Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 18 Februari 2022

Bukan Cinta Semalam #7

Cerita Bersambung

Untuk sesaat saja aku hanya diam, entah karena menikmati pelukan Rara atau tidak tahu lagi harus bagaimana, di saat yang sama mama Rara melihat kami dari balik jendela kaca.
Terpaksa aku berbisik lirih di dekat telinga Rara.

"Raraaaa, mamamu sedang melihat kita...sekarang,"

Perlahan aku menghela badannya namun pelukan itu malah semakin erat.

"Biarin...Rara yang ingin meluk kok...!"
"Hadeeeeh..." desahku lagi dan lagi.
Aku nggak tahu bagaimana caranya Rara pamit sama mamanya, aku jelas menggeleng kepala ketika melihat mamanya melirikku kembali saat Rara minta ijin ingin ikut denganku. Dan aku hanya bisa menunduk ketika Rara dengan sumringah dan senyum cerah itu, yang jelas pertanda mamanya mengijinkan ikut denganku.

"Kamu tadi ijin pamit alasannya apa?"
"Ke Kemang ambil baju ganti...," enteng sekali jawabannya.
"Trus..."
"Udah...itu aja,"

Senyum kocak itu mengingatkanku duluuuu, suatu waktu di Jogja.

"Udah ya...Mas nggak usah protes...ini malah mama suruh bawain salad buah karena Mas belum makan...!"
"Uhhh..."

Lagi dan lagi.
Candanya, tawanya, kesedihannya hilang sesaat ketika kami di dalam mobil menuju Jakarta.
Suap demi suap habis juga salad buah yang dengan telaten Rara menyuapiku, antara senang dan meringis tentu saja sambil menyetir Innova.
***

"Ngalor rodo ngulon sithik Bos, ngko ono dalan rodo mlengseng kae njuk ngiwo langsung mbelok nengen yo,"
---(Utara agak ke Barat dikit Bos, nanti ada jalan mbelok agak turunan itu terus ke kiri langsung ambil belok ke kanan)

Suatu petunjuk arah yang khas anak Gunungkidul ketika aku menanyakan lokasi Puskesmas Jagakarsa, petunjuk arah yang dijamin bikin puyeng siapapun.
Mandor Bambang memberi tahu dimana tukang yang bonyok sehabis dikeroyok, yang akhirnya dibawa ke puskesmas yang tidak terlalu jauh dari proyek itu.

"Mas...Mas...brenti bentar di depan toko buah itu," ucap Rara sambil menunjuk toko buah. Beruntung di belakang tidak ada mobil atau motor karena jelas aku langsung mengerem meski tidak mendadak sekali.

Aku hanya geleng geleng kepala ketika Rara keluar mobil dan kembali ke mobil lagi dengan menenteng tas besar berisi aneka buah segar.

"Diuuh kayak mau menengok pasien rawat inap saja," batinku dan senyum penuh semangat Rara yang kembali seakan ingin meruntuhkan hatiku.

Mandor Bambang dan tukang Tukino sampai bengong melihat kedatanganku dan Rara. Tukino yang wajahnya bengap karena dipukuli, jelas sampai menitikkan air mata begitu Rara menyerahkan tas berisi buah segar, hal yang mungkin tidak pernah disangka oleh seorang tukang proyek sekalipun.

Bambang yang terbengong bengong sampai berkali kali mengucapkan terima kasih kepada Rara. Harus diakui kecantikan Rara sudah terkenal di seantero proyek perumahan. Apalagi putri Bos Besar perusahaan. Aku hanya kembali meringis ketika melangkah ke kasir dan merogoh dompet untuk membayar biaya pengobatan.

Kasir puskesmas memberitahu bahwa biaya sudah dibayar lunas. Aku jelas langsung melirik Rara yang sedang berbicara dengan mandor Bambang, kulihat senyum manis merekah menggoda yang duluuuu sekali tak pernah kulupakan. Kedipan matanya jelas pertanda telah mendahuluiku membayar biaya di kasir. Entah kapan aku jelas kecolongan namun segera kubalas senyum sebagai tanda terima kasihku.

Sementara ini kondisi proyek Jagakarsa menurut Bambang sudah mereda setelah polisi datang dan gerombolan orang tak dikenal yang mengeroyok Tukino meninggalkan proyek. Aku memutuskan besok pagi saja menemui polisi. Melihat waktu semakin malam, tak mungkin aku pergi ketiga tempat sekaligus, Cibubur, Taman Mini dan Lebak Bulus. Mandor Yanto yang sudah ada di rumah Rara di Kemang mengabarkan kalau tukang sudah kembali ke kontrakan, tidak ada keributan lagi.

Aku terpaksa menelepon Pak Rifki agar membantu melihat proyek di area Taman Mini, karena waktu yang semakin larut malam, kuputuskan geser ke Lebak Bulus saja yang tidak terlalu jauh. Adanya Rara jelas nggak memungkinkan diriku berlarut larut malam.

Ucapan terima kasih Bambang masih berlanjut kala Rara menyerahkan amplop kepada Tukino, kami bergegas menuju proyek Lebak Bulus.

"Makasih Raraa...," ucapku di dalam mobil ketika menuju Lebak Bulus.

Rara hanya tersenyum sambil terus memandangiku sepanjang jalan keluar dari Puskesmas Jagakarsa.

"Perhatian Mas pada tukang tukang sungguh luar biasa," ucap lembut Rara.
"Mereka seperti keluargaku...Rara, sudah 5 tahunan ini kami bersama baik susah maupun senang,"

Aku terkadang sering kaget dengan perubahan mendadak suasana hati Rara, beberapa hari kemarin terlihat kesedihan yang mendalam, namun seakan lenyap sejak turun dari Puncak tadi sore. Senyumnya, manjanya, candanya meruah seperti duluuuu.

"Mas...setel musik ya...,"

Rara segera memencet tombol on di LCD head unit mobil Kijang Innova.
Suara serak serak khas Bryan Adams langsung membuat kami terdiam. Lagu itu, suara itu dan memori itu, sungguh membuatku terkesiap, lurus memandang ke depan dalam diam.

Straight From the Heart
(Bryan Adams)

I could start dreamin' but it never ends
As long as you're gone we may as well pretend
I've been dreamin'
Straight from the heart

You say it's easy but who's to say
That we'd be able to keep it this way
But it's easier
Coming straight from the heart

Give it to me straight from the heart
Tell me we can make another start
You know I'll never go
As long as I know
It's comin' straight from the heart

I see you on the street some other time
And all our words would just fall out of line
While we're dreamin'
Straight from the heart

Oh give it to me straight from the heart
Tell me we can make one more start
You know I'll never go
As long as I know
It's coming straight from the heart, oh

Don't ever leave my darling
Whoa oh straight from the heart
Tell me…

Tak sanggup lagi aku mendengar isak lirih Rara. Segera kupencet layar touch screen LCD, kupindah menjadi channel radio, volume dari tombol di kemudi aku setel sampai nyaris tak terdengar.

"Maaf Mas Adit...,"
"Ahhh Raraaa...," panjang desahanku kali ini.
"Si Bryan selalu menemani Rara kalau kunjungan dengan anak anak marketing..."

Aku hanya mendesah dengan pandangan kosong ketika mobil sampai di perempatan Fatmawati.
Lagu itu merupakan lagu favorit kami, selalu menemani kami di Yaris putih Rara, selama kami di Jogja, duluuu.
Lagu itu pula yang aku putar sejam kemudian setelah pesawat Rara lepas landas dari Adi Sucipto.
Sejam yang aku ingat betul, satu jam persis sejak telepon pertamaku dan sms pertamaku, yang tidak pernah mendapat balasan Rara, duluuuu, dan ribuan pesan yang seolah hilang ditelan waktu, duluuu, seolah Rara lenyap ditelan bumi.
***

Kondisi Lebak Bulus juga sudah mereda, koordinasi satpam proyek dengan polisi sangat membantu. Mandor Muin menceritakan yang hampir mirip kejadiannya dengan Jagakarsa dan Cibubur.
Aku jelas heran, siapa orang orang ini yang seolah serentak berdatangan di proyek proyek kantor. Aku segera memerintahkan semua mandor malam itu untuk waspada dan jangan sekali sekali membuat keributan balasan.
Aku kembali ke mobil di parkiran depan marketing galery proyek. Melihat Rara tertidur pulas di mobil, tak sampai hati aku membangunkannya. Perlahan aku meninggalkan proyek, waktu sudah jelang jam 11 malam.

"Rara nggak mau pulang ke Kemang..." ucap Rara pelan dengan mata yang masih terpejam.
"Kalau kembali ke Puncak terlalu jauh Raraaa..."
"Nggak mauuuu..."
"Lha terus..."
"Ke rumah Mas Adit..."
"Haduuuuuh, Rara...sayaaang...,"

Sampai keceplosan saking nggak tahu lagi harus bagaimana.

"Kasihan Pak RT kalau begadang lagi...,"
"Pokoknya nggak mau ke Kemang...,"

Kulirik Rara sekilas meski matanya masih terpejam namun jelas bibir itu menyungging senyum tipis. Uhhh..
***

"Yan...mlayuo (larilah) neng pinggir kali, cepet...penting biangeeet,"

Terpaksa kutelepon Yanto setelah melihat Rara pulas. Yanto jelas uring uringan karena hampir tengah malam kusuruh ke rumahku, aku jelas nggak mungkin merepotkan Pak RT lagi.

"Hadiuuuuuh Bos, kon ngopo maning..." suara Yanto geregetan.
"Cepetan...pompa banyuku (airku) modyaaar (mati)...iki tak gawakke Mc D wis...!"

Tak kuperdulikan lagi omelan sumpah serapah Yanto, aku yakin Mc Donald sudah cukup membuat si pipi templuk itu melek.
Aku jelas mendesah bin geregetan ketika sampai rumah, entah darimana atau entah disengaja Rara, dengan atau dalam manjanya, seperti duluuu.

"Rara mau digendong...,"

Wajah pualam yang masih mengantuk itu, masih dengan mata terpejam itu, entah dibuat buat atau beneran, namun senyum itu jelas bercanda ketika aku membuka pintu samping Innova.
Terpaksa sambil lirak lirik melihat sekeliling rumah yang tidak ada gerangan orang lewat, aku "terpaksa" menggendong Rara sampai ke kamarku.
Ingin sekali kupithes hidung mungil itu, namun urung melihat Rara benar benar pulas ketika aku menyelimutinya. Pulas dengan senyuman tak sampai 2 menit.

Mandor Yanto sampai ke rumahku tak berbilang 30 menit kemudian. Bantal di kursi sofa langsung melayang menimpukku ketika Yanto tahu dan melihat Rara tidur di kamarku. Mengkal beneran karena aku mengerjainya. Seperti dugaanku, 2 potong dada ayam Mc Donald langsung membuat si pipi templuk khusuk dengan lahap dan sangat serius layaknya kebiasaan Yanto kalau makan makanan yang paling disukainya itu.

"Nek aku wis tak tubruk tak kekepi mbak Rara kuwi bos...!"
---(Kalau saya sudah tak tubruk tak pelukin mbak Rara itu bos...) ucap Yanto sambil berkecap kecap menikmati dada ayam.
"Husssh...bojone uwong (istri orang) je..."
"Biasane mbiyen aku mbok kongkon kongkon tuku krupuk neng prapatan paris kek, tuku sambel neng wonosari kek..."
---(biasanya dulu aku disuruh suruh beli krupuk ke perempatan Parangtritis kek, beli sambal ke wonosari kek...)

Aku tertawa terbahak bahak sambil menahan kelu perih ketika Yanto mengingatkan duluuu di Jogja.
Dan kami tertawa terbahak bahak kembali, penuh guyonan dan lupa tidur sampai menjelang subuh. Sehabis subuh kami berdua bablas tertidur malang melintang di sofa. Benar benar bablas sampai jam 10 pagi.
Roti bakar, telur ceplok dan teh hangat yang tentu saja sudah dingin tersaji dengan menawan di meja makan. Rara hanya meninggalkan sarapan dan sepucuk pesan di meja makan. Aku jelas tidak tahu kapan Rara meninggalkan rumahku. Aku masih melihat kunci mobil Innova tak bergeser di meja depan TV, dan sepucuk pesan itu.

"Mas...Rara ke kantor mendadak, segera nyusul penting..."
***

Aku terpaksa berhenti di pinggir jalan di depan kantor ketika melihat di depan lobby kantor sudah ramai dengan segerombolan orang. Aku semakin terkejut setelah mendengar Yanto menceritakan segerombolan orang itulah yang kemarin menyerbu Cibubur. Aku sampai menyuruh Yanto melihat lagi dengan jelas orang orang itu, hanya untuk memastikan tentu saja.

"Bener Bos, gak kleru wis, uwong uwong kuwi sik wingi nggruduk Cibubur,"
---(Bener Bos, gak salah lagi sudah, orang orang itu yang kemarin menyerbu Cibubur)--- ucap Yanto yang terlihat ada kepanikan.
"Telponen Bambang, Muin, Tugino, Ngadimin lan sebarakke, cepetan kon mabur mrene...!"
---(Telepon segera Bambang, Muin, Tugino, Ngadimin dan teman temannya, cepetan suruh terbang ke sini...!)

Aku bergegas menyelinap ke samping menuju pintu basement setelah memberi perintah lanjutan ke Yanto dan uang secukupnya untuk ongkos ojek atau taksi buat sekompi balatentara tukang.
Suasana hatiku mendadak muncul panik dan waspada, begitu lift sampai di lantai 4, langsung kutemui Pak Rifki yang jelas terpapar wajah panik juga.
Penjelasan singkat siapa orang orang itu dan informasi bahwa Papi ada di lantai direksi sudah cukup membuat kewaspadaanku meningkat. Apalagi sekarang Rara ada di lantai direksi, kata Pak Rifki tadi sempat melihat Rara menangis.

Aku tentu heran mendengar itu, Papi itu kan mertua Rara, ayah dari Pak Fariz suaminya. Dengan perasaan mulai tak menentu, aku bergegas naik lift menuju lantai 12.
Aku sadar sebenarnya siapalah diriku ini, namun kepanikan melihat segerombolan orang di bawah yang menurut Yanto kemarin menyerbu Cibubur.
Itu saja dan hanya itu yang sudah membuat pikiranku langsung tertuju kepada Rara.
Melihat seantero ruangan direksi di lantai 12 kosong, sudah membuat keherananku bertambah. Samar samar kudengar suara Rara. Ruangan Pak Handoko jelas masih tersegel oleh KPK.
Dengan dag dig dig aku melangkah pelan mendekati ruang meeting utama yang terdengar makin jelas suara Rara.

"Jadi ini maksud Papi selama ini..."
"Tenang Rara..."
"Jadi ini ya Pi, maksudnya dulu memaksa Rara menikah dengan Mas Fariz..."

Suara isak lirih Rara membuatku menahan nafas di dekat pintu ruangan meeting yang tidak tertutup sempurna.

"Dengarkan dulu Nak..."

Ini kali pertama aku mendengar suara mertua Rara dengan jelas.

"Maksud Papi ingin menguasai aset Papa kan, iya kan..."

Sudah terdengar jelas suara tangisan Rara.

"Rara...ini hanya mengamankan aset papamu dari kejaran KPK sayang...,"
"Enggak Pi...Mas Fariz yang mendesak ini, malam itu sebelum kejadian,"

Masih di antara tangisan Rara.
Suasana mendadak diam, nafasku semakin berat, tubuhku semakin menggigil menahan sebisa mungkin tidak ketahuan menguping dengar pembicaraan hebat itu.

"Oo yaaa, ini pesan Fariz kemarin, segera tinggalkan lelaki itu..."
"Siapa lelaki itu Pi..."
"Pacarmu dulu, Rara..."
"Apa hubungannya Pi..."

Tak ingin aku mendengar pembicaraan itu lagi, aku lemas melangkah gontai.

"Jadi namaku terseret seret juga akhirnya..." batinku kelu.

Lemas seluruh badanku, walau sekilas, aku sudah dapat sedikit memahami apa yang dirasakan Rara sekarang. Latar belakang pernikahan Rara, semua muanya, cerita Rara bukan omong kosong belaka. Uhhhh...
Aku menuruni tangga dengan sekujur badan lemas tak terkira. Kepalaku terasa berat, seketika pening melanda. Langkahku tertahan mendadak ketika mendengar suara di bawah, suara di tangga darurat di bawahku.

"Anak buah saya sudah bubar semalam Bu..."
"Kenapa nggak kamu tongkrongin semua proyek,"

Aku terkesiap serasa tersengat aliran listrik. Suara wanita itu, langkahku sangat pelan ketika menuruni tangga.

"Polisi langsung datang mengusir kami Bu, nggak mungkin kami bertahan..."
"Erinaaaaa..."

Entah siapa yang terkejut terlebih dahulu. Wajah Erina pias ketika melihatku turun tangga, aku jelas ternganga tak menduga sama sekali.

==========

"Erinaaa...!"

Mungkin sudah bukan ekspresi terkejut lagi melihat wajah pias Erina, dan sungguh tak karu karuan lagi diriku.
Baru saja dari lantai 12 secara tak sengaja aku mendengarkan pembicaraan Rara dan papi mertuanya, sekarang melihat kenyataan yang tak pernah kubayangkan sama sekali.

Lelaki yang tadi berbicara dengan Erina, perlahan beringsut pergi sambil memandangku setajam silet. Aku sudah nggak perduli lagi dengan lelaki itu. Perlahan aku menuruni tangga sampai di bordes tangga, Erina yang tak menduga akan kehadiranku, hanya mundur perlahan sampai ke pojok mepet dinding, hanya terdiam dengan mata berkilat kilat.
Jarak antara kami hanya tak lebih dari semeter saja.

"Benarkah yang kudengar tadi...Erina?"
"Semoga kupingku salah pendengaran,"
"Mengapa Erina...,"

Ketiga kalimatku hanya dan masih membuatnya diam, kalau tadi berkilat matanya, sekarang mulai luruh bergenang dan mengembang air mata.

"Mas Aditya nggak pernah memberi Erina kesempatan...!"
"Pertanyaanku bukan itu neng...?"
"Iya...Om Fariz yang meminta!"

Jawaban yang sudah kuduga namun tak menyangka Erina yang melakukannya.

"Hampir saja nyawa tukangku terancam Erina, apakah itu sudah kamu bayangkan?"
"Tukangku hanya mengais rejeki dari lembar demi lembar uang tiap hari, apa maksudmu neng...?"
"Mas Dit..."

Makin berderai air mata Erina.

"Baiklah...jika kehadiranku membuat kamu tidak nyaman, maafkan, namun kenapa harus tukangku yang jadi korban?"
"Mengapa Mas Dit nggak mau mengerti juga sih, apa harus diperjelas lagi?"

Mulai ada balasan sengit.

"Ahh sudahlah, lupakan saja, tapi tolong bangeet, besok temuin tukangku di Jagakarsa, kasihan..." ucapanku langsung dipotong dengan sengit.
"Erina mencintai Mas Aditya..., Mas ini pura pura bodohkah?"
"Aku tahu...aku mendengar itu di sini juga tempatnya beberapa bulan lalu,"
"Apa maksudnya Mas!"
"Beberapa bulan lalu kamu dengan Pak Fariz di tangga ini juga...maaf,"

Aku hanya menunduk melihat Erina terhenyak.

"Cinta tidak seharusnya saling menyakiti Erinaaa!"

Aku hanya mendesah, ini ucapanku yang paripurna, seolah menonjok diriku sendiri.

"Maafkan Erina...Mas!"

Tangis berderai itu justru semakin membuatku kelu, aku harus undur diri sekarang atau semakin tidak menentu.

"Mas Aditya...,"

Tangis Erina mengiringi langkahku yang semakin berat, menuruni tangga seolah lebih berat daripada mendaki tangga saat itu.
***

Aku menitipkan kunci mobil Innova milik tim marketing, mandor Yanto yang menyerahkan kunci mobil itu dan dengan mantap telah menyiagakan sekompi pasukan tukang di luar pagar kantor.
Namun Yanto mendadak bengong melihat respon diriku.

"Kenopo Bos...?"
"Ayo mulih (pulang) wae, iki wis dadi urusane keluarga Rara..."
"Lhooo...gak sido perang to iki...!"
---(lha gak jadi perang to ini)

Yanto masih terbengong bengong.
***

Dan hari hari panjang melelahkan yang sungguh menekan batinku, sudah terpampang nyata di depan mata.
Harmoni di kantor dan suasana perusahaan perlahan namun pasti, oleng diterjang badai.
Badai yang bertubi tubi, badai yang memaksaku masih tetap bertahan dan berangkat ke kantor. Sekarang malahan Rara yang mulai jarang terlihat di kantor.
Masa persidangan kasus Pak Handoko dan Pak Fariz dimulai, aku hanya mendengar dari Pak Rifki yang sering ikut persidangan tipikor. Kasusnya jelas kelas berat, hampir nggak ada celah untuk menghindar dari jeratan hukum. Setahuku kasus OTT KPK hampir mustahil untuk lolos.

Rara hanya beberapa kali mengikuti sidang, itu saja yang kudengar dari Pak Rifki, karena sejak itu aku sungguh sangat disibukkan dengan urusan lapangan, urusan ratusan tukangku yang mulai kelimpungan menahan badai.
Hampir setiap hari dari segala penjuru lokasi proyek, sejumlah kecil keluhan tukang, keterlambatan progress, dan perlahan namun pasti kapal mulai bocor diterjang badai yang tak kunjung henti.
Mulai terdengar protes ringan, mulai terdengar keluhan terlambat pembayaran dan mulai kelimpungannya Divisi Proyek mengatur segala hal.

Aku tidak tahu persis apakah ada pergantian manajemen kantor atau tidak, namun mulai sulit dan berlikunya kala mengurus yang namanya "tagihan".
Berbagai meeting proyek di kantor yang dahulu begitu antusias suasananya, kini terlihat wajah wajah pesimis, beberapa wajah baru di kantor malah membuat warna semakin kelabu.

Aku masih sering bertemu Rara, entah kenapa Rara seolah menyembunyikan sesuatu khususnya masalah di kantor. Aku jelas menjaga semua hal agar nantinya semakin tidak terkendali, salah satunya karena semakin dekatnya Rara denganku.
Tak pernah sedikitpun aku menyinggung masalah hukum papanya dan suaminya, begitu juga Rara hampir tak pernah menceritakan masalah hukum dan persidangannya.

Ketika segala penjuru lokasi proyek sudah masuk dalam inti pusaran badai, barulah aku mulai tersengat.

[Boss...kepiye iki, bocah bocah wis ra jenak mbut gawe]
---(Bos...gimana ini, tukang tukang sudah nggak betah bekerja lagi)

WA Mandor Yanto di minggu terakhir menjelang pembayaran progress tiap bulan.

[Boss...ketelku wis meh ngglimpang ikiiiih]
---(Boss...sudah mulai nggak makan ini)

WA dari Mandor Muin Lebak Bulus yang kutahu persis hampir tidak pernah mengeluh selama ini.

[Boss...Tukino pengin mulih wae, iki wis rodo kepenak sakploke mulih ko puskesmas]
---(Boss...Tukang Tukino ingin pulang saja, sudah lumayan enak semenjak pulang dari puskesmas itu)

WA Mandor Bambang.

Dan mulai hari itu, aku menjadi akrab dengan yang namanya "protes dan keluhan".
Sekarang hampir seminggu sekali rumahku selalu menjadi ajang "meeting" para mandor, dari sekedar curhat masalah proyek sampai gegap gempitanya para mandor menekanku agar membereskan segala tagihan mereka.
Aku paham betul kapasitas dan kemampuan mereka dalam membayari tukang tukang di lapangan. Namun jika dan ketika sudah mulai terdengar aset pribadi mandor tergadai, dan hal ini hampir tidak pernah kudengar semenjak mereka bergabung bekerja bersamaku.
Sinyal gawat darurat sudah langsung berbunyi tanpa aba aba.
***

[Bosss...minggu iki sebagian tukang tak kon mulih ndisik]
---(Bosss...minggu ini sebagian tukang tak suruh pulang dulu)

Serangan menyesakkan di pagi sehabis subuh, yang di mulai dari mandor area Serpong.
Sampai menjelang siang harinya, entah para mandor kompak atau bagaimana, yang jelas pengurangan prajurit tempur proyek dimulai.
Jelas aku mulai kelimpungan, jelas alarm bahaya sudah berdentang sekeras lonceng gereja.

Pak Rifki sebagai manajer utama di proyek mulai kehabisan kata kata, bagian keuangan sudah perlahan bungkam sampai benar benar tutup mulut ketika di akhir minggu persis di akhir bulan, pembayaran progress mandor menjadi setengah dari tagihan.
Sudah jelas dan sudah tentu gelombang amarah balatentara tukang tak dapat kuhindarkan lagi.

"Rara, please...ceritakan apa yang terjadi di kantor!" protesku yang pertama ketika kami di malam itu baru saja duduk di resto Kemang langganan kami.

Terpaksa sore itu aku "menculik" Rara yang sengaja kutunggu di parkiran basement kantor.
Tak pernah aku membayangkan Rara langsung menangis, tak pernah sekalipun Rara langsung menangis seperti itu.

"Besok saja Mas Adit langsung ke finance, Rara nggak mau merusak suasana makan malam ini,"
"Plisssss Rara..."

Kalau Rara hanya menggeleng kepala dengan lemah, berarti Rara benar benar tidak mau membahas lagi, itu kebiasaannya duluuu sewaktu di Jogja.
Uhhh kalau sudah begini, tak mampu lagi aku mendesaknya.
Aku hanya mengeluh memendam batin, memendam keingintahuanku ada masalah apa di kantor.

Aku juga tak ingin merusak suasana hatinya malam itu, namun bertubi tubi serangan WA dari mandor malam itu tak mungkin lagi aku hanya bertahan saja.

[Iki jenenge pilih kasih Bos, mosok Mandor liyo bayarane full]
---(ini namanya pilih kasih Bos, masak mandor lain (yang bukan mandorku) bayarannya full)
[Kantor rep bangkrut po piye Bos...?]
[Bos genahe piye iki]
---(Bos maunya gimana ini)

Serbuan protes keras para mandor malam itu membulatkan tekatku untuk besok paginya.
Memaksaku harus membuka front peperangan dengan bagian finance. Aku tak peduli lagi, perut dan martabat tukang adalah taruhannya dan segalanya.
***

Protes kerasku pagi itu benar benar bertemu dengan tembok, semua mendadak bungkam. Bahkan Bu Lily manajer finance yang selama ini ramah dan sangat baik hati serta tidak sombong, mendadak kecut dan sinis berkerut.

"Keputusan bukan dari saya Pak Adityaaaa...,"

Jelas jawaban Bu Lily yang semakin membuat geram diriku.

"Lalu keputusan siapa Bu...?"

Aku hanya mendesah tiada tara kala Bu Lily menunjuk jari ke atas, tanda lantai 12 tempat dimana keputusan berasal.
Ketika aku bergegas beringsut keluar ruangan dengan geram, mendadak kaku terdiam kala Bu Lily lirih mengucapkannya, lirih saja, namun sudah bagai sengatan ribuan tawon bagiku.

"Sekarang Bu Erina yang mengatur finance Pak!"
***

Teleponku, WA ku, entah sudah berapa kali tak mendapat jawaban dari Erina.
Setiap hari terpaksa aku ke kantor memburu Erina, namun batang hidung bahkan bayangannya sekalipun tidak pernah nampak, sama persis dengan ruangan lantai 12 yang hampir kosong setiap hari.

Gelombang protes dari mandor yang hampir setiap saat, membuat hp ku terpaksa kumatikan, bukan untuk menghindar namun hanya cara bagiku agar bisa berpikir waras. Berhari hari tak kutemukan solusi, ini sudah merupakan limit dan garis batas dimana antara gila dan waras hampir tiada bedanya bagiku.

Malam itu badanku sudah seakan hampir tidak bertulang, sudah beberapa hari ini aku sampai lupa makanan terakhir yang masuk mulut. Abang tukang bubur kacang ijo hanya tersenyum ketika melihat diriku lemas memasuki warung.

Pak RT yang kebetulan sedang nongkrong di warung hanya menggodaku kenapa nggak mengajak begadang lagi. Sindiran beliau hanya membuatku kelu saja. Bubur kacang ijo kesukaanku malam itu tak sampai separuh yang masuk mulut. Bahkan Lancer Evoku kutinggalkan begitu saja di depan warung.
Aku pulang jalan kaki sambil badan limbung dan gontai melangkah. Entah apalagi berita keesokan harinya, nalar warasku seakan hanya besok saja bisa bertahan.
Aku hanya ternganga ketika sampai di rumah, lampu rumah dalam kondisi terang benderang, lebih ternganga lagi ketika kulihat formasi lengkap mandor mandorku ada di dalam rumah.

Yanto templuk yang beberapa hari ini terlihat bengis, bahkan sedang khusyuk dan lahap menggerogoti paha ayam Mc Donald.
Sambutan yang tidak pernah kusangka, para mandor yang beberapa hari ini seolah barisan debt collector bagiku, mendadak penuh senyum ceria menyambutku. Aku lebih ternganga lagi ketika sosok wanita ayu di dapur sedang menyiapkan aneka rupa makanan kecil, kopi dan dengan lemah lembut penuh senyum di dapurku.
Drama apalagi ini, yang sedang live di rumahku.

"Mau kopi atau teh Mas, kubuatkan roti bakar ya...!"

Uhhh senyum itu, wajah ceria Rara itu sungguh dan sungguuuh.
Satu persatu mandorku tiba tiba pamit pulang bahkan sama sekali tidak ada kata kata atau sekedar obrolan.
Aku jelas sudah lupa lagi kalau mandorku beberapa hari ini telah membuatku menjadi most wanted person bagi ratusan tukang tukangnya.
Yanto templuk terpaksa kutarik dengan keras, namun menghindar dengan jenaka.

"Tenang Bos, aku paham kok, tak tunggu neng ngarepan omah (di depan rumah) wis..."

Ini kali pertama aku tidak mengerti sama sekali candaan Yanto.
***

Aku hanya tergugu, bening air mataku sudah meleleh tanpa dapat kutahan lagi.
Rara memelukku dengan lembut ketika dan saat kami tinggal berdua saja di dalam rumah.
Cerita Rara justru bukan semakin melegakanku namun menambah sesak nafasku.
Sesuai amanat Pak Handoko yang beberapa hari sebelumnya dikunjungi Rara di rumah tahanan KPK. Amanat itu bukan melegakanku malahan semakin menyesakkan dadaku. Pak Handoko meminta Rara menalangi tagihan mandorku dan memintaku untuk bertahan sampai dengan keputusan hukum dan keputusan final masalah kantor Pak Handoko. Aku sampai tidak dapat berkata kata lagi.

Aku sudah lupa kapan terakhir kalinya aku menangis, malam itu aku menangis di pelukan Rara.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER