Sepertinya Nyonya Siska telah kembali, kudengar suara mobilnya sedang diparkir. Aku bergegas menyambutnya karena memang tugasku untuk mengurusnya.
Aku menuju pintu depan, kulihat Tuan Khalil mendorong kursi roda tempat Nyonya Rabiah duduk.
Oh itu Nyonya Rabiah, meski sudah tua, guratan wajahnya menunjukkan bahwa sewaktu muda, beliau adalah wanita yang sangat cantik. Wajahnya oval, bibir tipis, hidungnya mancung, seperti ada keturunan Arab.
Walah mbok kasihin ke aku dikit aja tuh hidung, biar gak nyungsep kedalam hidungku, hehehe.
Nyonya Siska memberi kode padaku agar aku segera mengambil alih kursi roda dan mendorongnya.
“Sani, ini Nyonya Rabiah, sekarang menjadi tanggung jawab kamu untuk mengurusnya.” Perintah Nyonya Siska padaku.
Kemudian dia mengambil kursi roda dari tangan Tuan Khalil dan mennyerahkan padaku.
Aku mengambil alih, dan membawanya ke kamar.
Kasihan sekali Nyonya Rabiah, kira-kira udah berapa lama beliau sakit, bibirnya menyon kekanan, tangan kanan tidak berfungsi (jadinya cedal), kalau kakinya terlihat normal, tapi gak tahu, bisa jalan apa enggak.
Kulihat badannya juga tidak terawat, agak bau, bajunya juga apek, dakinya banyak dan ini Pampers dah penuh banget, berapa jam ndak dicopot, Duh Gusti, anak-anaknya gak ada yang ngurus apa gimana yah, tega banget, kaya raya tapi gak bisa ngurus orangtua.
Jam 16.30, mending kumandiin aja ah, biar seger dikit.
“Nyonya, mandi dulu ya?” Tanyaku.
Nyonya Rabiah hanya diam, tatapannya kosong. Biarin aja, mau kumandiin, aku ndak betah melihatnya.
“Maaf ya Nyonya, Nyonya akan saya mandikan, saya ndak mau tidur dengan orang yang terlihat jorok, bau dan juga biar Nyonya terlihat seger dan cantik. Nyonya kan aslinya sangat cantik, seperti ehm, orang Arab. Hehehe, dan saat ini Nyonya terlihat kumal, kucel, dan bau.” Ucapku lagi.
Nyonya Rabiah tetap tidak bergeming.
Ah, yang penting sudah izin.
Segera kupersiapkan alat mandinya, kusiapkan kursi untuk duduk di kamar mandi. Untung ada yang khusus air panas, jadi aku tak perlu ke dapur. Kebetulan aku juga sudah pengalaman mengurus orang seperti Nyonya Rabiah, dulu aku yang mengurus Nenekku saat terkena stroke.
Kubuka bajunya satu persatu, dan juga pampersnya (Ini bukan porno yah), kubuka kerudungnya dan Astaga, aku terbelalak…
“Nyonya, Nyonya banyak kutunya? Ya ampun Nyonya, hi… nggilani (menjijikkan, menggelikan) Nyonya, gimana sih Nyonya, memangnya Nyonya ndak diurus sama anak-anak Nyonya? Bisa sampai kutunya banyak banget kayak gini, anak durhaka semua, aduh… aku jadi ikutan gatel ini.” Kataku, aku bener-bener kaget.
Aku bergidik, dirambut Nyonya mungkin ratusan kutu, juga ribuan telur kutu, rambutnya lengket dan bau, wah ndak bisa kubiarkan.
Aku mulai menyiram badannya, pertama dari kaki dulu kemudian ke atas dan seluruh badannya, kepalanya ku siram. Agak gelagapan sih, kemudian tangan kirinya menyeka wajahnya, mungkin ada air yang masuk ke matanya. Wah, lumayan, beliau merespon.
Setelah kuguyur, ku sabun semua badan.
“Andai Nyonya adalah pakaian, mungkin Nyonya sudah saya rendam dengan bayklin, setelah itu saya rendam lagi dengan R…so sehari semalam agar semua kotoran pada luntur Nyonya, hehehe,” kataku sambil terus menggosok badannya dengan sabun dan menyampo rambutnya.
Kuuyek rambutnya dengan kain putih, jiahhhaaa kutunya nempel semua di kain, hiaaa geli. Aku masih bergidik melihat banyaknya kutu. Wah, besok aku minta ke Simbok untuk beli serit (sisir kutu).
Setelah kubilas, dan kurasa sudah bersih, kulap dengan handuk dan kulingkarkan handuk kebadannya, kutuntun dan agak sedikit kugendong, Nyonya Rabiah ke arah kursi dekat kasur, lalu kupakaikan baju, kusisir rambutnya rapi, dan ku beri sedikit polesan bedak baby punyaku.
“Wah… cantik deh, Nyonya terlihat seger. Oya Nyonya, ini rambut, besok pagi kupotong ya, biar enak dan gak risih dan kutunya bisa ilang,” kataku.
Masih tidak merespon. Aku ndak tahu, sebenarnya dia mendengar atau tidak, tapi kalau kulihat dimatanya ada gurat kesedihan. Ya Allah, kasihan…
“Nyonya, Nyonya sudah makan apa belum? Aku ambilkan makan ya?" Tanyaku, dia hanya menatapku, lumayan, ada respon.
“Tunggu ya, aku ke dapur dulu.” Lanjutku.
Aku menuju dapur untuk mengambil nasi. Rupanya Simbok masak sayur sop ayam, goreng tempe dan sambel kecap.
Kuambil nasi secukupnya, sayur sop dan tempe, lalu aku kembali ke kamar.
Sesampainya di kamar, aku sedikit kaget, rupanya ada Tuan Khalil.
Aku langsung masuk dan mendekat ke Nyonya Rabiah.
“Makan ya Nyah, saya suapin, buka mulutnya,” kataku.
Alhamdulillah Nyonya respon, dengan lahap dia memakan makanan yang kuberikan hingga habis, kuberi minum lalu kubawa di depan TV. Kustelkan TV acara sinetron di stasiun ikan terbang, sepertinya beliau suka. Ya Alloh, apakah Beliau kelaparan?
Tuan Khalil memperhatikan dengan seksama semua gerakan ku saat aku mengurus Umminya. Masih dengan tatapan dingin.
“Tuan Khalil, maafkan kelancangan saya, tapi, saya tidak dapat menyembunyikan keheranan saya. Memangnya selama ini, Tuan dan Nyonya Siska tidak bisa mengurus Nyonya Rabiah,” kataku sedikit sinis, tanganku kutelungkupkan di depan dada.
“Sungguh miris, jika saya jadi Nyonya Rabiah, tentu saya akan melaknat anak-anak nya.” Lanjutku lagi.
Aku sedikit emosi. Aku hanya merasa sedih.
Tuan Khalil sedikit melotot, giginya berbenturan dan tangannya mengepal.
“Diam kamu Udik, itu bukan urusanmu, tugasmu hanya mengurus Ummiku,” jawabnya dengan nada tinggi tapi tertahan, mungkin takut Umminya mendengar.
“Aku tidak bisa diam! Aku memang pembantu, tapi aku juga manusia yang punya hati! Tahukah Tuan, begitu saya melihat Nyonya, aku ingin menangis,” ucapku sambil melotot ke arah Tuan Khalil.
“Badan bau, baju apek, kucel, badannya penuh daki, rambutnya penuh kutu, Pampers nya mungkin ndak diganti dari pagi, miris bukan? Saya saja yang hanya pembantunya, nggrantes Tuan!” Lanjutku lagi, kugeleng gelengkan kepalaku.
Tuan Khalil hanya diam saja.
“Sekarang, ciumlah Umminya Tuan, bersih, wangi dan lebih segar. Pampers kuganti setiap 2 jam sekali,” lanjutku lagi.
Rasanya mulutku tak bisa diam untuk mengomel. Bodo amatlah, aku tak peduli jika Tuan Khalil marah, atau bahkan memecatku.
Tak berapa lama setelah aku omeli, dia berjalan ke arah Ibunya, dipeganglah tangannya dan dicium penuh takzim.
Heran, kalau sama aku bisa galak, judes, dingin, begitu sama Ibunya, bisa sangat manis, ramah sopan, bahkan kata-katanya begitu lembut. Apakah dia punya kepribadian ganda? OMG, kutepuk jidatku.
“Ummi, ummi pingin apa? Pingin cincin, kalung, gelang, baju, atau apa Mi, katakan Mi, akan Khalil penuhi,” tanya Khalil pada Umminya sembari masih memegang tangannya.
“Hey Tuan, Nyonya ndak butuh itu, tapi butuh kasih sayang dan perhatian,” kataku dengan nada judes.
“Harta bukan segalanya,” lanjutku lagi, masih dengan nada sinis.
Mumpung di depan Nyonya Rabiah, ku skakmat saja, biarin, puass.
Dia hanya memandangku dan melotot.
“Baiklah Ummi, Khalil keluar dulu ya.” Dikecupnya kening Ibunya, lalu keluar, masih dengan memelototi ku.
Aku tak peduli.
Orang apa batu….
==========
Adzan Maghrib berkumandang, aku bersiap untuk sholat. Kulihat Nyonya Rabiah masih asyik nonton TV.
“Nyonya, saatnya sholat, TV dimatikan ya, nanti Nyonya kubimbing.”
Beliau mengangguk antusias. Seperti ada rasa dahaga akan kerinduan pada Sang Pencipta.
“Mari Nyonya kita ambil wudhu.”
Aku memapahnya ke kamar mandi, kubimbing untuk wudhu, setelah itu, kupapah lagi ke kamar dan kududukkan ke kursi menghadap kiblat. Kupakaikan mukena.
“Tunggu ya Nyah, aku wudhu dulu.”
Aku bergegas mengambil air wudhu, setelah itu sholat bersama, aku sebagai Imamnya. Setelah itu berdoa dan aku tilawah. Kulihat Nyonya menitikkan air mata, entah apa yang dipikirkan, tapi aku tak berani menanyakan, biarlah…
“Nyonya, untuk selanjutnya, nanti Nyonya saya bimbing sholat ya.” Kataku.
“Dan nanti Nyonya harus mulai belajar tidak bergantung dengan kursi roda, juga tidak bergantung dengan diapers.” Lanjutku.
Diapun mengangguk.
Alarm pagi berbunyi tepat jam 04.00, sengaja ku stel lebih awal agar waktunya cukup untuk memandikan Nyonya dan tidak kesiangan untuk Subuhan.
Kubangunkan Nyonya untuk mandi, sepertinya agak malas, tapi kupaksa dan akan kubiasakan.
Kupapah ke kamar mandi, kubuka pakaiannya dan
“Owh Nyonya, Nyonya tidak mengompol? Berarti besok ndak perlu pakai diapers lagi ya,” kataku senang.
Nyonya Rabiah mengangguk.
Kumandikan beliau, kusiram dari bawah hingga atas, tak lupa ku shampoo agar kutu rambutnya cepat hilang.
Setelah itu, kupapah lagi ke kamar, kupakaikan baju, kubedakin agar terlihat segar dan wangi, lalu kupakaikan mukena. Kududukkan di kursi menghadap kiblat, sambil menunggu adzan Subuh, kustelkan murottal. Sementara itu aku bergegas mandi.
Kali ini aku berencana jalan-jalan ke Bundaran, akan kuajak Nyonya Rabiah, dan kuajarkan berjalan. Aku yakin suatu hari nanti Nyonya Rabiah bisa sembuh, sebab dilihat dari penyakitnya, sepertinya masih ada harapan. Hanya anak-anaknya saja yang malas untuk merawatnya. Kasihan.
Aku keluar kamar bersama Nyonya Rabiah, kudorong kursi roda menuju meja makan, waktunya sarapan, kulihat Nyonya Siska dan Tuan Khalil sedang menikmati sarapan.
Tuan Khalil dan Nyonya Siska memandang ke arah kami. Pandangan Nyonya Siska hanya datar, berbeda dengan Tuan Khalil, sepertinya ada rasa senang. Dia menyambut Ibunya dan menyalaminya serta mencium keningnya.
“Ummi baik-baik saja? Hari ini Ummi terlihat lebih segar dan bersemangat.” Kata Tuan Khalil sambil jongkok di depan kursi roda.
Nyonya Rabiah mengangguk-anggukkan kepala, sambil tersenyum. Tangan kirinya mengelus kepala Tuan Khalil.
Sementara itu aku menghampiri Mbok Tinah.
“Mbok, nanti kalau ke pasar, aku nitip serit ya, itu lho, sisir yang buat kutu,” kataku kepada Mbok Tinah.
“Buat siapa San, siapa yang banyak kutunya,” jawab si Mbok sedikit kaget.
“Buat Nyonya Rabiah, kutunya buanyak banget, pagi ini rambutnya mau kupotong juga.” Jawabku.
Nyonya Siska yang sedang sarapan, tiba-tiba menghentikan sarapannya, kemudian menggebrak meja, lalu berlalu pergi.
Aku dan Simbok heran dan saling pandang.
“Hey, kalau kalian mau ngebahas soal kutu, jangan disini! Jangan di meja makan, menjijikkan, jadi hilang selera makanku, hoek.” Kata Nyonya Siska emosi sambil melepehkan (memuntahkan) makanannya.
Aku dan Simbok berpandangan, sementara Tuan Khalil memandangi kami berdua tanpa ekspresi. Nyonya Rabiah sedikit merengut.
Astaghfirullahal’adziim… Aku menggeleng-gelengkan kepala. Lalu aku mengalihkan pembicaraan.
“Nyonya, kita jalan-jalan yuk, eh tapi kita sarapan dulu ya.” Kataku sambil mendorong Nyonya mendekat ke meja makan.
Kuambilkan piring dan sendok, lalu kutawarkan, mau makan pakai apa. Kutunjuk satu persatu lauk dan sayur, akhirnya sarapan pakai balado telur dan mie goreng.
Kusuapi Nyonya Rabiah hingga habis tak bersisa.
“Alhamdulillah... habis.”
Lalu ku lap mulut Nyonya dengan tisu. Rupanya Tuan Khalil memperhatikan kegiatanku menyuapi Umminya dari awal sampai akhir, sampai tak menyadari bahwa Nyonya Siska memanggil-manggilnya.
“Sayang, ayo… lama amat sih, ngapain aja,” teriak Nyonya Siska dari depan ruang keluarga, karena memang meja makan terhubung dengan ruang keluarga.
Tuan Khalil pun berlalu dari meja makan dan sebelum itu, dia mencium punggung tangan Umminya.
Kubawa Nyonya Rabiah ke bundaran depan Perumahan. Karena hari Senin, maka tak seramai hari libur atau hari Minggu. Kuajak berkeliling, sambil sesekali kuajak berdiri dan jalan sendiri. Tangan kanannya yang sudah matirasa ku gerak-gerakkan seperti terapi, hingga jam 10.00 kujemur.
Hampir tiap hari kulakukan hal seperti itu hingga beberapa bulan sampai Alhamdulillah Nyonya Rabiah sudah bisa berjalan sendiri tanpa bantuan. Tangan kanannya pun sudah sedikit normal.
Dia juga sudah mau sedikit-bicara hingga suatu malam setelah sholat Isya kulihat dia menangis.
“Ada apa Nyonya, kenapa menangis?” Tanyaku.
Kutanya seperti itu, tangisnya semakin menjadi. Kupeluk dan kuelus pundaknya.
Selama beberapa bulan mengurusnya, aku merasa dia seperti Ibuku, meski aku sangat cerewet terkadang suka memaksa untuk berdiri atau melakukan sesuatu hal, tapi membuahkan hasil.
Nyonya Rabiah sudah mulai normal.
Dengan terbata-bata dan cara bicaranya masih celo (cedal) Nyonya Rabiah menjawab.
“Sani, terimakasih kamu sudah merawatku, kamu juga sudah menyadarkanku bahwa selama ini aku salah.”
“Memang kenapa Nyah,” balasku.
Ku tatap matanya, ada bulir bening yang mengalir.
“Selama ini, aku hanya mencari harta, aku tidak mendidik anak-anakku dengan baik, yang kupikir, yang penting ada uang, dan uang adalah sesegalanya. Kini, mereka berhasil dalam karir, tetapi tidak ada yang peduli dengan ku.”
Pecah tangis Nyonya Rabiah. Tak terbendung air matanya. Perasaan yang ada dihati dikeluarkan semua dalam tangisnya.
“Dan kesalahanku lagi adalah, aku memiliki menantu yang juga tak menghargai ku. Menurut dia, semua diukur dengan uang. Segalanya uang, uang dan uang.
Selama aku sakit, tak ada yang mengurusku, mereka sibuk masing-masing, aku diserahkan ke pembantu, tapi semua tidak ada yang bener. Hanya kamu yang baik padaku, Sani.” Lanjut Nyonya Rabiah masih dengan terisak.
Aku hanya mengangguk.
“Tolong jangan katakan ke mereka kalau aku sudah mulai normal,” katanya Nyonya Rabiah.
Jawabku masih dengan mengangguk.
“Nyonya, jika Nyonya sudah sehat, saya mengundurkan diri saja ya Nyonya, Saya mau cari kerja yang lain yang sesuai bidang saya, lagipula saya tidak mau makan gaji buta,” kataku.
“Tidak Sani, aku suka denganmu, kamu perempuan yang baik, kamu yang menyadarkanku akan keagungan Alloh, kamu merawatku dengan sabar meski terkadang kamu cerewet. Dan aku tak akan membiarkan mu pergi.” Ucap nyonya Rabiah mengharap.
“Berapa gaji yang kamu terima tiap bulan, nanti aku tambah, asal kamu tetap disini,” lanjutnya.
Aku diam dan berfikir. Jika aku melihat sikap dan tingkah laku Tuan Khalil dan Nyonya Siska, rasanya pingin pergi dari sini, tapi melihat kondisi Nyonya Rabiah, kasihan juga, meski dia sudah agak normal, tapi di rumah tidak ada yang peduli padanya. Hmmmm…
Bersambung #3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel