Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 30 Maret 2022

Binar #1

Cerita bersambung
Karya : Ellinda

"Memangnya berapa yang kau minta? Sepuluh juta, dua puluh juta, atau lima puluh juta?" Dengan pongah, Reyhan bertanya merendahkanku. Lelaki itu berdiri, mendekatiku yang masih mematung di samping meja kerjanya.

Walau sangat menjijikkan, kujawab juga, "Seratus juta!" tegasku dengan bibir gemetar.
"Apa?" Dia tertawa mengejek, "bahkan kau lebih mahal dari yang kukira. Memangnya apa kelebihanmu? Masih perawan?" Lelaki bermata elang itu menatapku hina. Ya ... memang aku gadis hina sekarang.

Dia tersenyum miring. Mata tajamnya menatapku lekat dari ujung kaki hingga ujung kepala. Merasa sangat jijik dengan tubuh yang dari dulu kujaga mati-matian. Aku meembisu. Menunggunya mengatakan sesuatu yang membuat hati lega.
"Kau lupa, baru kemarin kau menolakku mentah-mentah. Bahkan berani menampar wajah tampan ini dan keluar dari pekerjaan di kantor. Sekarang justru kau memohon-mohon untuk membelimu ...."
Lelaki itu tertawa jahat. Menertawakan kebodohanku. Ya ... memang aku perempuan yang sangat bodoh. Tidak tahu malu karena mau menjual tubuh pada orang yang beberapa hari lalu kutampar wajahnya. Bukan tanpa alasan, karena berulang kali ia mencoba melecehkanku. Tidak puas dengan penolakan, diiming-iminginya sejumlah uang sebagai imbalan. Hal itu membuatku murka dan memutuskan untuk berhenti kerja sebagai office girl di kantornya.

"Begitu cepatkah kau berubah pikiran? Atau ini hanya trik agar bisa lebih banyak mendapatkan uang?" cerca Reyhan.

Aku tidak pernah tahu sejauh apa keberengsekan lelaki itu di luar sana. Tapi bagiku ... dia memang orang yang sangat keterlaluan.

"Kupikir kau berbeda ... rupanya sama saja dengan wanita-wanita lain yang murah dan gampangan. Cuih! Paras lugumu terlalu munafik!" celanya dengan pandangan jijik ke arahku.

Aku masih tegar, ini tak seberapa. Hinaan ini bukan hal baru. Aku memang pantas menerimanya. Atas dasar apa anak seorang pelacur mendapat pembelaan. Aku memang menjijikkan dari lahir hingga sekarang.

"Buat apa uang sebanyak itu? Gayamu biasa saja. Semua yang kau kenakan bukan barang bermerek. Lihat, bahkan penampilanmu lusuh seperti ini. Atau kau gadis kampung yang akan memperkaya diri di desa?" umpatnya.

Aku masih terdiam, tanganku mulai lembab menahan desir darah yang sudah tak karuan memuncak. Andai saja aku memiliki jalan lain, tangan ini sudah mengayun tepat di wajah angkuhnya.

"Kenapa kau diam saja?" ucapnya lagi. Dia mengulurkan tangan menyentuh bagian rambutku.
"Lepaskan! Kau belum membayarku. Kau belum berhak menyentuhku!" tegasku lantang.

Aku menampik tangannya, tak peduli biarpun harga diri telah kutawarkan tetap saja diri ini bukan perempuan lemah yang mudah dilecehkan.

"Kau itu gadis murahan. Nggak usah sok-sok jual mahal!" ejeknya dengan raut sinis.

Telunjuk tangannya mendorong keningku berkali-kali. Ingin sekali merobek mulut itu, lalu mematahkan jemarinya. Ah ... sayangnya, aku hanya singa kelaparan yang tak memiliki taring untuk memangsa.

"Ok ok. Aku terima tawaranmu. Akan kubayar kau seratus juta," tukasnya.

Seharusnya aku lega. Akan tetapi justru dada ini semakin naik turun tak berjeda. Gelisah karena mengambil keputusan besar yang pasti kusesali selamanya. Menjual kehormatan yang selama ini ku jaga.

"Beri uangnya sekarang. Setelah itu aku akan kembali menemuimu," pintaku tanpa ragu.
"Apa? Di mana pun. Ada barang dulu baru ada uang. Kau mau meminta uang sebelum kutiduri!" maki Rey dengan meninggikan suara.
"Aku berjanji, besok akan datang menemuimu. Aku tidak akan berbohong. Kalau perlu KTP ini bisa kau bawa sebagai jaminan," tawarku penuh harap.
Reyhan tersenyum miring. "Apa itu satu-satunya barang berharga milikmu? KTP?" tanya Rey dengan mengerutkan dahi.

Entahlah apa yang aku punya. Bahkan harga diri pun, kini telah terjual. Apa lagi yang tersisa? Tak ada. Intan. Ya ... tentu saja aku masih memiliki sesuatu yang lebih berharga dari harga diri sendiri. Intan, sabarlah. Mbak sedang berusaha untukmu.

"Baiklah, tapi kau harus berlutut dulu di depanku!" pinta Reyhan angkuh. Wajah lelaki itu kembali menorehkan kepuasan karena telah berhasil menginjak-injak harga diriku dengan bebas.

Emosiku semakin bergemuruh, andai bukan karena dia satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Intan. Tak peduli hukum alam dan seisinya, aku telah merutuki lelaki berdasi yang penuh kesombongan itu.
Aku menghela napas panjang, tubuh ini terasa panas. Perih yang terasa, tak seberapa, Binar. Kamu sudah melalui begitu banyak cerca dan hinaan. Kamu pasti kuat dan mampu melaluinya.
Perlahan, aku pun menekuk lutut di hadapan lelaki yang dikenal sebagai pengusaha muda tampan dan gemar mempermainkan wanita.

Dia tertawa pongah. "Menyenangkan sekali menjadi orang kaya," kelakarnya penuh kepuasan.
"Baiklah, sekarang berdiri. Kau harus ikut aku ke Bank," ucapnya setelah puas melihatku berlutut tak berdaya.

Aku bangkit dengan perasan campur aduk. Rey mengambil kunci mobilnya lalu berjalan ke luar. Mengelap mata yang tadi berembun, kususul langkah kaki jenjang milik mantan bosku itu.
***

"Masuk!" perintah Rey sembari membuka pintu mobil.
"Aku duduk di belakang saja."
"Di belakang? Kau pikir aku sopir? Cepat masuk!" tegasnya.

Aku tak bisa lagi menolak lelaki itu karena dia melotot. Bukan takut. Sekali lagi, karena tak punya pilihan lain sekarang. Aku pun masuk ke dalam mobil mewah itu untuk pertama kali.
Rey menutup pintu lalu berputar menuju sisi lain. Dia mengenakan kaca mata hitam sebelum akhirnya memacu mobil, melaju di padatnya lalu lintas jalan.

"Kau tunggu sebentar di sini," pinta Rey ketika sampai di bank.

Aku tak merespons. Masih tetap diam, tanpa menoleh sedikit pun ke arah lelaki yang telah beranjak keluar mobil.

Tak lama kemudian.

"Seratus juta, seperti yang kau minta," ucap Rey sembari melempar amplop coklat berisi uang tunai 100 juta.

Aku langsung menerimanya dengan rasa yang tak lagi bisa dijelaskan. Terjual sudah harga diri ini. Malu pun tak pantas lagi untuk wanita sepertiku.

"Terima kasih. Besok aku akan datang ke kantor," tukasku.
"Mau ke mana?"
"Selain transaksi ini, tak ada lagi yang menjadi urusanmu," paparku tanpa menatapnya. Lalu berjalan menjauh dari mobil Rey.

Aku menyimpan uang itu di dalam tas. Berjalan terburu-buru mencari tukang ojek untuk mengantar ke suatu tempat.

"Tolong antarkan saya ke Rumah Sakit Siaga Medika, Pak."
"Baik, Neng. Silakan pakai helmnya."
***

Setelah tiba di rumah sakit, aku bergegas lari ke ruang resepsionis.

"Suster ... Suster, saya sudah mendapatkan uangnya. Jadi tolong operasi adik saya sekarang juga." Aku berucap gugup dengan menyodorkan ampol coklat yang baru saja kuterima.
"Sabar, Mbak. Tenang dulu, saya akan mengambil berkas yang harus Mbak tandatangani."

Beberapa berkas sudah kutandatangani. Pihak rumah sakit memutuskan akan mengoperasi Intan esok hari. Lega. Beberapa hari sudah tubuh lemasnya terbaring di ruang UGD.
Seketika aku kembali mengingat peristiwa naas waktu itu.
Aku menampar pipi tirusnya saat mengetahui Intan mencoba menggugurkan kandungan. Berat. Aku tahu berat sekali cobaan hidupnya.

"Ini semua gara-gara Mbak Binar, coba saja kita tidak ke sini untuk mencari pelacur itu. Mereka tak akan menganggapku remeh. Tidak cukupkah deritaku selama di desa dengan cerca dan hinaan orang-orang sekitar. Karena memiliki ibu seperti Retno, itu!" Intan menyeru dengan berurai air mata.
"Maafkan mbak, Intan. Ini semua memang salahku karena tidak bisa menjagamu. Tapi mbak mohon, jangan lakukan itu. Katakan siapa yang telah memerkosamu. Setidaknya bagaimana ciri-cirinya?" Aku membujuknya agar mau memberi tahu yang sebenarnya.
"Bagaimana bisa ingat, Mbak. Mereka memberiku obat. Aku lupa semuanya. Hanya hinaan dari mulut mereka yang sempat terdengar. 'Anak seorang pelacur, nantinya juga bakal jadi pelacur, kita nikmati tubuhnya sebelum jadi sampah masyarakat.' Suara mereka terdengar mengecil, lalu semua gelap."

Setelah bercerita, Intan berteriak histeris. Kembali ia merutuki diri sendiri dan memukul-mukul perutnya. Kupeluk tubuhnya yang merosot di lantai.

"Semua salah mbak. Mbak akui. Intan, sabarlah. Kau pasti bisa. Kau pasti kuat. Mbak akan selalu ada di sampingmu."

Aku pun terluka. Bahkan sangat. Aku selalu mencoba tegar di hadapannya, adik semata wayang yang kuurusi sejak dia berusia tiga tahun. Sejak ibu memutuskan untuk merantau hingga melupakan kami. Hanya Nenek yang sudah tua renta yang mengurus kami dengan tak berdaya, dan ketika usiaku menginjak dua belas tahun, Nenek pun pergi menemui Sang Khalik.

Bertahun-tahun lamanya tak ada kabar. Hingga beredar berita Ibu menjadi seorang pelacur di Jakarta. Sampai aku berumur 22 tahun dan Intan sekarang 18 tahun. Aku putuskan untuk mencarinya. Intan memang sangat membenci Ibu, namun kupaksa untuk tetap ikut. Mencari di mana keberadaan Ibu. Seorang wanita yang ternyata tak mau mengakui kami.

Kuputuskan untuk mengontrak rumah kecil yang tak jauh dari gang tempat di mana Ibu bekerja sebagai wanita malam. Entahlah, aku merasa memiliki tanggung jawab tersendiri untuk membuatnya keluar dari dunia kelam tersebut. Berbeda dengan Intan, dia sangat benci dengan Ibu, bahkan tak sudi untuk bertemu dengannya. Aku memahami bagaimana perasaan Intan. Sakit. Sangat.

Sekarang Intan terbaring di rumah sakit karena berusaha bunuh diri. Kehamilannya tak bisa diterima, ditambah beban hidup yang seolah tak pernah usai silih berganti. Sekali pun bahagia tak pernah berpihak padanya. Miris.

Usai menusukkan pisau di perut, dia mencoba menenggelamkan diri di bak mandi berisi air penuh. Keadaannya sangat kritis, membuat adikku koma selama tujuh hari. Dokter mengharuskannya untuk operasi, karena ada luka dari tusukan pisau yang mengenai organ dalam. Membuat ia harus kehilangan bayi sekaligus rahim. Itulah kenapa aku membutuhkan uang seratus juta. Biaya operasi yang sangat mahal bagi kaum rendahan sepertiku.

Setelah menengok ruangan Intan, aku berencana pulang sebelum hari terlalu gelap.
Jaraknya memang tidak terlalu jauh apabila ditempuh dengan sepeda motor. Tapi jika berjalan, membutuhkan waktu sekitar setengah jam. Tak peduli, kakiku masih kuat untuk terus berjalan.
Setibanya di tempat kontrakan, aku terkejut dengan tas milikku yang tiba-tiba berada di depan teras.

"Kamu sudah pulang rupanya!" sapa Bu Asih-- pemilik kontrakan--mengagetkanku dan membuat sedikit menganga dengan mata membulat menolehnya.
"Bu, kenapa semua barang-barangku bisa berada di luar?" tanyaku menatapnya sendu.
"Aku baru tahu, ternyata kalian anaknya si Retno, pelacur itu. Aku tak mau rumahku ditempati oleh perempuan-perempuan kotor seperti kalian. Sebaiknya kamu pergi jauh-jauh dari sini sekarang," umpatnya tanpa belas kasihan.
"Tapi ini sudah malam." Aku mencoba mengiba.
"Ibumu kan wanita malam, masa anaknya takut malam. Udah sana pergi, aku sudah berbaik hati sama kamu. Untuk bulan ini kamu nggak usah bayar uang sewa," ucapnya sinis. Lalu dia pun pergi tak menghiraukan aku lagi.

Lemas. Niat ingin mengistirahatkan diri dari lelah dan penatnya hari ini. Justru malam pun kian jadi pedang yang terus menghunus sekujur tubuh. Perih! Napasku terasa berat. Ah, sudah biasa, menghadapi kerasnya hidup. Lihat. Bahkan aku tak pernah menangis, aku begitu tangguh dan kuat.
Kuambil barang-barang milik kami yang memang tak seberapa. Hampir dua bulan sudah kami menempati rumah kontrakan ini. Akhirnya aku memang benar-benar sampah sekarang, tak tahu lagi arah yang dituju. Tiba-tiba terbesit niat untuk menemui Ibu. Barangkali dengan kondisiku dan Intan yang memprihatinkan seperti ini akan membuatnya sedikit terketuk pintu hatinya.

Seperti biasa, setibanya di Gang Merak. Wanita-wanita berpakaian mini telah mengambil pose terbaiknya di depan rumah-rumah jahanam. Aku terus melangkah, lelaki hidung belang berkeliaran mencari wadah pemuas nafsu birahi. Menjijikkan.
Kulihat wanita yang seharusnya dipanggil ibu itu tengah bergurau mesra dengan lelaki yang tengah duduk bermain kartu dengan lelaki keparat lainnya.
Dengan berat aku semakin mendekat.

"Intan akan dioperasi," tukasku parau.

Wanita yang masih terlihat muda dan mulus itu tak acuh. Meski beberapa detik sempat terdiam. Namun kemudian kembali berhaha hihi dengan orang-orang di sekitar.

"Siapa dia?" tanya lelaki berperut buncit di sampingnya yang melirikku sinis.
"Gembel. Beri saja dia uang, nanti juga pergi," ucapnya tanpa menatapku.
"Berapa, berapa, nih nih. Ambil semuanya.” Pria itu mengambil dompet di sakunya.

Aku tak kuasa lagi menahan diri. Berbalik, lalu berlari menjauh dari mereka. Kenapa Ibu harus bersikap begitu pula pada Intan? Seharusnya tidak. Ia harus peduli pada anak yang pernah ia harapkan kehadirannya. Intan.
Tidak seperti aku. Aku adalah anak haram bawaan dari luar negri, mata bulat dengan bulu-bulu lentik yang menaunginya. Kulitku tidak putih, tapi juga tidak hitam, kuning kecoklatan. Rambut hitam pekat dan sedikit mengembang, hidung mancung layaknya orang India. Untuk itu, tetangga di desa menyebutku anak haram bawaan luar negri. Anak dari seorang pakistan yang Ibu kencani saat dia merantau di Singapura.

Tidak seperti Intan, dia adalah anak dari pernikahan Ibu dengan Pak Riyan. Meski akhirnya ayah tiriku harus mengalami kecelakaan tragis dan meninggal dunia bertepatan dengan hari kelahiran adikku. Tentu saja itu bukan salah Intan, Bu. Dia bukan pembawa sial!

Ah, aku lelah berdebat dalam hati yang tak mungkin bisa dipahami olehnya.
Intan, kau harus kuat. Kau harus kembali menemaniku untuk menyelamatkan Ibu dari lubang gelap.
Sial. Suara perut terus berbunyi, entah kapan terakhir aku menyuapkan nasi ke mulutku. Roti lima ratus perak adalah menu pagi, siang dan malamku.
Ini sudah malam, warung klontong tempat biasa aku membeli roti sudah tutup. Tanganku merogoh saku kumal di baju, ada dua ribu rupiah hasil kembalian dari tukang ojek.
Kulihat tukang gorengan di pinggir jalan. Dengan menenteng dua tas hitam yang sudah usang, kubergegas menghampiri.

"Gorengangannya berapaan Pak?"
"Lima ribu dua, Neng.”
"Oh, kalau satu?" Ah bodoh.

Sekalipun aku tidak sekolah tinggi, setidaknya aku tau lima ribu bagi dua itu berapa. Yang pasti bukan dua ribu.

"Kalau satu tiga ribu, Neng. Mau berapa biji?"

Lihatlah perhitunganku pun masih salah.

"Emmm ... maaf, Pak, nggak jadi. Permisi!"

Kuayunkan kembali kaki untuk melangkah menyusuri bebatuan di tepi jalan.
Ke mana lagi aku harus pergi?

==========

[POV-Rayhan]

Orlando Group adalah perusahaan yang bergerak di bidang properti. Dua bulan lalu telah merayakan ulang tahunnya yang ke 25. Semua adalah hasil jerih payah Papaku--Daniel Orlando. Awalnya perusahaan ini hanya berskala kecil kemudian dengan kerja keras Papa, sedikit demi sedikit merangkak menjadi perusahaan besar.

Namun karena kasus penipuan yang dilakukan oleh klien dalam proyek besar, juga sebuah musibah kebakaran di lokasi proyek, membuat perusahaan ini mengalami kerugian tak sedikit. Bahkan, hampir gulung tikar. Di situlah awal kehancuran dari semuanya.

Usia dua puluh tahun seharusnya menjadi masa-masa menyenangkan bagi seorang pemuda. Namun berbeda denganku. Masalah demi masalah kian datang menghampiri. Kebangkrutan perusahaan, masalah keluarga, juga satu per satu orang yang kusayangi pergi.

Sampai akhirnya, dengan bantuan paman, aku dibimbing untuk membangun kembali usaha Papa. Ternyata tidak gampang membangun kembali sebuah usaha yang telah jatuh. Berbagai hinaan, penolakan, juga intimidasi dari berbagai pihak, didapatkan. Namun, aku tetap gigih berjuang. Aku ingin membuktikan kepada Papa bahwa anaknya mampu meneruskan hasil kerja kerasnya, bisa mempertahankan nama perusahaannya.

Hingga perusahaan ini perlahan membaik dan semakin maju di bawah kepemimpinanku sampai sekarang. Di usia tiga puluh lima tahun, ini adalah pencapaian tertinggiku. Orlando Group menjadi salah satu peruhasaan properti yang diperhitungkan.
***

Playboy. Selain sanjungan atas prestasi, gelar playboy juga disematkan kepadaku. Julukan itu manusiawi bagi seorang lelaki tampan, dengan tubuh proporsional, kaya dan smart sepertiku. Perempuan mana yang bisa menampik pesona seperti itu? Ini terbukti dengan mudahnya perempuan bertekuk lutut di hadapanku.

Bukan hanya satu atau dua perempuan yang sudah menghabiskan malam-malam panasnya bersamaku. Uang. Demi uang mereka rela merendahkan harga dirinya. Tak pernah ada paksaan, tapi pesonaku yang menarik mereka datang dengan sendirinya.

"Honey, makan siang di luar, yuk. Sekalian jalan-jalan. Ada tas lucu yang baru launching di toko langgananku."

Soraya, perempuan yang sekarang dekat denganku. Bukan pacar. Hanya dekat saja. Pantang bagiku menjalin komitmen dengan perempuan. Karena semua perempuan sama saja, matre, murahan dan bodoh karena gampang diperalat lelaki. Termasuk dia--wanita--yang membuat hidupku seperti ini.
Aya--panggilanku pada Soraya--duduk di pangkuanku dengan jemarinya yang selalu aktif menggoda tubuh ini.

"Kemarin 'kan sudah beli tas. Kenapa beli lagi?" Penolakanku bukan karena pelit, tapi karena sedang malas keluar dengannya.
"Ck! Ini keluaran terbaru, Honey. Limited edition. Mau ya, temani aku ke sana."

Kecupan demi kecupan mendarat di wajahku. Begitulah caranya jika dia merajuk. Selalu ada penawaran menarik yang disuguhkan. Apabila permintaannya tidak dituruti, perempuan ini akan terus merecoki. Sebenarnya aku muak dengannya.

"Oke ... tapi besok. Hari ini pekerjaanku banyak. Kamu bisa lihat sendiri, 'kan?"

Aya melirik meja kerjaku yang memang cukup banyak berkas dan harus diperiksa. Dia mencebik dan tampak cemberut, tapi tak bisa berbuat banyak.

"Well, besok ya. Aku tunggu. Malam hari juga gak masalah. Aku kangen dengan deru napasmu, Honey." Sebuah kecupan hangat sebagai salam penutup dia berikan.

Begitulah Soraya. Tanpa basa-basi, apabila menginginkan sesuatu. Dia anak dari orang kaya, hanya saja lebih suka aku bayari daripada meminta papanya. Konyol memang. Namun, bagiku, it's oke asal dia bisa memberiku kepuasan tersendiri.
***

Selama ini belum ada perempuan yang menolak pesonaku, kecuali office girl baru yang kemarin menamparku. Dasar perempuan si*lan. Semua berawal saat perempuan itu sedang membersihkan ruanganku. Entah karena kesiangan atau karena kerjanya tidak becus, sehingga saat aku datang, dia belum selesai melaksanakan tugasnya. Karena ketidaksengajaan, aku terjungkal dan menabrak dirinya hingga posisi tubuhku di atasnya.
Belum sempat aku mengatakan sesuatu, tak disangka, dia menyemprotku.

“Apa yang Bapak lakukan?!" Hardiknya tepat di depanku setelah kami berdiri berhadapan.
"Kau yang tidak pecus bekerja. Sehingga lantainya masih basah!"
"Ma-maaf. Saya kesiangan karena masih ada urusan."
"Kau ini pegawai baru, tapi tidak disiplin. Tak punya sopan santun pula dengan atasan. Mau dipecat?"
"Saya 'kan sudah minta maaf. Bapak saja yang arogan," lirihnya tapi masih bisa kudengar.
"Jaga ucapanmu! Kau bilang aku arogan? Kau harus sadar sedang bicara dengan siapa, perempuan rendahan." Aku menghardiknya agar dia sadar jika bicara dengan atasan.
"Apa kau bilang? Perempuan rendahan? Jaga ucapanmu!" Dia mengancamku. Besar juga nyalinya.

Binar memang sedikit berbeda dengan perempuan lain. Beberapa kali bertemu, dia terlihat cuek. Namun tak kusangka kalau dia punya nyali cukup besar untuk melawanku.

"Kenapa? Bukankan semua perempuan sama saja. Perempuan rendahan dan murahan."

Tak sempat menghindar, tamparannya mendarat ke pipiku.

"Perlu kamu tahu bahwa tidak semua perempuan itu murahan. Termasuk aku!" Setelah mengatakan kalimat itu dengan tatapan tajam, dia pergi.

Perempuan itu sama sekali tidak sopan padaku. Tunggu saja. Akan kubuat perhitungan denganmu.
Sebelum jam pulang kantor, sengaja aku menyuruh orang memanggilnya ke ruangan. Aku sudah mengatur rencana untuk memberinya pelajaran atas apa yang dia lakukan tadi pagi. Perempuan itu datang. Tak ada rasa takut karena telah berbuat tidak sopan pada atasannya.

"Kenapa Bapak memanggil saya?"

See ... sekarang dia berlagak sopan. Pasti karena takut dipecat. Namun sikapnya masih sangat angkuh sebagai bawahan.

"Duduklah!"

Dia duduk dengan wajah jutek.

"Temani aku malam ini! Akan kuberi imbalan sepuluh kali lipat gajimu."

Dia tampak tercengang. Pasti ini penawaran yang sangat menarik baginya. Aku yakin perempuan miskin sepertinya tidak akan menolak uang sebanyak itu.

"Maksudmu apa? Kau anggap aku pela*ur? Mau menemanimu dengan imbalan uang? Hah! Kusangka pimpinan sebuah perusahaan besar seperti Orlando Group memiliki bos yang tahu sopan santun. Akan tetapi aku salah. Ternyata kau sama saja dengan lelaki hidung belang di luar sana!"

Di luar dugaan, ternyata perempuan ini melawanku. Padahal aku ingin membuktikan bahwa dia juga cewek murahan. Sama dengan lainnya.
Sebelum dia mencapai pintu, kutarik lengannya hingga tubuh membentur dinding. Kukungkung dengan kedua lengan, tubuhnya. Kita lihat, apa kau bisa lari dari seorang singa yang sedang kesal?
Ketika hendak menciumnya, tiba-tiba dia berhasil mendorongku. Dan sebuah tamparan kudapatkan. Shit! Besar juga nyalinya. Matanya menatapku tajam dengan napas memburu.

"Dasar lelaki bereng**k. Jangan berpikir aku akan menyerah dengan perlakuanmu. Aku berbeda dengan perempuan lain yang biasa kau beli. Tak sudi bekerja dengan orang sepertimu!"

Dia pergi dengan membanting pintu. Si*al! Dua kali perempuan itu melawanku. Dasar perempuan tak tahu diri. Awas saja kalau kita ketemu lagi. Akan kuberi pelajaran sampai kau menyesal telah berurusan denganku.
***

Beberapa hari setelah kejadian itu. Kini, Binar datang mengemis kepadaku agar mau membeli tubuhnya. Tidak tanggung-tanggung, dia menjual tubuhnya dengan harga seratus juta. Aku cukup tercengang. Bukan. Bukan karena tak mampu membayar seharga itu, tapi lebih pada kepuasan karena akhirnya berhasil membuatnya bertekuk lutut kepadaku. Terbukti 'kan, tidak ada perempuan baik-baik di dunia ini.

"Seratus juta, seperti yang kau minta," ucapku sembari melempar amplop coklat berisi uang tunai 100 juta padanya.

Matanya berbinar menatap amplop itu, walau tersirat kesedihan yang tak bisa ditutupi.

"Terima kasih. Besok aku akan datang ke kantor," tukasnya.
"Mau ke mana?" tanyaku, saat melihat Binar akan ke luar dari mobil.
"Selain transaksi ini, tak ada lagi yang menjadi urusanmu," jawabnya sarkas.

Dasar bedebah, tak tahu terima kasih. Tentu saja masih ada urusannya denganku. Uangku masih belum mendapatkan imbalan. Seenak jidat dia berucap. Brengsek.
Dia berjalan tergopoh menuju tukang ojek, sepertinya akan menuju ke suatu tempat. Sedikit penasaran, aku mengikutinya dalam jarak aman.
Rumah sakit. Gadis itu tergesa-gesa masuk ke lobi rumah sakit. Apa ada orang terdekatnya yang dirawat di sini? Uang itu. Mungkinkah dipakai untuk membiayainya? Ck! Bukan urusanku. Yang penting dia sudah menjual tubuhnya kepadaku. Let's play soon, sweety.
***

Menjelang sore hari berikutnya, sekretarisku mengatakan bahwa Binar ingin bertemu. Ternyata gadis itu menepati janjinya. Namun, ini masih terlalu sore untuk bersenang-senang, Sweety. Apa dia mau memberikan servis tambahan sehingga datang lebih awal?
Pintu terbuka dan gadis itu muncul. Tak terlihat senyum ramah. Namun tatapan jutek yang sngat ku benci. Aku bisa melihat ketegangannya walau coba dihalau. Dia bergeming saat pintu kembali ditutup.

"Rupanya kau cukup bersemangat dengan datang lebih awal. Tak mengapa. Aku suka."

Aku tersenyum menyambut kedatangannya. Meski dia tetap terlihat tak acuh dengan ucapanku. Shit! Bagaimana gadis ini bisa membangkitkan gairahku jika sikapnya sedingin itu? Belum lagi tampilannya yang sangat kampungan dan kumal.

Setelah membereskan berkas-berkas, aku melangkah ke arah pintu.

"Ikuti aku!"

Terdengar langkahnya membuntuti. Beberapa karyawan melirik ke arah kami. Aku tak peduli. Mungkin mereka heran melihat Binar yang sudah resign, kembali datang menemui bosnya. Masa bodoh!
***

Mobil melaju menuju mal. Aku meliriknya untuk melihat wajah yang selalu berekspresi datar. Entah, apa yang dia pikirkan. Terlihat ada gundukan beban yang tertoreh dari mata jernihnya. Tapi itu bukan urusanku. Yang jelas tubuhnya akan menjadi milikku sekarang. Kembali, aku merasa puas.
Masuk ke butik langganan Soraya, Binar tampak pasrah. Meski dapat kulihat aura keberatan dalam dirinya, saat aku meminta untuk berganti pakaian. Gaun dusty yang dipilihkan Karyawan beserta high heels yang senada. Cukup menawan, dia terlihat mempesona dengan baju tersebut. Lekuk tubuhnya sedikit terlihat walau jauh dari kata seksi. Dia terlalu kurus untuk kategori itu. Setelahnya, aku membawa Binar ke salon untuk mempercantik parasnya.

"Sudah siap, Tuan Reyhan."

Mendengar ucapan karyawan salon, mengalihkan perhatianku pada gadis yang berdiri di sebelahnya. Not bad. Mata bulat itu semakin lentik. Juga bibir ranumnya yang terpoles lipstik, mampu membuatku menelan saliva. Ah, shit! Ternyata dia bisa membangkitkan gairahku. Setidaknya tampak lebih menarik dari sebelumnya. Tak rugi aku mengeluarkan banyak rupiah untuk mengubah penampilannya.

"Oke. Ayo jalan!" Perintahku, kulihat Binar pun mengekor dengan lempeng. Pandangannya terus tak acuh, tanpa menghiraukan, ada lelaki tampan yang berjalan di sampingnya.

Semua perempuan yang pernah kukencani, mereka akan bergelayut manja di lengan jika berjalan bersamaku, gadis ini berbeda. Binar berjalan dengan kaku seperti robot di sampingku. Aku tak peduli. Nyatanya, dia sama saja dengan wanita lainnya. Yang bisa dibeli dengan uang.
Mobil melaju menuju hotel. Selama ini aku belum pernah mengajak wanita kencan di rumah. Hanya satu orang saja--Soraya. Itu pun karena dia membuntutiku dari hotel sampai rumah. Sial memang gadis satu itu, meski dia tahu aku hanya mempermainkannya, tetap saja dia mengejarku. Bodoh.

"Untuk apa kau mengubah penampilanku?" tanyanya.

Aku tertawa mendengar pertanyaan gadis itu.

"Tentu saja karena aku ingin kencan yang menyenangkan. Tidak mungkin aku berna*su melihat penampilanmu menjijikkan seperti barusan."

Jawabanku membuatnya bungkam. Dia menutupi bahu yang terbuka dengan kedua tangan menyilang. Pintar juga karyawan butik itu memilihkan gaun yang sesuai. Bisa mengekspose bentuk tubuhnya yang lumayan menarik.
Sesampainya di hotel dan mem-booking sebuah kamar, Binar masih terlihat tak acuh. Gadis seperti apa sebenarnya dia. Aku semakin ingin tahu dibuatnya.
Kami memasuki kamar nomor 209 di salah satu hotel berbintang di kota ini.
Setelah kututup pintu, aku mendekat ke arah gadis yang diam berdiri di dekat ranjang.
Lalu dia membalikkan tubuhnya ke arahku.
Matanya tajam menatapku, aku sangat benci dengan tatapan itu. Kenapa dia begitu keras kepala, padahal sudah kalah dengan uang seratus juta. Sulit sekali menaklukkan, kita lihat setelah mendapat sentuhanku. Apa dia masih bersikap seperti itu padaku. Dasar wanita. Semua sama. Jalang.

"Aku akan mengembalikan uangmu, jangan tiduri aku!" tegasnya. Kulihat tangannya mengepal, tubuh pun mulai tegang.

Gadis sialan. Berani sekali dia mempermainkanku. Aku melotot menatapnya murka.

"Kau pikir, kau bisa menarik kata-katamu? Dasar gembel tak tahu malu, berani kau mempermainkanku?"

Kulihat Binar semakin tegang. Ada gejolak amarah yang sedang dia tahan. Aku tersenyum miring melihatnya. Semakin dia tersulut emosi, itu semakin menyenangkan.

"Aku butuh uang itu untuk membiayai adikku yang harus segera dioperasi. Bukan untuk hal lain seperti yang kamu tuduhkan kemarin."

Penuturannya membuatku memicingkan mata.

"Kau pikir aku peduli? Mau adikmu dioperasi atau adikmu mati. Itu bukan urusanku, bego!"

Dia mendengkus. "Beri aku waktu. Akan kukembalikan uang itu secara berangsur," tukasnya.

Seketika tawaku pecah.

"Memangnya berapa puluh tahun kamu bisa melunasinya?"

Aku kembali menertawakan kebodohannya. Kemarin dia bilang mau menjual tubuh. Sekarang mau meminjam uangnya. Dasar gadis plin-plan! Aku semakin mendekat ke arahnya.

"Aku sudah membayarmu, tubuhmu sekarang adalah milikku."

Jemariku mengusap lembut pundaknya. Terlihat otot tangannya semakin mencuat saat dia mengencangkan kepalan tangan. Sekuat apa dia menahan. Aku semakin tergila-gila padanya.
Berjalan mengitari tubuhnya yang berdiri kaku, kucium bagian pundaknya dari belakang.

"Rey ... aku mohon. Jangan hancurkan masa depanku. Aku akan kembalikan uangmu."

Gadis itu tiba-tiba berbalik dan berlutut. Memegang kakiku dengan erat, lalu menengadah menatapku.

"Aku bisa melakukan apa pun untukmu. Tapi bukan untuk hal ini. Kumohon jangan renggut kesucianku. Aku akan bekerja keras agar bisa melunasi utang itu. Bekerja di kantormu tanpa dibayar pun, aku mau."

Dalam kondisi seperti ini pun, dia masih mampu menatapku. Meski terlihat matanya mulai berkaca, tetap saja tak ada air mata setetes pun yang mengalir. Padahal dia sedang memohon meminta belas kasihku. Bukan wajah memelas yang ia torehkan, tapi justru ketangguhan yang terlihat. Wanita macam apa dia?
Matanya semakin tajam menatapku.
Sial! Apa dia mempermainkanku? Kutarik tubuhnya, lalu kuhempaskan di atas ranjang. Seketika rambut tebal yang tergerai, menutupi sebagian wajahnya yang manis.
Aku tersenyum sinis, lalu mendekat ke arahnya. Kugapit rahang pipinya, dan kutatap tajam.

"Kau harus sadar. Sekarang dirimu sudah berada dalam kandang singa yang lapar. Dia siap menerkammu kapan pun!" tegasku setengah membisik.

Manik hitam di matanya bergeser, tanda dia sedang mengabaikanku. Si*lan. Aku semakin tertantang olehnya. Berdiri dan segera melepas jas hitam lalu melemparnya ke sembarang tempat. Kutarik dasi dan membuka tiga buah kancing kemeja. Binar masih terdiam, wajahnya penuh kebencian. Membuatku risih dan sangat muak.

"Tatap aku!" perintahku dengan menaikkan volume suara. Gadis itu bergeming. Masih menatap arah lain tak memedulikan perintahku. Breng**k. Berani sekali dia tidak mengacuhkanku.
"Berani kau melawanku?!" gertakku.
"Kau memang membeli tubuhku. Namun aku tak sudi melihatmu. Sekarang lakukan apa pun yang kau mau dengan tubuhku," tukasnya.

Kulihat dadanya semakin naik turun. Begitupun aku, semakin tak karuan menahan gejolak antara na*su dan amarah.
Wanita macam apa dia, berani sekali berbicara seperti itu padaku. Aku frustrasi. Penolakan ini sama saja pelecehan buatku.

"Aarrrgghhhh ...." Aku segera menyergapnya dengan serangan bertubi-tubi. Namun dia tak berekasi. Si*lan. Seolah diri ini sedang berc**bu dengan manekin.

Aaaaghhh ... gila. Aku benar-benar dibuat gila olehnya. Aku semakin penasaran olehnya, tapi jika kutiduri dia sekarang. Itu artinya semua akan lunas, dan tak ada kesempatan lagi untuk mempermainkannya.
Kuhentikan kegiatan pada tubuhnya. Meski sebenarnya ada bagian dalam tubuh ini yang mulai menegang, mencoba tepiskan. Aku harus memberi gadis itu pelajaran lebih dari ini. Dia harus benar-benar tak berdaya olehku.
Dengan napas memburu, aku masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuh di bawah shower. Kali ini, gadis sialan itu kembali membuatku kalah. Segala umpatan kuucap sebagai pelampiasan kemarahan.
***

Keluar dari kamar mandi dengan memakai kimono, kulihat dia tampak mematung tanpa kata. Wajahnya masih terlihat angkuh dan datar. Aku benci situasi ini.

"Malam ini kau selamat. Namun urusan kita belum tuntas. Aku mau tidur. Jangan kabur!"

Melangkah ke kasur dan merebahkan tubuh.

"Jika kamu mau menemaniku tidur di ranjang, aku akan anggap lunas uang kemarin." Dia tetap terdiam. Justru duduk di lantai dengan memeluk lutut.

"Aku janji akan melunasinya. Namun, tidak dengan mempertaruhkan kesucianku kepadamu. Aku akan bekerja. Kamu bisa menyiapkan surat perjanjian utang, hitam di atas putih dan bermeterai. Aku akan tanda tangani. Asalkan tidak untuk melayanimu di atas ranjang."

Aku tertawa melihat usahanya meyakinkanku. Boleh juga cara yang dia ajukan. Menyamar menjadi gadis baik-baik agar bisa mengambil hati seorang lelaki.
Tak jauh beda dari wanita itu. Wanita yang menyakiti hati pasangannya untuk mendapatkan kepuasan dengan orang lain. Semua wanita memang sama saja. Damn it.
Aku kembali duduk dan menatapnya.

"Kamu mau bekerja, kan?" Dia mengangguk.
"Oke. Besok hari pertamamu bekerja."

Dia terlihat bingung namun masih membisu.

"Tidurlah. Besok akan kuberitahu."

Tanpa menghiraukannya lagi, aku merebahkan tubuh. Tak peduli dia yang masih duduk di atas lantai.
Malam ini sang singa tidak akan menerkam mangsanya. Namun jangan harap bisa bebas begitu saja. Dia akan menyantap mangsanya di saat yang tepat. Lihat saja nanti.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER