Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 29 Maret 2022

Bukan Sekedar Cinta #12

Cerita Bersambung

Sungguh aku merasa terganggu dengan kedatangan Siska malam ini. Maksudnya apa, dulu dia yang mengkhianati Mas Khalil, dan sekarang untuk apa kembali kesini, uh ndak tahu malu.

“Mas, maafkan aku, aku ingin kita bersama lagi. Aku tahu kalau kamu masih mencintaiku," ucap Siska mengiba.

Mas Khalil memandangku dengan bingung. Aku tahu kisah mereka dulu, dulu Mas Khalil yang mencintai Siska hingga dia rela menikahi Siska yang saat itu sedang hamil.
Kubalas tatapan Mas Khalil, aku menggelengkan kepala tanda aku tidak suka.
“Siska, maafkan aku, pergilah dari sini, aku sudah memiliki kebahagiaan sendiri, aku sudah tidak mencintaimu.”

Ucapan mas Khalil membuatku lega, kulihat Siska masih tak percaya dengan pernyataan Mas Khalil.

“Mas, kita mulai kehidupan yang baru lagi, kita mengadopsi anak, aku akan merawatnya, aku janji.”

Aku tak tahan, aku merasa emosi.

“Cukuuup! Pergilah!”

Jemariku menunjuk ke arah pintu.

“Hai, perlu kamu ketahui, saat ini aku sedang hamil anaknya Mas Khalil, dia tidak mandul, kamulah yang bermasalah.”

Kuluapkan emosiku. Siska terkejut, dia tidak percaya dengan kata-kataku.

“Siska pergilah, aku sudah bahagia dengan Insani, kami akan segera memiliki momongan, pergilah dan cari kebahagianmu sendiri. Kau dan aku hanya masa lalu, tak ada yang perlu dibicarakan lagi, sudah cukup.” Ucap Mas Khalil tegas.

Dengan langkah gontai Siskapun meninggalkan kami. Ada rasa kecewa, sedih dan tak tahu lah. Aku tak tahu kenapa dia harus kembali kesini, bukankah dia sudah bahagia dengan pacarnya yang dulu.
Ya Alloh, ada-ada saja kejadian hari ini. Kemarin dengan Mas Prayit dan Alhamdulillah sudah selesai, sekarang dengan Siska. Semoga kejadian-kejadian menyakitkan tak terulang lagi.

_Tujuh bulan kemudian…_

Pagi hari seperti biasa setelah Refan pergi kesekolah dan Mas Khalil kekantor, aku jalan-jalan keliling komplek dengan Ummi. Kata orang jalan pagi itu bagus untuk bumil agar nanti lahirannya mudah. Terakhir periksa, posisi bayi sudah masuk pinggul dan siap lahir.
Entah mengapa dari tadi malam perut terasa ndak enak, seperti melilit, kupikir hanyalah kontraksi biasa karena memang perkiraan lahir tiga minggu lagi.

“Bu, perutnya besar sekali dah berapa minggu dan kapan HPLnya?” Tanya tetangga yang kebetulan berpapasan dijalan.
“Sudah 35 minggu Bu," jawabku.

Memang perutku terlihat lebih besar dan berbeda dengan kehamilah wanita hamil yang lain. Untuk jalan pun terasa susah, saat tidurpun sulit, miring kanan susah, miring kiri juga susah.

“Kembar ya Bu,” tanyanya lagi.
“Iya,” jawabku. (Hehe ah, pembaca jadi tahu kalau debayku kembar.)

Sepulang jalan-jalan, aku duduk di teras, rasanya sedikit lelah. Tiba-tiba aku merasa seperti mulas dan pingin buang air besar.

“Ummi, kok perutku mulas sekali, aduh punggungku nyeri seperti ingin patas, auww,” Aku mengaduh.

Ummi sedikit panik,

“Jangan-jangan kamu mau lahiran, sebentar aku telpon Khalil agar cepat pulang.”

Aku masih memegangi perutku, aku sudah tidak bisa jalan, rasanya ada yang menahan di jalan lahirku, ada sesuatu. Aku menyeringai menahan sakit.

“Ummi, Astaghfirullah sakit Mi, aduh...!”
“Iya sayang, Ummi sedang menelpon Khalil, katanya 10 menit lagi sampai.”

Aku masih menyeringai menahan sakit, punggung seperti mau patah, dan pyak...! ketubanku pecah hingga membanjiri lantai.

“Tahan ya sayang,” kata Ummi masih dengan wajah panik.
“Mbok, ambil perlengkapan bayi yang sudah disiapkan Sani di kamar.” Ucap Ummi.

Kemudian beliau mendekatiku dan mengelus elus perutku.

“Istighfar sayang, nyebut ya.”

Tak lama Mas Khalil datang, dengan wajah panik, dia membopongku ke mobil. Ummi dan Mbok Tinahpun ikut naik mobil. Tak lama kami sampai di rumah sakit terdekat. Aku langsung disambut perawat dan masuk ruang PONEX.
Mas Khalil memegangi tanganku dan mencium keningku. Di ruang bersalin ini, aku langsung ditangani.

“Sabar sayang, bertahanlah, ayo berjuang demi buah hati kita.”

Kata bidan, sudah pembukaan tujuh, sedikit lagi. Namun rasanya sudah tidak karuan, aku menjerit, Istighfar, meminta tolong, dan entah apalagi yang aku ucapkan. Mas Khalil memandangku iba, dia mengelus perutku, aku tak peduli, kujambak-jambak rambutnya saking sakitnya yang kurasa.

“Ya Alloh… Astaghfirullah… Tolong… Kok koyo ngene rasane, loro banget…”
(Artinya: Ya Alloh… Astaghfirullah… Tolong… Kok seperti ini rasanya, sakit sekali…)

Seorang bidan nyeletuk,
“Sabar Bu, sedikit lagi, kepalanya sudah terlihat kok, bikinnya gak sakit kan?”

Duh Bu bidan, sakit kayak gini masih aja di becandain.

“Siap ya Bu, pembukaannya sudah sempurna nih, ayo tarik nafas dan dorong…” Perintah Bu bidan.

Akupun melakukan hal yang diperintahkan, aku menarik nafas dan mendorongnya seperti orang BAB, tapi belum berhasil. Nafasku terengah-engah, keringat bercucuran.

“Bu bidan, susah Bu…” Jawabku.
“Sayang, ayo semangat,” Ucap mas Khalil.
“Ayo coba lagi, ambil nafas, tahan dan dorong, ayo kepalanya dah terlihat...”

Kulakukan lagi yang diperintahkan Bu bidan, tapi masih gagal. Perut masih melilit, punggung mau patah, aduh.

“Bu, saya pingin buang air besar.” Kataku.
“Iya keluarkan saja,” jawab Bu Bidan, memang kalau mau lahiran rasanya seperti mau buang air besar.

Sudah kedua kalinya aku mengejan, tetapi belum juga lahir, rasanya sudah lemas, tapi aku harus kuat. Suamiku menemaniku, kulihat air matanya menetes melihat perjuanganku melahirkan.

“Aduuhh, sepertinya yang di perut sudah ingin keluar Bu…” Ucapku,
“Mules Bu” Lanjutku.

Lalu aku menarik nafas sekuat tenaga, kupegang tangan suamiku dan__ suara kecil itu terdengar, Alhamdulillah lega.
Mas Khalil sujud syukur.

“Aduh Bu, perutku mulas lagi, aduuh…”

Aku menarik nafas kembali dan__ suara kecil itu terdengar kembali.

“Alhamdulillah… Selamat ya Bu, bayinya kembar, yang pertama laki-laki dan kedua perempuan.” Kata Bu Bidan yang menanganiku.

Betapa bahagianya aku, ya Alloh terimakasih atas semuanya. Kupegang erat tangan suamiku, kuciumnya dan aku berkata.

"Mas, terimakasih telah membuatku menjadi wanita sempurna."
"Iya, sama-sama sayang." Sambil tersenyum haru dan berlinang air mata bahagia.

Setelah itu Mas Khalil pun mengadzani kedua baby twinku. Ada kebahagian terpancar, kebahagiaan yang berbeda yang tidak dapat diucapkan dengan kata-kata.
Aku dipindahkan ke ruang perawatan. Ummi menyalamiku dan memelukku serta menciumku.

“Sayang, terimakasih kamu telah memberiku cucu.”

Aku tersenyum dan mengangguk.

“Sayang, aku tidak dapat berkata-kata, hanya ucapan terimakasih kau telah membuatku sempurna.” Ucap mas Khalil dengan berlinang air mata bahagia.

Dikecupnya keningku.

“Anak kita tampan dan cantik. Aku berjanji akan selalu menjagamu dan anak-anak kita, aku takkan menyakitimu, aku benar-benar tahu, bagaimana perjuangan seorang Ibu. Ibu, maafkan aku yang dulu pernah menyia-nyiakanmu hingga Alloh menegurku. Sekarang, Alloh telah memberikanku kebahagiaan yang tiada tara." Lanjutnya.

--- TAMAT ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER