Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 17 Februari 2022

Bukan Cinta Semalam #6

Cerita Bersambung

Kembali ranjangku menjadi tempat tidur Rara, roti bakar itu, gosong telur itu, sudah membuatku kalang kabut. Aku segera berlari ke warung bubur ayam. Sebelum Rara siuman. Hanya itu yang bisa kulakukan, lebih dominan panik dan bingung.

Setelah siuman dan setelah kupaksa benar benar barulah Rara mau makan. Rara hanya memandangiku ketika setiap suap demi suap bubur ayam masuk ke mulut mungilnya. Aku tidak merespons segala protesnya.

"Jangan mlengos, ntar bubur ini kena pipi lagi," ucapku sambil membuang tissue.

Rara hanya mendesah lirih sambil mengatur posisi bantal di punggungnya.
"Wuaaaah ini laper apa doyaaan...," candaku ringan saat suapan terakhir.

Rara hanya menggenggam erat tangan kiriku.
Segera kusodorkan teh hangat dan garpu kecil segera kutusukkan pada potongan kecil roti bakar yang tentu saja sudah dingin.
Tanpa protes, sedikit demi sedikit potongan roti bakar habis juga masuk mulut Rara, aku jelas lega penuh senyuman.

"Lhoooo...kok nangis lagi sih...,"

Tanganku segera menyentuh lembut pipi Rara.

"Mas Adit...jangan terlalu baik dengan Rara...,"

Lirih ucapannya, sendu pandangannya.

"Hushhh...sudahlah, saat ini kamu harus sehat Raraaaa...jangan sampai sakit lagi,"
"Setelah apa yang Rara lakukan yang hanya menyakiti Mas Adit..."

Ucapan yang tidak kuperhatikan saat potongan terakhir roti bakar masih tertahan.

"Aku sudah melupakan hal itu Rara...,"

Teh hangat kembali kusodorkan, sambil mendelik mataku dan berakhir dengan senyumku melihat potongan terakhir roti bakar masuk ke mulut Rara.

"Rara menyesal telah berkorban demi papa, tapi malah begini...,"

Kembali air mata mulai menggenang sambil menelan dengan kesusahan roti bakar itu.

"Stoppp....,"

Jari telunjukku menutup bibir mungilnya.

"Awalnya aku begitu marah padamu Rara, namun aku salut padamu karena sanggup membuat keputusan yang sungguh sulit, tak ada pilihan lain bagimu,"
"Iya Mas, meskipun harus meninggalkan Mas Adit, meninggalkan cinta kita...,"

Mulai terisak lirih.

"Aku malah bangga Rara, cintaku tak kan berubah walau kamu sudah milik orang lain..."

Kadang perlu ucapan naif di depan orang yang lagi berkelu dalam duka.

"Stoppp...Mas, jangan singgung lagi Mas Fariz yang brengsek betul..."

Gantian jari telunjuk Rara menutup bibirku.

"Kamu pulang waktu itu karena urusan keluarga yang jauh lebih penting daripada cinta seorang Aditya..." lanjutku dengan tenang.
"Itu yang membuat Rara sedih Mas...!"
"Bagaimanapun keputusanmu, telah menyelamatkan Pak Handoko, kamu sungguh tipikal anak yang berbakti,"
"Tapi hasilnya seperti ini...," desah Rara kelu.
"Cinta butuh pengorbanan, kadang naif sih, namun itulah yang terjadi, mengapa perlu disesali Rara?"

Kembali kusodorkan tissue.

"Mas Adit nggak membenci Rara kan?"
"Kan sudah kujawab kemarin Rara, tak kan sanggup aku membencimu!"
"Mass...bolehkah Rara memelukmu?"

Tanpa permisi Rara sudah erat kembali memelukku dan tangisan lirih itu kembali lagi, dan lagi.
***
 
Keputusan Rara semalam minggat dari rumah ternyata memang sudah dipersiapkan.
Tas koper kecil berisi pakaian, dan alat alat pribadi sudah merupakan bukti.
Tadi pagi Rara ternyata sudah mandi segar sebelum memanggang roti bakar, menggoreng telur dan sebelum tragedi pagi yang memilukan.

Panjang lebar kami berbicara dan membuat rencana yang akan Rara lakukan, sehubungan dengan kasus yang menimpa Pak Handoko dan suaminya.
Entah kenapa Rara sekarang mengikuti semua saranku. Hari ini aku meminta Rara menenangkan pikiran, meresapi segala kejadian. Bolak balik Rara menelepon mamanya di rumah Kelapa Gading. Aku yang meminta Rara untuk bersikap tenang sambil memantau berita online maupun berita TV.
Tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu sampai benar benar mendapatkan berita yang jelas dari pihak terkait. Tentu akan ada konferensi pers KPK terkait OTT, kami hanya bisa menunggu.

Setelah suasana mulai tenang, aku meminta Rara untuk tidur kembali. Memang harus sedikit dipaksa, dan Rara benar benar tidur setelah ngotot memintaku menemaninya di kamar, benar benar pulas sambil erat menggenggam tanganku.
Aku pun mau tak mau juga menyerah melawan kantuk karena semalam begadang dengan Pak RT, tertidur sambil duduk di lantai di bibir ranjang, tangan kami begitu erat saling bergenggaman.

Suara berdering panggilan telepon di hp Rara yang membangunkan kami, hampir 3 jam kami pulas tertidur sampai menjelang jam 1 siang.

"Iya Rin..."

Rupanya telepon dari Erina.

"Tante dimana, berkali kali Erina telepon nggak diangkat...!"

Suara Erina meradang dari speaker phone yang diaktifkan Rara.

"Ini di rumah Mas Adit...kenapa Rin,"
"Whaaaaat...suasana begini rusuh, tante malah berdua duaan dengan Mas Adit!"

Speaker phone kembali dinonaktifkan Rara karena melihat mataku mendelik.

"Oke, aku segera ke kantor Rin...,"

Langsung telepon ditutup.

Setelah mandi segar kembali, kami memutuskan segera ke kantor. Aku hanya meringis melihat Rara semalam benar benar nekat minggat bahkan naik taksi hanya untuk ke rumahku. Mobilnya di tinggal di kantor karena sore kemarin Rara mendadak pusing dan pulang ke rumah juga memakai taksi, sampai ribut di rumah begitu memergoki suaminya membawa wanita lain.

"Mas...Rara boleh nginep lagi kan?"
"Hush...jangan Rara, kasihan Pak RT sampai begadang semalam!"

Kuceritakan singkat saja semalam Pak RT sampai begadang menemaniku, demi menjaga agar jangan sampai menjadi pembicaraan tetangga. Rara memandangku sendu dan kembali menggenggam erat tanganku ketika berada di dalam mobil Lancer Evo ku, jelas perjalanan panjang menuju kantor, bukan jaraknya, namun hari ini tentu akan panjang waktu yang akan kami lalui.

Mobilku baru mau masuk gerbang kantor ketika dengan sigap aku menghentikan mendadak. Aku jelas waspada ketika melihat puluhan orang berdiri di depan lobby kantor. Tak salah lagi mereka pasti dari jajaran pers yang memburu berita. Rara sampai terhenyak kaget dan panik serta merta melanda. Pedal gas segera kuinjak, mobil melaju tak jadi masuk ke halaman kantor. Dan serangan telepon langsung menyerbu kemudian.

"Suruh bagian humas menemui mereka, bilang saja kita menunggu info resmi KPK," teriak Rara di telepon.
"Iyaaa...kita menunggu konferensi pers resmi baru bisa memberi tanggapan," teriak Rara di telepon lagi setelah telepon pertama ditutup.
"Rin...kamu bantu di kantor ya, aku pulang ketemu Mama dulu,"

Kali ini telepon Rara kepada Erina.
Belum sampai hitungan detik, telepon Rara berdering kembali.

"Iya Ma, ini Rara menuju rumah,"

Kulihat wajah panik Rara.

"Apaaa...eee sebentar Mama...!"

Rara memandangku kecut.

"Mas...di rumah Mama juga banyak orang pers...,"

Wajah itu begitu gelisah.

"Minta Mamamu ke Kemang saja atau janjian kemana bisa bertemu?" jawabku cepat.

Mobilku melaju cepat memasuki Antasari lurus menuju Kemang. Terus melaju dan tidak berhenti walau sudah sampai di depan rumah Rara di Kemang, kami hanya memastikan saja tidak ada orang pers di sekitar rumah.
Kami harus mengatur strategi karena sampai saat ini belum ada secuilpun berita terkait OTT tadi malam. Terpaksa aku dan Rara putar haluan dulu sambil menunggu kabar dari Mama Rara. Kami mencari tempat dimana kami dapat dengan tenang mengatur strategi. Tempat yang bisa sambil ngopi dan memantau berita tentu saja.

Di cafe kecil di dalam Ampera Garden, tempat yang tidak terlalu ramai dan tidak terlalu sepi, tidak terlalu jauh juga dari rumah Rara.
Rara meminta kepada pelayan cafe untuk mengganti chanel TV menjadi chanel berita. Kopi belum sempat kuteguk dan Rara masih gelisah bolak balik antara melihat layar hp dan layar TV. Teleponku bergetar.

"Bos...ini Sentul dijaga polisi. Jarene onok berita OTW OTW ngono mou bengi, yok opo bos..."
---(katanya ada berita OTW OTW gitu tadi malam, ada apa Bos)

Suara teriakan Yanto mandorku.

"Iki kantor proyek disegel polisi Bos," lanjut Yanto di telepon.
"Wis saiki kumpulno (sekarang kumpulkan) anak buahmu, geser ke Bogor atau balik ke Cibubur," perintahku.
"Iki OTW OT..T...ono kasus OTW, ehh...ki opo to Bos,"
"Wis ojo takon wae, saiki gek ndang mangkat, bagi anak buahmu ke Bogor utowo Cibubur,"
---(udah jangan tanya saja, sekarang segera berangkat, bagi anak buahmu ke Bogor atau Cibubur)

Perintahku kepada Yanto masih dalam kegusaran.

Jam 5 sore lebih berapa menit, tayangan berita metro langsung membuat kami terdiam, terpana dan tak pernah lepas dari layar TV.
Konferensi pers KPK tentang kasus OTT tadi malam, benar benar penjelasan yang gamblang.
KPK menangkap pimpinan daerah dengan 2 orang kepala dinas terkait suap dalam penerbitan izin perumahan yang melanggar peraturan daerah bla bla bla. Barang bukti berupa uang dalam nominal rupiah sejumlah lebih dari 5 ember. Status tersangka sudah disematkan kepada 5 orang termasuk pengusaha H yaitu papa Rara sebagai pihak penyuap dan F sebagai perantara suap, F jelas sekali merupakan suami Rara.
Wanita yang tertangkap dengan F di hotel sudah dibebaskan karena tidak tersangkut dalam kasus penyidikan.

Aku dan Rara hanya diam sambil menghela nafas dalam dalam, sungguh ini pukulan berat bagi Rara. OTT sudah merupakan operasi yang tidak main main selama ini di KPK, jelas jeratan hukum sudah menanti.
***

Rara dan Mamanya berpelukan erat sambil bertangisan di dalam rumah. Malam itu kembali suasana sedih meruah. Aku jelas merasakan begitu kelunya. Saat aku ingin berpamitan karena tak ingin mengganggu Rara dan Mamanya, lagipula aku jelas bukan siapa siapa.

"Mas Adit...nggak boleh pulang,"

Aku hanya terdiam.

"Ini Nak Aditya, yang sering kamu ceritakan itukah Rara?" ucap sendu Mama Rara.
"Iya Bu, saya Aditya...,"

Aku hanya mengangguk lemah.

"Sudah lama Rara bercerita tentang Nak Aditya..." sahut beliau.

Terpaksa aku bertahan nggak jadi berpamitan karena begitu ngototnya Rara. Dan terpaksa aku menjadi pendengar dan kembali terperangah mendengarkan cerita Mama Rara.
Tak jauh berbeda dengan cerita Rara berbulan bulan lalu di Pantai Indah Kapuk.

Pak Handoko papa Rara terjerat hutang bisnis kepada papanya Fariz. Pak Fariz suami Rara sekarang, ternyata sudah lama memendam cinta kepada Rara. Sebuah cerita klasik khas aristokrat kerajaan bisnis di Jakarta, hubungan bisnis bercampur dengan perkawinan bisnis, seperti itulah kejadiannya.
Seperti itulah Rara terpaksa meninggalkanku, terpaksa meninggalkan cinta kami.

"Saya tahu keputusan itu membuat Rara sedih, membuat Rara terpaksa ke Australia melupakan semuanya, melupakan Nak Aditya,"

Ucapan lirih Mama Rara di antara cerita beliau.

"Jangan pikirkan saya Bu, Rara sudah menjelaskan semuanya,"

Aku hanya melirik Rara yang masih tersedu sedu.

"Saya keliru memilih menantu, Farizlah yang menekan papanya Rara agar proyek Sentul itu segera berjalan,"
"Seminggu lalu, papanya Rara pulang ke rumah seperti dalam kondisi tertekan berat, tak tahunya malah kejadiannya seperti ini," lanjut sendu ucapan beliau.

Sesaat kami bertiga kembali terdiam, kembali hening suasana di ruangan tengah ini.

"Bu Rara...maaf ada tamu,"

Tiba tiba masuk security rumah, memberitahu ada tamu.
Aku begitu terkejut melihat tamu yang dipersilahkan masuk security, Rara jelas lebih terkejut melihat wanita yang datang dengan wajah kuyu menahan tangis.
Wanita yang kemarin malam menghiasi berita, wanita yang sore sebelumnya dipergoki Rara di rumah ini juga.

"Mau apa kamu kesini...,"

Sungguh teriakan Rara yang tanpa basa basi.
Wanita itu langsung duduk tanpa kami persilahkan dan hanya menunduk. Setelah beberapa saat, mulailah cerita yang membuat kelu kembali.

"Saya minta maaf, terpaksa saya kesini, tak tahu lagi saya harus kemana!"

Ucapan lirih hampir tanpa ekspresi.

"Saya hamil dengan Mas Fariz...,"

Bagiku cerita itu sudah laksana bunyi gong raksasa di Ancol sana.

"Kamu....ahh tega sekali ya...,"

Dengan mata mendelik Rara meraih baju wanita itu tanda geram yang teramat sangat.

"Raraaa...,"

Entah kenapa ucapanku sesaat saja itu, sudah cukup untuk menghentikan Rara.
Entah darimana ucapanku begitu saja meluncur dari mulutku, kondisi wanita ini bisa dibilang sama dengan kondisiku.

Aku memberikan penjelasan agar tidak terjadi keributan lagi di mana suasana rumah masih dirundung duka. Selama aku memberi penjelasan, Rara hanya diam saja sambil menangis, Mamanya jelas tajam memperhatikanku.

"Maaf Mbak, silahkan Mbak pulang saja, tidak tepat menurut saya melihat kondisi keluarga saat ini,"
"Maaf Bu, maafkan kalau saya lancang...,"

Aku menoleh kepada Mama Rara.
Wanita itu beringsut sambil menangis, perlahan berdiri dan berjalan keluar ruangan dengan gontai tanpa berkata kata.

"Oooo...jadi begini, jadi Eyang juga merestui, merestui perselingkuhan tante Rara!"

Entah siapa yang kaget di antara kami semua di ruangan ini.
Kedatangan Erina malam itu, sungguh sama sekali pada waktu yang tidak pernah kami sangka.
Wanita itu sedikit terhenyak walau terus melangkah gontai berjalan keluar rumah.

"Jadi Om Fariz ketahuan selingkuh, trus dibalas tante Rara dengan selingkuh juga!"

Sengit dan sungut Erina.

"Erinaaa, apa maksudmu Nak?" ucap Mama Rara seakan tidak percaya.

Aku dan Rara tentu saja hanya bengong.

==========

"Rin...apa maksudmu?" tanya Rara setelah sesaat mengatasi bengongnya ketika tanpa angin tanpa hujan, tiba tiba Erina sudah masuk rumah dengan wajah super mengkal.
"Harus dijelaskan ya Tante! apa biar Eyang sekalian tahu!" sungut Erina sambil duduk di sofa.
"Mama sudah tahu semuanya Erina..."

Ucap Rara sambil perlahan duduk di samping Erina. Aku tentu saja hanya diam mematung.
Kali ini gantian Erina yang sedikit terhenyak.

"Benarkah Eyang?"
"Maksud Erina, apakah hubungan Nak Adit dengan Rara?"

Halus ucapan Mama Rara sambil melirikku.

"Semalam Tante Rara nginap di rumah Mas Dit,"

Dan sekali ini gantian Mama Rara yang terkejut, kembali melirikku.

"Kamu memata mataiku ya Rin!" ucap Rara sengit.
"Benarkah itu Rara?" tanya Mamanya seakan tidak percaya.
"Semalam Rara minggat Ma," ucap Rara sambil menunduk.
"Kenapa Rara?"

Desak Mamanya yang belum hilang rasa terkejutnya.

"Mas Fariz membawa wanita tadi ke rumah, kami ribut!"

Ucapan yang datar saja, aku hanya mendesah melihat Rara semakin menunduk namun tidak kulihat lagi aura kesedihannya.
Dan meluncurlah cerita Rara yang selama ini nyaris atau belum pernah diceritakan kepadaku, tidak juga malam itu di Pantai Indah Kapuk sekalipun.
Tak salah dugaanku selama ini, wanita tadi adalah pacar Pak Faris sebelum menikahi Rara, Rara sudah mengetahuinya dan hanya mendiamkannya saja.

"Mas Fariz meninggalkan wanita itu dan Rara juga meninggalkan Mas Adit,"

Mulai ada isak lirih di antara cerita Rara. Kembali aku hanya mendesah, hanya itu, mematung sambil berdiri dengan kelu.

"Terus, sekarang setelah Om Fariz lagi ada masalah, Tante mau meninggalkannya juga, begitu ya Tan!"

Sama sekali nggak ada ucapan lembut sedari tadi, Erina hanya semakin menyudutkan Rara, tentu saja sambil melirikku bengis.

"Maaf, sebaiknya saya pamit, ini masalah keluarga dan saya bukan siapa siapa,"

Ucapan pertamaku setelah Rara menyelesaikan ceritanya.

"Mas Adit nggak boleh pulang, biar Mas tahu semuanya," ucap Rara dengan serta merta.
"Rara...maaf, kehadiran saya sungguh sangat tidak pas,"

Ini kali kedua di malam ini, aku memanggil Rara tanpa sebutan Bu, di hadapan Erina dan Mama Rara.

"Duduklah Nak Adit...,"

Ucapan Mama Rara justru semakin membuatku tidak nyaman.

"Maaf Bu..."
"Duduklah Nak..."

Sorot mata beliau sungguh dan hanya membuatku tak berdaya, perlahan aku duduk dan menunduk lemah.

"Tuh...kan, dengan ini saja Eyang sudah melibatkan Mas Dit!" sergah Erina gusar.
"Erinaaa, maaf sebaiknya fokus saja dengan masalah Pak Handoko dan Pak Fariz yang jauh lebih besar,"

Entah darimana aku mempunyai keberanian mengucapkan hal itu.
Apa dayaku dan jelas semua ucapan Mama Rara semakin membuatku tak berkutik ketika beliau memintaku menginap malam ini. Dengan alasan malam ini di rumah Kemang tidak ada laki laki yang dapat diharapkan membantu.
 
Erina jelas meradang yang sama persis dengan diriku.
Namun keputusan Mama Rara seolah tidak dapat diganggu gugat. Meski menurutku tidak pas, namun sekali lagi kehadiranku di rumah Kemang ini diharapkan ada gunanya juga. 

Keesokan harinya dimulailah hari yang panjang penuh horor.
Erina semakin sengit melihatku, ketika melihat Rara yang bahkan memberikan baju ganti milik Pak Fariz pagi itu.
Baju ganti dan peralatan mandi yang membuat Erina melengos dengan sengit di dekat dapur rumah.
Firasatku bahwa pagi ini akan ada banyak kejutan setelah berita KPK kemarin, sudah dimulai bahkan ketika jarum jam belum menunjukkan pukul delapan pagi.

Hanya berselang 15 menit setelah kami menyelesaikan sarapan pagi. Kedatangan rombongan petugas KPK pagi itu merupakan awal dari kejadian panjang berikutnya.

Petugas yang telah mengantongi ijin penggeledahan rumah, pasukan pers dan media TV yang menyertainya dan beberapa kardus besar yang dibawa petugas KPK pagi itu.
Tak ada perlawanan dari keluarga Rara. Semua berlangsung cepat tak lebih dari 2 jam. Tidak ada penyegelan rumah, karena memang rumah Kemang ini sudah atas nama Rara jauh sebelum dia menikah, hanya mobil Range Rover Evoque hadiah pernikahan dari Pak Fariz kepada Rara saja yang ikut disita KPK di samping beberapa boks yang dibawa keluar dari rumah Kemang.
Tak ada perlawanan, tak ada keributan, pasukan pers dan media TV hanya bisa sampai depan rumah saja meliput berita pagi itu. Entah wajahku masuk dalam sorotan kamera TV atau tidak, sungguh tidak kuperdulikan.
Wajah sendu dari Rara dan Mamanya saja yang membuatku pilu, jelas kaget, shock dan tak tahu lagi harus bagaimana. Kehadiranku sedikit banyak mungkin dapat membantu, hanya itu saja. Hanya membuat sedikit ketenangan meski aura kesedihan meruah di dalam rumah.

Belum ada 5 menit dari petugas KPK yang telah meninggalkan rumah, pasukan pers dan media TV yang bahkan belum atau tidak beranjak di depan rumah, serbuan panggilan telepon menerjang Rara dan Mama Rara. Masih sempat kulihat Erina meninggalkan rumah tanpa pamit.
Tubuh Rara sampai lemas tak sanggup lagi menerima telepon, Mamanya terduduk lemas di sofa ruang tamu, ternyata ada juga gunanya kehadiranku.

"Baik Pak, segera Bu Rara ke kantor," balasku ketika salah satu direksi menelepon Rara, menelepon mengabarkan petugas KPK datang ke kantor. Dan bertubi tubi telepon Rara berdering dan hanya aku yang diminta menjawab semua panggilan itu.

Di saat kondisi benar benar mulai kacau, justru aku melihat ketegaran Mama Rara yang malah ngotot ingin ikut kami ke kantor.
Kami bertiga dengan tergesa gesa berangkat ke kantor dengan BMW X4 milik Rara.

Hari itu adalah untuk pertama kali Lancer Evoku nongkrong di rumah Rara sampai berminggu minggu kemudian.
Tentu saja karyawan kantor terkejut melihatku membawa Rara dan mamanya ke kantor. Sudah tak kuperdulikan lagi kasak kusuk mengingat riuh dan tegangnya suasana kantor ketika petugas KPK datang.

Pasukan pers dan media TV dari rumah Kemang beriringan dengan kami, mengikuti sejak kami meninggalkan rumah, kemudian bergabung untuk meliput berita dengan rombongan pers yang menyertai petugas KPK yang datang ke kantor.

Sekali lagi, tak ada perlawanan, puluhan boks keluar dari kantor yang tentu lebih banyak dibandingkan saat penggeledahan di rumah Kemang.
Kali ini ruangan Pak Handoko di lantai 12 disegel petugas. Kali ini Rara dan mamanya tidak setegar seperti tadi di rumah. Lemas dan hampir pingsan kondisi mamanya Rara.
Rara sendiri sampai menggigil, dan dengan tegas aku menolak ketika Rara berkeinginan berbicara dalam konferensi pers di kantor.
Dengan sigap, dengan melihat kondisi di kantor, kondisi Rara dan mamanya, saat itu juga aku serta merta berpikiran cepat untuk segera mengungsikan mereka keluar kantor.

Konferensi pers tetap digelar tentu tanpa Rara apalagi Mama Rara. Kembali tidak kuperdulikan lagi protes dari karyawan. Rara hanya berbicara sedikit dengan beberapa direksi, dan aku memberanikan diri minta izin mengungsikan demi melihat kondisi mama Rara. Tak sampai satu jam sejak petugas KPK meninggalkan kantor. Diam diam aku juga membawa Rara dan mamanya keluar dari kantor.
Untuk mengelabuhi pasukan pers di luar kantor, terpaksa kami menggunakan mobil Innova dari tim marketing.

Atas permintaan mama Rara, aku memacu Innova menuju Puncak, mama Rara ingin menepi menenangkan diri dengan mengungsi ke villa keluarga di Cisarua. Sesaat di dalam mobil, sesaat di dalam keheningan menuju Puncak, kulihat Rara saling berpelukan dengan mamanya.

Aku yang ngotot meminta Rara menemani mamanya di kursi tengah Innova, kali ini aku menjadi sopir keluarga yang lagi ditimpa masalah besar. Kesedihan yang melanda Rara dan keluarganya, membuatku bertekat membantu sebisaku, apapun akan kulakukan asal bisa mengurangi kesedihan wanita yang masih aku cintai ini.
Tak lebih dan tak mengharapkan apapun, hanya itu yang sekiranya mampu kulakukan. Entah kalau nanti.
***

Rara menelepon rumah Kelapa Gading dan meminta sopir mamanya membawa mobil berikut pembantu rumah menyusul ke Cisarua. Menjelang sore, kami sampai di villa yang tak berapa lama kemudian Nissan Elgrand putih yang dibawa sopir dari Kelapa Gading sampai juga ke villa.
Tak tanggung tanggung dengan membawa 2 orang pembantu dan persis dalam kondisi pengungsian walau sementara.

Setelah Ashar, hawa teduh di Puncak perlahan mulai mengurangi ketegangan yang nyaris tanpa henti sejak pagi tadi. Jelas makan siang yang terlambat ketika pembantu menyajikan makan, aku sama sekali tidak merasakan lapar, hanya minum kopi dan rokok yang mulai menjadi kebiasaan burukku, yang menemaniku sambil memantau berita online maupun TV.

Rara mendekatiku di beranda belakang villa yang menghadap ke sungai. Sungguh villa ini sangat tepat menjadi tempat menenangkan diri.

"Mas Adit...kenapa nggak ikut makan?"

Dengan lembut Rara menyentuh bahuku.

"Nggak lapar kok, dan kayaknya susah menelan makanan dalam kondisi seperti ini,"
"Makasih banyak Mas...,"

Wajah Rara yang sendu dengan pandangan lembut itu.

"Mamamu gimana?"

Aku mengalihkan pembicaraan dan dari pandangan mata Rara yang benar benar dapat membuatku runtuh jika terus menerus seperti itu.

"Habis sholat tadi sudah agak tenang dan sekarang istirahat di kamar,"

Diam sejenak dan aku hanya menunduk sambil sekilas melihat berita online yang masih terpampang di layar hp.
Kalau tadi serbuan gundah penuh ketegangan sejak pagi menimpa Rara, sesaat itu juga, serangan horor menimpaku. Dering dari nada panggilan telepon tiba tiba membuatku terhenyak.

"Bosssss...nok ndi (dimana) sampeyan?"

Serbuan pertama dari telepon Yanto mandorku di Cibubur.

"Cepetan mreneo, iki onok uwong uwong koyo preman mekso cah cah gak oleh kerjo...!"
---(Cepetan kesini, ini ada sekumpulan orang kayak preman memaksa tukang tukang nggak boleh bekerja)

Telepon pertama itu saja sudah bukan lagi bentuk suara tetapi sudah merupakan teriakan Yanto di seberang telepon.
Dan mulailah masalah perlahan menimpaku. Yanto bercerita sambil berteriak bahwa tukang tukangnya hampir ribut dengan orang orang yang datang mendadak ke proyek Cibubur. Aku sampai menenangkan Yanto yang hampir tersulut emosinya, beruntung masih bisa dikendalikan.

Hampir 20 menit aku berbicara dengan Yanto di telepon yang terpaksa kuaktifkan speaker phone atas permintaan Rara.
Beruntung sekali satpam proyek dapat meredakan situasi, beruntung petugas polisi yang menjadi back up pelindung di proyek segera datang kemudian.

Aku bernapas lega, Rara memegang erat tanganku sambil menyodorkan gelas air putih. Belum 5 menit dan wajah merahku belum luruh, telepon kedua nyaring berdentang nada panggil suaranya.

"Bosssss gawat tenan, tukange Tukino dikeroyok neng ngarepan (di depan) proyek!" teriak Mandor Bambang di telepon. Aku sampai berdiri mendadak mendengar telepon penuh kepanikan dari Mandor Bambang di sektor Jagakarsa.

"Lha keneng opo Mbang...?"
---(Lha kena apa...Bambang?)

Kepanikan Mandor Bambang terasa benar langsung menjalariku.

Aku sampai tergagap mendengar cerita salah satu tukangku dikeroyok sampai bonyok dipukuli di depan proyek Jagakarsa oleh sekumpulan orang.

"Saiki gowonen neng rumah sakit sik cedak, awas hapemu ojo ngasi mati, aku saiki arep mrono Mbang!"
---(Sekarang bawa segera ke rumah sakit terdekat, awas hapemu jangan sampai mati, aku segera ke situ Bambang)

Yang teringat hanya kebiasaan Mandor Bambang yang hp nya sering nggak aktif, entah mati beneran atau kebiasaan sengaja mematikan hp karena sering ditagih tukang.
Aku dengan ringkas saja menceritakan kondisi yang barusan dikabarkan mandor mandorku kepada Rara. Rasa panikku mulai meruah, bolak balik aku menelpon Yanto dan Bambang sambil duduk, mendadak berdiri dan kadang duduk kembali.

"Mass...jangan panik,"

Ucap Rara sambil duduk persis di depanku, tangannya kembali memegang erat tanganku.
Dan serangan berlanjut dari sektor dalam kota, kali ini berturutan proyek Taman Mini dan Lebak Bulus dengan kondisi mirip. Ada sekelompok orang yang memakai atribut kelompok tertentu dan ada yang tanpa atribut, mendatangi proyek dan meminta tukang tukangku berhenti bekerja.

Aku jelas meradang, ini kondisi yang mulai gawat, dan tak keliru lagi sebagai imbas dari kasus yang menimpa papa Rara. Dengan persetujuan Rara, menimbang semua hal yang mulai memanas, langsung kembali kutelepon Yanto.

"Yan...saiki kowe geser ndok Kemang yo, cepet!"
---(Yan...sekarang kamu geser ke Kemang ya, cepetan)

Perintahku kepada Yanto sambil kuceritakan kejadian di Taman Mini dan Lebak Bulus barusan. Tentang kondisi tukang Bambang yang dikeroyok orang sampai bonyok, Mandor Yanto malahan sudah mendapat kabar yang lebih cepat karena Bambang merupakan tetangga Yanto di kampung.

"Ndok Kemang kon ngopo wae Bos...?"
---(Ke Kemang ngapain saja Bos)
"Wis rasah takon wae, cepetan neng daleme Bu Rara, cepet ya, jogo malem pokoke,"
---(Udah nggak usah tanya, cepetan ke rumah Bu Rara, cepet ya, untuk jaga malam pokoknya).
"Paklikmu Ngadimin kon geser ndok Kelapa Gading,"
---(Pamanmu Ngadimin segera geser ke Kelapa Gading)

Perintahku kembali kepada Yanto, melihat pamannya Ngadimin yang berangasan dan berpotensi rusuh, aku langsung teringat dan lebih baik segera digeser keluar proyek.

"Lha ngopo meneh neng Kelapa Gading Bos...?"
---(Lha ngapain lagi ke Kelapa Gading...Bos)
"Kon amek wit kambil (disuruh memetik kelapa), wis to, gek ndang neng daleme Pak Han (sudahlah segera ke rumah Pak Handoko)!"

Ujarku gusar di telepon.

"Oke siaap, ehhh Bos, Lik Ngatiman karo anakke sing neng Sentul pengin melok, lha mung tura turu wae neng Sentul je!"
---(Oke siap, ehh Bos, Lik Ngatiman dan anaknya di Sentul ingin ikut, soalnya kerjaan cuman tidur aja di Sentul)

Kalau ada di dekatku, si Yanto templuk ini sudah pasti kulempar semen.

"Wis rasah, malah penak to turu wae tak bayar,"
---(Nggak usah, malah enak kan tidur saja dibayar)

Langsung kututup telepon segera.

"Raraaa, maaf, aku harus ke proyek sekarang," ucapku sambil buru buru beranjak.
"Aku ikut Mas..."
"Aduuuh, ngapain Rara, kamu disini saja menemani Mamamu,"

Tanganku segera ditarik Rara.

"Masss..."

Wajah yang penuh harap itu dan aku yang jelas hanya bisa menggeleng kepala.

"Rara merasa tenang jika di dekat Mas Adit..."

Uhh wajah sendu itu, dan perlahan luruh, perlahan Rara memelukku.
Aku hanya bisa mendesah, entah apa yang dapat kulakukan dan harus bagaimana lagi, jelas saat ini cukup berbahaya jika Rara ikut denganku ke proyek.
Jelas dan semakin jelas aku tidak berdaya dengan pelukan Rara ini, semakin tak berdaya ketika melihat Mama Rara yang ada di balik jendela kaca dengan wajah sendu melihat kami berpelukan di beranda belakang villa.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER