Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 18 Maret 2022

Bukan Sekedar Cinta #1

Cerita Bersambung
Karya : Lestari Zulkarnain

Hari Sabtu tepat jam 13.00 kami sampai di kediaman Tuan Khalil.

“Sini kamu,” kata Mpok Atik padaku.

Dia adalah penyalur pembantu di Yayasan Baby Sitter di kotaku. Karena terdesak kebutuhan, akupun mendaftar untuk menjadi Baby Sitter. Aku bukan sebagai pengasuh bayi, tetapi sebagai pengasuh orang tua yang mengalami stroke, Ibu dari Tuan Khalil Ahmad Al Fatih.
Dia membawaku kepada Nyonya Siska, istri dari Tuan Khalil.

“Ini Nyonya, dia yang akan mengasuh Nyonya Rabiah, mertua Nyonya,” kata Mpok Atik sambil menggandengku dan menyerahkan ku ke Nyonya Siska.
“Ok, saya terima. Ini uangnya, dan terimakasih,” ucap Nyonya Siska sedikit judes.
Mpok Atik menerima uang dari Nyonya Siska, setelah itu dia pamit, sebelum pergi, dia berpesan padaku agar aku bekerja dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Aku hanya mengangguk.
Kemudian dia berbalik dan kembali ke mobilnya untuk mengantar Baby Sitter yang lain.
Nyonya Siska menatapku, dia memperhatikanku dari atas sampai bawah,

“Siapa namamu,” tanyanya.

Kujawab, “Insani Anugrah, Nyonya.” Sembari kutundukkan pandanganku hormat.
“Hem, nama yang bagus, berapa usiamu,” tanyanya lagi penuh selidik, matanya tajam dan tegas.
“28 tahun Nyonya,” jawabku.

_'Kenapa dia menanyaiku, bukankah tinggal baca di bio dataku'._ Batinku.

“Kenapa kamu mau bekerja sebagai pembantu, bukankah kamu lulusan D3 komputer, kamu berpengalaman, kamu cantik” Tanyanya.
“Dan, kemana suamimu?” Lanjutnya lagi.

_'Pertanyaan yang tidak kusuka, aku sudah melupakan semua masalalu ku dengan mantan suamiku, ternyata masih saja ada yang menanyakan, aku malas menjawabnya. Huft'_

“Karena keadaan Nyonya, saya terpaksa karena saya butuh. Zaman sekarang, nyari kerja susah, sedangkan kebutuhan terus berjalan. Aku tak mungkin mengandalkan orangtuaku terus. Kebetulan aku kenal dengan Mpok Atik, dan saya mendaftar menjadi Baby Sitter. Hingga akhirnya saya berada disini. Dan soal suami, sebenarnya saya sudah tidak mau membicarakannya lagi. Saya sudah menguburnya dalam-dalam.” Ucapku.

Mataku berkaca kaca mengingat pengkhianatan suamiku.

“Saya bercerai Nyonya, (mataku berkaca-kaca, hampir saja bulir bening itu menetes, kutahan) empat bulan yang lalu, dia lebih memilih janda beranak 1 dan rela menceraikan ku Nyonya. (Akhirnya, tumpah juga air mataku).” Ucapku perlahan.

Aku terisak mengingat perlakuan mantan suamiku. Kuseka air mataku, aku berusaha tegar.

“Kamu sudah punya anak? Dan dimana anakmu?” Tanyanya lagi.

_'Sebenarnya Nyonya hanya sekedar bertanya atau menginterogasi aku sih'_

Aku terdiam sesaat. Dadaku terasa sesak, aku ingat anakku yang kutinggalkan di kampung bersama Ayah Ibuku.

“Anakku di kampung Nyonya, anakku tinggal dengan orangtuaku. Sekarang dia sekolah di TK, usianya 6 tahun, laki-laki.” Jawabku.
“Baiklah, sekarang istirahatlah. Mulai besok, kamu sudah bekerja. Pekerjaanmu hanyalah mengurusi Ibu mertuaku, namanya Bu Rabiah. Beliau terkena stroke, beliau tidak bisa jalan, kamu yang akan menyiapkan segala keperluannya. Kamu tidur sekamar dengannya, kusediakan dua tempat tidur disana. Untuk keperluan dapur, beres-beres, nyuci dan semuanya, sudah ada yang mengerjakan. Gajimu aku transfer tiap bulan ke rekeningmu. Itu kamarmu dan kamar Ibu,” jelasnya.

Dia menjelaskan jobdesk ku, dia juga menunjuk ke arah kamar yang akan aku tempati.

“Baik Nyonya, Oya, lha sekarang Nyonya Rabiahnya dimana?” Tanyaku dengan hati-hati.
“Ada di rumah Husna, adik iparku, besok pagi baru kujemput.” Balasnya.
“Sudah sana ke kamar,” lanjutnya.

Kemudian dia melangkah pergi menuju kamarnya.

_‘Ini orang judes amat, ndak ada ramah-ramahnya, senyum saja endak, padahal cantik lho, mbok cantiknya seperti apa, kalau kayak gitu yo bikin gerah. Kok betah yo tinggal bersama wanita seperti itu, gimana sikapnya dengan suami? Ah, bodo amatlah, sing penting aku bisa kerja.’_

Aku menuju kamar yang ditunjuk.
Di rumah ini ada beberapa kamar. Kamar utama, yaitu kamar Tuan dan Nyonya, ada di paling depan bersebelahan dengan ruang tamu.
Kamarku, berdekatan dengan kamar tamu dan ruang keluarga. Kemudian ada dapur dan kamar pembantu. Di lantai 2 juga ada 2 kamar kosong.
Rumah segede dan semewah ini kok hanya berdua saja sama pembantu, apa mereka belum punya anak? Ah, nanti kutanyakan ke asisten RT bagian dapur aja.

Setelah kuamati hampir seluruh rumah ini, aku bergegas ke kamarku. Kamar ini sangat luas, ada 2 tempat tidur, satu untukku dan satunya untuk Nyonya Rabiah. Ada 2 lemari kayu, sepertinya dari kayu jati, lebar dan besar. Lemari tertata rapi menghadap ke tempat tidur, ada pula satu meja rias disamping salah satu lemari. Kemudian kamar mandi di ujung tempat tidur. Ada sofa dan meja serta TV LED tertempel didinding. Ada dispenser panas, dingin dan biasa. Lega sekali dan nyaman, seperti di apartemen, hehehe. Semoga aku betah, semoga Nyonya Rabiah juga tidak rewel.
Kubuka koperku, kukeluarkan baju-bajuku dan kumasukkan ke dalam lemari, gila ni lemari keren banget, pasti mahal.
Setelah itu, kurebahkan tubuhku di kasur, nyaman dan empuk.

Jam 16.00 aku terbangun, aku terlalu pulas, capek sekali, karena perjalanan dari Jogja ke Jakarta memakan waktu lebih dari 12 jam. Aku menuju kamar mandi, mandi kemudian sholat Ashar.
Sepertinya perutku keroncongan,

_‘Duh, kok laper yo, di dapur ada makanan Ndak yo, kalau Ndak ada, ya beli mie instan.’_

Aku menuju dapur, kulihat ada wanita setengah baya sedang membereskan meja makan, kupikir dia pasti ART.

“Maaf, adakah makanan disini? Saya lapar,” tanyaku ke wanita tersebut.
“Iya ada, itu di meja, silakan ambil sendiri,” jawabnya ramah.

Aku mengambil piring dan sendok kemudian mengambil nasi. Kulihat ada lalapan dengan ayam panggang, hmm yummy.
Seusai makan, piring kucuci, lalu aku menemui perempuan setengah baya tadi. Kami berkenalan. Rupanya namanya Sutinah.

“Kupanggil Mbok Tinah saja ya,” kataku padanya.

Dia mengangguk.
Kami ngobrol di teras belakang dekat kolam renang. Aku menanyakan hampir semua hal tentang majikanku. Rupanya Nyonya Siska dan Tuan Khalil belum dikaruniai momongan, sudah hampir 10 tahun menikah. Kasian juga…

==========

Minggu pagi kulihat Nyonya Siska sibuk, rupanya hari ini akan menjemput Nyonya Rabiah. Namun, dimana Tuan Khalil, dari saat pertama kali aku datang, sama sekali belum melihatnya.

“Sibuk ya Nyonya?” Tanyaku sok kenal, sok dekat.

Dia hanya melirik, dingin.
Ampun, disapa kok ndak respon, pie iki, orang apa batu. Kabur aja wis, mending jalan-jalan pagi, biar sehat. Sebelum Nyonya Rabiah datang, mending aku gunakan untuk melihat-lihat komplek.
Rupanya di luar cukup ramai, rumah Nyonya Siska termasuk cluster dan paling depan, lokasinya dekat bundaran. Banyak orang berlalu lalang, ada yang jogging, ada yang jualan makanan, mainan, bahkan pakaian, kalau istilah lainnya “Pasar Kaget”. Ada yang sedang membeli makananan, bahkan ada yang hanya duduk-duduk menikmati sarapan pagi bersama pasangan.
Meskipun sendirian, pede saja, gak ada yang kenal ini. Untungnya aku bawa kaos lengan panjang dan celana kaos panjang, jadi bisa kugunakan untuk olahraga.

Aku berlari-lari kecil keliling bundaran, eh ada baju daster lucu, nanti coba beli ah. Tiba-tiba aku seperti menabrak batu besar dan *BRUGG*, aww sakit, aku terpental dan jatuh telentang.
Sial, aku menabrak orang, aku ndak memperhatikan hingga aku menabraknya. Punggungku sakit aduh. Mau bangkit agak susah, orang yang kutabrak hanya melihatku dengan sinis. Bukannya bantuin malah ngelihatin, ini orang apa gedebok pisang.

“Mas, tolongin dong, auwww sakit, malah diam aja, batu apa orang sih”, kataku sedikit teriak.

Dia tetap dingin, dia mengulurkan tangannya dan akupun bangkit dengan bantuannya.
Ampyun, ini orang kok ndak ada ramah-ramahnya sih, ndak senyum, ndak ngomong. Ganteng sih ganteng, badannya kekar, mungkin karena rajin olah raga, rambutnya rapi, hidungnya mbangir, alisnya tebal, tinggi lagi. Namun, ogah aku sama laki-laki macam gitu, sorry no way.

“Kalau jalan lihat-lihat,” balasnya, tetep dengan nada datar.
“Lain kali, matanya jangan jelalatan,” lanjutnya lagi.

Walah, kurang ajar, aku dikatain begitu.

“Eh Mas, sampeyan itu, sudah tahu aku lagi jogging sambil lihat-lihat kanan kiri, mbok ya menyingkir gitu, kayak batu, ngalangin jalan,” balasku.

Setelah itu aku balik kanan pergi dengan berlari sambil memegang punggung yang sakit. Kulihat dia agak kesal, bodo amat, moga aja ga ketemu orang model gitu, judesnya amit-amit. Padahal aslinya aku yang salah, tapi gengsi lah, wong aku yang jatuh dan sakit, jadi ku galakin saja, hehehe.

Ehm, nyari sarapan dulu ah, enaknya pagi-pagi makan bubur ayam, yummy…
Aku mendekati tukang bubur di sisi jalan dan memesannya.

“Bang, pesen bubur satu ya, ndak usah pakai kacang, daun bawangnya banyakin, kecapnya juga tambahin dikit, suka yang manis sih,” kataku pada Abang tukang bubur.

Kemudian aku mencari tempat duduk yang nyaman, di lesehan.

“Oya sama teh tanpa gula ya Bang!” Perintahku lagi.

Si Abangnya mengangguk.
Tak berapa lama pesananku datang, kulahap bubur ayamnya tanpa kucampur, ehm, lumayan, enak. Aku mengambil setusuk sate telur sebagai lauknya.
Hmm, ramai juga yang beli, memang enak sih buburnya. Dan aku menengok kesebelah kananku, kebetulan dia juga melihatku, akupun terkejut dan berteriak,

“HUAAAAAAAAAAA”

Astaghfirullahal’adziim… aku histeris, rupanya bertemu orang yang tadi kutabrak, dia juga beli bubur disini, dia juga kaget, kaget karena aku teriak. Pembeli yang duduk disitu juga kaget karena teriakan ku.

“Ada apa Non,” tanya tukang bubur itu kaget serta khawatir.

Aku menggelengkan kepalaku.

“Ndak Bang, cuma ini, a, a, ada ba, ba, tu, eh aku ingat ada kecelakaan di jalan tadi pagi pas mau kesini.” Jawabku sambil jari telunjukku mengarahkan ke jalan.

Duuh, kenapa ketemu orang itu lagi sih. Akhirnya aku buru-buru menghabiskan bubur ayam.

“Jangan buru-buru nanti keselek,” ucap laki-laki yang kutabrak.

Masih dengan nada sinis dan dingin.

“Bang, makasih ya, buburnya enak, yang gak enak, ada batu gedenya, itu (aku menunjuk ke laki-laki tersebut),” kataku sewot.

Kukeluarkan uang 20an dan segera aku pergi,

“Kembaliannya ambil saja Bang,” ucapku lagi.
“Ya makasih, besok kesini lagi ya,” jawab tukang buburnya.

Ya Alloh, untung aku langsung pergi, kalau enggak, bisa-bisa mati kutu aku.
Lebih baik aku kembali saja, lumayan sudah cukup berkeringat. Mungkin lain kali, kalau Nyonya Rabiah sudah ada, akan kuajak jalan-jalan pagi kesini.

Sesampainya di rumah, kulihat Nyonya Siska sudah rapi, hanya dia terlihat agak kesal.
Kusapa,

“Pagi Nyonya, apakah sudah beres?”
“Hmm”, jawabnya.

Ya Robb, hanya itu doang jawabnya. Lain kali gak kusapa lho.
Kemudian dia berteriak,

“Mbok! Mas Khalil kemana sih, sudah jam segini kok belum balik, jadi apa tidak jemput Ummi.”

Raut wajahnya sedikit emosi.
Mbak Tinah lari tergopoh-gopoh mendekat ke Nyonya Siska.

“Iya Nyah, tadi katanya mau jogging dulu di bundaran, tapi saya tidak tahu kok bisa lama,” jawabnya khawatir.
“Ih, kebiasaan,” rutuk Nyonya Siska.

Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Nyonya Siska.
Mbok Tinah kembali ke dapur, aku juga mengikutinya.

“Mbok, minta air ya,” kataku.
“Lha memang Tuan Khalil kemana Mbok,” lanjutku lagi sambil mengambil air putih di galon.
“Jogging San, tapi kok lama ya. Alhamdulillah, itu udah datang, dia menuju kesini,” jawab Mbok Tinah gembira.
“Mbok, tolong ambilkan air putih!” Perintah seorang laki-laki ke Mbok Tinah. Sambil menyeka keringat dengan handuk kecil.

Aku pun menengok ke sumber suara, daaaaan…

PYAAAAAKKK

Gelas yang kupegang jatuh ke lantai, aku terbelalak, kaget dan shock.

“Ka ka ka mu... eh Tu tu tuan Khalil? Astaga,” ucapku.

Aku menutup mukaku dengan kedua tanganku. Andai aku punya ilmu penghilang raga, rasanya pingin menghilang dari pandangan.
Kulihat Tuan Khalil pun kaget, matanya melotot dan

“Hay kau, kenapa kamu ada disini Udik,” katanya penasaran.

_'Hah dia memanggilku udik? Sialan'_
“Mbok, siapa wanita kampung ini, kenapa dia ada disini?” Tanya Khalil pada Simbok.

Aku hanya diam dan menunduk.

_'Waduh, gawat, bakal dipecat, Tuhan, tolong selamatkan aku,'_

“Tuan, lha ini yang nantinya akan merawat Nyonya Rabiah, namanya Insani Tuan,” jawab Mbok Tinah.
“Memang kenapa Tuan.” Lanjut mbok Tinah.
“Hay kau, kalau aku gak butuh pembantu, sudah kupecat kamu,” jawab Tuan Khalil sambil menunjuk ke arahku.

Kemudian dia berlalu dan menuju ke kamarnya.

'Lega' sambil kuelus dadaku.

“Memang kenapa San? Sepertinya dia marah sekali sama kamu,” tanya si Mbok penasaran.

Aku menelan salivaku. Akupun menceritakan kejadian tadi pagi saat jogging. Simbok mendengar ceritaku dan melotot.

“Astaga, Insani, kamu harus minta maaf sama Tuan, wah bisa-bisa kamu dipecat.” Kata simbok khawatir.
“Dia ndak akan mecat aku Mbok, dia kan butuh aku,” jawabku sedikit tenang.

_'Ogah amat aku minta maaf, biarin'_

“Ndak mau Mbok, biarin, orang dia itu kayak batu, judes, galak, orang kok ndak ada ramah-ramahnya sedikitpun.” Jawabku.
“Tapi San, dia kan majikan kita, lagipula kamu yang salah, ayolah, lupakan semuanya.” Kata Simbok merajuk.
“Iya iya, nanti apa besok, mereka kan mau menjemput Nyonya Rabiah.” Jawabku manyun…

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER