Cerita Bersambung
"Halo Boooss, lagi neng ndi iki"
---(Halo Boooss, lagi dimana ini)
Suara renyah mandor Yanto yang sekarang menjadi Bos Mandor, meneleponku pagi itu.
"Tumben kowe nelpon Yan, tak kiro wis lali je,"
---(Tumben kamu telepon Yan, tak kira sudah lupa)
"Maklum sibuk, Boooss!"
Gelak tawa si Templuk yang sungguh membuatku kangen.
"Nggiayaaa..."
"Kapan njenengan balik Jakarta, tak traktir Mc Donald wis,"
"Lhaaa nek mung pupu pitik uakeeeh neng Jogja kene, uenaak pitik kampung mbangane Mc D"
---(Lhaa kalau cuman paha ayam banyak di Jogja sini, lebih enak ayam kampung daripada Mc D)
Aku nyengir sendiri dibalas tawa bergelak Yanto.
---(Halo Boooss, lagi dimana ini)
Suara renyah mandor Yanto yang sekarang menjadi Bos Mandor, meneleponku pagi itu.
"Tumben kowe nelpon Yan, tak kiro wis lali je,"
---(Tumben kamu telepon Yan, tak kira sudah lupa)
"Maklum sibuk, Boooss!"
Gelak tawa si Templuk yang sungguh membuatku kangen.
"Nggiayaaa..."
"Kapan njenengan balik Jakarta, tak traktir Mc Donald wis,"
"Lhaaa nek mung pupu pitik uakeeeh neng Jogja kene, uenaak pitik kampung mbangane Mc D"
---(Lhaa kalau cuman paha ayam banyak di Jogja sini, lebih enak ayam kampung daripada Mc D)
Aku nyengir sendiri dibalas tawa bergelak Yanto.
Hampir 10 bulan aku meninggalkan hingar bingar Jakarta, kembali ke kampung di Jogja.
Suatu masa 3 bulan sejak dari kepulanganku, sungguh suatu masa yang berat. Aku benar benar lunglai seolah tulang tulang tubuhku dilolosi satu per satu.
Bapak Ibu sampai heran melihat aku pulang dalam kondisi kuyu nirgairah dan semangat. Tentu saja tak mungkin aku menceritakan segalanya. Aku hanya ingin menata hidup dan menghindar dari hingar bingar rusuh belantara Jakarta.
Baru sehari menginjakkan kampung, telepon Rara malam itu dan hampir tiap malam setelahnya, sungguh membuatku ingin serasa terbang kembali ke Jakarta.
Keluh kesahnya, tangisnya dan segala ceritanya setiap hari menemani malam malamku yang semakin kelabu di kampung.
Puncaknya tak lebih berbilang waktu seminggu kemudian, aku terpaksa membentak Rara hanya demi menegakkan semangat hidupnya.
Sejak itu, sejak bentakanku itu, entah kenapa ada setitik noktah semangat Rara.
Aku tahu persis walau hanya merasakan dan hanya bisa mendengarkan saja suara Rara dari ujung telepon. Perlahan Rara menemukan semangat hidupnya kembali. Ancamanku tak akan menerima panggilan telepon darinya sungguh manjur bin mujarab, walau desah kelu Rara membuatku menangis dalam hati.
"Bos, saiki kantor wis lumayan ayem, proyek wis mulai lancar,"
Suara Yanto dari seberang telepon membuyarkan sedikit lamunanku.
"Kowe kudu kuat Yan, kudu iso njogo (harus bisa menjaga), manuto (taatlah) pada Pak Rifki sik wis memberimu kepercayaan" ucapku mengingatkan Yanto yang sekarang menggantikan posisiku di kantor.
Pak Rifkilah yang meminta saranku waktu itu. Meski tetap memintaku kembali ke Jakarta, tak urung menyerah juga Pak Rifki ketika aku menyodorkan Yanto untuk menggantikan posisiku.
"Siyaaap Boss, nek ora ono wigati soko njenengan ra bakalan aku dipercoyo Pak Rifki,"
---(Siap Boss, kalau nggak ada saran dan petunjuk Mas Adit, nggak bakal saya dipercaya Pak Rifki)
"Ehh entuk salam seko Bu Rara lho Bos, kae lagi keliling proyek, jiaaaan tambah ayuuuu reeek, rondo kempling sisan,"
---(Ehh dapat salam dari Bu Rara lho Bos, itu dia lagi keliling di proyek, jiaaan tambah cantik sekali reeekk, janda kembang lagi)
Tawa Yanto yang membuatku meringis walau hati ini sungguh berdesir desir.
"Yooo salam balik, salam manis gitu...,"
Jawaban standart yang jelas untuk mengurangi kegugupanku sesaat.
"Angger neng proyek, sik diomongke mesthi Mas Adit...Pak Aditya dulu itu...dan kuabeeeh entek golek kurang amek njenengan kabeh Bos,"
---(Kalau ke proyek, yang dibicarakan selalu Mas Adit, Pak Aditya dulu itu...dan semua tak ada habisnya tentang Bos Adit)
Waktu 3 bulan setelah putusan hukum resmi pengadilan tipikor, tuntas juga perceraian Rara dan Pak Fariz.
Waktu itu, malam itu dan malam yang tak pernah kulupakan, Rara meneleponku dengan tangis, tangis yang melegakan menurut Rara. Di antara kesedihan Rara dan mamanya atas putusan hukuman 6 tahun Pak Handoko dan 4 tahun hukuman Pak Fariz, malam itu terselip aura kebahagiaan Rara.
Kalau dulu begitu susahnya teleponku atau segala pesanku lewat hp yang tak pernah sekalipun mendapat jawaban Rara. Sejak kepulanganku ke Jogja sungguh berbalik seratus delapan puluh derajat, hampir setiap hari Rara meneleponku atau aku meneleponnya, sudah layak seperti minum obat sehari 3 kali.
Aku tak menampik suasana hangat mendesir desir dalam kalbuku ketika Rara mengabarkan tuntasnya perceraian dengan Pak Fariz. Perceraian yang damai tanpa gejolak.
Suatu masa 3 bulan sejak dari kepulanganku, sungguh suatu masa yang berat. Aku benar benar lunglai seolah tulang tulang tubuhku dilolosi satu per satu.
Bapak Ibu sampai heran melihat aku pulang dalam kondisi kuyu nirgairah dan semangat. Tentu saja tak mungkin aku menceritakan segalanya. Aku hanya ingin menata hidup dan menghindar dari hingar bingar rusuh belantara Jakarta.
Baru sehari menginjakkan kampung, telepon Rara malam itu dan hampir tiap malam setelahnya, sungguh membuatku ingin serasa terbang kembali ke Jakarta.
Keluh kesahnya, tangisnya dan segala ceritanya setiap hari menemani malam malamku yang semakin kelabu di kampung.
Puncaknya tak lebih berbilang waktu seminggu kemudian, aku terpaksa membentak Rara hanya demi menegakkan semangat hidupnya.
Sejak itu, sejak bentakanku itu, entah kenapa ada setitik noktah semangat Rara.
Aku tahu persis walau hanya merasakan dan hanya bisa mendengarkan saja suara Rara dari ujung telepon. Perlahan Rara menemukan semangat hidupnya kembali. Ancamanku tak akan menerima panggilan telepon darinya sungguh manjur bin mujarab, walau desah kelu Rara membuatku menangis dalam hati.
"Bos, saiki kantor wis lumayan ayem, proyek wis mulai lancar,"
Suara Yanto dari seberang telepon membuyarkan sedikit lamunanku.
"Kowe kudu kuat Yan, kudu iso njogo (harus bisa menjaga), manuto (taatlah) pada Pak Rifki sik wis memberimu kepercayaan" ucapku mengingatkan Yanto yang sekarang menggantikan posisiku di kantor.
Pak Rifkilah yang meminta saranku waktu itu. Meski tetap memintaku kembali ke Jakarta, tak urung menyerah juga Pak Rifki ketika aku menyodorkan Yanto untuk menggantikan posisiku.
"Siyaaap Boss, nek ora ono wigati soko njenengan ra bakalan aku dipercoyo Pak Rifki,"
---(Siap Boss, kalau nggak ada saran dan petunjuk Mas Adit, nggak bakal saya dipercaya Pak Rifki)
"Ehh entuk salam seko Bu Rara lho Bos, kae lagi keliling proyek, jiaaaan tambah ayuuuu reeek, rondo kempling sisan,"
---(Ehh dapat salam dari Bu Rara lho Bos, itu dia lagi keliling di proyek, jiaaan tambah cantik sekali reeekk, janda kembang lagi)
Tawa Yanto yang membuatku meringis walau hati ini sungguh berdesir desir.
"Yooo salam balik, salam manis gitu...,"
Jawaban standart yang jelas untuk mengurangi kegugupanku sesaat.
"Angger neng proyek, sik diomongke mesthi Mas Adit...Pak Aditya dulu itu...dan kuabeeeh entek golek kurang amek njenengan kabeh Bos,"
---(Kalau ke proyek, yang dibicarakan selalu Mas Adit, Pak Aditya dulu itu...dan semua tak ada habisnya tentang Bos Adit)
Waktu 3 bulan setelah putusan hukum resmi pengadilan tipikor, tuntas juga perceraian Rara dan Pak Fariz.
Waktu itu, malam itu dan malam yang tak pernah kulupakan, Rara meneleponku dengan tangis, tangis yang melegakan menurut Rara. Di antara kesedihan Rara dan mamanya atas putusan hukuman 6 tahun Pak Handoko dan 4 tahun hukuman Pak Fariz, malam itu terselip aura kebahagiaan Rara.
Kalau dulu begitu susahnya teleponku atau segala pesanku lewat hp yang tak pernah sekalipun mendapat jawaban Rara. Sejak kepulanganku ke Jogja sungguh berbalik seratus delapan puluh derajat, hampir setiap hari Rara meneleponku atau aku meneleponnya, sudah layak seperti minum obat sehari 3 kali.
Aku tak menampik suasana hangat mendesir desir dalam kalbuku ketika Rara mengabarkan tuntasnya perceraian dengan Pak Fariz. Perceraian yang damai tanpa gejolak.
***
"Le...kowe ki seprono seprene opo ora ono wong wadon sik nyantol to!"
"Le...kowe ki seprono seprene opo ora ono wong wadon sik nyantol to!"
---(Nak...kamu itu dari dulu sampai sekarang apa nggak ada wanita yang nyantol di hati to)
Aku hanya meringis mendengar sindiran Ibu.
Sindiran beliau di suatu malam yang mengingatkanku bahwa usiaku sudah hampir mendekati 3 dasawarsa. Aku jelas agak tercekat namun aku hanya matur ke beliau bahwa akan ada masanya nanti datang jodohku.
Aku "yakin tak akan lama lagi", keyakinan dalam ucapanku kepada Ibu malam itu.
Dan entah kenapa, pucuk di cinta ulampun tiba, aku baru akan merebahkan badan bersiap tidur, ketika Rara meneleponku.
"Mas Adit..., Rara...eee,"
"Kangen ya..."
"Ihhh..., ge er,"
Dari suaranya aku yakin seyakinnya ada semu merah di pipi Rara di seberang telepon.
"Kapan Mas ke Jakarta?"
Aku hanya meringis mendengar sindiran Ibu.
Sindiran beliau di suatu malam yang mengingatkanku bahwa usiaku sudah hampir mendekati 3 dasawarsa. Aku jelas agak tercekat namun aku hanya matur ke beliau bahwa akan ada masanya nanti datang jodohku.
Aku "yakin tak akan lama lagi", keyakinan dalam ucapanku kepada Ibu malam itu.
Dan entah kenapa, pucuk di cinta ulampun tiba, aku baru akan merebahkan badan bersiap tidur, ketika Rara meneleponku.
"Mas Adit..., Rara...eee,"
"Kangen ya..."
"Ihhh..., ge er,"
Dari suaranya aku yakin seyakinnya ada semu merah di pipi Rara di seberang telepon.
"Kapan Mas ke Jakarta?"
Dan pertanyaan itu yang selalu meluncur dari Rara, namun aku bertahan melihat situasi dulu yang menjadi alasanku selalu.
***
Dan memang diriku tidak ingin terlalu lama meratapi kepedihan berpisah dengan Rara. Sejak kepulanganku ke Jogja waktu itu, aku memutuskan kembali ke kantor lama yang dengan tangan terbuka masih menerimaku.
Kesibukan pekerjaan dan kesibukan sambilan mengurus peternakan sapi milik Bapak di kampung. Perlahan namun pasti mengurai kepiluan hati.
Aku sadar dan sepenuhnya sadar, masih sangat berharap dengan Rara. Aku juga sadar tak mungkin secepat itu melabuhkan hati sejak Rara bercerai, aku masih menunggu waktu yang tepat, entah kapan.
Sindiran Ibu malam itu seolah membuka semak jalan yang tadinya masih sangsi apakah diriku sanggup menyibaknya.
***
Rutinitas diriku sebelum berangkat ke proyek adalah mengurus sapi di kandang. Apalagi 2 bulan menjelang hari kurban, tentu akan banyak tamu melihat sapi sapi milik Bapak. Pekerjaan sambilan di kampung namun begitu menyenangkan dan melapangkan hatiku selama ini.
"Wid, iring etan ledok kidul ndeso kae, kolonjonone wis siap ditebas, tulung ngko mbok tebas dadekno patang mbongkok ya,"
---(Wid, deretan timur sawah di selatan desa itu, rumput kolonjono pakan sapinya sudah siap ditebas, tolong kamu tebas potong menjadi 4 ikat ya)
Ucapku pagi itu kepada Widodo, pembantu Bapak dalam mengurus sapi.
Aku bergegas menuju deretan kandang sapi di tengah sawah, sawah kering milik Bapak yang dijadikan kandang sapi. Waktuku memang lebih banyak di kandang kalau pagi hari sebelum berangkat ke kantor. Sebagai orang proyek, tentu saja jam kantorku lebih fleksibel, apalagi statusku juga bukan karyawan kantor, sebagai partner seperti biasa.
"Permisi Pak...boleh lihat sapi sapinya,"
Aku yang baru mencampur polar suplemen makanan sapi, tak menyadari kedatangan tamu pagi itu, lagian kalau tamu yang ingin melihat sapi biasanya sore hari.
Senyum tamu itu, wajah tamu itu dan tamu wanita itu, hanya membuatku melongo. Kalau tanganku tidak sedang mencampur polar di ember, tentu tanganku sudah mengucek ucek mata, tak mempercayai Rara sudah berdiri di belakangku.
"Mas Aditya...!"
Aku hanya ah eh oh saja, belum sadar benar atau karena keterkejutanku yang membuat blingsatan bak remaja mendapat kunjungan gebetan.
"Eee...mau lihat sapi...!"
"Bukan...mau lihat tukang sapinya!"
Uhhh senyum itu nyata benar dan nggak mungkin keliru jika selama ini menjadi kembang segala mimpiku.
Aku tak peduli lagi dengan tanganku yang masih berlepotan bubur polar suplemen sapi. Entah siapa yang memulai, seakan dua kutub magnet mendekat, kami saling bertubrukan dengan pelukan yang menggetarkan. Menggetarkan kandang sapi pagi itu.
"Rara kangeeen sekali Massss...!"
Pelukan eratnya, air matanya dan segalanya meruah di antara lenguhan sapi sapi di kandang tengah sawah.
Aku tak peduli lagi dengan kondisi sawah, dengan sapi, dengan tangan kotorku. Kerinduan kami mengalahkan segalanya, ciuman lembut itu begitu menggetarkan.
Pagi itu dan waktu yang tidak mungkin kulupakan selama hidupku.
***
EPILOG
Lamunanku tersadar ketika telepon di kantong celana bergetar.
"Neng ndi Le...cepetan mrene, kowe ki lho malah ngilang ngilang terus,"
---(Dimana Nak, cepetan ke sini, kamu itu lho malah sering hilang susah dicari)
Telepon Ibuku yang jelas tidak banyak membantu mengurangi resah gelisahku.
Aku sangat bersalah dan mengutuki diriku, kenapa semalam terlambat pulang dari proyek.
Aku bergegas berlari di sepanjang koridor rumah sakit.
"Ahhh Raraaa...semoga kamu selamat sayang,"
Resah dan gelisah sambil membayangkan hal hal yang buruk saja mendengar suara Ibuku di telepon tadi.
"Adit...cepetan masuk, Rara berteriak teriak sejak tadi memanggilmu,"
Aku hampir bertabrakan dengan mama Rara.
Aku baru masuk ruangan dan dokter sudah sewot melihatku, perawat segera memberi baju khusus kepadaku dan memintaku segera mencuci tangan.
"Rara...sayang...!"
Bajuku segera ditarik Rara sekuat tenaga.
"Maaasss...kamu yang bikin Rara sakiiiiit..."
"Ehhh iya sayang, ehh sabaar ya...aduuuh,"
Aku sudah tak bisa melakukan apa apa lagi ketika Rara menarik bajuku, menarik telingaku, mencakari wajahku.
Bingung, resah, melongo, pasrah menjadi satu. Dokter hanya tersenyum melihatku.
Aku baru sadar, proses melahirkan itu sungguh begitu tipisnya batas antara hidup dan mati itu.
Begitu mulasnya perutku, tak peduli dan tak merasakan sakit lagi cakaran tangan Rara, bahkan ujung kausku sampai sobek. Sungguh perjuangan Rara melahirkan setara dengan perjuangan dan pengorbanan cinta kami.
Akhirnya cucu keluarga Handoko dan keluarga Hermawan lahir dengan selamat, bayi laki laki mungil yang terlahir dari perjuangan.
"Makasih sayang,"
Tangis bahagiaku dan Rara.
"Mas...Rara ingin anak cewek lagi ya,"
"Haaaaah, nggak kapok..."
Aku hanya tepok jidat mendengar permintaan Rara, baru saja begitu hidup matinya perjuangan Rara melahirkan.
Senyum itu, wajah penuh keringat itu, wajah Raraku.
"Ok sayang, besok kita coba lagi yaaa,"
Dan cinta kami bukan hanya semalam, bertaut hari demi hari sampai maut memisahkan kami.
***
Dan memang diriku tidak ingin terlalu lama meratapi kepedihan berpisah dengan Rara. Sejak kepulanganku ke Jogja waktu itu, aku memutuskan kembali ke kantor lama yang dengan tangan terbuka masih menerimaku.
Kesibukan pekerjaan dan kesibukan sambilan mengurus peternakan sapi milik Bapak di kampung. Perlahan namun pasti mengurai kepiluan hati.
Aku sadar dan sepenuhnya sadar, masih sangat berharap dengan Rara. Aku juga sadar tak mungkin secepat itu melabuhkan hati sejak Rara bercerai, aku masih menunggu waktu yang tepat, entah kapan.
Sindiran Ibu malam itu seolah membuka semak jalan yang tadinya masih sangsi apakah diriku sanggup menyibaknya.
***
Rutinitas diriku sebelum berangkat ke proyek adalah mengurus sapi di kandang. Apalagi 2 bulan menjelang hari kurban, tentu akan banyak tamu melihat sapi sapi milik Bapak. Pekerjaan sambilan di kampung namun begitu menyenangkan dan melapangkan hatiku selama ini.
"Wid, iring etan ledok kidul ndeso kae, kolonjonone wis siap ditebas, tulung ngko mbok tebas dadekno patang mbongkok ya,"
---(Wid, deretan timur sawah di selatan desa itu, rumput kolonjono pakan sapinya sudah siap ditebas, tolong kamu tebas potong menjadi 4 ikat ya)
Ucapku pagi itu kepada Widodo, pembantu Bapak dalam mengurus sapi.
Aku bergegas menuju deretan kandang sapi di tengah sawah, sawah kering milik Bapak yang dijadikan kandang sapi. Waktuku memang lebih banyak di kandang kalau pagi hari sebelum berangkat ke kantor. Sebagai orang proyek, tentu saja jam kantorku lebih fleksibel, apalagi statusku juga bukan karyawan kantor, sebagai partner seperti biasa.
"Permisi Pak...boleh lihat sapi sapinya,"
Aku yang baru mencampur polar suplemen makanan sapi, tak menyadari kedatangan tamu pagi itu, lagian kalau tamu yang ingin melihat sapi biasanya sore hari.
Senyum tamu itu, wajah tamu itu dan tamu wanita itu, hanya membuatku melongo. Kalau tanganku tidak sedang mencampur polar di ember, tentu tanganku sudah mengucek ucek mata, tak mempercayai Rara sudah berdiri di belakangku.
"Mas Aditya...!"
Aku hanya ah eh oh saja, belum sadar benar atau karena keterkejutanku yang membuat blingsatan bak remaja mendapat kunjungan gebetan.
"Eee...mau lihat sapi...!"
"Bukan...mau lihat tukang sapinya!"
Uhhh senyum itu nyata benar dan nggak mungkin keliru jika selama ini menjadi kembang segala mimpiku.
Aku tak peduli lagi dengan tanganku yang masih berlepotan bubur polar suplemen sapi. Entah siapa yang memulai, seakan dua kutub magnet mendekat, kami saling bertubrukan dengan pelukan yang menggetarkan. Menggetarkan kandang sapi pagi itu.
"Rara kangeeen sekali Massss...!"
Pelukan eratnya, air matanya dan segalanya meruah di antara lenguhan sapi sapi di kandang tengah sawah.
Aku tak peduli lagi dengan kondisi sawah, dengan sapi, dengan tangan kotorku. Kerinduan kami mengalahkan segalanya, ciuman lembut itu begitu menggetarkan.
Pagi itu dan waktu yang tidak mungkin kulupakan selama hidupku.
***
EPILOG
Lamunanku tersadar ketika telepon di kantong celana bergetar.
"Neng ndi Le...cepetan mrene, kowe ki lho malah ngilang ngilang terus,"
---(Dimana Nak, cepetan ke sini, kamu itu lho malah sering hilang susah dicari)
Telepon Ibuku yang jelas tidak banyak membantu mengurangi resah gelisahku.
Aku sangat bersalah dan mengutuki diriku, kenapa semalam terlambat pulang dari proyek.
Aku bergegas berlari di sepanjang koridor rumah sakit.
"Ahhh Raraaa...semoga kamu selamat sayang,"
Resah dan gelisah sambil membayangkan hal hal yang buruk saja mendengar suara Ibuku di telepon tadi.
"Adit...cepetan masuk, Rara berteriak teriak sejak tadi memanggilmu,"
Aku hampir bertabrakan dengan mama Rara.
Aku baru masuk ruangan dan dokter sudah sewot melihatku, perawat segera memberi baju khusus kepadaku dan memintaku segera mencuci tangan.
"Rara...sayang...!"
Bajuku segera ditarik Rara sekuat tenaga.
"Maaasss...kamu yang bikin Rara sakiiiiit..."
"Ehhh iya sayang, ehh sabaar ya...aduuuh,"
Aku sudah tak bisa melakukan apa apa lagi ketika Rara menarik bajuku, menarik telingaku, mencakari wajahku.
Bingung, resah, melongo, pasrah menjadi satu. Dokter hanya tersenyum melihatku.
Aku baru sadar, proses melahirkan itu sungguh begitu tipisnya batas antara hidup dan mati itu.
Begitu mulasnya perutku, tak peduli dan tak merasakan sakit lagi cakaran tangan Rara, bahkan ujung kausku sampai sobek. Sungguh perjuangan Rara melahirkan setara dengan perjuangan dan pengorbanan cinta kami.
Akhirnya cucu keluarga Handoko dan keluarga Hermawan lahir dengan selamat, bayi laki laki mungil yang terlahir dari perjuangan.
"Makasih sayang,"
Tangis bahagiaku dan Rara.
"Mas...Rara ingin anak cewek lagi ya,"
"Haaaaah, nggak kapok..."
Aku hanya tepok jidat mendengar permintaan Rara, baru saja begitu hidup matinya perjuangan Rara melahirkan.
Senyum itu, wajah penuh keringat itu, wajah Raraku.
"Ok sayang, besok kita coba lagi yaaa,"
Dan cinta kami bukan hanya semalam, bertaut hari demi hari sampai maut memisahkan kami.
---SELESAI---
Kaliurang, medio April 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel