Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 17 Maret 2022

Bagai Rembulan #18

Cerita Bersambung

Susan dan Naya masih berada didalam mobil, ketika salah seorang lelaki mendekat. Susan mengenalinya, dan hatinya berdebar.
Salah satu laki-laki itu adalah Tomy, temannya Anjas.
Dan tiba-tiba Susan menjadi cemas. Kalau terjadi bentrokan, mereka bertiga dan Naya hanya seorang diri, pasti Naya tak akan bisa bertahan.
Diam-diam Susan menyesali dirinya mengapa dulu tak jadi kursus bela diri. Neneknya melarang, karena khawatir dirinya cedera.
Ya ampun, kalau saja dia bisa menguasai ilmu bela diri itu, pasti akan bisa membantu Naya melawan mereka. Sekarang Susan dan Naya hanya duduk menunggu, entah apa yang akan dilakukan mereka.

“Kamu mengenalnya?” tanya Naya.“Itu Tomy, teman Anjas. Orang paling ugal-ugalan diantara kawan lainnya. Mau apa dia kemari? Apa memang mengikuti kita?”
“Mengapa mengikuti kita?”
“Dia kan teman Anjas, bisa jadi mendapat perintah untuk menghabisi aku karena rahasia mamanya sudah terbongkar.”
“Waduh, gawat kalau begitu, aku mau bicara dulu,” kata Naya yang bersiap turun dari mobil.
“Jangan Nay, mereka bertiga.”
“Kan belum tentu mereka akan mengajak bertarung..”
“Tidak, aku tahu siapa mereka, lebih baik jangan turun, atau kita langsung pergi saja.”

Tapi sebelum Naya menstarter mobilnya, orang yang bernama Tomy mengetuk kaca mobil, persis disamping Susan. Susan terpaksa membukanya karena kalau tidak pasti dia akan menggedor lebih keras.
Begitu kaca dibuka, Tomy baru mengenali Susan.

“mBak Susan?” tanyanya heran.
“Mau apa kamu kemari? Mengikuti aku? Atau ada perintah dari majikan kamu yang sok pintar itu?” tanya Susan agak ketus.
“Tidak, saya tidak tahu kalau ini mbak Susan.”
“Lalu mengapa kemari?”
“Disuruh bu Lusi mencari rumah pak Darmo didusun Mojolegi.”
“Disuruh bu Lusi? Siapa pak Darmo ?”
“Namanya pak Darmo, kata bu Lusi masih kerabat.”

Dan tiba-tiba Susan merasa curiga, jangan-jangan Lusi mengetahui tentang ibunya dan asal usulnya.

“Ooh, ya.. aku ingat. Kamu tahu siapa pak Darmo ?” kata Susan pura-pura mengenalnya.
“Tidak, kata bu Lusi itu kerabatnya.”
“Disuruh apa kamu menemui pak Darmo?”
"Mmm... minta supaya tanah yang diserahkan ke pak Darmo agar dijual atau dugadaikan, bu Lusi mau pinjam untuk membayar hutang. Mobil ini juga mau dijual untuk membayar hutang. Kalau tidak maka bu Lusi dan mas Anjas akan lebih lama dipenjara.”
“Kamu tahu dimana rumah pak Darmo?”
“Justru tadi saya turun, tanpa tahu bahwa didalam ada mbak Susan, mau bertanya tentang alamat ini.”
“Coba lihat, barangkali aku tahu.”

Tomy menyerahkan selembar kertas. Bertuliskan, pak Darmo, Jeron Mojolegi. Berdebar hati Susan, sekaligus geram pada mama Lusi ketika mendengar bahwa dia bermaksud meminjam uang untuk membayar hutang. Siapa pak Darmo? Jangan-jangan ada hubungannya dengan ibunya, atau malah bapaknya?

“Naya, ayo kita bersama Tomy mencari rumah pak Darmo,” kata Susan sambil mengedipkan sebelah matanya.
“mBak Susan tahu alamat ini?”
“Tahulah, ayo kita kesana bersama, bukankah ini untuk kepentingan mama Lusi?” jawab Susan asal-asalan.

Naya memutar kembali mobilnya.

“Kemana ?”
“Kamu tidak curiga? Mama Lusi mencari orang didaerah ini untuk meminjam uang? Jangan-jangan dia mengetahui banyak tentang ibuku dan keluarganya. Dan sekarang mau meminjam tanah agar dijual atau digadaikan? Gila tidak? Memangnya itu punya siapa? Jangan-jangan yang namanya pak Darmo itu justru kakek aku.”
“Kamu tahu rumahnya?”
“Desanya Jeron, daerah Mojolegi, ayo terus, aku sepertinya tadi membaca nama desa itu.”

Naya terus menjalankan mobilnya, sedangkan mobil Tomy mengikutinya dari belakang.

“Ini sebuah kebetulan yang sangat luar biasa. Dengan tanpa sadar ada yang menuntunku kearah tempat yang aku tuju.”
“Mudah-mudahan.”
“Kok bisa, ternyata mama Lusi tau juga keluarganya ibu ya.”
“Ya mungkin saja, atau pernah bertemu, atau pernah kemari, dan ketika itu kamu masih bayi..”
“Kelihatannya jalan yang didepan itu memasuki desa Jeron.. tadi aku membaca tulisan disitu..”

Naya membelokkan mobilnya kearah yang ditunjuk Susan. Ada deretan rumah-rumah dusun yang sederhana, tapi Susan tidak tahu, manakah rumah Darmo? Ketika melihat seorang perempuan menggendong anak kecil, Susan minta agar Naya menghentikan mobilnya.
Susan turun dan mendekati perempuan itu.

“Ibu, bolehkah saya bertanya?” tanyanya sopan. Perempuan itu mengamati Susan dari ujung kaki sampai ujung kepala. Belum pernah dilihatnya wanita secantik ini, dengan dandanan seapik ini.
“Ibu...”
“Ya.. ya..” jawab perempuan itu gugup.
“Dimanakah rumah pak Darmo ya bu?”
“Pak Darmo? Darmowiyana?”
“Ya,” jawab Susan asal. Kan dia tidak tahu kepanjangan nama Darmo itu.
“Itu nak, diujung... sebelum pengkolan, rumahnya besar, latarnya luas..”
“Oh.. kiri jalan bu?”
“Ya.. ya.. kiri jalan. Anak ini kerabatnya dari kota?”
“Mm.. iya bu,” jawab Susan asal. Seperti tadi, dia tidak tahu Darmo itu siapa. Susan hanya meraba-raba.
“Oh, cantiknya... ya nak, sebelah sana..”
“Terimakasih bu..” kata Susan sambil kembali naik ke mobil.
“Terus, sebelum pengkolan kiri jalan, pelatarannya luas,” kata Susan kepada Naya.

Mobil Tomy masih mengikutinya, dan berhenti ketika mobil Naya juga berhenti. Mereka semuanya turun. Seorang perempuan sedang membenarkan letak padi yang dijemur di pelataran itu, lalu membolak-baliknya. Ia terkejut melihat dua buah mobil berhenti, lalu dia mendekatinya.

“Ibu.. apakah ini rumahnya pak Darmo?”
“Iya, itu suami saya.”
“Oh, jadi ibu ini bu Darmo?”
“Sampeyan ini siapa? Kok cantik.. ganteng.. itu gagah-gagah bener,” kata bu Darmo sambil mengamati mereka satu per satu.
“Kami dari Solo ibu. Bapak ada?”
“Ada.. ada.. silahkan masuk.. mari nak.. mari..” wanita setengah tua itu menyambut tamu-tamunya dengan ramah. Lalu ketika mereka duduk dikursi-kursi tamu, bu Darmo bergegas kebelakang.
“Pak.. pak.. ada tamu dari Solo..” sayup suara bu Darmo terdengar.

Susan menatap kesekeliling ruangan, perabot-perabot kuna tertata rapi, ada beberapa pasang kursi tamu diruangan itu, karena memang ruangannya cukup luas. Tiba-tiba Susan terpaku kepada sebuah foto besar diisudut ruangan. Dada Susan berdesir. Itu kan foto yang ditemukannya digudang? Susan berdiri, melangkah mendekati foto itu, mengelusnya perlahan.

“Ternyata benar. Ini kerabat bapak ibuku. Ini fotonya, sama dengan yang aku temukan. Susan mengusap air matanya yang menitik, sambil terus menatap foto itu.
“Waaah, banyak tamu rupanya...” suara berat seorang laki-laki mengejutkan Susan. Bergegas ia kembali ketempat duduknya.
“Itu foto anak saya, Sumini, sudah meninggal ketika melahirkan. Tak lama kemudian suaminya juga meninggal,” kata pak Darmo pilu, ketika melihat Susan mengamati foto itu.

Susan kembali duduk, lalu semua menyalami pak Darmo.

“Sebenarnya anak-anak ini siapa dan ada perlu apa mencari saya?”

Tiba-tiba Tomy mendahului bicara.

“Saya Tomy, suruhannya bu Lusi pak.”

Pak Darmo menatap Tomi tajam.

“Lusi itu kan menantunya bu Nina almarhumah?”
“Iya pak.”
“Ada apa nak?”
“Sa’at ini bu Lusi sedang prihatin karena terjerat hutang milyaran rupiah.”
“Waduh, itulah kalau orang suka berhutang. Memang hutang itu sangat menjerat, dan kalau ketemu lintah darat bukan hanya menjerat tapi juga mencekik.”
“Itulah sebabnya saya diutus kemari pak.”

Pak Darmo mengangkat mukanya.

“Maksudnya?”
“Bu Lusi mau minta tolong, meminjam uang untuk membayar hutangnya itu.”
“Meminjam, dan hutangnya milyaran? Aaduuh.. saya ini orang desa, yang penghasilannya hanya bertani. Itupun karena saya punya sawah itu pemberian menantu saya, mas Kuncoro almarhum.. Hasilnya hanya cukup buat makan, lalu dibagi-bagi kepada saudara-saudara yang kekurangan seperti pesan almarhum menantu saya. Mana saya punya uang milyaran?”
“Barangkali.. mm.. ma’af.. dengan menggadaikan sawah itu...” pelan kata Tomy.
“Lho.. lho.. bagaimana ini, lha nanti bu Lusi terlepas dari hutang, lalu gantian saya terjerat hutang.”
“Lha kalau misalnya dijual pak? Kata bu Lusi dia akan menggantinya nanti.”

Mendengar kata-kata Tomy itu Susan tak tahan lagi. Bu Lusi sungguh keterlaluan. Memangnya siapa pak Darmo ini..maka dia merasa bahwa dia harus bisa menolongnya.

“Ma’af kalau saya boleh bicara. Saya kira permintaan bu Lusi itu keterlaluan. Masa meminta sawah orang untuk dijual atau digadaikan hanya untuk kepentingan dia?” katanya dengan nada tinggi. Tomy menatap Susan tak percaya. Menurutnya Susan adalah anaknya bu Lusi, mengapa tidak membelanya malah menyalahkannya?

Pak Darmo tampak mengangguk-angguk, agak bingung ketika tiba-tiba ada yang meminta tolong tapi dia harus menjual atau menggadaikan sawahnya.

“Benar, tampaknya bu Lusi agak bingung.. Saya itu dulu diberi oleh menantu saya, namanya mas Kuncoro, yang pastinya bu Lusi sudah tahu, berupa rumah ini, dan tanah sawah yang lumayan. Pesannya, hasil sawah ini harus digunakan untuk makan bersama anak laki-laki saya dan cucu-cucu saya, juga untuk membantu orang-orang yang kekurangan. Lha kalau saya gadaikan atau saya jual, saya dan anak cucu saya makan apa? Sebenarnya saya tak begitu mengenal bu Lusi. Hanya sekali bertemu, ketika bu Nina datang kemari, setelah anak saya menyerahkan anak Sumini kepadanya. Jadi saya minta ma’af, permintaan itu terlalu berat untuk saya.”

Tomy terdiam, menatap Susan agak lama.

“Pak Darmo, kedatangan saya sama dia dengan maksud yang berbeda.”
“Oh ya, saya heran, nak cantik ini mirip anak saya Sumini.”
“Iya pak, karena saya anaknya ibu Sumini.”

Pak Darmo terkejut. Bu Darmo yang keluar membawa nampan berisi suguhan minuman hangat hampir menjatuhkan nampannya kalau tidak segera berpegang pada saka rumah yang ada disampingnya.

“Anaknya Sumini ?”

Tomy menatap heran.
Lalu Susan mengeluarkan foto pasangan Kuncoro-Sumini, dan surat-surat yang belum lama ditemukannya.

“Bune.. sini..”

Naya membantu bu Darmo mengambil nampan lalu meletakkannya dimeja. Bu Darmo menatap Susan tak berkedip, sementara pak Darmo mengamati surat-surat itu, berikut surat nikah yang diberikan Susan.

“Kamu Susanti, bayi merah itu?”

Susan mengangguk. Bu Darmo menubruknya, menangis sambil merangkul Susan.

“Kalau begitu kamu itu cucuku.. panggil aku simbah..” bergetar suara pak Darmo.

Mereka berangkulan sambil menitikkan air mata.

“Ketika itu mas Kuncoro memaksa membawa anak Sumini kepada adiknya, bu Nina. Oh ya, lalu bu Lusi merawatnya sampai dewasa?”

Susan mengangguk pelan.

“Apa kamu juga akan meminta tolong agar simbahmu ini membantu bu Lusi?”
“Tidak simbah.. tidak. Sudah banyak kesalahan yang dilakukan mama Lusi. Sekarang dia dan anak laki-lakinya ada didalam penjara.”
“Ya Tuhan.. kenapa?”
“Ceritanya panjang.”
“Jadi mengapa kalian datang bersama sama masnya ini?”
“Kami hanya kebetulan bertemu dijalan.”
“Jadi mbak Susan itu bukan anaknya bu Lusi?” tanya Tomy.
“Bu Lusi banyak menipu .. bahkan tidak mengatakan adanya aku ini siapa. Hati-hati Tomy, kalau kamu terus terusan membantu bu Lusi maka kamu juga akan terjerat hukum.”
“Baiklah, saya dan kawan-kawan juga sudah lelah. Nanti kami hanya akan menjualkan mobil ini lalu uangnya kami serahkan dan selesai. Sa’at ini bu Lusi kembai dirawat dirumah sakit karena berbagai penyakit yang entah apa, membuatnya yang lemah.”
“Jadi mama Lusi dirumah sakit?”
“Ya, jadi baiklah, semua pesannya sudah saya sampaikan, dan jawaban dari pak Darmo juga akan kami sampaikan. Mohon ma’af, kami hanya disuruh dan tidak tahu keadaan yang sebenarnya. Bu Lusi pernah bilang, karena bu Lusi merawat cucunya pak Darmo, maka pasti pak Darmo akan bersedia menolongnya. Tapi, ya sudahlah, kami mohon diri.”
“Tunggu nak, itu minumnya diminum dulu..” kata bu Darmo.

Ketiganya menghabiskan minuman dalam gelas yang disuguhkan, kemudian beranjak pergi.
Ada rasa kasihan dihati Susan mendengar mama Lusi kembali dirawat dirumah sakit. Bagaimanapun ada ikatan yang pernah mengikatnya selama puluhan tahun, entah ikatan itu tulus bagi Lusi atau tidak, tapi Susan merasakan adanya ikatan itu. Diam-diam ia punya keinginan untuk menjenguknya pada suatu hari nanti.

“Bune, sediakan makan untuk cucu kita, dan.. ini suami kamu?” tanya pak Darmo, sementara bu Darmo sudah bergegas kebelakang.

Susan tersipu.

“Belum jadi suami mbah, mohon do’a restunya.”
“Bahagia bisa ketemu, ayolah nanti sambil makan kamu cerita tentang semuanya. Sebentar lagi pakdemu, kakaknya ibumu akan datang dari sawah, pasti dia senang melihatmu nduk.”
“Bolehkan nanti kami menjenguk makam bapak ibu saya?”
“Tentu saja, nanti setelah makan kami akan mengantarkan kamu kesana.”
***

Tanah pekuburan itu tak jauh letaknya dari rumah pak Darmo. Begitu luas, tapi tampak bersih. Rupanya juru kunci tanah pekuburan itu merawatnya dengan baik.

“Dulu bapakmu berpesan, simbah disuruh memberi beras setiap panen dan uang untuk juru kunci makam ini, makanya selalu bersih dan terawat,” kata pak Darmo menerangkan.

Pak Darmo dan Sentot, anak laki-laki dan isteri serta dua orang cucunya mengantarkan Susan dan Naya ke pekuburan itu.
Susan bersimpuh diantara makam ayah ibunya, berdo’a dengan khusyuk sampai meneteskan air mata. Ada rasa sedih karena tak pernah merasakan dekapannya, tak pernah merasakan cinta kasihnya, tak pernah bermanja seperti anak-anak lainnya.

“Simbah senang, akhirnya bisa bertemu kamu nduk. Sebelumnya tak pernah memimpikannya, karena ayahmu meminta agar kamu diantarkan kekota, agar mendapat pendidikan yang baik.”
“Iya pakne, dan sekarang cucu kita sudah dewasa.”
“Dulu ibu kamu menikah masih sangat muda. Umurnya belum duapuluh tahun. Ketika itu ayahmu sakit, Sumini yang merawatnya. Walau berbeda jauh umurnya, tapi keduanya kemudian saling suka, dan aku menikahkannya. Bapakmu seorang yang baik. Hartanya banyak tapi dia suka berbagi. Menjelang meninggalnya, rumah yang semula dibelinya diberikan kepada simbah, berikut sawah yang kira-kira dua hektar. Dia membelinya yang hasilnya hanya untuk dibagi-bagikan. Dia juga berpesan, bahwa hasil sawah itu bisa dipergunakan untuk hidup simbah dan anak cucu, serta jangan lupa selalu berbagi kepada orang yang membutuhkannya.”

Susan mengusap air matanya, ia bersyukur menjadi anak seorang yang berhati mulia.

“Ibumu meninggal karena perdarahan sa’at melahirkan, dan kami terlambat membawanya kerumah sakit besar. Tapi yaah.. memang sudah garisnya, dan kami menerimanya dengan ikhlas.” kata bu Darmo yang sejak tadi berlinangan air mata.
“Tapi kami bahagia, akhirnya kamu datang dan mengenal asal usul orang tuamu. Ini karunia Allah yang tak terhingga, diujung hari tuaku bisa melihat cucuku. Cantik ya bune?”
“Iya, bapaknya juga ganteng, ibunya.. anak kita kan juga cantik to pakne,” sahut bu Darmo.
“Besok kalau kalian menikah, jangan lupa simbah dikabari ya nduk.”
“Iya, pasti mbah, bahagia sekali kalau besok simbah ikut menunggui Susan menikah,” kata Susan sambil menggelendot ke bahu Naya.

Pak Darmo dan bu Darmo serta anak pak Darmo menatapnya sambil tersenyum bahagia.
***

Tomy datang menemui bu Lusi dirumah sakit. Tubuhnya terbaring lemah, matanya kuyu, tak bercahaya.

“Bu Lusi.. ini saya Tomy.”
“Oh.. bagaimana Tomy, tolonglah, aku tak mau mati dengan beban hutang itu, kamu berhasil?” katanya lemah.
“Ini uang hasil penjualan mobil bu, hanya duaratus duapuluh lima juta, ini saya bawa.”
“Tolong cari Triani dan titipkan dulu. Kamu ketemu Darmo?”
“Ketemu. Tapi...”
“Tapi apa, tidak mau membantu? Padahal dia kaya.. warisan Kuncoro banyak..”
“Tidak bu, saya malah ketemu mbak Susan. Ternyata mbak Susan cucunya pak Darmo.”

Mata yang setengah terpejam itu terbuka, dan tiba-tiba nafas Lusi tersengal-sengal.

==========

Tomy panik melihat keadaan Lusi.

“Suster.. suster...!” teriaknya.

Perawat segera memanggil dokter.
Tomy keluar, tak tahan melihat keadaan Lusi yang tampak parah. Ia duduk termangu di kursi tunggu, memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing.

“Ia sangat menderita, apakah itu ganjaran untuk kelakuannya selama ini?” bisiknya.
“Ya Tuhan, selama ini aku selalu membantunya. Ampun Tuhan, Hamba bertobat, sungguh hamba akan melakukan hal-hal baik,” lanjutnya sambil masih memegangi kepalanya.
“Bahwa sebuah kesadaran kemudian muncul, haruslah kita bersyukur, karena kesadaran itu akan menuntun kita ke jalan yang benar.”

Sebuah bisikan seperti menggelitik telinganya, datang entah darimana, lalu Tomy merayapi hari-hari yang dilaluinya, penuh dosa, menyakiti orang demi uang, melakukan hal terkutuk demi uang. Lalu menitiklah air matanya. Hanya karena melihat penderitaan bu Lusi, ia bisa merayapi hari-harinya yang hitam. Lalu sebuah janji dibisikkannya : “Akan aku tinggalkan masa laluku dengan melakukan hal-hal baik.”

Tomy mendongakkan kepalanya ketika ruang dimana Lusi dirawat itu terbuka. Ia berdiri dan memburu perawat yang keluar dari sana.

“Bagaimana keadaannya?”
“Sudah lebih baik. BIarkan dia istirahat,” kata perawat itu dan berlalu.

Tomy memasuki kamar itu perlahan, menatap tubuh kecil kurus tergolek tanpa daya.
Wajah yang cantik dan sudah tercoreng oleh luka, seperti seseorang yang tidak berperilaku baik dan mencoreng kehidupannya dengan hal-hal buruk. Ya dirinya ini salah satunya.
Tomy menghela nafas, hal sekilas yang membuat dia menyadari hari-hari buruk yang dilaluinya, terus menghantuinya sampai ia merebahkan tubuhnya ketika sampai dirumah.
Ketika ia hampir memejamkan matanya, didengarnya ponselnya berdering. Nomor rumah? Siapa lagi?

“Hallo..”
“Tomy, ini kamu?” suara dari seberang.
“Anjas ?”
“Iya ini aku.”
“Ada apa?”
“Tolong temui aku, ada yang ingin aku bicarakan.”
“Ma’af Anjas, aku tidak bisa.”
“Apa maksudmu Tomy?”
“Mulai sekarang jangan lagi menghubungi aku.”
“Apa?”

Tomy menutup ponselnya.

“Ma’af Anjas, aku tiba-tiba merasa lelah berurusan denganmu, aku ingin hidup bersih, dan meninggalkan dunia lamaku yang kotor dan penuh dosa,” gumamnya lalu memejamkan matanya, mengendapkan rasa yang membuatnya bergolak, sejak dia bertemu dengan mbah Darmo, tanpa malu mengatakan ingin meminjam uang, lalu ternyata ditolak. Itu memalukan dan sekaligus menyakitkan. Walau bukan untuk dirinya uang itu, tapi dia yang mengucapkannya, dia yang merasakan sakit dan kecewanya.
Aduhai, mengapa dia bisa melakukannya? Banyak hal yang tidak dimengertinya tentang keluarga Lusi. Ia hanya ditaburi uang lalu rela bersusah payah, menghajar orang, melakukan hal-hal keji lainnya, lalu begitu menyenangkan sa’at bermabuk-mabukan.
Tidak, Tomy menemukan sesuatu yang tiba-tiba membuatnya sadar, bahwa Lusi telah membawanya kejurang yang gelap dan kotor. Bahkan ia tidak tahu, Susan bukan anak kandungnya? Dan orang dimana ia ingin meminjam uang ternyata kakeknya Susan?

Tomy menelungkupkan tubuhnya, berharap bayang-bayang yang mengganggunya segera sirna.
***

Hari sudah malam ketika Susan dan Naya keluar dari Boyolali. Ada rasa bahagia bisa bertemu keluarga ibunya. Ada rasa bahagia mengetahui bahwa bapaknya adalah orang baik yang suka berbagi. Alangkah mulia.

“Bapakku orang baik, aku ingin menirunya.”
“Tentang apa?”
“Tentang berbagi, dan suka menolong orang, alangkah bahagianya kalau bisa melakukan itu.”
“Aku senang, banyak yang kita dapat dalam perjalanan ini. Menemukan keluarga ibumu, mendapatkan cerita baik yang bagus untuk diteladani.”
“Aku bangga menjadi anak Kuncoro dan Sumini. Bukan anak Lusi..”

Tiba-tiba Susan teringat bahwa Lusi ada dirumah sakit kembali karena sakitnya parah. Ada rasa nyeri ketika menyadari bahwa ada ikatan diantara mereka. Lusi dan dirinya. Bertahun tahu satu rumah, dan tulus atau tidak tulus bagi Lusi, ikatan itu ada, dan sangat membekas dihati Susan.

“Aku ingin menjual rumah itu.”
“Rumah kamu?”
“Rumah peninggalan bapak.”
“Kok tiba-tiba?”
"Aku ingin mempergunakan uang itu untuk membayar utang mama Lusi.”

Naya tercengang, didalam kebencian dihati Susan, masih ada rasa sayang.

“Gadis ini luar biasa, dan membuat aku semakin cinta,” gumam Naya lirih.
“Apa Nay?”
"Tidak, lupakan saja.”
“Iih.. jelek deh..”
“Biarin jelek, ada yang suka..”
“Emang siapa yang suka?”
“Kamu... Hayo ngaku...”

Susan mencubit lengan Naya.

“Aku akan segera melamar kamu,” kata Naya tiba-tiba.
“Kamu serius, setelah tahu aku ini siapa?”
“Ya tahulah, kamu Susanti, anaknya pak Kuncoro dan Sumini, cucunya mbak Darmo, keponakannya pakde Sentot..”
“Hm.. aku bahagia mendengarnya. Benar-benar kebahagiaan aku lengkap hari ini. Ketemu sanak saudara, ketemu makam bapak ibuku, trussss... ada yang mau ngelamar pula. Tapi Nay, aku lebih tua dari kamu lho.”
“Biarin, karena kamu lebih tua, aku bisa sering-sering bermanja sama kamu.”
“Iiih.. maunya...”

Dan bahagia itu terus mewarnai sepanjang perjalanan mereka, sampai mereka tiba dirumah masing-masing.
***

“Susan..” kata Indra ketika Susan menyerahkan lembaran surat yang selesai dibuatnya.
“Ya pak.”
“Aku dengar kamu mau menjual rumah kamu?”

Susan terkejut, rupanya Naya sudah mengatakan semuanya kepada bapaknya.

“Benarkah ?” Indra mengulang pertanyaannya.
“Itu pak.. maksud saya.. untuk membayar utangnya mama. Saya sedih memikirkannya. Dan saya merasa tak tega membiarkannya.”
“Kamu anak baik. Aku suka.”
“Terimakasih pak Indra.”
“Berapa kamu mau menjualnya?”
“Ya seharga hutang mama saja pak, itu yang penting.”
“Kalau rumah kamu jual, kamu mau tinggal dimana ?”
“Saya hanya selembar nyawa, bisa tinggal dimana saja. Ada banyak tempat kost yang bisa saya tumpangi.”
“Susan, rumah kamu biar aku yang beli.”
“Bapak ?”
“Iya, katakan nominalnya, besok akan aku bayar.”
“Tapi.. aduh, apakah saya merepotkan ?”
“Tidak, siapa bilang. Naya mau menikah, rumah itu akan aku hadiahkan kepada Naya untuk hadiah pernikahan.”

Susan kembali menitikkan air mata.

“Ada niyat baik, dan ada yang mendukung, ini adalah jalan dari Allah agar aku bisa melakukan kebaikan, seperti bapakku meneladani aku agar selalu bisa berbagi,” kata batin Susan.
“Susan, aku serius. Kalau kalian menikah, kalian bisa menempati rumah itu.”
“Terimakasih pak Indra, terlalu banyak yang bapak lakukan untuk saya. Apa yang harus saya lakukan untuk membalasnya?”
“Teruslah melakukan kebaikan, itu sebuah langkah yang mulia.”

Susan menghampiri pak Indra dan berlutut didepannya.

“Terimakasih pak Indra,” bisiknya terisak.
“Apa yang kamu lakukan Susan, berdirilah.”
“Terimakasih pak.”

Dan air mata itu masih terus berderai.
***

Susan memasuki ruang rawat mama Lusi. Perempuan itu tergolek lemah, dengan banyak selang terhubung ke tubuhnya. Susan merasa ada nyeri menggigit di ulu hatinya.

“Mama...” bisiknya pelan.

Lusi membuka matanya. Mata itu seperti tak bersinar. Seperti lentera kehabisan minyak, menatap Susan tak berkedip.

“Kamu..” bisiknya perlahan, yang terdengar seperti sebuah desis yang keluar dari bibirnya yang mengering. Alangkah jauh bedanya dengan beberapa waktu lalu, ketika harta masih bergelimang dalam kehidupan mamanya. Ketika dari tangannya terlalu gampang uang terhambur. Sekarang dia tergolek tak berdaya, disebuah ruangan sederhana, dengan beberapa deret pasian dikiri kanannya. Diluar malah ada polisi berjaga-jaga. Maklumlah, Lusi adalah pesakitan yang benar-benar sakit.

“Mama...”
“Kamu.. memanggilku mama? Bukankah.. aku.. bukan mamamu? Kamu... datang.. ingin.. mengumpat aku.. atas semua kebohongan...dan...”
“Tidak mama, mama tetaplah mama. Aku prihatin melihat keadaan mama.”
“Aku tahu kamu mengejek aku.. tapi aku memang salah.”
“Tidak mama, pertama.. aku tulus ingin ketemu mama. Dan yang kedua, aku ingin mengatakan kepada mama, bahwa aku sudah membayar semua hutang mama kepada tante Triani.”

Mata yang lemah dan hampir terkatub itu tiba-tiba seperti mendapatkan sinar terang, menatap Susan tak percaya.

“Itu benar. Aku menjual rumah itu, lalu aku bayarkan utang mama pada tante Triani.”
“Lalu.. kamu..”
“Jangan memikirkan aku.. sekarang mama harus tenang dan cepat sembuh ya.”
“Susan..”

Tangan yang tinggal kulit dan tulang itu bergerak lemah, ingin menyentuh Susan. Susan menangkap tangan itu. Lalu tangan itu menyentuh wajah Susan perlahan. Ada air mata berderai disana.

“Susan, ma’afkan mama..”
“Lupakanlah mama, Susan sudah mema’afkannya.”
“Kalau kamu butuh rumah, ada rumah kecil mama di Surabaya yang...”
“Tidak mama, biar rumah itu untuk mama dan Anjas, mama jangan memikirkan Susan lagi.”
“Hidup mama.. tak akan lama..”
“Jangan begitu ma, mama harus semangat, Susan akan menikah tak lama lagi.”
“Kamu anak baik, mama do’akan, kalau Tuhan masih mau mendengar do’aku, agar kamu bahagia.”

Lalu mata itu meredup, dan terpejam, sedangkan tangan kering itu terkulai.

“Mama....” Susan terisak.

Ada peluit panjang terdengar dari monitor denyut jantung.. pertanda tak ada lagi kehidupan didalam raga yang tergolek kaku.Peluit itu terasa bagai mengiris jantung Susan. Ia tak perlu bertanya kepada dokter atau perawat. Sebuah pertanda bahwa kehidupan telah berakhir telah ditangkapnya. Air matanya berderai, bagaimanapun ada ikatan yang membuat Susan merasa benar-benar kehilangan.

“Selamat jalan mama, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa mama,” isak Susan.
***

Duka cita itu masih menyelimuti perasaan Susan. Bagai mimpi dia merasakan bahwa mama Lusinya telah tak ada. Memasuki rumah yang ditinggalkannya, tiba-tiba Susan merasa rindu suara keras mamanya. Rumah yang tiba-tiba terasa sepi, oleh rasa kehilangan. Tapi sekarang Susan sudah mema’afkannya, dan Susan membiarkan mama Lusi tenang disana.
Tapi sudahlah, semua harus berakhir, ada kehidupan baru yang menantinya, ketika hari itu keluarga Indra telah melamarnya ke desa asal ibunya.
***

Pernikahan digelar dengan sangat meriah. Kedua mempelai yang dandan ala pangeran dan putri raja, duduk dipelaminan dengan rona bahagia.
Liando yang menyalami Naya berbisik pelan.

“Gila, kenapa kamu mendahului aku sih, sudah nggak tahan ya?”
“Kelamaan nungguin kamu bro, keburu lumutan,” balas Naya dan keduanya tertawa keras. Indra dan Seruni memelototi Naya yang tertawa seenaknya.

Bahagia itu sederhana? Benar, ketika bahagia itu tiba. Tapi liku-liku jalan yang harus dilalui tidak sesederhana itu. Membiarkan hanyut dalam hari-hari yang menggilas, terkadang menyandung bebatuan, terkadang jatuh dan membiarkan luka dan terkadang darah harus menetes, sampai kemudian berlabuh disuatu muara yang bernama bahagia..
***

Naya dan Susan tinggal dirumah barunya, hadiah dari Indra. Susan bersyukur, ia berhasil mengentaskan mama Lusi dari jeratan hutang, tapi mendapatkan lagi rumah itu, berikut suami yang dicintai dan mencintainya.
Malam ketika sebelum tidur, Naya mengajak isterinya membuka hadiah-hadiah yang diberikan untuk mereka. Terkadang mereka tertawa geli karena ada yang menghadiahkan barang-barang aneh dan lucu.

“Gila, masa hadiah kondom? Nggak mau ah, aku ingin segera punya anak,” teriak Naya sambil terkekeh.

Tapi ketika membuka sebuah kotak, Susan terkejut. Kotak berbalut beludru merah itu, mirip kotak yang ditemukannya bersama Naya dialmari tua milik neneknya. Hanya balutan beludru itu tidak kusam karena masih baru dan tampak berkilat. Susan membukanya perlahan, sedangkan Naya menunggui disampingnya.

“Apa ya isinya, dan dari siapa ini?” kata Susan sambil berusaha membukanya.
“Ya Tuhan.. Sesembahanku...” pekik Susan.
“Ini satu setel perhiasan dengan permata cantik, persis yang dipakai ibu Sumini,” Susan mendekapnya dengan berlinang air mata.
“Naya, ini dari kamu kan?”
“Untuk isteriku, Susanti binti Kuncoro”

Itu tulisan yang ada didalam kotak, setelah perhiasan-perhiasan itu diambilnya satu persatu.

“Nayaka, aku cinta kamu,” bisik Susan sambil merangkul suaminya. Ia belum sempat membuat perhiasan tiruan itu, tapi diam-diam Naya membuatkannya, Ini kejutan yang kesekian kali setelah Indra menghadiahkan rumah untuk mereka.

Lalu dikenakannya perhiasan itu oleh Naya kepada isterinya. Naya mundur beberapa langkah dan menatap Susan. Aku melihat ibu Sumini..” bisiknya sambil tersenyum mesra.
***

Ketika Yayi dan Dayu diwisuda, Naya menghadiri bersama Susan yang perutnya sudah gendut karena mengandung sudah 9 bulan.
Ketika Dayu dan Yayi menikah, Susan sudah menggendong bayi berumur dua bulan. Oh ya, atas permintaan bu Diana, dua pengantin dinikahkan dalam satu hari. Indra dan Tikno setuju, karena kalau tidak mereka bisa punya hajatan beberapa kali dalam sebulan.
Liando dan Dayu, serta Adit dan Yayi.

“Mereka adalah sahabat-sahabat aku, dan sudah sa’atnya kami menikahkan anak-anak kami, sehingga aku ingin membuat pesta meriah atas dua mempelai itu,” kata bu Diana kepada kerabatnya yang ikut meramaikan hajatan itu.
“Aku terima nikahnya Yayi Dewi binti Indra Pramana, dengan mas kawin seperangkat alat sholat, dibayar tunai,” lantang dan begitu bersemangat ketika Aditama mengucapkan akad nikah.

Lalu teriakan SAH.. menggema.

“Aku terima nikahnya Anandayu binti Sutikno, dengan mas kawin seperangkat alat sholat, dibayar tunai. “ gempita hati Liando terucap dalam nada tinggi yang tak kalah semangat, memenuhi ruangan yang semarak oleh suka cita.

“Sah !!”

Dan beberapa sa’at kemudian, Seruni, Surti dan bu Diana menitikkan air mata bahagia.
Sebuah perjalanan sudah sampai diujungnya. Dan sebuah ujung adalah harapan yang semoga akan membawa bahagia bagi semuanya.
Jangan menyesali masa lalu sepahit apapun, karena buah manis akan datang sa’at musim yang ditunggu telah tiba.
Kurengkuh segenap cinta
dari kelopak bunga-bunga
Kudekap segenap do’a
Yang terucap tanpa aksara
Bukankah diujung malam selalu hadir kejora?
Aduhai, alangkah indah hidup ini.
***

Seorang anak kecil berlari-lari dihalaman.

“Ibu.. ibu...”
“Ada apa sayang..” tanya ibunya.
“Minta uang ibu...”
“Uang? Aduuh.. mana bisa anak kecil minta uang.. untuk apa nak?”
“Ada bapak pengemis disana..”
“Oh, anakku, bagus nak.. kamu harus selalu punya kasih sayang kepada sesama. Ayuk, kita beri uang pengemis itu.”

Langkah-langkah kecil itu setengah berlari mengikuti langkah ibunya menuju kearah pagar. Seorang lelaki dengan pakaian lusuh berdiri disana, badannya agak terbungkuk, kerena ada cedera dipunggungnya.

“Mana uangnya ibu..”

Si kecil mengulurkan uang, tapi sang ibu terkejut menatap laki-laki itu.

“Anjas !!”
“Susan, aku hanya ingin melihat rumahmu, aku bukan pengemis.”
“Ya Tuhan, Anjas.. mengapa kamu bisa seperti ini? “
“Aku telah menebus semuanya San, ma’afkan aku dan mama ya.”
“Masuklah Njas, masuklah, ada baju-baju kamu didalam yang masih aku simpan. Mandi dan berganti pakaian agar kamu tidak dikira pengemis.”
“Ma’af Susan, aku telah berbuat banyak salah sama kamu.”
“Tidak Njas, semua sudah berlalu, ayo masuklah.”
“Tidak, aku mau pulang ke Surabaya.”
“Sekarang?”
“Ya.”
“Masuklah dulu, mandi lalu bawalah pakaian-pakaian kamu.”
“Siapa dia?” tanya si kecil yang bernama Bulan.
“Itu, om Anjas, saudaranya ibu.”
“Itu anak kamu?”
“Iya Njas, Ayo, beri salam kepada om Anjas.”
“Nggak mau, tangannya kotor.”
“Bulan, beri salam, anak baik harus nurut sama ibu.”

Bulan, mengulurkan tangannya.
 
“Namaku Bulan,” bisiknya lalu berlari kedalam.
“Ayo masuklah, kamu butuh mandi, setelah itu kamu boleh pergi.”

Tak urung Anjas menurut. Ketika pergi Susan membawakan kopor berisi baju-baju Anjas dan membekalinya sejumlah uang.

“Pergunakan uang ini untuk modal supaya hidup kamu berlanjut. Kabari kalau masih kurang.”

Anjas menitikkan air mata. Ketika derita disandangnya, baru terasa betapa besar dosanya.

“Melangkahlah dengan baik, agar hidup kamu tenteram.”
“Ma’afkan aku, dan terimakasih semua perilaku buruk aku, kamu balas dengan kebaikan yang tiada taranya.”

Susan memeluk Anjas erat sekali, dan tak urung air mata itu kembali menetes. Tapi Susan berharap yang pahit segera berlalu, yang gelap menjadi terang, seterang rembulan kala malam.

--- T A M A T ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER