boleh nolak..."

Aku hanya tersenyum mengangguk ringan.
Perlahan mobilnya melaju dengan lambaian tangan Erina yang masih terasa kikuk karena malu, walau mata bening itu kentara benar penuh binar.
Aku segera menuju tempat parkir Evoku, namun mataku tertumbuk kepada X4 putih milik Rara yang membuatku sedikit terkejut. Perlahan aku berjalan menghampiri mobil Rara, masih terlihat wajahnya dibalik kaca gelap dan temaram cahaya tempat parkir di basement ini.
Belum juga beberapa langkah mendekati mobil Rara, tiba tiba head lamp khas BMW menyala menyorot terang, disusul suara ban berdecit sesaat di lantai basement.
Aku hanya bengong melihat mobil Rara melaju persis di sampingku, lurus tanpa berhenti dan hilang sesaat ketika berbelok kiri naik ramp parkir menuju keluar gedung.
Jelas sekali Rara sengaja menunggu di parkiran, jelas sekali ketika mengetahui diriku mendekati mobilnya, jelas dan sengaja, tak salah lagi, tak keliru lagi kalau ini sinyal cemburu Rara. Masih teringat wajah sendu Rara yang melihatku di tangga tadi.

"Kenapa harus cemburu Raraaa...?" ucap batinku masih dengan pandangan bengong. Kalau benar Rara cemburu, justru semakin membuatku tidak mengerti sama sekali.

Jelas barusan tadi orchestra cemburu tanpa konduktor.
***

"Mulai bulan depan pasukanmu ditambah ya Dit, proyek Sentul bisa kita mulai, ijin prinsip sudah kita dapatkan," ucap Pak Handoko.
"Baik Pak, saya harus nambah tukang atau hanya geser pasukan saja,"
"Sementara geser dulu dari Cibubur atau Bogor, tapi segera siapkan tambahannya,"

Sore itu Pak Handoko tiba tiba memanggilku ketika aku baru saja sampai kantor. Hampir dan jarang sekali Bos besar memanggilku kalau tidak sangat urgent.
Rara juga mendadak muncul di ruangan papanya.

"Ra...besok kamu ajak Adit ke Sentul, rencana Sentul sudah fix di jajaran direksi, ajak Rifki dan Erina sekalian, kalian harus solid menjadi tim ya,"

Panjang lebar Pak Handoko menjelaskan rencana global proyek Sentul, konsep perumahan gaya resort dan salah satu proyek unggulan dari kantor. Begitu keluar dari ruangan Pak Handoko, aku segera menghentikan Rara yang seolah bergegas tanpa melihatku.

"Bu Raraa...?"
"Bolehkah saya membicarakan hal tadi sebentar saja...?" lanjutku karena Rara hanya diam sejenak.
"Rara saja yang bilang ke Erina, Pak Adit tolong confirm ke Pak Rifki," ucapan datar yang hanya menolehku sekilas saja.
"Maaf bukan itu pertanyaan saya...!"
"Nanti saja saya email rencana kerja Sentul, Pak Adit tolong pelajari dulu,"

Berlalu begitu saja, datar dan sedikitnya ketus.
***

Celoteh Erinalah yang membuat suasana mobil tidak kaku dan senyap. Setelah meeting pagi dengan staf marketing dan finance, kami berempat berangkat ke Sentul. Harus kuakui Rara sangat menguasai sampai hal hal detail rencana kerja proyek Sentul. Ini juga kali pertama buatku dilibatkan dalam sebuah rencana kerja dari nol. Meskipun aku bukan berstatus karyawan kantor, namun hampir semua jajaran staf kantor sudah menganggapku bukan lagi hanya sekedar partner perusahaan namun layaknya teman sekantor.

"Tante...besok Jumat malam jadikan syukuran tim marketing?"

Masih di antara celoteh Erina di dalam mobil.

"Iya...kamu atur saja Rin,"

Dari kaca spion tengah tak sengaja aku melihat tatap mata Rara kepadaku.
Kalau tidak sigap mungkin saat ini Raralah yang menyetir mobil. Aku terkadang tidak mengerti dengan sikap Rara kepadaku, kadang hangat, kadang ketus, jelas tadi aura cemburunya yang kurasakan, apalagi melihat Erina sangat manja di depanku.
Pak Rifki bahkan sampai berbisik pelan sebelum masuk mobil agar aku berhati hati.

"Hati hati Mas, bisa kacau dirimu di hadapan tante dan keponakan lho!" bisik Pak Rifki ketika melihat Erina langsung duduk di kursi depan di sampingku.
"Besok Erina sudah pesan tempat di Vins ya, tan?"
"Vins di arteri Pondok Indah?" ucap Rara pelan.
"Iya...bolehkan Mas Aditya Erina undang?"
"Heee..." balas Rara datar saja mengenai rencana syukuran tim marketing di tempat karaoke besok malam.

Aku hanya nyengir saja dengan halus menolak karena nggak bisa menyanyi, cubitan lembut di bahuku dan deheman Rara semakin membuatku meradang.

"Kalau pacaran jangan disini,"

Jelas dan ketus yang hanya ditimpali tawa renyah Erina.
Dan begitulah Erina, pintar sekali membuat suasana tidak lagi kaku sepanjang jalan menuju Sentul.
Proyek Sentul ini benar benar luar biasa menurutku, lokasi yang sempurna, memadukan potensi alam dan konsep perumahan resort ala hotel, sungguh membuatku kagum. Namun ada sedikit yang mengganggu diriku, dengan area hijau dan dekat hutan konservasi alam ini sungguh berani sekali dan penuh resiko dalam penerbitan izin lahan perumahan ini.

Sekali lagi riang dan manjanya Erina kepadaku terbukti benar membuat Rara dengan jelas meradang, bahkan kakiku sampai dengan sengaja diinjak Rara sewaktu menaiki mobil untuk pulang kembali ke Jakarta.

"Aduuuh Rara, kenapa harus ada cemburu...!" keluh batinku.

Ketika kami hanya tinggal bertiga di dalam mobil, kentara sekali aura cemburu itu dari Rara. Pak Rifki izin langsung pulang ke Depok dan minta diturunkan di Cisalak. Sejak itu Erina benar benar membuatku semakin meringis dengan segala perhatiannya di dalam mobil, masih kulihat sekali lagi tatapan Rara yang tajam menusuk mata dari spion tengah mobil. Uhhhh...
***

Sebenarnya malas sekali diriku sore itu menghadiri undangan syukuran tim marketing di Vins karaoke dalam rangka keberhasilan tim marketing menjual sold out proyek Serpong.
Sudah berkali kali Erina mengirim pesan WA sepanjang siang sampai sore.

[Pokoknya Mas Dit harus datang...harus ya]
[Boleh nyusul nggak neng, sore saya baru sampai kantor dari Cibubur] balas WA ku.
[Iyaaa...Erina akan marah kalau Mas nggak datang lho]

Terpaksa aku beres beres dan pulang dulu setelah laporan ke Pak Rifki, nggak mungkin aku langsung ke Vins dengan kondisi badan seperti ini.

Jumat sore bahkan sebelum jam 5, lantai tim marketing sudah seperti kuburan karena sepinya. Rara juga sejak siang tadi infonya sudah meninggalkan kantor.

Aku sampai di Vins menjelang jam 8 malam, parkiran depan karaoke itu sudah penuh apalagi ini Jumat malam. Karaoke di arteri Pondok Indah ini memang lumayan favorit kata beberapa teman marketing. Menurut hitunganku ini adalah kali kedua diriku masuk tempat karaoke di Jakarta sejak aku menetap, jelas bukan hobby di samping jelas juga aku tidak bisa menyanyi.
Entah sudah berapa kali WA dari Erina menyerbu karena acara seharusnya dimulai jam 7 malam namun diriku belum nongol juga. Aku bisa membayangkan marahnya Erina jika mengetahui jam 7 malam bahkan aku belum selesai mandi. Beruntung lokasi karaoke ini tidak terlalu jauh dari rumahku di Bintaro Pesanggrahan.
Serasa asing diriku dengan dunia malam dalam temaram lampu warna warni. Begitu aku masuk Vins saja aroma minuman alkohol sudah meruah. Aku segera melangkah naik ke lantai 2 tempat acara tim marketing berlangsung. Kakiku baru menginjak lantai 2 karaoke ketika aku melihat Rara melambaikan tangan setelah keluar dari toilet.
Aku tertegun sesaat ketika dari jarak pandang sekitar beberapa puluh meter, kulihat juga Pak Fariz suami Rara.
Aahh ternyata Rara mengundang suaminya juga. Sembari membalas lambaian tangan Rara, perlahan aku mendekat. Namun mendadak mataku nanar, sungguh begitu mengejutkan ketika Pak Fariz yang jelas tidak melihatku, namun bukan itu yang membuat mataku membeliak dalam.

Di belakang Pak Fariz menyusul wanita itu, wanita yang tak salah lagi beberapa minggu lalu sempat kuikuti sampai rumahnya di Pondok Indah.
Wanita itu dengan manja meraih tangan Pak Fariz dan berangkulan mesra menuju ke arahku, jelas nanti pasti berpapasan dengan Rara yang masih melambaikan tangan kepadaku.
Jelas tak mungkin ini Pak Fariz ikut undangan tim marketing, tak mungkin sama sekali.

Bergegas secepat diriku melangkah dan secepat sebisaku sebelum Pak Fariz benar benar melihatku. Aku tarik dengan erat tangan Rara, setengah kuseret menjauhi koridor.
Masih dengan ternganga Rara memandangku, kututup mulut Rara dengan jariku, tanda supaya diam. Aku sudah tidak perduli lagi tubuhku memepet rapat tubuh Rara di dekat toilet.
Jelas Rara bingung, terkesiap dan langsung berontak meronta. Sedetik saja aku terlambat, sungguh tak dapat kubayangkan lagi apa yang akan terjadi.

Suara manja wanita itu dan langkah Pak Fariz seakan persis dapat kuhitung, terlambat sedikit saja, aku akan menyesal.
Dengan meronta Rara mendorong tubuhku, dengan bingung dan terkejut tentu saja Rara jelas langsung berontak. Sedetik itu sudah cukup buatku untuk berpikir. Entah darimana, entah pikiran apa yang membuatku nekat, tak boleh terlambat.
Kututup bibir Rara dengan bibirku, kupeluk erat sambil bersandar di dinding, masih dengan tangan meronta, perlahan Rara luruh dalam ciumanku.

Wajah yang begitu dekat itu mendadak lemas, jari telunjukku hanya menunjuk ke tangga ketika Pak Fariz dan wanita yang masih berangkulan mesra itu menuruni tangga.
Entah apa yang ada di benak Rara, jelas tidak kuperdulikan. Jelas dari sudut matanya aku merasakan tubuhnya menggigil entah terkejut dengan ciumanku atau ternganga ketika melihat suaminya berangkulan mesra dengan wanita lain menuruni tangga.

"Plaaak..."

Ini kali kedua pipiku di tampar Rara. Dua kali tamparan yang membuatku sedih meski kesedihan yang berbeda dengan tamparan pertamanya dulu di ruangan kantor

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER