Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 26 Februari 2022

Ketika Hati Tersakiti #6

Cerita Bersambung

“Nyonya Faiz, ini barangnya sudah selesai kami siapkan.”

Kulihat mata Diva sekejap membesar memandang dan mendengar tak percaya. Aku buru-buru mengambil tas itu dari tangan pelayan itu, namun bukan Diva jika dia tak akan mencari tahu.

“Maaf Mbak, sebentar. Siapa yang Mbak maksud Nyonya Faiz?”
“Oh, ini teman anda bukan. Nyonya Faiz, tadi dia datang bersama Pak Faiz, dan Pak Faiz mengatakan kalo Mbak ini istrinya.” ucap pelayan itu sambil menatap ke arahku yang tak bisa berkata-kata lagi.
Aku memberi isyarat pada pelayan itu untuk meninggalkan kami.
Diva kembali menatapku dengan wajah tak percaya.

“Apa kau sedang bercanda?” tanyanya dengan wajah menyelidik.
“Itu ...”
“Jika benar berita yang barusan ku dengar, dimana Pak Faiz sekarang?”
“Diva, ayuk kita bicara. Aku ...”
“Bicara apa? Kau berbohong kan? Menciptakan cerita seperti ini pada pelayan itu biar kau terkenal dan di akui seorang istri Direktur perusahaan besar. Iya kan?”
“Diva!! siapa yang menyuruhmu bicara seperti itu?” ucap Faiz yang tiba-tiba muncul di hadapan kami.

Aku terkejut mendengar teriakan Mas Faiz, namun kulihat wajah Diva tak kalah terkejut juga melihat sosok yang berteriak padanya.

“Pak Faiz.” ucapnya pelan dan gugup.
“Boleh aku tahu, apa maksud ucapanmu tadi?” ucap Faiz yang perlahan berjalan mendekat dan berdiri di sampingku.
“Begini Pak, tadi kata pelayan ...”

Ucapan Diva seketika berhenti karena Faiz telah meraih tanganku dan mengenggamnya. Sungguh aku begitu terkejut dan tak menduga Mas Faiz berani melakukan itu di hadapan Diva yang jelas terkenal dengan ratu gosip di kantor.

“Mas ...”ucapku pelan sembari berusaha melepaskan pegangan tangannya, namun yang kurasa Mas Faiz semakin mengenggam erat tanganku.

“Pak, kalian ...”
“Ya, Nada dan aku adalah sepasang suami istri. Apa ada masalah?”

Mata Diva membesar tak percaya, dia menutup mulutnya dengan tangan sebagai tanda dia sangat terkejut dengan semua yang barusan di dengarnya.

“Pak, apa anda ...?”
“Kau tak punya hak bertanya tentang masalah pribadiku, jadi jangan coba menceritakan apapun tentang diriku atau Nada pada orang lain. Ingat itu.” ucap Faiz dengan wajah serius.

Diva menatap ke arah Faiz dengan wajah takut kemudian merunduk.

“Baik Pak.”
“Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau seharusnya di kantor?”
“Oh itu Pak, aku tadi izin karena ada urusan.”
“Baiklah kalo begitu, karena kau sudah terlanjur tahu, ayuk ikut, aku ingin minta tolong padamu.” ucap Faiz sembari mengajak Diva duduk di Cafe depan toko. Faiz terus mengandeng tanganku tanpa perduli dengan wajah bingung Diva, dan wanita itu hanya bisa mengikuti dari belakang.

“Apa yang bisa aku bantu Pak?” ucap Diva pelan ketika kami telah duduk.
“Aku ingin kau menjaga Nada di kantor.”

Diva dan aku sama-sama menatap ke arah Faiz dengan wajah bingung.

“Tapi Pak, boleh aku tahu alasannya?”
“Iya, mungkin di kantor akan ada sedikit keramaian. Kau jelas tahu berita yang menghebohkan di kantor tadi pagi ini.”
“Iya Pak, tunangan Pak Faiz datang dan akan bekerja di kantor bersama kami.”
“Ya, aku tak bisa melarangnya untuk bekerja di sana, karena itu adalah permintaan Nada.”
“Maaf Pak, apa aku boleh tahu, kenapa pernikahan kalian di sembunyikan? Apa Pak Faiz dan Nada berselingkuh dari pasangan masing-masing.” ucap Diva pelan mencari tahu.

Faiz terkejut mendengar ucapan Diva hingga membuat dia agak marah. Sementara aku hanya diam sedari tadi karena bingung harus bicara apa.

“Jaga ucapanmu. Kau tak tahu apa-apa, dan kau tak perlu tahu tujuan apappun dari keadaan ini.”
“Iya Pak, maaf, soalnya aku cuma pernah mendengar Nada sedang dekat dengan Pak Gardy, dan Pak Faiz punya tunangan, dan sekarang aku dibuat terkejut dengan pengakuan Pak Faiz kalo Nada istri Pak Faiz, jelas itu sangat membuat ku bingung.”
“Agar kau tak bingung, kau tak usah mencari tahu segalanya. Tugasmu saat ini hanya menjaga Nada.”
“Menjaga dari apa Pak?”
“Dari orang-orang di kantor yang akan menyakitinya.”
“Tapi siapa yang akan menyakitinya?”
“Kau jelas sangat tahu siapa yang ku maksud.”
“Tapi Pak, kenapa aku harus menjaganya, dia dan aku sama-sama pegawai di kantor Pak Faiz, bahkan aku memiliki jabatan lebih tinggi darinya. Kenapa aku harus menjaganya?”
“Diva !!! Bisa-bisanya kau bicara begitu. Apa kau lupa kalo Nada adalah istriku, dan aku Direktur di perusahaan itu, bearti secara tidak langsung Nada juga adalah pemilik perusahaan itu. Apa kau mengerti?!!!”
“Oh iya Pak, maaf aku lupa yang itu, soalnya aku masih sangat terkejut dengan semua itu.”
“Mas, aku bisa menjaga diriku sendiri.” ucapku pelan.
“Kau sudah tahu kan Dita seperti apa, aku tak mau kau sendiri. Aku ingin ada yang menemanimu dan menjagamu.”
“Tapi Mas, Diva ...” ucapku ragu mengingat reputasi Diva di kantor jelas pasti gak akan bisa menyimpan rahasia, apalagi dia jelas tahu kalo aku dekat dengan Mas Gardy, bagaimana kalo dia mengatakan semua ini pada Mas Gardy, jelas akan sangat menyakiti hatinya yang saat ini sedang sakit.

“Nada, eh maaf, aku bingung harus memanggilmu apa, Nada atau Bu Faiz? apa kau ragu padaku?” tanya Diva tiba-tiba karena mendengar ucapanku yang ragu.
“Panggil aku seperti biasanya dan maaf bukan maksudku seperti itu.”
“Aku mungkin terkenal dengan ratu gosip di kantor, tapi jika begini keadaannya, aku berani jamin akan menepati janjiku dan akan bertanggung jawab pada tugas yang diberikan Pak Faiz.”

Mas Faiz mengangguk senang mendengar ucapan Diva, dan aku hanya bisa tersenyum karena ragu dengannya. Kami bertiga akhirnya kembali ke kantor bersama, karena bersama Diva, sangat jelas kalo tak akan ada yang curiga aku keluar bersama Mas Faiz. Tiba di kantor, Mas Faiz langsung menuju ruangannya. Aku dan Diva kembali bekerja seperti tak ada yang terjadi.
•••

“Mas, kau kemana saja? Aku menunggumu dari tadi dan Mas tak mengabariku sama sekali.” ucap Dita ketika melihat Faiz kembali.
“Pulanglah, aku lelah.” ucap Faiz yang perlahan duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya.
“Aku gak mau, masih banyak yang ingin aku bahas. Persiapan pernikahan kita sebentar lagi. Aku butuh bantuan Mas dengan semua itu.”
“Maaf, tapi bisakah kau urus saja sendiri, aku lelah.”
“Mas, yang akan menikah itu kita berdua, bagaimana mungkin aku melakukannya itu sendiri.”
“Tapi kau kan yang ingin menikah denganku bukan aku.”
“Dulunya aku berpikir seperti itu, tapi ketika Mas meminta pernikahan kita dimajukan aku merasa kalo Mas mulai menginginkan pernikahan ini.”
“Dan itu adalah kesalahan terbesarku.”

Terlihat Dita begitu marah. Dia perlahan mendekat dan menatap Faiz dengan air mata tertahan.

“Apa maksud Mas itu kesalahan terbesar? Jawab Mas?!!!

Faiz perlahan menatap wajah Dita dengan perasaan bersalah, namun dia harus melakukan itu.

“Semua kesalahanku, bukan kesalahanmu.” ucap Faiz sembari berjalan dan duduk di sofa, Dita mengikuti Faiz dan duduk di hadapannya.

“Mas ...”
“Kesalahanku yang paling aku sesali adalah, mengikuti saranmu dulu untuk meninggalkan Nada di hari pernikahan kami.”
“Oh jadi wanita itu lagi yang menyebabkan Mas bersikap seperti ini. Harusnya Mas berterima kasih karena aku telah menyelamatkan Mas dari masa depan yang suram.”
“Mungkin, tapi kau membawaku kedalam kehampaan. Tak ada kebahagian yang kudapat ketika meninggalkannya.”
“Mas, itu hanya perasaan bersalah saja yang ada, bukan cinta.”
“Aku yang merasakannya, bukan kau.”
“Ayolah Mas, apa kita akan membahas seperti ini terus? Lihat aku, aku ini calon istrimu, calon ibu dari anak-anakmu kelak.”
“Tapi sepertinya itu tak akan pernah terjadi.”

Dita menatap Faiz dengan wajah bingung sembari menahan emosi.

“Tunggu sebentar, apa maksud ucapan Mas?”

Faiz tersadar kembali, kalo untuk beberapa hari ke depan dia belum bisa berkata jujur, sungguh itu membuat dia tersiksa harus terus berbohong.

“Maaf, aku ada kerjaan bisakah kau pulang saja.” ucap Faiz yang perlahan berdiri dan duduk kembali di kursinya.
“Mas, jangan bersikap seperti ini, Mas seharusnya tak perlu bertemu denganya lagi, lihat apa yang terjadi, dia mengusik perasaan Mas lagi. Lagian sepertinya dia juga sudah tak mencintai Mas lagi, buktinya ku dengar dia sudah memiliki kekasih.”
“Kau tak pernah tahu perasaannya, aku yang mengenalnya, jadi aku yang tahu.”
“Mas dengar, kukatakan sekali lagi, tak ada cinta di hati Mas untuknya, semua itu hanya rasa bersalah saja, bukan perasaan yang lain.”
“Kau tak tahu perasaanku.” ucap Faiz.
“Mas ...”
“Aku mencintainya, bahkan semakin mencintainya!!" ucap Faiz lagi dengan nada yang kesal membuat Dita menatap dengan tak percaya.
“Mas, kau ...”
“Ya, aku lelah harus menahan perasaanku, aku mencintai Nada, dan akan selalu mencintai Nada.”
“Mas, buka matamu. Kau bukan mencintainya. Buktinya berapa tahun bersamaku dulu kau bisa melupakannya.”
“Siapa yang bilang aku melupakannya. Aku hanya berusaha tertawa di hadapanmu, di hadapan Ayah dan di hadapan semua orang, tapi aku sebenarnya sangat merindukannya dan ingin bertemu dengannya.”
“Mas, jangan katakan kalo lima tahun ini, semua usahaku untuk membuat Mas lupa padanya gagal?”
“Ya Dita, kau gagal. Kau tak bisa membuat aku melupakannya.”
“Tapi setidaknya kau bisa belajar mencintaiku bukan?”
“Sudah kulakukan, tapi ternyata aku tak bisa jatuh cinta padamu. Maafkan aku.”
“Mas, kau tega mengatakan itu padaku?”
“Maaf, tapi itu kenyataannya, kau tak bisa membuatku jatuh cinta padamu.”

Wajah Dita nampak begitu sangat marah mendengar ucapan laki-laki di hadapannya.

“Mas, dengar, apa setelah mendengar semua yang Mas katakan Mas berharap aku akan membatalkan pernikahan ini? Gak, gak akan Mas!!!! Lima tahun aku menunggu semua ini, aku tak akan membatalkannya. Ingat aku tak akan membatalkannya hanya karena wanita itu !!!” ucap Dita sembari berjalan keluar meninggalkan Faiz dengan perasaan bingung.

Dita keluar dengan wajah menahan marah, dia berjalan terburu-buru, hingga matanya menatap padaku yang sedang mengutak atik komputerku.
Aku menatap dengan tatapan tajam, jelas aku tahu kalo aku akan bertemu dengannya saat ini, Dengan cepat kulihat dia berjalan menuju mejaku dan berdiri di hadapanku namun aku berusaha tak memperdulikannya.

“Hai, dasar wanita tak tahu malu. Bisa-bisanya kau masih di sini.” ucap Dita ketika berdiri di hadapanku.

Beberapa pegawai nampak mulai menatap kami, tapi tak ada yang berani mendekat mengingat siapa wanita yang sedang berbicara saat ini.
Aku sedikit mengangkat kepalaku dan menatapnya.

“Maaf, apa anda bicara dengan saya?”
“Ayuk ikut, aku ingin bicara denganmu.” ucapnya sembari menarik tanganku. Tadinya aku menolak, namun akhirnya aku memilih mengikutinya karena khawatir dia akan berbicara banyak hal didepan pegawai-pegawai lain. Kulihat Diva hendak mengikutiku namun aku melarangnya.

“Ada apa? Apa yang ingin kau bicarakan?” ucapku dengan wajah kesal ketika kami telah masuk di sebuah ruangan kosong.
“Hei, awas kau ya, apa kau lupa aku siapa?”
“Oh itu, maaf aku lupa.”
“Kau ...”
“Aku apa?” jawabku menantangnya.
“Kenapa kau masih ada disini? Jika kau punya rasa malu harusnya bulan yang lalu ketika bertemu aku, kau sudah tak berani lagi menunjukan dirimu, tapi ternyata aku salah.”
“Kenapa aku harus takut padamu?”
“Oh kau rupanya memang wanita yang perlu diberi pelajaran ya, biar bisa mengerti semua ini dengan jelas.”
“Hei, bisakah kau berhenti berbicara seolah-olah kau bisa mengaturku?” ucapku dengan suara yang tak mau kalah darinya.
“Hei, Apa kau lupa? Kau bekerja di perusahaan calon suamiku, jadi aku punya hak untuk mengaturmu.”
“Oh ya?”
“Ya, akan aku buat kau menyesal telah bekerja di kantor ini.”
“Kau tak bisa mengaturku, apalagi memecatku dan membuat aku keluar dari perusahaan ini.” ucapku lagi.
“Hei, Aku bisa melakukan itu semua, termasuk mengusirmu dari perusahaan ini. Apa kau lupa kenapa pernikahanmu dulu bisa batal?”

Aku terkejut mendengar ucapan wanita ini, namun aku berusaha bersikap biasa saja, aku tak mau, kalo aku terlihat lemah di hadapannya, toh saat ini aku juga sudah sah menjadi istri Mas Faiz.

“Oh itu, jelas aku masih sangat ingat, tapi itu dulu. Dulu dimana aku belum bisa berbuat apa-apa, dan sekarang aku pastikan kau tak akan bisa menggaggu hidupku lagi.”
“Oh ya? Mengganggu hidupmu? Kau yang mengganggu hidupku, kau tiba-tiba hadir dan berusaha merebut Mas Faiz dariku.”
“Wow, apa aku tak salah dengar? Kau yang merebutnya dulu dariku, jadi kau sebenarnya yang mengganggu hidupku.”
“Haha, aku bukan merebutnya, dia yang meninggalkanmu sendiri, itu karena dia merasa kau tak pantas baginya. Kau di campakkan olehnya.”
“Oh ya? Apa kau yakin dengan semua itu?”
“Ya aku sangat yakin, dan jelas ku tahu itu, aku yang bersamanya waktu itu, aku yang merayunya untuk meninggalkanmu, nah apa itu belum cukup jelas kalo Mas Faiz tak mencintaimu? Dia lebih memilih masa depannya dan tentunya aku dibanding dirimu. Dia pergi meninggalkanmu bersamaku.” ucapnya sembari menyeringai sinis.

Aku sedikit tersenyum mendengarnya, ya walaupun masih ada rasa sakit yang kurasa karena harus mengingat kejadian itu kembali, tapi sekarang semuanya berbeda, kami telah menikah, aku tak bisa bayangkan perasaan wanita ini ketika tahu kalo aku dan Mas Faiz telah resmi menikah saat ini.

“Hei, kenapa kau diam? Apa kau sedang berpikir kalo semua yang kukatakan adalah benar?” ucapnya lagi masih dengan senyum sinisnya.

Aku tersentak dari lamunananku kembali ketika mendengar ucapannya.

“Oh maaf, sepertinya anda salah menduga. Mungkin semua yang kau katakan barusan itu hanya berlaku waktu itu, bukan saat ini. Sekarang aku yakin dengan perasaannya.”jawabku.
“Jangan terlalu yakin, aku tahu dia sudah tak mencintaimu, tapi kau masih berusaha merayunya. Kau berusaha mendekatinya kembali karena tahu ternyata Mas Faiz laki-laki kaya bukan?”
“Hei, jaga ucapanmu ya.” jawabku yang menahan emosi mendengar ucapannya barusan. Aku menarik nafas panjangku berusaha menenangkan diriku, tidak, aku tak boleh terpancing, wanita ini sedang berusaha memancingku agar marah.

“Kenapa? Apa aku benar? Atau mungkin kau sengaja mendekatinya kembali hanya untuk balas dendam. Iya kan? Kau ingin membalasnya karena telah meninggalkanmu. Begitu bukan?”
“Hei, kau pikir aku sepertimu? Punya hati pendendam? Maaf ya, aku berbeda denganmu. Sangat jauh berbeda.” jawabku dengan tatapan sinis.
“Ha ha, kau mungkin bisa membohongi Mas Faiz tapi aku tak bisa kau bohongi. Lagian perasaaan cinta kalian yang dulu pernah ada, sudah lama hilang, mas Faiz telah melupakanmu.”
“Masalah perasaan hanya aku dan Mas Faiz yang tahu, kau hanya orang luar yang berusaha merusak perasaan cinta kami.”
“Beraninya kau bilang aku hanya orang luar?”
“Memang kenyataannya seperti itu. Dari dulu kau hanya orang luar, merusak pernikahanku, dan berusaha mendapatkan Mas Faiz padahal jelas dia mencintaiku.”
“Mas Faiz tak mencintaimu.”
“Apa kau sudah bertanya padanya kalo dia tidak mencintaiku lagi?”

Dita terkejut mendengar ucapanku seperti itu.

“Ya, itu ..., katanya dia tak mencintamu lagi. Dia sudah melupakanmu” ucapnya gugup yang jelas aku tahu kalo dia sedang berbohong.
“Tak usah membohongi pikiranmu, aku tahu Mas Faiz masih sangat mencintaiku.”
“Kau jangan begitu yakin, aku tunangannya jelas aku tahu perasaannya.”
“Keyakinanmu jelas sangat berbeda dengan keyakinanku.”
“Aku tak tahu apa yang membuatmu begitu yakin dengan perasaanmu, mungkin karena Mas Faiz pernah membelamu di hadapanku dulu, jadi kau merasa bahwa dia masih mencintaimu? Begitu bukan?”
“Kalo aku menjawabnya, jelas kau tak akan percaya padaku. Sudah kukatakan, tanyakan semuanya pada Mas Faiz, tanya bagaimana perasaannya padaku.”
“Dasar kau wanita tak tahu diri, akan aku buat kau menyesal. Mulai hari ini kau kupecat.”

Aku menatap dengan wajah bingung

“Pecat? Hei, anda tak punya hak memecatku.”
“Oh jadi, kau sedang menantangku. Baiklah, sekarang keluar dari kantor ini.” ucapnya sembari menarik lengan tanganku dan berusaha mengusirku. Aku sangat terkejut melihat sikapnya padaku dan berusaha melepaskannya.

“Dita!!! Apa yang kau lakukan?” ucap Faiz yang tiba-tiba muncul dan menyaksikan semuanya.

Terlihat Diva berdiri di belakang Mas Faiz, mungkin dia yang memberitahukan Mas Faiz tentang kami. Wajah Dita seketika berubah, dia kemudian melepas tanganku dan mendekat pada Mas Faiz yang terus menatapku, sementara aku memegang tanganku yang sakit karena cengkraman wanita itu.

“Mas, wanita ini ...”
“Diam Dita.” ucap Faiz sembari berjalan mendekat padaku, namun aku menggelengkan kepalaku sebagai tanda untuk tak mendekat. Kulihat Mas Faiz hanya menatap dengan wajah kecewa. Dia kemudian berbalik dan mengajak Dita untuk keluar dari ruangan.

Akupun dan Diva mengikutinya dari belakang dan bersikap biasa saja. Melihat wanita itu pergi para pegawai, langsung berbisik-bisik, entah apa yang mereka bicarakan. Aku perlahan berjalan dan kembali duduk di kursiku.

“Nada, maaf jika aku tak bisa menolongmu tadi.” ucap Diva sembari berbisik.
“Tak apa, aku memang harus bicara dengannya.”
“Oh iya, kalo dia menganggumu jangan larang aku untuk melindungimu, itu tugasku.”
“Hei. Hei. Kerja, jangan bergosip aja.” ucap Fina yang ternyata mencuri dengar.

Diva mendengus dan berjalan meninggalkan aku, tapi Fina masih tetap berdiri seperti ada yang ingin dia katakan.

“Hai, cewek yang sok kecantikan. Jaga dirimu, sepertinya musuh lamamu telah kembali.”

Aku menatapnya dengan perasaan bingung.

“Siapa maksudmu?”
“Jangan berlagak tak tahu. Dita, tunangan Pak Faiz, dia sepertinya punya ikatan masa lalu denganmu.”
“Oh dia, sebaiknya kau menyampaikan hal ini juga pada wanita itu. Katakan aku tak takut padanya.”
“Kau, apa kau berani padanya?” ucap Fina dengan wajah terkejut.
“Dia yang harusnya takut padaku.”
“Kau sangat berani ...”
“Bisa tolong tinggalkan aku, banyak yang ingin aku kerjakan.” ucapku tanpa memandangnya karena aku malas berdebat lagi, mengingat tadi aku sudah cukup lelah berdebat dengan Dita.
“Baiklah, akan aku katakan padanya ucapanmu. Aku ingin lihat sejauh apa kenyataan ucapanmu tadi.” ucapnya sembari berjalan meninggalkanku.

Menjelang sore, aku menyadari kalo aku belum melihat Mas Faiz kembali, ada rasa khawatir, dan juga rasa cemburu karena tadi dia pergi bersama wanita itu. Bagaimana kalo wanita itu sedang merayunya dan Mas Faiz tergoda? Gak, gak, Mas Faiz bukan type seperti itu, lagian bukankah aku yang meminta dia membawa wanita itu pergi. Sejam berlalu kegelisahanku tak berkurang, aku berusaha menelponnya tapi telponnya gak diangkat. Akhirnya aku mengirimkan sebuah pesan singkat padanya.

{Mas, di mana?}

Selang beberapa saat sebuah pesan balasan masuk. Aku buru-buru langsung membukanya.

{maaf, aku tak bisa bicara saat ini. Aku tak kembali ke kantor, kau pulanglah, kita akan bertemu di Rumah}

Tak kembali ke kantor? Kemana dia? Bukankah kalo cuma mengantar wanita itu dia sudah bisa kembali dua jam yang lalu? Pikiranku mulai tak menentu, apa aku sedang cemburu? Aku kembali mengetik membalas pesannya.

{Bisakah Mas pulang sekarang?}

Aku menunggu dibaca, namun tak dibalas, hatiku gelisah, penuh rasa khawatir. Bagaimana kalo wanita itu berusaha menghasutnya lagi seperti dulu ketika dia menghasut Mas Faiz untuk meninggalkan aku di hari pernikahan kami? Ah tidak, Mas Faiz saat ini suamiku dia tak mungkin melakukan itu.
Aku berusaha menenangkan pikiranku, namun sia-sia, rasa khawatir dan rasa cemburu menjadi satu. Aku kembali mengetik sebuah pesan dan mengirimnya kembali

{Mas, aku ingin Mas pulang sekarang juga.}

Tak ada balasan.

{Mas sekarang di mana? Aku tak mau pulang kalo Mas tak bersamaku}

Tak ada balasan.

{Mas !!! Apa kau bersama dengan wanita itu?}

Tak ada balasan lagi, perasaanku semakin gelisah dan khawatir, gelisah jika dia benar-benar sedang bersama wanita itu tapi juga khawatir jika telah terjadi apa-apa padanya.

Aku memilih ke toilet dan mencuci mukaku agar bisa sedikit tenang.

Selang beberapa lama ketika aku barusan keluar dari toilet dan hendak kembali ke kursiku, kulihat laki-laki yang aku khawatirkan tiba-tiba kembali dan langsung masuk ke ruangangannya. Aku yang begitu jengkel langsung berjalan cepat masuk ke ruangannya.

“Mas, kenapa mengacuhkan aku?” ucapku dengan suara menahan marah dan menatap padanya yang tengah berdiri membuka-buka File di depannya.

“Sayang? Aku pikir kau sudah pulang.” ucapnya sembari berdiri dan mendekat kemudian memegang tanganku.
“Oh jadi Mas berharap aku pulang, sementara Mas bersama wanita itu? Iya?”

Mas Faiz nampak bingung mendengar ucapanku.

“Apa kau sedang cemburu?”
“Gak, gak ada yang cemburu, aku marah karena Mas mengacuhkan aku dan tak membalas pesanku.”
“Oh itu, tadi aku memang sengaja tak membalas pesanmu, itu karena aku sedikit marah padamu”
“Marah? Kenapa Mas harus marah padaku?”
“Ya, aku marah karena kau menyuruhku bersamanya. Sudah aku katakan bukan kalo aku berusaha menjaga jarak darinya.”
“Tapi tadi jika Mas tak mengajaknya keluar, dan malah mendekatiku bukan sangat tidak mungkin dia akan semakin marah, dan para pegawai akan semakin bertanya-tanya.”
“Aku lelah berbohong Nada, ini baru dua hari tapi aku berat melakukannya.”
“Mas, tolong jangan mengalihkan pembicaraanku. Tadi Mas kemana dengannya?
“Kenapa kau begitu marah? Bukankah kau yang menyuruh aku untuk mengantarnya pulang? Jadi aku mengantarnya pulang.”
“Tapi apa mengantarnya harus begitu lama?Entah apa yang Mas lakukan bersamanya?”
“Apa itu membuat kau sangat marah? setelah mengantarnya aku cuma berjalan-jalan sebentar menghilangkan rasa marahku.”
“Jadi menurut Mas, aku tak punya hak untuk marah? Iya?”
“Bukan begitu, maksud aku ...”
“Aku tak suka Mas mengacuhkan aku, apalagi ketika Mas bersamanya.”
“Inilah kenapa aku ingin mengakui pernikahan ini. Aku ingin semua tahu, biar aku tak perlu berpura-pura manis padanya. Dan aku tak perlu menciptakan kebohongan-kebohongan lagi.”

Aku menatap laki-laki di hadapanku dengan perasaan bersalah.

“Aku tahu, aku memang egois, aku tak mau Mas bersamanya, tapi aku juga belum bisa mengakui pernikahan kita.”
“Nada, sampai kapan kau membuat aku tersiksa seperti ini? Aku akan mengantarmu besok dan bertemu dengan Mas Gardy, ayuk kita mengakui pernikahan kita.”
“Tapi Mas ...”
“Nada, pernikahanku sebentar lagi, aku tak mau semakin disudutkan dengan keadaan ini.”

Aku mendengar ucapannya dengan perasaan bingung, tapi yang dikatakan Mas Faiz benar, mungkin saat ini Mas Gardy sudah baikan, cepat atau lambat aku tetap harus jujur padanya.

“Baiklah, tapi Mas harus janji, jangan bersamanya lagi, jangan bersikap manis padanya, aku tak mau.”
“Ternyata kau benar-benar cemburu. Aku tahu kalo masih ada cinta dihatimu untukku.” ucapnya sembari menarikku ke pelukannya.

==========

“Nada, pernikahanku sebentar lagi, aku tak mau semakin disudutkan dengan keadaan ini.”

Aku mendengar ucapannya dengan perasaan bingung, tapi yang dikatakan Mas Faiz benar, mungkin saat ini Mas Gardy sudah baikan, cepat atau lambat aku tetap harus jujur padanya.

“Baiklah, tapi Mas harus janji, jangan bersamanya lagi, jangan bersikap manis padanya, aku tak mau.”
“Ternyata kau benar-benar cemburu. Aku tahu kalo masih ada cinta dihatimu untukku.” ucapnya sembari menarikku ke pelukannya. Aku tersenyum malu dan membalas pelukannya.

“Tapi aku gak cemburu lho Mas, aku cuma sedikit marah.” ucapku sembari melepas pelukannya dan menatapnya.

Kulihat Mas Faiz nampak tersenyum.

“Sayangku, istriku yang cantik, mau kau marah, cemburu, atau apa namanya, tapi itu semua membuat aku sangat senang. Aku senang kau seperti ini, aku tahu masih ada cinta di hatimu untukku.”
“Iya, mungkin sedikit. Aku juga ...”

Ucapanku seketika terhenti, laki-laki itu telah memegang wajahku dan menciumku dengan mesra, aku terkejut, namun akupun tak kuasa menolaknya.

“Pulang yuk Mas, nanti ada yang lihat kita begini di kantor. Malu.” ucapku setelah kami berciuman. Mas Faiz menatapku yang merunduk malu sambil tersenyum.

“Ehmm, apa kau ingin kita bermesraan di rumah?” ucapnya terdengar merayu.
“Mas, itu aku ...”

Melihat aku gugup, Mas Faiz mengangkat wajahku lagi dan menatapku dengan pandangan cinta.

“Hei, aku cuma bercanda, aku tahu tak mudah hatimu menerimaku kembali yang telah sangat menyakitimu. Semua begitu tiba-tiba terjadi, jadi aku memahaminya. Aku akan menunggu sampai kau benar-benar siap. Saat ini kau mulai sedikit menerimaku, itu sudah sangat membahagiakanku. Aku akan bersabar untuk semua ini, lima tahun kau menghabiskan waktumu dengan perasaan yang sakit, jadi jika aku bersabar sebentar saja, itu tak ada artinya dibandinkan dengan yang kau alami.”

Aku menatap laki-laki dihadapanku dengan mata berkaca-kaca. Mas Faiz benar-benar sangat menyesalinya. Aku perlahan memeluknya kembali, tapi pelukan ini semakin erat kulakukan, karena pelukan ini adalah rasa cintaku padanya yang perlahan bertambah.

Dia kembali memelukku dengan erat. Kurasakan juga dia sedang mencium kepalaku dengan lembut.

“Aku juga tahu, rasa bersalahmu pada Mas Gardy membuat kau tak tenang. Maka dari itu, besok kita selesaikan semuanya. Apapun yang terjadi nanti kita akan menghadapinya bersama, kita tak mungkin terus menutupinya bukan.”
“Tapi Mas, pasti dia akan menyalahkanku yang tanpa mencari tahu keadaannya, malah menikah dengan Mas.”
“Tapi semua bukan salahmu sepenuhnya, kau tak mungkin mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya bukan?”
“Tapi Mas ...”
“Nada semua ini salahku, aku yang membuat semuanya jadi seperti ini.”
“Gak Mas, jangan membahasnya lagi, aku tak ingin mengingatnya lagi.”
“Oh iya, apa dia tahu tentang masa lalu kita?”
“Hmm, Sedikit, aku cuma bercerita kalo aku ditinggalkan di hari pernikahanku, tapi aku tak mengatakan kalo Mas adalah laki-laki masa laluku. Makanya aku khawatir jika dia mengetahuinya dia akan membenci Mas juga.”
“Baiklah, mungkin memang besok kita perlu menceritakannya semua, agar dia tahu kenapa kau mau menikah denganku.”

Aku menatap laki-laki dihadapanku dan mengangguk pelan, kamipun memilih untuk pulang ke rumah.
•••

“Malam, Bik, Mas Faiz mana? Tolong panggilkan dia, aku ingin bicara.” ucap Dita tiba-tiba datang ke rumah Faiz membuat pelayan menatap bingung.

“Anu Non, Pak Faiz ...”
“Ada apa?” tanya Dita sembari duduk dan menatap bingung.
“Pak Faiz sudah beberapa hari ini tidak tidur di rumah lagi, kami gak tahu kemana.”

Mata Dita membesar mendengar ucapan pelayan itu.

“Apa maksud Bibik? Apa dia tak mengatakan nginap atau tinggal dimana?”
“Gak Mbak, cuma beberapa hari lalu, Pak Faiz datang mengambil pakaiannya.”
“Maksudnya dia pindah atau bagaimana?” tanya Dita penasaran.
“Gak tahu Non, tapi waktu itu dia datang bersama seorang wanita? Kami tak berani bertanya.”

Dita kembali terkejut mendengar ucapan pelayan itu.

“Seorang wanita? Apa dia memperkenalkan pada kalian?”
“Gak Non, wanita itu hanya menunggu di luar.”

Dita mendengar penuh tanda tanya, Siapa wanita itu? Apa Nada? Tapi gak mungkin, apalagi Mas Faiz tak pulang beberapa hari, mereka tak mungkin tinggal bersama. Tapi tunggu dulu, hari ini semua begitu aneh, Nada begitu berani padaku dan menantangku, jelas pasti ada yang membuat dia bisa bersikap seperti itu? Tidak aku harus mencari tahu, tapi siapa yang harus aku minta bantuan untuk membantuku mencari tahu? Dia terus berpikir kemudian sedikit tersenyum karena setelah beberapa saat dia tahu siapa yang akan membantunya. Dia perlahan membuka Hp nya dan mulai menelpon seseorang.
•••

“Mas, aku sangat gugup besok. Bagaimana jika Mas Gardy marah dan membeciku?” ucapku ketika bersiap tidur.

Mas Faiz sedikit tersenyum kemudian perlahan berjalan mendekat dan naik ke kasur.

“Apa itu saja kekhawatiranmu? Aku rasa ada lagi yang kau khawatirkan.”

Aku menatap laki-laki di hadapanku yang ternyata mengerti keadaanku. Ya, bukan itu saja rasa khawatirku, aku mengkhawatirkan diriku, perasaan rasa bersalahku yang masih terasa berat dalam hatiku.

Selama ini aku tak pernah menyakiti perasaan orang, dan kini aku melakukan hal yang kualami pada orang lain. Padahal Mas Gardy sangat baik, cuma memang takdir jodoh membuat kami tak bisa bersama.

“Gak Mas, aku mengkhawatirkan semuanya termasuk nanti sikap dia kepada Mas.”
“Sayang, gak usah khawatir, kau tak sendiri. Lagian Mas Gardy orang yang dewasa, aku rasa dia akan memakluminya. Sekarang mending kita tidur, udah malam. Besok kita akan melakukan hal besar, meskipun akan menyakiti seseorang namun besok akan menjadi awal baru, bagi pernikahan kita dan bagi perasaan dan cinta kita.” ucap Faiz sambil tersenyum.

Aku menatapnya dengan perasaan bahagia, laki-laki ini nyata telah menjadi suamiku, aku masih tidak percaya dengan semua ini, sungguh dulu aku pikir cintaku hanya akan hilang seiring waktu tapi ternyata kebahagianku saat ini hadir dan nyata.

“Jangan bengong. Ayuk tidur istriku yang cantik.” ucapnya sembari menarik tubuhku dan jatuh dipelukannya.

Aku terkejut namun bahagia dengan semua ini, akupun membalas pelukannya dengan erat.

“Aku mencintaimu Nada, sangat mencintaimu.” ucapnya pelan sembari mencium rambutku, dan itu mengantarkan kami tertidur.

Belum lama kami terlelap, aku terbangun karena bunyi Hp yang berdering di meja sebelah kasur kami, dan ternyata Hp Mas Faiz yang berbunyi, aku hendak membangunkannya, namun melihat dia begitu terlelap aku tak tega membangunkannya.

Aku perlahan mengangkat tangannya yang memelukku dan bangun untuk melihat siapa yang menelponya malam-malam begini. Mataku seketika membesar melihat nama yang tertera di layar hp tersebut.
Pak Adi? Kenapa dia menelpon malam-malam begini, tanganku gemetar memegang Hp tersebut, ya, kenapa aku bisa lupa, bagaimana reaksi Pak Adi nanti ketika tahu anaknya telah menikah tanpa sepengetahuannya, dan itu menikah bukan dengan wanita yang di jodohkannya.

Aku hanya diam dan terus memandang, ketakutan itu datang tanpa aku harapkan. Hp Mas Faiz terus berdering tak berhenti, aku lihat Mas Faiz perlahan mulai sadar karena mendengar bunyi tersebut. Dia perlahan bangun dan menatapku bingung.

“Sayang, ada apa?” ucapnya sambil bangun dan mendekat padaku. Aku hanya diam dan menyerahkan Hp tersebut padanya.

“Oh ada telpon dari Ayah, bentar aku ....,”
“Aku takut Mas.”

Mas Faiz menantapku dengan perasaan bingung, namun aku tahu dia mengerti maksud ucapanku.

“Sayang, dengar. Ini Ayahku, dia juga Ayahmu sekarang, apa yang membuatmu takut? Apa kau takut dia akan marah jika mengetahui pernikahan kita?”
“Iya Mas, aku takut membayangkan reaksinya ketika tahu semua ini. Mungkin jika hanya memecatku aku tak masalah, tapi bagaimana jika ...”
“Jika apa?”
“Bagaimana jika Dia berusaha memisahkan Mas dari aku, aku takut.” ucapku dengan wajah khawatir.

Kulihat dia menatapku dengan sedikit senyum. Perlahan meraih tubuhku dan memelukku.

“Apakah kau sangat takut kehilanganku? Apa kau mencintaiku? Aku belum mendengar itu dari mulutmu langsung.” ucapnya dengan nada bercanda.
“Mas aku serius, apa mas tak takut jika nanti pernikahan kita di ketahui olehnya dan dia marah, kemudian melakukan sesuatu agar kita berpisah?”

Laki-laki itu perlahan melepas pelukanku dan menatapku dengan serius.

“Aku adalah suamimu, saat ini, esok, maupun sampai kapanpun. Aku berjanji akan selalu ada di sini, disampingmu, bersamamu. Ayahku memang orang yang keras, tapi dulu ketika aku kembali dia berubah dan cenderung menerima keputusanku, aku yakin dia akan menerimamu.”
“Apa Mas Yakin?”
“Aku anaknya, sifatku tak jauh darinya, jelas aku tahu cara mengatasinya.”

Aku tersenyum sembari memeluknya kembali dengan erat.

“Terima kasih mas. Tolong tetap bersamaku.”

Dia melepas pelukannya dan menatapku dengan seyum manisnya.

“Terima kasih ini, harusnya mendapatkan hadiah manis dari istriku.” ucapnya sembari menciumku dengan mesra, aku tersenyum malu membalas ciumannya.

Hp Mas Faiz tiba-tiba berbunyi kembali, hingga membuat kami terkejut.

“Sebaiknya Mas angkat telponnya, mungkin ada yang penting.”

Mas Faiz mengangguk dan mengangankat telpon tersebut. Aku perlahan berjalan menjauh dan naik ke kasur. Aku tak bisa mendengar dengan jelas namun dari wajah Mas Faiz nampak dia begitu serius berbicara.

“Mas kenapa?” tanyaku bingung ketika Mas Faiz naik ke kasur.
“Sayang, sepertinya aku harus kembali ke luar negri besok, tadi itu asisten ayahku, dia bilang Ayah sakit dan sekarang di rawat di Rumah sakit, dan mungkin aku akan di sana beberapa hari,”
“Ya Alloh, iya Mas gak pa-pa. Aku akan menunggu di sini.”
“Sayang, apa kau tak ingin ikut?”
“Mas, Ayah sedang sakit, tak mungkin kita tiba-tiba muncul dan mengakui pernikahan kita. Aku tak mau dia bertambah sakit mendengar berita ini. Tunggu sampai Ayah sehat baru kita bicara.”
“Ya, kau benar, tapi bagaimana dengan niat kita akan bertemu Mas Gardy?”
“Aku akan menunggu Mas, biar kita bisa sama-sama bicara.”

Laki-laki itu mengangguk dan perlahan berbaring dan menarikku dalam pelukannya. Aku memeluknya dengan erat, semoga semuanya akan baik baik saja.
•••

“Nada, bagaimana keadaan kau? Apa Dita menganggumu lagi?” tanya Diva yang tiba-tiba muncul ketika aku baru tiba di kantor. Aku cuma tersenyum menatapnya, wanita ini sekarang bersikap seperti bodyguard bagiku.

“Enggak, lagian jika dia mengganguku aku bisa melawannya.” jawabku sambil tersenyum.
“Hei, aku ini disuruh menjagamu. Jadi aku akan selalu berusaha melindungimu.”
“Apa kau tak ingin mencari berita saja, aku bisa menjaga diri.”
“Haha, kau bisa saja. Pokoknya jika ada yang menganggumu, katakan saja.” ucapnya sambil berlalu.

Aku tersenyum menatap kepergiannya. Kulihat Ayu mendekat sembari menatapku bingung.

“Kau dan Diva kayaknya semakin akrab, aku memperhatikan kalian dari kemarin.”
“Cuma perasaanmu saja. Lagian semua pegawai di sini kan teman kita semua.”
“Teman? Sejak kapan Diva jadi teman? Bukankah dia sering menceritakanmu pada yang lain. Dia dan Fina kayaknya sama deh.”
“Huss gak boleh ngomong begitu, gak enak kalo di dengar.” ucapku sembari menghidupkan komputerku.

Ayu tersenyum tapi masih dengan perasaan bingung kemudian meninggalkan aku. Kubuka Hpku dan ternyata sebuah pesan dari Mas Faiz yang mengabarkan kalo dia telah tiba disana. Aku sebenarnya ingin menelponnya, namun ku tahu dia pasti sibuk disana.

Siang aku keluar makan bersama Diva, itu karena Diva yang memaksa dan aku tak tega menolaknya.
Kami makan di sebuah Restaurant depan kantor. Kami memilih posisi duduk dekat pintu agar mudah untuk keluar.

Ketika kami baru duduk, Diva izin pamit karena ternyata dia melihat saudaranya. Aku mengangguk dan mengizinkan dia pergi, dari jauh aku melihat Diva menunjuk padaku, seolah memberitahu sedang bersamaku.
Laki-laki saudara Diva itu tersenyum padaku, dan akupun membalasnya, tapi sebentar, aku seperti mengenalnya tapi dimana ya?

“Diva, aku seperti mengenal sahabatmu yang duduk itu. Siapa namanya?” tanya sepupunya
“Ih Mas Leo, gak bisa lewat cewek cantik, pasti langsung nanya. Nanyain kabarku atau apa kek.”
“Maaf, maaf sepupuku yang bawel. Iya kabar kau gimana? Tante, om? Perasaan kita baru sebulan gak ketemu.”
“Heheh, iya Mas, semua sehat, tapi sekarang semua sekarang lagi sibuk. Mas kenapa bisa makan di sini?”
“Syukurlah, oh itu, aku janjian dengan beberapa temanku di sini. Oh iya, sekarang jawab pertanyaanku tadi, siapa nama teman kau yang duduk itu?”
“Eh, gak boleh, dia udah nikah, jangan di deketin.”
“Ih siapa yang bilang mau dideketin, aku cuma merasa pernah melihatnya.”
“Bener ya? Jangan macam-macam. Namanya Nada. Apa Mas Leo kenal?”
“Nada? Nada? Oh iya aku ingat? Apa dia tunangan Gardy?”

Diva memandang saudaranya dengan bingung.

“Dari mana Mas Leo tahu? Di mana Mas Leo mengenal Pak Gardy?”
“Oh dia temanku, dan kami sangat dekat, makanya aku tahu tunanganya yaitu sahabatmu itu, karena dia pernah menceritakan padaku.”
“Tunangan? Seingatku sih memang dia lagi dekat dengan klien kami Pak Gardy, tapi aku gak tahu kalo mereka tunangan.”
“Syukurlah kalo gitu.”
“Lho kok syukurlah?”
“Iya, syukur karena kau tak tahu beritanya itu berati kau tak jadi biang gosip lagi.” ucapnya sambil tertawa.
“Mas leo, awas ya. Eh tapi, mereke sekarang udah gak ada hubungan lagi lho.”
“Gak ada hubungan lagi? Kok bisa? Barusan kau bilang dia sudah menikah? Bearti dia menikah sama siapa dong?”

Diva diam dalam kebingungan, dia tak mungkin jujur pada saudaranya ini, karena ini rahasia yang harus dijaga atas permintaan Pak Faiz.

“Pokoknya dia udah menikah tapi bukan dengan Pak Gardy.”
“Hei, kau serius? Dia tak menikah dengan Gardy?”
“Iya, serius. Orang aku kenal suaminya. Emang kenapa? Apa ada sebuah cerita yang harus aku ketahui?”
“Hmm, sepertinya gak ada.”
“Ayo Mas, jangan bohong. Pasti ada sesuatu” ucap Diva sembari menatap ke arahku yang sudah menunggu, namun dia memberi isyarat untuk meminta sedikt waktu menunggu sebentar.
“Tapi kau janji jangan menceritakan pada siapapun termasuk temanmu itu.”

Diva mengangguk, kemudian dengan tenang mendengar cerita saudara sepupunya itu.

“Jadi, Mas membantunya melakukan suatu kebohongan?”
“Ya seperti itu.”
“Sepertinya, Pak Gardy akan sangat menyesal telah melakukan kebohongan itu, karena sekarang, wanita itu sudah menikah dengan orang lain.”
“Apa Gardy tahu semuanya?”
“Seperti belum, tapi aku rasa Nada akan segera memberitahukannya, karena sampai kapan pernikahan ini akan di simpan.

Diva pamit dan kembali ke meja bersamaku. Dia kembali duduk dan menatapku dengan aneh.

“Nada, maaf. Bagaimana kau bisa menikah dengan Pak Faiz?” tanyanya penasaran.
“Maaf Diva, aku tak ingin membahasnya.”
“Oke baiklah, tapi siapa yang kau cintai? Pak Faiz atau Pak Gardy? Bukankah dulu kau sedang dekat dengan Pak Gardy, itu bukan rahasia lagi.”
“Diva aku mohon, aku tak ingin membahasnya. Tadi kau begitu lama apa yang kau lakukan?”
“Oh itu, gak pa-pa. Apa kau tak mengenalnya? Dia seorang dokter.”
“Dokter? Oh iya aku ingat, dia dokter ketika merawat Mas Gardy kemarin.”
“Merawat Pak Gardy?”
“Iya, beberapa hari yang lalu dia mengalami kecelakaan.”
“Beberapa hari yang lalu? Bearti akhir-akhir ini kalian masih ada hubungan? Dan pernikahan kau dan Pak Faiz baru terjadi?”

Aku sedikit terkejut dengan ucapannya, aku benar-benar lupa dan langsung menjawabnya karena aku sepertinya tak bisa menghindar lagi.

“Iya, Diva kami baru menikah tiga hari.” ucapku pelan.
“Terus ...”
“Maaf Diva aku tak ingin membahasnya. Bisa kita bicara yang lain saja.” ucapku yang mulai tak nyaman.
“Sebenarnya ada yang ingin aku cerita, tapi sudahlah. Maaf jika sudah membuat kau bingung. Oh iya boleh aku lihat cincinmu?” ucap Diva lagi.
“Kenapa?” tanyaku bingung.
“Iya, maaf sebelumnya, Pak Faiz kan orang yang sangat kaya, tapi cincin pernikahan kalian seperti ...”
“Seperi murahan kan?” jawabku langsung. Ya memang cincin ini murah, karena dulu kami membelinya ketika keadaan kami berbeda saat ini, dan dulu Mas Faiz memang saat itu juga tak punya uang karena kabur dari rumah, gumamku dalam hati.

“Maaf Nada, bukan begitu maksudku. Apa kau marah?”
“Oh gak, baiklah jika kau ingin lihat.” ucapku membuka cincin tersebut dan menyerahkan padanya.

Wanita di hadapanku tersenyum ketika membaca nama yang tertera di cincin tersebut.

“Selamat siang Nada.” ucap seseorang membuat aku terkejut ketika berbalik dan menatap ke arah suara tersebut. Kulihat Diva juga menatap dengan wajah terkejut.

“Mas Gardy?” ucapku dengan wajah terkejut sembari menatap ke arah Diva yang sedang memegang cincinku, seolah mengerti Diva segera menyembunyikannya.

Dia kemudian izin pamit dan meninggalkan kami dan duduk di meja sebelah kami.

“Kau pasti sangat terkejut.” ucapnya sembari duduk di hadapanku. Aku menatapnya dengan perasaan bingung, jujur aku masih sangat terkejut dan belum siap dengan semua ini.

“Hei, ada apa? Kenapa kau begitu bingung? Apa aku terlihat seperti hantu?” ucapnya sembari memanggil pelayan dan memesan makanan.
“Apa Mas sudah sembuh? Maaf kalo aku tak pernah menjenguk Mas, itu karena aku rasa Mas benar-benar sedang butuh waktu untuk istirahat.” ucapku basa basi berusaha menenangkan diriku.
“Iya Aku tahu. Aku tak menyalahkan dirimu. Aku kesini karena aku merindukanmu.”

Aku terkejut mendengar ucapannya, bingung dan gugup menjadi satu dalam diriku.

“Mas sepertinya ada yang harus aku katakan.” ucapku pelan sembari menatapnya. Ya, aku rasa mungkin ini sudah waktunya, toh aku juga sudah berniat dari semalam akan bertemu dengannya.

“Hei kenapa kau begitu serius? Ada apa?”

Aku bingung harus memulai dari mana, rasanya lidahku begitu keluh tak mampu berucap, aku tahu jelas ini akan sangat menyakitinya.

“Mas, maaf jika akan sangat menyakiti Mas.”
“Hmm, ada apa? Kau tak pernah menyakitiku, aku yang menyakitimu hingga pernikahan kita tertunda.”
“Bukan Mas, pernikahan kita bukan tertunda, tapi pernikahan kita tak bisa lagi dilanjutkan.”
“Apa maksudnya? Apa telah terjadi sesuatu? Aku tidak meninggalkanmu, kau tahu bukan semuanya.”
“Iya Mas, aku tahu. Tapi maaf, waktu itu kejadiannya begitu cepat. Aku tak tahu jika semuanya akan jadi seperti ini. Tolong maafkan aku.”
“Nada, aku mohon apa maksudnya? Jangan membuatku bingung.” ucapnya dengan suara serius.

Aku menarik nafas panjangku, bibirku gemetar menahan rasa takut.

“Hari itu, aku ...”
“Apa ada hubungannya dengan Mas Faiz?”

Aku terkejut mendengar Mas Gardy menyebut nama Mas Faiz. Apa Mas Gardy telah tahu semuanya? Apa ibu kemarin menceritakannya waktu di rumah sakit? Gak, mungkin Mas Gardy hanya menebak saja.

“Kenapa Mas bisa berpikir kalo semua ini ada hubungannya dengan Mas Faiz?”
“Kau tak perlu menutupinya, aku tahu Mas Faiz adalah laki-laki yang meninggalkanmu dulu bukan?”

Lidahku kembali keluh ketika mendengar ucapan Mas Gardy, ternyata dia benar sudah mengetahuinya, tapi jelas dia belum mengetahui kalo aku sudah menikah.

“Iya Mas, itu benar. Tapi ada yang lebih mengejutkan lagi Mas, tapi sebelumnya aku mohon maafkan aku.”
“Katakan lah, aku akan berusaha menerima.”

Aku kembali menarik nafas panjanku dan berucap.

“Aku dan Mas Faiz telah menikah.” ucapku pelan.

Kulihat Mata Mas Gardy membesar, rasa emosipun nampak diwajahnya.

“Apa maksudmu Nada?!!!” ucapnya dengan suara agak tinggi karena terkejut. Diva yang berada di meja sebelah kami perlahan mendekat karena terkejut dengan sikap Mas Gardy, aku mengingatkannya untuk tak mendekat tapi dia tak peduli dan tetap duduk di sebelahku.

“Ada apa Pak Gardy?”
“Maaf, ini bukan urusan anda, ini urusan aku dan Nada.”
“Diva ...”
“Tenanglah Nada, aku adalah penjagamu bukan.”
“Pak Gardy, mungkin aku bukan orang yang berhak dalam urusan ini, tapi aku di sini adalah sahabat dari Nada, jadi tolong bicara yang pelan.”
“Oh, kau sahabatnya, tapi kau tak tahu apa yang telah dia perbuat padaku?”
“Apa yang telah di perbuat Nada padamu?” tanya Diva dengan santai.
“Dia telah berbohong padaku, dia telah menikah dengan orang lain ketika aku kecelakaan, bukankah itu sangat menyakitkan?”
“Mas Gardy, aku mohon tenanglah, kita bisa bicara lagi, dan Diva aku mohon tinggalkan kami.” ucapku dengan perasaan bersalah.
“Kau tega Nada. Kenapa kau tega?”
“Mas aku mohon, jangan membuatku semakin merasa bersalah.”
“Kenapa kau mengkhinatiku. Kenapa?”
“Mas, tenanglah. Aku tak ada niat ingin menyakiti hati Mas. Aku mohon maafkan aku.”
“Pak Gardy, maaf sebelumnya, maaf kalo memotong percakapan kalian, tapi apa disini hanya Nada yang berbohong? Bagaimana dengan Pak Gardy yang berbohon juga?” ucap Diva dengan pandangan santai.
“Apa maksudmu, ha?” tanya Mas Gardy dengan wajah menahan marah.
“Tadinya aku tak ingin ikut campur, tapi melihat Pak Gardy berusaha menyalahkan Nada, baiklah. Pak Gardy, bukankah anda dengan sengaja telah meninggalkan Nada di hari pernikahannya?”

Aku terkejut mendengar ucapan Diva, namun nampak wajah Mas Gardy lebih terkejut lagi.

“Apa Maksudmu Diva? Jangan bicara sembarangan. Mas Gardy mengalami kecelakaan. Aku datang melihat ke Rumah sakit.” ucapku berusaha menenangkannya.
“Kau tanya saja padanya? Apa dia mengenal Dokter Leo, sepupuku tadi.”

Kulihat Mas Gardy nampak diam, seperti orang yang kedapatan bersalah. Rasa sesak di dada mulai terasa, jika benar laki-laki ini sengaja meninggalkanku bearti dia tak jauh beda dengan yang lakukan Mas Faiz dulu.

“Mas katakan sebenarnya.” ucapku perlahan menahan tangis. Ya, tangisku bukan karena cinta, tapi karena kecewa, kecewa dengan yang dilakukan laki-laki dihadapanku saat ini. Bagaimana mungkin dia tega melakukan hal itu padaku, padahal dia jelas telah mengetahui masa laluku, dan karena kebohongannya telah membuat aku memiliki rasa bersalah dalam diriku.

“Bicaralah Pak, Nada berhak mendengar penjelasan dari Pak Gardy.” ucap Diva sambil berusaha menenangkanku. Aku kemudian meminta Diva meninggalkan kami karena aku rasa untuk hal ini adalah urusan aku dan Mas Gardy. Diva sedikit tersenyum kemudian meninggalkan kami dan kembali ke mejanya.

“Nada, maafkan aku. Semua itu benar.” ucapnya pelan tanpa memandangku. Aku tak menyangka keadaanya berbalik, kini dia yang merunduk dan bersalah, seperti yang kulakukan tadi. Aku menahan air mataku dan berusaha tenang.

“Kenapa Mas tega melakukan ini? Apa salahku Mas? Mas juga sudah mengetahui masa laluku namun Mas masih tega melakukan itu.”
“Nada, aku tahu aku salah. Aku ...”
“Katakan saja alasannya!!!!” ucapku dengan suara agak tinggi. Rasa kecewa, marah bercampur menjadi satu.

Mas Gardy perlahan menceritakan semua, dari awal hingga semua yang terjadi di Rumah sakit.

“Jadi, tadinya aku tak ingin meninggalkanmu Nada, tapi ketika aku melihat mobil Faiz di dekat Rumahmu, pikiranku kembali kacau.”
“Kenapa Mas bisa berpikir sependek itu? Apa alasan Mas?”
“Aku pernah tersakiti Nada, aku mencintai seorang wanita dan kami sudah bersiap akan menikah, hingga dia jujur kalo mencintai orang lain, dan yang lebih menyakitkan dia memilih mengakhiri hubungan kami dan memilih laki-laki itu. Aku sangat trauma dengan semua ini, bertahun tahun menjaga hati untuk tak jatuh cinta, hingga aku mengenalmu dan mulai jatuh cinta padamu”
“Dan Mas melakukan itu padaku?”
“Bukan seperti itu. Hari itu aku cuma ingin meyakinkan diriku kalo kau punya sedikit perasaan padaku, aku melakukan sandiwara itu karena ingin tahu, apakah kau akan tetap mencariku setelah ada Mas Faiz atau tidak, tapi aku tak berharap kau sampai menikah dengannya. Aku cuma ingin tahu saja perasaanmu, apakah ada sedikit hati untukku agar aku tak terluka lagi, namun ternyata waktu itu aku salah. Aku pikir beberapa hari ini kau hanya berusaha untuk tak mengangguku, tapi kenyataannya hari ini kau mengatakannya dengan jujur.”
“Kenapa Mas harus mengujiku seperti itu? Aku berbeda dengan kekasih Mas yang lama. Aku sudah menerima Mas, bearti sangat jelas aku sudah membuka hatiku untuk Mas, tapi kenapa Mas melakukan itu. Saat itu aku benar-benar terpukul, haruskah aku mengalami hal yang sama? Ditinggal saat hari pernikahan? Dan waktu itu tak ada sedikitpun hatiku ingin kembali pada Mas Faiz, aku terus memikirkan Mas. Aku berpikir untuk menerima semuanya kalo aku memang belum menikah, bahkan ketika Mas Faiz tiba-tiba muncul dan mengajakku menikah menggantikan diri Mas, aku masih menolaknya, tapi melihat ibu yang begitu terpukul dan kecewa karena takut aku akan sedih lagi, aku menjadi tak tega hingga mengiyakan keinginannya.” ucapku sembari menghapus airmataku.
“Iya Nada, semua kesalahanku. Semua karena aku yang tak berpikir panjang. Jika hari itu aku memikirkan perasaanmu dan membuang rasa takutku, mungkin saat ini aku sudah menikmati kebahagian ini bersamamu.”
“Sekarang semua tak ada yang bisa di rubah, pernikahan aku terjadi karena takdir aku dan juga, karena Mas sendiri yang membiarkan semua ini terjadi.”
“Nada, apa kau masih mencintai Mas Faiz? Jika kau menikah dengannya hanya karena ibu, aku akan menunggumu.”
“Apa maksud Mas? Aku bukan wanita yang mempermaikan pernikahan.” ucapku dengan suara kesal.
“Maafkan aku Nada, aku cuma sangat menyesal dengan semua ini. Maafkan aku.”
“Sudahlah Mas, mungkin semua ada hikmahnya. Kita tidak berjodoh dan hari ini terima kasih, Mas telah membuat aku terbebas dari rasa bersalahku.”
“Nada, apa kita benar-benar sudah tak bisa melanjutkan lagi semua ini.”
“Maaf Mas, gak akan pernah bisa lagi.”
“Berikan aku alasan yang membuat aku yakin untuk tak mengharapkanmu lagi.”

Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk. Perlahan menarik nafas pajangku dan berbicara.

“Aku mencintai Mas Faiz, dahulu, sekarang maupun yang akan datang.” ucapku mantap.

Mas Gardy tersenyum mendengar ucapanku hingga membuat aku bingung.

“Ternyata aku melakukan hal yang benar.”
“Maksud Mas?”
“Kau mengerti maksudku, dan saat ini sepertinya tak ada lagi hal yang membuat aku harus tetap di sini. Kau sudah memberikan jawaban yang tepat.” ucapnya sambil berdiri.
“Maafkan aku Mas.” ucapku pelan.
“Tak ada yang salah dengan semua ini. Semua sudah benar dan berada di jalurnya. Semoga kau bahagia selalu.” ucapnya berlalu tanpa memandangku. Diva perlahan mendekat dan menatapku.
“Apa kau tak apa-apa? Maaf jika aku ...”
“Tidak Diva, kau sudah membantuku. Aku harusnya berterima kasih padamu. Tapi saat ini aku ingin pulang, aku benar-benar butuh berbaring. Kulihat Diva hanya mengangguk pelan dan membiarkan aku pergi.
•••

Di rumah, aku berbaring dan memikirkan semuanya. Aku tak habis pikir kenapa Mas Gardy tega melakukan ini padaku? Kenapa dia bisa tak percaya padaku? Padahal aku sudah menerimanya dan membuka hatiku padanya, tapi bukankah aku harusnya bersyukur, ya, bersyukur karena tindakannya itu malah mengantarkan aku pada kebahagian sebenarnya.

Besok aku akan menceritakan pada ibu.

Dibalik rasa amarahku tadi, tersimpan rasa bahagia, ya rasa bahagia, karena ternyata aku tak menyakiti Mas Gardy.
Aku meraih Hpku dan melihat apakah ada pesan dan telpon dari Mas Faiz, karena seharian ini, baru tadi pagi dia mengabariku dan sampai saat ini dia tak mengabariku lagi.
Rasa gelisah mulai ku rasa lagi, apa yang terjadi di sana? Apa ada masalah? Apalagi wanita itu tak ada di kantor hari ini, apa dia juga kembali ke sana bersama Mas Faiz? Rasa gelisah dan cemburu menjadi satu.
Aku ingin menelponnya dan mengetahui keadaanya, namun rasa takut jika aku menganggunya membuat aku urung melakukannya.
Aku berbaring sembari memegang bantal dimana Mas Faiz tidur, rasa rindu begitu terasa, tiba-tiba sesaat mataku terfokus pada jariku.
Cincin, cincin pernikahanku dimana? ucapku pelan sembari bangun dan mengingat-ingat. Oh ya, aku teringat kalo tadi siang cincinku ku lepas karena Diva ingin melihatnya, dan karena Mas Gardy datang aku lupa akan itu.
Aku segera meraih hpku kembali dan berusaha menghubunginya, namun Hp Diva tak aktif, tapi aku yakin Diva pasti menyimpannya. Aku kemudian kembali berbaring dan berusaha tidur.

Di sisi lain,
Fina berbaring sembari memegang sebuah cincin. Cincin siapa ini? Kenapa disini tertera nama Faiz?

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER