Cerita Bersambung
Aku tercengang tidak percaya dengan apa yang dikatakan dokter. Ternyata aku positif hamil. Benarkah? Oh Alloh. Sementara Mas Khalil spontan membopongku dan menciumiku tanda bahagia.
“Dok, apa ini benar?” Tanyaku pada Dokter.
Aku belum percaya, karena yang kutahu, pernikahan Mas Khalil sebelumnya selama 10 tahun, belum memiliki momongan.
“Iya Nyonya, ini saya buatkan rujukan ke Dokter Ratna, beliau Dokter Specialist kandungan.
Nanti Nyonya USG untuk mengetahui usia kehamilan. Dan Anda Tuan Khalil, ehm… kenapa selang infusnya dicopot, lihatlah darah Anda mengucur.” Kata dokter sambil senyum dan geleng-geleng kepala. Lalu menyuruh perawat untuk membenahi.
“Ini resep obat untuk Anda Tuan Khalil,” lanjut dokter.
Kulihat dimatanya ada binar kebahagiaan.
“Dok, saya mau tanya, kenapa yang mengalami morning sick itu saya? Kok bukan istri saya?” Tanya Mas Khalil.
Aku mendelik dan menimpali.
“Biar Mas bisa merasakan nikmatnya hamil.” Jawabku sambil melet.
Dia menangkapku dan memelukku. Aku meronta.
“Hay kalian apa gak malu, ini Rumah sakit, kalau mau mesra-mesraan ya di rumah.” Sela Ummi sambil menjewer telinga Mas Khalil.
Kami semua tertawa.
“Dalam kondisi tertentu, ada kasus dimana sang suami yang mengalami morning sick. Tapi tidak apa-apa, kondisi ini biasanya akan hilang jika usia kandungan memasuki 4 bulan.” Kata Pak Dokter menjelaskan.
Mas Khalil membelalakkan matanya.
“Apa? Jadi aku akan mengalami hal seperti ini selama 4 bulan, wah… Eh, tapi gak mengapa Dok, biar aku saja yang mengalami.” Kata Mas Khalil.
Owh, so sweet. Namun kasihan juga kalau tiap hari dia harus mengalami hal seperti itu. Namun ya gimana lagi.
“Baik, saya kembali ke ruangan. Nyonya Khalil, ini surat rujukannya.” Kata dokter sambil menyerahkan surat rujukan padaku. Dan ini resep obat untuk Tuan Khalil.
Setelah itu Pak Dokter kembali keruangannya.
Disini hanya ada kami bertiga. Kubelai rambut suamiku.
“Mas, maafkan atas sikapku kemarin di rumah ya Mas, aku tak akan menuntutmu, percayalah bahwa aku takkan kembali ke Mas Prayit.”
Dia mengangguk dan tersenyum.
“Sani, mari ke dokter Ratna. Beliau dokter specialis kandungan langgananku dan Siska dulu.” Ajak Mas Khalil.
“Nanti aja Mas, nunggu Mas sembuh dulu.”
“Morning sick itu gak akan sembuh sayangku,” jawabnya sambil menyentuh hidungku.
“Ehm, setidaknya tunggu sampai Mas pulang, ok, aku ingin kita sama-sama melihat buah cinta kita.” Jawabku.
Dia mengangguk, Ummipun setuju dengan yang kuucapkan.
“Sekarang apa yang kamu rasakan Khalil,” tanya Ummi.
“Aku mendadak sembuh Ummi, begitu aku dengar bahwa Sani hamil. MasyaAlloh.” Jawab Khalil.
***
Keesokan harinya, Mas Khalil diperbolehkan pulang. Sebelum pulang, kami ke poly kandungan. Setelah ambil antrian, kami menunggu hingga nomer kami dipanggil.
Saat mau masuk, aku kaget, rupanya Siska keluar dari ruangan. Wajahnya tampak sedih, kenapa? Ada apa? Aku sempat menyapanya, tapi dia tidak mempedulikan kami. Akhirnya aku masuk ruangan dan bertemu dokter Ratna.
“Pagi Dok,” sapaku.
Dia tersenyum,
“Pagi juga, silakan duduk.” Jawabnya.
Aku duduk di kursi ditemani Mas Khalil. Kuberikan surat rujukan dari Dokter Fredy.
“Berdasarkan keterangan ini, perkiraan usia kehamilan Nyonya adalah sepuluh minggu, dan perkiraan melahirkan adalah tanggal 17 di bulan Mei.” Aku dan Mas Khalil saling pandang, dia merangkul dan mencium keningku.
MasyaAlloh… berarti sekitar tujuh setengah bulan lagi si kecil akan lahir.
Setelah itu Dokter Ratna menanyakan keluhan dan apa yang kurasakan. Aku bilang bahwa aku tak memiliki keluhan, yang memiliki keluhan adalah Mas Khalil, bahkan kuceritakan bahwa Mas Khalil baru saja dirawat, dan Bu Dokter tertawa.
Kata Bu Dokter bahwa ada kondisi dimana sang suami yang akan merasakan morning sick. Dan penjelasannya sama persis seperti yang dijelaskan oleh Dokter Fredy.
Setelah itu aku di USG, dan hasilnya sudah terlihat ada kantong bayinya. Tampak Mas Khalil meneteskan air mata dan mengelus perutku serta menciumnya.
“Nyonya, Tuan, janinnya sangat sehat. Meski tidak mengalami morning sick, Nyonya tetap tidak boleh banyak aktivitas, jangan stres, ini vitamin dan penambah darah, sebulan lagi kesini untuk periksa yah.”
Kami mengangguk.
“Eh iya Dok, saya mau tanya. Tadi saya melihat Nyonya Siska keluar ruangan ini dengan perasaan sedih, kira-kira kenapa Dok.” Tanyaku penasaran.
“Maaf Nyonya, ini privacy kami, dan saya tidak dapat menceritakannya.”
“Owh, baiklah, kami permisi dan terimakasih.”
Akhirnya kami pulang.
Semenjak hamil, Khalil memperlakukanku dengan sangat istimewa. Dia sangat memanjakanku, aku tidak diperbolehkan beraktivitas. Biasanya aku memasak, dan bantu-bantu Mbok Tinah, sekarang sama sekali tidak diperbolehkan.
***
“Mas, kamu terlalu berlebihan, aku sangat bosan jika hanya makan tidur doang, nanti aku gemuk, kalau gemuk jadi gak cantik, nanti kamu gak mau lagi denganku.” Ucapku sambil bergelayut manja dipangkuannya.
“Ini demi kebaikan kamu sayang. Kata siapa kalau gemuk terus gak cantik, justru ketika kamu hamil, kamu malah terlihat sangat seksi dan menarik. Kamu tampak berisi.” Jawabnya sambil mengecup hidungku.
“Eh, aku lupa nanya sama Dokter Ratna, kalau hamil muda, bolehkah kita pacaran? Pingin.” Lanjut Mas Khalil.
Ish, lagi mabok sempat-sempatnya mikir kayak gitu.
“Mas kan lagi mabok.” Ucapku.
Namun entah mengapa, aku merasa hasrat dan gairahku meningkat ketika hamil. Apa pengaruh hamil? Aku pernah baca bahwa ada yang ketika hamil, justru hasrat untuk berhubungan dengan pasangan malah meningkat. Tepok jidat.
“Iya sayang, tapi anehnya di jam-jam tertentu. Biasanya mualnya kalau bangun tidur dan sore hari. Dan setelah minum obat, mualnya reda. Dan malam ini...”
Dan malam ini, akupun menginginkannya. Hasratku menggebu.
“Ini resep obat untuk Anda Tuan Khalil,” lanjut dokter.
Kulihat dimatanya ada binar kebahagiaan.
“Dok, saya mau tanya, kenapa yang mengalami morning sick itu saya? Kok bukan istri saya?” Tanya Mas Khalil.
Aku mendelik dan menimpali.
“Biar Mas bisa merasakan nikmatnya hamil.” Jawabku sambil melet.
Dia menangkapku dan memelukku. Aku meronta.
“Hay kalian apa gak malu, ini Rumah sakit, kalau mau mesra-mesraan ya di rumah.” Sela Ummi sambil menjewer telinga Mas Khalil.
Kami semua tertawa.
“Dalam kondisi tertentu, ada kasus dimana sang suami yang mengalami morning sick. Tapi tidak apa-apa, kondisi ini biasanya akan hilang jika usia kandungan memasuki 4 bulan.” Kata Pak Dokter menjelaskan.
Mas Khalil membelalakkan matanya.
“Apa? Jadi aku akan mengalami hal seperti ini selama 4 bulan, wah… Eh, tapi gak mengapa Dok, biar aku saja yang mengalami.” Kata Mas Khalil.
Owh, so sweet. Namun kasihan juga kalau tiap hari dia harus mengalami hal seperti itu. Namun ya gimana lagi.
“Baik, saya kembali ke ruangan. Nyonya Khalil, ini surat rujukannya.” Kata dokter sambil menyerahkan surat rujukan padaku. Dan ini resep obat untuk Tuan Khalil.
Setelah itu Pak Dokter kembali keruangannya.
Disini hanya ada kami bertiga. Kubelai rambut suamiku.
“Mas, maafkan atas sikapku kemarin di rumah ya Mas, aku tak akan menuntutmu, percayalah bahwa aku takkan kembali ke Mas Prayit.”
Dia mengangguk dan tersenyum.
“Sani, mari ke dokter Ratna. Beliau dokter specialis kandungan langgananku dan Siska dulu.” Ajak Mas Khalil.
“Nanti aja Mas, nunggu Mas sembuh dulu.”
“Morning sick itu gak akan sembuh sayangku,” jawabnya sambil menyentuh hidungku.
“Ehm, setidaknya tunggu sampai Mas pulang, ok, aku ingin kita sama-sama melihat buah cinta kita.” Jawabku.
Dia mengangguk, Ummipun setuju dengan yang kuucapkan.
“Sekarang apa yang kamu rasakan Khalil,” tanya Ummi.
“Aku mendadak sembuh Ummi, begitu aku dengar bahwa Sani hamil. MasyaAlloh.” Jawab Khalil.
***
Keesokan harinya, Mas Khalil diperbolehkan pulang. Sebelum pulang, kami ke poly kandungan. Setelah ambil antrian, kami menunggu hingga nomer kami dipanggil.
Saat mau masuk, aku kaget, rupanya Siska keluar dari ruangan. Wajahnya tampak sedih, kenapa? Ada apa? Aku sempat menyapanya, tapi dia tidak mempedulikan kami. Akhirnya aku masuk ruangan dan bertemu dokter Ratna.
“Pagi Dok,” sapaku.
Dia tersenyum,
“Pagi juga, silakan duduk.” Jawabnya.
Aku duduk di kursi ditemani Mas Khalil. Kuberikan surat rujukan dari Dokter Fredy.
“Berdasarkan keterangan ini, perkiraan usia kehamilan Nyonya adalah sepuluh minggu, dan perkiraan melahirkan adalah tanggal 17 di bulan Mei.” Aku dan Mas Khalil saling pandang, dia merangkul dan mencium keningku.
MasyaAlloh… berarti sekitar tujuh setengah bulan lagi si kecil akan lahir.
Setelah itu Dokter Ratna menanyakan keluhan dan apa yang kurasakan. Aku bilang bahwa aku tak memiliki keluhan, yang memiliki keluhan adalah Mas Khalil, bahkan kuceritakan bahwa Mas Khalil baru saja dirawat, dan Bu Dokter tertawa.
Kata Bu Dokter bahwa ada kondisi dimana sang suami yang akan merasakan morning sick. Dan penjelasannya sama persis seperti yang dijelaskan oleh Dokter Fredy.
Setelah itu aku di USG, dan hasilnya sudah terlihat ada kantong bayinya. Tampak Mas Khalil meneteskan air mata dan mengelus perutku serta menciumnya.
“Nyonya, Tuan, janinnya sangat sehat. Meski tidak mengalami morning sick, Nyonya tetap tidak boleh banyak aktivitas, jangan stres, ini vitamin dan penambah darah, sebulan lagi kesini untuk periksa yah.”
Kami mengangguk.
“Eh iya Dok, saya mau tanya. Tadi saya melihat Nyonya Siska keluar ruangan ini dengan perasaan sedih, kira-kira kenapa Dok.” Tanyaku penasaran.
“Maaf Nyonya, ini privacy kami, dan saya tidak dapat menceritakannya.”
“Owh, baiklah, kami permisi dan terimakasih.”
Akhirnya kami pulang.
Semenjak hamil, Khalil memperlakukanku dengan sangat istimewa. Dia sangat memanjakanku, aku tidak diperbolehkan beraktivitas. Biasanya aku memasak, dan bantu-bantu Mbok Tinah, sekarang sama sekali tidak diperbolehkan.
***
“Mas, kamu terlalu berlebihan, aku sangat bosan jika hanya makan tidur doang, nanti aku gemuk, kalau gemuk jadi gak cantik, nanti kamu gak mau lagi denganku.” Ucapku sambil bergelayut manja dipangkuannya.
“Ini demi kebaikan kamu sayang. Kata siapa kalau gemuk terus gak cantik, justru ketika kamu hamil, kamu malah terlihat sangat seksi dan menarik. Kamu tampak berisi.” Jawabnya sambil mengecup hidungku.
“Eh, aku lupa nanya sama Dokter Ratna, kalau hamil muda, bolehkah kita pacaran? Pingin.” Lanjut Mas Khalil.
Ish, lagi mabok sempat-sempatnya mikir kayak gitu.
“Mas kan lagi mabok.” Ucapku.
Namun entah mengapa, aku merasa hasrat dan gairahku meningkat ketika hamil. Apa pengaruh hamil? Aku pernah baca bahwa ada yang ketika hamil, justru hasrat untuk berhubungan dengan pasangan malah meningkat. Tepok jidat.
“Iya sayang, tapi anehnya di jam-jam tertentu. Biasanya mualnya kalau bangun tidur dan sore hari. Dan setelah minum obat, mualnya reda. Dan malam ini...”
Dan malam ini, akupun menginginkannya. Hasratku menggebu.
Mas Khalil juga demikian. Dengan penuh cinta dia ciumi seluruh lekuk tubuhku hingga aku merasakan kegelian. Aahh.. aku membalasnya dengan memainkan miliknya yang paling berharga. "ush.. ahh.."
'Rasain..' batinku. Dan..
"Auh.."... aku mendesah saat dia memulainya. semakin lama semakin tak terbendung. "Oouwhh..." tak kuasa mulutku bersuara.
Akhirnya.."Sshh.. Aahh.." Mas Khalil mensudahinya.
Kami sama sama mencapai puncak dalam naungan cinta.
***
Pagi hari…
Di kamar mandi kudengar suara Mas Khalil sedang muntah-muntah. Memang semenjak aku hamil, setiap pagi dia merasa mual dan muntah. Namun setelah minum teh hangat, mualnya reda.
Setelah sarapan, Mas Khalil bersiap kerja.
“Sayang, kita jemput Refan yuk, pasti dia bahagia mau punya adek.” Ucap Mas Khalil tiba-tiba.
Aku terdiam, Refan ndak mau disini, tapi aku akan mencoba bujuk dia lagi.
“Iya Mas, nanti coba kubujuk ya.” Jawabku ragu.
Setelah itu, Mas Khalil pamit. Semenjak mengalami morning sick, badannya agak kurusan, tapi tetep mempesona ku.
Kutelpon Ibu, ingin rasanya kuceritakan semua, hanya sama Ibu aku berbagi rasa.
‘Assalaamualaikum… Ibu, pie kabare?’
_‘Waalaikumsalam… apik Nduk, lha awakmu pie.’_ Jawab Ibu diseberang sana.
‘Alhamdulillah baik dan sehat. Oh iya, Refan bagaimana Bu.’
_‘Dia sudah seperti sedia kala, makannya banyak. Si Prayit sering kesini, jadi Refan tidak kesepian.’_
Sebenarnya ndak masalah kalau Mas Prayit sering mengunjungi Refan, cuma yang aku takutkan nanti Mas Prayit mempengaruhi Refan untuk membenci suamiku.
‘Owh gitu. Mas Khalil pingin jemput Refan Bu, bisakah Ibu membujuknya, kemarin ndak mau kuajak.’
_‘Nanti Ibu coba, oh ini nih anaknya. Refan, ini Ibu, Ibumu mau bicara.’_ Kata Ibu.
Sepertinya ada Refan, tak sabar aku ingin bicara.
_‘Hallo Bu.’_
‘Hallo sayang, Refan anak Ibu ganteng, apakabar dan sedang apa?’ Tanyaku.
_‘Refan baik-baik saja Bu, ini habis main.’_ Jawabnya polos.
‘Sayang, InsyaAlloh besok Ibu sama Ayah Khalil mau jemput kamu, Ibu ingin kamu tinggal bareng sama Ibu dan Ayah. Nanti Refan sekolah disini.’
_‘Refan gak mau Bu, Refan mau disini saja.’_ Jawab Refan.
Kenapa anak ini tidak mau.
‘Iya tapi kenapa sayang…’ Tanyaku.
_‘Bapak tiri galak, judes, gak pinter ngaji, aku mau sama Bapak Prayit saja. Sudah ya Bu...’_ Jawab Refan.
Rupanya pendiriannya tak berubah, ini pasti pengaruh Mas Prayit. Agaknya memang aku harus menjemputnya bareng Mas Khalil.
==========
Aku sudah tak sabar ingin segera pulang. Aku penasaran, mengapa anakku berubah total. Mengapa dia begitu benci dengan Mas Khalil. Apakah ini pengaruh dari Mas Prayit? Tak bisa kubiarkan.
Malam ini…
“Mas, sepertinya kita harus segera pulang, kita jemput Refan, aku khawatir disana terpengaruh dengan Mas Prayit.”
“Baik, bagaimana kalau besok pagi, aku akan cuti untuk beberapa hari.”
Aku mengangguk.
Keesokan harinya, aku dan Mas Khalil pergi ke Jogja. Kami naik mobil pribadi, tetapi bawa sopir
Pagi hari…
Di kamar mandi kudengar suara Mas Khalil sedang muntah-muntah. Memang semenjak aku hamil, setiap pagi dia merasa mual dan muntah. Namun setelah minum teh hangat, mualnya reda.
Setelah sarapan, Mas Khalil bersiap kerja.
“Sayang, kita jemput Refan yuk, pasti dia bahagia mau punya adek.” Ucap Mas Khalil tiba-tiba.
Aku terdiam, Refan ndak mau disini, tapi aku akan mencoba bujuk dia lagi.
“Iya Mas, nanti coba kubujuk ya.” Jawabku ragu.
Setelah itu, Mas Khalil pamit. Semenjak mengalami morning sick, badannya agak kurusan, tapi tetep mempesona ku.
Kutelpon Ibu, ingin rasanya kuceritakan semua, hanya sama Ibu aku berbagi rasa.
‘Assalaamualaikum… Ibu, pie kabare?’
_‘Waalaikumsalam… apik Nduk, lha awakmu pie.’_ Jawab Ibu diseberang sana.
‘Alhamdulillah baik dan sehat. Oh iya, Refan bagaimana Bu.’
_‘Dia sudah seperti sedia kala, makannya banyak. Si Prayit sering kesini, jadi Refan tidak kesepian.’_
Sebenarnya ndak masalah kalau Mas Prayit sering mengunjungi Refan, cuma yang aku takutkan nanti Mas Prayit mempengaruhi Refan untuk membenci suamiku.
‘Owh gitu. Mas Khalil pingin jemput Refan Bu, bisakah Ibu membujuknya, kemarin ndak mau kuajak.’
_‘Nanti Ibu coba, oh ini nih anaknya. Refan, ini Ibu, Ibumu mau bicara.’_ Kata Ibu.
Sepertinya ada Refan, tak sabar aku ingin bicara.
_‘Hallo Bu.’_
‘Hallo sayang, Refan anak Ibu ganteng, apakabar dan sedang apa?’ Tanyaku.
_‘Refan baik-baik saja Bu, ini habis main.’_ Jawabnya polos.
‘Sayang, InsyaAlloh besok Ibu sama Ayah Khalil mau jemput kamu, Ibu ingin kamu tinggal bareng sama Ibu dan Ayah. Nanti Refan sekolah disini.’
_‘Refan gak mau Bu, Refan mau disini saja.’_ Jawab Refan.
Kenapa anak ini tidak mau.
‘Iya tapi kenapa sayang…’ Tanyaku.
_‘Bapak tiri galak, judes, gak pinter ngaji, aku mau sama Bapak Prayit saja. Sudah ya Bu...’_ Jawab Refan.
Rupanya pendiriannya tak berubah, ini pasti pengaruh Mas Prayit. Agaknya memang aku harus menjemputnya bareng Mas Khalil.
==========
Aku sudah tak sabar ingin segera pulang. Aku penasaran, mengapa anakku berubah total. Mengapa dia begitu benci dengan Mas Khalil. Apakah ini pengaruh dari Mas Prayit? Tak bisa kubiarkan.
Malam ini…
“Mas, sepertinya kita harus segera pulang, kita jemput Refan, aku khawatir disana terpengaruh dengan Mas Prayit.”
“Baik, bagaimana kalau besok pagi, aku akan cuti untuk beberapa hari.”
Aku mengangguk.
Keesokan harinya, aku dan Mas Khalil pergi ke Jogja. Kami naik mobil pribadi, tetapi bawa sopir
mengingat keadaan Mas Khalil yang sedang mengalami morning sick, khawatir terjadi sesuatu.
Malam hari kami baru sampai. Kami disambut Bapak sama Ibu juga Refan.
Kami masuk rumah, aku meletakkan barang-barangku di kamar. Setelah bebersih lalu makan malam dan kamipun ngobrol di ruang keluarga dengan santai.
“Refan, Ibu kesini ingin menjemput Refan, Ibu ingin Refan nanti ikut Ibu ke Jakarta dan sekolah disana.” Ucapku pada Refan.
Sambil mainan mobil-mobilan mini, dia menjawab,
“Ndak mau Bu, kan udah dibilang kalau Refan mau disini saja, Refan mau nemenin Embah.”
Ya Alloh, Refan kekeh sekali kamu.
“Refan, Mbah disini berani kok, kalau Refan ikut Ibuk nanti Ibu belikan banyak mainan lho.” Kata Ibuku.
Refan tetap menggeleng. Aku hanya menarik nafas panjang.
“Refan, besok kita jalan-jalan ke Malioboro yuk, nanti Refan mau beli apapun, ayah akan belikan.” Kata Mas Khalil tiba-tiba.
Tiba-tiba Refan berdiri, wajahnya tampak tidak suka.
“Enggak mau,” jawabnya lalu berlalu dan pergi menuju kamar.
Aku hanya menelan salivaku, segitunya dia benci Mas Khalil, pengaruh apa yang sudah Mas Prayit berikan ke Refan.
“Bu, kenapa Refan bersikap seperti itu? Apakah Mas Prayit sering kesini?” Tanyaku sama Ibu.
“Memangnya Ibu tidak mengawasinya?” lanjutku.
Aku sedikit emosi, bukan ke Ibu, tapi ke Mas Prayit.
“Iya, Prayit sering kesini, bahkan tiap hari. Dia sering mengajak jalan-jalan, makan diluar atau sekedar main disekitar rumah. Namun Ibu gak tahu apa yang dia katakan ke Refan, Ibu hanya berfikir bahwa Refan adalah anaknya Prayit juga, jadi ada hak bagi Prayit untuk mengunjungi anaknya.” Ucap Ibu
Benar juga yang dikatakan Ibu, aku harus bicara sendiri ke Mas Prayit agar tidak mempengaruhi Refan dengan hal-hal yang buruk.
Ah, pikirkan nanti aja, lebih baik aku ngasih tahu ke Bapak sama Ibuk kalau aku lagi hamil.
“Pak, Buk, Alhamdulillah Sani hamil, udah dapat 10 Mingguan.” Ucapku tiba-tiba.
Mereka berdua terkejut dan memelukku.
“Alhamdulillah Sani, selamat… Bapak mau punya cucu lagi,” ucap bapak bahagia.
Mas Khalil tersenyum.
“Maaf ya, bukankah katanya Nak Khalil telah divonis tidak memiliki keturunan?” Tanya Ibu dengan hati-hati.
Sesaat kami semua diam, lalu Mas Khalil angkat bicara.
“Ibu, dulu saya pernah ke dokter spesialis kandungan, aku mengikuti tes kesuburan dan hasilnya bahwa aku normal. Namun entah mengapa pernikahan pertamaku selama 10 tahun tidak dianugrahi momongan, lalu istri pertamaku menuduhku akulah yang mandul. Dia menuduhku mandul karena dia sendiri pernah hamil dan keguguran.” Kata Mas Khalil menerangkan.
Kedua orangtuaku menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
“Lho, tapi kok bisa ndak hamil, padahal Nak Khalil subur kan?” Jawab Ibu.
“Saat menikah denganku, ternyata dia sedang hamil, dia menuduhku aku yang menghamilinya, padahal aku tidak melakukan apapun terhadapnya. Dia menjebakku agar aku dapat menikahinya hanya untuk menutupi kehamilannya. Rupanya di usia empat bulan kehamilan, dia keguguran. Setahun, dua tahun hingga lima tahun pernikahan kami, dia tak kunjung hamil. Aku dituduhnya mandul, lalu saya bilang bahwa bukankah kamu hamil dan itu anakku? Dan dari situlah dia mengaku bahwa dulu yang menghamilinya adalah pacarnya. Nasi sudah menjadi bubur, pernikahan kami terus berlanjut hingga berakhir saat ketahuan dia berselingkuh dengan Robert, pacar lama dia yang pernah menghamilinya. Yang jadi pertanyaanku sekarang, kenapa pernikahanku selama 10 tahun, kami tidak diberikan momongan, padahal aku ternyata subur dan diapun pernah hamil.”
Mas Khalil menjelaskan semua ke kedua orangtuaku tentang pengalaman hidupnya. Aku sendiri juga heran, mengapa Nyonya Siska tidak kunjung hamil. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Mas ingat ndak pas kemarin kita ke Dokter Ratna, kita ketemu Nyonya Siska, kulihat dia begitu sedih dan kecewa.”
Mas Khalil mengingat-ingat sesuatu dan,
“Iya” Jawabnya singkat.
“Sudahlah, yang sudah ya sudah, kenyataannya sekarang kalian sudah diberi amanah, jaga dan rawatlah dengan baik.” Kata Ayah.
Kami berdua mengangguk.
“Oya Sani, Ayah sebenarnya sudah tahu rencana Prayit terhadapmu, tapi Ayah belum sempat bicara padamu karena memang belum ada waktu yang tepat. Sani, sebaiknya kamu beri ketegasan pada Prayit, bahwa pernikahan bukanlah mainan. Meski alasan dia adalah demi Refan dan juga karena Khalil mandul, namun kenyataannya sekarang kamu hamil. Dan mungkin juga dialah yang mempengaruhi Refan agar benci Khalil.” Lanjut Ayah.
Tepat sekali dengan pemikiran ku. Besok akan kuselesaikan semua urusanku dengan Mas Prayit, akan kuakhiri semua.
“Iya Pak,” jawabku singkat.
“Sekarang istirahatlah, pasti kalian sangat capek karena perjalanan jauh.” Kata Ibu.
Kami menurutinya, aku dan Khalil menuju kamar. Malam ini aku tak dapat memejamkan mata, aku teringat Mas Prayit. Rasanya tak sabar ingin menyelesaikan semua.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan.” Kata Mas Khalil tiba-tiba.
Sepertinya dia tahu kecemasanku, dia membelaiku lembut. Jauh sekali dengan dahulu saat pertama ketemu. Dahulu dia begitu arogan, judes dan dingin. Dan sekarang, ah rasanya nyaaman bila dekat dengannya.
“Mas, aku mau nanya.”
“Tanya saja, kayak sama siapa aja, Hem." Sambil membelai rambutku dan mengecup keningku.
“Ehm, kok dulu Mas Khalil judes banget sih, jutex, sombong dan dingin.”
Dia diam sejenak, lalu tersenyum. Wajahnya mendekat ke wajahku, sembari berbisik.
“Aku sendiri juga bingung dengan sikapku itu, mungkin terbawa suasana kali, hahaha.”
“Aku serius sayang, iih.” Kucubit hidungnya yang mancung itu.
“Ehm, mungkin dulu hidupku terlalu monoton, aku merasa hampa. Saat itu kami hanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Di rumah hanya untuk tidur dan makan saja, hingga akupun tak peduli dengan semuanya, termasuk Ummiku. Dulu bahkan aku sempat ingin memasukkan Ummiku ke panti jompo.”
Dia diam sejenak. Ada sesak didada. Kututup mulutnya dengan satu jari agar tidak dilanjutkan kata-katanya.
“Stop Mas, sudah jangan dilanjutkan.”
“Tidak Sani, itu kan sudah berlalu, dan kali ini aku ingin cerita.” Ungkapnya.
Aku mengangguk, mungkin dia ingin mengungkapkan perasaannya.
“Dan adikku juga tidak sanggup mengurusnya, hingga bertemulah aku denganmu. Awalnya aku meragukanmu, awalnya aku berfikir bahwa kamu hanya butuh uang, tapi nyatanya, MasyaAlloh... Aku tak percaya bahwa Ibuku akan kembali normal, tapi nyatanya bisa. Dari situlah aku mulai penasaran denganmu. Sebenarnya saat itu aku mulai memperhatikanmu, dan pada akhirnya aku tahu bahwa kamu perempuan istimewa. Hingga malam itu, Siska ketahuan selingkuh. Sebenarnya sudah lama aku tahu, tapi aku hanya menyimpannya. Kupikir untuk apa, aku laki-laki tak berguna.”
Owh sweet, rupanya dia memperhatikanku sudah lama, tapi kok sikap judesnya waktu itu masih ada.
“Tapi kenapa Mas masih judes sama aku?”
“Hahaha… mungkin aku belum menyesuaikan diri, ketika kutahu kamu perempuan konyol, aku bisa berubah bukan?”
Ya, aku akui sekarang dia berubah total. Bisa sangat romantis dan mesra, lembut dan hangat.
“Aku juga terpengaruh dengan pasangan. Mungkin dulu Siska seorang yang judes dan kaku, hingga akupun demikian.” Lanjutnya.
“Lalu sekarang?” Tanyaku.
“Kalau sekarang, apa ya, ehm istriku itu konyol, pemberani, tegas, daann pintar di dapur dan di kasur, hahaha.” Jawabnya sambil ngakak.
Ih, kurang ajar tenan, tak cubit hidungnya.
“Ih kok gitu sih Mas, kan aku hanya menurutimu.” Jawabku sedikit manyun.
“Sayang, kamu lupa yah waktu itu, bukankah kamu yang menggodaku malam itu, kamu berdandan kayak ondel-ondel, kamu pakai baju kurang bahan, lalu menggodaku, merayuku, bhaahahaha.”
Aku tersipu mengingat kejadian itu, ah konyol sekali aku. Kok bisa begitu yah. Kututup mukaku, mungkin sudah kayak tomat nih muka.
“Sudah sayang, kita tidur yuk, sudah malam.”
Kualihkan pembicaraan daripada aku semakin malu.
“Memangnya malam ini kamu gak pingin,” godanya.
“Pingin apa.” Tanyaku pura-pura ndak tahu.
“Itu, ah pura-pura gak tahu.” Jawabnya.
“Ish, malu ah pagi-pagi mandi.”
“Mang kenapa, wajar kali.”
“Iya malulah, kan aku lagi hamil.”
“Memang Masalah?”
“Ya enggak sih.”
“Makanya yuk.”
“Ih, kamu gitu banget.”
“Memang kenapa, kan sama istri sendiri.”
“Iya sih.”
“Yuk.”
“Ya udah, yuk.”
“Asyeek. Haha.”
“Ih kamu.”
Mas Khalil lalu merem dan berselimut. Lah katanya tadi kepingin, ini kok malah tidur, gimana sih.
“Katanya pingin, kok aku ditinggal tidur.” Lanjutku sambil membuka paksa matanya.
“Iya sayang, maksudku aku pingin tidur, hahaha”
“Iih, kamu sukanya gitu, ngerjain aku, aku kan istri yang baik, jadi ketika kamu pingin, mau ndak mau ya harus siap. Ketika aku sudah siap, kamunya gitu.”
Aku pura-pura marah, lalu berbalik dan membelakanginya. Dia memelukku dari belakang, dan berbisik di telingaku, aku merinding.
“Besok saja kalau sudah di rumah. Disini ranjangnya terlalu kecil, khawatir ambruk soalnya badanmu sudah agak melar, hahaha.”
Aku ketawa dan berbalik.
“Hahaha, iih kamu jahat.”
Kami sama-sama tertawa. Kudengar suara Ayah berdehem dari luar. Akhirnya kami berhenti. Kami saling memandang dan saling mendekap dalam rasa.
Bahagia…
Bersambung #11
Malam hari kami baru sampai. Kami disambut Bapak sama Ibu juga Refan.
Kami masuk rumah, aku meletakkan barang-barangku di kamar. Setelah bebersih lalu makan malam dan kamipun ngobrol di ruang keluarga dengan santai.
“Refan, Ibu kesini ingin menjemput Refan, Ibu ingin Refan nanti ikut Ibu ke Jakarta dan sekolah disana.” Ucapku pada Refan.
Sambil mainan mobil-mobilan mini, dia menjawab,
“Ndak mau Bu, kan udah dibilang kalau Refan mau disini saja, Refan mau nemenin Embah.”
Ya Alloh, Refan kekeh sekali kamu.
“Refan, Mbah disini berani kok, kalau Refan ikut Ibuk nanti Ibu belikan banyak mainan lho.” Kata Ibuku.
Refan tetap menggeleng. Aku hanya menarik nafas panjang.
“Refan, besok kita jalan-jalan ke Malioboro yuk, nanti Refan mau beli apapun, ayah akan belikan.” Kata Mas Khalil tiba-tiba.
Tiba-tiba Refan berdiri, wajahnya tampak tidak suka.
“Enggak mau,” jawabnya lalu berlalu dan pergi menuju kamar.
Aku hanya menelan salivaku, segitunya dia benci Mas Khalil, pengaruh apa yang sudah Mas Prayit berikan ke Refan.
“Bu, kenapa Refan bersikap seperti itu? Apakah Mas Prayit sering kesini?” Tanyaku sama Ibu.
“Memangnya Ibu tidak mengawasinya?” lanjutku.
Aku sedikit emosi, bukan ke Ibu, tapi ke Mas Prayit.
“Iya, Prayit sering kesini, bahkan tiap hari. Dia sering mengajak jalan-jalan, makan diluar atau sekedar main disekitar rumah. Namun Ibu gak tahu apa yang dia katakan ke Refan, Ibu hanya berfikir bahwa Refan adalah anaknya Prayit juga, jadi ada hak bagi Prayit untuk mengunjungi anaknya.” Ucap Ibu
Benar juga yang dikatakan Ibu, aku harus bicara sendiri ke Mas Prayit agar tidak mempengaruhi Refan dengan hal-hal yang buruk.
Ah, pikirkan nanti aja, lebih baik aku ngasih tahu ke Bapak sama Ibuk kalau aku lagi hamil.
“Pak, Buk, Alhamdulillah Sani hamil, udah dapat 10 Mingguan.” Ucapku tiba-tiba.
Mereka berdua terkejut dan memelukku.
“Alhamdulillah Sani, selamat… Bapak mau punya cucu lagi,” ucap bapak bahagia.
Mas Khalil tersenyum.
“Maaf ya, bukankah katanya Nak Khalil telah divonis tidak memiliki keturunan?” Tanya Ibu dengan hati-hati.
Sesaat kami semua diam, lalu Mas Khalil angkat bicara.
“Ibu, dulu saya pernah ke dokter spesialis kandungan, aku mengikuti tes kesuburan dan hasilnya bahwa aku normal. Namun entah mengapa pernikahan pertamaku selama 10 tahun tidak dianugrahi momongan, lalu istri pertamaku menuduhku akulah yang mandul. Dia menuduhku mandul karena dia sendiri pernah hamil dan keguguran.” Kata Mas Khalil menerangkan.
Kedua orangtuaku menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
“Lho, tapi kok bisa ndak hamil, padahal Nak Khalil subur kan?” Jawab Ibu.
“Saat menikah denganku, ternyata dia sedang hamil, dia menuduhku aku yang menghamilinya, padahal aku tidak melakukan apapun terhadapnya. Dia menjebakku agar aku dapat menikahinya hanya untuk menutupi kehamilannya. Rupanya di usia empat bulan kehamilan, dia keguguran. Setahun, dua tahun hingga lima tahun pernikahan kami, dia tak kunjung hamil. Aku dituduhnya mandul, lalu saya bilang bahwa bukankah kamu hamil dan itu anakku? Dan dari situlah dia mengaku bahwa dulu yang menghamilinya adalah pacarnya. Nasi sudah menjadi bubur, pernikahan kami terus berlanjut hingga berakhir saat ketahuan dia berselingkuh dengan Robert, pacar lama dia yang pernah menghamilinya. Yang jadi pertanyaanku sekarang, kenapa pernikahanku selama 10 tahun, kami tidak diberikan momongan, padahal aku ternyata subur dan diapun pernah hamil.”
Mas Khalil menjelaskan semua ke kedua orangtuaku tentang pengalaman hidupnya. Aku sendiri juga heran, mengapa Nyonya Siska tidak kunjung hamil. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Mas ingat ndak pas kemarin kita ke Dokter Ratna, kita ketemu Nyonya Siska, kulihat dia begitu sedih dan kecewa.”
Mas Khalil mengingat-ingat sesuatu dan,
“Iya” Jawabnya singkat.
“Sudahlah, yang sudah ya sudah, kenyataannya sekarang kalian sudah diberi amanah, jaga dan rawatlah dengan baik.” Kata Ayah.
Kami berdua mengangguk.
“Oya Sani, Ayah sebenarnya sudah tahu rencana Prayit terhadapmu, tapi Ayah belum sempat bicara padamu karena memang belum ada waktu yang tepat. Sani, sebaiknya kamu beri ketegasan pada Prayit, bahwa pernikahan bukanlah mainan. Meski alasan dia adalah demi Refan dan juga karena Khalil mandul, namun kenyataannya sekarang kamu hamil. Dan mungkin juga dialah yang mempengaruhi Refan agar benci Khalil.” Lanjut Ayah.
Tepat sekali dengan pemikiran ku. Besok akan kuselesaikan semua urusanku dengan Mas Prayit, akan kuakhiri semua.
“Iya Pak,” jawabku singkat.
“Sekarang istirahatlah, pasti kalian sangat capek karena perjalanan jauh.” Kata Ibu.
Kami menurutinya, aku dan Khalil menuju kamar. Malam ini aku tak dapat memejamkan mata, aku teringat Mas Prayit. Rasanya tak sabar ingin menyelesaikan semua.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan.” Kata Mas Khalil tiba-tiba.
Sepertinya dia tahu kecemasanku, dia membelaiku lembut. Jauh sekali dengan dahulu saat pertama ketemu. Dahulu dia begitu arogan, judes dan dingin. Dan sekarang, ah rasanya nyaaman bila dekat dengannya.
“Mas, aku mau nanya.”
“Tanya saja, kayak sama siapa aja, Hem." Sambil membelai rambutku dan mengecup keningku.
“Ehm, kok dulu Mas Khalil judes banget sih, jutex, sombong dan dingin.”
Dia diam sejenak, lalu tersenyum. Wajahnya mendekat ke wajahku, sembari berbisik.
“Aku sendiri juga bingung dengan sikapku itu, mungkin terbawa suasana kali, hahaha.”
“Aku serius sayang, iih.” Kucubit hidungnya yang mancung itu.
“Ehm, mungkin dulu hidupku terlalu monoton, aku merasa hampa. Saat itu kami hanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Di rumah hanya untuk tidur dan makan saja, hingga akupun tak peduli dengan semuanya, termasuk Ummiku. Dulu bahkan aku sempat ingin memasukkan Ummiku ke panti jompo.”
Dia diam sejenak. Ada sesak didada. Kututup mulutnya dengan satu jari agar tidak dilanjutkan kata-katanya.
“Stop Mas, sudah jangan dilanjutkan.”
“Tidak Sani, itu kan sudah berlalu, dan kali ini aku ingin cerita.” Ungkapnya.
Aku mengangguk, mungkin dia ingin mengungkapkan perasaannya.
“Dan adikku juga tidak sanggup mengurusnya, hingga bertemulah aku denganmu. Awalnya aku meragukanmu, awalnya aku berfikir bahwa kamu hanya butuh uang, tapi nyatanya, MasyaAlloh... Aku tak percaya bahwa Ibuku akan kembali normal, tapi nyatanya bisa. Dari situlah aku mulai penasaran denganmu. Sebenarnya saat itu aku mulai memperhatikanmu, dan pada akhirnya aku tahu bahwa kamu perempuan istimewa. Hingga malam itu, Siska ketahuan selingkuh. Sebenarnya sudah lama aku tahu, tapi aku hanya menyimpannya. Kupikir untuk apa, aku laki-laki tak berguna.”
Owh sweet, rupanya dia memperhatikanku sudah lama, tapi kok sikap judesnya waktu itu masih ada.
“Tapi kenapa Mas masih judes sama aku?”
“Hahaha… mungkin aku belum menyesuaikan diri, ketika kutahu kamu perempuan konyol, aku bisa berubah bukan?”
Ya, aku akui sekarang dia berubah total. Bisa sangat romantis dan mesra, lembut dan hangat.
“Aku juga terpengaruh dengan pasangan. Mungkin dulu Siska seorang yang judes dan kaku, hingga akupun demikian.” Lanjutnya.
“Lalu sekarang?” Tanyaku.
“Kalau sekarang, apa ya, ehm istriku itu konyol, pemberani, tegas, daann pintar di dapur dan di kasur, hahaha.” Jawabnya sambil ngakak.
Ih, kurang ajar tenan, tak cubit hidungnya.
“Ih kok gitu sih Mas, kan aku hanya menurutimu.” Jawabku sedikit manyun.
“Sayang, kamu lupa yah waktu itu, bukankah kamu yang menggodaku malam itu, kamu berdandan kayak ondel-ondel, kamu pakai baju kurang bahan, lalu menggodaku, merayuku, bhaahahaha.”
Aku tersipu mengingat kejadian itu, ah konyol sekali aku. Kok bisa begitu yah. Kututup mukaku, mungkin sudah kayak tomat nih muka.
“Sudah sayang, kita tidur yuk, sudah malam.”
Kualihkan pembicaraan daripada aku semakin malu.
“Memangnya malam ini kamu gak pingin,” godanya.
“Pingin apa.” Tanyaku pura-pura ndak tahu.
“Itu, ah pura-pura gak tahu.” Jawabnya.
“Ish, malu ah pagi-pagi mandi.”
“Mang kenapa, wajar kali.”
“Iya malulah, kan aku lagi hamil.”
“Memang Masalah?”
“Ya enggak sih.”
“Makanya yuk.”
“Ih, kamu gitu banget.”
“Memang kenapa, kan sama istri sendiri.”
“Iya sih.”
“Yuk.”
“Ya udah, yuk.”
“Asyeek. Haha.”
“Ih kamu.”
Mas Khalil lalu merem dan berselimut. Lah katanya tadi kepingin, ini kok malah tidur, gimana sih.
“Katanya pingin, kok aku ditinggal tidur.” Lanjutku sambil membuka paksa matanya.
“Iya sayang, maksudku aku pingin tidur, hahaha”
“Iih, kamu sukanya gitu, ngerjain aku, aku kan istri yang baik, jadi ketika kamu pingin, mau ndak mau ya harus siap. Ketika aku sudah siap, kamunya gitu.”
Aku pura-pura marah, lalu berbalik dan membelakanginya. Dia memelukku dari belakang, dan berbisik di telingaku, aku merinding.
“Besok saja kalau sudah di rumah. Disini ranjangnya terlalu kecil, khawatir ambruk soalnya badanmu sudah agak melar, hahaha.”
Aku ketawa dan berbalik.
“Hahaha, iih kamu jahat.”
Kami sama-sama tertawa. Kudengar suara Ayah berdehem dari luar. Akhirnya kami berhenti. Kami saling memandang dan saling mendekap dalam rasa.
Bahagia…
Bersambung #11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel