Cerita Bersambung
Fina berbaring sembari memegang sebuah cincin. Cincin siapa ini? Kenapa disini tertera nama Faiz?
Beberapa jam sebelumnya.
“Mbak, maaf sepertinya ini punya teman mbak?” ucap seorang pelayan sembari memperlihatkan sebuah cincin pada Fina.
“Teman? Teman yang mana mbak? Terus ini Mbak nemu di mana?” tanya Fina bingung sembari mengambil cincin tersebut.“Oh itu Mbak, saya nemu tadi pas bersihin meja. Mbak kerja di kantor depan itu kan? Aku pernah lihat wanita yang punya cincin itu dulu bareng mbak, tapi aku gak tahu namanya.”
“Oh ya udah, nanti saya coba tanya di kantor kalo ada yang kehilangan cincin.”
“Iya Mbak, kasihan kalo hilang, soalnya itu sepertinya cincin pernikahan, ada namanya juga.”
Fina mengangkat cincin itu dan melihatnya dengan seksama. Faiz? Lho Faiz bukannya bos aku di kantor? Ah gak mungkin, Pak Faiz belum menikah, lagian masa sih Pak Faiz memiliki cincin murahan seperti ini, apalagi nama Faiz kan juga bukan cuma satu orang, gumam Fina sambil berlalu meninggalkan restaurant tersebut.
•••
“Ayah, bagaimana keadaan Ayah, semalam aku menunggu operasi Ayah.”
“Kau sudah datang rupanya, Ayah tak apa-apa.”
“Sudah sampai begini masih dibilang tak apa-apa.”
“Kau terlalu khawatir.”
“Ayah, aku anakmu , wajar mengkhawatirkan Ayah.”
“Ayah gak apa-apa. Oh iya, Ayah mau minta satu hal.”
“Disaat seperti ini, Ayah masih bisa membahas kerjaan? Aku tak mau membicarakan apapun. Ayah butuh istirahat.”
“Ayah bukan ingin bicara tentang kerjaan, Ayah cuma mau bilang, bagaimana kalo kau tinggal disini saja dan mengurus perusahaan di sini, Ayah ingin kembali ke kota Ayah, ingin dekat dengan kuburan dan taman ibumu. Ayah begitu rindu padanya.”
Faiz sedikit terkejut mendengar ucapan Ayahnya. Dia ingin menolak, tapi karena kondisi ayahnya dia menahan diri untuk tak bicara dulu.
“Ayah, kenapa bicara seperti itu. Kita akan membahasnya kalo Ayah sudah sembuh. Lagian aku juga ingin membicarakan sesuatu.”
“Tidak Nak, Ayah mohon. Dengar, sebentar lagi kau akan menikah jadi kau dan Dita bisa tinggal di sini dan mengurus perusahaan kita disini, biar Ayah yang di sana.”
“Ayah, maaf aku tak bisa di sini. Aku tak mau di sini. Ada hal yang tak ingin dan tak bisa aku tinggalkan di sana.”
“Apa yang membuatmu tak mau tinggal di sini. Dita juga sudah setuju dengan semua ini. Apa kau lupa sebentar lagi kau akan menikah.”
“Ayah, istirahatlah, kita akan membahasnya besok pagi. Aku akan jujur semuanya pada Ayah.” ucap Faiz sembari meninggalkan Ayahnya.
***
Aku sedang bersiap ke kantor ketika Hp ku berbunyi, aku menatap bahagia ketika melihat nama yang tertera di layar, namun sejenak teringat kembali kalo ada wanita itu disana, membuat aku sedikit menahan emosi.
“Hallo Sayang, maaf baru mengabarimu. Semalam aku menunggu Ayah hingga tertidur dan lupa mengabarimu.”
“Ya Mas, aku tahu Mas sedang sibuk di sana. Bagaimana keadaan Pak Adi?”
“Alhamdulillah, Ayah sudah sadar. Operasinya berjalan lancar.”
“Oh, syukurlah kalo begitu.”
“Ada apa sayang? Apa kau marah padaku karena tak mengabarimu seharian? Maaf aku benar benar sibuk, hpku di pegang sekretaris Ayahku karena aku harus masuk ke dalam ruangan Ayah.”
“Aku tak apa-apa. Aku senang Pak Adi sudah baikan.”
“Katakan ada apa? Kenapa suaramu seperti itu? Jika kau marah, marahlah, aku salah karena sebagai suami aku harusnya mengabarimu karena kau istriku.”
“Aku bukan marah karena mas tak mengabariku, tapi aku cuma tak tenang Mas bersama wanita itu disana.”
“Haha, jadi itu yang membuat istriku menjawab telponku dengan seadanya saja.”
“Ya, baguslah kalo Mas merasa.”
“apa kau sedang cemburu? Jadi menurutmu aku tak mengabarimu karena aku sedang bersama dengan Dita?”
“Ya aku takut aja, mana tahu dia melakukan hal-hal yang aku tak suka pada Mas.”
“Sayangku, istriku yang cantik. Kau benar benar cemburu, aku senang sekali.”
“Kalo aku marah seperti ini, pasti Mas akan terlihat senang.”
“Haha, bukan begitu sayang, aku senang kau cemburu, eh tapi kau tenang aja, Dita tak ada disini. Memangnya di kantor dia gak ada?”
“Gak ada Mas, tapi kenapa dia gak menjenguk Pak Adi?”
“Oh itu, aku yang memintanya untuk tinggal disana, aku takut di depan Ayah dia akan bicara yang membuat Ayah tambah sakit.”
“Dan dia mau?” tanyaku ragu.
“Entahlah, ketika aku melarangnya, dia tak memaksa.”
“Hmm aneh, bukankah dia tipe suka memaksa.”
“Sudahlah Sayang, apa kita akan terus membahasnya? Oh iya, apa aku sudah boleh jujur pada Ayah tentang pernikahan kita? Aku tak tahan lagi untuk terus berbohong”
“Mas, tahanlah sebentar hingga dia benar-benar sembuh, apa Mas ingin dia sakit lagi karena terkejut mendenga anaknya menikah tanpa sepengetahuannya?”
“Tapi kau tak tahu apa yang barusan di dikatakannya? Dia ingin aku tinggal di sini tak kembali kesana.”
Aku sangat terkejut mendengar cerita Mas Faiz, yang kutakutkan perlahan mulai terjadi rupanya. Rasa khawatir perlahan mulai terasa.
“Mas, aku takut.” ucapku yang mulai menangis.
“Sayang, kau kenapa? Tolong jangan menangis lagi.”
“Aku takut. Aku sangat takut jika Pak Adi akan membenciku.”
“Sayang, tenanglah, makanya izinkan aku jujur padanya. Aku yakin aku bisa memberinya pengertian.”
Aku mendengarnya dengan perasaan bingung, tapi memang semuanya harus diungkapkan cepat atau lambat. Mas Faiz benar, apapun Nanti keputusannya, aku tahu Mas Faiz tak akan meninggalkanku.
“Baiklah Mas, tapi tunggu sampai dia kelihatan benar benar sehat, aku tak mau memiliki rasa bersalah jika Pak Adi bertambah sakit jika mengetahui semua ini.” jawabku sambil menghapus air mataku.
“Aku tahu sayang, aku mengerti. Aku tak ingin menyimpannya lagi, aku tak mau kau menangis lagi karena aku, aku berjanji tak akan ada air mata kesedihan lagi. Aku ingin menunjukan pada semua orang kalo kau istriku. Aku bahagia memilikimu jadi jangan larang aku lagi mengungkapkan kebahagiaku dan mengenai Mas Gardy ...”
“Aku sudah bertemu dengannya Mas.” ucapku yang memotong ucapannya.
“Sayang, apa kau serius?”
“Iya Mas, tadi pagi, di Kantor Mas Gardy datang ketika aku lagi makan siang. Aku sangat terkejut karena Mas Gardy tiba-tiba muncul.”
“Maafkan, karena aku tak bersamamu saat itu, tapi apa kau sudah jujur padanya?”
“Iya Mas, tapi Mas akan terkejut jika mendengar semuanya.”
“Apa yang terjadi? Apa dia membencimu dan marah padamu?”
“Tadinya harusnya dia marah padaku, tapi akhirnya aku yang marah padanya. Aku sangat kecewa atas apa yang dilakukannya padaku.”
“Apa maksudnya?” tanya Faiz terdengar bingung.
“Ini sebenarnya menjadi berita bahagia bagiku mengentahui sebuah kebenaran, jadi aku ingin menceritakannya kalo Mas sudah kembali, tapi kira-kira berapa lama lagi Mas di sana?”
“Mungkin satu dua hari lagi sayang, emang kenapa?”
“Hmm, aku rindu Mas.” ucapku pelan dengan perasaan malu.
Terdengar suara Mas Faiz seperti terkejut, itu karena aku tak pernah mengungkapkan perasaanku padanya.
“Sayang, kau barusan berkata rindu? Apa benar? Bisa kau ulangi lagi.” ucapnya lagi dengan suara nampak bahagia.
“Aku rindu Mas.” ucapku lagi dengan suara pelan.
“Ya Alloh, akhirnya kau mengungkapkan sedikit perasaanmu. Kau tahu, aku juga sangat merindukanmu. Jika kau disini, jelas aku sudah memelukmu dengan erat.”
Aku tersenyum malu mendengar ucapannya.
“Pulang secepatnya ya Mas, jika semua sudah baik di sana. Banyak hal yang ingin aku lakukan bersama Mas.”
“Sayang, apa kau sedang bercanda?”
“Pulanglah, dan kita nikmati pernikahan kita.” ucapku malu-malu.
Mas Faiz, terdengar bahagia dengan ucapanku, akupun menutup telponku dan bersiap ke kantor dengan perasaan bahagia, ya, itu karena Pak Adi sudah baikan dan juga karena ternyata wanita itu tak bersama dengan Mas Faiz.
•••
“Diva, bisa kau kembalikan cincinku kemarin?” ucapku ketika tiba di kantor dan langsung menuju mejanya.
“Cincin yang mana?” ucapnya bingung.
Aku terkejut mendengar ucapannya, bagaimana mungkin Diva bertanya seperti itu, apa dia lupa.
“Apa kau lupa? Kau menyimpannya ketika Mas Gardy datang bukan.”
“Ya Alloh, aku lupa. Aku meletakannya di meja tempat aku makan. Aku benar-benar lupa karena waktu itu Pak Gardy membuat aku sangat emosi.”
“Apa? Jangan katakan cincin itu hilang.”
“Gak tahu Nada, maafkan aku. Aku akan ke Restaurant itu sekarang mencarinya. Mudah-mudahan ketemu.” ucapnya sembari berlalu dan meninggalkanku yang menatapnya dengan perasaan kecewa dan was-was.
Kenapa aku bisa seteledor ini? Aku gak tahu bagaimana reaksi Mas Faiz kalo cincin itu benar-benar hilang, gumamku sembari duduk di kursiku.
“Selamat pagi.” ucap seseorang yang membuatku terkejut. Ya, Dita muncul kembali di hadapanku dan kali ini bersama Fina.
“Apa kau mengucap salam padaku?” ucapku acuh pada wanita itu.
“Hei, kau masih berani berbicara seperti itu, apa kau tak takut aku akan melakukan suatu hal padamu.”
“Kenapa aku harus takut?”
“Hei bicara yang sopan pada Mbak Dita.” ucap Fina yang ikut bicara.
“Tenanglah Fina, kali ini dia tak bisa berbuat apa-apa, Mas Faiz sedang tidak ada, jadi tak ada yang akan menolongnya.”
“Mau ada Mas Faiz atau tidak, aku tidak takut.” ucapku sembari berdiri dan menantang mereka.
“Selamat pagi.” ucap seseorang yang membuatku terkejut. Ya, Dita muncul kembali di hadapanku dan kali ini bersama Fina.
“Apa kau mengucap salam padaku?” ucapku acuh pada wanita itu.
“Hei, kau masih berani berbicara seperti itu, apa kau tak takut aku akan melakukan suatu hal padamu.”
“Kenapa aku harus takut?”
“Hei bicara yang sopan pada Mbak Dita.” ucap Fina yang ikut bicara.
“Tenanglah Fina, kali ini dia tak bisa berbuat apa-apa, Mas Faiz sedang tidak ada, jadi tak ada yang akan menolongnya.”
“Mau ada Mas Faiz atau tidak, aku tidak takut.” ucapku sembari berdiri dan menantang mereka.
Para pegawai mulai nampak memperhatikan kami, tapi tak ada yang berani mendekat mengingat siapa wanita yang bicara di hadapan ku.
“Hei, kubilang jaga ucapanmu ya!!” ucap Fina lagi.
“Emang kenapa? Kau juga, aku bingung kenapa kau tidak suka padaku?” ucapku sembari menatap ke arah Fina.
“Bagus kalo kau tahu aku tak menyukaimu, dan kau tak perlu tahu alasannya.” jawab Fina.
“Oh baguslah kalo gitu, kalian pasangan yang cocok, dua-dua pendendam tanpa alasan.”
“Hei jaga bicaramu ya. Aku begini karena kau. Apa kau lupa?” ucap Dita dengan wajah emosi.
“Oh ya? Apa kau juga lupa apa yang kau lakukan dulu di toko buku? Kau tak mau kan aku menceritakan kelakuaanmu dulu di hadapan pegawai pewagai yang lain.” jawabku menantangnya membuat wajah Dita terkejut dengan ucapanku.
“Kau beraninya mengancamku?”
“Yup, pergi dari sini, atau kau mau seluruh orang di kantor ini tahu perbuatanmu dulu, dan kau tahu itu sangat memalukan.”
“Kau memang harus diberi pelajaran rupanya ya.” ucap Dita degan pandangan marah dan tangan siap menamparku, tapi aku segera bisa menahannya, kemudian menatapnya dengan tatapan lebih menantang.
“Hei, dengar, jangan pernah mengangkat tanganmu padaku. Aku tak takut padamu dan juga padamu.” ucapku sembari menghempaskan tangan Dita kemudian menunjuk dada mereka bergantian.
“Hei, dasar wanita tak punya sopan santun. Apa kau tak tahu Mbak Dita tunangan Pak Faiz, sebentar lagi mereka akan menikah, dan kau bersiap saja akan ditendang dari perusahaan ini.” ucap Fina berusaha membela Dita.
“Hei, kubilang jaga ucapanmu ya!!” ucap Fina lagi.
“Emang kenapa? Kau juga, aku bingung kenapa kau tidak suka padaku?” ucapku sembari menatap ke arah Fina.
“Bagus kalo kau tahu aku tak menyukaimu, dan kau tak perlu tahu alasannya.” jawab Fina.
“Oh baguslah kalo gitu, kalian pasangan yang cocok, dua-dua pendendam tanpa alasan.”
“Hei jaga bicaramu ya. Aku begini karena kau. Apa kau lupa?” ucap Dita dengan wajah emosi.
“Oh ya? Apa kau juga lupa apa yang kau lakukan dulu di toko buku? Kau tak mau kan aku menceritakan kelakuaanmu dulu di hadapan pegawai pewagai yang lain.” jawabku menantangnya membuat wajah Dita terkejut dengan ucapanku.
“Kau beraninya mengancamku?”
“Yup, pergi dari sini, atau kau mau seluruh orang di kantor ini tahu perbuatanmu dulu, dan kau tahu itu sangat memalukan.”
“Kau memang harus diberi pelajaran rupanya ya.” ucap Dita degan pandangan marah dan tangan siap menamparku, tapi aku segera bisa menahannya, kemudian menatapnya dengan tatapan lebih menantang.
“Hei, dengar, jangan pernah mengangkat tanganmu padaku. Aku tak takut padamu dan juga padamu.” ucapku sembari menghempaskan tangan Dita kemudian menunjuk dada mereka bergantian.
“Hei, dasar wanita tak punya sopan santun. Apa kau tak tahu Mbak Dita tunangan Pak Faiz, sebentar lagi mereka akan menikah, dan kau bersiap saja akan ditendang dari perusahaan ini.” ucap Fina berusaha membela Dita.
Kulihat Dita menatapku dengan sangat marah kemudian perlahan meninggalkanku dan masuk ke ruangan Mas Faiz, Fina hendak mengikutinya, namun aku menahan lengan tanganya.
“Bisa kau ulangi lagi ucapanmu tadi?”
“Yang mana? Oh itu? Ya, dengar baik-baik ya, sebentar lagi jika mereka telah menikah, kau akan di pecat, hmm kasarnya didepak dengan tidak hormat, dan aku akan jadi orang yang pertama tertawa bahagia melihatnya.”
“Hei, sini aku bisikin. Hal itu tak akan pernah terjadi, karena kau yang harus bersiap-siap untuk di pecat dari perusahaan ini, eh maksudnya didepak.” ucapku berbisik di sampingnya.
“Hei kau berani mengancamku.” ucapnya sembari menatapku tajam dan hendak menamparku.
“Hei, jangan berani menyentuh Nada, atau kau akan sangat menyesal melakukannya.” ucap Diva tiba-tiba muncul dan menarik tangan Fina kemudian mendorong tubuhnya agar menjauh dariku.
“Bisa kau ulangi lagi ucapanmu tadi?”
“Yang mana? Oh itu? Ya, dengar baik-baik ya, sebentar lagi jika mereka telah menikah, kau akan di pecat, hmm kasarnya didepak dengan tidak hormat, dan aku akan jadi orang yang pertama tertawa bahagia melihatnya.”
“Hei, sini aku bisikin. Hal itu tak akan pernah terjadi, karena kau yang harus bersiap-siap untuk di pecat dari perusahaan ini, eh maksudnya didepak.” ucapku berbisik di sampingnya.
“Hei kau berani mengancamku.” ucapnya sembari menatapku tajam dan hendak menamparku.
“Hei, jangan berani menyentuh Nada, atau kau akan sangat menyesal melakukannya.” ucap Diva tiba-tiba muncul dan menarik tangan Fina kemudian mendorong tubuhnya agar menjauh dariku.
Fina menatap marah padaku dan Diva bergantian kemudian berlalu meninggalkan kami.
“Apa kau tak apa-apa? Maafkan aku terlambat kembali. Apa yang telah dilakukan Fina padamu?” tanya Diva setelah kepergian Fina.
“Aku tak apa-apa, sekarang apa cincinya ketemu?”
“Maafkan aku, cincinya belum ketemu.”
“Apa? Terus bagaimana? Apa kau tak bertanya pada pelayan yang kemarin?”
“Belum, soalnya pelayan-pelayan siang yang membersihkan kemarin akan masuk lagi sore. Nanti aku akan kesana lagi dan bertanya kembali, Maaf aku benar-benar teledor.”
“Iya, tak apa, mudah-mudahan ada yang menemukannya dan menyimpannya.”
“Tapi Nada, bagaimana kalo ada yang mengambilnya dan tak mau mengembalikannya.”
“Aku rasa tak ada yang mau mengambilnya, apalagi seperti kau bilang, cincin itu kan seperti murahan?”
“Iya, semoga saja, orang yang menemukan itu mau mengembalalikannya.” ucapnya Diva sembari berlalu dengan perasaan bersalah, sementara aku duduk kembali dengan perasaan khawatir.
•••
“Ayah, sekarang minum obatnya ya.” ucapku yang kemudian menyuruh suster memberikan obat pada Ayahku.
“Faiz, apa yang ingin kau ceritakan pada Ayah?” tanya Pak Adi setelah meminum obatnya dan menyuruh suster untuk meninggalkan mereka.
“Ayah, nanti saja, kalo ...”
“Ayah tak apa-apa, Jujur sama Ayah, apa yang terjadi? Kenapa kau tak tampak bahagia menjelang pernikahanmu padahal kau yang meminta pernikahan ini dimajukan bukan? Tapi kenapa wajahmu tampak tak bahagia? apa ada sesuatu yang membuatmu berubah pikiran?”
Faiz nampak terkejut mendengar ucapan Ayahnya yang tiba-tiba.
“Ayah, itu ...”
“Kemarin sebelum Ayah sakit, Dita menelpon Ayah, dan mengatakan suatu hal.”
“Dita mengatakan apa Ayah?”
“Ya, dia mengatakan tentang seorang wanita yang menganggu pertunangan kalian, dan katanya wanita itu berusaha menggodamu.”
“Dita bicara seperti itu? Apa dia mengatakan siapa wanita itu?”
“Ya, dan Ayah mengenalnya. Nada bukan?”
“Apa cuma itu yang dikatakan Dita?”
“Tidak, dia meminta Ayah untuk mengajakmu tinggal disini, ya mungkin rasa khawatirnya itu.”
“Jadi, itu yang membuat Ayah ingin aku disini?”
“Ya, bukan karena itu juga, Ayah memang ingin di sana karena ingin dekat dengan semua kenangan ibumu. Lagian Ayah rasa dia benar melakukan hal itu, dia berusaha menjaga cinta kalian agar tak ada yang merusaknya.”
“Tak ada cinta diantara kami Ayah.” ucap Faiz pelan.
Pak Adi nampak terkejut mendengar penuturan anaknya.
“Apa maksudnya Faiz?”
“Ayah, maafkan aku, tapi aku tak mencintai Dita.”
“Ada apa ini? Kalian telah bersama hampir lima tahun, kemudian tunangan dan sebentar lagi akan menikah, tapi kau bisa-bisanya bicara seperti itu.”
“Tapi itu kenyataannya Ayah, aku tak mencintainya.”
“Oh bearti benar yang dikatakan Dita, wanita itu telah merubahmu, merubah cintamu.”
“Ayah, tak ada yang berubah dari cintaku, dari dulu, sekarang dan akan datang, aku hanya mencintai satu orang, dan selamanya akan begitu.”
“Apa maksudmu?” tanya Pak Adi bingung.
“Aku mencintai Nada Ayah.”
“Ayah tak mengerti maksudmu. Bukankah kau baru bertemu Nada?”
“Aku memang baru bertemu lagi dengannya, tapi aku mencintai Nada, sejak lima tahun yang lalu Ayah.”
“Faiz, jangan membuat Ayah semakin bingung.”
“Mungkin sudah waktunya aku menceritakan semuanya.” ucap Faiz yang perlahan mulai menceritakan semuanya dengan sejujur-jujurnya. Pak Adi nampak sangat terkejut mendengar semuanya.
Pak Adi kemudian menatap anaknya yang nampak terlihat resah.
“Faiz, jadi berita itu benar? Ayah dulu mengajakmu pulang karena mendengar berita kau akan menikah, tapi ayah tak tahu kalo berita itu benar, Ayah pikir itu cuma alasanmu karena malu kembali ke Rumah.” ucap Pak Adi dengan pandangan tak percaya.
“Iya Ayah, dan semua itu membuat aku merasa bersalah.”
“Dan semua itu berawal dari Dita?”
“Iya Ayah, tapi Ayah jangan menyalahkan Dita, itu kesalahanku karena dengan gampang mengikuti keinginannya.”
“Faiz, Ayah tak percaya kau tega melakukan hal seburuk itu? Dimana perasaanmu ketika menyakiti hati wanita yang telah sangat berharap padamu? Ayah tak bisa bayangkan perasaan orang tuanya ketika anaknya diperlakukan seperti itu.”
“Iya Ayah, aku tahu. Aku memang telah menjadi laki-laki paling jahat dan hina. Makanya aku berusaha menebus kesalahanku.”
“Sekarang Ayah tahu, kenapa kau dulu sangat berubah menjadi pendiam dan tak mau berinteraksi dengan yang lain, yang Ayah tahu kau mencintai Dita, makanya kau bersamanya terus selama lima tahun ini, hingga dia bisa membuatmu tersenyum kembali, membuat Ayah pikir dengan menjodohkanmu dengannya adalah hal yang paling benar.”
“Dita memang mencintaiku dan berusaha mendekatiku, tapi perasaanku terus ada untuk Nada. Dita tak bisa membuat aku melupakan Nada.”
“Tapi Nada jelas pasti sangat membencimu atas perbuatanmu.”
“Maka dari itu Ayah, aku berusaha mendekati Nada untuk meminta maaf padanya, meskipun aku telah bertunangan saat itu.”
“Dan, apa dia memaafkanmu”
“Awalnya tidak Ayah, tapi akhirnya perjuanganku berhasil, aku bisa mendapatkan hasil, Nada memaafkan aku kembali, tapi saat itu dia telah bertunangan.”
“Ya, Ayah rasa wajar dia telah memiliki kekasih, lima tahun telah berlalu pasti dia telah menemukan pengantimu.”
“Tunangannya Mas Gardy Ayah, klien kita kemarin.”
Pak Adi dibuat terkejut kembali mendengar ucapan anaknya. Faizpun menceritakan semuanya sedetail-detailanya mengenai pertunangan Nada dan Gardy.
"Apa kau masih mencintai Nada?”
“Sudah ku katakan Ayah, perasaanku terus ada untuknya.”
“Kau memang seperti Ayah jika sudah mencintai seseorang. Lihat bagaimana Ayah yang tak bisa mengganti cinta ibumu selama ini. Ayah sangat mencintainya dan tak ingin wanita lain menggantikan posisi wanita lain di hati Ayah.”
“Ayah, kau memang benar. Aku ...”
“Perjuangkan kalo begitu. Bukankah dia dan Gardy baru bertunangan? Kau masih bisa memperjuangkannya.”
Faiz terkejut mendengar ucapan Ayahnya yang ternyata mendukungya, nampak wajahnya tersenyum bahagia.
Faiz menatap Ayahnya dan tersenyum kemudian menarik nafas panjangnya.
“Aku dan Nada sudah menikah Ayah.”
Wajah Pak Adi seketika berubah mendengar pengakuan anaknya.
“Faiz, kau jangan bercanda mengenai hal ini. Bagaimana semua itu bisa terjadi?”
Faizpun menceritakan kembali semuanya bagaimana hingga dia bisa menikahi Nada. Pak Adi nampak menatap anaknya sembari tersenyum.
“Kalo begitu, kenapa kau masih di sini?”
“Apa Maksud Ayah?” tanya Faiz bingung.
“Ya Tuhan, kau belum mengerti juga? Bawa ke sini menantuku, aku ingin bertemu dengannya.”
“Ayah serius? Tapi Ayah kan lagi sakit.” ucap Faiz tak percaya mendengar ucapan Ayahnya.
“Ayah tak apa-apa. Pergi, bawa dia kesini. Ayah ingin bertemu dengan wanita yang mirip dengan ibumu, yaitu wanita yang bisa membuat kau mencintai dengan sangat dalam seperti ini.”
“Ayah, aku tak percaya Ayah menerima semua ini.”
“Kau pikir Ayah sejahat itu menghancurkan cintamu.”
“Tapi Ayah, bagaimana dengan Dita?”
“Ayah rasa kau sudah cukup dewasa untuk berbicara dengannya, mengenai orang tuanya, itu urusan Ayah.”
Faiz menatap Ayahnya dengan haru kemudian memeluknya dengan erat.
“Aku menyayangimu Ayah.” ucap Faiz sambil pamit dan berlalu. Pak Adi menatap kepergian anaknya dengan air mata, untuk pertama kalinya ini aku mendengarnya dia mengatakan menyayangiku, aku tahu cinta bisa membuat orang berubah, gumam Pak Adi menangis bahagia.
•••
“Nada maafkan, tadi pelayan yang bekerja ada beberapa yang libur, terus yang masuk hari ini mereka tak ada yang mengatakan menemukan cincin.” ucap Diva dengan wajah rasa bersalah.
“Sudahlah Diva, besok kita kesana lagi dan bertanya lagi. Kalopun memang hilang, aku akan bicara dengan Mas Faiz.” ucapku yang tak tega melihat wajah bersalah Diva, karena bagaimanapun beberapa hari ini dia sudah sering membantuku.
Diva perlahan berbalik dan duduk kembali di kursinya.
“Apa kau tak apa-apa? Maafkan aku terlambat kembali. Apa yang telah dilakukan Fina padamu?” tanya Diva setelah kepergian Fina.
“Aku tak apa-apa, sekarang apa cincinya ketemu?”
“Maafkan aku, cincinya belum ketemu.”
“Apa? Terus bagaimana? Apa kau tak bertanya pada pelayan yang kemarin?”
“Belum, soalnya pelayan-pelayan siang yang membersihkan kemarin akan masuk lagi sore. Nanti aku akan kesana lagi dan bertanya kembali, Maaf aku benar-benar teledor.”
“Iya, tak apa, mudah-mudahan ada yang menemukannya dan menyimpannya.”
“Tapi Nada, bagaimana kalo ada yang mengambilnya dan tak mau mengembalikannya.”
“Aku rasa tak ada yang mau mengambilnya, apalagi seperti kau bilang, cincin itu kan seperti murahan?”
“Iya, semoga saja, orang yang menemukan itu mau mengembalalikannya.” ucapnya Diva sembari berlalu dengan perasaan bersalah, sementara aku duduk kembali dengan perasaan khawatir.
•••
“Ayah, sekarang minum obatnya ya.” ucapku yang kemudian menyuruh suster memberikan obat pada Ayahku.
“Faiz, apa yang ingin kau ceritakan pada Ayah?” tanya Pak Adi setelah meminum obatnya dan menyuruh suster untuk meninggalkan mereka.
“Ayah, nanti saja, kalo ...”
“Ayah tak apa-apa, Jujur sama Ayah, apa yang terjadi? Kenapa kau tak tampak bahagia menjelang pernikahanmu padahal kau yang meminta pernikahan ini dimajukan bukan? Tapi kenapa wajahmu tampak tak bahagia? apa ada sesuatu yang membuatmu berubah pikiran?”
Faiz nampak terkejut mendengar ucapan Ayahnya yang tiba-tiba.
“Ayah, itu ...”
“Kemarin sebelum Ayah sakit, Dita menelpon Ayah, dan mengatakan suatu hal.”
“Dita mengatakan apa Ayah?”
“Ya, dia mengatakan tentang seorang wanita yang menganggu pertunangan kalian, dan katanya wanita itu berusaha menggodamu.”
“Dita bicara seperti itu? Apa dia mengatakan siapa wanita itu?”
“Ya, dan Ayah mengenalnya. Nada bukan?”
“Apa cuma itu yang dikatakan Dita?”
“Tidak, dia meminta Ayah untuk mengajakmu tinggal disini, ya mungkin rasa khawatirnya itu.”
“Jadi, itu yang membuat Ayah ingin aku disini?”
“Ya, bukan karena itu juga, Ayah memang ingin di sana karena ingin dekat dengan semua kenangan ibumu. Lagian Ayah rasa dia benar melakukan hal itu, dia berusaha menjaga cinta kalian agar tak ada yang merusaknya.”
“Tak ada cinta diantara kami Ayah.” ucap Faiz pelan.
Pak Adi nampak terkejut mendengar penuturan anaknya.
“Apa maksudnya Faiz?”
“Ayah, maafkan aku, tapi aku tak mencintai Dita.”
“Ada apa ini? Kalian telah bersama hampir lima tahun, kemudian tunangan dan sebentar lagi akan menikah, tapi kau bisa-bisanya bicara seperti itu.”
“Tapi itu kenyataannya Ayah, aku tak mencintainya.”
“Oh bearti benar yang dikatakan Dita, wanita itu telah merubahmu, merubah cintamu.”
“Ayah, tak ada yang berubah dari cintaku, dari dulu, sekarang dan akan datang, aku hanya mencintai satu orang, dan selamanya akan begitu.”
“Apa maksudmu?” tanya Pak Adi bingung.
“Aku mencintai Nada Ayah.”
“Ayah tak mengerti maksudmu. Bukankah kau baru bertemu Nada?”
“Aku memang baru bertemu lagi dengannya, tapi aku mencintai Nada, sejak lima tahun yang lalu Ayah.”
“Faiz, jangan membuat Ayah semakin bingung.”
“Mungkin sudah waktunya aku menceritakan semuanya.” ucap Faiz yang perlahan mulai menceritakan semuanya dengan sejujur-jujurnya. Pak Adi nampak sangat terkejut mendengar semuanya.
Pak Adi kemudian menatap anaknya yang nampak terlihat resah.
“Faiz, jadi berita itu benar? Ayah dulu mengajakmu pulang karena mendengar berita kau akan menikah, tapi ayah tak tahu kalo berita itu benar, Ayah pikir itu cuma alasanmu karena malu kembali ke Rumah.” ucap Pak Adi dengan pandangan tak percaya.
“Iya Ayah, dan semua itu membuat aku merasa bersalah.”
“Dan semua itu berawal dari Dita?”
“Iya Ayah, tapi Ayah jangan menyalahkan Dita, itu kesalahanku karena dengan gampang mengikuti keinginannya.”
“Faiz, Ayah tak percaya kau tega melakukan hal seburuk itu? Dimana perasaanmu ketika menyakiti hati wanita yang telah sangat berharap padamu? Ayah tak bisa bayangkan perasaan orang tuanya ketika anaknya diperlakukan seperti itu.”
“Iya Ayah, aku tahu. Aku memang telah menjadi laki-laki paling jahat dan hina. Makanya aku berusaha menebus kesalahanku.”
“Sekarang Ayah tahu, kenapa kau dulu sangat berubah menjadi pendiam dan tak mau berinteraksi dengan yang lain, yang Ayah tahu kau mencintai Dita, makanya kau bersamanya terus selama lima tahun ini, hingga dia bisa membuatmu tersenyum kembali, membuat Ayah pikir dengan menjodohkanmu dengannya adalah hal yang paling benar.”
“Dita memang mencintaiku dan berusaha mendekatiku, tapi perasaanku terus ada untuk Nada. Dita tak bisa membuat aku melupakan Nada.”
“Tapi Nada jelas pasti sangat membencimu atas perbuatanmu.”
“Maka dari itu Ayah, aku berusaha mendekati Nada untuk meminta maaf padanya, meskipun aku telah bertunangan saat itu.”
“Dan, apa dia memaafkanmu”
“Awalnya tidak Ayah, tapi akhirnya perjuanganku berhasil, aku bisa mendapatkan hasil, Nada memaafkan aku kembali, tapi saat itu dia telah bertunangan.”
“Ya, Ayah rasa wajar dia telah memiliki kekasih, lima tahun telah berlalu pasti dia telah menemukan pengantimu.”
“Tunangannya Mas Gardy Ayah, klien kita kemarin.”
Pak Adi dibuat terkejut kembali mendengar ucapan anaknya. Faizpun menceritakan semuanya sedetail-detailanya mengenai pertunangan Nada dan Gardy.
"Apa kau masih mencintai Nada?”
“Sudah ku katakan Ayah, perasaanku terus ada untuknya.”
“Kau memang seperti Ayah jika sudah mencintai seseorang. Lihat bagaimana Ayah yang tak bisa mengganti cinta ibumu selama ini. Ayah sangat mencintainya dan tak ingin wanita lain menggantikan posisi wanita lain di hati Ayah.”
“Ayah, kau memang benar. Aku ...”
“Perjuangkan kalo begitu. Bukankah dia dan Gardy baru bertunangan? Kau masih bisa memperjuangkannya.”
Faiz terkejut mendengar ucapan Ayahnya yang ternyata mendukungya, nampak wajahnya tersenyum bahagia.
Faiz menatap Ayahnya dan tersenyum kemudian menarik nafas panjangnya.
“Aku dan Nada sudah menikah Ayah.”
Wajah Pak Adi seketika berubah mendengar pengakuan anaknya.
“Faiz, kau jangan bercanda mengenai hal ini. Bagaimana semua itu bisa terjadi?”
Faizpun menceritakan kembali semuanya bagaimana hingga dia bisa menikahi Nada. Pak Adi nampak menatap anaknya sembari tersenyum.
“Kalo begitu, kenapa kau masih di sini?”
“Apa Maksud Ayah?” tanya Faiz bingung.
“Ya Tuhan, kau belum mengerti juga? Bawa ke sini menantuku, aku ingin bertemu dengannya.”
“Ayah serius? Tapi Ayah kan lagi sakit.” ucap Faiz tak percaya mendengar ucapan Ayahnya.
“Ayah tak apa-apa. Pergi, bawa dia kesini. Ayah ingin bertemu dengan wanita yang mirip dengan ibumu, yaitu wanita yang bisa membuat kau mencintai dengan sangat dalam seperti ini.”
“Ayah, aku tak percaya Ayah menerima semua ini.”
“Kau pikir Ayah sejahat itu menghancurkan cintamu.”
“Tapi Ayah, bagaimana dengan Dita?”
“Ayah rasa kau sudah cukup dewasa untuk berbicara dengannya, mengenai orang tuanya, itu urusan Ayah.”
Faiz menatap Ayahnya dengan haru kemudian memeluknya dengan erat.
“Aku menyayangimu Ayah.” ucap Faiz sambil pamit dan berlalu. Pak Adi menatap kepergian anaknya dengan air mata, untuk pertama kalinya ini aku mendengarnya dia mengatakan menyayangiku, aku tahu cinta bisa membuat orang berubah, gumam Pak Adi menangis bahagia.
•••
“Nada maafkan, tadi pelayan yang bekerja ada beberapa yang libur, terus yang masuk hari ini mereka tak ada yang mengatakan menemukan cincin.” ucap Diva dengan wajah rasa bersalah.
“Sudahlah Diva, besok kita kesana lagi dan bertanya lagi. Kalopun memang hilang, aku akan bicara dengan Mas Faiz.” ucapku yang tak tega melihat wajah bersalah Diva, karena bagaimanapun beberapa hari ini dia sudah sering membantuku.
Diva perlahan berbalik dan duduk kembali di kursinya.
Sementara Fina nampak gelisah menahan marah.
Ya kejadian tadi pagi membuat dia sangat marah dan malu.
Bagaimana mungkin wanita itu bisa seberani itu padaku? Aku yakin pasti ada sesuatu yang membuat dia begitu berani. Apa aku bertanya pada Mbak Dita? Eh tapi dia juga tadi sangat berani pada Mbak Dita?
Aneh, dia mengancam kami tanpa rasa takut. Aku harus bertemu mbak Dita, tapi tunggu dulu, mbak Dita juga dari pagi uring-uringan karena kejadian tadi, mending aku pulang aja sekarang, besok baru bicara lagi dengan Mbak Dita, gumamnya sembari bersiap-siap, hingga matanya tertuju pada sebuah benda di saku tasnya. Cincin? Ya ampun, aku lupa mau tanya cincin siapa ini? ucapnya dalam hati kemudian berdiri dan mulai berbicara.
“Maaf, adakah yang memiliki kekasih bernama Faiz seperti nama bos kita?” ucapnya sambil berteriak.
Semua pegawai yang sedang bersiap-siap pulang menatap dan melihat ke arah Fina.
“Maaf, adakah yang memiliki kekasih bernama Faiz seperti nama bos kita?” ucapnya sambil berteriak.
Semua pegawai yang sedang bersiap-siap pulang menatap dan melihat ke arah Fina.
Termasuk aku dan Diva yang terkejut mendengar ucapanya.
Aku dan Diva saling memandang dengan pandangan terkejut, sepertinya kami berdua tahu maksud ucapan Fina, namun kami berdua diam menunggu ucapan Fina selanjutnya.
Fina kemudian mengulangi ucapannya, namun tak ada yang menjawab, dia melihat satu persatu pegawai namun semua hanya diam.
“Baiklah, mungkin ada yang mengenal cincin ini? Kemarin tertinggal di Restaurant. Kata pelayan ini punya salah satu pegawai yang kerja di tempat ini.” ucapnya sembari menganggkat cincin itu ke atas, membuat aku dan Diva saling memandang.
Kulihat Diva hendak menjawabnya. namun aku mengeleng agar dia tak gegabah.
“Kok semua pada diam? Yakin, ini bukan punya salah satu kalian?“tanyanya lagi.
Semua masih diam, kulihat Dita keluar dari ruangan Mas Faiz dan menatap bingung kearah Fina.
“Bearti bukan punya pegawai sini ya? Padahal kata pelayan itu, yang makan di meja tempat cincin ini ditemukan pernah ke restaurant itu bersamaku, bearti jelas itu pegawai di bagian sini. Di sini juga ada nama yang tertera yaitu Faiz.” ucapnya lagi, membuat Dita menatap lebih bingung lagi.
“Itu cincinku, cincin yang kuberikan pada istriku.” ucap Faiz yang tiba-tiba muncul dan membuat semua terkejut.
==========
Aku yang sedari tadi diam juga sangat terkejut dan langsung menatap ke arah Mas Faiz yang berdiri dan menatap tajam pada Fina. Aku menatap Mas Faiz dengan perasaan bahagia, ternyata benar aku merindukannya, gumamku pelan. Diva perlahan mendekat padaku dan memegang bahuku.
“Pangeran datang menolong sang Putri diwaktu yang tepat.” ucap Diva berbisik pelan membuat aku tersenyum malu.
“Pak Faiz.” ucap Fina dengan suara pelan. Mas Faiz perlahan mendekat padanya, kulihat Mas Faizpun sedikit melirikku.
“Berikan cincin itu. Itu milikku.” ucap Faiz ketika berdiri di hadapan Fina.
“Maaf Pak, apa anda yakin? Soalnya cincinya ...”
“Apa kau tak mendengar ucapanku tadi? Itu cincinku yang kuberikan pada istriku.” ucap Mas Faiz tanpa ekpresi.
“Baiklah, mungkin ada yang mengenal cincin ini? Kemarin tertinggal di Restaurant. Kata pelayan ini punya salah satu pegawai yang kerja di tempat ini.” ucapnya sembari menganggkat cincin itu ke atas, membuat aku dan Diva saling memandang.
Kulihat Diva hendak menjawabnya. namun aku mengeleng agar dia tak gegabah.
“Kok semua pada diam? Yakin, ini bukan punya salah satu kalian?“tanyanya lagi.
Semua masih diam, kulihat Dita keluar dari ruangan Mas Faiz dan menatap bingung kearah Fina.
“Bearti bukan punya pegawai sini ya? Padahal kata pelayan itu, yang makan di meja tempat cincin ini ditemukan pernah ke restaurant itu bersamaku, bearti jelas itu pegawai di bagian sini. Di sini juga ada nama yang tertera yaitu Faiz.” ucapnya lagi, membuat Dita menatap lebih bingung lagi.
“Itu cincinku, cincin yang kuberikan pada istriku.” ucap Faiz yang tiba-tiba muncul dan membuat semua terkejut.
==========
Aku yang sedari tadi diam juga sangat terkejut dan langsung menatap ke arah Mas Faiz yang berdiri dan menatap tajam pada Fina. Aku menatap Mas Faiz dengan perasaan bahagia, ternyata benar aku merindukannya, gumamku pelan. Diva perlahan mendekat padaku dan memegang bahuku.
“Pangeran datang menolong sang Putri diwaktu yang tepat.” ucap Diva berbisik pelan membuat aku tersenyum malu.
“Pak Faiz.” ucap Fina dengan suara pelan. Mas Faiz perlahan mendekat padanya, kulihat Mas Faizpun sedikit melirikku.
“Berikan cincin itu. Itu milikku.” ucap Faiz ketika berdiri di hadapan Fina.
“Maaf Pak, apa anda yakin? Soalnya cincinya ...”
“Apa kau tak mendengar ucapanku tadi? Itu cincinku yang kuberikan pada istriku.” ucap Mas Faiz tanpa ekpresi.
Ucapannya jelas membuat semua kembali terkejut, ya mereka terkejut karena ucapan Mas Faiz yang nampak tidak sedang bercanda.
“Mas Faiz?” ucap Dita sembari mendekat ke arahnya. Fina perlahan menyerahkan cincin itu ke tangan Faiz, namun seketika Dita langsung merebut cincin itu dari tangan Mas Faiz, hingga membuat Mas Faiz terkejut.
“Apa ini cincin untukku?” ucapnya dengan senyum bahagia.
“Dita, itu ...,”
“Tapi kenapa cincinnya begini? Apa seleramu berubah Mas?” lanjut Dita sembari melihat lihat cincin tersebut.
Aku dan Diva saling memandang bingung melihat keadaan di hadapan kami. Faizpun menatapku dengan pandangan yang aku tak mengerti, sementara beberapa pegawai nampak berbisik, dan Fina hanya diam dengan wajah bingung.
“Dita, kembalikan cincin itu. Itu bukan ...,”
“Kenapa Mas gak bilang kalo mau belikan aku cincin, aku bisa memilih yang lebih bagus dari ini. Cincin ini juga kampungan dan ....,” Dita menggantung ucapannya karena ketika mencobanya cincin itu tak cukup di jarinya.
“Dan ini gak pas Mas, itulah kenapa kemarin aku mau Mas ikut ketika membeli cincin pernikahan kita, tapi Mas selalu menolak, akhirnya Mas gak tahu ukuran jariku bukan.” ucapnya yang masih memaksa cincin itu masuk ke jarinya.
“Dita, jelas itu tak akan cukup di jarimu. Itu bukan untukmu atau milikmu.”
Dita menatap Faiz dengan pandangan bingung.
“Apa maksud ucapan Mas tadi? Jelaskan padaku?!!” ucap Dita dengan wajah bingung.
“Kau sudah mendengarnya bukan? Aku mengatakannya dua kali tadi, sangat jelas dan itu tak perlu aku ulang.” ucapnya sembari menatapku lagi, aku tahu Mas Faiz berani mengakui semua ini karena masalah Mas Gardy telah selesai jadi dia merasa tak perlu ada yang ditutupi lagi.
“Iya, aku dengar dengan sangat jelas, kau menyebut memberikan pada istriku, jelas itu ditujukan buat aku bukan? Aku calon istrimu. Jadi itu untukku bukan?”
“Maaf Dita, tapi tadi aku menyebut istriku, bukan calon istriku.”
Dita kembali terkejut dengan ucapan Faiz. Beberapa pegawai mulai sibuk berbisik kembali, mungkin mereka tak percaya jika Bos mereka telah menikah.
“Mas, kau sedang berbohong bukan? Mas hanya ingin pertunangan kita mundur kan? Kalo Mas memang ingin pertunangan kita mundur, aku gak pa-pa, aku akan menunggu lagi, tapi jangan buat lelucon seperti ini. Ini sungguh tidak lucu.”
“Dita, tak ada yang membuat lelucon di sini. Aku telah menikah.”
“Mas, berbenti berbohong!!! Kau baru tiba setelah menjenguk Ayah, jadi tak mungkin kau sudah menikah.”
“Aku tak berbohong, itu kenyataannya.”
“Mas!! Aku tahu Mas pasti melakukan ini karena Ayah meminta mengikuti permintaanku kan untuk mengajakmu tinggal di sana?”
“Dita, sebelum kau menduga-duga lagi, sebaiknya kau tahu siapa pemilik cincin itu.”
“Gak Mas, aku gak percaya semua ini.”
“Sebaiknya kau percaya, dan maaf aku tak ada niat menyakitimu namun kenyataannya memang tak ada hati atau cinta untukmu.”
Dita perlahan mulai menangis.
“Mas, kenapa kau ulangi lagi perkataan itu? Apa kau tak ada sedikitpun berusaha mencintaiku? Aku yang selama ini bersama Mas, aku yang menemani Mas, dan Mas tega mengatakan itu lagi.”
“Dita, aku mohon, maafkan aku, tapi itu kenyataannya. Kita akan bicara lagi setelah ini, sekarang bisa kau kembalikan cincin itu padaku? Sudah saatnya semua tahu tentang ini.”
Kulihat Dita menyerahkan cincin itu dengan wajah yang basah dengan air mata, aku menatap Mas faiz yang telah menatapku dengan senyum, namun tiba-tiba Mas Faiz memanggil Fina yang sedari tadi diam dan bingung untuk mendekat kembali.
“Mas Faiz?” ucap Dita sembari mendekat ke arahnya. Fina perlahan menyerahkan cincin itu ke tangan Faiz, namun seketika Dita langsung merebut cincin itu dari tangan Mas Faiz, hingga membuat Mas Faiz terkejut.
“Apa ini cincin untukku?” ucapnya dengan senyum bahagia.
“Dita, itu ...,”
“Tapi kenapa cincinnya begini? Apa seleramu berubah Mas?” lanjut Dita sembari melihat lihat cincin tersebut.
Aku dan Diva saling memandang bingung melihat keadaan di hadapan kami. Faizpun menatapku dengan pandangan yang aku tak mengerti, sementara beberapa pegawai nampak berbisik, dan Fina hanya diam dengan wajah bingung.
“Dita, kembalikan cincin itu. Itu bukan ...,”
“Kenapa Mas gak bilang kalo mau belikan aku cincin, aku bisa memilih yang lebih bagus dari ini. Cincin ini juga kampungan dan ....,” Dita menggantung ucapannya karena ketika mencobanya cincin itu tak cukup di jarinya.
“Dan ini gak pas Mas, itulah kenapa kemarin aku mau Mas ikut ketika membeli cincin pernikahan kita, tapi Mas selalu menolak, akhirnya Mas gak tahu ukuran jariku bukan.” ucapnya yang masih memaksa cincin itu masuk ke jarinya.
“Dita, jelas itu tak akan cukup di jarimu. Itu bukan untukmu atau milikmu.”
Dita menatap Faiz dengan pandangan bingung.
“Apa maksud ucapan Mas tadi? Jelaskan padaku?!!” ucap Dita dengan wajah bingung.
“Kau sudah mendengarnya bukan? Aku mengatakannya dua kali tadi, sangat jelas dan itu tak perlu aku ulang.” ucapnya sembari menatapku lagi, aku tahu Mas Faiz berani mengakui semua ini karena masalah Mas Gardy telah selesai jadi dia merasa tak perlu ada yang ditutupi lagi.
“Iya, aku dengar dengan sangat jelas, kau menyebut memberikan pada istriku, jelas itu ditujukan buat aku bukan? Aku calon istrimu. Jadi itu untukku bukan?”
“Maaf Dita, tapi tadi aku menyebut istriku, bukan calon istriku.”
Dita kembali terkejut dengan ucapan Faiz. Beberapa pegawai mulai sibuk berbisik kembali, mungkin mereka tak percaya jika Bos mereka telah menikah.
“Mas, kau sedang berbohong bukan? Mas hanya ingin pertunangan kita mundur kan? Kalo Mas memang ingin pertunangan kita mundur, aku gak pa-pa, aku akan menunggu lagi, tapi jangan buat lelucon seperti ini. Ini sungguh tidak lucu.”
“Dita, tak ada yang membuat lelucon di sini. Aku telah menikah.”
“Mas, berbenti berbohong!!! Kau baru tiba setelah menjenguk Ayah, jadi tak mungkin kau sudah menikah.”
“Aku tak berbohong, itu kenyataannya.”
“Mas!! Aku tahu Mas pasti melakukan ini karena Ayah meminta mengikuti permintaanku kan untuk mengajakmu tinggal di sana?”
“Dita, sebelum kau menduga-duga lagi, sebaiknya kau tahu siapa pemilik cincin itu.”
“Gak Mas, aku gak percaya semua ini.”
“Sebaiknya kau percaya, dan maaf aku tak ada niat menyakitimu namun kenyataannya memang tak ada hati atau cinta untukmu.”
Dita perlahan mulai menangis.
“Mas, kenapa kau ulangi lagi perkataan itu? Apa kau tak ada sedikitpun berusaha mencintaiku? Aku yang selama ini bersama Mas, aku yang menemani Mas, dan Mas tega mengatakan itu lagi.”
“Dita, aku mohon, maafkan aku, tapi itu kenyataannya. Kita akan bicara lagi setelah ini, sekarang bisa kau kembalikan cincin itu padaku? Sudah saatnya semua tahu tentang ini.”
Kulihat Dita menyerahkan cincin itu dengan wajah yang basah dengan air mata, aku menatap Mas faiz yang telah menatapku dengan senyum, namun tiba-tiba Mas Faiz memanggil Fina yang sedari tadi diam dan bingung untuk mendekat kembali.
Dita diam menahan tangis, namun sesaat aku dapati dia sedang menatapku tajam seolah-olah tahu siapa yang di maksud istri Mas Faiz.
“Fina, kau tanya kembali siapa pemilik cincin itu?” ucap Faiz dengan wajah santai.
“Tapi Pak, bukankah tadi kata bapak, cincin ini untuk istri Pak Faiz? Kenapa aku harus bertanya di sini lagi”
“Ya, karena istriku ada di sini, dan bukankah pegawai di sini belum ada yang menjawab siapa pemilik cincin itu. Kali ini akan ada yang menjawabnya, dan yang menjawabnya itulah istriku.” ucap Faiz sembari menatap ke arahku.
Fina mengangguk dan perlahan mulai mengangkat tangannya dan mulai bertanya. Ada perasaan gugup namun bahagia yang kurasa saat ini, itu karena kami akan mengakui pernikahan kami.
“Apakah ada pemilik cincin ini di sini?” ucap Fina dengan pelan.
“Fina, kau tanya kembali siapa pemilik cincin itu?” ucap Faiz dengan wajah santai.
“Tapi Pak, bukankah tadi kata bapak, cincin ini untuk istri Pak Faiz? Kenapa aku harus bertanya di sini lagi”
“Ya, karena istriku ada di sini, dan bukankah pegawai di sini belum ada yang menjawab siapa pemilik cincin itu. Kali ini akan ada yang menjawabnya, dan yang menjawabnya itulah istriku.” ucap Faiz sembari menatap ke arahku.
Fina mengangguk dan perlahan mulai mengangkat tangannya dan mulai bertanya. Ada perasaan gugup namun bahagia yang kurasa saat ini, itu karena kami akan mengakui pernikahan kami.
“Apakah ada pemilik cincin ini di sini?” ucap Fina dengan pelan.
Faiz menatapku dengan tatapan agar aku segera mengakuinya, namun ketika mataku tertuju pada Dita, ada perasaan bersalah melihat dia seperti itu, aku memang membencinya, tapi apa ini waktu yang tepat mengakuinya? Bukankah itu akan lebih mempermalukan dan menyakitinya, aku diam dan bingung. Kudengar Fina bertanya lagi atas permintaan Mas Faiz.
“Hei, kenapa kau diam? Apa kau mau Pak Faiz ada yang mengakuinya?” ucap Diva membuyarkan lamunanku. Aku sedikit terkejut, tidak, aku istrinya, tak ada yang boleh mengambilnya, gumamku.
“Cincin itu punyaku.” ucapku pelan yang membuat semua orang seketika memandang kepadaku dengan wajah terkejut, kulihat Fina menatapku dengan wajah yang tak kalah terkejutnya.
“Itulah istriku.” ucap Faiz sambil tersenyum bahagia, karena aku telah mau mengakuinya juga.
Aku membalas senyumnya kemudian mendekat ke arah Mas Faiz dan Fina.
“Hei, kenapa kau diam? Apa kau mau Pak Faiz ada yang mengakuinya?” ucap Diva membuyarkan lamunanku. Aku sedikit terkejut, tidak, aku istrinya, tak ada yang boleh mengambilnya, gumamku.
“Cincin itu punyaku.” ucapku pelan yang membuat semua orang seketika memandang kepadaku dengan wajah terkejut, kulihat Fina menatapku dengan wajah yang tak kalah terkejutnya.
“Itulah istriku.” ucap Faiz sambil tersenyum bahagia, karena aku telah mau mengakuinya juga.
Aku membalas senyumnya kemudian mendekat ke arah Mas Faiz dan Fina.
Fina menatapku dengan tak percaya, pegawai yang lainpun terdengar mulai berbicara tak jelas. Faiz perlahan mengambil cincin itu dan meraih jariku dan memasangkannya di jariku. Aku tersenyum bahagia, dia kemudian mengenggam tanganku dengan mesra.
“Jangan pernah melepasnya lagi.” ucapnya dengan tersenyum.
“Oh ya, aku perkenalkan, wanita ini adalah istriku". ucapnya lagi dengan suara keras.
Mendengar ucapan Fais, membuat Dita bangkit dan seketika berjalan dengan cepat ke arahku.
“Kau, dasar kau wanita perusak, kau mengahancurkan hubunganku. Kalian lihat? Wanita ini pengganggu, dia merebut calon suamiku.” ucapnya dengan pandangan marah.
“Dita, jangan bicara sembarangan, kau jelas tahu bagaimana perasaanku pada Nada.” ucap Faiz dengan wajah serius.
“Kau berbohong Mas, bagaimana mungkin kalian menikah secepat ini. Aku tak percaya. Kalian lihat? Wanita ini menggoda calon suamiku dan membuat dia mau melakukan kebohongan hina seperti ini, itu biar apa? Biar kami tak jadi menikah. Wanita ini sengaja membuat sebuah cincin palsu dan berusaha bersandiwara di hadapanku, tapi aku tak bisa segampang itu dibohongi.”
“Dita, cincin itu asli, aku punya pasangannya.” ucap Faiz sembari menunjukan cincin di jari tangannya, semua kembali mendengar dengan tidak percaya, termasuk Fina yang semakin bingung dengan semuanya.
Dita menatap jari tangan Faiz dengan perasaan hancur, perlahan diapun jatuh kelantai, Fina bergegas untuk menahannya dan mengangkatnya.
“Mbak, sebaiknya aku antar Mbak pulang ya, pembicaraan ini ada baiknya tak di lanjutkan di depan semua orang, Mbak bisa berbicara lagi dengan Pak Faiz dan meminta penjelasan kembali.” ucap Fina pelan.
“Kau tak tahu sakit hatiku!!” ucap Dita dengan air matanya. Aku dan Faiz hanya memandang dengan perasaan bersalah, aku perlahan ingin mendekat dan berbicara, namun Mas Faiz mengenggam tanganku semakin erat seolah memberi isyarat untuk tak mendekat.
“Maaf jika ini akan sangat menyakitimu, tapi ini kenyataannya, aku dan Nada adalah suami istri.” ucap Faiz lagi.
“Berhenti bicara seperti itu Mas!!! ucap Dita lagi.
“Mbak, tenanglah, aku akan mengantar Mbak pulang, Mbak sedang terkejut dengan keadaan ini, makanya tak bisa bicara dengan tenang, apalagi ini di depan banyak orang Mbak, jangan membuat diri Mbak terhina dihadapan orang-orang.”
“Dita!!!” ucap Seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul membuat semua menatap bingung.
“Kak Doni?” ucap Dita terkejut sembari berdiri dibantu Fina.
“Dita, kenapa kau hinakan dirimu seperti ini?” ucap Doni sambil mendekat.
“Kakak, Mas Faiz ...,” ucapnya sembari memeluk kakaknya dan menangis.
“Dita, kenapa kau bisa seperti ini?”
“Mas Faiz yang membuat aku seperti ini, tapi tidak, bukan Mas Faiz, tapi wanita itu. Dia, ya dia itu yang membuat Mas Faiz berubah, padahal sebentar lagi kami akan menikah.” ucapnya sambil menunjuk ke arahku. Doni nampak menatapku dengan tajam, dia perlahan berjalan dan mendekat kearah aku dan Mas Faiz.
“Doni, apa kabar? Maafkan jika harus seperti ini.” ucap Faiz dengan wajah bersalah, ya itu karena dia dan Doni dulu sahabat karib, dan dulu waktu Faiz kabur dari Rumah, Rumah Doni adalah tempat tinggalnya saat itu, jadi Saat ini Faiz merasa bersalah telah membuat adik sahabatnya terluka.
“Tak ada yang bersalah disini Faiz, jikapun ada semua itu adalah kesalahan Dita.” ucap Doni membuat aku dan Faiz menatap tidak percaya dengan ucapannya.
“Kakak!!! Apa maksud Kakak bicara seperti itu? Kakak harusnya membelaku bukan membela mereka!” ucap Dita berteriak sembari mendekat pada Doni.
“Aku rasa tak ada yang perlu dibahas lagi. Semua sudah sangat jelas, dan kau, Nada bukan namamu? Dari lubuk hati aku meminta maaf atas tindakan adikku dulu di toko dan juga atas perbuatannya yang telah menyakitimu.” ucap Doni dengan wajah serius dan tak memperdulikan ucapan adiknya.
“Kakak!!! Apa maksud kakak dengan minta maaf padanya? Aku yang disakiti dan kakak malah membelanya?”
“Ayuk kita pulang, Ayah tadi menelponku dan menyuruhku membawa kau kembali ke luar negri.”
“Ayah? Apa maksud kakak kalo Ayah menyuruhku pulang?”
“Akan Kakak cerita nanti di mobil. Sekarang ayuk pulang.” ucap Doni sembari menarik tangan Dita.
“Kakak, aku gak mau!!!.”
Doni tak perduli dengan penolakan adiknya, dia tetap menarik tangan Dita dan membawanya keluar dari kantor Faiz.
“Jangan pernah melepasnya lagi.” ucapnya dengan tersenyum.
“Oh ya, aku perkenalkan, wanita ini adalah istriku". ucapnya lagi dengan suara keras.
Mendengar ucapan Fais, membuat Dita bangkit dan seketika berjalan dengan cepat ke arahku.
“Kau, dasar kau wanita perusak, kau mengahancurkan hubunganku. Kalian lihat? Wanita ini pengganggu, dia merebut calon suamiku.” ucapnya dengan pandangan marah.
“Dita, jangan bicara sembarangan, kau jelas tahu bagaimana perasaanku pada Nada.” ucap Faiz dengan wajah serius.
“Kau berbohong Mas, bagaimana mungkin kalian menikah secepat ini. Aku tak percaya. Kalian lihat? Wanita ini menggoda calon suamiku dan membuat dia mau melakukan kebohongan hina seperti ini, itu biar apa? Biar kami tak jadi menikah. Wanita ini sengaja membuat sebuah cincin palsu dan berusaha bersandiwara di hadapanku, tapi aku tak bisa segampang itu dibohongi.”
“Dita, cincin itu asli, aku punya pasangannya.” ucap Faiz sembari menunjukan cincin di jari tangannya, semua kembali mendengar dengan tidak percaya, termasuk Fina yang semakin bingung dengan semuanya.
Dita menatap jari tangan Faiz dengan perasaan hancur, perlahan diapun jatuh kelantai, Fina bergegas untuk menahannya dan mengangkatnya.
“Mbak, sebaiknya aku antar Mbak pulang ya, pembicaraan ini ada baiknya tak di lanjutkan di depan semua orang, Mbak bisa berbicara lagi dengan Pak Faiz dan meminta penjelasan kembali.” ucap Fina pelan.
“Kau tak tahu sakit hatiku!!” ucap Dita dengan air matanya. Aku dan Faiz hanya memandang dengan perasaan bersalah, aku perlahan ingin mendekat dan berbicara, namun Mas Faiz mengenggam tanganku semakin erat seolah memberi isyarat untuk tak mendekat.
“Maaf jika ini akan sangat menyakitimu, tapi ini kenyataannya, aku dan Nada adalah suami istri.” ucap Faiz lagi.
“Berhenti bicara seperti itu Mas!!! ucap Dita lagi.
“Mbak, tenanglah, aku akan mengantar Mbak pulang, Mbak sedang terkejut dengan keadaan ini, makanya tak bisa bicara dengan tenang, apalagi ini di depan banyak orang Mbak, jangan membuat diri Mbak terhina dihadapan orang-orang.”
“Dita!!!” ucap Seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul membuat semua menatap bingung.
“Kak Doni?” ucap Dita terkejut sembari berdiri dibantu Fina.
“Dita, kenapa kau hinakan dirimu seperti ini?” ucap Doni sambil mendekat.
“Kakak, Mas Faiz ...,” ucapnya sembari memeluk kakaknya dan menangis.
“Dita, kenapa kau bisa seperti ini?”
“Mas Faiz yang membuat aku seperti ini, tapi tidak, bukan Mas Faiz, tapi wanita itu. Dia, ya dia itu yang membuat Mas Faiz berubah, padahal sebentar lagi kami akan menikah.” ucapnya sambil menunjuk ke arahku. Doni nampak menatapku dengan tajam, dia perlahan berjalan dan mendekat kearah aku dan Mas Faiz.
“Doni, apa kabar? Maafkan jika harus seperti ini.” ucap Faiz dengan wajah bersalah, ya itu karena dia dan Doni dulu sahabat karib, dan dulu waktu Faiz kabur dari Rumah, Rumah Doni adalah tempat tinggalnya saat itu, jadi Saat ini Faiz merasa bersalah telah membuat adik sahabatnya terluka.
“Tak ada yang bersalah disini Faiz, jikapun ada semua itu adalah kesalahan Dita.” ucap Doni membuat aku dan Faiz menatap tidak percaya dengan ucapannya.
“Kakak!!! Apa maksud Kakak bicara seperti itu? Kakak harusnya membelaku bukan membela mereka!” ucap Dita berteriak sembari mendekat pada Doni.
“Aku rasa tak ada yang perlu dibahas lagi. Semua sudah sangat jelas, dan kau, Nada bukan namamu? Dari lubuk hati aku meminta maaf atas tindakan adikku dulu di toko dan juga atas perbuatannya yang telah menyakitimu.” ucap Doni dengan wajah serius dan tak memperdulikan ucapan adiknya.
“Kakak!!! Apa maksud kakak dengan minta maaf padanya? Aku yang disakiti dan kakak malah membelanya?”
“Ayuk kita pulang, Ayah tadi menelponku dan menyuruhku membawa kau kembali ke luar negri.”
“Ayah? Apa maksud kakak kalo Ayah menyuruhku pulang?”
“Akan Kakak cerita nanti di mobil. Sekarang ayuk pulang.” ucap Doni sembari menarik tangan Dita.
“Kakak, aku gak mau!!!.”
Doni tak perduli dengan penolakan adiknya, dia tetap menarik tangan Dita dan membawanya keluar dari kantor Faiz.
Dita akhirnya hanya bisa mengikuti keingingan kakaknya untuk pulang, sebelum berlalu kulihat wanita itu memandangku dengan pandangan kebencian.
Setelah kepergiannya, Aku berusaha melepas pegangan tangan Mas Faiz, namun laki-laki itu menggeleng. Semua pegawai kini sedang menatap kami dengan kebingungan.
“Tolong dengarkan aku, hari ini aku tegaskan kembali, aku telah menikah dengan seorang wanita yang aku cintai yaitu Nada, dia istriku jadi aku harap kalian bisa bersikap sopan padanya sebagaimana kalian melakukannya padaku.”
Aku nenatap kearah Mas Faiz dengan bahagia, ya meskipun ada rasa bersalah dengan menyakiti Dita, namun semua memang harus terjadi seperti ini, akan ada yang tersakiti dengan kejujuran ini. Beberapa pegawai mengangguk dan mengucapkan selamat kepada kami.
“Diva, terima kasih sudah menjaganya dengan baik.” ucap Mas Faiz ketika Diva hendak pulang.
“Sudah kukatakan kalo aku akan menepati janjiku bukan? Selamat berbahagia Pak Faiz dan Bu Faiz.” ucapnya sambil tersenyum dan berlalu. Mas Faiz kemudian menarik tanganku dan membawaku ke ruangannya, sementara aku masih bisa melihat Diva mendekat ke arah Fina.
“Bersiap-siaplah. Akan ada pegawai baru yang menggantikanmu.” ucap Diva sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan Fina yang terpaku dan tak percaya semua kenyataan yang barusan didengarnya.
•••
“Kenapa Mas tak bilang kalo akan kembali?” tanyaku ketika masuk ke ruangannya.
Laki-laki itu perlahan melepas tanganku dan meraih tubuhku dan memelukku dengan erat.
“Kau tahu, Ayah yang menyuruhku kesini. Dia memintaku untuk menjemputmu dan ingin bertemu denganmu.” ucapnya dengan pandangan bahagia, dia kemudian perlahan menceritakan semuanya.
Aku mendengar ceritanya dengan pandangan bahagia, tak percaya kalo pak Adi sangat baik dan mau menerimaku.
“Aku tak percaya, masalah kita selesai satu persatu, meskipun harus ada yang tersakiti tapi semua memang harus seperti itu jalannya.”
“Iya sayang, aku sangat bahagia telah mengakuimu dan mengakui pernikahan kita, aku senang sekali.” ucapnya lagi kemudian memelukku lagi.
“Kita, harus menceritakan semua ini pada ibu, ini berita bahagia.” ucapku dengan mata berkaca-kaca menahan haru rasa bahagia.
“Hei, jangan menangis, aku berjanji akan membayar semua air matamu yang sempat terbuang karena aku, aku akan menggantikannya dengan semua kebahagian.”
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Mas, aku sangat senang kau kembali.”
“Apa kau merindukannku?” tanya dengan wajah menggoda.
Aku menatapnya dengan diam, dan perlahan melingkarkan tanganku di lehernya dan menciumnya. Mas Faiz sangat terkejut dengan tindakanku, namun aku tahu dia mengerti jawaban dari pertanyaaannya lewat ciumanku.
“Ayuk, kita rayakan kebahagian kita, aku ingin menceritakan berita bahagia padamu dengan lebih jelas lagi, dan akupun ingin mendengar semua cerita darimu selama aku tak ada disini.” ucapnya sembari menarik tanganku dan berjalan keluar dari kantor.
•••
“Dita berhentilah menangis. Apa kau akan begitu terus?” ucap Doni ketika mobil mereka melaju pulang.
“Kak Doni tega, tega tak membelaku di hadapan mereka, aku dipermalukan seperti itu dan kakak malah menambah membuat aku semakin malu.” jawab Dita sembari terus menangis.
“Dita, kau jelas tahu kalo apa yang kakak lakukan benar, tapi rasa benci menutupi hatimu.”
“Apa maksud kakak?”
“Kau wanita cantik, terhormat, terpelajar, kenapa kau hinakan dirimu seperti itu tadi.”
“Kakak, kau tahu bukan aku sangat mencintai Mas Faiz, sejak dulu ketika dia tinggal di rumah kita, dan aku sudah menceritakannya pada Kakak. Bahkan kakak menyetujuinya, tapi kenapa kakak sekarang bersikap seperti ini?”
“Ya dulu, kakak menyetujuinya, hingga tadi sebelum kakak mengetahui semua kebenarannya.”
Dita menatap kakaknya dengan wajah bingung.
“Apa maksud kakak?”
“Ayah tadi menceritakan semuanya, pak Adi menelponnya.”
“Pak Adi? Jadi pak Adi juga tahu semua ini?”
“Ya, sepertinya seperti itu.”
“Jadi mereka semua membohongiku?” Aku tak terima semua ini!!!”
Melihat adiknya begitu marah, Doni segera menepikan mobilnya.
“Dita tenanglah. Tidak ada yang membohongimu. Mereka jujur, dan itu bagus bukan? Sebelum kau nanti kecewa dan sakit hati.”
“Dan sekarang aku benar-benar sakit hati. Kakak tak tahu bagaimana perasaan seorang wanita ketika pernikahannya batal.”
“Dita, sekarang kau merasakan apa yang dirasakan Nada dulu bukan?”
“Kakak!! Tega kakak mengatakan itu.”
“Dengar Dita, kau harusnya bersyukur tak jadi menikah dengan Faiz. Apa kau mau hidup dengan laki-laki yang tak mencintaimu?”
“Mas Faiz mencintaiku kak, kalo dia tak mencintaiku kenapa dia menerima perjodohan ini?”
“Kau jangan membohongi hatimu, jelas kau tahu Faiz hanya mencintai Nada. Dulu kakak sebenarnya tak ingin kau mendekati Faiz, karena sesama laki-laki kakak tahu dia benar-benar mencintai Nada meskipun awalnya hanya untuk membantumu.”
“Tapi kak, kalo Nada gak hadir kembali, pasti aku sudah menikah dengannya, dan aku yakin bisa membuat Mas Faiz jatuh cinta padaku.”
“Lima tahun kau berusaha membuat Faiz jatuh cinta, tapi kenyataannya kau lihat? Cintanya kembali pada pemilik hatinya. Kau tak bisa memaksa perasaan orang.”
“Tapi aku yakin kelak dia akan mencintaiku.”
“Tapi kenyataannya sekarang dia telah menikah dengan Nada, dan kau tak bisa berharap lagi.”
“Kakak ...,”
“Perjodohan kalian tak akan membuahkan cinta.”
“Tapi banyak kak yang dijodohkan dan berujung cinta.”
“Iya, mungkin banyak, jika keduanya menerima perjodohan itu, tapi di sini, Faiz jelas sangat tak ingin menerima perjodohan kalian, dia terpaksa.”
“Kakak, kedua orang tua kita di jodohkan, dan lihat mereka baik-baik saja, bahkan saling mencintai sekarang.”
“Dita, dengar, mungkin kau sudah saatnya tahu, dulu aku sempat mendengar ibu dan Ayah bercerita, dan kau tahu, ibu ternyata dulu tak mau perjodohan ini karena mencintai orang lain, namun karena desakan nenek, ibu akhirnya menerima, dan saat itu aku mendengar kata ibu kalo dia tak bisa mencintai Ayah karena bayangan masa lalunya, dan mereka hanya berusaha menjalani saja pernikahan mereka karena sudah terlanjur terikat, makanya ketika pak Adi membatalkan pernikahanmu tadi, Ibu sangat senang karena dia tak ingin kau sepertinya, dia ingin kau menikah dengan laki-laki yang mencintaimu.”
Dita diam mendengar semuanya, air matanya terus menetes. Doni mengambil sebuah tissue dan menghapus air mata adik semata wayangnya itu.
“Sudahlah, aku rasa jodohmu ada di suatu tempt, dia sedang menunggumu. Kau tahu, dicintai akan membuat kita dihargai, maka tunggulah laki-laki yang akan menghargai perasaan dan cintamu.” ucap Doni sembari memeluk adiknya.
•••
“Nak Faiz, kau sudah kembali? Bagaimana keadaan Ayah nak Faiz?” tanya ibu ketika kami tiba di Rumah.
“Alhamdulillah, sekarang udah baikan Bu, dan aku punya berita baik juga.” ucap Faiz sembari memandangku.
“Nada, bisa kau tinggalkan ibu dan Nak Faiz, ibu ingin mendengarkan semuanya. sebaiknya kau mandi saja dulu.” ucap ibu mengusirku yang membuat aku dan Mas Faiz bingung, tapi aku memilih mengikuti perintah ibu karena memang aku juga sangat lelah.
Aku perlahan berjalan dan masuk ke kamar, namun ketika masuk, mataku tertuju pada sebuah kotak diatas kasur berwarna pink, aku perlahan mendekat dan mengambilnya, berusaha melihat apa ada nama pengirim, siapa yang mengirimnya? Apa Mas Faiz ingin memberiku kejutan? Aku tersenyum sembari membuka bungkusan kotak itu dan terkejut ketika melihat isinya, sebuah baju transparan berwarna hitam yang membuat aku memandang wajah merona malu, dan sebuah kertas jatuh ketika aku mengangkat baju itu.
{Nada, maaf jika Ibu memberimu seperti ini, kemarin ibu sempat mendengar ucapanmu ditelpon, bahwa kau ingin menikmati pernikahan kalian, bearti kau sudah mulai membuka dirimu untuk Nak Faiz, ibu sangat senang, jadi ibu belikan ini sebagai hadiah. Nanti jika Nak Faiz pulang jangan lupa di pakai ya, ibu ingin segera memiliki cucu}
Aku duduk sembari tersenyum malu, aku saja tak terpikirkan akan hal itu namun ibuku bisa memikirkan hal ini.
“Tolong dengarkan aku, hari ini aku tegaskan kembali, aku telah menikah dengan seorang wanita yang aku cintai yaitu Nada, dia istriku jadi aku harap kalian bisa bersikap sopan padanya sebagaimana kalian melakukannya padaku.”
Aku nenatap kearah Mas Faiz dengan bahagia, ya meskipun ada rasa bersalah dengan menyakiti Dita, namun semua memang harus terjadi seperti ini, akan ada yang tersakiti dengan kejujuran ini. Beberapa pegawai mengangguk dan mengucapkan selamat kepada kami.
“Diva, terima kasih sudah menjaganya dengan baik.” ucap Mas Faiz ketika Diva hendak pulang.
“Sudah kukatakan kalo aku akan menepati janjiku bukan? Selamat berbahagia Pak Faiz dan Bu Faiz.” ucapnya sambil tersenyum dan berlalu. Mas Faiz kemudian menarik tanganku dan membawaku ke ruangannya, sementara aku masih bisa melihat Diva mendekat ke arah Fina.
“Bersiap-siaplah. Akan ada pegawai baru yang menggantikanmu.” ucap Diva sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan Fina yang terpaku dan tak percaya semua kenyataan yang barusan didengarnya.
•••
“Kenapa Mas tak bilang kalo akan kembali?” tanyaku ketika masuk ke ruangannya.
Laki-laki itu perlahan melepas tanganku dan meraih tubuhku dan memelukku dengan erat.
“Kau tahu, Ayah yang menyuruhku kesini. Dia memintaku untuk menjemputmu dan ingin bertemu denganmu.” ucapnya dengan pandangan bahagia, dia kemudian perlahan menceritakan semuanya.
Aku mendengar ceritanya dengan pandangan bahagia, tak percaya kalo pak Adi sangat baik dan mau menerimaku.
“Aku tak percaya, masalah kita selesai satu persatu, meskipun harus ada yang tersakiti tapi semua memang harus seperti itu jalannya.”
“Iya sayang, aku sangat bahagia telah mengakuimu dan mengakui pernikahan kita, aku senang sekali.” ucapnya lagi kemudian memelukku lagi.
“Kita, harus menceritakan semua ini pada ibu, ini berita bahagia.” ucapku dengan mata berkaca-kaca menahan haru rasa bahagia.
“Hei, jangan menangis, aku berjanji akan membayar semua air matamu yang sempat terbuang karena aku, aku akan menggantikannya dengan semua kebahagian.”
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Mas, aku sangat senang kau kembali.”
“Apa kau merindukannku?” tanya dengan wajah menggoda.
Aku menatapnya dengan diam, dan perlahan melingkarkan tanganku di lehernya dan menciumnya. Mas Faiz sangat terkejut dengan tindakanku, namun aku tahu dia mengerti jawaban dari pertanyaaannya lewat ciumanku.
“Ayuk, kita rayakan kebahagian kita, aku ingin menceritakan berita bahagia padamu dengan lebih jelas lagi, dan akupun ingin mendengar semua cerita darimu selama aku tak ada disini.” ucapnya sembari menarik tanganku dan berjalan keluar dari kantor.
•••
“Dita berhentilah menangis. Apa kau akan begitu terus?” ucap Doni ketika mobil mereka melaju pulang.
“Kak Doni tega, tega tak membelaku di hadapan mereka, aku dipermalukan seperti itu dan kakak malah menambah membuat aku semakin malu.” jawab Dita sembari terus menangis.
“Dita, kau jelas tahu kalo apa yang kakak lakukan benar, tapi rasa benci menutupi hatimu.”
“Apa maksud kakak?”
“Kau wanita cantik, terhormat, terpelajar, kenapa kau hinakan dirimu seperti itu tadi.”
“Kakak, kau tahu bukan aku sangat mencintai Mas Faiz, sejak dulu ketika dia tinggal di rumah kita, dan aku sudah menceritakannya pada Kakak. Bahkan kakak menyetujuinya, tapi kenapa kakak sekarang bersikap seperti ini?”
“Ya dulu, kakak menyetujuinya, hingga tadi sebelum kakak mengetahui semua kebenarannya.”
Dita menatap kakaknya dengan wajah bingung.
“Apa maksud kakak?”
“Ayah tadi menceritakan semuanya, pak Adi menelponnya.”
“Pak Adi? Jadi pak Adi juga tahu semua ini?”
“Ya, sepertinya seperti itu.”
“Jadi mereka semua membohongiku?” Aku tak terima semua ini!!!”
Melihat adiknya begitu marah, Doni segera menepikan mobilnya.
“Dita tenanglah. Tidak ada yang membohongimu. Mereka jujur, dan itu bagus bukan? Sebelum kau nanti kecewa dan sakit hati.”
“Dan sekarang aku benar-benar sakit hati. Kakak tak tahu bagaimana perasaan seorang wanita ketika pernikahannya batal.”
“Dita, sekarang kau merasakan apa yang dirasakan Nada dulu bukan?”
“Kakak!! Tega kakak mengatakan itu.”
“Dengar Dita, kau harusnya bersyukur tak jadi menikah dengan Faiz. Apa kau mau hidup dengan laki-laki yang tak mencintaimu?”
“Mas Faiz mencintaiku kak, kalo dia tak mencintaiku kenapa dia menerima perjodohan ini?”
“Kau jangan membohongi hatimu, jelas kau tahu Faiz hanya mencintai Nada. Dulu kakak sebenarnya tak ingin kau mendekati Faiz, karena sesama laki-laki kakak tahu dia benar-benar mencintai Nada meskipun awalnya hanya untuk membantumu.”
“Tapi kak, kalo Nada gak hadir kembali, pasti aku sudah menikah dengannya, dan aku yakin bisa membuat Mas Faiz jatuh cinta padaku.”
“Lima tahun kau berusaha membuat Faiz jatuh cinta, tapi kenyataannya kau lihat? Cintanya kembali pada pemilik hatinya. Kau tak bisa memaksa perasaan orang.”
“Tapi aku yakin kelak dia akan mencintaiku.”
“Tapi kenyataannya sekarang dia telah menikah dengan Nada, dan kau tak bisa berharap lagi.”
“Kakak ...,”
“Perjodohan kalian tak akan membuahkan cinta.”
“Tapi banyak kak yang dijodohkan dan berujung cinta.”
“Iya, mungkin banyak, jika keduanya menerima perjodohan itu, tapi di sini, Faiz jelas sangat tak ingin menerima perjodohan kalian, dia terpaksa.”
“Kakak, kedua orang tua kita di jodohkan, dan lihat mereka baik-baik saja, bahkan saling mencintai sekarang.”
“Dita, dengar, mungkin kau sudah saatnya tahu, dulu aku sempat mendengar ibu dan Ayah bercerita, dan kau tahu, ibu ternyata dulu tak mau perjodohan ini karena mencintai orang lain, namun karena desakan nenek, ibu akhirnya menerima, dan saat itu aku mendengar kata ibu kalo dia tak bisa mencintai Ayah karena bayangan masa lalunya, dan mereka hanya berusaha menjalani saja pernikahan mereka karena sudah terlanjur terikat, makanya ketika pak Adi membatalkan pernikahanmu tadi, Ibu sangat senang karena dia tak ingin kau sepertinya, dia ingin kau menikah dengan laki-laki yang mencintaimu.”
Dita diam mendengar semuanya, air matanya terus menetes. Doni mengambil sebuah tissue dan menghapus air mata adik semata wayangnya itu.
“Sudahlah, aku rasa jodohmu ada di suatu tempt, dia sedang menunggumu. Kau tahu, dicintai akan membuat kita dihargai, maka tunggulah laki-laki yang akan menghargai perasaan dan cintamu.” ucap Doni sembari memeluk adiknya.
•••
“Nak Faiz, kau sudah kembali? Bagaimana keadaan Ayah nak Faiz?” tanya ibu ketika kami tiba di Rumah.
“Alhamdulillah, sekarang udah baikan Bu, dan aku punya berita baik juga.” ucap Faiz sembari memandangku.
“Nada, bisa kau tinggalkan ibu dan Nak Faiz, ibu ingin mendengarkan semuanya. sebaiknya kau mandi saja dulu.” ucap ibu mengusirku yang membuat aku dan Mas Faiz bingung, tapi aku memilih mengikuti perintah ibu karena memang aku juga sangat lelah.
Aku perlahan berjalan dan masuk ke kamar, namun ketika masuk, mataku tertuju pada sebuah kotak diatas kasur berwarna pink, aku perlahan mendekat dan mengambilnya, berusaha melihat apa ada nama pengirim, siapa yang mengirimnya? Apa Mas Faiz ingin memberiku kejutan? Aku tersenyum sembari membuka bungkusan kotak itu dan terkejut ketika melihat isinya, sebuah baju transparan berwarna hitam yang membuat aku memandang wajah merona malu, dan sebuah kertas jatuh ketika aku mengangkat baju itu.
{Nada, maaf jika Ibu memberimu seperti ini, kemarin ibu sempat mendengar ucapanmu ditelpon, bahwa kau ingin menikmati pernikahan kalian, bearti kau sudah mulai membuka dirimu untuk Nak Faiz, ibu sangat senang, jadi ibu belikan ini sebagai hadiah. Nanti jika Nak Faiz pulang jangan lupa di pakai ya, ibu ingin segera memiliki cucu}
Aku duduk sembari tersenyum malu, aku saja tak terpikirkan akan hal itu namun ibuku bisa memikirkan hal ini.
Aku perlahan ke kamar mandi dan membersihkan diriku. Aku bingung apakah aku akan memakai baju ini atau tidak, bagaimana kalo Mas Faiz jijik melihatku seperti ini, atau dia malah menertawaiku, bukankah itu memalukan? Tapi kalo aku tak pakai, ibu pasti kecewa.
Aku akhirnya memilih memakainya, kalo terlihat lucu atau aneh di depan Mas Faiz, aku tinggal membukanya, gumamku. Dari kamar mandi aku mendengar pintu ditutup, dan kuyakin itu adalah Mas Faiz yang masuk.
Jantungku berdegub kencang dengan perasaan bimbang dan malu, aku sedikit mengintip dan melihat kalo Mas Faiz sedang menelpon, aku perlahan keluar pelan dengan wajah malu, aku berdiri di belakangnya, dia tak menyadari kedatanganku, karena dia sedang berbicara dengan seseorang, dan sepertinya itu adalah Pak Adi.
Aku membiarkan dia terus bercerita hingga akhirnya tiba-tiba dia berbalik dan terkejut melihat aku berdiri dibelakangnya dengan baju seperti itu.
Kulihat dia langsung menutup telponnya dan mendekat padaku dan menatapku yang membuat aku salah tingkah dan bingung.
“Nada, kau ...,” ucapnya padaku, aku merunduk malu dan berusaha menutupi sebagian tubuhku karena malu.
“Aku lucu ya?” ucapku masih merunduk.
Laki-laki itu semakin mendekatkan tubuhnya dan mengangkat wajahku yang merunduk malu.
“Kau cantik sekali.” ucapnya pelan.
“Mas pasti bercanda kan?”
“Gak, kau benar-benar cantik, apa kau melakukan ini untukku?”
“Ibu yang membelikannya Mas. Apa aku terlihat lucu? Aku akan mengangantinya.”
“Gak, gak, jangan, aku suka kau seperti ini ketika bersamaku.”
“Tapi aku malu Mas.”
“Terus...”
“Terus apa Mas?”
“Terus, jika kau sudah seperti ini, apa kau sudah siap?” ucapnya dengan pandangan menggoda.
“Hmmm, itu ...,”
“Itu apa, sekarang kau tak bisa menolakku karena kau tak punya alasan lagi untuk menolakku.” ucapnya sembari mengangkat tubuhku dan membawaku ke kasur kami. Aku hanya tersenyum dan membiarkannya mengangkatku.
“Malam ini, kita akan memulai pernikahan kita. Malam ini, kita lupakan semua kekecewaan yang pernah terjadi, malam ini kita mulai semuanya dengan cinta.” ucapnya sembari mulai menciumku, dan malam pengantin yang kuharapkan terjadi dengan perasaan penuh bahagia. Bahagia karena semua akhirnya berakhir dengan baik.
•••
Tengah malam aku bangun dengan perasaan bahagia, kulihat Mas Faiz masih tertidur, tangannya memelukku dengan erat.
“Nada, kau ...,” ucapnya padaku, aku merunduk malu dan berusaha menutupi sebagian tubuhku karena malu.
“Aku lucu ya?” ucapku masih merunduk.
Laki-laki itu semakin mendekatkan tubuhnya dan mengangkat wajahku yang merunduk malu.
“Kau cantik sekali.” ucapnya pelan.
“Mas pasti bercanda kan?”
“Gak, kau benar-benar cantik, apa kau melakukan ini untukku?”
“Ibu yang membelikannya Mas. Apa aku terlihat lucu? Aku akan mengangantinya.”
“Gak, gak, jangan, aku suka kau seperti ini ketika bersamaku.”
“Tapi aku malu Mas.”
“Terus...”
“Terus apa Mas?”
“Terus, jika kau sudah seperti ini, apa kau sudah siap?” ucapnya dengan pandangan menggoda.
“Hmmm, itu ...,”
“Itu apa, sekarang kau tak bisa menolakku karena kau tak punya alasan lagi untuk menolakku.” ucapnya sembari mengangkat tubuhku dan membawaku ke kasur kami. Aku hanya tersenyum dan membiarkannya mengangkatku.
“Malam ini, kita akan memulai pernikahan kita. Malam ini, kita lupakan semua kekecewaan yang pernah terjadi, malam ini kita mulai semuanya dengan cinta.” ucapnya sembari mulai menciumku, dan malam pengantin yang kuharapkan terjadi dengan perasaan penuh bahagia. Bahagia karena semua akhirnya berakhir dengan baik.
•••
Tengah malam aku bangun dengan perasaan bahagia, kulihat Mas Faiz masih tertidur, tangannya memelukku dengan erat.
Aku tersenyum malu mengingat kejadian semalam. Aku perlahan melepas pelukannya dan bangun hendak membersihkan diri, namun tangan itu tiba-tiba kembali menarikku dan memelukku.
Aku terkejut, tapi kulihat Mas Faiz masih menutup matanya.
“Sekarang jam berapa?” tanyanya dengan mata masih tertutup.
“Sekarang jam dua Mas.” jawabku pelan sambil tersenyum malu.
“Jam dua? Kenapa kau bangun tengah malam begini?”
“Aku ingin membersihkan diri.”
“Kau ingin membersihkan diri atau ingin mengulang yang semalam.” ucapnya menggoda sembari mencium kepalaku, membuat aku semakin tersipu malu.
“Mas, aku tak percaya jika malam pengantin kita yang tertunda lima tahun dahulu bisa terjadi saat ini?” ucapku sembari mengangkat wajahku dan menatapnya yang sudah membuka matanya dan menatapku juga.
“Aku juga tak percaya, namun semua kejadian yang terjadi membuat aku menyadari cintaku padamu yang besar, dulu aku meninggalkanmu karena merasa tak ada cinta untukmu, dan waktu menunjukan kalo ternyata aku salah, aku memiliki cinta yang besar padamu. Aku mencintaimu Nada, sangat mencintaimu.” ucapnya sembari memelukku erat.
Aku tersenyum bahagia dan balas memeluknya dengan erat.
“Aku juga mencintaimu Mas.” ucapku pelan.
Faiz seketika melepas pelukannya dan memandangku karena terkejut mendengar ucapanku.
“Apa aku tak salah dengar yang barusan kau katakan? Bisa kau ulangi lagi sayang?”
Aku tersenyum kemudian memegang pipinya.
“Aku mencintaimu Mas, sangat mencintaimu.”
Mata Mas Faiz nampak berbinar-binar.
“Kapan kau mulai mencintaiku lagi? Aku tahu masih ada sedikit cinta untukku bukan?”
“Gak Mas, bukan sedikit cinta, tapi cinta yang besar seperti cinta Mas padaku.”
“Tapi dulu kau bilang?”
“Aku mencintai Mas dahulu, sekarang dan akan datang, dan perasaan itu tetap utuh sedari dulu.”
“Sayang, aku tak percaya kalo kau masih mencintaiku sebesar itu, aku tak percaya kau mengatakannya.”
“Baiklah, akan aku buktikan kalo aku sangat mencintai Mas.” ucapku dengan senyum menggoda, seperti mengerti maksudku Mas Faizpun tersenyum bahagia dan mulai menciumku lagi.
•••
“Nada, bagaimana semalam? Apa kau memakai hadiah pemberian ibu?” ucap ibu menggoda ketika kami sedang mempersiapkan sarapan.
“Iya Bu.” ucapku malu.
“Dan, apa yang terjadi?”
“Maksud ibu apa?”
“Doakan ya Bu semoga Ibu segera menjadi seorang Nenek.” ucap Faiz yang ternyata sedari tadi mendengar percakapan kami, membuat aku tersenyum malu.
“Oh ada Nak Faiz rupanya, baguslah kalo Nak Faiz mengerti keinginan Ibu.” ucap Ibu tersenyum menggoda pada Mas Faiz dan meninggalkan kami. Melihat ibu tak ada, Faiz perlahan mendekat dan memelukku dari belakang.
“Terima kasih untuk semalam.” ucapnya sembari mencium pipiku.
“Mas, nanti dilihat ibu. Malu.”
“Ibu tak meminta kalian memberikan cucu di dapur ya.” ucap ibu yang tiba-tiba kembali dan memergoki kemesraan kami.
“Sekarang jam berapa?” tanyanya dengan mata masih tertutup.
“Sekarang jam dua Mas.” jawabku pelan sambil tersenyum malu.
“Jam dua? Kenapa kau bangun tengah malam begini?”
“Aku ingin membersihkan diri.”
“Kau ingin membersihkan diri atau ingin mengulang yang semalam.” ucapnya menggoda sembari mencium kepalaku, membuat aku semakin tersipu malu.
“Mas, aku tak percaya jika malam pengantin kita yang tertunda lima tahun dahulu bisa terjadi saat ini?” ucapku sembari mengangkat wajahku dan menatapnya yang sudah membuka matanya dan menatapku juga.
“Aku juga tak percaya, namun semua kejadian yang terjadi membuat aku menyadari cintaku padamu yang besar, dulu aku meninggalkanmu karena merasa tak ada cinta untukmu, dan waktu menunjukan kalo ternyata aku salah, aku memiliki cinta yang besar padamu. Aku mencintaimu Nada, sangat mencintaimu.” ucapnya sembari memelukku erat.
Aku tersenyum bahagia dan balas memeluknya dengan erat.
“Aku juga mencintaimu Mas.” ucapku pelan.
Faiz seketika melepas pelukannya dan memandangku karena terkejut mendengar ucapanku.
“Apa aku tak salah dengar yang barusan kau katakan? Bisa kau ulangi lagi sayang?”
Aku tersenyum kemudian memegang pipinya.
“Aku mencintaimu Mas, sangat mencintaimu.”
Mata Mas Faiz nampak berbinar-binar.
“Kapan kau mulai mencintaiku lagi? Aku tahu masih ada sedikit cinta untukku bukan?”
“Gak Mas, bukan sedikit cinta, tapi cinta yang besar seperti cinta Mas padaku.”
“Tapi dulu kau bilang?”
“Aku mencintai Mas dahulu, sekarang dan akan datang, dan perasaan itu tetap utuh sedari dulu.”
“Sayang, aku tak percaya kalo kau masih mencintaiku sebesar itu, aku tak percaya kau mengatakannya.”
“Baiklah, akan aku buktikan kalo aku sangat mencintai Mas.” ucapku dengan senyum menggoda, seperti mengerti maksudku Mas Faizpun tersenyum bahagia dan mulai menciumku lagi.
•••
“Nada, bagaimana semalam? Apa kau memakai hadiah pemberian ibu?” ucap ibu menggoda ketika kami sedang mempersiapkan sarapan.
“Iya Bu.” ucapku malu.
“Dan, apa yang terjadi?”
“Maksud ibu apa?”
“Doakan ya Bu semoga Ibu segera menjadi seorang Nenek.” ucap Faiz yang ternyata sedari tadi mendengar percakapan kami, membuat aku tersenyum malu.
“Oh ada Nak Faiz rupanya, baguslah kalo Nak Faiz mengerti keinginan Ibu.” ucap Ibu tersenyum menggoda pada Mas Faiz dan meninggalkan kami. Melihat ibu tak ada, Faiz perlahan mendekat dan memelukku dari belakang.
“Terima kasih untuk semalam.” ucapnya sembari mencium pipiku.
“Mas, nanti dilihat ibu. Malu.”
“Ibu tak meminta kalian memberikan cucu di dapur ya.” ucap ibu yang tiba-tiba kembali dan memergoki kemesraan kami.
Mas Faiz sangat terkejut dan buru-buru melepaskan pelukannya, meminta maaf kemudian duduk di meja makan dengan wajah malu.
•••
Pagi ini aku berangkat bersama Mas Faiz ke kantor. Tiba di kantor, semua nampak berbeda, ya semua pegawai tersenyum ramah kepadaku, termasuk Fina yang berusaha tersenyum canggung di hadapanku.
•••
Pagi ini aku berangkat bersama Mas Faiz ke kantor. Tiba di kantor, semua nampak berbeda, ya semua pegawai tersenyum ramah kepadaku, termasuk Fina yang berusaha tersenyum canggung di hadapanku.
Aku hendak berbicara pada Fina, namun Mas Faiz menarik tanganku dan mengajakku ke ruangannya.
“Sayang, apa kau ingin menggantikan posisi Fina sebagai sekretarisku?” tanya Faiz ketika kami telah masuk ke ruangannya.
“Apa aku terlihat sekejam itu?”
“Hmm, jika kau kejam, kau pasti tak pernah memaafkan aku.”
“Tapi mas, aku sangat ingin tahu kenapa dia tak menyukaiku? Sedari dulu dia begitu membenciku.”
“Aku rasa dia cuma iri padamu.” ucapnya sembari memegang tanganku.
“Apa yang membuat dia iri padaku? Aku tak memiliki apa-apa, bahkan dia lebih cantik dariku.”
“Itu menurutmu, tapi menurutku kau lebih dari dirinya dalam segala hal.” ucap Faiz dengan wajah merayu.
Pintu tiba-tiba terbuka. Fina masuk dengan wajah seperti bersalah.
“Maaf Pak, pagi ini ada rapat. Klien sudah menunggu di ruang rapat.” ucap Fina sembari meliriku.
“Baiklah, aku ke ruang rapat sekarang, dan kau, tolong temani istriku. Sepertinya ada yang ingin dia bicarakan.” ucap Mas Faiz sembari berdiri, mencium keningku dan meninggalkan kami.
“Fina, duduklah, kebetulan sekali aku ingin sekali bicara padamu.”
Fina terlihat mendekat dengan sedikit merunduk dan perlahan duduk di hadapanku.
“Aku tahu kesalahanku Nada, eh Ibu Nada, maaf.”
“Kau bisa memanggilku seperti biasa, tak usah seperti itu.”
“Maaf, jika kau akan memecatku seperti yang kau katakan kemarin padaku, aku telah siap, bahkan aku sudah membuat surat pengunduran diriku hari ini, karena aku tahu kau pasti akan melakukan itu.”
Aku tersenyum melihat kearahnya yang nampak merasa bersalah.
“Untuk apa aku melakukan itu? Aku tak punya rasa dendam atau masalah denganmu, kecuali kau yang merasa punya masalah padaku.” ucapku.
Dia agak terkejut mendengar ucapanku.
“Boleh aku tahu kenapa kau membenciku?” tanyaku lagi.
Dia sedikit menatap kearahku dan terlihat dia menarik nafas panjangnya.
“Ya, aku iri padamu.” jawabnya pelan.
Aku terkejut mendengar ucapannya yang sama seperti dugaan Mas Faiz tadi.
“Iri? Apa yang membuatmu kau iri padaku?”tanyaku bingung.
“Kau sangat cantik Nada, semenjak kau hadir di sini, aku merasa kau merebut tempatku.”
“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu, Aku tak pernah merasa seperti itu, bahkan aku merasa kau lebih dari segalanya, tapi sudahlah aku tak ingin membahasnya lagi.”
“Dan, bagaimana dengan aku?”
“Kau? Kau tetap bekerja seperti biasanya.” ucapku dengan wajah serius.
Dia menatapku dengan wajah tak percaya.
“Kau tak marah padaku? Kau tak membenciku?”
“Untuk apa? Aku tak punya ruang di hatiku untuk membencimu.”
“Nada, aku semakin iri padamu.” ucapnya sembari mendekat.
“Iri apa lagi?” tanyaku bingung.
“Iri karena kau begitu baik. Kau masih begitu baik padaku setelah sikapku selama ini. Maafkan aku, dan terima kasih.” ucapnya sembari memegang tanganku dan membuatku terkejut.
Aku tersenyum dan memintanya untuk keruang rapat dan mengecek semua keperluan Mas Faiz. Dia mengangguk dan meninggalkan aku dengan perasaan lega. Ya, lega karena satu persatu masalah telah terselesaikan.
•••
Beberapa hari kemudian.
Hari ini aku agak bersantai di Rumah, ya karena hari minggu dan tak harus berangkat ke kantor, Mas Faiz berada di kamar menyelesaikan pekerjaanya, sementara aku sedang mempersiapkan sarapan. Selang beberapa lama terdengar pintu diketuk, ibu menyuruhku membuka pintu dan melihat siapa yang mengetuk.
“Pak Adi?” ucapku dengan wajah terkejut ketika membuka pintu.
“Hallo Nada.” ucap laki-laki itu dengan sopan.
Aku terus menatapnya karena masih tak percaya dengan lelaki yang berdiri di hadapanku saat ini.
“Hallo, Nada, apa kau akan terus membiarkan Ayah mertuamu berdiri di depan pintu seperti ini?”
Aku terkejut mendengar ucapan dan mempersilakan Pak Adi masuk.
“Sebentar, aku akan panggilkan Mas Faiz Pak.” ucapku gugup.
“Gak usah, aku ingin bicara denganmu dulu. Tapi saat ini jangan panggil aku Pak, tapi panggil aku Ayah, kau adalah menantuku.”
“Iya Ayah, baik. Maaf jika aku belum menemui Ayah.”
“Gak pa-pa, aku yang meminta Faiz untuk tak mengajakmu dulu, karena aku yang akan kesini untuk melamarmu.”
“Melamarku?”
“Ya, melamarmu sebagai menantuku, meskipun kalian sudah menikah, tapi Ayah belum secara resmi melamarmu, dan Ayah ingin mengadakan pesta besar untuk acara pernikahanmu, Ayah ingin memperkenalkan menantu Ayah pada teman-teman Ayah.”
Aku mendengar semuanya dan mulai terharu, nampak pak Adi menelpon seseorang dan beberapa lama kemudian beberapa orang datang membawa barang-barang lamaran.
Ibu datang dan menatap bingung dengan semua ini. Pak Adi menjelaskan maksud dan tujuannya kesini, ibu sangat bahagia dan memelukku dengan erat.
“Sayang, apa kau ingin menggantikan posisi Fina sebagai sekretarisku?” tanya Faiz ketika kami telah masuk ke ruangannya.
“Apa aku terlihat sekejam itu?”
“Hmm, jika kau kejam, kau pasti tak pernah memaafkan aku.”
“Tapi mas, aku sangat ingin tahu kenapa dia tak menyukaiku? Sedari dulu dia begitu membenciku.”
“Aku rasa dia cuma iri padamu.” ucapnya sembari memegang tanganku.
“Apa yang membuat dia iri padaku? Aku tak memiliki apa-apa, bahkan dia lebih cantik dariku.”
“Itu menurutmu, tapi menurutku kau lebih dari dirinya dalam segala hal.” ucap Faiz dengan wajah merayu.
Pintu tiba-tiba terbuka. Fina masuk dengan wajah seperti bersalah.
“Maaf Pak, pagi ini ada rapat. Klien sudah menunggu di ruang rapat.” ucap Fina sembari meliriku.
“Baiklah, aku ke ruang rapat sekarang, dan kau, tolong temani istriku. Sepertinya ada yang ingin dia bicarakan.” ucap Mas Faiz sembari berdiri, mencium keningku dan meninggalkan kami.
“Fina, duduklah, kebetulan sekali aku ingin sekali bicara padamu.”
Fina terlihat mendekat dengan sedikit merunduk dan perlahan duduk di hadapanku.
“Aku tahu kesalahanku Nada, eh Ibu Nada, maaf.”
“Kau bisa memanggilku seperti biasa, tak usah seperti itu.”
“Maaf, jika kau akan memecatku seperti yang kau katakan kemarin padaku, aku telah siap, bahkan aku sudah membuat surat pengunduran diriku hari ini, karena aku tahu kau pasti akan melakukan itu.”
Aku tersenyum melihat kearahnya yang nampak merasa bersalah.
“Untuk apa aku melakukan itu? Aku tak punya rasa dendam atau masalah denganmu, kecuali kau yang merasa punya masalah padaku.” ucapku.
Dia agak terkejut mendengar ucapanku.
“Boleh aku tahu kenapa kau membenciku?” tanyaku lagi.
Dia sedikit menatap kearahku dan terlihat dia menarik nafas panjangnya.
“Ya, aku iri padamu.” jawabnya pelan.
Aku terkejut mendengar ucapannya yang sama seperti dugaan Mas Faiz tadi.
“Iri? Apa yang membuatmu kau iri padaku?”tanyaku bingung.
“Kau sangat cantik Nada, semenjak kau hadir di sini, aku merasa kau merebut tempatku.”
“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu, Aku tak pernah merasa seperti itu, bahkan aku merasa kau lebih dari segalanya, tapi sudahlah aku tak ingin membahasnya lagi.”
“Dan, bagaimana dengan aku?”
“Kau? Kau tetap bekerja seperti biasanya.” ucapku dengan wajah serius.
Dia menatapku dengan wajah tak percaya.
“Kau tak marah padaku? Kau tak membenciku?”
“Untuk apa? Aku tak punya ruang di hatiku untuk membencimu.”
“Nada, aku semakin iri padamu.” ucapnya sembari mendekat.
“Iri apa lagi?” tanyaku bingung.
“Iri karena kau begitu baik. Kau masih begitu baik padaku setelah sikapku selama ini. Maafkan aku, dan terima kasih.” ucapnya sembari memegang tanganku dan membuatku terkejut.
Aku tersenyum dan memintanya untuk keruang rapat dan mengecek semua keperluan Mas Faiz. Dia mengangguk dan meninggalkan aku dengan perasaan lega. Ya, lega karena satu persatu masalah telah terselesaikan.
•••
Beberapa hari kemudian.
Hari ini aku agak bersantai di Rumah, ya karena hari minggu dan tak harus berangkat ke kantor, Mas Faiz berada di kamar menyelesaikan pekerjaanya, sementara aku sedang mempersiapkan sarapan. Selang beberapa lama terdengar pintu diketuk, ibu menyuruhku membuka pintu dan melihat siapa yang mengetuk.
“Pak Adi?” ucapku dengan wajah terkejut ketika membuka pintu.
“Hallo Nada.” ucap laki-laki itu dengan sopan.
Aku terus menatapnya karena masih tak percaya dengan lelaki yang berdiri di hadapanku saat ini.
“Hallo, Nada, apa kau akan terus membiarkan Ayah mertuamu berdiri di depan pintu seperti ini?”
Aku terkejut mendengar ucapan dan mempersilakan Pak Adi masuk.
“Sebentar, aku akan panggilkan Mas Faiz Pak.” ucapku gugup.
“Gak usah, aku ingin bicara denganmu dulu. Tapi saat ini jangan panggil aku Pak, tapi panggil aku Ayah, kau adalah menantuku.”
“Iya Ayah, baik. Maaf jika aku belum menemui Ayah.”
“Gak pa-pa, aku yang meminta Faiz untuk tak mengajakmu dulu, karena aku yang akan kesini untuk melamarmu.”
“Melamarku?”
“Ya, melamarmu sebagai menantuku, meskipun kalian sudah menikah, tapi Ayah belum secara resmi melamarmu, dan Ayah ingin mengadakan pesta besar untuk acara pernikahanmu, Ayah ingin memperkenalkan menantu Ayah pada teman-teman Ayah.”
Aku mendengar semuanya dan mulai terharu, nampak pak Adi menelpon seseorang dan beberapa lama kemudian beberapa orang datang membawa barang-barang lamaran.
Ibu datang dan menatap bingung dengan semua ini. Pak Adi menjelaskan maksud dan tujuannya kesini, ibu sangat bahagia dan memelukku dengan erat.
Tak lama Mas Faiz keluar dan menatap kearah Ayahnya dengan wajah bahagia.
“Ayah.”
“Ayah menepati janji Ayah bukan?” ucapnya membalas senyum anaknya. Faiz perlahan mendekat dan memeluk Ayahnya.
“Aku menyayangimu Ayah, sangat menyayangimu. Terima kasih untuk semuanya.” ucap Faiz sembari menahan air mata bahagianya.
“Jangan membuat Ayah menangis di sini. Sekarang berbahagialah, sebulan lagi acara pernikahan kalian akan dilangsungkan, dan Ayah sudah mempersiapkan semuanya.”
Faiz tak henti-hentinya berucap terima kasih pada Ayahnya, nampak dia begitu sangat bahagia. Akupun sangat bahagia dan memeluk ibu dengan erat.
•••
Sebulan kemudian...
Hari ini hari yang sangat bahagia bagi aku, acara pernikahanku begitu meriah, semua tamu undangan terlihat bahagia, Ayah memperkenalkanku pada semua rekan kerjanya.
“Ayah.”
“Ayah menepati janji Ayah bukan?” ucapnya membalas senyum anaknya. Faiz perlahan mendekat dan memeluk Ayahnya.
“Aku menyayangimu Ayah, sangat menyayangimu. Terima kasih untuk semuanya.” ucap Faiz sembari menahan air mata bahagianya.
“Jangan membuat Ayah menangis di sini. Sekarang berbahagialah, sebulan lagi acara pernikahan kalian akan dilangsungkan, dan Ayah sudah mempersiapkan semuanya.”
Faiz tak henti-hentinya berucap terima kasih pada Ayahnya, nampak dia begitu sangat bahagia. Akupun sangat bahagia dan memeluk ibu dengan erat.
•••
Sebulan kemudian...
Hari ini hari yang sangat bahagia bagi aku, acara pernikahanku begitu meriah, semua tamu undangan terlihat bahagia, Ayah memperkenalkanku pada semua rekan kerjanya.
Aku masih tak percaya jika pernikahanku akhirnya terjadi seperti impianku dulu.
“Sayang, apa kau bahagia?” ucap Faiz sembari memegang tanganku dan tersenyum.
“Aku bukan cuma bahagia, aku sangat senang, aku tak percaya semua ini.” ucapku dengan wajah menahan tangis.
“Jangan menangis, istriku yang cantik, malam nanti kita akan menikmati malam pengantin kita yang kedua, dan kau akan sangat terkejut dengan semua yang telah aku persiapkan.” ucapnya dengan senyum mengggoda.
Aku merunduk malu, dan menggengam tanganya dengan erat, syukurku tak henti-hentinya aku ucapkan.
“Sayang, apa kau bahagia?” ucap Faiz sembari memegang tanganku dan tersenyum.
“Aku bukan cuma bahagia, aku sangat senang, aku tak percaya semua ini.” ucapku dengan wajah menahan tangis.
“Jangan menangis, istriku yang cantik, malam nanti kita akan menikmati malam pengantin kita yang kedua, dan kau akan sangat terkejut dengan semua yang telah aku persiapkan.” ucapnya dengan senyum mengggoda.
Aku merunduk malu, dan menggengam tanganya dengan erat, syukurku tak henti-hentinya aku ucapkan.
Di kejahuan kulihat Fina, Diva dan Ayu nampak akrab, ya waktu Mas Faiz mengakui pernikahan kami dulu, Ayu memang sedang tak ada, tapi ketika aku menceritakannya semuanya, dia begitu antusias untuk mencoba bersahabat dengan Fina dan Diva.
Sungguh aku sangat bahagia.
•••
Enam bulan berlalu
Saat ini aku sangat bahagia, ya bahagia karena aku sekarang sedang hamil buah cinta kami.
•••
Enam bulan berlalu
Saat ini aku sangat bahagia, ya bahagia karena aku sekarang sedang hamil buah cinta kami.
Pagi ini aku dan Mas Faiz ke Rumah sakit hendak memeriksa kehamilanku. Tiba di Rumah sakit aku duduk sembari menunggu Mas Faiz yang sedang mengurus administrasi.
Ketika aku sedang melihat-lihat sekelilingku, mataku tertuju pada sesosok yang pernah aku kenal, seorang wanita yang sedang berbicara mesra dengan seorang Dokter, aku terus menatap kearah wanita itu dan berusaha memastikannya kalo wanita itu adalah Dita, setelah melihat wanita itu pergi aku berjalan menuju ruangan dimana wanita tadi keluar.
“Permisi, maaf.” ucapku sembari mengetuk.
“Maaf Bu, jadwal dokter belum di buka.”
“Bukan, aku tak ingin periksa, aku mau bertemu dengan Dokter, karena aku mengenalnya.”
Perawat itu masuk untuk bertanya, dan tak lama kemudian kembali dan mengizinkan aku masuk. Aku masuk, dan sedikit tersenyum padanya dan perlahan duduk.
“Maaf, tapi apa kau masih mengingatku?” tanyaku pelan.
“Hmm, kau, maaf, aku seperti mengenalmu, apa kau dulu tunangan Gardy?” ucapnya berusaha mengingat.
Aku sedikit tersenyum karena laki-laki ini masih mengingatku.
“Ya Dok, dulu.”
“Oh ya, aku juga ingat, kau temannya Diva kan? Jangan panggil aku dokter, panggil aku Leo.”
“Syukurlah kalo Mas Leo masih mengingatku.”
“Apa kau sedang hamil? Di mana suamimu? Aku tahu kau tak menikah dengan Gardy.” ucapnya yang sedari tadi melihat penampilanku.
“Iya, aku sedang hamil, suamiku sedang mengurus administrasi. Maaf, tapi ada yang ingin aku tanya.”
“Apakah mengenai Gardy, aku sudah tak bertemu dengannya, terkahir dia mengabariku kalo dia sekarang tinggal di luar negri menemani Ayahnya yang sedang berobat.”
Aku sebenarnya tak ingin mengetahui kabar Mas Gardy, tapi mendengar dari Mas Leo aku jadi sedikit lega karena ternyata Mas Gardy baik-baik saja.
“Maaf, Mas leo, bukan itu yang ingin aku tanya, tapi siapa wanita yang barusan keluar dari ruangan tadi? Sepertinya aku mengenalnya.”
Wajah Mas leo nampak bingung mendengar pertanyaanku.
“Apa kau yakin mengenalnya? Dia kekasihku, namanya Dita.”
Mendengar namanya membuat aku yakin kalo benar itu adalah Dita yang aku lihat tadi.
“Sejak kapan Mas Leo mengenalnya?”
“Aku mengenalnya dua bulan yang lalu, ketika berlibur, dan setelah pertemuan itu kami dekat dan memutuskan menjalin hubungan, bahkan ...,”
“Bahkan sebentar lagi kami akan menikah.” ucap Dita yang tiba-tiba muncul membuat aku sangat terkejut.
“Dita ...,”
“Apa kabar Nada? Wow, sepertinya kau akan menjadi seorang ibu.” ucapnya sembari menatap tubuhku.
“Oh iya, aku ...,”
“Aku minta maaf padamu, itu harusnya yang aku katakan ketika bertemu denganmu, dan yang lainnya aku rasa tak perlu dibahas.” ucapnya tanpa basa-basi dan bersikap seolah tak ada masalah antara kami, aku bingung harus bersikap bagaimana.
“Oh itu, kau benar kita tak perlu membahasnya.”
“Oh iya, kau mengenal calon suamiku rupanya? Baguslah, aku menunggu kehadiranmu di pernikahanku nanti, aku akan mengirimkan undanganku ke kantor Mas Faiz. Oh iya, selamat berbahagia, dan maaf aku tak datang ke pesta pernikahanmu kemarin.”
Aku masih diam dan termenung mendengar semua ini, ya itu karena aku masih sangat terkejut, Hp ku tiba-tiba berbunyi membuyarkan aku dari keterkejutanku.
“Sayang kau dimana? Aku mencarimu.”
“Iya Mas, aku akan segera kesana.” Jawabku sembari menutup telpon.
“Pergilah, dan sampaikan salamku untuk Mas Faiz.” jawabnya sambil tersenyum padaku. Ya, senyumnya nampak sangat bahagia.
“Permisi, maaf.” ucapku sembari mengetuk.
“Maaf Bu, jadwal dokter belum di buka.”
“Bukan, aku tak ingin periksa, aku mau bertemu dengan Dokter, karena aku mengenalnya.”
Perawat itu masuk untuk bertanya, dan tak lama kemudian kembali dan mengizinkan aku masuk. Aku masuk, dan sedikit tersenyum padanya dan perlahan duduk.
“Maaf, tapi apa kau masih mengingatku?” tanyaku pelan.
“Hmm, kau, maaf, aku seperti mengenalmu, apa kau dulu tunangan Gardy?” ucapnya berusaha mengingat.
Aku sedikit tersenyum karena laki-laki ini masih mengingatku.
“Ya Dok, dulu.”
“Oh ya, aku juga ingat, kau temannya Diva kan? Jangan panggil aku dokter, panggil aku Leo.”
“Syukurlah kalo Mas Leo masih mengingatku.”
“Apa kau sedang hamil? Di mana suamimu? Aku tahu kau tak menikah dengan Gardy.” ucapnya yang sedari tadi melihat penampilanku.
“Iya, aku sedang hamil, suamiku sedang mengurus administrasi. Maaf, tapi ada yang ingin aku tanya.”
“Apakah mengenai Gardy, aku sudah tak bertemu dengannya, terkahir dia mengabariku kalo dia sekarang tinggal di luar negri menemani Ayahnya yang sedang berobat.”
Aku sebenarnya tak ingin mengetahui kabar Mas Gardy, tapi mendengar dari Mas Leo aku jadi sedikit lega karena ternyata Mas Gardy baik-baik saja.
“Maaf, Mas leo, bukan itu yang ingin aku tanya, tapi siapa wanita yang barusan keluar dari ruangan tadi? Sepertinya aku mengenalnya.”
Wajah Mas leo nampak bingung mendengar pertanyaanku.
“Apa kau yakin mengenalnya? Dia kekasihku, namanya Dita.”
Mendengar namanya membuat aku yakin kalo benar itu adalah Dita yang aku lihat tadi.
“Sejak kapan Mas Leo mengenalnya?”
“Aku mengenalnya dua bulan yang lalu, ketika berlibur, dan setelah pertemuan itu kami dekat dan memutuskan menjalin hubungan, bahkan ...,”
“Bahkan sebentar lagi kami akan menikah.” ucap Dita yang tiba-tiba muncul membuat aku sangat terkejut.
“Dita ...,”
“Apa kabar Nada? Wow, sepertinya kau akan menjadi seorang ibu.” ucapnya sembari menatap tubuhku.
“Oh iya, aku ...,”
“Aku minta maaf padamu, itu harusnya yang aku katakan ketika bertemu denganmu, dan yang lainnya aku rasa tak perlu dibahas.” ucapnya tanpa basa-basi dan bersikap seolah tak ada masalah antara kami, aku bingung harus bersikap bagaimana.
“Oh itu, kau benar kita tak perlu membahasnya.”
“Oh iya, kau mengenal calon suamiku rupanya? Baguslah, aku menunggu kehadiranmu di pernikahanku nanti, aku akan mengirimkan undanganku ke kantor Mas Faiz. Oh iya, selamat berbahagia, dan maaf aku tak datang ke pesta pernikahanmu kemarin.”
Aku masih diam dan termenung mendengar semua ini, ya itu karena aku masih sangat terkejut, Hp ku tiba-tiba berbunyi membuyarkan aku dari keterkejutanku.
“Sayang kau dimana? Aku mencarimu.”
“Iya Mas, aku akan segera kesana.” Jawabku sembari menutup telpon.
“Pergilah, dan sampaikan salamku untuk Mas Faiz.” jawabnya sambil tersenyum padaku. Ya, senyumnya nampak sangat bahagia.
Aku mengucapkan selamat pada mereka dan berjalan meninggalkan mereka yang nampak sedang berbahagia.
Mas Faiz melihatku dengan wajah khawatir dan berlari mendekatiku.
Mas Faiz melihatku dengan wajah khawatir dan berlari mendekatiku.
Aku memeluknya dan menceritakan apa yang barusan terjadi.
Terlihat wajah Mas Faiz yang bahagia mendengar semua itu, begitupun aku yang bahagia, itu karena tak ada lagi orang yang tersakiti, semuanya telah berbahagia.
“Kau tahu sayang, cinta itu, sejauh apapun kau berada, dia akan datang pada pemiliknya dengan sendirinya di waktu yang tepat.” ucap Faiz sembari memelukku dengan erat.
“Kau tahu sayang, cinta itu, sejauh apapun kau berada, dia akan datang pada pemiliknya dengan sendirinya di waktu yang tepat.” ucap Faiz sembari memelukku dengan erat.
---Tamat---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel