Cerita Bersambung
Aku semakin luruh kala Rara mendekap kepalaku dengan erat, perlahan air mataku meleleh seolah melawan sekuat tenaga sesak di dadaku.
Rara mengusap kepalaku dengan tangan lembutnya, mencium pipiku, sentuhan pipi yang kulihat juga mulai runtuh bening air matanya.
Sejenak kami seolah terbuai dengan suasana dan larut dalam elegi kesedihan. Aku jelas tak ingin terlihat rapuh, perlahan dan sangat perlahan aku melepaskan dekapan Rara. Aku hanya memandang sendu wajah ayu yang persis di depanku. Wajah yang benar benar sangat kurindukan. Rara mengusap pelan lelehan air mata di pipiku dengan jari lentiknya.
"Maaaf Rara..." hanya itu yang sanggup terucap dari bibirku yang kelu."Mas Adit lupa ya, berbagi beban akan meringankan segalanya,"
senyum itu begitu mempesona membetot hampir seluruh isi hatiku.
"Tapi tak seharusnya kamu berkorban untukku Rara...!"
"Kan Rara hanya diminta Papa...!"
"Gimana Pak Handoko..."
Aku berusaha sekuat tenaga mengalihkan perhatian dari wajah yang begitu dekat itu, bibirnya, pipinya, senyumnya sudah merupakan magnet yang sungguh sukar sekali aku hindari.
Rara menceritakan ketika menjenguk papanya di rutan KPK, menceritakan papanya sudah pasrah karena tidak ada celah sedikitpun untuk menghindari jeratan hukum. Aku hanya mendesah, segala keruwetanku kemarin tak kunjung reda dan hampir paripurna kesedihanku mendengar cerita Rara.
"Apa rencanamu selanjutnya Rara?"
"Apa rencana Mas Adit sekarang?"
Hampir berbarengan ucapan kami. Aku mempersilahkan Rara lebih dulu.
"Papa meminta menjual saham dan menyerahkan urusan kantor kepada Papi mertua,"
"Trus...!" desakku.
"Besok malam saja sekalian Mas Adit mendengarkan, Rara belum siap malam ini,"
"Apa hubungannya denganku Rara?"
Dahiku mengernyit tanda tidak mengerti sama sekali.
"Besok saja ya Mas Adit sayaang...plisss,"
Ahhh senyum jenaka itu justru membuatku tak menentu.
Aku jelas sudah mempersiapkan beberapa saat lalu segala rencanaku, beberapa saat yang lalu ketika Rara memberitahu bahwa Pak Handoko meminta Rara menalangi tagihan mandor mandorku.
Cukup sudah berbagai kejutan yang hampir membuat denyut jantungku nyaris berhenti ini. Mulai besok setelah pembayaran invoice mandor, akan kuperintahkan separo balatentara tukangku untuk pulang kampung, sisanya menunggu respon manajemen kantor tentu saja.
***
Perdebatan sengit keesokan harinya terjadi dalam meeting proyek yang mendadak, aku sampai setengah memaksa meminta dengan sangat.
Alot sekali manajemen baru memproses sisa tagihanku yang semalam aku rencanakan dengan Rara. Jelas tak mungkin aku membebankan semua tagihan ditalangi Rara. Aku tidak tahu apakah Rara sudah membuat keputusan itu secara diam diam atau sudah diketahui manajemen.
Yang jelas setelah meeting selesai, segera kukirim pesan darurat persiapan balatentara pulang kampung. Dari 6 area proyek yang menjadi tanggung jawabku, aku hanya menyisakan pasukan tempur tak lebih dari 30 an orang di setiap area. Tentu dengan sedikit ancaman area proyek akan kukosongkan jika dan hanya jika pekerjaan tidak menentu
***
Malam itu aku menuju lobby FX residence seperti pesan Rara di WA. Menyusuri lantai dasar mall dan menuju area privat milik penghuni residence di Jalan Sudirman itu. Perasaanku tiba tiba tidak menentu, aku jelas merasakan entah halusinasi atau tidak, perasaanku sejak keluar dari mobil di parkiran basement, seolah ada orang yang mengikutiku, dari ekor mata maupun sudut mata, bayangan orang yang mengikutiku itu samar dan makin jelas ketika aku menaiki ekskalator.
Seorang lelaki memakai topi samar dan makin jelas. Bayangan orang itu mendadak lenyap ketika aku memasuki lobby residence dan melihat Rara duduk di sudut lobby. Aku tersenyum dan mendekati Rara, mendadak senyumku hilang melihat Rara ternyata duduk berhadap hadapan dengan seorang wanita. Dari pintu lobby memang wanita itu tadi terhalang ornamen partisi dinding sekat lobby.
"Maaaf...tak seharusnya saya disini,"
Aku jelas bersiap balik badan ketika melihat wanita itu, wanita yang merupakan "teman" Pak Fariz.
Tak mungkin aku mengganggu urusan keluarga Rara dengan suaminya, urusan dengan wanita itu yang membuatku terhenyak sekali lagi dengan kehamilannya yang semakin besar.
"Duduk sini Mas..." senyum Rara jelas jauh dari aura kesedihan malam itu.
"Sudah kenalkan dengan Mbak Ranny ini...?" renyah sekali ucapan Rara. Aku hanya mengangguk pelan.
Dan aku benar benar menjadi pendengar saja segala pembicaraan mereka, aku semakin tidak mengerti dengan Rara, mengapa urusan ini sampai harus melibatkanku?
"Maafkan saya...Mbak Rara!" ucap sendu wanita itu.
"Saya segera mengurus perceraian saya dengan Mas Fariz, saya tak ingin anak Mbak Ranny tidak mempunyai status setelah lahir nanti"
Ringan, datar dan masih ada senyum Rara yang bahkan belum pernah kulihat sampai saat malam itu.
"Raraaa..."
"Mbak Raraaa..."
"Besok saja ya Mas Adit sayaang...plisss,"
Ahhh senyum jenaka itu justru membuatku tak menentu.
Aku jelas sudah mempersiapkan beberapa saat lalu segala rencanaku, beberapa saat yang lalu ketika Rara memberitahu bahwa Pak Handoko meminta Rara menalangi tagihan mandor mandorku.
Cukup sudah berbagai kejutan yang hampir membuat denyut jantungku nyaris berhenti ini. Mulai besok setelah pembayaran invoice mandor, akan kuperintahkan separo balatentara tukangku untuk pulang kampung, sisanya menunggu respon manajemen kantor tentu saja.
***
Perdebatan sengit keesokan harinya terjadi dalam meeting proyek yang mendadak, aku sampai setengah memaksa meminta dengan sangat.
Alot sekali manajemen baru memproses sisa tagihanku yang semalam aku rencanakan dengan Rara. Jelas tak mungkin aku membebankan semua tagihan ditalangi Rara. Aku tidak tahu apakah Rara sudah membuat keputusan itu secara diam diam atau sudah diketahui manajemen.
Yang jelas setelah meeting selesai, segera kukirim pesan darurat persiapan balatentara pulang kampung. Dari 6 area proyek yang menjadi tanggung jawabku, aku hanya menyisakan pasukan tempur tak lebih dari 30 an orang di setiap area. Tentu dengan sedikit ancaman area proyek akan kukosongkan jika dan hanya jika pekerjaan tidak menentu
***
Malam itu aku menuju lobby FX residence seperti pesan Rara di WA. Menyusuri lantai dasar mall dan menuju area privat milik penghuni residence di Jalan Sudirman itu. Perasaanku tiba tiba tidak menentu, aku jelas merasakan entah halusinasi atau tidak, perasaanku sejak keluar dari mobil di parkiran basement, seolah ada orang yang mengikutiku, dari ekor mata maupun sudut mata, bayangan orang yang mengikutiku itu samar dan makin jelas ketika aku menaiki ekskalator.
Seorang lelaki memakai topi samar dan makin jelas. Bayangan orang itu mendadak lenyap ketika aku memasuki lobby residence dan melihat Rara duduk di sudut lobby. Aku tersenyum dan mendekati Rara, mendadak senyumku hilang melihat Rara ternyata duduk berhadap hadapan dengan seorang wanita. Dari pintu lobby memang wanita itu tadi terhalang ornamen partisi dinding sekat lobby.
"Maaaf...tak seharusnya saya disini,"
Aku jelas bersiap balik badan ketika melihat wanita itu, wanita yang merupakan "teman" Pak Fariz.
Tak mungkin aku mengganggu urusan keluarga Rara dengan suaminya, urusan dengan wanita itu yang membuatku terhenyak sekali lagi dengan kehamilannya yang semakin besar.
"Duduk sini Mas..." senyum Rara jelas jauh dari aura kesedihan malam itu.
"Sudah kenalkan dengan Mbak Ranny ini...?" renyah sekali ucapan Rara. Aku hanya mengangguk pelan.
Dan aku benar benar menjadi pendengar saja segala pembicaraan mereka, aku semakin tidak mengerti dengan Rara, mengapa urusan ini sampai harus melibatkanku?
"Maafkan saya...Mbak Rara!" ucap sendu wanita itu.
"Saya segera mengurus perceraian saya dengan Mas Fariz, saya tak ingin anak Mbak Ranny tidak mempunyai status setelah lahir nanti"
Ringan, datar dan masih ada senyum Rara yang bahkan belum pernah kulihat sampai saat malam itu.
"Raraaa..."
"Mbak Raraaa..."
Entah siapa yang lebih terkejut dengan ucapan Rara itu, aku hanya melongo dan wanita itu jelas terhenyak.
"Rara sudah memikirkan matang, dengan persetujuan mama dan papa, tentu saja setelah proses hukum selesai,"
Tuntas sudah malam itu, dan jauh dari tuntas segala pertanyaanku kepada Rara kenapa melibatkanku sejauh ini dalam masalah keluarganya.
"Pokoknya Rara nggak mau bahas lagi, titik... sekarang Rara lapar dan Mas Adit harus menemani Rara makan,"
Ini sudah merupakan perintah daripada sebuah permintaan setelah wanita itu pergi. Aku jelas makin bengong, tak tahu lagi harus berkata kata apalagi.
***
Sejak ucapan Rara tentang perceraian malam itu, sejak malam itu, justru segala puyeng pusing kepala melanda diriku. Di sudut hati kecilku yang paling dalam jelas menguar sebuah harapan, namun makin jauh panggang dari api, hanya sesaat saja pikiran bimbang itu.
Tak berbilang 20 menitan setelah berpisah dan berpamitan dengan Rara di FX, sebuah harapan yang tadi sempat menguar muncul di hatiku, mendadak resah dan naik menjadi level waspada.
Bayangan lelaki bertopi yang tadi sempat hilang mendadak samar muncul kembali seolah mengikuti diriku, dari sejak keluar parkiran FX bahkan sampai aku parkir di dekat warung burjo di dekat rumahku.
Makin jelas dan makin waspada. Aku sampai meminta khusus kepada abang penjual burjo untuk melihat situasi di luar warung. Hatiku semakin tidak menentu, cerita abang burjo melihat orang bertopi dari kejauhan semakin membuat resah diriku, tak salah lagi kalau aku diikuti orang.
Berminggu minggu kemudian, setiap aku bertemu dengan Rara yang semakin membuatku tambah puyeng dengan segala kedekatan kami, segala kemanjaan Rara yang seolah bangkit dari kubur setelah bertahun lalu mati hilang lenyap ditelan bumi.
Setiap bertemu Rara, bayangan orang yang mengikuti terus menerus itu, jelas sekali meski berganti ganti profil, dari bertopi, dan aneka rupa wajah yang aku yakin orang yang sama dengan malam di FX itu.
Aku diam diam memerintahkan Yanto untuk tetap berjaga di rumah Rara, rumah Kelapa Gading dan rumahku sendiri. Perintahku 2 hari lalu benar benar keputusanku yang tepat yang hanya mengikuti naluriku saja.
[Boss, omahe Bu Rara lagi wae ntes diteror uwong, diuncali kotoran neng ngarep pager]
(Boss, rumah Bu Rara baru saja di teror orang, dilempari kotoran di depan pagar)
Aku jelas terkaget kaget dan makin kaget kala tak sampai 5 menit kemudian info yang sama dari rumah Kelapa Gading.
Malam itu juga aku "culik" Rara diam diam sewaktu menuju parkir basement kantor. Kuperintahkan Yanto membawa Rara dengan naik motor menuju Kemang. Aku membawa mobil Rara menuju FX, sudah kuduga mobil Rara diikuti begitu keluar dari kantor. Wajah ketakutan Rara jelas membuatku pilu. Tak kuperdulikan lagi permintaannya untuk ikut denganku di mobilnya.
Yanto segera kuminta secepatnya membawa Rara pulang ke Kemang yang segera nanti aku menyusul secepatnya.
Begitu sampai parkiran FX, secepatnya aku menyelinap keluar dan bablas naik ojek menuju Kemang, kali ini aku yakin sekali tidak diikuti orang.
Rara dan mamanya hanya bertangisan pilu begitu aku mengantar Rara ke Kelapa Gading. Aku jelaskan singkat saja bahwa selama ini Rara dan "aku" diikuti orang, teror lemparan kotoran di depan rumah sudah bukti yang membuat Rara ketakutan.
Malam itu kembali lagi, seolah aksi dalam film film yang pernah kutonton, Rara dan mamanya aku ungsikan ke Pakubuwono, salah satu apartemen keluarga yang jarang dihuni.
Ahh malam yang mencekam dan melelahkan. Level waspada sudah dalam tanda alert merah.
Kecurigaanku semakin jelas, setiap aku bertemu dengan Rara, selalu diikuti. Jelas bayangan buruk langsung menghantui kami. Bayangan bahwa kami disadap atau telepon kami di hack langsung meruah karena setiap kami bertemu di mana saja, selalu ada orang mengikuti kami. Terpaksa nomer hp Rara harus diganti begitu pula dengan nomer hpku.
Baiklah mari kita bermain main, sudah kepalang tanggung.
***
Malam itu segera kami susun langkah jebakan, aku mengirim pesan WA ke Rara yang nomor hpnya sekarang dipegang Yanto.
Aku berpesan mengajak Rara makan malam di Citos, mari kita bermain main, jelas campur aduk antara meringis, ngilu, resah dan ketakutan tentu saja.
Di parkiran Citos kami menunggu dengan jantung berdebar debar. Jelas sejak keluar dari rumah Kemang, begitu keluar jalan komplek dan melaju di Kemang Raya, mobil kami sudah diikuti orang. Yanto sudah kuminta stand by di Citos dengan 2 orang tukangnya.
Ketika orang yang selalu mengikutiku sejak di FX muncul di dekat atm BCA, aku perintahkan Yanto mengikuti juga dari samping mushola. Jelas terlihat orang itu yang kali ini memakai topi lagi. Rara berdebar debar di sampingku di dalam mobil. Tangannya memegang erat tanganku, tangan yang begitu dingin. Semakin erat ketika aku beringsut keluar mobil setelah menelpon Yanto.
"Yan, cegaten wong sik nganggo topi biru kuwi, sik lagi telepon kuwi uwonge,"
(Yan, tolong cegat orang yang bertopi biru itu, yang lagi telepon itu)
Aku segera keluar mobil namun dicegah Rara.
Kali ini aku meyakinkan Rara dengan segala yang mampu kulakukan.
Tanpa babibu, secepat itu juga aku mendekati orang bertopi biru, tak salah lagi orang itu. Yanto dan 2 orang tukangnya juga mendekat dengan sigap memepet orang itu sampai ujung gang kecil menuju toilet.
Orang itu begitu terperangah melihat kami, telepon segera kurebut dan Yanto memepet orang itu sampai terpojok di dinding.
"Pokoknya awasi terus jangan sampai lolos, halo...halooo,"
Aku menggigil mendengar suara wanita di telepon yang barusan kurebut dari orang itu.
"Erinaaaa...benarkah ini semua?"
"Masss...Aa..ditt..."
Aku hanya tertunduk kelu sekelunya mendengar namaku disebut Erina.
"Ahhh mengapa menjadi begini?"
Sudah nggak karuan rasa di hatiku.
Aku tersenyum melirik ke mobil di mana Rara melihatku, aku tersenyum dengan hati seolah teriris iris.
==========
Aku memandang Rara sambil tersenyum, mandor Yanto dan 2 orang tukangnya menggiring orang itu menjauhi keramaian. Aku hanya memberi tanda saja supaya jangan sampai terjadi keributan.
Perlahan aku melangkah kembali mendekati mobil Rara. Kejadian tadi, suara Erina di telepon tadi, benar benar sulit buatku untuk mempercayainya. Senyumku kepada Rara terasa sembilu mengiris kalbu.
Tiba tiba hp ku di kantong celana bergetar. Sekilas kulihat nama Erina di layar hp, segera aku mengignore panggilan itu dan kembali bergegas menuju mobil.
Di dekat pintu mobil kembali hp ku bergetar lagi, aku mengambil hp untuk segera kumatikan saja.
Sesaat di layar hp terpampang nama yang hampir hampir 2 bulan ini seolah aku lupa.
"Injih Bu, ngapunten sanget dereng..."
(Iya Ibu, mohon maaf sekali belum...)
Terdengar suara lembut Ibuku nun jauh di kampung.
"Neng ndi kowe Le...po wis lali..."
---(Dimana kamu Nak...apa sudah lupa)
"Meniko tasih wonten damelan Bu...!"
---(Ini masih di tempat kerjaan Bu...)
"Baliyo sedelo yo Le...Ibu kangen nemen je, Bapakmu nembe gerah, ket wingi bola bali nakoni kowe...!"
---(Pulanglah sebentar ya Nak...Ibu kangen sekali je, Ayahmu baru sakit, dari kemarin bolak balik nanyain kamu...)
"Injih Bu, dalem segera wangsul...,"
---(Iya Bu, saya segera pulang...)
Jawabanku tadi sesaat membuatku menggigil, Ibu selalu tahu entah darimana dengan segala kondisiku, kalau ini firasat dari Ibu, kalau ini suatu jalan untuk mengusir resah dan jalan keluar segala masalah. Antara bimbang dan perih, aku menatap nanar layar hp sambil melihat Rara yang membuka kaca dan memanggil manggilku.
Aku menceritakan sekilas saja kepada Rara, saat ini untuk sementara waktu nama Erina tidak kusinggung dulu sebelum besok pagi, besok pagi aku harus mencari dan meminta penjelasan Erina sejelas jelasnya. Aku hanya berpesan kepada Rara untuk tetap waspada, sementara tetap tinggal di Pakubuwono saja bersama mamanya.
***
Tak kuperdulikan lagi ketika beberapa staf finance menghalangiku di depan ruangan Erina. Rupanya sekarang Erina naik pangkat menjadi Finance Manager kantor.
"Erina...maaf saya ingin bicara sebentar,"
Aku langsung masuk saja tanpa permisi ke ruangan Erina. Erina yang sedang berbicara dengan 2 orang staf finance sedikit terkejut.
Setelah 2 orang staf meninggalkan ruangannya, aku segera mendesak tanpa basa basi lagi.
"Apa maksudmu sebenarnya...Erina?"
"Erina nggak paham kenapa tiba tiba Mas Aditya seperti ini," ucapnya seolah masih menyembunyikan sesuatu.
"Nggak usah pura pura lagi Erina, semalam...,"
"Iya...semalam Erina yang minta atas permintaan om Fariz,"
Aku tidak lagi terkejut meski sedikit terhenyak.
"Baiklah Erina, kalo hanya karena seorang Aditya Hermawan saja, yang kalian anggap sebagai sumber masalah,"
"Mulai sekarang tolong dengan segala hormat, jangan ganggu lagi tantemu Rara dan tukang tukangku..."
Ini dan kali ini untuk yang terakhir kali, sejak semalam, sejak telepon dari Ibu, aku harus mengakhirinya hari ini.
"Apa maksud Mas Aditya..." ucap Erina yang jelas bukan pura pura lagi.
"Aku mundur Erina, aku akan segera pergi..." seolah tuntas segala resah yang tadi membuat badanku kaku.
"Maksud Massss..."
Tatapan Erina jelas kosong.
"Secepatnya aku pulang ke Jogja, tolong dengan sangat jangan ganggu lagi tukang tukangku, aku titip mereka..."
"Pergi seterusnya atau..."
"Jangan tanya kapan aku kembali, jika kehadiranku menjadi sumber masalahmu dan pamanmu...!"
"Maafkan aku jika selama ini selalu membuatmu tidak nyaman, sekali lagi tolong jangan ganggu Rara lagi, sudah banyak masalah dirinya...,"
"Rara...Rara...Rara, Erina begitu benci saat Mas Aditya menyebut tante...!"
Uhhh ini yang sampai saat ini aku tidak pernah mengerti wanita kalau sudah ada air mata.
"Please Erina, mari kita selesaikan hari ini, aku mundur dari kantor..."
"Mas Aditya benar benar tidak pernah mengerti sedikitpun dengan Erina," mulai terisak lirih.
"Justru karena aku mengerti, makanya aku lebih baik pergi Erina...maaf sebelumnya,"
Aku segera pamit sebelum semuanya menjadi tidak menentu, cukup sudah dan selesai sudah, semoga langkah dan keputusanku ini tidak keliru, meski ada rasa perih menusuk.
***
Aku melangkah gontai meninggalkan ruangan Erina, sebenarnya aku ingin segera berpamitan mengundurkan diri secara langsung kepada Pak Rifki, atasanku langsung dalam hierarki proyek, namun Pak Rifki baru datang ke kantor infonya sehabis makan siang.
Terpaksa aku menunggu saja di kantin. Hal yang membuat diriku makin bulat keputusan untuk pergi justru kudengar sewaktu di toilet. Sungguh pilu mendengar kasak kusuk, samar samar gosip di toilet, terdengar namaku disebut berkali kali.
Entah siapa yang membuat gosip di kantor bahwa diriku mantan pacar Rara. Tak pernah sebelumnya aku mendengar berbagai gosip ini. Jelas kasak kusuk itu semakin membuat mantap diriku pergi meninggalkan kantor. Secepatnya sebelum benar benar terlambat.
***
Hal lain yang membuatku perih adalah bagaimana cara dan kapan ngomong untuk berpamitan dengan Rara. Kedekatan kami beberapa bulan ini saja sudah membuatku kelu, kata kata pamit yang sebelumnya jauh sekali dari anganku.
Meski pahit dan meski tidak seharusnya aku rasakan, aku sadar sesadarnya, aku bukan siapa siapa lagi bagi Rara. Saat ini atau tidak sama sekali, firasat buruk jelas membuatku tidak bisa memejamkan mata tadi malam, telepon Ibu seolah membuka jalan, biarlah esok hari dan biarlah waktu nanti yang akan menjawab segalanya.
Aku hanya mengirim pesan singkat saja kepada Pak Rifki, permohonan maaf, permintaan menitipkan tukang tukangku dan pamit mundur dari proyek kantor. Aku tak ingin berlama lama lagi di kantor. Semakin lama membuat rasa pedih pilu itu semakin menekan batin.
Aku meninggalkan kantor seolah jenderal kalah perang, dari spion samping Lancer Evoku, aku melirik gerbang megah kantor yang selama hampir 2 tahun ini menjadi tempat aku bekerja, meski menyesakkan, harus dan aku harus pergi.
Terbayang momen kedatanganku di kantor saat terdampar pertama kali di Jakarta karena Rara, kali ini aku meninggalkan kantor juga karena Rara.
***
Rencana tinggalah rencana, dari rencana secepatnya pulang ke Jogja menjadi molor hampir seminggu. Kalau teringat Rara, aku jelas tak mempunyai keberanian untuk berpamitan segera, entah kenapa. Aku hanya berkeliling proyek, ngobrol dengan mandor dan membesarkan hati mereka bahwa tidak usah khawatir dengan kepergianku.
Berkali kali Pak Rifki meneleponku dan meminta dengan sangat agar aku membatalkan keputusan mundur dari proyek. Bahkan Pak Rifki sampai menemuiku di Cibubur karena beberapa hari ini aku tidak pulang ke rumah.
Namun keputusanku sudah bulat, aku hanya menitipkan mandor dan tukang tukangku saja kepada Pak Rifki.
"Apakah ini karena Bu Rara?" tanya Pak Rifki ketika sudah menyerah memintaku untuk membatalkan keputusan mundur.
Aku hanya tersenyum saja, tak mungkin aku menceritakan semuanya kepada Pak Rifki. Biarlah menjadi rahasia kecilku saja.
Entah berapa kali Rara dan Erina menelponku sore itu, puluhan pesan WA sudah seperti serbuan yang membuatku bertambah tak karuan. Aku heran kenapa WA Rara dan Erina seolah berbarengan dan susul menyusul.
[MASSSS....DIMANA]
WA Rara setelah berkali kali WA nya belum kubalas.
[Mas Dit, pleaseee Erina pengin ketemu, bolak balik Mas nggak ada di rumah dan WA tak pernah dibalas]
[Angkat teleponnya Mas...pleaseeeee]
WA Erina lagi.
[KENAPA MAS RESIGN, KALO TIDAK DIBALAS, RARA SUSUL KE RUMAH SEKARANG]
Aku begitu perih dan kelu saat memasuki Pakubuwono Residence, Rara dengan semringah menyambutku, meski cemberut sesaat ketika protes WA dan teleponnya tidak dibalas balas. Jelas wajah ayu penuh aura senyum bahagia itu nyata sekali terpancar malam itu, hal yang semakin membuatku ngilu.
Mamanya juga menyambutku dengan hangat, hidangan makan malam sudah tersaji lengkap di meja makan.
Jelas celoteh riang dan canda tawa Rara tak lepas dari perhatian mamanya. Jelas mamanya melirik diriku setiap Rara begitu memperhatikanku. Kalau tidak malam ini kapan lagi, semakin lama batinku tertekan dan sesak nafasku begitu menusuk.
Aku hanya terdiam saat kami berdua duduk di dekat balkon sambil menikmati panorama malam Jakarta dari ketinggian.
"Mas..."
"Rara...aku pamit besok pulang ke Jogja,"
Entah darimana dan aku sendiri tidak sadar sama sekali, meluncur begitu saja ucapan pamit yang langsung membuat wajah ayu Rara terkesiap.
Rencanaku dan alasanku pulang ke Jogja karena ditelepon Ibu yang mengabarkan ayahku sakit, mendadak buyar bukan alang kepalang begitu melihat Rara langsung terisak seketika itu juga. Uhhhhh.
"Kenapa Mas, kenapa di saat Rara membutuhkan Mas Aditya,"
Mulai berderai air mata itu, tangan kananku sampai erat sekali dipegang Rara.
Aku jelas kembali terdiam, kembali menahan nafas dan kembali mengumpulkan segenap kekuatan.
"Mengapa Mas resign tidak memberi tahu Rara, mengapa Mas...?"
"Semua karena Rara ya...iya kan Mas...!"
Pandangan sendu dan air mata Rara begitu menekan batinku.
Perlahan aku menceritakan semuanya setelah tertatih tatih mengumpulkan kekuatan. Dimulai dari kejadian di FX sampai seminggu lalu di Citos, cerita di tangga kantor ketika aku tanpa sengaja mendengar pembicaraan Pak Fariz dan Erina.
Cerita teror di rumah Rara dan rumah mamanya dan terakhir ketika dengan kelu dan merupakan batas kekuataan terakhir dariku.
Erinalah yang membuat tukangku sampai masuk puskesmas malam itu akibat dikeroyok orang, perintah Erina atas permintaan Pak Fariz.
Nafasku sudah ngap ngapan dan semakin sedih melihat Rara dengan pandangan kosong penuh air mata. Jelas terkejut dan jelas memilukan ketika Rara dengan tangis yang semakin keras, menggeleng geleng kepala sambil memukuliku.
"Kenapa Mas Adit baru menceritakan sekarang...kenapa Maassssss,"
Tangis itu begitu merontokkan sendi sendi tubuhku.
"Maaaf Raraaa..."
Ketika dan ketika terakhir kali aku menjelaskan alasan pulang ke Jogja karena telepon Ibuku, jelas sudah terlambat, Rara tidak menerima sedikitpun alasan itu.
"Mas Adit hanya ingin meninggalkan Rara kan, saat Rara membutuhkan Mas, saat Rara...!"
Segera kutarik lembut dan kupeluk Rara dengan erat, hanya itu yang saat ini sanggup aku lakukan, sudah tidak ada energi lagi untuk berucap sepatah katapun.
Sekali lagi, perlahan meleleh bening air mataku, semakin luruh saat aku melirik melihat wajah sendu mama Rara yang melihat kami, entah sejak kapan mama Rara melihat kami.
"Rara...kamu harus kuat, aku pergi demi dirimu, lebih baik aku mundur daripada kamu tersakiti,"
Rara hanya menggeleng lemah dan menghentak sesaat melepas pelukanku.
"Mas Adit tega sekali pergi meninggalkan Rara sendirian,"
"Tidak Rara, ini jalan satu satunya,"
"Bukan itu Mas, Rara yakin Mas Adit pergi tidak kembali lagi kan!"
"Rara...aku pergi kembali ke titik awal lagi...telepon Ibu kemarin, hanya itu!"
Jelas bayangan mama Rara membuat diriku tidak nyaman, Rara masih istri Pak Fariz, siapalah diriku ini.
Perlahan aku bangkit, tidak ingin diriku tambah kelu dan tak ingin diriku semakin runtuh.
"Maaaf Rara, aku pamit ya..."
Sudah lemas tubuhku seakan melayang, seingatku baru kali ini aku menyeka air mataku sendiri.
"Teleponku masih bisa kamu hubungi Rara...entah kapan..."
Tak kuat lagi aku melanjutkan ucapan "akan kembali lagi".
Aku menunduk berpamitan kepada mama Rara yang masih melihat dari dekat pintu kamar, sekilas kulihat Rara hanya menunduk sambil terisak isak membiarkanku pergi melangkah keluar menuju pintu.
Saat ini benar benar aku kalah dalam peperangan, lunglai yang lebih menyakitkan daripada saat meninggalkan kantor seminggu lalu.
"Mas Adit..."
Rara tiba tiba memelukku dari belakang saat aku di dekat pintu, pelukan itu, eratnya dekapan itu, benar benar sudah menjebol bendungan yang tadi dengan sekuat tenaga aku bertahan, runtuh ambrol saat itu juga.
Dying Inside To Hold You
by Timmy Thomas
It's turning out just another day
I took a shower and I went on my way
I stopped there as usual
Had a coffee and pie
When I turned to leave
I couldn't believe my eyes
Standing there I didn't know what to say
Without one touch
We stood there face to face
And I was dying indside to hold you
I couldn't believe what I felt for you
Dying inside I was dying inside
But I couldn't bring myself to touch you
You said hello then u asked my name
I didn't know if I should go all the way
Inside I felt my life have really changed
I knew that it would never be the same
Standing there I didn't know what to say
First time looked away when I whispered your name
And I was dying indside to hold you
I couldn't believe what I felt for you
Dying inside I was dying inside
But I couldn't bring myself to touch you
I was dying indside to hold you
I couldn't believe what I felt for you
Dying inside I was dying inside
But I couldn't bring myself to touch you
One hello changed my life
I didn't believe in love at first sight
But you've shown me what is life
And I now I know my love (I know this love is right)
And I was dying indside to hold you
I couldn't believe what I felt for you
Dying inside I was dying inside
But I couldn't bring myself to touch you
I was dying indside to hold you
I couldn't believe what I felt for you
Dying inside I was dying inside
But I couldn't bring myself to touch you
Bersambung #9
Hal lain yang membuatku perih adalah bagaimana cara dan kapan ngomong untuk berpamitan dengan Rara. Kedekatan kami beberapa bulan ini saja sudah membuatku kelu, kata kata pamit yang sebelumnya jauh sekali dari anganku.
Meski pahit dan meski tidak seharusnya aku rasakan, aku sadar sesadarnya, aku bukan siapa siapa lagi bagi Rara. Saat ini atau tidak sama sekali, firasat buruk jelas membuatku tidak bisa memejamkan mata tadi malam, telepon Ibu seolah membuka jalan, biarlah esok hari dan biarlah waktu nanti yang akan menjawab segalanya.
Aku hanya mengirim pesan singkat saja kepada Pak Rifki, permohonan maaf, permintaan menitipkan tukang tukangku dan pamit mundur dari proyek kantor. Aku tak ingin berlama lama lagi di kantor. Semakin lama membuat rasa pedih pilu itu semakin menekan batin.
Aku meninggalkan kantor seolah jenderal kalah perang, dari spion samping Lancer Evoku, aku melirik gerbang megah kantor yang selama hampir 2 tahun ini menjadi tempat aku bekerja, meski menyesakkan, harus dan aku harus pergi.
Terbayang momen kedatanganku di kantor saat terdampar pertama kali di Jakarta karena Rara, kali ini aku meninggalkan kantor juga karena Rara.
***
Rencana tinggalah rencana, dari rencana secepatnya pulang ke Jogja menjadi molor hampir seminggu. Kalau teringat Rara, aku jelas tak mempunyai keberanian untuk berpamitan segera, entah kenapa. Aku hanya berkeliling proyek, ngobrol dengan mandor dan membesarkan hati mereka bahwa tidak usah khawatir dengan kepergianku.
Berkali kali Pak Rifki meneleponku dan meminta dengan sangat agar aku membatalkan keputusan mundur dari proyek. Bahkan Pak Rifki sampai menemuiku di Cibubur karena beberapa hari ini aku tidak pulang ke rumah.
Namun keputusanku sudah bulat, aku hanya menitipkan mandor dan tukang tukangku saja kepada Pak Rifki.
"Apakah ini karena Bu Rara?" tanya Pak Rifki ketika sudah menyerah memintaku untuk membatalkan keputusan mundur.
Aku hanya tersenyum saja, tak mungkin aku menceritakan semuanya kepada Pak Rifki. Biarlah menjadi rahasia kecilku saja.
Entah berapa kali Rara dan Erina menelponku sore itu, puluhan pesan WA sudah seperti serbuan yang membuatku bertambah tak karuan. Aku heran kenapa WA Rara dan Erina seolah berbarengan dan susul menyusul.
[MASSSS....DIMANA]
WA Rara setelah berkali kali WA nya belum kubalas.
[Mas Dit, pleaseee Erina pengin ketemu, bolak balik Mas nggak ada di rumah dan WA tak pernah dibalas]
[Angkat teleponnya Mas...pleaseeeee]
WA Erina lagi.
[KENAPA MAS RESIGN, KALO TIDAK DIBALAS, RARA SUSUL KE RUMAH SEKARANG]
Aku begitu perih dan kelu saat memasuki Pakubuwono Residence, Rara dengan semringah menyambutku, meski cemberut sesaat ketika protes WA dan teleponnya tidak dibalas balas. Jelas wajah ayu penuh aura senyum bahagia itu nyata sekali terpancar malam itu, hal yang semakin membuatku ngilu.
Mamanya juga menyambutku dengan hangat, hidangan makan malam sudah tersaji lengkap di meja makan.
Jelas celoteh riang dan canda tawa Rara tak lepas dari perhatian mamanya. Jelas mamanya melirik diriku setiap Rara begitu memperhatikanku. Kalau tidak malam ini kapan lagi, semakin lama batinku tertekan dan sesak nafasku begitu menusuk.
Aku hanya terdiam saat kami berdua duduk di dekat balkon sambil menikmati panorama malam Jakarta dari ketinggian.
"Mas..."
"Rara...aku pamit besok pulang ke Jogja,"
Entah darimana dan aku sendiri tidak sadar sama sekali, meluncur begitu saja ucapan pamit yang langsung membuat wajah ayu Rara terkesiap.
Rencanaku dan alasanku pulang ke Jogja karena ditelepon Ibu yang mengabarkan ayahku sakit, mendadak buyar bukan alang kepalang begitu melihat Rara langsung terisak seketika itu juga. Uhhhhh.
"Kenapa Mas, kenapa di saat Rara membutuhkan Mas Aditya,"
Mulai berderai air mata itu, tangan kananku sampai erat sekali dipegang Rara.
Aku jelas kembali terdiam, kembali menahan nafas dan kembali mengumpulkan segenap kekuatan.
"Mengapa Mas resign tidak memberi tahu Rara, mengapa Mas...?"
"Semua karena Rara ya...iya kan Mas...!"
Pandangan sendu dan air mata Rara begitu menekan batinku.
Perlahan aku menceritakan semuanya setelah tertatih tatih mengumpulkan kekuatan. Dimulai dari kejadian di FX sampai seminggu lalu di Citos, cerita di tangga kantor ketika aku tanpa sengaja mendengar pembicaraan Pak Fariz dan Erina.
Cerita teror di rumah Rara dan rumah mamanya dan terakhir ketika dengan kelu dan merupakan batas kekuataan terakhir dariku.
Erinalah yang membuat tukangku sampai masuk puskesmas malam itu akibat dikeroyok orang, perintah Erina atas permintaan Pak Fariz.
Nafasku sudah ngap ngapan dan semakin sedih melihat Rara dengan pandangan kosong penuh air mata. Jelas terkejut dan jelas memilukan ketika Rara dengan tangis yang semakin keras, menggeleng geleng kepala sambil memukuliku.
"Kenapa Mas Adit baru menceritakan sekarang...kenapa Maassssss,"
Tangis itu begitu merontokkan sendi sendi tubuhku.
"Maaaf Raraaa..."
Ketika dan ketika terakhir kali aku menjelaskan alasan pulang ke Jogja karena telepon Ibuku, jelas sudah terlambat, Rara tidak menerima sedikitpun alasan itu.
"Mas Adit hanya ingin meninggalkan Rara kan, saat Rara membutuhkan Mas, saat Rara...!"
Segera kutarik lembut dan kupeluk Rara dengan erat, hanya itu yang saat ini sanggup aku lakukan, sudah tidak ada energi lagi untuk berucap sepatah katapun.
Sekali lagi, perlahan meleleh bening air mataku, semakin luruh saat aku melirik melihat wajah sendu mama Rara yang melihat kami, entah sejak kapan mama Rara melihat kami.
"Rara...kamu harus kuat, aku pergi demi dirimu, lebih baik aku mundur daripada kamu tersakiti,"
Rara hanya menggeleng lemah dan menghentak sesaat melepas pelukanku.
"Mas Adit tega sekali pergi meninggalkan Rara sendirian,"
"Tidak Rara, ini jalan satu satunya,"
"Bukan itu Mas, Rara yakin Mas Adit pergi tidak kembali lagi kan!"
"Rara...aku pergi kembali ke titik awal lagi...telepon Ibu kemarin, hanya itu!"
Jelas bayangan mama Rara membuat diriku tidak nyaman, Rara masih istri Pak Fariz, siapalah diriku ini.
Perlahan aku bangkit, tidak ingin diriku tambah kelu dan tak ingin diriku semakin runtuh.
"Maaaf Rara, aku pamit ya..."
Sudah lemas tubuhku seakan melayang, seingatku baru kali ini aku menyeka air mataku sendiri.
"Teleponku masih bisa kamu hubungi Rara...entah kapan..."
Tak kuat lagi aku melanjutkan ucapan "akan kembali lagi".
Aku menunduk berpamitan kepada mama Rara yang masih melihat dari dekat pintu kamar, sekilas kulihat Rara hanya menunduk sambil terisak isak membiarkanku pergi melangkah keluar menuju pintu.
Saat ini benar benar aku kalah dalam peperangan, lunglai yang lebih menyakitkan daripada saat meninggalkan kantor seminggu lalu.
"Mas Adit..."
Rara tiba tiba memelukku dari belakang saat aku di dekat pintu, pelukan itu, eratnya dekapan itu, benar benar sudah menjebol bendungan yang tadi dengan sekuat tenaga aku bertahan, runtuh ambrol saat itu juga.
Dying Inside To Hold You
by Timmy Thomas
It's turning out just another day
I took a shower and I went on my way
I stopped there as usual
Had a coffee and pie
When I turned to leave
I couldn't believe my eyes
Standing there I didn't know what to say
Without one touch
We stood there face to face
And I was dying indside to hold you
I couldn't believe what I felt for you
Dying inside I was dying inside
But I couldn't bring myself to touch you
You said hello then u asked my name
I didn't know if I should go all the way
Inside I felt my life have really changed
I knew that it would never be the same
Standing there I didn't know what to say
First time looked away when I whispered your name
And I was dying indside to hold you
I couldn't believe what I felt for you
Dying inside I was dying inside
But I couldn't bring myself to touch you
I was dying indside to hold you
I couldn't believe what I felt for you
Dying inside I was dying inside
But I couldn't bring myself to touch you
One hello changed my life
I didn't believe in love at first sight
But you've shown me what is life
And I now I know my love (I know this love is right)
And I was dying indside to hold you
I couldn't believe what I felt for you
Dying inside I was dying inside
But I couldn't bring myself to touch you
I was dying indside to hold you
I couldn't believe what I felt for you
Dying inside I was dying inside
But I couldn't bring myself to touch you
Bersambung #9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel