Cerita Bersambung
Susan bangkit dan menuju kearah depan.
“Naaah, benar kan? Syukurlah ketemu kamu Susan, kemarin aku pas lewat rumahnya kosong.”
“Iya tante.”
“Boleh aku duduk?”
“Silahkan tante, ada yang bisa saya bantu?”
“Gimana kamu ini, ya memang kamu harus bantu aku dong San, itu lho, tentang surat yang foto copynya aku serahkan ke kamu. Kamu tidak lupa kan, batas akhirnya adalah bulan ini? Dan bulan ini itu hanya tinggal seminggu, jadi aku ingatkan kamu, apakah hutang itu akan kamu bayar, atau rumah ini menjadi milik aku. Sudah kamu fikirkan?”
“Iya tante, aku ingat, tapi perjanjian itu kan sama mama?”
“Lha mama kamu ada di penjara, dan mama kamu menyerahkannya sama kamu, bagaimana ?”
“Sebentar tante, saya mengerti ada perjanjian antara mama dan tante, tapi agunan yang dipergunakan oleh mama itu bukan milik mama lho.”
“Bukan milik mama kamu bagaimana ta San? Lha foto copy semuanya kan sudah aku serahkan sama kamu. Ini, aslinya aku bawa lho, sebentar,” bu Triana membuka tasnya dan mengeluarkan selembar sertifikat, yang menurutnya asli.
“Ini aslinya aku bawa, mamahmu sendiri yang menyerahkannya.”
“Tante, saya mohon ma’af, tentang sertifikat itu sedang saya urus tante.”
“O sudah kamu urus? Maksudmu sudah akan kamu pindah tangankan ke tante, begitu? Lha nanti kalau ke notaris kamu harus mengajak tante dong. Mana bisa kamu sendiri memindah tangankan.”
“Bukan pindah tangan tante, tapi perlu tante ketahui bahwa sertifikat itu palsu.”
Seketika melotot mata bu Triani, menatap Susan dengan pandangan marah.
“Apa maksudmu palsu Susan?”
“Kalau tante tidak percaya, silahkan tante ke kantor BPN dan menanyakan, apakah sertifikat itu asli atau palsu.”
“Aku harus ke kantor BPN? Tapi ini dari mama kamu lho San. Bagaimana kalau palsu? Ada namamu juga tertulis disini, namamu dan Anjas.”
“Iya benar tante, tapi tolong tante ke kantor BPN dulu untuk meyakinkan apakah itu palsu atau asli. Kalau saya yang ngomong pasti tante tidak percaya.”
“Lha terus kalau benar surat ini palsu, lalu bagaimana uangku yang 1.6 M itu, sudah setahun lebih lho San, sedang yang 1 M itu sudah setengah tahunan.”
“Tante nanti setelah dari BPN langsung ketemu mama saja.”
“Kok kamu kemudian seperti lepas tangan begitu San? Itu mama kamu, jadi harus menjadi tanggungan kamu juga.”
“Tante ke BPN dulu saja, supaya jelas, semuanya kan belum tentu, mungkin saya yang salah.”
Bu Triani langsung berdiri dan tanpa mengucapkan apapun langsung pergi begitu saja. Susan menghela nafas panjang.
“Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, pasti nanti dia marah-marah sama mama, dan mama akan dilaporkan ke polisi karena pemalsuan sertifikat dan penipuan. “
“Bagaimana San?”
“Aku suruh dia ke kantor BPN supaya yakin. Tapi aku kok jadi kasihan pada mama ya Nay..”
“Apapun yang dilakukan mama kamu itu tidak benar. Dia harus menanggung akibatnya.”
“Baiklah, ayo kita lanjutkan pekerjaan kita tadi.”
***
Dengan perasaan gundah Susan melangkah kembali ke gudang. Ada rasa nyeri di ulu hati mengingat mamanya, karena bagaimanapun selama ini Lusi juga terkadang bersikap baik kepadanya, dan mereka sudah hidup bersama selama bertahun-tahun.
“Susan, masih memikirkan mama kamu?”
“Dia pernah menjadi mama aku selama ini, ikatan batin itu ada, walau terkadang aku sangat membencinya. Tapi kalau dipikir-pikir, mama juga pernah menyayangi aku sehingga aku tidak merasa bahwa dia bukan mama aku.”
“Aku bisa mengerti, tapi kalau mama kamu melakukan kesalahan maka dia wajib menebusnya.”
“Benar.”
Keduanya kembali masuk kedalam gudang. Kopor tua yang sudah setengah terbuka itu masih teronggok disana. Naya membukanya semakin lebar.
“Pakaian-pakaian tua yang pasti sudah puluhan tahun tersimpan disini. Tapi ini jelas bukan milik nenek. Ini pakaian laki-laki. Lihat, ada piyama, ada.. apa ini? Ada foto didalam sini..” pekik Susan.
Susan menarik sebuah bingkai foto, sepasang laki-laki dan perempuan, yang laki-laki seperti yang ada di album tua yang ditemukannya sebelumnya. Perempuannya masih sangat muda, tampak lugu tapi memang cantik. Susan mengamatinya dengan seksama.
“Apakah ini kedua orang tuaku ?”
“Ini yang fotonya ada bersama nenek kamu di album tua itu.”
“Apakah ini isterinya? Jadi adalah ibuku ? Memang benar, jauh lebih muda, lebih pantas menjadi anaknya. Kalau benar, mengapa ya bapakku memperisteri wanita muda ini?”
Naya membongkar lagi isi kopor tua itu, ada sebuah kain batik dan kebaya juga.
“Apakah ini pakaian mereka? Mungkin disimpan karena ini pakaian ketika mereka menikah?”
“Tampaknya nenek tidak menyukai pasangan ini. Mungkin tidak setuju ayahku menikahi gadis dusun yang jauh lebih muda darinya. Buktinya foto ini tidak dipasang dirumah padahal sudah berbingkai. Malah disimpan didalam gudang yang kotor seperti ini,” gumam Susan.
“Coba keluarkan fotonya, barangkali ada catatan dibaliknya,” teriak Naya.
Susan membuka kardus dibelakang pigura itu dan menarik fotonya dengan hati-hati, takut tersobek karena lamanya.
“Ada Naya... ada... lihat!”
KUNCORO – SUMINI
Mojolegi, Boyolali
1 Januari 1989
“Oh, ini mungkin catatan ketika mereka menikah. Jadi ini ibuku? Namanya Sumini?”
Susan mendekap foto itu dengan air mata berlinang.
“Ini ibu bapakku, Naya. Aku tak sempat ditimangnya, tak sempat memeluknya,” Susan terisak.
“Susan, masih ada tulisan di selembar kertas, tuh, jatuh.”
Susan memungutnya. Kertas itu ada diantara kardus dan fotonya.
Untuk anakku Susanti.
Di kotak itu ada perhiasan milik ibumu, tak seberapa, terimalah, cincin bermata berlian, kalung dan leontin dengan foto bapak ibumu, serta anting, dengan hiasan berlian yang sama. Hanya itu yang bisa bapak berikan kepadamu, juga rumah yang ditinggali nenek Nina. Semuanya untuk kamu. Foto di leontin itu, harapan bapak, agar kamu ingat bahwa pernah punya bapak dan ibu.
Dari:
Kuncoro, bapakmu.
Susan terisak, lalu mencari kotak yang dimaksud, tapi sampai semua dikeluarkan, tak ada kotak itu.
“Mana kotaknya? Aku ingin memakai leontin itu, yang ada foto bapak dan ibuku. Mana?”
Susan mencari-cari, tapi tak ada kotak yang dimaksud dalam surat itu.
“Susan, yang didalam almari kecil itu, bukankah ada kotak tapi sudah kosong?”
Susan terduduk lemas. Benar, pasti itu kotaknya, yang isinya kabur entah kemana.
“Ya Tuhan, tega sekali mama merampas semuanya,” Susan kembali terisak.
“Dimana barang-barang itu, aku tak pernah melihat mama memakainya. Pasti sudah dijualnya tanpa sisa. Itu sangat berharga untuk aku, karena pemberian orang tuaku, bukan karena mata berlian yang ada disana. Lebih-lebih dengan leontin itu.” Susan terus terisak.
“Susan, lihat, barangkali perhiasan yang dipakai ibu Sumini itulah yang kemudian diberikan kepadamu. Tuh, leontin yang ada foto mereka berdua,” kata Naya.
“Benar... benar Naya.”
“Susan, kalau kamu menangisi benda itu barangkali tak akan ada gunanya. Bagaimana kalau kamu membuat perhiasan dengan model serupa dengan foto itu? Memang tidak sama, tapi setidaknya kamu sudah meniru modelnya dan itu milik ibu kamu. Barangkali sedikit bisa mengobati luka hati kamu.”
“Oh, benar Naya, kalaupun aku menagihnya dari mama, sudah pasti barang itu sudah tak ada. Mungkin dijual atau diberikan kepada siapa, jadi lebih baik aku membuat tiruannya, barangkali bisa sedikit mengobati rasa kecewa aku ya Nay.”
“Benar, bawa foto itu nanti ke tukang emasnya, agar bisa mencetaknya untuk leontin kamu. Juga model permatanya. Bisa kok.”
“Naya, terimakasih telah selalu menemani aku dan menguatkanku,” isak Susan sambil memeluk Naya erat, mengumbar derasnya air mata yang terburai bersama duka hatinya.
“Lihat Susan, ada kertas diremas-remas disudut kopor. Itu.. disela-sela tumpukan baju itu.”
Susan melepaskan pelukannya. Tadi mereka belum sempat membongkar semuanya. Ada kertas yang diremas, karena mungkin tidak terpakai, bergulung disudut kopor. kumal yang kemudian diambil oleh Susan.
Selembar kertas, hanya sesobek, atau memang sudah sobek. Tulisannya sangat buruk, seperti coretan-coretan, mirip tulisan neneknya.
Untuk Lusi,
Lusi menantuku, kelak kalau Susan sudah dewasa, dia berhak.........sebenarnya. Kopor besi berwarna ijo itu jangan sekali-kali............. , karena ........ikan ayahnya untuk dia. Jadi biarkan dia sendiri y............
Surakarta, 15 Mei 2005
Dari Nani,
“Ini dari nenek untuk mama. 5 hari sebelum nenek meninggal. Nenek meninggal tanggal 20 Mei 2005. Ditulisnya dalam keadaan sakit, makanya tulisannya sangat jelek. Mungkin Lusi sudah menyobeknya dan entah dimana sobekannya.”
“Tapi biarpun hanya sesobek, kita bisa mengerti maksudnya. Kopor itu peninggalan ayahmu. Lusi dilarang membukanya, dan harus memberikannya kepada kamu, karena kamu berhak mengetahui siapa sebenarnya kamu, Lebih kurangnya begitu Susan,” kata Naya.
“Jahat.. jahat... jahat...” jerit Susan sambil memeluk foto ayah dan ibunya..
“Mengapa mama kamu tidak membuangnya sekalian? Mungkin ingin membuangnya, tapi terlempar kedalam kopor dan dia tidak mengetahuinya, karena terburu-buru ingin mengambil kotak perhiasan itu. Bukankah ini jalan dari Alloh yang ingin menunjukkan kepada kamu atas semua yang terjadi?” kata Naya.
“Nenek tidak bisa bicara ketika itu.. dia memeluk aku sambil menangis.. ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa, tangannya menunjuk-nunjuk kearah mama. Mungkin nenek ingin bilang bahwa aku harus bertanya kepada mama, karena menurut nenek mama mengetahui semuanya. Tapi mama tidak pernah mengatakan apa-apa.”
Naya merapikan tumpukan baju-baju itu dan memasukkannya kembali kedalam kopor, lalu bersama Susan barang itu dibawanya keluar. Dikamar mamanya, Susan mengambil kotak kosong yang bertuliskan untuk dirinya, dijadikan satu didalam kopor itu. Tapi foto bapak ibunya disimpan didalam tasnya.
“Naya, ini aku bawa kerumah kostku dulu ya, baju-baju ini butuh laundry.”
“Ya, sebaiknya begitu.”
“Besok Minggu aku akan ke Boyolali, alamat itu tidak jelas, tapi siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu, lalu bisa mengetahui dimana ayah ibuku dimakamkan.”
“Ya, sebaiknya begitu, aku akan mengantarmu,” kata Naya.
“Naya, kamu sangat baik, terimakasih banyak ya.”
***
Bu Triani mencak-mencak karena Lusi tak mau keluar dengan alasan sakit. Dia sudah ke kantor BPN dan benar bahwa itu sertifikat palsu. Dengan mata berapi-api ia langsung melaporkan semua yang dilakukan Lusi.
“Kurang ajar dia, menipu sampai sebegitu banyak. Ini semua buktinya, sudah saya foto copy dan saya serahkan kepada bapak. Juga pernyataan dari BPN bahwa sertifikat itu palsu. Setan alas dia, sudah berteman selama bertahun-tahun tega menipu saya. Saya harap dia dihukum seberat-beratnya. Atau biarkan dia membusuk dipenjara.”
Bu Triana yang tak bisa mengendalikan diri terus menerus mencak-mencak, sampai ketika naik ke mobilnya menuju pulang, umpatan demi umpatan terus saja meluncur.
“Tapi aku akan tetap menagih pada Susan, dia juga harus ikut bertanggung jawab,” lanjutnya, kemudian ia menuju kerumah Lusi kembali. Namun sesampai disana rumah itu kosong. Menambah geram hati bu Triani.
***
Memang hari itu Susan tidak kerumah. Ia mengerjakan pekerjaan kantor karena beberapa hari agak terbengkalai. Tapi pak Indra memakluminya.
“Tapi kamu sudah menemukan siapa orang tuamu kan San?” tanya pak Indra.
“Namanya sudah pak, desanya Mojolegi. Besok Minggu saya mau ke Boyolali, barangkali bisa menemukan sesuatu disana.”
“Mudah-mudahan segera selesai permasalahan kamu ini ya San, aku ikut prihatin.”
“Terimakasih pak, Naya dan bapak sudah banyak membantu.”
“Pastilah San, kamu kan karyawanku, sekaligus calon menantuku.”
Susan tersenyum menatap pak Indra.
“Benarkah bapak mau bermenantukan saya? Ternyata kan saya hanya anak orang desa, dan sampai sekarang juga belum jelas dimana makamnya.”
“Lebih baik orang desa tapi berperilaku baik, daripada orang kota, terpandang, tapi kelakuannya tidak terpuji. Bukankah begitu Susan?”
Susan mengangguk terharu. Ada rasa bahagia disa’at hatinya sedang terombang-ambing oleh hidupnya yang belum jelas, masih ada orang yang memberi banyak perhatian dan bahkan mau mengambilnya sebagai menantu.
“Tapi apa kamu belum mendengar, atau Naya lupa ya, hari Minggu itu kan Dayu sama Liando bertunangan. Kami sekeluarga harus hadir, karena pak Tikno itu kan sudah seperti keluarga bagi kami.”
“Oh iya, tante Diana juga pernah bilang. Apakah acaranya siang?”
“Sepertinya siang.”
“Tidak apa-apa pak, nanti ke acara itu dulu, baru saya mau ke Boyolali.”
“Baiklah, yang penting semua bisa tertangani.”
***
“Susan, apakah kamu membawa fotonya bapak sama ibu kamu?” tanya Naya ketika mereka makan siang diluar.
“Aku bawa, so’alnya aku mau mampir ke tukang foto, mau aku perbesar dan aku buat pigura cantik, biar aku pasang dikamar aku.”
“Baguslah.”
“Kenapa nanya?”
“Nanti aku akan ajak kamu mampir kesuatu tempat.”
“Dengan foto ini ?”
“Ya.. “
Tapi ketika Naya mengajaknya masuk kesebuah toko emas, Susan menolaknya.
“Jangan Naya, aku belum cukup uang untuk membuat tiruan perhiasan ibu, besok-besok saja, aku juga belum melihat tabungan aku.”
“Bukan kamu, tapi aku.”
“Apa maksudmu ?”
“Aku hanya ingin meniru model cincinnya saja."
“Naya..”
“Ayolah, sambil nanya-nanya saja kan nggak apa-apa?”
“Nanya saja? Ya benar, supaya aku tahu kira-kira berapa uang yang harus aku persiapkan untuk membuatnya ya?”
“Benar, takut amat sih,” kata Naya sambil menarik tangan Susan masuk kedalam.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?”
“Mau nanya dulu, coba San, foto nya tolong keluarin,” katanya kepada Susan.
Susan mengeluarkan foto itu.
“Bagaimana kalau saya mau pesan cincin, yang modelnya seperti difoto ini?”
Susan menatap Naya tak mengerti, tapi dikeluarkannya juga foto itu.
Tukang emas itu mengamati gambarnya.
“Cincinnya terlalu kecil, kurang jelas modelnya.”
“Permata pada cincin itu modelnya sama dengan antingnya, dan juga pada gelangnya,” kata Naya.
“Oh, iya.. iya.. saya mengerti..”
“Naya...”
“Cincin itu saya pesan sekarang, berapa harganya, lalu saya mau tanya dulu, kalau setelan seperti yang dipakai di foto itu semua berapa ya? Oh ya, leontinnya ada fotonya, seperti digambar ini.”
“Baiklah, cincinnya mau yang berapa gram?”
“Bagaimana kalau 5 gram?"
"Cukupkah?”
“Cukup pak, biasanya juga segitu, sebentar saya hitungkan permatanya ya.”
***
“Naya, kamu pesan cincin untuk aku?” tanya Susan dalam perjalanan kembali ke kantor.
“Dengar Susan, besok Minggu Dayu mau tunangan, tiba-tiba aku juga ingin secepatnya menyusul mereka.”
“Ya ampun Naya, begitu tiba-tiba?”
“Tidak, aku sudah memikirkan sejak lama. Lalu aku ingat cincin di foto itu. Kalau aku buat yang modelnya sama, kamu pasti senang kan?”
“Naya, tentu saja aku senang. Tapi yang lain-lainnya baru akan aku pikirkan, lumayan banyak, aku akan hitung-hitung dulu uangku.”
“Yang penting mereka bisa, angkanya sudah jelas. Ya kan?”
“Oh ya, tolong ke tukang foto dulu ya Nay, sampai lupa.”
“Iya, aku juga lupa.”
***
Malam itu ditempat kost Susan membongkar kopor usang itu. Baju-baju itu masih utuh dan bagus, tapi karena disimpan terlalu lama, baunya sangat tidak enak. Susan mengambilnya satu persatu, dimasukkan kedalam tas kresek yang sudah disiapkan, besok dia akan membawanya ke laundry. Tapi sebelum memasukkannya, Susan mengkibas-kibaskan dulu baju itu, supaya kalau ada kotoran tidak ikut masuk kedalamnya.
Tapi ketika giliran jas bapaknya dikibaskan, sesuatu meluncur dari dalam saku jas itu. Susan memungutnya, dan terpana melihatnya.
==========
Susan memungut sebuah buku kecil yang tiba-tiba terlempar keluar dari saku jas bapaknya. Dengan bersemangat dia mengambilnya. Ingin Susan melonjak kegirangan. Itu buku nikah bapaknya.
“Ya ampun... terimakasih ya Alloh, ini buku nikah bapak, semoga semakin memudahkan aku menemukan dimana makam bapak ibuku.”
Susan mengamati buku nikah itu dengan seksama, lalu mendekapnya didada sambil berlinangan air mata.
“Sayang aku tak sempat melihat wajah bapak, wajah ibu... apalagi memeluk dan bermanja padamu. Bapak.. ibu, aku merindukanmu.. datanglah walau dalam mimpiku...”
Susan membaringkan tubuhnya diranjang, sambil memeluk buku nikah yang baru saja diketemukannya.
Tak terasa air mata menetes deras dan dibiarkannya mengaliri pipinya.
“Bertahun-tahun aku hidup bersama seseorang yang bukan apa-apaku, mengasihi aku dengan kasih yang semu, mengambil semua dariku, dan yang terakhir ingin menukar tubuhku dengan harta seorang konglomerat. Nenek, aku tidak tahu semuanya, nenek mengira semuanya baik-baik saja. Tidak nek, sepeninggal nenek aku menderita. Aku seperti orang buta yang meraba-raba, tak berani bersikap karena tekanan mama. Lalu tiba-tiba keberanian itu timbul, entah dari mana aku berani menentangnya. Nenek.. mama tidak mencintai aku seperti yang nenek harapkan. Ternyata kemudian semuanya terungkap, dan aku menemukan hampir semuanya. Mama sangat jahat nek, kalau saja nenek tahu.”
Susan terus tenggelam dalam tangisnya, apalagi ketika mengingat neneknya yang sangat mengasihinya.
“Nenek, aku rindu nenek.. bertahun-tahun nenek meninggalkan aku, bertahun-tahun aku hidup dalam bayang-bayang semu.”
Malam telah larut ketika Susan memejamkan matanya, berharap mendapatkan mimpi tentang ayah ibunya.
Tapi tiba-tiba seseorang menariknya bangun, bu Triani, menatapnya dengan mata garang penuh kemarahan.
“Susan, ini tanggung jawab kamu,” hardiknya.
“Tanggung jawab apa tante?”
“Hutang mama kamu harus menjadi beban kamu. Uang aku harus kembali, berikan sekarang juga Susan.”
“Tidak, itu bukan tanggung jawab saya tante.”
“Apa kamu mengingkari bahwa kamu anaknya Lusi? Ingat Susan, kamu dilahirkan dengan taruhan nyawa, sekarang mama kamu punya beban, apa kamu akan membiarkannya memikulnya seorang diri?”
“Tidak tante, bukan tanggung jawab saya.”
“Anak macam apa kamu ini ?”
“Tapi aku bukan anaknya tante,” jawab Susan keras.
“Apa katamu ?”
“Aku bukan anaknya. Lihat, inilah bapak dan ibuku, bukan Lusi !” katanya sambil menunjukkan buku nikah yang digenggamnya.
“Apa itu? Coba aku lihat !”
“Jangan. Pergilah tante dan jangan datang lagi kemari.”
Tapi Triani terus menarik-narik buku yang digenggamnya. Susan mempertahankannya, dan tiba-tiba jatuh tersungkur.
“Addduh...”
Susan membuka matanya, mengelus lututnya yang terantuk lantai. Dipandanginya sekeliling kamar, bu Triani tidak ada. Susan menghela nafas lega.
“Ya Tuhan, ternyata aku bermimpi,” katanya sambil bangkit, dan buku nikah itu masih ada didalam dekapannya.
***
Pagi itu ketika Naya menjemputnya sebelum kekantor, Susan berlari menghampiri dan memeluknya erat.
“Auuwww... ada apa ini... ampuun... nggak bisa nafas akuu..?” teriak Naya.
“Idiih.. nggak bisa nafas kenapa balas meluk sih...” ledek Susan sambil melepaskan pelukannya.
“Ada apa nih, kok ceria banget. Tapi matamu sembab lho, menangis semalaman?”
“Naya, nanti mampir ke laundry ya, baju-baju bapak sama ibu mau aku bawa ke laundry biar wangi.”
“Iya.. tapi ada apa?”
“Dengar Nay, ketika aku memasukkan baju-baju bapak kedalam plastik yang mau aku bawa ke laundry, aku menemukan sesuatu.”
“Perhiasan?”
“Iih, bukan.. nggak mungkin lah perhiasan. Pasti sudah raib deh. Ini, lihat..” kata Susan sambil menunjukkan buku nikah bapaknya.”
“Itu buku nikah?”
“Iya, buku nikah bapak. Dengan ini kita bisa dengan mudah menemukan asal ibuku dan makamnya.”
“Yah, syukurlah, simpan dulu baik-baik. Ayo berangkat, sudah sarapan?”
“Nggak, nanti sarapan dikantor saja, sudah kesiangan nih, bisa dipotong gaji aku.”
“Ya enggak lah, kan aku bosnya...”
“Hahaaa.... iya, aku lupa.”
***
Siang hari itu Susan masih menyempatkan diri pulang kerumah Lusi. Eh bukan, rumah Susan, kan sudah terbukti? Tapi dia tidak bersama Naya karena Naya masih menemani bapaknya menemui tamu dari luar kota.
Ada baju-baju Susan yang nanti akan dipakai untuk ke acara pertunangan Dayu.
Memang dulu dia belum membawa semuanya. Ia harus memilih-milih mana yang pantas. Tapi tiba-tiba sebuah teriakan yang dia sudah hafal suara siapa, terdengar memenuhi ruangan rumah itu.
“Susaaaan, kamu ada kan?"
Dan belum hilang gema suara itu, langkah kaki Triani sudah sampai didepan kamarnya.,
“Syukurlah bisa ketemu. Beberapa hari aku kemari kamu tidak ada.”
“Silahkan duduk tante, ada apa?” kata Susan mempersilahkan.
“Bagaimana kamu bisa bertanya seperti itu? Memang benar, aku sudah ke kantor BPN, dan benar itu palsu. Tapi aku sudah melaporkannya ke polisi atas kejahatan mama kamu itu.”
Susan tak bereaksi karena dia sudah tahu pasti akhirnya juga akan begitu.
“Tapi aku tetap akan menagih ke kamu Susan, karena ini masalah uang besar, dan kamu adalah anaknya. Kalau kamu bisa mengusahakannya, maka laporan ke polisi itu akan aku cabut.”
“Maksud tante.. mengusahakan kembalinya uang tante?”
“Ya iyalah, apalagi?”
“Dengar tante, itu urusan tante sama ibu Lusi, bukan urusan saya.”
“Apa katamu? Bu Lusi itu siapa? Mama kamu kan? Jadi bagaimana mungkin kamu membiarkan mama kamu terbebani utang dengan menderita di penjara lebih lama?”
“Tidak tante, mana mungkin saya punya uang sebanyak itu.”
“Tapi kamu itu anaknya, Susan.”
“Saya bukan anaknya bu Lusi tante.”
“Apa katamu?”
“Anak bu Lusi hanyalah Anjas, dan bukan saya. Saya hanya anak angkat.”
Bu Triani tampak tertegun.
“Lalu rumah ini punya siapa?”
“Punya saya tante.”
“Kamu ?”
“Ya, semuanya baru saja terbongkar. Jadi saya mohon tante tidak menghubungi saya lagi atas hutang piutang itu.”
Dan tanpa diduga bu Triani tiba-tiba bertepuk tangan dua kali, lalu dari dalam mobilnya keluar seorang laki-laki tinggi besar yang tampak sangar. Wajahnya kasar, matanya tajam dan tampak garang. Susan terkejut, karena tampak ada ancaman dengan datangnya laki-laki itu. Lalu Susan menyesal mengapa tadi tidak menunggu Naya, dan nekat pulang sendiri.
“Bagaimana bu?”
“Dia ini ternyata tidak mau bertanggung jawab atas utang mamanya.”
Laki-laki itu menatap Susan dengan mata menyala, membuat Susan merasa keder.
“Bagaimana mbak? Apakah mbak tetap tidak mau membayarnya?” kata laki-laki itu keras.
“Membayar apa? Bukan saya yang berhutang.” Susan memberanikan diri menjawab. Padahal dirinya hanya seorang diri. Bagaimana kalau laki-laki itu menganiayanya?
“Jangan main-main dengan saya mbak, saya bisa melakukan apa saja.”
“Bagaimana anda bisa memaksa saya? Bukan saya yang berhutang, dan darimana saya punya uang sebanyak itu?”
“Saya tidak mau tahu, kalau anda tidak mau menurut, maka akan saya bawa.”
“Apa maksudnya? Anda melanggar hukum,”
“Haaah.. hukum .. hukum... Mau membayar tidak?” kata laki-laki itu sambil mendekat.
“Tidak mungkin, tolong mengertilah, aku bukan siapa-siapanya dia.” Susan mulai ketakutan.
“Bu, tolong buka pintu mobilnya supaya gampang saya melemparkannya kedalam.”
Bu Triani keluar, membuka pintu mobil, sedangkan laki-laki itu menyeret tubuh Susan dengan paksa.
“Tolooong!”
“Sudah, jangan berteriak !!”
“Kalian tak akan mendapat apa-apa, saya tak punya apa-apa. Harta saya justru dirampok oleh dia.!! Lepaskaaaan..” Susan berteriak keras, tapi laki-laki itu tetap menyeretnya.
Selangkah lagi laki-laki itu berhasil melemparkan Susan kedalam mobil, ketika tiba-tiba sebuah ayunan tangan mengampiri wajah laki-laki itu, dan membuatnya terhuyung, serta pegangan atas Susan terlepas.
“Nayaaa!” Susan berteriak.
Laki-laki tinggi besar itu marah bukan alang kepalang. Dihadapannya seorang laki-laki muda yang tidak lebih besar dari badannya, bahkan lebih kecil, menatapnya marah sambil kedua tangannya menggenggam.
Sebuah teriakan mirip auman singa terdengar, ketika laki-laki itu menyeruduk kearah tubuh Naya. Tapi dengan sekali geser tubuhnya mengelak kesamping, dan sebuah kakinya berhasil menggaet kaki laki-laki itu, membuatnya jatuh tertelungkup.
Susan menelpon polisi. Ia takjub melihat cara Naya bertarung. Laki-laki tampan yang lemah lembut itu dengan gagah berani menghadapi laki-laki yang lebih tinggi besar dan tampak garang. Tapi Susan sesungguhnya khawatir. Sebuah hamtaman mengenai pipinya, tapi Naya juga berhasil menonjok ulu hati musuhnya, membuatnya bergelung memegang perutnya.
Susan semakin cemas.
“Aduuh, mengapa polisi lama sekali..” bisiknya khawatir sambil terus mengawasi pertarungan itu.
Tapi tidak, sebuah sirene polisi menghentikan pertarungan itu. Laki-laki itu melompat kedalam mobil, dengan bu Triani sudah ada didalamnya. Ia memacu mobilnya keluar dari halaman, tapi mobil polisi menghadangnya.
***
Susan mengompres luka dipipi Naya dengan es batu yang dibalutnya dengan serbet.
“Sakitkah ?”
“Tidak Susan, aku tidak apa-apa,” kata Naya sambil mengelus tangan Susan lembut.
Mereka sudah kembali dari kantor polisi untuk memberi kesaksian.
“Untunglah kamu segera datang Naya, kalau tidak, entah bagaimana nasibku.”
“Mengapa tadi kamu berangkat sendiri dan tidak mau menunggu aku sebentar saja?” tegur Naya.
“Maksudku cuma mau mengambil baju, mengapa harus minta diantar, lagian kamu sedang sibuk.”
“Orang stress bu Triani itu.”
“Bisa dimengerti, uangnya lumayan banyak. Tapi dia ngawur. Dikiranya aku mampu membayar hutang Lusi, mana mungkin?”
“Kamu tidak bilang bahwa tidak punya apa-apa.”
“Ya sudah Nay, tapi dia tidak percaya, malah memanggil tukang pukul. Memangnya dengan tukang pukul uangnya bisa kembali?”
“Tapi kamu tidak diapa-apakan kan?”
“Hampir Nay, kalau aku berhasil dibawanya, nggak tahu apa yang akan terjadi. Untunglah dewa penyelamatku datang. Terimakasih ya Nay. Masih sakitkah lukamu?”
“Tidak, sudah, aku kesenangan dong kamu mengelusnya terus.”
“Ih, genit ! Tapi aku bangga sama kamu. Ternyata kamu bisa berkelahi juga ya? Aku kira yang pintar berkelahi itu cuma Adit dan Liando. Kamu kan lemah lembut.”
“Aku laki-laki, masa tidak berani berkelahi? Apalagi kalau kekasihku disakiti, nyawa aku pertaruhkan nih,” kata Naya sambil menepuk dadanya.
Susan memeluknya lagi.
“Ayo kembali kekantor Nay, aku tidak akan datang-datang lagi kemari kalau kamu tidak menemani.”
“Tuh, sekarang kamu baru tahu kan?”
***
Acara lamaran sekaligus pertunangan itu hanya dihadiri kerabat terdekat, tak banyak tamu hadir, tapi suasananya tetap tampak meriah sekaligus mengharukan. Memang bukan sekarang orang tua kedua calon suami isteri itu harus melepas buah hatinya, tapi bayangan akan segera jauh dari mereka tetap menyelimuti hati
dan perasaan mereka.
Terlebih bagi Surti yang berkali-kali mengusap air matanya. Namun melihat rona bahagia diwajah Dayu dan Liando, hati Surti sedikit terhibur. Harapan akan kebahagiaan bagi anak-anaknya selalu dilantunkan dalam setiap sujudnya.
“Surti, mengapa menangis? Lihat anak kamu tampak sangat bahagia,” bisik Seruni ditelinga Surti.
“Iya bu Indra, ini kan tangis bahagia.”
“Bahwa pada suatu hari kita harus melepas anak-anak kita, memang itu sudah kodratnya ya Sur, tapi kebahagiaan anak-anak kita akan membalut semua sepi sa’at ditinggalkan. Tak lama lagi aku juga akan mengalaminya.”
“Iya bu Indra, waktu terus berjalan, dan kita tidak sadar telah menjadi tua.”
“Setiap orang akan mengalaminya bukan?”
“Iya bu Indra.”
“Sebentar lagi Dayu dan Yayi selesai kuliahnya, dan kita harus benar-benar bersiap melepas mereka. Bukan hanya kamu, tapi aku juga, dan semua orang tua akan merasakannya.”
“Benar,” lalu Surti mengusap lagi air matanya.
“Bu Tikno...” tiba-tiba bu Diana melambaikan tangannya.
Surti mendekat.
“Masakannya enak sekali,” hanya untuk itu bu Diana memanggilnya, membuat Surti tersipu.
“Ah, bu Diana selalu begitu.”
“Aku sudah tahu kalau bu Tikno pintar memasak, tapi kali ini aku ingin memujinya lagi.”
“Terimakasih banyak bu Diana.”
Sepasang anak muda yang sudah bertunangan itu asyik menemani sahabat-sahabat mereka yang juga sudah siap menyusulnya.
“Aku kapan ya?” celetuk Naya.
“Ih, mas Naya.. “ ledek Yayi.
“Kamu itu adikku, jadi kamu belakangan.”
“Iya, aku tahu, tuh.. mbak Susan juga sudah siap, ya kan?”
Lalu Susan jadi teringat akan pergi ke Boyolali hari itu.
"Naya, aku mau ke Boyolali dulu.”
“Iya lah, kan aku mengantarmu, sebentar aku pamit sama bapak dulu.”
“Oh iya, mbak Susan masih punya tugas yang harus diselesaikan ya, aku boleh ikut?” tanya Yayi.
“Eh jangan Yayi, kalau kamu juga ikut pergi nanti tamunya berkurang banyak. Aku sama Naya harus berangkat sekarang supaya nanti pulangnya tidak kesorean.”
“Iya benar. Hati-hati ya mbak, saya do’akan semoga semuanya lancar,” kata Yayi.
Ketika Naya pamit kepada ibunya, Surti berteriak melihat wajah Naya membiru.
“Lho, mas Naya itu kenapa?”
“Ya itulah.. orang yang menghutangkan uang sama Lusi mengejar-kejar Susan dan membawa tukang pukul, jadilah Naya berantem sama tukang pukul itu.”
“Ya ampuun, sampai begitu jauh akibat dari semua yang dilakukan mbak Lusi. Banyak orang nyaris menjadi korban.”
“Iya Surti, bahkan ketika Lusi sudah dipenjara juga masih meninggalkan masalah.”
***
Naya dan Susan sudah memasuki kawasan Boyolali, mencari desa Mojolegi. Tapi beberapa orang yang ditanya tidak mengenal nama Kuncoro maupun Sumini.
“Kita mungkin tidak bisa menanyai orang per orang Susan, harusnya kita langsung ke kantor KUA dan menanyakan tentang buku nikah yang kamu bawa itu.”
“Iya ya Nay, kita salah jalan. Tapi kan ini hari Minggu, mana mungkin ada kantor buka?”
“Kalau begitu apa kita sebaiknya kembali saja?”
“Lalu besok kita kembali kemari? Aduh, aku sungkan sama pak Indra, mana kantor lagi banyak pekerjaan lagi.”
“Tidak apa-apa San, nanti aku bisa mewakilkannya kepada yang lain. So’alnya ini kan juga penting untuk kamu. Kalau tidak diselesaikan sekarang mau kapan lagi?”
“Jadi kita sebaiknya kembali sekarang?”
“Iya San, besok saja langsung ke KUA, pasti masih ada data asli buku nikah itu walau sudah puluhan tahun berlalu.”
Naya memutar mobilnya untuk kembali, tapi tiba-tiba dilihatnya sebuah mobil berjalan kearahnya. Susan mengenali mobil itu.
“Itu.. mobil itu.. “
“Kamu tahu itu mobil siapa?”
“Itu mobilnya mama Lusi. Siapa yang ada didalamnya?”
Lalu dilihatnya mobil itu berhenti, dan seseorang turun dari sana.
Bersambung #18
“Cukup pak, biasanya juga segitu, sebentar saya hitungkan permatanya ya.”
***
“Naya, kamu pesan cincin untuk aku?” tanya Susan dalam perjalanan kembali ke kantor.
“Dengar Susan, besok Minggu Dayu mau tunangan, tiba-tiba aku juga ingin secepatnya menyusul mereka.”
“Ya ampun Naya, begitu tiba-tiba?”
“Tidak, aku sudah memikirkan sejak lama. Lalu aku ingat cincin di foto itu. Kalau aku buat yang modelnya sama, kamu pasti senang kan?”
“Naya, tentu saja aku senang. Tapi yang lain-lainnya baru akan aku pikirkan, lumayan banyak, aku akan hitung-hitung dulu uangku.”
“Yang penting mereka bisa, angkanya sudah jelas. Ya kan?”
“Oh ya, tolong ke tukang foto dulu ya Nay, sampai lupa.”
“Iya, aku juga lupa.”
***
Malam itu ditempat kost Susan membongkar kopor usang itu. Baju-baju itu masih utuh dan bagus, tapi karena disimpan terlalu lama, baunya sangat tidak enak. Susan mengambilnya satu persatu, dimasukkan kedalam tas kresek yang sudah disiapkan, besok dia akan membawanya ke laundry. Tapi sebelum memasukkannya, Susan mengkibas-kibaskan dulu baju itu, supaya kalau ada kotoran tidak ikut masuk kedalamnya.
Tapi ketika giliran jas bapaknya dikibaskan, sesuatu meluncur dari dalam saku jas itu. Susan memungutnya, dan terpana melihatnya.
==========
Susan memungut sebuah buku kecil yang tiba-tiba terlempar keluar dari saku jas bapaknya. Dengan bersemangat dia mengambilnya. Ingin Susan melonjak kegirangan. Itu buku nikah bapaknya.
“Ya ampun... terimakasih ya Alloh, ini buku nikah bapak, semoga semakin memudahkan aku menemukan dimana makam bapak ibuku.”
Susan mengamati buku nikah itu dengan seksama, lalu mendekapnya didada sambil berlinangan air mata.
“Sayang aku tak sempat melihat wajah bapak, wajah ibu... apalagi memeluk dan bermanja padamu. Bapak.. ibu, aku merindukanmu.. datanglah walau dalam mimpiku...”
Susan membaringkan tubuhnya diranjang, sambil memeluk buku nikah yang baru saja diketemukannya.
Tak terasa air mata menetes deras dan dibiarkannya mengaliri pipinya.
“Bertahun-tahun aku hidup bersama seseorang yang bukan apa-apaku, mengasihi aku dengan kasih yang semu, mengambil semua dariku, dan yang terakhir ingin menukar tubuhku dengan harta seorang konglomerat. Nenek, aku tidak tahu semuanya, nenek mengira semuanya baik-baik saja. Tidak nek, sepeninggal nenek aku menderita. Aku seperti orang buta yang meraba-raba, tak berani bersikap karena tekanan mama. Lalu tiba-tiba keberanian itu timbul, entah dari mana aku berani menentangnya. Nenek.. mama tidak mencintai aku seperti yang nenek harapkan. Ternyata kemudian semuanya terungkap, dan aku menemukan hampir semuanya. Mama sangat jahat nek, kalau saja nenek tahu.”
Susan terus tenggelam dalam tangisnya, apalagi ketika mengingat neneknya yang sangat mengasihinya.
“Nenek, aku rindu nenek.. bertahun-tahun nenek meninggalkan aku, bertahun-tahun aku hidup dalam bayang-bayang semu.”
Malam telah larut ketika Susan memejamkan matanya, berharap mendapatkan mimpi tentang ayah ibunya.
Tapi tiba-tiba seseorang menariknya bangun, bu Triani, menatapnya dengan mata garang penuh kemarahan.
“Susan, ini tanggung jawab kamu,” hardiknya.
“Tanggung jawab apa tante?”
“Hutang mama kamu harus menjadi beban kamu. Uang aku harus kembali, berikan sekarang juga Susan.”
“Tidak, itu bukan tanggung jawab saya tante.”
“Apa kamu mengingkari bahwa kamu anaknya Lusi? Ingat Susan, kamu dilahirkan dengan taruhan nyawa, sekarang mama kamu punya beban, apa kamu akan membiarkannya memikulnya seorang diri?”
“Tidak tante, bukan tanggung jawab saya.”
“Anak macam apa kamu ini ?”
“Tapi aku bukan anaknya tante,” jawab Susan keras.
“Apa katamu ?”
“Aku bukan anaknya. Lihat, inilah bapak dan ibuku, bukan Lusi !” katanya sambil menunjukkan buku nikah yang digenggamnya.
“Apa itu? Coba aku lihat !”
“Jangan. Pergilah tante dan jangan datang lagi kemari.”
Tapi Triani terus menarik-narik buku yang digenggamnya. Susan mempertahankannya, dan tiba-tiba jatuh tersungkur.
“Addduh...”
Susan membuka matanya, mengelus lututnya yang terantuk lantai. Dipandanginya sekeliling kamar, bu Triani tidak ada. Susan menghela nafas lega.
“Ya Tuhan, ternyata aku bermimpi,” katanya sambil bangkit, dan buku nikah itu masih ada didalam dekapannya.
***
Pagi itu ketika Naya menjemputnya sebelum kekantor, Susan berlari menghampiri dan memeluknya erat.
“Auuwww... ada apa ini... ampuun... nggak bisa nafas akuu..?” teriak Naya.
“Idiih.. nggak bisa nafas kenapa balas meluk sih...” ledek Susan sambil melepaskan pelukannya.
“Ada apa nih, kok ceria banget. Tapi matamu sembab lho, menangis semalaman?”
“Naya, nanti mampir ke laundry ya, baju-baju bapak sama ibu mau aku bawa ke laundry biar wangi.”
“Iya.. tapi ada apa?”
“Dengar Nay, ketika aku memasukkan baju-baju bapak kedalam plastik yang mau aku bawa ke laundry, aku menemukan sesuatu.”
“Perhiasan?”
“Iih, bukan.. nggak mungkin lah perhiasan. Pasti sudah raib deh. Ini, lihat..” kata Susan sambil menunjukkan buku nikah bapaknya.”
“Itu buku nikah?”
“Iya, buku nikah bapak. Dengan ini kita bisa dengan mudah menemukan asal ibuku dan makamnya.”
“Yah, syukurlah, simpan dulu baik-baik. Ayo berangkat, sudah sarapan?”
“Nggak, nanti sarapan dikantor saja, sudah kesiangan nih, bisa dipotong gaji aku.”
“Ya enggak lah, kan aku bosnya...”
“Hahaaa.... iya, aku lupa.”
***
Siang hari itu Susan masih menyempatkan diri pulang kerumah Lusi. Eh bukan, rumah Susan, kan sudah terbukti? Tapi dia tidak bersama Naya karena Naya masih menemani bapaknya menemui tamu dari luar kota.
Ada baju-baju Susan yang nanti akan dipakai untuk ke acara pertunangan Dayu.
Memang dulu dia belum membawa semuanya. Ia harus memilih-milih mana yang pantas. Tapi tiba-tiba sebuah teriakan yang dia sudah hafal suara siapa, terdengar memenuhi ruangan rumah itu.
“Susaaaan, kamu ada kan?"
Dan belum hilang gema suara itu, langkah kaki Triani sudah sampai didepan kamarnya.,
“Syukurlah bisa ketemu. Beberapa hari aku kemari kamu tidak ada.”
“Silahkan duduk tante, ada apa?” kata Susan mempersilahkan.
“Bagaimana kamu bisa bertanya seperti itu? Memang benar, aku sudah ke kantor BPN, dan benar itu palsu. Tapi aku sudah melaporkannya ke polisi atas kejahatan mama kamu itu.”
Susan tak bereaksi karena dia sudah tahu pasti akhirnya juga akan begitu.
“Tapi aku tetap akan menagih ke kamu Susan, karena ini masalah uang besar, dan kamu adalah anaknya. Kalau kamu bisa mengusahakannya, maka laporan ke polisi itu akan aku cabut.”
“Maksud tante.. mengusahakan kembalinya uang tante?”
“Ya iyalah, apalagi?”
“Dengar tante, itu urusan tante sama ibu Lusi, bukan urusan saya.”
“Apa katamu? Bu Lusi itu siapa? Mama kamu kan? Jadi bagaimana mungkin kamu membiarkan mama kamu terbebani utang dengan menderita di penjara lebih lama?”
“Tidak tante, mana mungkin saya punya uang sebanyak itu.”
“Tapi kamu itu anaknya, Susan.”
“Saya bukan anaknya bu Lusi tante.”
“Apa katamu?”
“Anak bu Lusi hanyalah Anjas, dan bukan saya. Saya hanya anak angkat.”
Bu Triani tampak tertegun.
“Lalu rumah ini punya siapa?”
“Punya saya tante.”
“Kamu ?”
“Ya, semuanya baru saja terbongkar. Jadi saya mohon tante tidak menghubungi saya lagi atas hutang piutang itu.”
Dan tanpa diduga bu Triani tiba-tiba bertepuk tangan dua kali, lalu dari dalam mobilnya keluar seorang laki-laki tinggi besar yang tampak sangar. Wajahnya kasar, matanya tajam dan tampak garang. Susan terkejut, karena tampak ada ancaman dengan datangnya laki-laki itu. Lalu Susan menyesal mengapa tadi tidak menunggu Naya, dan nekat pulang sendiri.
“Bagaimana bu?”
“Dia ini ternyata tidak mau bertanggung jawab atas utang mamanya.”
Laki-laki itu menatap Susan dengan mata menyala, membuat Susan merasa keder.
“Bagaimana mbak? Apakah mbak tetap tidak mau membayarnya?” kata laki-laki itu keras.
“Membayar apa? Bukan saya yang berhutang.” Susan memberanikan diri menjawab. Padahal dirinya hanya seorang diri. Bagaimana kalau laki-laki itu menganiayanya?
“Jangan main-main dengan saya mbak, saya bisa melakukan apa saja.”
“Bagaimana anda bisa memaksa saya? Bukan saya yang berhutang, dan darimana saya punya uang sebanyak itu?”
“Saya tidak mau tahu, kalau anda tidak mau menurut, maka akan saya bawa.”
“Apa maksudnya? Anda melanggar hukum,”
“Haaah.. hukum .. hukum... Mau membayar tidak?” kata laki-laki itu sambil mendekat.
“Tidak mungkin, tolong mengertilah, aku bukan siapa-siapanya dia.” Susan mulai ketakutan.
“Bu, tolong buka pintu mobilnya supaya gampang saya melemparkannya kedalam.”
Bu Triani keluar, membuka pintu mobil, sedangkan laki-laki itu menyeret tubuh Susan dengan paksa.
“Tolooong!”
“Sudah, jangan berteriak !!”
“Kalian tak akan mendapat apa-apa, saya tak punya apa-apa. Harta saya justru dirampok oleh dia.!! Lepaskaaaan..” Susan berteriak keras, tapi laki-laki itu tetap menyeretnya.
Selangkah lagi laki-laki itu berhasil melemparkan Susan kedalam mobil, ketika tiba-tiba sebuah ayunan tangan mengampiri wajah laki-laki itu, dan membuatnya terhuyung, serta pegangan atas Susan terlepas.
“Nayaaa!” Susan berteriak.
Laki-laki tinggi besar itu marah bukan alang kepalang. Dihadapannya seorang laki-laki muda yang tidak lebih besar dari badannya, bahkan lebih kecil, menatapnya marah sambil kedua tangannya menggenggam.
Sebuah teriakan mirip auman singa terdengar, ketika laki-laki itu menyeruduk kearah tubuh Naya. Tapi dengan sekali geser tubuhnya mengelak kesamping, dan sebuah kakinya berhasil menggaet kaki laki-laki itu, membuatnya jatuh tertelungkup.
Susan menelpon polisi. Ia takjub melihat cara Naya bertarung. Laki-laki tampan yang lemah lembut itu dengan gagah berani menghadapi laki-laki yang lebih tinggi besar dan tampak garang. Tapi Susan sesungguhnya khawatir. Sebuah hamtaman mengenai pipinya, tapi Naya juga berhasil menonjok ulu hati musuhnya, membuatnya bergelung memegang perutnya.
Susan semakin cemas.
“Aduuh, mengapa polisi lama sekali..” bisiknya khawatir sambil terus mengawasi pertarungan itu.
Tapi tidak, sebuah sirene polisi menghentikan pertarungan itu. Laki-laki itu melompat kedalam mobil, dengan bu Triani sudah ada didalamnya. Ia memacu mobilnya keluar dari halaman, tapi mobil polisi menghadangnya.
***
Susan mengompres luka dipipi Naya dengan es batu yang dibalutnya dengan serbet.
“Sakitkah ?”
“Tidak Susan, aku tidak apa-apa,” kata Naya sambil mengelus tangan Susan lembut.
Mereka sudah kembali dari kantor polisi untuk memberi kesaksian.
“Untunglah kamu segera datang Naya, kalau tidak, entah bagaimana nasibku.”
“Mengapa tadi kamu berangkat sendiri dan tidak mau menunggu aku sebentar saja?” tegur Naya.
“Maksudku cuma mau mengambil baju, mengapa harus minta diantar, lagian kamu sedang sibuk.”
“Orang stress bu Triani itu.”
“Bisa dimengerti, uangnya lumayan banyak. Tapi dia ngawur. Dikiranya aku mampu membayar hutang Lusi, mana mungkin?”
“Kamu tidak bilang bahwa tidak punya apa-apa.”
“Ya sudah Nay, tapi dia tidak percaya, malah memanggil tukang pukul. Memangnya dengan tukang pukul uangnya bisa kembali?”
“Tapi kamu tidak diapa-apakan kan?”
“Hampir Nay, kalau aku berhasil dibawanya, nggak tahu apa yang akan terjadi. Untunglah dewa penyelamatku datang. Terimakasih ya Nay. Masih sakitkah lukamu?”
“Tidak, sudah, aku kesenangan dong kamu mengelusnya terus.”
“Ih, genit ! Tapi aku bangga sama kamu. Ternyata kamu bisa berkelahi juga ya? Aku kira yang pintar berkelahi itu cuma Adit dan Liando. Kamu kan lemah lembut.”
“Aku laki-laki, masa tidak berani berkelahi? Apalagi kalau kekasihku disakiti, nyawa aku pertaruhkan nih,” kata Naya sambil menepuk dadanya.
Susan memeluknya lagi.
“Ayo kembali kekantor Nay, aku tidak akan datang-datang lagi kemari kalau kamu tidak menemani.”
“Tuh, sekarang kamu baru tahu kan?”
***
Acara lamaran sekaligus pertunangan itu hanya dihadiri kerabat terdekat, tak banyak tamu hadir, tapi suasananya tetap tampak meriah sekaligus mengharukan. Memang bukan sekarang orang tua kedua calon suami isteri itu harus melepas buah hatinya, tapi bayangan akan segera jauh dari mereka tetap menyelimuti hati
dan perasaan mereka.
Terlebih bagi Surti yang berkali-kali mengusap air matanya. Namun melihat rona bahagia diwajah Dayu dan Liando, hati Surti sedikit terhibur. Harapan akan kebahagiaan bagi anak-anaknya selalu dilantunkan dalam setiap sujudnya.
“Surti, mengapa menangis? Lihat anak kamu tampak sangat bahagia,” bisik Seruni ditelinga Surti.
“Iya bu Indra, ini kan tangis bahagia.”
“Bahwa pada suatu hari kita harus melepas anak-anak kita, memang itu sudah kodratnya ya Sur, tapi kebahagiaan anak-anak kita akan membalut semua sepi sa’at ditinggalkan. Tak lama lagi aku juga akan mengalaminya.”
“Iya bu Indra, waktu terus berjalan, dan kita tidak sadar telah menjadi tua.”
“Setiap orang akan mengalaminya bukan?”
“Iya bu Indra.”
“Sebentar lagi Dayu dan Yayi selesai kuliahnya, dan kita harus benar-benar bersiap melepas mereka. Bukan hanya kamu, tapi aku juga, dan semua orang tua akan merasakannya.”
“Benar,” lalu Surti mengusap lagi air matanya.
“Bu Tikno...” tiba-tiba bu Diana melambaikan tangannya.
Surti mendekat.
“Masakannya enak sekali,” hanya untuk itu bu Diana memanggilnya, membuat Surti tersipu.
“Ah, bu Diana selalu begitu.”
“Aku sudah tahu kalau bu Tikno pintar memasak, tapi kali ini aku ingin memujinya lagi.”
“Terimakasih banyak bu Diana.”
Sepasang anak muda yang sudah bertunangan itu asyik menemani sahabat-sahabat mereka yang juga sudah siap menyusulnya.
“Aku kapan ya?” celetuk Naya.
“Ih, mas Naya.. “ ledek Yayi.
“Kamu itu adikku, jadi kamu belakangan.”
“Iya, aku tahu, tuh.. mbak Susan juga sudah siap, ya kan?”
Lalu Susan jadi teringat akan pergi ke Boyolali hari itu.
"Naya, aku mau ke Boyolali dulu.”
“Iya lah, kan aku mengantarmu, sebentar aku pamit sama bapak dulu.”
“Oh iya, mbak Susan masih punya tugas yang harus diselesaikan ya, aku boleh ikut?” tanya Yayi.
“Eh jangan Yayi, kalau kamu juga ikut pergi nanti tamunya berkurang banyak. Aku sama Naya harus berangkat sekarang supaya nanti pulangnya tidak kesorean.”
“Iya benar. Hati-hati ya mbak, saya do’akan semoga semuanya lancar,” kata Yayi.
Ketika Naya pamit kepada ibunya, Surti berteriak melihat wajah Naya membiru.
“Lho, mas Naya itu kenapa?”
“Ya itulah.. orang yang menghutangkan uang sama Lusi mengejar-kejar Susan dan membawa tukang pukul, jadilah Naya berantem sama tukang pukul itu.”
“Ya ampuun, sampai begitu jauh akibat dari semua yang dilakukan mbak Lusi. Banyak orang nyaris menjadi korban.”
“Iya Surti, bahkan ketika Lusi sudah dipenjara juga masih meninggalkan masalah.”
***
Naya dan Susan sudah memasuki kawasan Boyolali, mencari desa Mojolegi. Tapi beberapa orang yang ditanya tidak mengenal nama Kuncoro maupun Sumini.
“Kita mungkin tidak bisa menanyai orang per orang Susan, harusnya kita langsung ke kantor KUA dan menanyakan tentang buku nikah yang kamu bawa itu.”
“Iya ya Nay, kita salah jalan. Tapi kan ini hari Minggu, mana mungkin ada kantor buka?”
“Kalau begitu apa kita sebaiknya kembali saja?”
“Lalu besok kita kembali kemari? Aduh, aku sungkan sama pak Indra, mana kantor lagi banyak pekerjaan lagi.”
“Tidak apa-apa San, nanti aku bisa mewakilkannya kepada yang lain. So’alnya ini kan juga penting untuk kamu. Kalau tidak diselesaikan sekarang mau kapan lagi?”
“Jadi kita sebaiknya kembali sekarang?”
“Iya San, besok saja langsung ke KUA, pasti masih ada data asli buku nikah itu walau sudah puluhan tahun berlalu.”
Naya memutar mobilnya untuk kembali, tapi tiba-tiba dilihatnya sebuah mobil berjalan kearahnya. Susan mengenali mobil itu.
“Itu.. mobil itu.. “
“Kamu tahu itu mobil siapa?”
“Itu mobilnya mama Lusi. Siapa yang ada didalamnya?”
Lalu dilihatnya mobil itu berhenti, dan seseorang turun dari sana.
Bersambung #18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel