Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 28 Maret 2022

Bukan Sekedar Cinta #11

Cerita Bersambung
Selepas subuh aku membantu Ibu menyiapkan sarapan, sedang Mas Khalil jalan-jalan di sekitar rumah. Memang semenjak menikah, dia belum pernah berkeliling. Kali ini dia ke kebun belakang bersama Bapak.
Tadi Mas Khalil sempat mengajak Refan, tetapi dia tidak mau meskipun dirayu. Sebenci itukah dia dengan Mas Khalil?
Kucari Refan, rupanya sedang bermain mobil-mobilan di teras. Kucoba dekati dia.

“Sayang, sedang apa”? Tanyaku lembut.
Diapun menoleh.

“Sedang main mobil-mobilan Buk.” Jawabnya serius sambil memainkan remote kontrolnya.
“Sayang, besok ikut Ibu dan sekolah disana yah, nanti Ibu belikan mainan yang kamu suka.”
Dia menggeleng.

“Gak mau, aku mau disini aja, aku mau nemenin embah, aku juga gak mau sama Ayah tiri. Ayah tiri itu jahat, sama kayak Mama Endah dulu.”

Aku melongo. Mama Endah itu kan mantan istri mas Prayit.

“Memang kenapa dengan Mama Endah? Apa yang sudah dilakukan Mama Endah sama kamu?” Tanyaku penasaran.
“Mama Endah itu jahat. Dulu aku sering dicubit, aku gak dikasih makan, kupingku dijewer, pokoknya jahat banget, makanya aku gak mau sama Ayah Khalil, takut Ayah Khalil sama seperti Mama Endah.”

Astaghfirullah… rupanya begitu yah, jahat sekali dia. Namun kenapa Mas Prayit manakut-nakuti Refan dan menyamakan Mas Khalil seperti Endah. Wah, kurang ajar sekali.

“Sayang, Ayah Khalil itu berbeda dengan Mama Endah. Ayah Khalil itu baik banget, lemah lembut dan juga penyayang. Coba perhatikan, apakah Ayah Khalil pernah mencubit atau memarahimu, tidak kan? Bahkan Ayah Khalil membelikan mobil remote kontrol ini.” Jawabku sambil membelai rambut Refan.
“Aku tetap tidak mau Bu, aku takut.” Jawabnya. Seperti ada trauma.
“Jangan dengarkan Ibumu Refan, dia bohong. Yang namanya Ayah tiri itu pasti jahat.”

Tiba-tiba aku mendengar suara dari arah belakang. Begitu aku menengok, rupanya Mas Prayit. Seketika aku mendelik dan emosi.

“Bapak…”

Refan berlari mendekati Mas Prayit dan memeluknya.

“Bapak, aku gak mau ikut Ibuk, aku takut.” Ucapnya sambil masih memeluk Mas Prayit.
“Refan sayang, coba ke Mbah Uti, bilang bahwa Ibu minta buatkan teh manis, ada Bapak.”

Sengaja aku menyuruh Refan agar dia tidak mendengar percakapanku dengan Mas Prayit.
Setelah Refan pergi, barulah aku bicara.

“Mas, apa yang kamu katakan, seharusnya kamu sebagai orangtua, memberikan pengarahan yang baik terhadap anak-anak, bukan malah mencekokinya dengan hal negatif.”

Nadaku meninggi. Aku emosi melihatnya, hilang sudah hasratku terhadapnya.

“Dek Sani, kapan kamu datang, apa kabar, sekarang agak gemukan dan tambah cantik.”

Aku diam tak bergeming. Kulipat tanganku didada.

“Dek Sani, mari kita duduk, mari kita bicara. Dek, bagaimana dengan rencana kita? Lihatlah, Refan tidak mau ikut denganmu. Secepat ini kamu kembali.” Lanjutnya.

Kuturuti perkataannya, aku duduk di kursi teras.
Aku masih diam, rasanya ingin kumaki dia.

“Aku tidak akan menceraikannya, aku menyayanginya, aku mencintainya. Mas, aku kecewa sekali denganmu, harusnya kamu didik Refan dengan baik, bukan menebar kebencian. Dan aku baru tahu, rupanya dulu dia diperlakukan tidak baik oleh Endah, lalu kamu menakutinya dengan dalih bahwa Ayah tiri itu jahat, dan kamu samakan antara Endah dengan Mas Khalil, ckckckck justru kamu yang jahat Mas!” Kataku emosi, aku tak peduli meski suaraku agak keras.
“Dek, itu kan demi kita, aku lakukan ini agar nantinya Refan tidak terpengaruh dengan Khalil. Lagipula kan kita akan menikah, lalu apa pedulinya?” Emosiku semakin tersulut.

Plakk!!

Kutampar pipinya

“Lancang kamu Mas!”
“Dek, apa-apaan ini, kenapa kamu berubah. Sebentar-sebentar, jangan-jangan kamu sudah kena rayuan si Khalil itu. Kamu hanya butuh hartanya. Sadar Dek, sadar kamu gak akan dapat apa-apa, dia laki-laki mandul dan gak berguna.”

Plakk!!

Emosiku memuncak hingga aku bergetar.

“Astaghfirullah…”

Aku mencoba mengontrol diri, tapi aku merasa kepalaku dipenuhi bintang dan…
Aku merasa ada yang memanggil-manggil namaku, badanku digoncang-goncangkan dan bau menyengat seperti bau minyak kayu putih. Dadaku serasa sesak.

“Sani, kamu tidak apa-apa? Alhamdulillah kamu sudah sadar.”

Aku membuka mata, kulihat suamiku berada disampingku, dia membelai rambutku, dan tak jauh darinya ada Mas Prayit, wajahnya tampak khawatir.

“Tadi kamu pingsan, kata Bu Bidan, kadungan kamu tidak apa-apa, nanti kita ke Rumah Sakit untuk USG ya.”

Aku mengangguk pelan.

“Mas, aku tidak ingin berlama-lama disini, besok kita pulang ya. Kalau Refan ndak mau ikut ya sudah, biarkan dia disini saja.” Ucapku.

Aku menyerah, mungkin memang trauma Refan saat bersama Mas Prayit dulu membuatnya merasa takut untuk bersama kami.

“Tidak Sani, kita tetap harus bujuk Refan apapun yang terjadi, aku merasa kalau Prayit itu orangnya tidak baik. Khawatir ada pengaruh buruk darinya.” Jawab Mas Khalil sambil melirik ke arah Prayit.
“Jangan sembarangan kau tuduh aku,” jawab Prayit tiba-tiba.
“Brengsek kamu Khalil, kamu telah merebut Dek Sani dariku.” Lanjut Prayit.
“Mas Prayit, pergilah! Aku tak ingin melihatmu.”

Ku usir Mas Prayit dari sini, aku merasa muak melihatnya.
Tiba-tiba Refan mencegah Mas Prayit.

“Bapak, jangan pergi disini saja, Refan takut. Refan takut sama itu.” Sambil menunjuk kearah Khalil.

Hatiku merasa sakit. Betapa pengaruh Mas Prayit ke Refan sangat besar. Mungkin karena pengalaman Ibu tiri, hingga dia menyamakan Mas Khalil dengan Endah.
Ya Alloh bagaimana ini.

“Sayang, Ayah tidak seperti yang kamu tuduhkan. Sini sayang, ayah akan belikan apapun yang kamu minta.” Ucap Mas Khalil.
“Tidak mau!” Teriak Refan.

Tiba-tiba kepalaku pusing. Aku ndak bisa berfikir lagi, mungkin pengaruh kehamilanku. Ya Alloh, semoga masalah ini segera berakhir.

“Mas Prayit, keluarlah!”

Akhirnya Mas Prayit dan Refan keluar.
***

Kudengar suara gaduh diluar, seperti ada keributan. Mas Khalil yang duduk disampingku merasakan hal demikian.
Aku dan Mas Khalil keluar.
Kulihat seorang wanita sedang bicara dengan Mas Prayit dan Refan, dia menangis.
Astaga, Endah?
Kudekati mereka.

“Ibu…” Refan berlalu mendekariku dan memelukku. Wajahnya tampak ketakukan.
“Ibu, aku takut Ibu, ada wanita jahat itu.”

Kupeluk Refan dan kubelai rambutnya. Aku dan Mas Khalil menyaksikan mereka berdua.

“Tenanglah sayang, ada Ibu dan Ayah disini.”
“Mas, aku minta tanggung jawabmu.” Ucap Endah dengan nada marah.
“Tanggung jawab apa?” Tanya Prayit dengan wajah tanpa bersalah.
“Mas, jangan pura-pura amnesia, kemarin aku sudah bicara padamu. Kemana kamu selama ini, kamu mengabaikanku.” Jawab Endah.

Ada apa ini? Apa yang terjadi antara Endah dengan Mas Prayit?
Mas Prayit tampak salah tingkah, dia melirikku, sepertinya takut ketahuan.

“Mas, aku hamil, ini anakmu!"

Aku dan Mas Khalil kaget.

==========

Mendengar pernyataan Endah, aku dan Mas Khalil kaget. Bukankah mereka telah bercerai? Lalu kenapa Endah hamil? Sebenarnya bukan urusanku, tapi aku penasaran.

“Mas Prayit, silakan kalian selesaikan urusan kalian dan tolong tinggalkan tempat ini, aku tak mau ada keributan disini.”

Kuusir mereka, aku sudah cukup pusing dengan persoalan Refan dan Mas Prayit.

“Dek Sani, percayalah.” Ucap Mas Prayit.
“Mas, kamu gak tahu malu, kamu masih ngerayu wanita bersuami, Sani itu sudah menikah, dulu kamu ngerayu aku, setelah itu aku dicampakkan. Dan kini ketika aku hamil, kamu gak mau tanggung jawab, laki-laki macam apa sih.” Kata Endah dengan nada meninggi.

Baru tahu aku, rupanya dulu Mas Prayit yang suka menggoda Endah, bukan Endah yang menggoda Mas Prayit.

“Sstt tunggu, maaf ya, Endah bagaimana kamu bisa hamil, bukankah kamu sudah bercerai?” Tanyaku.

Ku beranikan diri untuk bertanya pada mereka.
Endah menunduk, sepertinya ada kepedihan dihatinya.

“Begini San, Mas Prayit itu mentalak ku, alasannya karena aku boros, padahal dia tak pernah memberiku nafkah. Maka, sebagai pelampiasan, aku berbuat kasar pada Refan. Maafkan aku ya. Setelah mentalakku, belum habis masa idahku, dia mendatangiku. Dia mendatangiku saat malam pernikahanmu. Dia datang dengan kondisi mabuk. Saat itu dia mengigau dan menyebut-nyebut namamu. Sepertinya dia ingin kembali padamu. Dia cemburu. Dan malam itu dia memaksaku hingga terjadilah hubungan ini. Dan tak kusangka, rupanya kejadian yang tak disengaja itu, malah membuatku hamil.”

Aku mendengarkan cerita Endah dengan seksama.
Kulihat mas Prayit menundukkan kepalanya.
Sepertinya semua ini tidak sepenuhnya salah Endah, Mas Prayit juga salah. Dasar mata keranjang.
Mungkin jika dia memperlakukan Endah dengan baik, Endah pun akan memperlakukan Refan dengan baik pula.

“Mas Prayit, sekarang uruslah istrimu, kembalilah padanya, perlakukan dia dengan baik. Untung aku tidak tergoda dengan rayuanmu. Huft…”
“Dek, Dek Sani, Mas men__”
“Diam! Ayo pulang.”

Endah menghentikan ucapan Mas Prayit lalu menggandeng Mas Prayit pulang.
Mas Prayit masih memandang ke arah kami, sepertinya masih berat meninggalkanku.
Rupanya di ruangan ini ada Ayah, Ibu, Refan. Mereka melihat kejadian tadi.
Kulihat Bapak dan Ibu hanya menarik nafas panjang.

“Alhamdulillah, Alloh telah tunjukkan kebenaran.” Kata Bapak sembari merangkul kami berdua.
“Iya Pak, Alhamdulillah…”

Kemudian aku jongkok didepan Refan.

“Sayang, siap-siap yuk, nanti sore kita ke Jakarta. Refan ikut Ayah Khalil dan Ibu ya. Nanti Refan sekolah disana. Ayah Khalil tidak seperti Mama Endah lho, dia baik banget.”

Refan masih sedikit ragu. Perlu diyakinkan lagi. Kemudian Mas Khalil mendekati kami dan jongkok.

“Sayang, nanti Ayah akan belikan mainan kesukaan Refan.”

Refan menatap kami berdua secara bergantian. Kami berdua tersenyum.

“Oya sayang, nanti Refan mau punya adik lho, ini diperut Ibu ada dedeknya, Refan pasti suka.”

Mendengar ucapanku, Refan langsung tersenyum.

“Benarkah Bu, asyik… Hore… aku mau punya dedek. Ibu, aku mau ikut Ibu ya, aku mau jagain dedek.”

Setelah itu dia berlari ke Mbah Utinya.

“Mbah, Refan mau punya adek lho, asyik...”

Ibukku tersenyum dan mengangguk.
Alhamdulillah persoalan selesai, rasa pusing di kepalaku mendadak hilang.
Kutunda kepulanganku sehari lagi untuk mempersiapkan dokumen Refan.
***

Akhirnya kami kembali ke Jakarta. Kami disambut Ummi dengan bahagia.

“Alhamdulillah, MasyaAlloh, akhirnya kalian bisa berkumpul kembali. Refan, sini… Eyang punya mainan untuk kamu.”

Ummi menunjukkan mainan berupa mobil remote control untuk Refan. Rupanya Ummi sudah diberitahu oleh Mas Khalil kalau Refan akan ikut, hingga beliau membelikan mobil-mobilan. Refan sangat menyukai hadiah tersebut dan langsung memainkannya.

“Refan sayang, kan baru sampai, kita istirahat dulu yuk, sini Ibuk tunjukkan kamar kamu.”

Aku menggandeng Refan menuju kamar yang lokasinya disamping kamar Ummi. Rupanya Refan sangat menyukai kamar tersebut. Ummi telah merenovasi kamar tersebut dengan gambar kartun yang lucu.

“Ibu, rumahe gedhe sekali, aku suka buk, kamarnya juga gedhe, ada gambar kartunnya.”
“Iya sayang, berterimakasihlah sama Eyang Uti ya, beliau yang menyiapkan kamar untukmu.”

Refan berlari menuju ke Ummi dan memeluknya. Alhamdulillah mereka langsung akrab.
***

_Seminggu berlalu..._

Selepas Isya, ketika semua telah di kamar masing-masing termasuk aku, kudengar pintu diketuk. Rupanya Mbok Tinah.

“Ada apa Mbok,” tanyaku penasaran.

Raut mukanya tampak gelisah.

“Ehm, i, itu ada tamu yang nyariin Tuan.”

Simbok tampak gugup.
Rupanya Mas Khalil mendengar ucapan simbok, lalu melangkah ke arah kami.

“Siapa Mbok,” tanyanya.
“Nyonya Siska Tuan.”

Sontak aku dan Mas Khalil terkejut. Ada rasa gelisah di dadaku, ada apa ini. Lalu kami keluar menuju ke ruang tamu.
Tiba-tiba Siska menangis dan memeluk Mas Khalil.

“Mas…maafkan aku Mas, maafkan aku.”
“Eh tunggu, jangan main peluk-peluk gitu dong, kalian bukan muhrim dan bukan suami istri lagi.”

Aku memisahkan Siska yang tiba-tiba memeluk suamiku. Mas Khalil yang kaget dengan kelakuan Siska, hanya terdiam.

“Mbak Siska, maaf ada apa malam-malam kesini,” tanyaku sedikit sinis.

Yah aku memang sinis, sebel rasanya, mengganggu aja, apalagi datangnya tiba-tiba dan main peluk-peluk segala. Kurang ajar, dia tidak menghiraukanku, malah dia nangis-nangis di depan suamiku.
Aku mendekat ke mas Khalil dan kurangkul Mas Khalil agar tidak terlalu dekat dengan Siska.

“Ada apa Siska,” tanya mas Khalil.

Singkat, padat, jelas dan sorot matanya dingin. Pandangannya sama seperti dulu saat pertama bertemu denganku.
Ah, sekarang aku baru mengerti kalau Mas Khalil bersikap seperti itu pada setiap wanita yang bukan muhrimnya. Tak salah aku mencintainya.

“Mas, aku ingin kembali padamu.” Ucap Siska serius, pandangannya ke arah mas Khalil.

Hey, apa dia tak sadar ada aku istri syahnya? Wah, kau anggap apa aku ini. Tak kan kubiarkan kamu merebut kembali Mas Khalilku.

Bersambung #12

1 komentar:

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER