Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 15 Maret 2022

Bagai Rembulan #16

Cerita Bersambung

Susan mencengkeram meja didepannya agar tak sampai limbung dan jatuh dari tempat duduknya. Seperti mimpi mendengar kata-kata yang seperti menggelegar membelah perasaannya.

“Mamaa..” panggilnya pelan.

Tapi Lusi sudah membalikkan tubuhnya, dibantu oleh petugas yang mengawalnya.
“Aku kelepasan bicara,” gumamnya.

Susan berhenti sejenak untuk menenangkan batinnya, sebelum kemudian berdiri setengah terhuyung, keluar dari ruangan itu.

“Apakah aku bermimpi? Benarkah apa yang dikatakan mama bahwa aku bukan anaknya? Lalu anak siapakah aku ini?” bisiknya berkali-kali, sambil menunggu taksi yang baru saja dipanggilnya.

“Aku akan pulang kerumah dulu, siapa tahu aku bisa mendapatkan sesuatu sebagai jawaban atas kebenaran kata-kata mama. Kalau aku bukan anaknya, lalu anak siapa aku ini?”
***

Susan memasuki rumahnya atau entah rumah siapa, yang pernah ditinggalinya sejak dia masih mengingatnya.

“Apakah aku jatuh dari langit ?”

Susan mengunci rumahnya sebelum dia menuju kekamar mamanya. Terkunci, entah dimana kunci itu, tapi Susan mendapatkan akal untuk membukanya. Ia kebelakang, mencari alat yang bisa digunakan untuk merusak pintu kamar itu. Biar rusak sekalipun Susan tak perduli, karena bukankah rumah ini akan menjadi milik orang lain ? Susan mendapatkan obeng di garasi, ditempat alat-alat milik Anjas yang entah untuk apa. Susan juga mengambil sebuah pukul besi.
Ia bergegas kembali kedepan kamar mamanya, mengotak atik lobang kunci dengan obeng dan pukul besinya. Gaduh suara itu tak dipedulikannya, toh tak akan ada yang mendengarnya. Susan merasa lega ketika akhirnya bisa membuka pintu dengan paksa. Ia membiarkan saja tempat kunci yang rusak, sekarang ia harus membuka paksa juga almari mamanya. Tapi kunci almari itu ternyata ada. Tergeletak begitu saja diatas meja. Mungkin mamanya lupa menyimpannya, atau memang sudah tak ada barang berharga disana yang perlu disimpannya rapat-rapat.
Tumpukan baju dibongkarnya, barangkali ada sesuatu dibawahnya, tiga rak baju dibongkar tanpa menemukan apapun. Susan membuka laci kecil ditengah almari itu. Ia menemukan sebuah kotak perhiasan. Tapi ketika dibuka, kotak itu kosong. Rupanya mamanya sempat membawa semua perhiasannya, atau memang sudah tak punya.
Susan bersimpuh dilantai, kelelahan. Setumpuk baju masih terserak dilantai. Susan tak peduli. Matanya mencari-cari kesekeliling ruangan. Oh ya, masih ada almari kecil disudut sana. Susan bangkit, dan mendekat. Tampaknya almari itu jarang dibuka. Tak ada kunci yang tampak disekelilingnya. Susan meraba-raba, kalau kunci ditemukan ia tak perlu bersusah payah mempergunakan alat untuk membukanya paksa. Lobang kunci itu sudah karatan, rupanya memang jarang atau memang tak pernah dibuka. Itu membuat Susan penasaran.
Ada rak kecil dibagian bawah almari, Susan menariknya, ha.. ternyata ada kunci disitu, Susan mencoba mempergunakan untuk membukanya. Ternyata susah. Susan berlari kedapur. Adakah minyak didapur? Tak ada, bukankah mamanya tak pernah memasak? Tapi dimeja ada roti yang sudah jamuran, dan didekatnya ada mentega. Susan mengambil mentega itu untuk meminyaki kunci yang sudah karatan. Masih agak susah, tapi kemudian berhasil. Susan menjatuhkan tubuhnya dilantai. Karena almari itu pendek, ia tak bisa membuka atau mengeluarkan isinya sambil berdiri.
Bau apak menyengat. Susan mengibas-ngibaskan tangannya.
Tiba-tiba ponselnya berdering.

“Susan?” ternyata dari Naya.
“Ya.. ada apa?”
“Kamu lama sekali? Masih di lapas?”
“Tidak, aku dirumah.”
“Ngapain?”
“Lagi mencari sesuatu, ma’af tidak bisa segera kembali ke kantor.”
“Aku menyusul kamu ya?”

Susan berfikir sejenak, tapi ada baiknya ada yang membantu.

“Baiklah, aku tunggu.”

Susan meletakkan ponselnya, lalu melanjutkan melihat apa isi almari itu. Ah, hanya album foto-foto lama. Susan mengeluarkannya. Lalu ada sebuah kotak besi kecil, dan ada tulisan diatasnya. UNTUK SUSANTI.

“Haa, Susanti... untuk aku?”

Susan membuka kotak itu, ternyata tak ada apapun didalamnya.

“Aneh, siapa memberikan kotak ini yang bertuliskan untuk aku, tapi tak ada isinya? Ataukah isinya sudah diambil? Apa kira-kira isinya ya? “ gumam Susan.

Lalu Susan tergerak untuk membuka beberapa album lawas yang baru saja dikeluarkannya.
Foto-foto lama, beberapa ia tak mengenalinya. Tapi ada foto neneknya ketika masih agak muda, bersama seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Ia bukan kakeknya, karena banyak foto-foto kakeknya dipajang dirumah itu.

“Ada beberapa foto nenek bersama laki-laki yang entah siapa aku tidak tahu.”

Sebuah ketukan dipintu membuat Susan bangkit. Pasti Naya yang datang. Ia lupa bahwa ia telah mengunci pintunya.

“Susan, lagi ngapain kamu?” tanya Naya heran melihat wajah Susan kusut dan tampak lelah.

“Masuklah, ayo bantu aku,” kata Susan sambil menarik tangan Naya.

Naya heran melihat kunci berantakan dilantai. Dan baju-baju berserakan.

“Ada apa ini?”
“Naya, aku tadi ketemu mama, hanya untuk mengatakan bahwa rumah ini akan aku serahkan kepada tante Triani.”
“Bagaimana kesan mama kamu?”
“Marah bukan alang kepalang, maunya aku harus bisa membayar hutang itu. Mana mungkin? Aku tetap ingin menyerahkan rumah ini sesuai janji mama. Tiba-tiba dalam kemarahannya mama mengatakan bahwa aku ini bukan anak kandungnya.”
“Kamu? Bukan anak mama kamu?”
“Aku sedang mencari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk tentang siapa aku ini. Di almari itu tak ada apa-apa yang aku temukan. Di almari kecil ini hanya ada album kuno, itu..Eh ada kotak ini.. “
“Ini untuk kamu Susan?” kata Naya setelah membaca tulisan diatasnya.
“Tapi kotak itu kosong, entah apa isinya dan siapa yang mengambilnya. Pasti mama lah, siapa lagi. Tapi apa ya isinya?”
“Tunggu, itu tumpukan buku-buku apa?” tanya Naya.
“Itu paling buku-bukunya nenek. Nenek itu suka membaca. Bukunya banyak, sebagian oleh mama sudah dijual di tukang loak.”
“Aduh, sayang sekali.”

Tapi Naya nekat mengeluarkan tumpukan buku-buku itu.

“Ini buku-buku bagus, ini tentang petualangan suku Indian namanya Winnetou , karangan Karl May.. yang... heii... ada surat didalamnya,” pekik Naya ketika sebuah amplop meluncur dari dalam buku yang dibukanya.
“Amplop apa ini?”
“Nina,
Aku titipkan bayi ini agar kamu rawat dengan baik. Ini darah dagingku, pewarisku. Aku tahu hidupku tak akan lama lagi. Sedangkan ibunya ada didesa dan sudah meninggal pula sa’at bayi ini lahir.. Aku tahu hanya kamu yang bisa merawatnya dengan baik. Bayi ini aku beri nama Susanti. Apabila bayi dan apapun yang aku sertakan bersamanya ini sampai ketanganmu, barangkali aku sudah tak ada lagi didunia ini.
Boyolali, 21 Pebruari 1990,
Dari kakakmu,
Kuncoro."

Gemetar tangan Susan membaca surat itu.

“ Siapa Kuncoro?”
“Siapa Nina?”
“Nina itu nama panggilan nenek aku. Jadi kalau aku anak kakaknya nenek, berarti aku keponakan nenek dong. Apa ini benar?”
“Lalu mengapa kamu bisa menjadi anak mama kamu?”
“Tunggu, surat ini dibuat th.1990, Susanti bayi. Kata mama aku lahir 1 Pebruari 1990. Lalu Anjas itu lahir bulan Agustus 1989. Aneh nya, kenapa aku tak pernah memikirkannya? Jarak umur kami tak ada setahun."
“Jadi benar aku bukan anak mama”

Susan menyandarkan kepalanya di tembok.
Naya masih membuka-buka tumpukan buku. Ada Babat Tanah Jawa, buku-buku berbahasa Jawa dan... beberapa novel karya penulis terkenal.

“Ini apa?”

Naya membuka sebuah kertas yang dilipat, sudah sangat lengket karena sudah lama melipatnya.

“Ini seperti fotocopy sebuah sertifikat tanah..”

Susan memintanya.

“Lhoh, ini kan alamat rumah ini? Ini milik Kuncoro, ada nama Susanti sebagai pewaris.. Apa ini?”
“Susan, rumah ini adalah rumah kamu, tapi entah dimana aslinya.”
“Lha yang dibawa tante Triani? Itu sertifikat yang sama, tapi kok bisa atas namanya mama ya?”
“Bisa jadi itu palsu. Ayo kita mengurusnya.”
“Aku kok segan ya Nay..”
“Segan bagaimana, kalau itu hakmu, harus diurus dong..”
“Aku lebih suka mencari siapa orang tuaku, dimana dikuburkan dan apa yang terjadi sehingga dalam usia yang tidak muda bisa mempunyai seorang anak.”
“Susan, seorang laki-laki tidak memiliki batas usia ketika ingin memiliki keturunan. Wanitalah yang ada batasannya.”
“Berarti ibuku masih muda?”
“Mungkin..”
“Aku ingin mencarinya, perkara rumah ini aku sama sekali tidak tertarik.”
“Siapa tahu dari kebenaran surat ini lalu rahasia orang tuamu bisa terkuak?”
“Gitu ya?”
“Ayo kita cari .. aku akan membantu kamu.”
***

“Mas Naya sedang bingung..” kata Yayi kepada bapak dan ibunya malam itu.
“Iya, tampaknya begitu, “ kata Indra.
“Memangnya kenapa?” tanya Seruni.
“Tadi mereka kembali kekantor sudah agak sore, Susan baru saja ketemu mamanya tentang rumah itu, mamanya marah-marah, lalu mengatakan bahwa Susan bukan anak kandungnya, pantesan tidak mau membantunya, begitu kata Lusi.”
“Syukurlah bapak, jadi kita tidak usah berurusan dengan perempuan jahat itu,” kata Yayi.
“Bukan itu permasalahan yang sedang Susan hadapi. Dengan pernyataan bahwa Lusi bukan ibu kandungnya, Susan kan harus mencari siapa orang tuanya.”
“Tidak dikatakan?”
“Seharian Susan dibantu Naya mengobrak abrik almari Lusi. Menemukan surat bahwa Lusi anak seorang laki-laki bernama Kuncoro, yang adalah kakaknya mertua Lusi.”
“Ooh, ya ampun.. ini cerita yang sangat menarik. Lalu dimana orang bernama Kuncoro itu, ada alamatnya kan?”
“Tidak, dia sudah meninggal.”
“Meninggal?”
“Dan ditemukan bukti bahwa serifikat yang digadaikan Lusi itu palsu, karena mereka menemukan foto copyannya.”
“Jadi rumah itu bukan milik Lusi?”
“Rumah itu milik Kuncoro.”
“Milik mbak Susan berarti?” sambung Yayi.
“Mereka sedang akan mengurusnya ke kantor BPN, belum hari ini, mungkin besok, supaya jelas mana yang benar diantara sertifikat itu.”
“Kalau Lusi memalsukan sertifikat berarti temannya yang menghutangkan uang itu tak akan mendapat apa-apa, bukankah sertifikatnya palsu?”
“Ya, semua kan belum jelas, palsu atau tidaknya masih harus menunggu.”
“Ih, rumit amat,” keluh Yayi.
“Mas, bukankah mertuanya Lusi itu sahabatnya bu Diana?” tiba-tiba Seruni teringat sesuatu.
“Oh... iyaaa. Benar.. nanti aku bilang sama Naya, bahwa dia bisa menanyakannya kepada Diana, siapa tahu dia mengenal keluarga sahabatnya itu.”
“Kalau begitu mas bilang saja sama Naya, suruh mereka menemui bu Diana.”
“Iya, nanti kalau Naya pulang aku bilang. Kasihan Susan, banyak hal tak terduga terjadi pada perjalanan hidupnya.”
“Dia anak baik, pasti nanti semuanya juga akan selesai dengan baik.”
***

“Kita akan mengurusnya sekarang?” tanya Naya kepada Susan dikantornya.
“Nanti saja Naya, aku selesaikan pekerjaan dulu, nanti pak Indra mengira aku hanya memikirkan diriku sendiri sampai melalaikan tugas aku.”
“Tidak Susan, bapak kan sudah tahu permasalahannya.”
“Iya, tapi nanti setelah istirahat siang saja.”
“Oh ya, semalam bapak bilang, bahwa kita bisa menemui bu Diana untuk menanyakan perihal keluarga nenek kamu itu.”
“Bu Diana? Mengapa bu Diana?”
“Mereka kan sahabatan sejak dulu, jadi kemungkinan besar dia tahu banyak tentang keluarganya nenek kamu.”
“Aduh, sungkan aku kalau kesana ?”
“Mengapa sungkan? Karena urung menjadi menantunya?” ledek Naya.
“Kesan tante Diana ke aku pasti sudah terlanjur jelek..”
“Tidak, bapak sudah pernah bertemu bu Diana dan mengatakan tentang kamu.”
“Gimana ya?”
“Siapa tahu bu Diana mengenal yang namanya Kuncoro, dan mungkin juga isterinya, jadi kamu bisa lebih cepat mendapatkan titik terang.”
“Kesana dulu atau ke BPN dulu?”
“Kesana dulu saja. Nanti sa’at makan siang, bagaimana ?”
“Aku deg-degan...”
“Kenapa sih, semuanya kan sudah berlalu, jadi lebih baik lupakan saja. Oh ya.. kalau tidak salah bu Diana akan segera melamar Dayu lho.”
“Oh, benarkah?”
“Yayi yang bilang begitu.”
“Bukankah Dayu masih kuliah ?”
“Hanya melamar, dan bertunangan katanya, sedangkan menikahnya menungu kalau sekolah Dayu sudah selesai.”
“Hm.. ikut senang deh.”
“Aku juga akan segera melamar kamu lho.”
“Ah.. Naya, sebaiknya kamu pikirkan dulu masak-masak sebelum memutuskan. Semakin jelas bahwa aku ini orang yang belum jelas asal usulnya.”
“Bukankah kamu anaknya pak Kuncoro? Nanti kita cari makamnya orang tua kamu, dan aku akan melamar disana."
“Benar kamu tidak akan menyesal? Bapak Indra dan bu Indra mau punya menantu seperti aku? Tapi kok belum-belum memikirkan itu sih Nay, kan aku harus menyelesaikan permasalahanku ini dulu.”
“Iya, aku tahu... “
“Ya sudah, aku selesaikan dulu pekerjaan aku, nanti siang kita temui tante Diana.”
***

“mBok, siapkan barang-barang yang minggu depan mau kita bawa kerumahnya pak Tikno ya.”
“Iya bu, kan semuanya sudah dihias cantik, dan simbok tata diruangan tengah.”
“Menurut kamu apa masih ada yang kurang ya mbok.”
“Menurut simbok sudah bagus bu, itu kan lamaran, bukan seserahan. Kalau seserahan itu lebih lengkap, diberikan ketika malam midodareni. Sedangkan kalau lamaran yang biasanya hanya pisang raja, makanan-makanan, buah-buahan.. Lha itu ibu menyiapkannya sudah lebih dari cukup.”
“Iya mbok, aku juga masih menunggu baju yang akan dipergunakan Dayu, aku dan bu Tikno, Liando sepertinya juga sedang membuat jas baru. Saya kira minggu depan sudah siap semuanya.”
“Syukurlah bu.”
“Kamu juga sudah aku pesankan baju baru lho mbok.”
“Waah, kok simbok segala harus pakai baju baru..”
“Ya harus.. kamu nanti juga ikut dalam rombongan melamar lho mbok, kan kamu simboknya Liando. Jadi juga harus dandan cantik.”
“Ini jam berapa, mas Liando kok belum pulang.”
“Sebentar lagi mungkin mbok, lha itu suara mobilnya mbok.”
“Oh, tapi bukan mobilnya mas Liando bu, ada tamu sepertinya,” kata simbok sambil melongok dari pintu kaca.
“Bukakan pintunya mbok, tamu siapa ya.”

Simbok membuka pintu, terkejut melihat Susan.

“Bu.. itu kok seperti anaknya bu Lusi?”
“Susan ?”
“Iya, wah.. jangan-jangan mau bikin rame juga nanti bu.”
“Kamu itu, belum-belum kok mengira yang tidak bagus. Sama siapa itu?”

Simbok membuka pintu, dan dengan heran melihat Susan mengangguk santun, dan tak lama kemudian seorang laki-laki ganteng mengikutinya. Tentu saja simbok mengenali Naya.

“Apa kabar mbok?” sapa Susan sambil tersenyum ramah.
“Baik.. baik.. silahkan masuk..” kata simbok agak gugup, habisnya terkejut melihat Susan tidak seperti biasanya ketika datang bersama mamanya.

“Bu, ada mbak Susan, sama putranya pak Indra,” kata simbok yang lalu bergegas kebelakang.
“Selamat siang bu..” Naya mendahului menyalami bu Diana, lalu mencium tangannya.
“Selamat siang Naya, aduh.. tumben-tumbenan.”
“Apa kabar tante,” kata Susan sambil mencium tangan bu Diana juga.
“Baik Susan, senang melihatmu, sudah lama tidak kemari. Ayo silahkan duduk,”

Dan bu Diana dengan perlahan juga berdiri dari kursi rodanya lalu duduk disofa menghadapi tamunya.

“Tante sudah lebih sehat,” sapa Susan.
“Iya, alhamdulillah Susan. Simboook... minum untuk tamu-tamuku,” teriaknya kepada simbok.
“Angin apa yang membawamu datang kemari, apakah mau mengundang aku untuk pernikahan kalian?” kata bu Diana yang sudah mengetahui tentang hubungan Naya dan Susan.
“Bukan tante, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan kepada tante, tentang keluarganya almarhum nenek.”
“Oh ya? Apa yang bisa aku bantu?”

Lalu dengan mata berkaca-kaca, Susan menceritakan apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini, dan temuannya tentang surat tentang seorang laki-laki bernama Kuncoro.
Bu Diana mengangguk-angguk.

“Aku bersahabat sama almarhum nenek kamu, dan aku juga kenal dengan kakaknya yang bernama Kuncoro. “

==========

Mata Susan berbinar, duduknya beringsut, lebih mendekati bu Diana.

“Tante kenal keluarga nenek saya?”
“Kami bersahabat sejak lama. Nenek kamu itu pedagang berlian yang terkenal karena dagangannya selalu baik dan bermutu. Kakaknya yang bernama Kuncoro, sebelumnya juga tinggal serumah, karena rumah itu memang rumahnya Kuncoro.”

Susan semakin memperhatikan.

“Tapi Kuncoro itu sering bepergian. Sudah tua belum juga punya isteri. Pacarnya banyak.”

Susan menutup mulutnya.

“Wajahnya tampan, duitnya banyak. Pantaslah kalau gonta ganti pacar. Tapi tak satupun dinikahinya. Katanya mereka hanya suka hartanya. Lalu entah bagaimana, dia membeli tanah didesa, lalu tak pernah kembali pulang lama sekali. “

Bu Diana tampak menghela nafas panjang.

“Sebetulnya aku tahu sesuatu, tapi tak ingin mengatakannya pada siapapun. Tidak pernah, karena aku menganggap ini sebuah rahasia keluarga nenek kamu. Tapi karena nenek kamu tidak ada lagi, dan mama kamu rupanya tidak bisa menjaga amanah dari almarhum, lalu karena kamu menanyakannya, jadi aku ingin mengatakan semuanya.”

Simbok keluar dan menyajikan teh hangat untuk tamu-tamunya.

“Silahkan diminum,” sapa simbok.
“Terimakasih ya mbok,” jawab Susan dan mengherankan hati simbok. Baru sekali ini Susan mengucapkan terimakasih. Simbok mengangguk dan tersenyum senang, senyum yang juga belum pernah simbok berikan untuk Susan sebelumnya.

“Minumlah dulu, sambil aku mengingat ingat lagi,” kata bu Diana.

Naya dan Susan meneguk minumannya, serasa tak sabar mendengar penuturan bu Diana selanjutnya.

“Ketika itu Gatot sudah menikah dengan mama kamu. Gatot itu anak nenek kamu satu-satunya. Tapi dia meninggal karena serangan jantung, ketika Anjas masih bayi.”
“Ya, saya belum pernah melihat papa..” sahut Susan.
"Lalu pada suatu hari datang seseorang dari desa, membawa bayi perempuan. Bayi itu anaknya Kuncoro, dengan seorang gadis desa yang masih muda. Sayangnya dia meninggal ketika melahirkan.”
“Sa’at itu, katanya Kuncoro sakit keras. Paru-parunya bolong karena kebanyakan merokok sejak muda. Lalu tak lama kemudian dia meninggal.”
“Oleh nenek kamu, bayi itu diserahkan kepada Lusi, mama kamu, agar dirawat seperti anak kandungnya sendiri.”
“Tapi mama kamu sering ada di Surabaya karena punya bisnis juga, entah bisnis apa aku tidak tahu. Jadi anak-anak itu kemudian nenek kamu yang merawatnya. Hanya kadang-kadang dia kemari beberapa hari, lalu kembali lagi ke Surabaya. Kamu sudah tahu bahwa bayi perempuan itu kamu, Susan ?”

Susan mulai bisa mengupas satu persatu peristiwa yang sejak kemarin masih memenuhi benaknya sebagai pertanyaan yang belum terjawabkan, walau belum semuanya.

“Ya tante..”
“Barangkali ada pesan-pesan atau surat yang menyertai sa’at kamu dikirim kemari oleh kerabat dari desa itu, aku tidak tahu. Yang aku tahu bahwa rumah itu milik Kuncoro, ayah kamu.”
“Kemarin saya menemukan kotak bertuliskan ‘Untuk Susan’.. tapi kotak itu kosong.”
“Nah, itu aku juga tidak tahu, mungkin berisi pesan, atau mungkin perhiasan untuk kamu, entahlah. Kalau itu pasti mama kamu yang tahu. Cuma saja menurut aku, karena ada tulisan ‘Untuk Susan’ jadi mestinya tidak seorangpun boleh membukanya.”

Susan mengangguk-angguk. Semakin jelas bahwa Lusi tidak punya itikat baik atas dirinya, walau benar bahwa dia disayangi atau seakan disayangi selama ini.

“Mm.. apa lagi ya.. aku kira hanya itu yang aku tahu.. “
“Tahukah tante nama ibu saya?”
“Aduuh, nenek kamu pernah memberi tahu, tapi aku lupa namanya. Sumini.. atau Suminah ya.. karena memang bukan urusanku, jadi aku tidak mengingatnya, tapi dia tinggal didaerah Boyolali, nama desanya aku juga tidak tahu.”
“Siapa yang mengantar bayi itu bu?” tanya Naya.
“Salah seorang kerabat desa sana Nay, tapi aku juga tidak tahu. Coba kalian cari-cari lagi barangkali masih ada yang bisa kalian temukan dirumah itu.”
“Baiklah tante, terimakasih banyak atas semuanya.”
“Cuma itu yang aku tahu. Oh ya, kapan kalian menikah?”
“Mohon do’anya ya bu, mungkin setelah permasalahan Susan ini selesai.”
“Syukurlah, jangan lama-lama. Ini aku juga sedang bersiap melamar Dayu, lalu menyuruhnya bertunangan sekalian.”
“Senang mendengarnya tante.”
“Ma’af ya Susan, kamu sama Liando mungkin tidak berjodoh.”
“Tidak apa-apa tante, kan yang mau mama, bukan saya.”
“Kamu ternyata anak baik. Jauh berbeda dengan mama kamu. Iya benar sih, kan kamu bukan darah dagingnya.”
“Ketika itu tante sudah tahu kalau saya bukan anaknya mama?”
“Sudah San, kan itu sebenarnya permintaan nenek kamu. Tapi aku agak risih dengan sikap mama kamu, sehingga membatalkannya. Kamu tidak apa-apa kan?”
“Saya bersyukur tante, karena saya memang tidak suka Liando. Jodoh saya ini, yang mudah-mudahan diridhoi oleh Yang Maha Kuasa.”
“Aamiin, aku akan mendo’akan nak, kalian adalah anak-anak sahabatku.”
***

Hari itu mereka berencana kerumah lagi seusai dari kantor, tapi sebelumnya sudah mampir dulu ke kantor BPN, menanyakan tentang keaslian sertifikat tanah yang foto copynya diberikan oleh bu Triani, dan foto copy yang ditemukan di almari tua itu. Hasilnya masih besok paginya.

Hari sudah sore ketika Susan dan Naya kembali memasuki rumah itu., dan kembali mengubek-ubek isi almari yang ada disana.
Mereka duduk kelelahan di teras.

“Bagaimana kalau dilanjutkan besok saja?” tanya Naya ketika melihat Susan tampak letih.

“Iya, besok setelah mengambil hasil dari BPN. Tapi Nay, aku sendiri juga nggak apa-apa, kasihan kamu terus membantu aku, kan aku sendiri juga nggak apa-apa?”
“Kan kalau dibantuin bisa lebih cepat selesainya?”
“Jadi nggak enak sama kamu..”
“Haishhh.. emang aku nggak enak, dikira makanan apa?” canda Naya.
“Kalau kamu makanan sudah aku habisin dari kemarin..”
“Waah.. rakuuuusss..”
“Ya sudah, ayo pulang.”
“Lho, ini kan rumah kamu..?”
“Belum jelas Nay, lebih baik biarkan saja dulu. Pekara rumah ini sebenarnya nggak begitu aku fikirkan.“
“Ya sudah, bisa difikirkan nanti.”
***

“Mas, minggu depan bu Diana mau melamar, kalau ada waktu besok bersihkan rumah ya.. atau minta tolong seseorang, gitu?”
“Gampang, Yang mau dibersihkan apa saja?”
“Paling mengecat tembok depan itu mas, sama membersihkan kebun. Tapi bersih-bersih kebun bisa aku. Mengecat itu, kan harus naik-naik segala, nggak berani aku.”
“Nanti aku saja. Atau Adit kan sudah nggak kuliah ?
“Adit itu Minggu depan sudah mulai bekerja lho mas.”
“Kan masih minggu depan? Nanti bapak beri tahu dia supaya mengecat yang bagian depan dulu saja. Nanti sepulang kantor aku bantu deh.”
“Iya pak, wong ya cuma rumah kecil, barangkali dua atau tiga hari sudah selesai. Nanti aku masak sendiri saja buat hidangan.”
“Nggak capek? Kalau perlu pesan saja kan nggak apa-apa.”
“Cuma keluarganya bu Diana kan nggak banyak, plus keluarganya pak Indra. Kalau pesan ya boros, aku masak sendiri saja, yang bisa dimasak sekarang ya akan aku masak sekarang. Nggak susah kok, cari masakan yang gampang tapi enak.”
“Oh, aku lupa kalau isteriku jago masak..”
“Iih.. mana ada perempuan jago... betina tahu!”

Lalu keduanya tertawa renyah.

“Aduuh, bapak sama ibu kalau sudah bercanda asyik deh..."
“Lha ini anaknya muncul.. “
“Iya, sini Dit, bapak mau minta tolong.”
“Apa tuh ?”
“Besok bantuin bapak ngecat rumah ya? Dari depan saja dulu, nanti bapak ambilkan tangganya yang dibelakang rumah itu.”
“Oh.. Adit tahu, mau ada yang dilamar nih..”
“Iya, mau bagaimana lagi, bu Diana maunya begitu. Sekalian tunangan malah. Biar saja, kan nikahnya masih nunggu kalau adikmu sudah selesai.”
“Baiklah bapak, beres, serahkan semua pada Adit. So’al mengambil tangga biar Adit saja lah, masa yang muda diladenin. Besok pagi-pagi beli cat sama peralatannya dulu.”
“Iya, terserah kamu saja. Bisa dua tiga hari selesai kan, nanti bapak bantu sepulang kantor. Katanya minggu depan kamu sudah mulai kerja.”
“Iya pak, Liando maunya begitu. Ya syukurlah, biar Adit cepat kerja, terus berani ngelamar deh.”
“O.. sudah pengin rupanya?” ledek Surti.
“Ya pengin lah bu, kata orang-orang tua, kelamaan pacaran itu nggak bagus.”
“Tapi ya sama lah, mungkin Yayi sama Dayu selesainya juga hampir bareng.”
“Hm, kalau anak-anak sudah menikah, tinggal kita berdua ya bu..”
“Iya.. bapak sama ibu pacaran lagi.. siapa tahu Adit masih bisa punya adik...” canda Adit.
“Hush... kamu ada-ada saja.. masa orang setua ibu masih bisa punya anak. Sudah mandi dulu sana, nanti omong-omong lagi.”
“Kamu dari mana sih Dit?”
“Nganterin Yayi beli buku. Yayi banyak cerita tentang Susan.”
“Kenapa lagi dia?”
“Ternyata Susan bukan anak kandungnya bu Lusi.”
“Oh ya?”
“Ceritanya seru, tapi Adit kasihan sama Susan, mandi dulu aja ya bu, nanti baru cerita.”
“Ya sudah sana, bau asem ih !”
***

“Sudah hampir pasti kalau rumah itu bukan punya Lusi, berarti Lusi akan dijerat pasal berlapis. Memalsukan sertifikat dan penipuan.” Kata Indra malam itu.
“Ya ampuun, bisa-bisanya dia melakukan itu ya mas? Sudah diberi hidup berkecukupan, masih saja kurang.”
“Seharian tadi mereka sudah ketemu Diana.”
“Berarti sudah jelas siapa orang tuanya?”
“Ya, Diana ternyata tahu bahwa Susan bukan anaknya Lusi. Ketika menjodohkan itu sebetulnya kan keinginan neneknya Susan. Tapi karena sikap Lusi itulah maka Diana jadi nggak suka.”
“Bu Diana juga tahu siapa orang tuanya?”
“Dia tahu tentang yang namanya Kuncoro, bapaknya Susan, tapi tidak tahu siapa isterinya. Jadi Susan masih penasaran tentang orang tuanya.”
“Aku bisa mengerti mas, pasti Susan masih penasaran.”
“Banyak kebohongan dilakukan Lusi yang Susan sama sekali tidak tahu. Tapi semua itu kan ada batasnya. Disuatu titik nanti akan terbuka semuanya.”
“Apakah sertifikat itu benar-benar palsu?”
“Hampir pasti, karena Diana juga tahu bahwa rumah itu miliknya Kuncoro.”
"Semoga semuanya segera berakhir. Oh ya mas, ada permintaan mas Tikno, supaya Minggu depan ini kita kerumahnya lho.”
“Ada acara apa?”
“Itu acara lamarannya Dayu lho mas, sekalian tunangan..”
“Oh iya, pernah mendengar bahwa akan dilamar..”
“Maka dari itu, aku lupa bilang sama mas.”
“Oh ya? Syukurlah, aku ikut senang.”
“Ya nggak apa-apa, keluarga mas Tikno kan juga keluarga kita, sudah selayaknya kalau kita ikut menerima lamaran itu dirumah mas Tikno.”
“Akhirnya ya mas, dan jangan lupa kita juga akan segera melamar lho. Naya sudah merengek-rengek tuh.”
“Iya aku tahu, tapi melamar sama siapa ya?”
“Nah itulah.. tapi pasti suatu hari nanti ketemu kok keluarganya Susan. Semoga semuanya baik-baik saja.
***

“Ibu tidak usah repot menyiapkan baju untuk acara pertunangan,” kata Dayu ketika melihat mamanya tampak mencari-cari baju.
“Lho, gimana sih kamu? Biar nggak punya ibu kan harus mempersiapkan, itu acara sekaligus pertunangan, masa pakai baju biasa-biasa saja? Sepertinya ibu masih punya baju yang lumayan dan baru sekali ibu pakai.”
“Tapi bu Diana sudah memesan baju kembar sama ibu.”
“Masa, sih, sungkan aku, masa baju juga dikasih.”
“Itu bu Diana pesannya sama Dayu bu, nanti atau besok pasti ibu diajak untuk mengepas pakaiannya.”
“Ya ampun. Mengapa kamu tidak menolaknya?”
“Ibu ini bagaimana? Aku tiba-tiba diajak belanja, langsung memesan-mesan gitu, gimana cara menolaknya?”
“Nggak enak ya nduk, mengapa bu Diana begitu baik sama kita.”
“Iya bu, tapi mau bagaimana lagi. Menolak juga nggak enak.”
“Nanti kamu kuliah?”
“Nggak bu, nanti Dayu yang mengantar makanannya bu Diana.”
“Iya, nggak apa-apa, tapi nanti pulangnya bantuin bersih-bersih ya? Kemarin bapak sudah meminta Adit untuk mengecat rumah.”
“Oh, iya bu, pasti Dayu bantuin. Sekarang masakannya apa sudah selesai?”
“Tinggal sayurnya, sebentar, ibu tadi sebetulnya lagi memilih-milih baju sambil menunggu air mendidih.”
“Ayo Dayu bantuin bu.”
***

Naya dan Susan sudah ada didalam rumah Lusi. Ada rasa aneh ketika menyadari bahwa rumah itu adalah miliknya, karena dari BPN tadi sudah ada keterangan bahwa yang benar adalah foto copy rumah yang ditemukan didalam almari tua itu, dan BPN sudah membuatkan salinannya. Setelah data orang tuanya ditemukan, Susan baru akan mengurus rumah itu.

“Apakah nanti aku juga harus bilang pada mama tentang sertifikat itu?”
“Ya sebaiknya bilang, supaya mamamu tidak lagi mengharapkan apapun dari rumah ini.”
“Tapi kok aku merasa kasihan ya Nay, kalau mama tidak punya rumah lagi nanti mau tinggal dimana? Rumah yang di Surabaya sepertinya dikontrak orang.”
“Ya sudah itu difikirkan nanti, yang paling gawat itu adalah nanti kalau bu Triani marah-marah. Pasti nanti semua akan menjadi panjang.”
“Iya juga ya.”
“Tapi itu difikirkan nanti saja, ayo sekarang bongkar-bongkar lagi. Siapa tahu kita menemukan sesuatu.”

Tapi didalam almari tua itu mereka tak menemukan apapun lagi. Semua buku yang dibuka-buka tak ada satu lembarpun data yang ditemukan.
Susan kembali merapikan buku-buku itu, dan sekaligus merapikan baju-baju Lusi yang masih terserak dilantai.
Oh ya, Susan lupa, di almari gantung ada beberapa tas Lusi. Susan membukanya, meletakkan empat atau lima buah tas itu dilantai, kemudian dia sendiri duduk bersimpuh lalu membuka setiap tas yang ada. Tapi tak ada yang ditemukannya.

"Lihat, dibawah itu ada map yang pasti kamu belum membukanya."
“Oh ya.. map apa ini?”

Susan membukanya dengan harap-harap cemas, tapi map itu berisi surat perjanjian hutang-hutang Lusi, yang salah satunya sama dengan surat yang foto copynya diberikan bu Triani kepada Susan.
Susan mengembalikan lagi map itu ketempatnya, lalu kembali bersimpuh dengan matanya memandang kesekeliling ruangan.

“Sepertinya tak ada apa-apa lagi disini.”
“Bagaimana dengan gudang? Adakah gudang dirumah ini?”
“Gudang? Ada.. aduh.. hanya barang-barang tak berguna yang ada disana.”
“Siapa tahu ada sesuatu, ayo, dimana letaknya?”

Naya dan Susan bangkit lalu bergegas kebelakang. Disebelah dapur, ada ruang tempat menyimpan barang-barang tak terpakai. Susan membukanya, dan bau pengap segera menyergap hidung mereka.
Susan berlari keluar, masuk kedalam kamarnya dan mengambil dua lembar kain scraf yang biasa dipakainya. Ia menyerahkan satu kepada Naya, lalu mengikatkan scfarf itu untuk menutupi hidungnya, kemudian memasangkannya diwajah Naya.

“Supaya tidak menghisap debu,” kata Susan. Lalu mencari-cari..

“Ini buku-buku Anjas.. masih bagus-bagus, wong nggak pernah dibuka,” kata Susan sambil menyingkirkan kardus itu.
“Itu apa?”
“Itu baju-baju mama yang sudah nggak pernah dipakai, tarik turun saja Nay, nanti akan aku berikan kepada orang yang membutuhkan. Itu masih bagus-bagus kok.”

Naya menarik tas bening besar yang terletak agak keatas, lalu dilemparkannya keluar gudang.
Tiba-tiba sebuah kopor lusuh ikut meluncur turun dari tumpukan.
“Ini kopor siapa? Aku nggak pernah melihatnya.”
“Pastinya milik nenek kamu..”
“Bukan tuh.. ih... ini kopor sudah karatan. Coba dibuka bisa enggak.”

Kopor itu terkunci, tapi karena sudah karatan, sekali tarik bisa terbuka.
Susan belum sempat mengamati isi kopor tua itu ketika didengarnya sebuah teriakan dari depan.

“Susaaan... Susaaan.. kamu didalam kan?”
“Itu suara tante Triani.”

Bersambung #17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER