Cerita Bersambung
Dengan sedih aku hanya memandang Rara, terbayang momen nekat aku mencium Rara tadi dan sudah tak kurasakan lagi bekas tamparan di pipiku.
"Maafkan aku, Rara..,"
Aku hanya tertunduk menyesal.
"Apa hakmu menghalangiku..!"
Sengit sekali ucapan Rara di antara bening air yang mulai meleleh di pipi lembutnya.
Rara segera mendorong tubuhku dan menghempas tangan kiriku, bergegas melangkah menuju tangga.
Tanganku sigap menangkap kembali tangannya.
"Rara...please...mohon dengan sangat jangan lakukan itu di depanku..." pintaku sekali ini dengan kesedihanku yang hampir paripurna.
Tak ada jawaban, hanya sorot tajam mata Rara yang mendadak bengis.
"Baiklah, aku memang nggak punya hak secuilpun, Ok...aku pulang dan silahkan kalau kamu ingin melabrak suamimu...,"
Tak menunggu jawaban dan tak mengharap jawaban apapun, aku melangkah mendahului Rara turun tangga, tak menoleh dan memperdulikan Rara lagi.
***
Aku menyulut sebatang rokok ketika berada di halaman Vins, kejadian barusan sungguh membuatku pening kepala.
"Apa hakmu menghalangiku,"
Ucapan Rara tadi begitu menohok telak diriku, memang benar dan nyata benar hal itu merupakan tindakan bodoh diriku.
Melihat kejadian tadi, jelas tak mungkin Rara mengundang suaminya di acara kantor, jelas tak mungkin.
"Apa yang sesungguhnya terjadi denganmu...Rara?"
Pertanyaan yang hanya membuatku pusing. Jelas sekali Rara tidak ijin atau berkomunikasi dengan suaminya, kalau mereka saling komunikasi, tak mungkin Pak Fariz begitu bodoh berada di tempat yang sama dengan acara istrinya, dengan wanita lain pula.
Uhhhh...
"Bagi sebatang dong...Mas!"
Aku terkejut ketika Rara sudah di sampingku.
"Sebatang saja, bolehkan?"
Sebungkus mild dan korek gas di tanganku sudah berpindah tangan, tak sekalipun dapat kucegah.
Aku hanya melongo melihat perubahan mendadak Rara.
"Sejak kapan Mas tahu?"
Kepulan asap tipis rokok dari bibir Rara yang hanya memandang kosong lurus ke depan.
"Sejak malam itu sehabis kita pulang dari Pantai Indah Kapuk," jawabku datar saja.
"Hemmm, hampir sebulan lalu, kenapa Mas tidak...,"
"Kamu selalu menghindariku, dan apa hakku...?"
Kupotong dan kubalas dengan cepat ucapannya.
"Maaf Rara, sebaiknya saya pulang sekarang,"
Aku melangkah lurus menuju tempat parkir pinggir jalan.
"Masss...,"
Sejenak ucapan lirih Rara membuatku menoleh, wajah itu, wajah sendu wanita yang sampai saat ini tak pernah sekalipun dapat kulupakan, tiba tiba tubuh Rara gontai dan berjalan limbung mendekatiku.
Aku sudah meloncat menggapai tubuh Rara yang lunglai lemas jatuh pingsan.
Aku bergerak lebih cepat sebelum tubuh Rara jatuh ke hard court halaman Vins, sebelum Rara luruh tak sadarkan diri.
***
Aku duduk merenung di depan UGD Rumah Sakit Pondok Indah. Kejadian tadi begitu cepat berlangsung, kubopong tubuh Rara dan aku berteriak meminta bantuan petugas parkir.
Dengan susah payah tubuh Rara kubaringkan di jok belakang Lancer Evo ku, secepat itu juga tancap gas menuju RS Pondok Indah yang langsung pertama kali dalam benakku menyebut dan menuju rumah sakit itu.
Hpku sudah tak terhitung lagi bergetar berapa kali.
[Mas Dit dimana]
[Dimana sih....]
[MAAAASSS...]
Dan serbuan belasan pesan Erina.
Segera kutelepon Erina begitu sampai di UGD, jawaban panggilan telepon yang sesaat membuatku menjauhkan telepon dari telinga. Suara Erina sudah seperti peluru kaliber khusus keluar dari mekanis senjata otomatis berdurasi ratusan peluru per detik.
"Neng...segera ke UGD Pondok Indah, tantemu tadi pingsan di depan Vins...,"
Langsung kututup telepon tanpa ingin mendengarkan lagi berondongan nada protes Erina.
"Kenapa Tante Rara...Mas,"
"Mas apain tante, kok sampai pingsan..."
"Tadi kelihatan sehat sehat saja, kok tiba tiba pingsan..."
Entah pertanyaan mana yang harus aku jawab dulu mendengar Erina langsung nyerocos begitu sampai di depan UGD. Tak mungkin kuceritakan hal yang sesungguhnya terjadi.
Belum sempat aku menjawab, pintu UGD terbuka dan nama pasien Rara disebut untuk mencari keluarganya.
"Bapak...suami dari pasien...?"
Belum sempat aku membuka mulut.
"Bukan...saya keponakan dari pasien," Jawaban cepat Erina.
"Silahkan masuk temuin dokter jaga,"
Pandanganku kosong dan tertunduk kelu mendengar penjelasan dokter jaga. Rara harus opname, bed rest total karena keguguran.
"Ahh Rara...!"
Batinku kelu sekelunya.
Bolak balik Erina mencoba menelpon Pak Fariz.
"Om Fariz nggak bisa dikontak, pembantu di rumah tante bilang, Om Fariz belum pulang,"
"Terus gimana..."
Jelas aku nggak punya opsi memutuskan apapun.
"Eyang Handoko berdua lagi di Surabaya, besok pagi baru bisa balik ke Jakarta," ucap Erina gelisah.
"Kamu tunggu dan coba terus kontak Pak Fariz, mana kunci mobil tantemu, biar aku yang ambil di Vins,"
Hanya itu yang bisa kulakukan, tak lebih.
Akhirnya kami terjaga sepanjang malam di VIP room setelah Rara dipindah dari UGD. Pak Fariz benar benar nggak bisa di kontak dan belum juga pulang ke rumah Kemang.
Aku benar benar mengutuk suami Rara jika benar Pak Fariz sekarang masih berdua dengan wanita itu setelah keluar dari Vins.
Sungguh aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan Rara dan suaminya, sungguh tega benar Pak Fariz, kalau melihat Rara yang kondisinya seperti ini.
Rara masih tergolek lemas karena baru saja keguguran kehilangan calon baby. Pikiran burukku tiba tiba muncul, jangan jangan Pak Fariz malah nggak tahu kalo Rara hamil. Dan seribu lebih pertanyaan yang menggantung yang tak mungkin aku menemukan jawabannya.
"Ahhh apa hakku!"
Sekilas sindiran tadi yang kembali menonjok menusuk batinku.
***
Menjelang subuh, tanganku serasa dipegang dengan lembut yang membuatku langsung terjaga.
Masih di antara rasa kantuk karena hampir semalam tidak bisa tidur, hanya duduk di samping ranjang pasien. Erina tertidur di sofa bed sebelah kanan Rara.
"Masss...,"
"Ehh...maaaf, gimana kondisimu Rara?"
"Sudah lumayan Mas...maaf, Rara sudah membuat Mas Adit repot,"
"Gak papa...eee Pak Handoko nanti balik dari Surabaya pesawat jam 7, Pak Fariz sampai semalam belum bisa di kontak," ucapku sambil mengucek ucek mata.
"Maafkan aku Rara, maaf telah membuat kamu kehilangan baby,"
Ini pertama kali kurasakan ada bening di pelupuk mataku.
"Bukan salah Mas Adit...,"
Tangan Rara sedari tadi tak pernah melepas tanganku.
"Maaf Rara, sebaiknya saya pulang dulu,"
Perlahan aku beranjak namun tanganku malah semakin erat dipegang Rara. Ahhh ingin sekali aku merengkuhnya, ingin sekali kudekap erat wajah kuyu itu.
"Kamu harus kuat Rara...,"
Perlahan tanganku dilepas, kenapa bening air mata itu justru kembali membuatku mengutuk keras segala rasa di hati yang mudah sekali runtuh jika berhadapan dengan Rara.
"Rara bukan lagi wanitamu...bodoh benar!" batinku merejam rejam.
"Asal Mas Adit tidak membenci Rara, sudah cukup membuat Rara kuat bertahan,"
"Tak kan sanggup aku membencimu Rara...kamu tahu persis segalanya...,"
Mendadak suara isak tangis lirih mengagetkan diriku dan Rara.
"Rin...kenapa kamu menangis...,"
Rara agak terhenyak melihat Erina yang sudah duduk di sofabed. Entah sejak kapan sampai kami tidak menyadari Erina sudah bangun di samping kanan ranjang Rara.
"Tante pura pura nggak tahu atau nggak peduli dengan Erina," ketus ucapannya dan, bantal di samping Erina sudah melayang menimpaku. Aku tentu saja hanya bengong.
"Rin...mau kemana,"
"Apa peduli tante, heran benar, sudah punya Om Fariz, masih saja tante nggak bisa ngelupain Mas Aditya!"
Sambil ngeloyor Erina berjalan nggak memperdulikan lagi diriku dan Rara yang sama bengongnya dengan diriku.
==========
Suara pintu VIP room yang sedikit dibanting Erina terasa masih meninggalkan gema di dalam ruangan.
"Cepat Mas...susul segera Erina sebelum benar benar ngambek..." ucapan Rara segera membuat bengongku sesaat luruh.
"Biarkan saja...nanti juga pulih sendiri!" ucapku lirih.
"Masss...!"
"Sudahlah, saya nggak ingin membahas Erina,"
"Erina sepertinya mencintai Mas Adit..."
"Lalu...!" sahutku sambil mengambil kunci mobil di meja dekat kursi yang semalam menjadi tempatku terjaga.
"Di tangga kantor...malam itu?"
Ini seperti sebuah pertanyaan menyelidik.
"Kenapa kamu malam itu mengikuti sampai mengintip segala di pintu tangga?" aku balik bertanya.
"Sudah lama Erina mengorek orek, bertanya tanya tentang Mas Adit..."
"Terus...!"
"Hanya memastikan saja kok!"
"Saya tahu perasaan Erina, saya mendengar langsung namun tidak di depan saya...Rara,"
Harus segera kuakhiri basa basi ini sebelum pamit pulang.
"Terus bagaimana dengan Mas Adit...?"
Ini sebuah desakan Rara jelas bukan sebuah pertanyaan.
"Apakah penting buatmu...Rara, ahh sudahlah, nggak usah dibahas lagi,"
"Erina itu...!" langsung kupotong ucapannya.
"Sudahlah, saat ini saya belum memikirkan itu," jawabku cepat.
"Kenapa Mas...?"
"Rara...kamu tentu sudah tahu jawabannya kan?"
"Apa perlu kutegaskan lagi..."
Lidahku terasa kebas dan hambar sebenarnya.
Rara mendadak diam.
"Aku pamit ya, tak tinggal sendiri nggak papa kan?"
"Nggak papa Mas...jangan lupa temuin Erina dulu..."
"Sudahlah Rara, jangan mentang mentang Erina keponakanmu lalu...,"
"Mas Aditya..." desah Rara.
"Bagaimana mungkin aku memikirkan wanita lain, jika namamu saja sudah penuh sepenuhnya menyesaki memoriku?...sudahlah, aku pamit ya,"
Aku tak ingin lagi memperpanjang basa basi ini, sebelum keluar sambil menutup pintu, masih kulihat Rara hanya terdiam dengan terisak lirih. Hadeeeeeh....
***
Sudah 2 minggu Rara tidak masuk kantor, sebenarnya ingin sekali aku menjenguk Rara ke rumah sakit, namun keinginan itu kulibas segera. Beberapa kali Rara meneleponku dan menanyakan kenapa aku tidak menengoknya di rumah sakit. Aku hanya menjawab tidak enak jika nanti bertemu dengan suaminya.
Selama ini hampir tak pernah aku mengirim pesan baik WA atau sms kepada Rara.
Jariku sudah kebas dan trauma entah sudah ratusan atau bahkan ribuan kali dahulu aku begitu sering mengirim pesan.
Tak satu kalipun mendapat jawaban, persis dan teringat sekali tak pernah sekalipun ada jawaban di antara ribuan pesanku. Ribuan pesan yang hanya lenyap laksana buih di lautan.
Aku ingat pesan pertamaku bahkan hanya berbilang sejam sejak pesawatnya lepas landas dari Adi Soecipto 2 tahun lalu.
Pesan terakhir juga kuingat betul sekira beberapa jam saja sebelum menghadiri pesta pernikahannya yang tak pernah kuduga sama sekali.
Sejak itu, sejak malam yang seolah langit runtuh menimpaku itu, jariku sudah terlanjur kebas kalau mengirim pesan kepada Rara.
Penolakanku berkali kali kepada Rara yang bersikeras menjelaskan segalanya sebelum malam di Pantai Indah Kapuk waktu itu juga seakan merupakan balas dendamku kepada Rara. Berkali kali Rara mengirim pesan, berkali kali juga aku menolak dengan cara halus atau segera mematikan telepon genggam.
Aku juga mendengar dari beberapa staf marketing di kantor yang sudah menjenguk Rara. Rara sudah 3 hari yang lalu pulang dari rumah sakit. Beberapa staf juga menyindirku mengapa tidak menengok Rara. Aku hanya meringis tentu saja, berbagai alasan kesibukan di lapangan dan alasan lain yang sekira masuk akal.
Sejak malam itu sampai hampir 2 minggu ini, aku juga belum melihat Erina, beberapa kali aku ke kantor tidak pernah bertemu dengannya. Beberapa kali aku mengirim pesan juga tidak mendapat balasan. Ahh sudahlah, mungkin dengan begini lebih baik kurasa.
Hari ini seperti biasa aku ke kantor dengan jadwal pengajuan invoice untuk para mandor lapanganku.
Baru beberapa langkah keluar dari Lancer Evo ku di parkiran basement, tiba tiba seorang pria mendekatiku.
"Pak Adit...maaf Pak Fariz ingin bertemu," ucap pria itu yang ternyata sopir Pak Fariz sambil menunjuk Alphard hitam di dekat lift lobby basement.
Aku segera menuju mobil itu dan Pak Fariz sudah menungguku.
"Boleh bicara sebentar Pak Adit?" ucap Pak Fariz sambil tersenyum.
"Silahkan Pak..."
Aku segera duduk di sampingnya di kursi tengah.
Tampaknya Pak Fariz bukan tipe lelaki yang suka berbasa basi, langsung to the point. Hanya ucapan awal terima kasih karena telah membawa Rara ke rumah sakit, dan selanjutnya begitu saja tanpa basa basi sama sekali.
"Malam itu Rara pingsan di Vins, apakah karena melihat saya?"
"Iya Pak...benar,"
Sedatar mungkin jawabanku.
"Pak Adit juga melihat saya?" sergahnya.
"Iya Pak...dengan seorang wanita,"
Aku juga terpancing dengan tanpa basa basi.
"Terus...,"
"Bu Rara juga sempat melihat Pak Fariz, namun terlambat mengejar ketika sampai di depan Vins,"
Kali ini enteng saja, entah kenapa aku tidak jujur menceritakan apa yang sebenarnya terjadi malam itu.
Pandangan tajam menyelidik Pak Fariz seolah menengok dalam dalam mata dan hatiku.
"Oke, jadi Rara sudah tahu...,"
"Maaf Pak, apa maksud Pak Fariz ini?"
Langsung kupotong sebelum aku terlibat terlalu jauh lagi.
"Jangan mengambil kesempatan dalam hal ini...!"
"Maksud Bapak..!"
Kali ini aku benar benar tidak mengerti.
Sebenarnya hanya sekitar 20 menitan pembicaraan kami di mobil Pak Fariz, namun bagiku seolah sudah berjam jam lamanya. Dari halus sampai ketus, dari ringan sampai saling menekan.
"Saya tahu diri Pak, Pak Fariz juga sudah tahu, saya laki laki yang pernah mencintai Bu Rara, saya tidak pernah mencampuri urusan Bapak!" sahutku setelah Pak Fariz menuduhku memanfaatkan situasi malam itu di Vins.
"Saya tidak pernah menggoda istri Bapak, Pak Fariz bisa tanya ke Erina...,"
"Justru dari Erina saya tahu,"
"Erina juga, yang saya minta ke rumah sakit malam itu, Erina juga, yang saya minta menelpon Pak Fariz malam itu, ada yang salahkah?"
Sudah mulai kegusaranku.
Aku jelas tak mungkin menceritakan kejadian di tangga kantor waktu itu, kejadian di mana secara tak sengaja aku menguping mendengarkan pembicaraan Erina dan Pak Fariz.
Walau ada 2 hal dari diriku yang tidak jujur menceritakan kejadiannya, namun tak ada yang salah dariku, menurutku wajar saja dan tak lebih maupun tak kurang.
"Maaf pak, saya harus mengajukan invoice mandor, sekali lagi, saya nggak ikut campur urusan Pak Fariz, terserah apapun pandangan Bapak,"
Aku segera pamit keluar mobil, tak ada gunanya lagi pembicaraan ini.
"Saya akan terus mengawasi Pak Adit!"
"Silahkan, saya ada di proyek hampir setiap saat," ucapku kembali datar.
***
Sungguh hari itu membuat diriku mengkal dan mangkel, tak ada hujan tak ada angin, Pak Fariz yang jelas jelas mempunyai affair dengan wanita lain malah menuduhku memanfaatkan kesempatan.
Setelah urusan pengajuan invoice mandor selesai, aku segera menuju proyek dan tenggelam dalam pekerjaan. Itu caraku yang efektif membunuh galau. Kali ini level waspada sudah aku siagakan, sebisa mungkin aku ke kantor hanya kalau urgent saja.
Aku jelas tak ingin dicap mengganggu rumah tangga Rara, meskipun aku tahu persis hanya Pak Rifki dan Erina saja yang mengetahui masa laluku dengan Rara.
Di tambah Mandor Yanto saja yang tahu dari sekitar sepuluh juta penduduk Jakarta, apalagi yang aku khawatirkan, batinku masih dalam sedikit resah. Resah bukan karena diriku namun malah memikirkan Rara.
Badanku sangat loyo ketika malam itu aku pulang menjelang jam 10 malam. Dari ujung ke ujung, dari Jakarta pojok sekali sampai di luar Jakarta. Dari Alam Sutera, Serpong, Cibubur, Sentul dan terpaksa balik tidak meneruskan ke Bogor karena tak cukup waktu lagi.
Itupun belum termasuk rencana ke sektor dalam kota mulai Bintaro, Jagakarsa, Taman Mini dan lokasi lokasi cluster eksklusif yang harus aku kunjungi dengan jadwal padat.
Beruntung para komandan mandorku sudah sangat paham di lapangan. Kalau tidak ada mereka yang membantuku, benar benar rontok semua tulang badanku. Beruntung pula usulanku mengangkat staf kantor di bawah Pak Rifki yang di plot membantuku disetujui.
Beruntung sekali aku memiliki partner Pak Rifki ini. Segalanya menjadi lebih mudah dalam koordinasi lapangan.
Mengurus ratusan tukang meskipun sudah ada jadwal pembayaran rutin setiap 2 minggu, tidaklah mudah, cukup sudah membuat pening kepalaku.
Sehabis mandi air hangat, aku merebahkan badan di sofa depan TV, biasanya setelah itu TV lah yang menonton diriku pulas tertidur sampai alarm subuh berdering lantang di dekat telinga.
Mataku baru sesaat sedikit terpejam ketika bel rumah berbunyi. Dengan malas dan sungguh senewen mengingat hampir larut malam masih ada yang bertamu.
Biasanya kalau tidak Pak RT, ya mandorku saja yang berani bertamu jam segini.
Aku hanya bengong sesaat melihat Rara di depan pintu. Sungguh dan dalam bayanganku atau mimpipun tidak jika Raralah yang berdiri di depan pintu rumahku. Wajah kuyu, mata merah dengan bekas air mata masih kentara sekali.
Tak salah kalau dulu nilai pelajaran matematikaku di atas rata rata, bilangan 29 hari langsung meruah, bilangan di mana dihitung sejak malam di Vins waktu itu, malam di mana Rara pingsan dan kubawa ke rumah sakit.
"Rara...,"
Aku belum sempat melanjutkan ucapan, tanganku sudah lebih cepat meraih tubuh Rara yang limbung sesaat.
Rara memelukku sangat erat ketika kami berada di dalam rumah, ahhh apa yang terjadi Rara, batinku sungguh tak terperi rasanya.
Pelukan dan tangisannya seakan membuat rontok dadaku dan jantungku seakan tertusuk tusuk. Hampir sebulan lalu Rara kehilangan bayi yang dikandungnya karena keguguran.
Aku sampai tak mempunyai keberanian untuk menjenguknya di rumah sakit.
Dan kini dengan wajah kuyu berada dalam pelukanku, duhai Rara.
Dengan gemetar tanganku menghela pelan wajah ayu yang mingsek mingsek dalam tangisan itu, gemetar tanganku mengusap pipi lembutnya.
Entah kesedihan apalagi yang membuat Rara seperti ini. Tak sadar di antara usapan tanganku, perlahan meleleh pula bening air mataku.
Entah siapa yang memulai, mungkin karena begitu dekatnya wajah kami, begitu kelunya, magnet lama yang serasa magma gunung berapi ribuan tahun terpendam, bibir kami mendekat perlahan bertemu, lembut di antara isak lirih Rara. Lembut beradu bibir dan lembut menyatu seolah dituntun hati kami.
Sesaat kami larut dalam suasana, sesaat saja, nalar warasku masih dalam kendali otak.
Tak ingin semakin larut dan hanyut semakin dalam, perlahan aku melepas bibirku sebelum semakin dalam berpilin.
Rara hanya mendesah dan kembali memelukku.
Aku menuntun Rara untuk duduk di sofa depan TV yang barusan membuatku terpejam penuh kelelahan setelah seharian di proyek.
"Ada apa Rara...," ucapku pelan setelah Rara meneguk air putih yang ada di meja.
Kebiasaanku selalu tersedia air putih di meja selama ini, malam itu sungguh membantu meredakan suasana hati Rara. Dan...
"Rara minggat dari rumah Mas...," ucapan pertama yang membuatku terhenyak.
Dengan tersedu Rara menceritakan semuanya.
Seperti dugaanku, Pak Fariz bahkan tidak mengetahui kalau Rara hamil, sama dengan ketidaktahuan Pak Fariz malam itu ketika Rara memergokinya di Vins.
Bukan kesedihan yang Pak Fariz tunjukkan karena telah kehilangan calon bayinya, namun malah cekcok berkepanjangan setelah itu. Dan sedihnya namaku selalu disebut. Kesedihanku tambah dalam sedalam lautan tatkala Rara dengan semakin sendu menceritakan Pak Fariz menuduh bayi yang belum sempat terlahir itu bukan anaknya.
Sungguh kelu diriku ketika namaku kembali disebut ketika Rara kembali melanjutkan cerita pilunya.
Sungguh geram hatiku, mendengar Rara sambil terisak dua kali menyebut namaku dalam percekcokan yang berujung saling tuduh affair di antara Pak Fariz dan Rara. Puncaknya tadi sore Rara kembali memergoki suaminya dengan wanita itu bahkan di rumah Kemang. Entah tindakan gila apa yang sampai segitunya, sampai dengan tega Pak Fariz membawa wanita lain ke rumah Kemang. Dan malam ini Rara terdampar di rumahku.
Kami terdiam, aku bahkan sampai tidak bisa berkata kata lagi di depan Rara.
"Malam ini, bolehkah Rara menginap di sini Mas...?"
Aku hanya diam sama sekali tidak ada yang bisa kuucapkan, sama sekali tidak tahu dan tidak bisa segera menjawab permintaan Rara.
"Rara...eee maaf, saya belum bisa berpikir jernih, ehh sudah makankah, tak beliin bubur kacang ijo ya, badanmu lemas, aku yakin kamu belum makan!"
Rara hanya mengangguk lemah, aku mengusap kembali pipi lembutnya, menenangkan sejenak sebisaku.
Aku segera keluar rumah membeli bubur kacang ijo, hanya itu yang bisa kulakukan. Aku harus waras, harus, sambil melangkah menuju warung bubur yang tidak terlalu jauh dari rumahku.
Setelah membeli bubur, aku mampir sejenak ke rumah Pak RT di ujung gang sebelah warung bubur. Nekat kuketuk pintu rumah beliau, itulah momen akal warasku. Kuceritakan sekilas saja kepada Pak RT yang masih memicingkan mata tanda menahan kantuk.
Dengan canda sekaligus ancaman dalam tanda kutip dari Pak RT, akhirnya mengijinkan Rara menginap di rumahku. Lampu rumah harus dinyalakan semua, pintu pagar jangan dikunci, pintu depan rumah jangan dikunci, dan seribu syarat penuh canda dalam tanda kutip juga. Aku tentu saja hanya meringis.
Aku kembali masuk rumah dengan kesedihan yang kembali meruah. Rara tergolek lemah di atas sofa dengan kerut di kening, dengan sisa air mata dan pulas lelah hayati ketiduran. Tak sampai hati aku membangunkan Rara. Kupondong Rara ke dalam kamarku, kubaringkan perlahan, kuselimuti dengan kesedihan yang hampir membuat air mataku berderaian kembali. Kucium lembut kening Rara, hanya itu yang sanggup kulakukan. Hanya itu tak lebih.
"Tidurlah Rara...aku akan berjaga di depan, semoga besok kesedihanmu sirna,"
Lirih ucapanku setelah aku mencium keningnya. Tanganku sempat ditarik Rara sebelum aku beranjak dari ranjang, namun kembali dengan lemah dan nafas berat Rara tertidur kembali.
Uuhhh ingin sekali aku memeluknya, merengkuhnya dan menemaninya. Ini ketiga kalinya akal dan nalar warasku muncul, setelah ini aku yakin tak mungkin timbul lagi, kesadaran akan lenyap dan hanya setan gila yang akan mengambil alih kendali.
Aku hanya merenung di sofa ruang depan, sama sekali tidak bisa memejamkan mata sedetikpun. Sorot lampu senter dari luar rumah sebagai tanda dari Pak RT sesuai kode sejam lalu, sudah cukup membuatku kembali sadar. Dan malampun aku lalui di depan rumah dengan Pak RT, ngobrol ngalor ngidul meredam kesedihanku.
Adzan subuh benar benar menyelesaikan tuntas obrolan kami di depan rumah.
Sambil bercanda Pak RT pamit, masih sempat mengancamku dalam tanda kutip, tak lupa beliau mengingatkan diriku untuk mengirim upeti beberapa zak semen untuk perbaikan gang depan rumahnya.
Aku hanya nyengir, lumayan obrolan sambil bergadang dengan Pak RT membuat kesedihanku luruh lenyap perlahan, entah kalau nanti.
Sehabis subuh aku benar benar terlelap di kamar tidur sebelah. Aku tergagap dan terjaga ketika suara di dapur dan suara TV yang menyala sepanjang malam terdengar dari kamar yang sengaja tidak kututup pintunya.
Sambil mengucek ucek mata, aku hanya ternganga melihat senyum pagi merekah dari wajah Rara yang tengah sibuk di dapur.
"Kubuatkan roti bakar ya, ehh mau ceplok atau dadar telurnya Mas..." senyum wajah ayu itu.
Sumringah wajah jelita itu, suatu masa lalu begitu kurindukan dalam segala mimpi mimpiku kelak kalau menjadi istriku, meruah segala anganku dulu sewaktu cinta kami merekah, dulu di suatu masa di Jogja.
"Ehh ceplok aja deh, maaf aku mandi dulu,"
Hanya bisa tergagap dan terperangah melihat perubahan Rara yang mendadak bak mentari terbenam menjadi terbit dalam sekejap.
Masih dengan celana pendek dan balutan handuk serta badanku belum kering benar sehabis mandi pagi.
Aku melihat Rara dengan serius menerima telepon entah dari siapa.
"Tolong pindah chanel Metro Mas..."
Sudah merupakan sebuah perintah ucapan Rara barusan.
"Ya Allaaah...iya Ma...,"
Wajah Rara mendadak tercekat.
Aku sigap meraih remote TV memindah chanel.
Handuk yang kusampirkan di bahu melorot tiba tiba, tayangan berita TV sungguh membuatku ternganga yang kedua kali sepagi ini.
"Ya Alloh...mamaaaa,"
Entah mana yang membuatku terkejut antara teriakan pilu Rara atau berita di TV.
[Seorang pejabat pemimpin daerah di Bogor terjaring OTT KPK]
[Dua orang kepala dinas berikut seorang staf terjaring dalam OTT KPK]
[Seorang pengusaha berinisial H, terjaring KPK, berselang waktu tidak lama seorang pria sebagai perantara ikut terjaring OTT KPK]
Running text berlanjut dalam horor pagi itu, sekilas wajah yang tak salah lagi, wajah Pak Handoko papa Rara.
Tayangan TV berpindah kepada adegan di sebuah hotel dimana terpampang jelas wajah Pak Fariz suami Rara.
Running text
[Seorang pria berinisial F yang disinyalir sebagai perantara terjaring di sebuah hotel dengan seorang wanita]
[Pria berinisial F merupakan menantu pengusaha H yang diciduk KPK di tempat yang berlainan]
Jelas, itu wajah Pak Fariz, dan wanita itu jelas tak asing lagi bagiku.
"Brukkk...,"
Aku menoleh ke dapur yang entah terkejut yang ke berapa kali pagi ini melihat Rara lunglai jatuh pingsan di dekat kabinet kitchen, bau gosong telur, berita TV dan paripurna sudah pagi itu kesedihanku.
Bersambung #6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel