Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 13 Maret 2022

Bagai Rembulan #14

Cerita bersambung

Tikno menarik Adit agar menjauh karena dokter sedang memeriksa. Dengan cemas mereka menunggu. Dilihatnya dokter memberi perintah kepada pembantu-pembantunya, lalu seorang perawat mengambil obat dan menyuntikkannya kedalam selang infus.
Tikno meremas tangan Adit.

“Berdo’alah terus untuk dia Adit.”

Adit mengangguk. Tiba-tiba seperti ada ikatan yang mengikat isi hatinya, atau jantungnya, atau jiwanya, dan membuatnya merasa dekat dengan kakek tua itu. Adit merasa, pasti karena telah berkali-kali menolongnya, menyelamatkan adiknya maka timbullah perasaan itu. Ia terus berdo’a sambl menunggu. Ketika dokter beranjak pergi, Adit memburunya.

“Dokter, bagaimana keadaannya?”
“Memang paru-parunya sangat parah, kami sedang berusaha. Teruslah berdo’a karena mati dan hidup manusia adalah Tuhan yang menentukannya.”

Adit mengangguk, tapi ada rasa miris karena kata-kata itu hanya sedikit memberi harapan.
Adit mendekati sang kakek, nafas itu sedikit berangsur membaik. Adit mengelus tangannya, lalu kakek membuka matanya. Ada kilat bahagia disana.

“Cepatlah sembuh kakek, nanti tinggallah bersama kami. Bapak pasti mengijinkan, ya kan pak?”

Tikno tersenyum, dan air mata kakek itu mengambang dipelupuk tuanya.
Adit mengambil tissue dan mengusapnya.

“Tidurlah kakek... supaya segera sembuh..”
“Panggil.... aku... bapak...”

Adit membelalakkan matanya. Kok terjadi seperti mimpinya ? Panggil aku bapak..?
Mata tua itu menatap Adit, seperti sebuah permohonan yang ingin dikabulkan.
Tikno menyentuh bahu Adit.

“Panggil dia ‘bapak’..”

Mata tua itu masih menatapnya, nafasnya masih tampak tersengal..
Adit menatap bapaknya, dan Tikno mengangguk.

“Bapak...” kata Adit lembut.

Lalu air mata kakek itu kembali menetes.. dan bibir keriput itu tersenyum.. sebelah tangannya meraih tangan Adit, sangat lemah, Adit menangkapnya, menggenggamnya erat.

“Bapak...” Adit berbisik lagi.

Lalu mata tua itu terpejam, dan air mata masih membasahi pipinya. Adit kembali meraih tissue dan mengusapnya, tapi tak lama kemudian terdengar seperti peluit panjang yang mengoyak perasaannya.

“Susteeeer..!” Adit berteriak.

Suster berlari mendekat, lalu menggelengkan kepalanya.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,” bisik Tikno pilu...
“Bapaaak... “ Adit memanggilnya keras.
“Semoga Alloh mengampuni segala dosanya. Semoga pak Sardiman diwafatkan dalam husnul khotimah,” bisik Tikno kemudian melantunkan do’a.
“Selamat jalan, bapak, selamat jalan malaikat pelindungku,” bisik Adit pilu.

Ditatapnya wajah tua yang meninggal dengan menyunggingkan senyum itu lekat-lekat.
***

Tikno mengajak Adit duduk ditaman rumah sakit itu. Adit harus tahu semuanya, agar kakek Sardiman merasa tenang dialamnya. Bukan sekedar panggilan ‘bapak’, tapi benar-benar menanamkan dalam jiwanya bawa memang dia layak disebut bapak.

“Bapak akan mengurus semuanya. Tapi sebelum itu bapak ingin menceriterakan sebuah peristiwa, yang terjadi puluhan tahun yang lalu."

Adit menatap bapaknya. Rasa sendu kehilangan kakek penolongnya belum hilang dari wajah mereka.

“Ada seorang gadis, cantik, lugu, yang panik ketika malam itu mendengar bahwa bapaknya sakit. Gadis itu bekerja di Solo, dikota ini, sedangkan bapaknya jauh ada di Surabaya. Ia nekat malam-malam naik kereta, terdorong rasa khawatir akan penyakit bapaknya. Tapi malang tak bisa ditolak..”
“Bapaknya meninggal?”
“Tidak, dengarkan saja dan jangan memotongnya.”

Adit mengangguk.

“Ditengah perjalanan seorang wanita menawarinya minuman, dan tanpa curiga gadis itu meminumnya karena dia memang kehausan. Tapi ternyata didalam air itu dibubuhkan sesuatu, yang kemudian membuat gadis itu menjadi setengah sadar. Bahkan ia menurut ketika perempuan itu mengajaknya turun, lalu membawanya kesebuah rumah. Ada teman wanita itu, seorang laki-laki yang tidak muda lagi. Semua barang yang dibawa gadis itu dirampok, bahkan cincin dan anting yang dipakainya. Tak cukup hanya itu, laki-laki itu juga memperkosanya.”
“Jahanam keparat itu pak.”
“Tanpa uang dan hanya selembar pakaian yang dipakainya, gadis itu pulang kembali ke Solo, dengan berjalan kaki. Hanya terkadang ada tumpangan, tapi tidak ada yang bisa membawanya sampai ke Solo, sehingga sebagian perjalanannya dilakukan dengan berjalan kaki.”
“Tidak lapor ke polisi?”
“Sudah, dan akhirnya memang perempuan penjahat dan laki-laki itu ditangkap dan dipenjara. Tapi benih yang diteteskan laki-laki itu tumbuh menjadi janin."
“Oh, kasihan bayi itu..”
“Tapi seorang duda kemudian jatuh cinta kepada gadis itu, lalu mengambilnya sebagai isteri.”
“Alhamdulillah... alangkah mulia hati laki-laki itu.”
“Setelah keluar dari penjara, ternyata laki-laki itu terus mengamati benih yang diteteskannya, sejak lahir, masa kanak-kanak.. sekolah dan sampai dia menjadi sarjana... Bayi itu adalah kebanggaanya. Dalam masa bertobat dia banyak melakukan hal mulia, dan dia berharap dengan itu bisa menebus dosanya.”

Adit terdiam, serasa ada yang mengusik batinnya.

“Seandainya bayi itu kamu, maukah kamu mema’afkan semua kesalahannya?”

Adit terdiam, mencoba memaknai semua kata-kata bapaknya.

“Bukankah Tuhan juga mau mema’afkan umatnya yang bertobat?” jawab Adit.
“Bagus, kamu sudah dewasa dan bisa mengerti sebagian dari kehidupan ini.”
“Tapi mengapa bapak menceritakan semua itu?”
“Adit... benih yang telah menjadi orang itu kamu, sedangkan gadis yang teraniaya itu ibu kamu.”
“Apa ?” Adit berdiri dari tempatnya dia duduk, menatap bapaknya tak berkedip.
“Dan bapak tua itu adalah laki-laki yang meneteskan benih itu.”
“Tidaaaak.... bapaaaak...” tiba-tiba Adit jatuh terduduk dibawah kaki Tikno, menjatuhkan kepalanya dipangkuannya, dengan perasaan tak menentu.

“Apa kamu menyesal?”
“Apa kamu menyesal telah menjadi anakku? Apa kamu kekurangan kasih sayang? Apa kamu membenci laki-laki tua yang telah menjadi jasad tanpa nyawa dan memendam dosa serta budi baiknya, mengaduknya menjadi kehidupan yang dijalaninya?”
“Kamu ingat sorot matanya ketika menatapmu, ketika meraih tubuhmu untuk dirangkulnya, ketika menitikkan air matanya sa’at kamu memintanya tetap hidup dan tinggal bersamamu? Apa kamu lupa bagaimana dengan memelas dia meminta kamu memanggilnya bapak? Selaksa sesal membebani hidupnya, sejagad ma’af dikumpulknnya menjadi satu dan hanya dikatakannya sekali saja dari dasar hatinya.. ‘ma’af.’... tapi itu cukup bagi bapak. Dia menyesali semua perbuatannya. Dia ingin menyentuh kamu ketika kamu bayi tapi ibumu tidak mengijinkannya. Tapi dia berhasil merengkuhmu ketika kamu telah menjadi orang. Betapa menyedihkan permintaan terakhirnya, ‘panggil aku bapak’. Lalu semuanya lenyap, hasrat, kehidupan, harapan..tenggelam bersama raga tanpa sukma.”

Adir menangis terguguk dipangkuan bapaknya. Tikno mengelus kepalanya lembut.

“Kamu adalah juga anakku, belahan jiwaku.. “
“Bapak, terimakasih atas semua cinta, sejak aku masih dalam kandungan, sampai menjadikann aku orang, terimakasih bapak. Bapaklah laki-laki mulia itu, terimakasih bapak.” Ucapnya berkali kali sambil berurai air mata.
“Apakah kamu membenci laki-laki yang sesungguhnya bernama Sardiman itu?”
“Tidak bapak, biarkan Adit mengurusnya sampai ke pembaringannya yang abadi.”
***

Pak tua, malaikat penolong bagi Dayu dan Adit telah terbaring dengan tenang disana, dibawah gundukan tanah yang penuh bertabur bunga. Duka menyelimuti suasana siang itu.

“Orang sederhana yang baik, sumoga AllOh memberikan surga yang mulia baginya,” do’a hampir setiap orang yang hadir.

Adit terguguk disamping gundukan itu, Dayu mendampinginya sambil meneteskan air mata dan menaburkan bunga diatasnya.

“Kakek, istirahatlah dengan tenang ya,” bisiknya sambil terus berurai air mata.

Namun ketika Tikno menancapkan papan kecil bertuliskan nama diatas gundukan tanah itu, Surti terkejut. Diamatinya terus tulisan itu, dan bertanya dalam hatinya. Apakah itu dia.. apakah dia..
Tikno menarik Surti agak jauh dari kerumunan.

“Apakah dia?” bisik Surti.
“Memang dia, yang telah menyakiti kamu, tapi yang telah berkali-kali menyelamatkan anak-anak kita.”
“Ya Tuhan...”
“Maukah kamu mema’afkannya? Dia telah menebusnya dengan perilaku baik dan perbuatan mulia, bahkan dia berkorban nyawa untuk anak-anak kita, bukankah lebih baik kamu mema’afkannya?”

Surti merebahkan kepalanya dipundak suaminya.

“Disa’at terakhirnya dia hanya ingin agar Adit memanggilnya ‘bapak’ “
“Aku mema’afkannya. Semoga dia tenang di alamnya, dan Alloh mengampuni segala dosanya.”
“Aamiin..” Tikno memeluk erat isterinya.
“Apakah Adit tahu semuanya?”
“Aku sudah memberitahunya sa’at dia mengehembuskan nafas terakhirnya. Tapi dia anak baik. Dia juga mema’afkannya, bahkan menangisi kematiannya.”

Dan bukan Surti saja yang tiba-tiba menangkap tulisan di pusara itu. Indra dan Seruni juga demikian. Dalam suatu kesempatan, Indra mendekati Tikno dan bertanya.

“Dia ?”

Tikno mengangguk, karena sudah mengerti arah pertanyaan Indra.
***

Malam itu telah larut. Adit duduk disebuah bangku, menatap langit dengan sepotong bulan mengambang diantaranya. Suasana sangat sepi, hanya desir angin meniup perlahan, mengelus dedaunan, menimbulkan suara gemerisik yang lembut.

“panggil aku bapak” suara serak terbata itu mengiang kembali ditelinganya, menimbulkan rasa miris dihatinya.

Itu suara terakhir yang didengarnya.. setelah berkali kali..”anak baik, teruslah menjadi baik”...
“Ya Tuhan, akulah benih yang diteteskannya, darahnya mengalir didalam tubuhku.. “

Ditatapnya rembulan, kakek tua itu ada disana, melambaikan tangan kearahnya, lalu berjalan pergi dengan gagahnya. Tanpa tongkat penyangga.

“Selamat jalan, bapak... “ lalu dibisikkannya kata-kata itu.

Adit menatap langit dengan agak menyandarkan badannya disandaran kursi itu, berharap bayangan laki-laki tua itu kembali nampak. Tapi tidak. Rembulan itu tetap berpendar, menyiratkan sinar keemasan yang memukau.

“Mas Adiiit...” teriakan kecil terdengar, lalu duduk begitu saja disamping Adit, dan menyandarkan kepalanya dipundaknya.

“Dayu, mengapa belum tidur ?”
“Kenapa kamu juga belum tidur ?”
“Aku suka menatap rembulan itu.”
“Jadi ingat Liando..”
“Kenapa?”
“Liando sering menyapaku dengan kata-kata rembulanku. Memangnya aku bulat seperti rembulan ya?”
“Liando romantis sekali,” gumam Adit, yang kemudian terbayanglah wajah Yayi.

Dan tiba-tiba saja seperti sedang berjalan, dia mundur selangkah. Siapakah aku, apakah Yayi masih menerima aku seandainya tahu bahwa aku adalah anak kakek tua bertongkat yang lusuh dan kotor? Pikirnya.
Dan itu benar-benar menyurutkan langkahnya.

“Hei.... kok melamun?” sentak Dayu sambil menggamit pundak kakaknya.

Tiba-tiba Adi merangkul Dayu kuat-kuat.

“Aku bahagia kalau kamu bahagia, Dayu..”

Dayu tak mengerti mengapa kakaknya berkata begitu.

“Mas Adit, kalau mas Adit bahagia, aku juga bahagia..”

Lalu dipeluknya Dayu erat-erat, ada air mata terburai disana, kali ini tangis tentang cinta yang barangkali sangat susah dijangkaunya, seperti ketika tangan melambai dan menjangkau bulan, apa yang bisa tergenggam ditangannya? Bayangannyapun tidak.
Dayu yang mengira Adit masih dalam suasana duka karena kakek meninggal, ganti memeluknya erat.

“Sudahlah mas, bukankah kakek sudah tenang disana? Orang baik pasti mendapatkan surganya Alloh.”

Dayu tak mengerti, dan Adit tak ingin mengatakannya.
***

“Kok beberapa hari ini mas Adit nggak kesini ya mas?” tanya Yayi kepada Naya.
“Kangen?”
“Ya iyalah, memangnya mas Naya kalau lama nggak ketemu Dayu.. eit.. ma’af.. Susan.. lalu nggak kangen?”
“Eeh.. tunggu..tunggu.. mengapa tadi kamu menyebut nama Dayu ?”
“Kan aku sudah minta ma’af...?” katanya sambil tersenyum lucu..
“Kok bisa salah.. jauh lho salahnya.. Susan.. bisa beralih jadi Dayu ?” Naya protes.
“Hm.. mas Naya.. aku tahu deh.. kalau dulu mas Naya naksir Dayu..”
“Apa?”
“Iya apa tidak?”
“Nggah ah...”
“Iya...”
“Nggaaaaakk..”
“Jangan bohong ya...”
“Iih, apaan sih?” lalu wajah Naya menjadi merah.
“Hayooo..”
“Ngarang !!”
“Mas Naya ngomong sendiri kok..”
“Aku? Ngomong sama kamu? Ngawur, ngarang !”
“Iya mas.. waktu itu kamu lagi sakit, masa nyebut-nyebut nama Dayu sih..!”
“Apa? Bohong kan?”
“Mas Naya yang bohong.”

Tapi kemudian Naya tersenyum lucu, memang sih, dia pernah suka.. tapi kan kemudian ada Susan..

“Tuh kan, sekarang senyum-senyum sendiri. Untung ada mbak Susan, kalau nggak bisa ada perang Baratayuda nih.”
“Perang apaan?”
“Perang Baratayuda, tapi perang batin. Habisnya kan Liando juga suka sama Dayu. Perang deh.”
“Nggak lah, masa sih aku segila itu.”
“Sekarang ngaku kan ?”
“Sekarang nggak, dulu iya..”
“Hm.. kalau jadi sama Dayu, aku jadi bingung deh. Aku adiknya mas Naya, tapi Dayu adiknya mas Adit, ipar ambyar namanya.”

Naya tergelak mendengar istilah ipar ambyar yang dilontarkan Yayi.

“Sudah ah, jangan ngomongin itu lagi, nanti kalau ada yang dengar bisa benar-benar jadi perang, padahal sebetulnya nggak ngapa-ngapain.”
“Tapi aku pengin kerumah Dayu deh.”
“Kerumah Dayu apa kerumah Adit?”
“Aku bingung dia nggak datang kemari berhari-hari. WA juga enggak, apalagi telepon.”
“Iya, tapi besok, kan ini sudah malam ?”
***

“Adit.. kenapa dirumah saja? Kemarin itu pak Indra menanyakan sama kamu tentang pekerjaan yang ditawarkan lho,” kata Tikno pagi itu.
“Ya bapak, biarin dulu, Adit belum memikirkan itu.”
“Atau kamu punya pandangan lain? Pekerjaan yang lebih cocog untuk kamu, misalnya. Tapi bapak juga nggak buru-buru ingin kamu bekerja. Kan baru selesai kuliah, barangkali ingin santai sementara waktu.”
“Iya bapak.”
“Lha ini hari Minggu lho Dit, tumben dirumah, nggak ingin jalan-jalan sama Yayi?”
“Enggak bapak, lagi males.”
“Tumben anak bapak bisa males, biasanya selalu bersemangat.”

Tiba-tiba sebuah sepeda motor masuk.

“Naaa.. itu Yayi datang .. “

Tapi Tikno heran melihat Adit tak bersemangat. Ia tetap saja duduk ditempatnya dan tidak menyambutnya dengan riang seperti biasanya.
Tikno berdiri menunggu didepan tangga.
Yayi menghampiri dan mencium tangannya, lalu Tikno masuk kedalam.

“Hai sayang, kok melamun ada apa?”
“Bukan urusan kamu,” kata Adit ketus.

Yayi agak heran, tapi dia menganggap Adit sedang mengajaknya bercanda. Tapi bercandanya kok keterlaluan sih. Lalu Yayi duduk disamping Adit.

“Ada apa sih? Hari ini beda ya? Terus... berhari-hari juga nggak kangen sama aku. Aku khawatir kamu sakit.”
“Yayi, untuk apa kamu peduli sama aku?”
“Apa?”
“Pergilah dan jangan lagi menemui aku.”
“Mas Adit ?”
“Kamu tidak dengar apa yang aku katakan?”
“Mas... kamu bercanda?"
“Aku ini siapa Yayi... aku bukan siapa-siapa, pergilah, aku tidak pantas untuk kamu.”
“Apa maksudmu?”
“Pergi ! Pergi dan jangan lagi menemui aku,” kata Adit sambil berdiri dan duduk menjauh dari Yayi.

Yayi berdiri, wajahnya merona karena menahan tangis. Air mata mengambang.
Adit menatapnya, ada rasa teriris melihat mata bola itu tergenangi telaga bening. Tapi dikuatkannya hatinya. Lalu ia menatap kearah lain.
Lalu Yayi berlari kebelakang, ketemu Tikno yang lagi mencomot tempe yang baru digoreng isterinya.

“Bapak.. ibu, Yayi pamit dulu,” katanya sambil mencium tangan keduanya, lalu bergegas keluar.

Tikno memburunya, dilihatnya Adit masih terpaku tak bergeming, lalu Yayi sudah menstarter motornya dan pergi.

==========

“Ada apa anak itu?” tanya Tikno.

Adit tak bergeming, tetap duduk sambil matanya menatap kosong kearah pagar dimana Yayi menghilang bersama motornya dibalik pagar itu.

“Adit, ada apa nak?” tanya Tikno lembut.
Akhir-akhir ini Tikno tahu bahwa Adit sangat gampang tersinggung. Ia lebih banyak diam, dan tak mengucapkan apa-apa tanpa ditanya.

“Tidak ada apa-apa bapak.”
“Kamu melihat Yayi pergi sambil menangis?”
“Suatu hari nanti dia akan mengerti dan mema’afkan Adit.”
“Apa maksudmu nak, kamu marah sama dia? Apa kesalahan dia?”
“Bukan dia yang salah bapak, Adit yang salah.”
“Sayang, apa yang terjadi pada dirimu?” tanya Surti yang baru keluar dari dalam.
“Tidak apa-apa ibu, Adit baik-baik saja.”

Tikno menghela nafas, didekatinya Adit, dielusnya kepalanya dengan lembut.

“Kamu seorang laki-laki yang kuat, apa gerangan yang bisa membuatmu lemah? Apa yang kamu takutkan dalam hidup ini nak?”
“Ma’af bapak..”
“Kamu menakutkan sesuatu? Kamu tidak berani menempuh sesuatu yang menurutmu susah? Mengapa tidak melawan kesusahan itu? Mengapa tidak berani melompati rintangan seandainya kamu menganggap bahwa ada rintangan dihadapan kamu? Mana anakku yang perkasa, mana anakku yang tidak takut menghadapi apapun ? Bangkit dan berdirilah tegak nak, kamu laki-laki kebanggaan bapak dan ibu. Kamu tak pernah mengeluh, kamu selalu tegar dan berani menghadapi apapun.”
“Ayo bangkitlah nak, kamu bisa, kamu kebanggaan bapak dan ibu. Apa yang kamu takutkan dalam hidup ini?”

Adit bangkit lalu bersimpuh dihadapan ayahnya, memeluk kedua kakinya.

“Bangun, laki-laki perkasaku, bangunlah,” kata Tikno sambil mengangkat tubuh Adit.

Tikno dan Adit memahami, bahwa kenyataan tentang ayahnya yang adalah kakek tua itu, membuatnya merasa rendah. Tapi tidak, pak tua itu laki-laki yang baik, yang menyadari kesalahannya dan menebusnya dengan perilaku mulia. Menebusnya dengan nyawa. Mengapa Adit belum bisa memahaminya?

“Kamu tahu nak, kamu harus bangga menjadi darah daging lelaki tua yang rela berpanas hujan, menggigil kedinginan, melawan sakit diusianya yang renta, hanya demi setetes benih yang kemudian menjadi kebanggaannya.”
“Adit, susul Yayi dan mintalah ma’af. Kamu menyakitinya. Apa salah dia Adit?” kata Surti.
***

Tapi ketika Adit sampai dirumah Yayi, tak didapatinya Yayi disana.

“Lho, bukankah Yayi kerumah kamu Dit?” tanya bu Indra.

“Iya, tapi.. tadi langsung pulang dan.. mm.. baiklah bu Indra, saya akan menyusulnya saja,” kata Adit yang setelah mencium tangan Seruni kemudian berbalik dan memacu sepeda motornya keluar dari halaman.

Seruni heran melihat tingkah Adit.

“Siapa tadi Seruni ?” tanya Indra
“Adit, kok tiba-tiba nyari Yayi, bukankah Yayi kerumahnya?”
“Berselisih jalan, barangkali.”
“Entahlah, tampaknya sikap Adit agak aneh. Apa lagi bertengkar, barangkali.”
“Oh, mungkin juga... Biasalah, anak-anak muda seperti itu. Sebetulnya aku tadi kalau ketemu mau menanyakan so’al pekerjaan itu, mau nggak kira-kira dia ?”
“Iya sih, tadi begitu tahu bahwa Yayi nggak ada langsung pergi. Nantilah.. tapi sepertinya kok dia nggak tertarik ya mas?”
“Setelah kakek tua itu meninggal, Adit tampak aneh. Kata mas Tikno dia sudah memberitahu Adit bahwa dia adalah ayah kandungnya.”
“Mungkinkah dia malu, atau shock.. karena tidak mengira?”
“Bisa juga, tapi diakhir hayatnya, Sardiman melakukan hal yang luar biasa. Dia berkorban nyawa demi membela Dayu.”
“Benar mas. Sebelumnya malah sudah dua kali kalau tidak salah.”
“Apa dia malu ya?”
“Harusnya tidak, mungkin butuh waktu untuk menenangkan pikiran. Pastilah cerita lama itu amat menggores perasaan Adit.”
“Ya sudah .. kita tunggu saja bagaimana perkembangannya, semoga semuanya berjalan dengan baik.”
***

“Susan, apakah aku mengganggu?” tanya Naya ketika melihat Susan termenung diruang tamu tempat kostnya.

“Tidak Naya, aku senang kamu datang.”
“Lagi mikirin apa?”
“Aku ingin melihat mama, katanya ada dirumah sakit.”
“Baguslah, aku antar. Sekarang kah?”
“Tapi aku ragu-ragu.”
“Memangnya kenapa?”
“Bagaimana kalau mama tidak mau melihat aku ?”
“Tidak mungkin Susan, kamu kan darah dagingnya.”
“Kamu lupa bahwa mama tega menyakiti aku, menyiksa aku, darah dagingnya lho aku ini.”
“Masa sih manusia tidak akan berubah? Bagaimanapun ikatan darah itu tidak akan membuat kita melupakan. Ayolah, aku senang kamu punya rasa rindu kepada mama kamu.”
“Aku memang rindu, tapi mengingat kelakuannya, aku sedih.”
“Tidak, tolong ma’afkanlah dia. Ingat, kamu terlahir karena dia.”
“Naya, hatimu sungguh mulia.”
“Heii.. ayolah, berhenti mengatakan itu, nanti aku pingsan karena kesenangan.”

Susan tertawa, lalu beranjak masuk kekamarnya untuk bersiap-siap.
***

Yayi memang tidak pulang kerumahnya. Ia membawa tangisnya disepanjang jalan yang entah menuju kemana. Pikirannya melayang kearah sikap Adit yang tampak aneh. Diingatnya, apakah dia melakukan kesalahan?
Yayi terus saja menjalankan motornya, tak tentu arah.. berkeliling kota, menembus jalan ramai dan gang-gang kecil, kemana hatinya menginginkannya.
Yayi merasa letih, keringat bercucuran tak dirasakannya, dan disebuah tikungan, sebuah sepeda motor menabraknya. Yayi terjatuh, untunglah pengendara sepeda itu kemudian berhenti, dan berusaha menolongnya. Tapi tiba-tiba sebuah sepeda motor lain berhenti, pengendaranya turun dan menarik laki-laki penabrak itu.

“Apa yang kamu lakukan?” hardiknya sambil berusaha mengayunkan kepalan tangannya kewajah laki-laki itu. Tapi sebuah teriakan menghentikannya.

“Mas Adiiit, jangaan !!”

Kepalan itu berhenti diudara, dan cengkeraman atas baju leher laki-laki penabrak itu dilepaskannya.

“Apa maksudmu?”
“Aku yang bersalah, bukan dia,” kata Yayi sambil berusaha bangkit, tapi kakinya terasa sakit. Adit mendekatinya dan menolongnya berdiri.

“Ma’af mas, mbaknya ini belok kekanan tapi tidak memberi tanda, sehingga saya menabraknya,” kata sang penabrak agak ketakutan, melihat tubuh tegap itu nyaris menghajarnya.

“Nggak apa-apa mas, saya yang salah,” kata Yayi kemudian berjalan tertatih ke pinggir, lalu menjatuhkan tubuhnya ditrotoar.

Adit mengambil sepeda motor Yayi dan dibawanya kepinggir.
Ada pohon talok yang rindang, dimana Yayi manjatuhkan tubuhnya lalu memijit-mijit kakinya. Lututnya terluka dan berdarah.
Adit berlari ketoko terdekat, dan kembali sudah membawa sebotol alkohol dan obat merah, lengkap dengan kasa dan plester serta gunting kecil.
Yayi yang merasa kesal diam saja ketika Adit mengobati lukanya. Bahkan dia cuma menggigit bibirnya menahan sakit ketika Adit membersihkan lukanya dengan alkohol.

“Sakit?” tanya Adit.
“Tidak..” jawab Yayi ketus.

Tapi Yayi terus menggigit bibirnya dan menahan sakit karena perih lukanya. Tapi tidak, masih lebih sakit rasanya ketika tadi Adit mengusirnya pergi. Karenanya tak ada senyuman disiang terik itu untuk kekasihnya.
Adit menatap Yayi dengan wajah sendu. Ia menyesal telah melakukannya, tapi ia harus membuat Yayi membencinya. Namun melihat buah hatinya kesakitan, hatinya sungguh tak tega.

“Sudah cukup, “ kata Adit setelah selesai memplester luka itu.

Yayi berusaha berdiri, dan melangkah mendekati motornya. Tak tega Adit menuntunnya, tapi Yayi mengibaskan tangannya.

“Terimakasih telah membalut luka kakiku. Tapi kamu tak akan bisa membalut luka hatiku,” katanya ketus.

Adit ingin merangkulnya, ingin menghiburnya, ingin mengatakan bahwa dia sangat mencintainya, tapi ada sesuatu yang menghalanginya.. namun tak sepatahpun kata terucap dari bibirnya.

“Yayi...” ditatapnya Yayi dengan mata berkaca, tapi Yayi tak bergeming. Ia naik keatas sadel motornya, dan menstaternya, tapi tak berhasil.

Yayi turun dari motor, dan menuntunnya, berharap ada bengkel disekitar tempat itu.

“Yayi, biar aku mencobanya.”
“Nggak usah..”
“Yayi.. tolong.. baiklah, aku akan mengatakan semuanya nanti, biar aku mencoba menstarternya.”

Tapi Yayi nekat menuntunnya.
Panas begitu menyengat, Adit mengikuti Yayi sambil sama-sama menuntun sepeda motor, dan mencoba berjalan beriringan.

“Tolong Yayi, berhentilah sebentar, bengkel jauh sekali didepan sana, kamu nanti capek Yayi.”

Dan itu benar, rasa letih, rasa perih pada lukanya, panas yang membakar tubuhnya, membuat Yayi merasa limbung, dan disuatu sa’at tubuhnya terguling, sebagian kakinya tertindih sepeda motor itu.

“Auuuww!”
“Yayi, “ Adit meletakkan sepeda motornya dan berlari mendekati Yayi.

Diangkatnya sepeda motor, dan dibangunkannya Yayi. Tapi kali itu Yayi benar-benar lemas. Adit mengangkat tubuhnya kepinggir, lalu meminggirkan kedua sepeda motor itu didepan sebuah warung.
Tak cukup hanya memesan minuman, Adit menggendong tubuh Yayi dibawanya masuk kedalam warung, dan mendudukkannya disebuah kursi.

“Ada apa mas, sakit?” tanya pemilik warung.
“Ya bu, masuk angin, tolong berikan teh panas ya bu..”
“Baiklah, saya punya obat gosok mas,” kata pemilik warung yang kemudian berlari kedalam dan keluar dengan sebotol obat gosok.
“Gosokkan di pelipisnya mas, dan ciumkan dihidungnya.”
“Terimakasih bu.”

Adit membuka obat gosok itu lalu mengoleskannya dipelipis Yayi. Kali ini Yayi tak menolak, karena ia benar-benar merasa lemas. Lalu diciumkannya bekas minyak dijarinya, kehidung Yayi.

Yayi memejamkan matanya, kepalanya pusing. Ketika pelayan menyuguhkan dua gelas teh hangat, Adit meminumkannya perlahan. Menyuapkannya kebibir Yayi, sesendok demi sesendok.
Yayi terkulai, dan meletakkan kepalanya dimeja. Adit merasa cemas. Minyak itu terus digosokkannya bahkan ditengkuk Yayi, sambil dipijitnya pelan. Wajah Yayi sangat pucat.

“Yayi, hukumlah aku, lakukan apa saja untuk aku, pukullah aku, tapi jangan diam Yayi.”

Mata Adit mulai berkaca-kaca. Bukan maunya kalau sampai Yayi terluka, sedih hatinya melihat wajah cantik itu tampak tak bertenaga.
Yayi membuka matanya, melihat mata Adit yang sayu, berlinang air mata, runtuhlah kemarahannya.

“Aku lapar....” Yayi berbisik pelan, hampir saja membuat Adit tertawa. Kemarahan itu sirna ketika perut mengetuk-ngetuk minta diisi.

“Baiklah, yang hangat-hangat ya, soto..?”

Yayi mengangguk, dan dunia seakan menjadi benderang bagi Adit. Ia memesan dua mangkuk soto.

“Kamu belum makan dari pagi?”

Yayi masih meletakkan kepalanya dimeja. Sebagian rambutnya yang basah oleh keringat tergerai dikeningnya. Adit menyibakkannya lembut. Ya Tuhan, gadis ini terluka oleh kelakuannya, dan Adit baru menyadarinya.

“Yayi, ma’afkan aku ya?”
“Mengapa kamu peduli? Bukankah kamu membenci aku?” tanya Yayi dengan suara lirih. Sungguh Yayi masih merasa lemas.

“Demi Tuhan Yayi, aku mencintai kamu, lebih dari apapun..”
“Tidak mungkin..”
“Aku membawa nama Tuhan.. kamu tidak percaya?”
“Jangan membawa nama Tuhan...kamu telah menyakiti aku..”
“Ma’afkan aku, lakukan apa saja, apakah aku harus bersimpuh dihadapanmu agar kamu mau mema’afkan aku?”

Pelayan warung membawa pesanan mereka. Adit mengipasinya sebentar, lalu menyuapkannya kemulut Yayi. Yayi masih meletakkan kepalanya dimeja, ia membuka mulutnya ketika Adit menyuapinya, lalu mengunyahnya perlahan.

“Sayang, aku keterlaluan bukan?” Adit terus menyuapkannya, sampai Yayi menggoyang-goyangkan tangannya agar Adit berhenti menyuapinya.

“Sudah?”
“Kamu sendiri makanlah..”

Tapi Adit kemudian mengambil ponselnya, menelpon bengkel langganannya agar mengambil sepeda motor Yayi.

“Sepeda motor kamu akan diambil oleh bengkel langgananku, kamu nanti membonceng aku ya.”
“Makanlah dulu.”

Nyatanya dalam keadaan lemah Yayi masih bisa mengingatkan Adit agar segera makan. Harusnya Adit menyadari, betapa besarnya cinta gadis itu kepadanya.
Adit menyendok nasi sotonya, dan menyuapkan kemulutnya sendiri sambil menatap Yayi yang sudah tidak sepucat tadi.

“Ma’afkan aku ya.”
“Kamu kerasukan setan?”

Adit tak menjawab, terus menyuapkan nasi soto kemulutnya sampai ludes.

“Masih mau makan lagi?”
“Kenyang..”

Lalu Yayi mengangkat kepalanya. Adit menyibakkan rambut Yayi yang terburai kedepan, hampir menutupi wajahnya.

“Habiskan tehnya.”

Yayi meneguk tehnya, lalu menyandarkan kepalanya disandaran kursi.

“Sudah lebih baik?”

Seseorang memasuki warung, mencari Adit, ternyata dia orang bengkel langganan Adit. Adit mengulurkan kunci motor Yayi.

“Kalau selesai antarkan kerumahku saja ya.”
“Tadi aku datang kerumah, mau mengajak kamu makan...”
“Ya.. ya... itu sebabnya kamu kelaparan ya.”

Yayi tersenyum tipis, tapi masih menyandarkan kepalanya.

“Kalau kamu sudah kuat, aku antarkan kamu pulang..”
“Jangan pulang dulu..”
“Lalu?”
“Bawalah kemana kamu ingin membawaku.”

Adit tersenyum, lalu menarik tangan Yayi. Keduanya keluar setelah Adit membayar makanannya.
***

Yayi duduk dibocengan Adit, sambil meletakkan kepalanya dibahu Adit.

“Masih pusing ?”
“Tidak..”
“Kita duduk-duduk ditaman itu ya? Bukankah udara sangat panas?”

Adit menghentikan sepeda motornya ditepi taman itu, dan mencari tempat duduk dibawah sebuah pohon rindang.
Angin yang bertiup sepoi meluruhkan hawa panas yang menyengat disiang hari itu. Yayi duduk sambil menyandarkan kepalanya dibahu Adit.

“Yayi, ma’afkan aku ya?”
“Dari tadi itu saja."
“Karena kamu belum bilang bahwa kamu mema’afkan aku.”
“Aku masih bingung. Setan apa yang merasuki kamu sehingga kamu bersikap sekejam itu sama aku?”
“Kamu tahu Yayi, bahwa aku sangat mencintai kamu?”

Yayi terdiam.

“Tapi aku ini tiba-tiba merasa bahwa aku ini tidak pantas untuk kamu.”
“Jadi kamu baru merasakannya sekarang?”
“Yayi, sesungguhnya aku bukan anak kandung pak Tikno..” akhirnya Adit ingin mengatakan semuanya kepada kekasihnya.

Biarlah semuanya segera terputuskan, setelah mendengar siapa dirinya, apakah Yayi akan tetap mencintainya, atau akan membuangnya.
Yayi menatap Adit lekat-lekat. Laki-laki gagah disampingnya ini sangat dikaguminya. Walau sedikit temperamental, tapi Adit memiliki kasih sayang yang sangat besar. Bukan hanya kepada dirinya, tapi kepada semua orang.

“Mengapa menatap aku seperti itu? Kamu tidak bertanya anak siapa aku ini sebenarnya? Darah siapa yang mengalir ditubuhku ini sebenarnya?”
“Tidak Adit, aku tidak perlu menanyakanya.”
“Apa maksudnya?”
“Karena aku sudah tahu semuanya.”

Adit terkejut.

Bersambung #15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER