Adit menatap Yayi tak percaya. Dilihatnya Yayi mengangguk-angguk, untuk meyakinkan dirinya.
“Kamu?”
“Ya..”
“Sudah tahu siapa aku?”
“Ya.. dan karena itu maka kamu mengusir aku? Menghardik aku? Melukai perasaanku?”
“Yayi.. setelah tahu, apakah kamu tidak ingin menjauhi aku?”
“Mengapa kamu mengira begitu?”
“Aku ini kan hanya.. anak dari.. hasil..”
“Stop mas Adit, bagi aku, kamu adalah kamu.. dulu dan sekarang.. tak ada bedanya..”
“Bagaimana.. bagaimana kamu...”
“Bapak dan ibuku sudah mengatakan semuanya. Mereka bersahabat sejak aku dan kamu belum dilahirkan.”
“Ya Tuhan..”“Kamu merasa kecil karena kakek tua itu? Tidak mas, kakek tua itu menebus semua kesalahannya dengan menjalani hidup papa selama puluhan tahun. Rela menyaksikan kamu sejak masih bayi sampai kamu dewasa, hanya dari kejauhan. Dia bisa menyentuh kamu disa’at sebelum akhir hayatnya, ketika nyawa dikorbankan demi adik kamu. Dia laki-laki luar biasa mas, kamu harus bangga memiliki darah yang sama dengannya.”
Adit menutupi wajahnya, membiarkan air mata mengalir disepanjang pipinya.
“Ma’af Yayi... aku mengira, dengan membenciku kamu akan pergi dariku.”
“Cara konyol !”
“Aku jadi menyakiti kamu..”
“Sakit di lutut ini tidak seberapa dibandingkan sakit hatiku,” kata Yayi cemberut.
“Ma’af ya...”
“Beliin es krim dong...” kata Yayi sambil cemberut lucu, membuat Adit tertawa.
“Punya karet gelang?” tanya Adit.
“Untuk apa?”
“Untuk mengucir bibir kamu itu...” dan Yayi dengan gemas mencubit lengan Adit keras sekali.
“Auuwww... akiiiit...” Adit pura-pura mewek.
“Ih, jelek banget...” dan Yayi berdiri kemudian setengah berlari menjauh dari Adit. Pastilah Adit mengejarnya.
“Ok, ayuk kita beli es krim.” Teriak Adit kemudian.
“Ada apa?”
“Bagaimana dengan tawaran bapak?”
“Tawaran apa? Melamar kamu?”
“Iiiih... ngarep deh..”
Adit tertawa, lalu mencubit pipi Yayi lembut.
“Hm.. nggak ingat tadi ya... aku dibentak-bentak.. sebbeelll!!”
“Kan aku sudah minta ma’af, sudah aku suapin .. haha.. ternyata kamu lemas karena lapar ya?”
“Kan aku sudah bilang, pagi tadi kerumah kamu mau ngajakin makan. Dasar galak !”
“Ma’af ya... Oh ya, tadi ngomong apa sih, tawaran apa?”
“Tentang pekerjaan... kan bapak pernah bilang so’al itu.”
“Ooh, nanti deh.. aku sungkan..”
“Kok sungkan ?”
“Kan sudah ada Naya..”
“Memangnya kenapa? Bapak bilang ingin istirahat..”
“Nanti aku dibilang dapat pekerjaan karena kamu. Nanti aja lah, jangan sekarang, aku lagi seneng hari ini.”
“Kenapa?”
“Nggak jadi diputusin sama kamu.”
“Ngaco, memangnya siapa yang mau mutusin.”
“Baiklah, ayo beli es krim.”
Lalu kedua sejoli yang sudah baikan itu tampak bergandengan tangan dengan mesra.
***
Naya sudah sampai dirumah sakit. Diruang dimana Lusi dirawat, bukan ruang nyaman yang dipilihnya ketika keluarganya sedang menderita sakit. Ada dua orang polisi berjaga disana. Keduanya hampir ditolak untuk menemui kalau saja Susan tidak mengatakan bahwa dia adalah anaknya.
Pelan Susan memasuki ruangan itu. Dilihatnya mamanya terbaring, dengan luka-luka diwajah dan kakinya. Ada rasa haru dan miris ketika Susan melihatnya. Bagaimanapun Lusi adalah orang tuanya. Tak tega melihatnya menderita seperti itu.
“Mama,” bisiknya lirih ketika sudah berdiri disamping ranjangnya.
Mata Lusi tetap terpejam. Wajah mamanya begitu buruk. Tak ada sisa kecantikan diwajahnya karena luka-luka itu. Susan menyentuh tangannya, terasa panas.
“Mama...”
Lusi membuka matanya. Ia menatap Susan lalu memalingkan mukanya.
“Pergi kamu!” walau sakit tapi nada suara itu keras.
“Mama, aku ingin melihat keadaan mama.”
“Oo.. begitu? Lalu apa setelah melihat? Aku sengsara disini, sakit keras dan ditempatkan diruang yang aku tidak suka. Dijaga polisi, dan tidak seorangpun diperbolehkan menjenguk.”
“Aku prihatin mama, aku sedih melihat mama..”
“Sudah, pergilah.. jangan lagi menampakkan wajah kamu didepan mama. Aku dan kakak kamu hampir mati .. apa pedulimu?”
“Mama...” Susan hampir menangis.
“Pergi dan jangan menunjukkan tangis palsu itu. Pergi tidak?”
“Mama...”
“Tolooooong, “ tiba-tiba Lusi berteriak.
Seorang penjaga mendekat.
“Ada apa?”
“Usir dua orang ini keluar dari sini !”
“Mama...” Susan terisak, lalu Naya menuntunnya keluar.
Dari jauh masih terdengar teriakan-teriakan mamanya yang marah-marah. Tapi dilihatnya petugas itu kembali ketempatnya berjaga. Barangkali sudah sering didengarnya pesakitan yang benar-benar sakit itu mengomel.
“Sudahlah Susan, hentikan tangis kamu. Mama kamu masih kesakitan, pasti perasaannya tidak tenang. Suatu sa’at nanti pasti kamu akan diterima dengan baik.”
“Naya.. tampaknya mama tidak menyadari kesalahannya. Tidak mengerti bahwa yang dia rasakan itu adalah karena perbuatannya sendiri. Tak ada sesal dimatanya. Aku menangkap kebencian pada sorot mata itu. Tapi mama sakit Naya, tadi aku memegang tangannya, sangat panas. Mengapa sikapnya seperti itu?”
“Suatu sa’at pasti akan berubah. Bersabarlah.”
“Besok sepulang kantor aku akan kerumah mama, barangkali perlu dibersihkan atau apa.”
“Ya, nanti aku antar kamu.”
***
Siang itu mobil Liando memasuki halaman rumah Tikno. Ia baru saja jalan-jalan bersama Dayu.
“Lhoh.. itu kan motornya Yayi ?” teriak Dayu.
“Iya benar..”
“Asyiiik, berarti Yayi ada isini,” katanya lalu melompat keluar dan berlari masuk kerumah, tapi yang dicarinya tidak ketemu.
“Mana dia?”
“Kamu mencari siapa?” tanya Tikno.
“Yayi ada disini kan?”
“Tidak ada, belum pulang dari pagi.”
“Lhah.. itu motornya ada..”
“Motor itu yang membawa temannya kakak kamu, dari bengkel. Tampaknya rusak, nggak tahu apanya. Tapi kelihatannya sudah dibetulin.”
“Ooh, kirain ada Yayi.”
Lalu Dayu kembali berlari kedepan. Liando sudah duduk diteras.
“Nggak ada ya? Motornya Adit juga nggak ada tuh.”
“Mereka pergi berboncengan rupanya.”
Dibelakang, Surti sedang menyiapkan makan siang. Tikno mendekat dan tersenyum senang.
“Tampaknya Adit dan Yayi sudah baikan.”
“Syukurlah. Tapi kok motornya Yayi rusak ya, jangan-jangan dia jatuh..”
“Jangan berfikir yang tidak-tidak, itu.. anak-anak diajak makan sekalian kalau mau.”
Surti beranjak kedepan.
“Ayo makan, ibu sudah siapin tuh.”
“Yang untuk ibu Diana sudah dikirimkan?” tanya Dayu.
“Sudah, tadi ibu sama bapak, sambil sekalian belanja.”
“Jadi merepotkan ya bu,” kata Liando.
“Tidak, kan bapak lagi libur, dan ibu mengajak belanja sekalian. Ayo sekarang makan, tuh sudah ditunggu bapak.”
“Ayolah, kan tadi bilang lapar,” ajak Dayu sambil menarik tangan Liando.
“Tapi ibu cuma masak pecel sama sayur asem lho.”
“Wah, enak itu bu, nanti Liando habisin deh.”
“Bener lho ya...” kata Surti.
Tapi sebelum mereka mulai makan, terdengar langkah-langkah kaki mendekat.
“Yaaah, ketinggalan deh.. “
“Lha.. ini ada mbak Yayi juga.. ayo.. sekalian makan..” kata Tikno ramah.
Dayu menarik kursi, mempersilahkan Yayi duduk disampingnya.
“Dari mana saja?”
“Dari beli es krim, tuh, aku bawain untuk kamu.”
“Asyiiik... aku mau.”
“Sudah aku masukin kulkas, makan dulu, kayak anak kecil saja kamu kalau mendengar kata-kata es krim,” kata Adit yang kemudian juga duduk disamping Liando.
“Ayo .. makan yang banyak, jangan sungkan..” kata Surti.
“Dit, aku butuh ngomong sama kamu,” kata Liando sambil menarik piring yang sudah berisi sayuran, lalu menambahkan sambal pecel diatasnya.
“Ngomong so’al apa nih, jangan bilang kamu mau melamar Dayu, so’alnya dia masih sekolah,” canda Adit.
“Aah, kalau ngelamar tuh ngomongnya bukan sama kamu, ya kan pak?” kata Liando sambil menatap Tikno, membuat semuanya tertawa.
“Iya mau ngomong apa?”
“Bantuin aku di kantor, mau kan?”
“Ngapain? Bersih-bersih kantor?”
“Ya enggaklah, bantuin aku pokoknya, masak sih sarjana tehnik disuruh bersih-bersih.”
“Maksudnya bekerja dikantor kamu?”
“Iya.. mau ya.”
“Mm... gimana ya?” Adit menatap bapaknya.
“Kok ngelihatin bapak, terserah kamu lah.”
“Iya nanti aku pikirin deh, sekarang makan dulu, nanti Yayi pingsan lagi karena kelaparan.”
Yayi melotot kearah Adit, yang dipelototin hanya tertawa.
“Memangnya Yayi tadi pingsan ?” tanya Surti.
“Nggak bu, mas Adit itu sukanya bercanda.”
“Ayolah, makan dulu, aku sudah pengin makan es krimnya nih.” Kata Dayu bersemangat.
***
Malam itu bu Diana duduk-duduk bersama simbok.
“mBok, kamu sudah tahu bapak dan ibunya Dayu kan?”
“Lho, ya sudah bu, kan waktu ibu syukuran itu mereka ada.”
“Iya .. aku lupa. Tadi itu yang mengantar makanan mereka sendiri ya mbok.”
“Iya bu, simbok juga tahu, bu Tikno mbonceng pak Tikno tadi.”
“Aku suruh masuk nggak mau, sebetulnya kan aku ingin omong-omong juga.”
“Katanya tadi mau sekalian belanja, jadi terburu-buru.”
“Iya. Bagaimana menurut kamu seandainya aku berbesan dengan mereka mbok?”
“Lho.. ibu kok nanya sama simbok, semua itu tergantung ibu kan.”
“Dayu gadis yang baik. Liando sangat mencintainya.”
“Benar bu, simbok juga suka. Cantik, sederhana, sama ibu juga sayang, sama simbok sikapnya juga santun.”
“Mereka keluarga sederhana yang sangat baik.”
“Apakah perbedaan situs..eh.. apa itu namanya bu.. situs apa.. astus itu membuat ibu ragu ragu?”
Bu Diana tertawa.
“Maksudmu status ? Karena aku ini dianggap berada lalu mereka orang sederhana, begitu?”
“Iya bu, apa itu membuat ibu terganggu?”
“Tidak mbok, sama sekali tidak. Mereka keluarga yang mengagumkan, tidak mengejar materi, tapi bisa mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang pintar. Aku mengagumi mereka.”
“Berarti ibu sudah mantap seandainya berbesan dengan mereka?”
“Sangat mantap mbok.”
“Simbok ikut berdo’a agar semuanya lancar. Kapan ibu mau melamar?”
“Dayu masih kuliah, mungkin selesai tahun depan. Harus sabar sebentar mbok.”
“Tahun depan itu tidak lama bu.”
“Iya..”
“Lalu kabarnya bu Lusi sama anaknya itu bagaimana ya bu, kok lalu tidak pernah datang kemari lagi, apa takut sama Karjo?”
Bu Diana tertawa.
“Bukan takut sama Karjo mbok, mereka itu ditangkap polisi, sudah dipenjara.”
“Oh, bu Lusi sama mbak Susan?"
“Bukan, Susan malah menjadi anak baik, bekerja di kantornya Indra, temanku itu.”
“Oh.. berarti bu Lusi sama anak laki-lakinya itu bu?”
“Iya mbok, ya sudah biarkan saja, bukankah didunia ini siapa yang menanam maka dia akan menuai?”
“Betul bu. Jadi orang nggak ada baiknya sama sekali. Sama ibu berani mengata-ngatai yang nggak pantas. Geregetan simbok kalau ingat bu.”
“Ya sudah, nggak usah diingat-ingat to mbok. Sekarang ambilkan jusku saja, hari ini kamu buat jus apa?”
“Jus mangga bu, sebentar simbok ambilkan.”
***
Susan sudah ada dirumah mamanya, membersihkan rumah, membuang yang tidak berguna, menyimpan barang-barang yang masih digunakan. Naya dengan senang hati membantunya. Ia juga mengepel lantai dan membersihkan perabot dan gambar yang kotor berdebu.
“Susan, rumah ini sayang kalau tidak ditinggali,” kata Naya ketika sudah selesai bersih-bersih.
“Iya, tapi mau bagaimana lagi. Ibu dan Anjas dipenjara bertahun-tahun.”
“Bagaimana kalau kamu saja tinggal disini ?”
“Ogah ah, sendirian ?”
“Ya cari pembantu lah.. supaya kamu juga tidak capek bersih-bersih.”
“Tapi kontrakan kostku masih tiga bulan lagi habisnya.”
“Ya nggak apa-apa.. kalau kamu merasa sayang biar aku saja tidur dirumah kost kamu.”
“Enak aja, disana kost nya anak-anak gadis ya, bisa-bisa kamu lupa sama aku.”
Naya tertawa.
“Masa sih? Mereka cantik-cantik juga?”
“Mau lihat? Nanti aku kenalin deh sama mereka.”
“Nggak ah, nanti kalau aku bener-bener jatuh cinta sama salah satu diantaranya bagaimana?”
“O.. gitu..? Oke lah, aku akan bawa pentungan, lalu menggebugi kamu sama gadis itu.”
Naya terbahak.
“Kamu sadis juga ya.”
“Kalau so’al cinta ya. Siapa sih yang suka pacarnya diambil orang? Amit-amit deh.”
“Susan, kamu tahu nggak, aku ini laki-laki setia, nanti aku mau bilang sama bapak supaya segera melamar kamu.”
“Benarkah ?” wajah Susan berseri, mata beningnya menatap Naya. Ada telaga bening mengambang disana.
“Naya, kamu tahu, aku bahagia mendengarnya. Aku bahagia menemukan laki-laki baik sepertimu.”
“Kapan-kapan aku akan menemui mama kamu.”
Susan menghela nafas.
“Itulah, takutnya mama tidak mengijinkan. Tapi kalau mama tidak mengijinkan aku akan nekat.”
“Lho, melakukan sesuatu tanpa restu orang tua itu nggak baik lho.”
“Tapi kan kamu tahu bagaimana orang tuaku?”
“Siapa tahu suatu hari nanti akan berubah.”
“Permisiiii.” Keduanya terkejut mendengarnya. Susan beranjak kedepan, melihat seorang wanita berpakaian perlente berdiri ditangga teras.
“Kamu Susan kan?”
“Ya tante, saya Susan. Ma’af saya agak lupa, tante siapa ya?”
“Ya ampun Susan, aku temannya mama kamu, aku Triani.”
“Oh, ya ampun, ma’af tante, sekarang baru ingat, habis lama sekali tidak ketemu.”
“Iya, kan kamu tidak pernah mau ikut kumpul-kumpul bersama mama kamu.”
“Tante mau ketemu mama?”
“Tidak, aku sudah mendengar kalau mama kamu dipenjara.”
“Oh...”
“Kami sudah lama sahabatan. Tapi kali ini aku akan mengatakan sesuatu sama kamu.”
“Ya tante, ada apa? Silahkan duduk dulu.”
Tante Triani duduk, lalu mengeluarkan selembar kertas yang ditunjukkannya kepada Susan. Susan terbelalak membaca surat itu.
==========
“Ini... ini... aap..pa?”
“Susan, apakah kamu tidak bisa membaca? Beberapa bulan yang lalu mama kamu pinjam 1 M lagi, padahal hutangnya masih banyak. Surat rumah ini menjadi agunannya. Kalau di bulan ini mama kamu tidak bisa mengembalikan maka rumah ini menjadi milik aku.”
“Tt..tapi...”
“Dulu mama kamu bilang bahwa kamu akan menikah dengan seorang milyader kaya dikota ini, dan setelah menikah, uang itu akan dikembalikan. Mama kamu masih punya sisa utang 600 juta, lalu menambahkan lagi 1 M. Totalnya 1.6 M .. belum bunganya yang hampir setahun. Tapi janji itu mana, kapan kamu menikah, nyatanya mama kamu malah masuk penjara.”
“Apa tante sud..sudah.. bilang sama mama?”
“Kemarin aku menemui dia, sudah kembali masuk tahanan setelah dirawat, masih tampak sakit sih, kasihan sebenarnya, wajahnya jelek sekali, kakinya juga cacat. Kemarin dia bilang bahwa aku harus menemui kamu. Bukannya pacar kamu juga orang kaya?”
“Apa? Pacar saya atau siapapun orang lain tidak bisa disangkut pautkan dengan utang piutang mama. Saya tidak bisa membawa-bawa siapapun. Ini urusan mama dan tante.”
“Jadi bagaimana? Alasan apapun aku tetap akan meminta hak-ku. Dan bulan ini adalah sa’at terakhir dimana aku akan menyita rumah dan isinya kalau uang aku belum bisa dikembalikan.”
“Ini surat resmi lho, bertanda tangan, ada saksinya, ada meterai. Jadi kalau aku mengambil rumah ini adalah sah menurut hukum,” sambungnya.
Susan tak bisa menjawab. Kepalanya benar-benar pusing seratus keliling. Uang yang hampir 2 M, darimana dia bisa mendapatkannya?
“Baiklah Susan, aku pergi dulu, bawa saja surat itu, kan itu hanya foto copyannya, yang asli masih aku bawa, jadi gampang nanti kalau ada peralihan kepemilikan,” kata bu Triani sambil berdiri dan tanpa mengucap apapun lalu pergi, menghampiri mobilnya dan meninggalkan halaman rumahnya.
Susan terpekur dikursi, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Susan, ada apa?” Naya yang semula ada didalam dan tak berani mencampuri kemudian keluar, dan melihat Susan duduk dengan wajah pucat.
“Susan..”
Naya duduk disampingnya.
“Rumah ini akan disita oleh orang itu tadi.”
“Siapa?”
“Teman mama.”
“Apa maksudnya?”
“Mama berhutang dengan tanggungan surat rumah ini.”
“Lalu dia akan menyita rumah ini?”
“Ya, Naya, susah-susah kita bersihkan, ternyata bukan milik mama lagi,” katanya sendu.
“Berapa banyak hutang mama kamu?”
“Jangan bertanya, itu bukan urusan kamu Naya, aku tak ingin melibatkan siapapun dalam hal ini.”
“Aku boleh membantu?”
“Tidak. Ya ampun... ini sangat banyak Naya, aku tak sanggup bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu. Sudah, aku akan mengikhlaskannya.”
“Tapi ada baiknya kamu menemui mama kamu lagi Susan, siapa tahu mama kamu sudah mempunyai uang yang disiapkan untuk membayarnya.”
“Mana mungkin...”
Lalu Susan teringat kata-kata bu Triani tentang janjinya ketika berhutang. Mamanya berharap bisa berbesan dengan seorang milyader... Ya Tuhan, alangkah rendah pemikiran mamanya. Jadi dia berharap menjadi besan bu Diana karena hartanya.
“Susan, katakanlah.”
“Tidak Naya, ini bukan urusan kamu atau siapapun. Kalau memang harus kehilangan rumah, ya biarkan saja, biar mama mengerti bahwa telah banyak melakukan kesalahan.
“Baiklah, tapi turutilah saranku. Besok atau kapan temuilah mama kamu dan bicara baik-baik.”
***
“Tampaknya Adit akan bekerja diperusahaan Aliando..” kata Seruni malam itu.
“Oh ya? Nggak apa-apalah.. disana perusahaan besar.”
“Aku kira bukan masalah itu mas, Adit sungkan bekerja diperusahaan kita, karena dia kan pacaran sama Yayi. Adit itu kan biar bagaimana, sangat perasa. Nanti dikira bisa bekerja karena Yayi. Itu sebabnya dia memilih bekerja disana.”
“Ya, apapun yang dipilihnya, tidak masalah buat aku. Sesungguhnya aku menawarkan kan karena supaya dia segera punya penghasilan, sehingga meringankan beban orang tuanya.”
“Benar juga mas, tapi karena dia sudah memilih, ya sudah biarkan saja. Kita tidak bisa memaksanya. Lagipula sudah ada Naya yang mewakili bapaknya ini, ya kan? Yang penting anak-anak kita semua bisa hidup dengan nyaman.”
“Iya, aku kan sudah bilang bahwa sesungguhnya hanya ingin membantu supaya Adit segera bisa bekerja, supaya mas Tikno dan juga Surti juga senang.”
“Aku juga ingin begitu, karena kalau benar, Adit itu kan juga bakal jadi menantu kita.”
“Itu sebabnya dia menolak bekerja ditempat kita, takut dikira nebeng isterinya nanti.”
“Benar mas, sekarang aku memikirkan Naya. Bagaimana ya kabarnya Lusi? Kemarin dia bilang, katanya mengantarkan Susan kerumah sakit untuk menjenguk mamanya, malah diusir katanya.”
“Ah, Lusi itu kan lain daripada yang lain. Hukuman yang diterima harusnya membuatnya menyadari kesalahannya.”
“Ada lagi cerita Naya dan Susan kemarin.”
“Cerita apa tuh ?”
“Temannya Lusi menemui Susan, mengatakan kalau Lusi punya pinjaman, dengan agunan surat rumah. Kalau bulan ini tidak bisa membayar, rumah itu akan diambilnya.”
“Ya Tuhan , berapa juta dia punya pinjaman ?”
“Susan nggak mau mengatakannya, apalagi ketika Naya bilang ingin membantu. Pokoknya dalam hal ini harus Lusi sendiri yang menanggungnya. Dan pastinya juga ukurannya milyar, mengingat kehidupan Lusi yang sok mewah, pasti uang yang didapat dari pinjaman itu yang dipergunakan.”
“Sebenarnya Lusi itu pekerjaannya apa?”
“Nggak tahu aku. Kalau mertuanya.. dengar-dengar pedagang berlian. Mungkin setelah meninggal Lusi tidak mengelolanya dengan baik, entahlah.”
“Lalu bagaimana? Apa rumah itu akan dilepaskannya?”
“Menurut Susan biar saja rumahnya hilang, tapi Naya menyarankan agar Susan bicara juga sama mamanya.”
“Hm.. ada-ada saja. Tapi barangkali begitu lebih baik.”
“Ya, seandainya kita bisa menebusnya, nanti pasti juga akan menjadi masalah antara kita dan Lusi, jadi baguslah Susan menolak pertolongan yang ditawarkan Naya. Lebih baik kita tidak berurusan dengan Lusi selamanya.”
“Lha kalau anaknya berjodoh dengan anak kita? Kita tetap berhubungan bukan?”
“Itu hal yang berbeda, sudah bukan urusan kita seandainya mereka sudah menikah.”
“Kasihan Susan..”
***
“Dayu, kamu tidak kuliah, kok bisa mengantar sendiri makanan untuk ibu?”
“Hari ini libur ibu.”
“Oh, syukurlah, jadi bisa berlama-lama disini bukan?”
“Iya ibu.”
“Ibu selalu memikirkan kamu.”
“Memikirkan Dayu?”
“Iya, kapan kamu selesai ?”
“Kuliah Dayu ?”
“Iya, kuliah kamu.”
“Masih tahun depan ibu, mohon do’a supaya lancar ya ibu?”
“Pasti lah ibu do’akan, anak pintar. Kamu tahu mengapa ibu bertanya lagi sementara kamu sudah pernah menjawabnya?”
“Mungkin ibu lupa?”
“Tidak.. masa aku sudah pikun sih..”
“Iya .. belum lah bu, ibu masih muda dan cantik..”
“Walau sakit-sakitan?”
“Tidak, akhir-akhir ini ibu kelihatan sehat.”
“Benarkah? Itu karena ibu selalu merasa senang.”
“Syukurlah... Dayu juga senang kalau ibu sehat. “
“Ibu sudah bisa naik sendiri ke tempat tidur, dan turun serta duduk di kursi roda tanpa bantuan simbok.”
“Benarkah?”
“Coba lihat, ibu akan berpindah dari kursi roda ini ke sofa ya, tunggu...”
Dan bu Diana menjalankan sendiri kursi rodanya, mendekat kearah sofa, lalu berdiri perlahan dan duduk di sofa dengan nyaman. Dayu yang mengawalnya senang sekali.
“Ibu, lama-lama ibu akan bisa berdiri dan berjalan sendiri.”
“Aamiin. Ibu berharap, besok kalau kalian menikah ibu sudah bisa berjalan dengan baik.”
“Aamiin, ibu. Kalau begitu ibu harus sering berlatih berjalan ya bu.”
“Iya sayang. Tapi.. oh ya.. mengapa tadi ibu bertanya lagi tentang sekolah kamu? Itu karena ibu sudah ingin segera melamar kamu. Tapi begini ya, aku punya rencana bagus. Melamar sekarang kan tidak apa-apa, lalu kalian bertunangan, so’al menikahnya bisa saja menunggu kamu lulus. Bagaimana?”
Dayu tersipu, masa sih bu Diana bilang so’al mau melamar? Ngarep sih, tapi kan malu.
“Kok diam? Kamu tidak mau ?”
“Ibu.. kalau hal itu, terserah ibu saja.” Katanya sambil menundukkan kepala.
“Kalau begitu nanti aku mau bilang sama Liando, biar dia mempersiapkan semuanya. Oh ya, simboook.” Katanya memanggil simbok.
Simbok tergopoh mendekat.
“Ya ibu, makan siang sudah simbok tata, ibu mau makan sekarang ?”
“Sebentar lagi, menunggu Liando pulang. Karjo ada dibelakang?”
“Ada ibu.”
“Suruh dia menyiapkan mobil, aku mau jalan-jalan sama Dayu.”
“Baik ibu, tidak simbok bantu ibu ganti pakaian dulu?”
“Tidak, kamu panggil Karjo, aku mau didandani calon menantuku ini.”
Simbok tersenyum, melihat Dayu tertunduk malu.
***
Karjo membantu bu Diana turun dari mobil setelah menyiapkan kursi rodanya.
“Jo, kamu jemput Liando di kantornya, dan antarkan dia kemari ya .”
“Jadi saya kekantornya mas Liando dulu? Lalu membawanya kemari, begitu bu?”
“Iya Jo.. atau kamu telpon saja dulu, supaya dia tidak terlanjur pulang dengan membawa mobilnya.”
“Iya bu, saya mengerti.”
Dayu mendorong bu Diana memasuki sebuah supermarket.
“Ibu mau belanja apa?”
“Banyak, kamu tahu Dayu, ibu itu kalau sudah punya keinginan, harus segera dijalankan, tidak menunggu besok-besok, sekarang ya sekarang.”
“Oh, baiklah, sekarang ke counter apa dulu ibu?”
“Baju. Diujung itu ada butik.. aku mau memilih baju.”
“Ibu mau ke pesta?”
“Bagaimana kamu itu Dayu, iyalah pesta, pesta pertunangan kalian nanti.”
“Ouwh...” Dayu terkejut. Baru saja bicara so’al melamar dan sekarang mau mengajak membeli baju untuk acara pertunangan? Bukan main calon mertuanya ini.
“Lihat Dayu, kamu suka yang mana?” tanya bu Diana ketika sudah mengitari butik itu.
“Kok Dayu sih bu, ibu suka yang mana?”
Lalu seorang pelayan mendekat.
“Ada yang bisa kami bantu, ibu?”
“Ya, tentu saja, pilihkan baju untuk pertunangan anak saya ini. Gaun... oh tidak.. dia akan memakai kain, lalu atasnya kebaya. Untuk kulitnya dia, cocognya warna apa?”
“Oh, disini ibu.. silahkan memilih .. mari saya tunjukkan..”
Pelayan itu membawa keruangan lain, dengan beragam model kebaya dan warna-warna menawan.
“Dayu.. mana yang kamu suka?”
“mBaknya ini kulitnya putih, tinggi semampai, warna apapun cocog. Ini.. pink muda.. aduh.. cantik banget ibu... atau biru muda dengan bunga-bunga... ini juga bagus...”
“Dayu... ayo sayang.. mau yang mana?”
“Terserah ibu saja...”
“Bagaimana dengan hijau muda dengan bunga-bunga... dan.. seandainya ditambah dengan payet yang melingkari bunga-bunga itu... sampai bawah...” kata bu Diana sambil mengawasi kain yang dimaksud..”
“Ibu, kalau ibu minta tambahan pernik-pernik juga bisa.. tambahan batu mutiara disebelah sini bu.. bagus sekali.”
“Dayu.. ayolah sayang... suka?”
“Ibu suka yang mana?”
“Aduuh.. anak ini, yang mau memakai kan kamu, bukan aku..”
“Begini saja, baju ini biar dipakai mbaknya dulu, lalu menurut ibu kurangnya apa.. begitu mbak?”
“Ayolah Dayu.. coba dulu.. sana, ikuti mbaknya...”
Dayu terpaksa menurut.. masuk kedalam kamar pas dan bu Diana menunggu sambil terus mengamati baju-baju.
“Saya juga mau.. untuk saya kembaran cama calon besan saya ya mbak..”
“Oh, iya ibu.. bagus.. kalau untuk ibu-ibu.. yang hijau tosca dengan kembang-kembang putih ini..?”
“Itu bagus, ada dua? Calon besan saya agak lebih kecilan dari saya, saya kan gemuk..”
Ketika Dayu keluar dari kamar pas, dari arah luar terdengar tepukan.
“Bagus nona, bidadariku cantik sekali. Rembulanku jatuh dari langit..”
Dayu dan bu Diana menoleh..
“Haa, kamu baru datang Liando. Lihat, bagaimana menurut kamu?”
“Perfect.. tak ada cacat celanya.. “
Dayu tersenyum melihat Liando datang dan memandanginya dengan kagum. Lalu ia berdiri disamping Dayu.
“Bagaimana mbak, apakah saya serasi berdampingan dengan rembulan ini?”
Pelayan yang ada menatap kagum. Benar-benar pasangan luar biasa, yang satu ganteng tinggi tegap, bermata kebiruan, yang satu cantik dan anggun.
“Tolong dipotretin dong mbak,” pintanya kepada pelayan butik.
“Terimakasih mbak, katanya setelah selesai.”
“Wauuu...”
“Liando, belum-belum sudah mau berduaan. Sudah Dayu, dilepas dulu, “ kata bu Diana dengan wajah berseri-seri.
Liando tertawa, menatap punggung Dayu yang kembali kekamar pas.
“mBak, yang ini saja, saya minta ditambahi mutiara disebelah sini, payet sedikit saja, nanti mengurangi warna mutiaranya. Sekarang yang untuk saya mbak.. boleh saya coba, nanti kalau kurang besar ditambahin lagi, kalau tetap nggak bisa, tolong dibuatkan baru.”
“Baik ibu.”
“Liando, setelah ini kita cari cincin yang cocog untuk pertunangan kamu.”
“Mama kok nggak bilang-bilang punya rencana seindah ini?” bisik Liando ketelinga mamanya.
“Iya, tiba-tiba aku ingin melamar secepatnya, lalu kalian bertunangan, setelah Dayu lulus baru menikah.
“Mamaku sayang, terimakasih,” kata Liando sambil mencium mamanya.
***
Susan berangkat ke penjara untuk menemui mamanya. Naya benar, tentang masalah dengan bu Triani, mamanya harus tahu.
Susan duduk dibangku tunggu, dengan hati yang berkebat-kebit. Bagaimana kalau mamanya mengusirnya lagi?
Tak lama kemudian Lusi muncul, dan Susan terkejut melihat mamanya tidak bisa berjalan tanpa penopang. Ia mendengar bahwa tulang dibawah lutut sebelah kiri retak karena sambaran tongkat kakek tua, dan tulang paha kanannya patah kejatuhan kursi yang diangkatnya dan sedianya akan dipergunakan untuk memukul Dayu.
Susan ngeri membayangkannya. Bagaimana mamanya bisa melakukan hal sekeji itu, yang bahkan ternyata justru melukai dirinya sendiri. Bukan hanya kakinya, wajahnya juga luka ketika kakek tua memukulnya ketika melihat Dayu ditariknya.
Sungguh Lusi yang cantik tak lagi memiliki pesona. Ada goresan panjang yang tak bisa hilang dengan sempurna. Susan tak mengira akan separah itu. Ketika kerumah sakit ia tak melihat semuanya dengan jelas.
“Mama...” sapa Susan menahan deru perasaan melihat mamanya berjalan tertatih dan seakan menahan sakit. Tampaknya dia memang belum sembuh benar.
“Ada apa? Triani sudah menemui kamu?”
Susan baru teringat, bu Triani bilang sudah ketemu sama mamanya.
“Ya..”
“Sudah kamu bayar semuanya?” katanya tanpa duduk dan hanya bertopang pada kayu persegi tempatnya berpegang.
“Mama, darimana Susan bisa membayarnya? Itu jumlah yang cukup banyak.. mama”
“Lalu untuk apa kamu berpacaran dengan anak orang kaya kalau dia tidak bisa membantu kamu?”
Susan tertegun. Ternyata mamanya bukan hanya kejam tapi juga tidak punya malu. Bagaimana dia berhutang dan berharap orang lain mau melunasinya?
“Jawab Susan !!”
“Mama, dia itu orang lain mama.. mana mungkin dia menanggung beban kita?”
“Goblog !”
“Mama.. “ Susan terisak.
“Kalau kamu punya pacar anak orang kaya dan tidak bisa memanfa’atkannya, untuk apa kamu mau menjadi pacarnya?”
“Mama, Susan mencintai dia bukan karena dia anak orang kaya. Susan tidak akan melibatkan siapapun dalam hal ini.”
“Lalu apa maksudmu menemui aku disini ? Aku kira kamu membawa berita baik yang meringankan beban mama.”
“Sebuah beban yang mama pikul adalah beban yang harus mama pikul sendiri.”
“Apa?”
“Susan datang kemari karena ingin bilang kepada mama, bahwa rumah itu akan Susan serahkan kepada tante Triani.”
“Setan alas kamu Susan!! Hanya itu harta kita!!”
“Mama sudah menyerahkannya dengan surat bermeterai, dengan saksi-saksi, dan kalau mama mau melepaskan beban itu, lepaskan rumah yang sudah mama agunkan.”
“Bangsat! Keparat ! Kamu sama sekali tidak bisa membantu mama kamu?”
“Mama bisa membantu diri mama sendiri dengan melepaskan rumah itu. Dan selesai, mama terlepas dari jeratan hutang. Itu lebih nyaman dari pada membebani orang lain.”
“Jahanam kamu Susan ! Sepantasnyalah kamu berbuat seperti itu, karena kamu bukan darah daging aku !!” teriakan Lusi itu sangat keras, dan Susan merasa seakan bumi yang dipijaknya bergoyang dan hampir membuatnya terjatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel