Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 26 Maret 2022

Bukan Sekedar Cinta #9

Cerita Bersambung

Aku menelpon suamiku. Aku minta izin untuk pulang.

‘Assalamualaikum… Mas, aku minta izin pulang ya Mas, Refan sakit dan dirawat,’ kataku sambil terisak.
_‘Innalillahi… sakit apa Sani, tenang, aku akan pulang, kita ke Jogja bersama, aku temani kamu, OK.’_
‘Tidak usah Mas, biar aku pulang sendiri. Mas sudah sering izin.’

Aku masih terisak.
Sepertinya dia mengkhawatirkanku.
Memang dua bulan pernikahan kami, banyak sekali perubahan yang kurasakan. Dia begitu menyayangiku, perhatian, dan yang membuatku simpati, dia bertambah religius.
_‘Tidak Sani, sebab kamu tidak kontrol, biar aku temani ya.’_
‘InsyaAlloh aku kontrol kok Mas, tenang saja ya…’
_‘Benar? Baiklah, aku pesankan tiket pesawat ya, kamu izin Ummi, nanti ada sopir jemput dan mengantarkanmu ke Bandara. Kalau Refan sudah sembuh, segera pulang, ajak sekalian Refan dan sekolah disini saja. Ehm, aku akan merindukanmu, percayalah...’_

Deg, ya Alloh, sepertinya ada rasa kekhawatiran, bukan hanya soal keadaanku, tapi ada hal yang lain. Apakah dia tahu tentang Mas Prayit?

‘I, iya, a, aku juga akan merindukanmu, bye...’

Ya Alloh, aku harus menguatkan diri. Pasti disana aku akan bertemu Mas Prayit.
***

Alhamdulillah menjelang Maghrib aku sampai di Rumah Sakit tempat anakku dirawat. Aku tidak ke rumah karena tidak ada siapa-siapa, semua di Rumah Sakit menunggui anakku.
Aku langsung menuju kamar tempat anakku dirawat. Sesampainya di sana kulihat ada Ayah, Ibu, dan Mas Prayit.
Aku berlalu dan langsung memeluk anakku.

“Sayang, anakku Refan, kamu ndak apa-apa kan? Ibu kangen...”
“Ibu… aku kangen Ibu.”

Refan membalas pelukanku, kuelus punggungnya, lalu kubelai rambutnya dan kucium keningnya.

“Cepat sembuh ya Nak.”

Dia mengangguk. Setelah itu aku salim sama Bapak dan Ibu, lalu Mas Prayit. Ada rasa bahagia terpancar di wajah Mas Prayit.

“Dek Sani, apa kabar, sekarang agak gemukan dikit dan tambah putih serta cantik.” Kata Mas Prayit sambil senyum.

Dia memperhatikanku hingga aku merasa risih.

“Alhamdulillah Mas, Mas juga sehat kan?” Tanyaku.

Dia mengangguk.

“Alhamdulillah baik.”

Lalu aku beralih ke Ibu.

“Ibu, gimana Refan, apa kata dokter?” Tanyaku ke Ibu.
“Seperti yang Ibu jelaskan kemarin, dia kena DBD, trombositnya turun, tapi tadi siang saat diperiksa, Alhamdulillah sudah naik, kurang sedikit lagi. Ibu selalu buatkan jus jambu, minum sari kurma juga.” Kata Ibu menjelaskan.
“Oh, terimakasih Bu, Ibu sudah merawat nya dengan baik.”

Kudengar gawaiku berbunyi, rupanya ada telpon, dari Mas Khalil.

‘Assalamualaikum, iya Mas...’ sapaku.
_‘Sani, kamu sudah sampai? Kapan? Kok gak ngabari Mas?’_

Ya Alloh… Mas Khalil perhatian sekali padaku.

‘Eh iya Mas, Alhamdulillah sudah sampai tadi sebelum Maghrib.’
_‘Refan gimana?’_
‘Iya, dia baik-baik saja, trombositnya turun, tapi Alhamdulillah sudah ditangani dokter dengan baik.’
_‘Ok, baik-baik disana ya, nanti kalau sudah sembuh, kujemput.’_

Ya Alloh, Mas Khalil begitu baiknya, jahat sekali jika aku meninggalkannya.

‘Ndak usah Mas. Aku bisa pulang sendiri, biasanya juga bolak-balik sendiri kok. Mas lagi apa, sudah makan apa belum, jangan lupa sholat.’

Kulirik Mas Prayit, rupanya dari tadi memperhatikanku. Ada perasaan ndak nyaman dan sedikit jeuleus.

_‘Aku sudah makan. Iya aku sholat 5 waktu, tenang aja. Sekarang aku lagi di kamar, merindukanmu, hehe.’_

Ish, kubayangkan wajahnya kalau dia sedang bicara, aku jadi kangen.
Aku senyum

‘Aku juga.’ Kuucapkan malu-malu, takut kedengaran sama Bapak dan Ibu.
‘Oke, bye, Wassalamu’alaikum...’

Kujawab salamnya lalu kututup telponnya.

“Bapak, Ibuk, sebaiknya Bapak sama Ibuk pulang saja, biar aku yang menjaga Refan. Mas Prayit juga silakan kalau ingin pulang.”
“Ya wis, Ibu sama Bapak pulang saja ya. Dari kemarin gak pulang.” Kata Ibu.

Lalu beliau berkemas.

“Aku disini saja nungguin Refan.” Jawab Mas Prayit.

Duh, berarti aku berdua disini.
Aku diam saja, lalu membenahi tempat tidur Refan.

“Dek, kamu lapar ndak, Mas beliin nasi yah.”

Aku memang lapar, ya wislah.

“Iya Mas, aku lapar. Aku minta tolong belikan nasi ya ini uangnya.”

Kukeluarkan uang 100 ribuan. Tapi dia menolak.

“Ndak usah.”

Lalu dia keluar untuk membeli nasi.
Kulihat anakku sangat lelap, semoga cepat sembuh ya Nak, nanti ikut Ibu ke Jakarta.
Limabelas menit kemudian, Mas Prayit datang. Dia membelikan nasi goreng, mendoan serta teh manis. Kami makan bersama.

“Dek Sani, lihatlah anak kita, dia butuh kita. Bagaimana Dek, apakah kamu siap?
Ini sudah dua bulan, dan kamu tidak ada perubahan.”

Deg, Mas Prayit mengungkit hal itu. Sebenarnya aku sudah tak mau mengungkitnya lagi.
Aku diam.

“Dek, kenapa diam? Kamu sudah kan Dek?”

Ya Alloh… apakah aku harus mengatakan sesuatu yang menurutku privacy?

“Ehm, Mas, maafkan aku, aku tidak bisa.”
“Dek, kenapa kamu berubah pikiran? Ingat, kamu masih muda, produktif, apakah kamu hanya ingin punya satu anak saja?”

Benar sekali yang dikatakan, tapi tidak begini caranya. Aku hanya akan menyakiti Mas Khalil dan juga Ummi.

“Ta, tapi Mas, maafkan aku.”

Tiba-tiba Refan terjaga.

“Ibu, Ibu, aku haus.”

Spontan aku dan Mas Prayit langsung mengambilkan air dan memberikannya ke Refan.
Dia tersenyum.

“Bapak, Ibuk, kalian ada disini?”

Kata Refan sambil tersenyum dan minum air yang kuberikan. Dia tampak bahagia.

“Gimana keadaanmu sekarang Nak.” Tanyaku.
“Aku sudah enakan Bu, semoga besok bisa pulang ya…”

Luar biasa, mungkin ini efek dari rasa bahagia sehingga dia cepat pulih. Kemudian dia melanjutkan tidurnya.

“Dek, lihatlah Refan, dia begitu bahagia, mungkin karena melihat kita bersama.” Kata Prayit.

Aku juga merasa begitu, tapi tak mungkin.

“Dek, besok Mas bikinkan surat gugatan cerai ya, alasannya bahwa suamimu mandul.” Lanjut Mas Prayit.

Gila, secepat itukah. Tidak, aku tidak mau.

“Aku tidak mau Mas.”
“Dek, kamu sudah lihat kan? Bagaimana Refan? Dan juga bagaimana Khalil?
Kalau kita bersama lagi, kita benahi kehidupan kita yang dulu, kita bina keluarga, kita punya anak lagi, tinggal di desa yang asri dan nyaman, kamu dekat orangtua.”

Terus terang aku sangat rindu suasana kampungku yang nyaman, asri dan indah.
***

Setelah tiga hari semenjak kedatanganku, Refan sudah diperbolehkan pulang.

“Pak, Buk, Refan biar ikut saya, kebetulan pas ajaran baru.” Kataku suatu sore di teras rumah.
“Pie Fan, gelem melu Ibukmu Ra? (Bagaimana Fan, apakah kamu mau ikut Ibumu?)” Tanya Ibuku ke Refan.
“Bapak ikut ndak.” Tanya Refan. (Yang dimaksud adalah Prayit)
“Yo, ndak to, kan ada Ayah Khalil disana.” Kata Bapak.
“Yey, Ayah Khalil sing ganteng iku kan Mbah Kung?” Tanya Refan.

Ayah mengangguk sambil senyum, akupun senyum.
Sebenarnya Refan masih labil.

“Eh, tapi eggak ah, aku mau di kampung aja kasihan Embah sendirian. Lagipula suasana kampung masih asri, kalau disana aku ndak bisa mandi di kali, main lumpur disawah. Ndak Bu, Refan Ndak ikut.”

Kenapa Refan jadi berubah pikiran, bukankah dulu dia mau ikut aku. Kalau Refan ndak ikut, aku bakalan kesepian disana. Aku ndak ada kegiatan dan aku bakalan merindukannya.

“Refan, kenapa kok tiba-tiba berubah pikiran? Ayo ikut Ibu, nanti disana kamu bisa renang, belajar memanah, taekwondo dll.”

Aku merayunya.

“Eggak ah Bu, Refan mau disini saja, disini Bapak juga sering ngajak Refan jalan-jalan. Dan kata Bapak, Bapak tiri itu galak, meskipun ayah Khalil itu orangnya ganteng, tapi bisa jadi dia itu orangnya galak.” Kata Refan dengan polosnya.

Wah, ndak bener ni.

“Sayang, Ayah Khalil itu baik banget lho.”
“Ah, enggak ah, Refan mau tetap disini. Kata Bapak, Ibu mau pulang kesini dan ndak kembali lagi ke sana, kenapa malah ngajak Refan kesana?”

Wah, kok Refan jadi keras kepala begini sih. Mas Prayit ngomong apa.

“Refan, Ibu kan sudah menikah dengan Ayah Khalil, mana mungkin Ibu kembali kesini. Makanya Ibu ngajak Refan kesana, itu juga disuruh sama Ayah Khalil.” Bujukku.
“Memangnya Bapak bilang apa?” Tanyaku.
“Ayah bilang setelah dua bulan menikah Ibu akan kembali kesini dan ini kan sudah dua bulan, aku pikir Ibu ndak akan balik lagi. Kata Bapak juga kalau Ayah Khalil itu judes dan galak makanya aku ndak mau.”

Wah, Mas Prayit ndak bener ini. Dulu memang Mas Khalil judes dan terkesan galak, tapi kenyataannya sekarang dia sangat romantis, baik sayang sama aku juga perhatian.
***

Malam harinya aku bersiap, aku ndak bisa memaksa Refan untuk ikut ke Jakarta.
Kudengar pintu diketuk dan ucapan salam.
Kujawab salam dan kubuka pintunya, rupanya Mas Prayit.
Refan lari dan memeluk Bapaknya.

“Bapak…”

Aku mempersilakannya duduk.

“Refan, gimana keadaanmu?” Kata Mas Prayit.
“Aku sudah enakan Pak, Pak aku ndak jadi ikut Ibu.”

Mas Prayit mengangguk senang.

“Refan, itu acara Ipin Upin sudah mulai, sana sama Mbah Kung nonton tivi.” Kataku, sengaja Refan kusuruh nonton TV agar aku bisa leluasa ngobrol sama Mas Prayit.
“Asyik, Upin Ipin sudah mulai.” Kata Refan sambil berlari ke ruang keluarga.

Aku membuka pembicaraan.

“Mas, seharusnya Mas ndak perlu bicara begitu ke Refan.”

Aku sedikit ngegas.

“Dek, kamu kenapa? Bukankah itu nyata?”
“Tapi Ndak harus mengatakan seperti itu pada Refan, dia masih anak-anak, ya aku ndak suka, katakan yang baik-baik, cari alasan yang baik untuk melarangnya ikut denganku, jangan mengatakan kejelekannya." Aku emosi.
“Sudahlah Dek, aku ndak mau debat. Ini surat gugatan cerai, sudah Mas buatkan, kamu tanda tangan disini (sambil menunjuk tempat yang harus ditandatangani) dan tinggal kamu ajukan, bawa ini besok.”

Ya Alloh dia serahkan surat gugatan cerai itu. Kubuka dan kubaca.

=========

Akhirnya aku kembali dengan perasaan kecewa, pasalnya anakku ndak mau ikut denganku.
Aku merasa hampa tanpa anak, anak adalah duniaku. Kulihat surat gugatan cerai yang akan kulayangkan ke Mas Khalil. Apakah ini baik?
Jam 15.00 aku sampai di stasiun Senen, suamiku telah menjemputku. Dia menghampiriku dan mengambil tas yang kubawa, kulihat senyumnya yang tulus untukku. Rasanya ingin kupeluk untuk melepas kerinduanku, tapi aku merasa malu.
Ya Alloh, aku tak tega menceraikannya. Sepertinya aku mulai mencintainya.

“Refan kenapa nggak ikut?” Tanyanya.

Deg, apa yang harus kukatakan, aku sedikit gugup.

“Ehm, dia pingin di kampung saja katanya kasihan Simbahnya sendirian.”
“Owh, padahal aku pinginnya dia disini menemanimu agar kamu tidak kesepian.”

Ya Alloh, begitu baiknya dia. Aku hanya mengangguk, ada kepedihan dihatiku.
Beberapa jam kemudian sampailah kami di rumah. Kusalami Ummi dan Simbok Tinah.
***

“Sani, kulihat kamu sedikit murung, apa yang kamu pikirkan?” Tanya Mas Khalil padaku saat tidur malam.

Aku diam, apa aku harus menyerahkan surat itu?
Ah…

“Ndak ada apa-apa kok Mas, aku hanya sedikit lelah.”

Sepertinya dia mengetahui keresahan ku.

“Namun wajahmu tidak bisa dibohongi, ceritakan padaku apa yang kamu pikirkan saat ini, percayalah…”

Aku menggelengkan kepala, ada rasa sesak di dada. Aku diantara anakku dan suamiku.
Tiba-tiba dia memelukku, menciumku dan membelai rambutku, hangat dan nyaman. Bau parfum maskulinnya sedikit membangunkan hasratku, karena lama kita tidak pacaran, tetapi kegalauanku menghalangiku.

“Sani, aku tahu apa yang kamu pikirkan. Apakah kamu bertemu mantan suamimu? Maaf, sebenarnya aku sudah tahu tentangmu dan mantan suamimu.” Bisiknya.

Deg, kok dia bisa tahu… ya Alloh, apa yang harus kulakukan?

“Saat itu disaat aku berada di rumahmu, aku mendengar semua yang dikatakan mantan suamimu. Aku mendengar semuanya.” Ucapnya.

Astaghfirullah… rupanya dia tahu semua, lalu apa yang dia pikir tentangku? Apakah dia pikir bahwa aku akan menggugat cerai?
Aku masih diam.

“Sani, kenapa kamu diam?”

Aku gelagapan, apa yang harus kukatakan.

“Iya aku bertemu dengannya karena dia Ayah dari putraku.” Jawabku.
“Apakah kamu masih mencintainya? Sepertinya dia masih mencintaimu dan ingin kembali padamu.” Ucapnya sedikit berat.

Seperti ada rasa sesak.
Benarkah seorang Khalil yang dulu begitu kuat dan tegar selemah itu?

“A, aku…”

Aku tidak dapat meneruskan kalimatku.

“Katakan Sani, katakan padaku. Aku menikahimu karena permintaan Ummiku, awalnya aku tidak berniat menikahimu, tetapi demi kebahagiaan Ummiku, akhirnya aku bersedia menikahimu.”

Aku menatapnya.

“Berarti selama ini kamu berbuat baik padaku, hanya berpura-pura agar Ummi bahagia?” Balasku, ada rasa kecewa dihati.
“Awalnya iya, tetapi beberapa minggu ini__”

Dia tidak melanjutkan kalimatnya.

“Kenapa?” Tanyaku penasaran.

Dia diam dan menggelengkan kepalanya.

“Kenapa Mas, kenapa diam?” Tanyaku lagi.
“Ah gak penting.” Kemudian dia bangkit dan berlalu keluar kamar.

Aku mengejarnya.

“Mas, katakan!”

Dia tidak menjawab, dia masih berjalan menuju dapur.

“Tunggu Mas, jangan menghindar, apakah selama ini kamu tidak tahu perasaanku? Bukankah aku sudah mengikhlaskan semua untukmu?”

Dia masih diam tak menjawab pertanyaan ku, dia sibuk membuat kopi susu, aku tak dapat menahan perasaanku, aku menitikkan air mata.

“Mas, jawab…” aku menangis.
“Mas, memang di awal aku memiliki niat untuk menikah denganmu lalu menceraikanmu karena ingin kembali dengan Mas Prayit. Aku tidak bisa rujuk dengan Mas Prayit sebelum aku menikah dengan orang lain dan berhubungan dengannya.
Namun, semakin aku ingin berpisah denganmu, hati ini semakin sakit. Mas, aku, aku mencintaimu. Aku mencintaimu Mas…” Tangisku membuncah.

Dia menghentikan aktivitasnya dan mendekatiku.

“Benarkah? Lalu surat yang kamu bawa dari kampung itu apa?”

Aku kaget, kenapa dia bisa tahu, Astaghfirullah… aku lupa menaruhnya di lemari, saking gugupnya surat itu kuletakkan di meja. Rupanya dia membacanya. Ceroboh…

“Su, su, surat?”

Aku gelagapan, bingung dan ah campur aduk.

“Iya, surat gugatan cerai.”

Aku langsung memeluknya.

“Mas, itu tidak benar, aku tidak ingin bercerai denganmu, itu Mas Prayit yang menginginkan, tapi aku ndak mau Mas, aku mencintaimu.” Masih kupeluk dia.
“Tapi yang dikatakan Prayit itu benar, mungkin aku tidak bisa memberimu keturunan. Kamu masih muda, produktif.” Kututup mulutnya dengan satu jariku.

Kemudian dia turunkan tanganku dan berjalan menuju kamar sembari membawa kopi susu yang dia buat, lalu duduk di sofa. Aku mengekor.

“Mas, maafkan aku.”

Dia masih diam dan cuek.

“Mas, tolong… bicaralah, jangan diam saja.”
“Sani, aku ingin bertanya padamu, apa yang kamu inginkan dariku?”

Giliran aku yang diam. Harus bilang apa aku, aku bingung, bingung diantara dua pilihan. Anak atau suamiku.

“Semua ada di tanganmu.” Lajut Mas Khalil.

Kemudian dia bangkit menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya.
Ingin rasanya aku menujunya dan memeluknya serta... Ah, seperti ada penghalang yang menghalangiku.
Mas Khalil, aku mencintaimu, bagaimana cara meyakinkanmu bahwa aku sangat menginginkanmu.
Disisi lain, ada Refan yang membutuhkanku, dia adalah duniaku.
Aku masih di sofa dan menangis, kuambil surat itu lalu kusobek-sobek dan kubuang ketempat sampah.
Aku merebahkan tubuhku di sofa, aku tidak berani ke kasur. Aku merasa bahwa Mas Khalil marah padaku.
***

Keesokan harinya aku kaget, kenapa aku sudah berada di kasur, dan Mas Khalil? Dia di sofa. Rupanya semalam dia memindahkanku. Kasihan sekali dia sepertinya kedinginan.
Sudah Adzan, aku bangun dan mandi untuk persiapan sholat subuh. Setelah itu kubangunkan Mas Khalil untuk persiapan sholat, kusiapkan baju dan sarung serta kopiah.
Tanpa bicara, dia menuju ke kamar mandi. Keluar kamar mandi tiba-tiba dia muntah dan memegangi kepalanya.

“Mas kamu kenapa? Kamu masuk angin? Ya Alloh, sholat di rumah aja ya? Bisa itu aku kerokin.”
“Aku nggak apa-apa, hanya sedikit pusing dan mual. Sepertinya Maagku kumat, tolong ambilkan teh manis hangat.” Pintanya.

Aku bergegas ke dapur dan membuatkan teh mamis untuknya.
Di dapur kulihat ada Ummi.

“Ada apa Sani, kok terburu-buru.”
“Itu, Mas Khalil muntah-muntah dan pusing serta mual.” Jawabku cemas.

Setelah membuatkan teh manis, aku langsung ke kamar. Kuberikan teh manis itu dan langsung diminum, rupanya Ummi mengikutiku.

“Kamu kenapa Khalil?” Tanya Ummi khawatir.

Dia hanya menggeleng sambil memegangi perutnya. Setelah itu dia muntah lagi.
Kulihat wajahnya sangat pucat.

“Mas, hari ini kita ke dokter ya?” Ucapku.

Dia menggeleng.
Kuambil minyak kayu putih, lalu kupijit-pijit dan kubalur punggungnya.

“Ambilkan obat maag di kotak obat, sudah beberapa hari ini maagku kumat, tapi ini yang paling parah, kepalaku sampai pusing dan sangat lemas.”

Aku menuju kotak obat, kuambil obat maag lalu kuberikan padanya. Setelah diminum, kubimbing dia ke kasur dan kurebahkan tubuhnya.

“Mas, nanti ke dokter ya? Hari ini gak usah kerja.”
“Gak usah ke dokter, paling besok juga sembuh. Hari ini aku izin nggak masuk kerja.”

Aku mengangguk. Seharian ini dia tidak bekerja, tapi kondisi badannya tetap dan tak ada perubahan. Bahkan malam pun dia masih muntah, setiap kusuapkan nasi, tak berapa lama dia muntahkan lagi.
Keesokan harinyapun demikian tak ada perubahan hingga aku dan Ummipun bermaksud membawanya ke Rumah Sakit.
Badannya terlihat sangat lemah, tak ada asupan makanan yang masuk dan wajahnya tampak pucat dan lesu.

“Ayo kita ke rumah sakit.” Ajakku.

Dia menggeleng.

“Jangan keras kepala Khalil, kalau kamu sakit, siapa nanti yang kerja. Ayo cepat.” Bentak Ummi.

Kupapah dia ke parkiran mobil. Kami menuju Rumah Sakit tempat dimana dokter keluarga prektek.
Setelah ke UGD, langsung masuk ke ruangan. Tak berapa lama Dokter Fredy datang bersama perawat.

“Kenapa Tuan Khalil, apa yang dirasakan?” Tanya Dokter sambil memeriksa detak jantung dan menepuk-nepuk perutnya.
“Ga tahu Dok, beberapa Minggu ini aku sering merasa mual dan muntah, terutama bangun pagi dan malam hari. Kepala pusing dan setiap kali kemasukan nasi, langsung muntah, badan juga lemas.”

Dokter mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ehm… ini seperti morning sicknes, istri Anda mana?” Tanya Dokter.

Aku langsung maju.

“Saya Dok,” jawabku.
“Perawat, tolong ambilkan alat test.”

Perintah Dokter kepada perawat, dan perawat seolah langsung paham lalu pergi.

“Tuan dan Nyonya Khalil, sudah berapa lama Kalian menikah? Perasaan pengantin baru ya, saya belum diundang.” Tanya Pak Dokter.

Aku dan Khalil berpandangan.

“Dua bulanan Dok, memang belum diramaikan,” jawabku.
“Kapan terakhir menstruasi?” Tanya Pak Dokter.

Kenapa nanyain tanggal haidku? Aku lupa, kayaknya waktu nikah, aku baru bersih.

“Berarti tanggal 10an Dok, kami nikah tanggal 16. Sekarang tanggal 16, berarti kami nikah sudah 2 bulan.”

Tak berapa lama perawat datang dan membawa test pack, aku terbelalak begitu juga Mas Khalil dan Ummi, kemudian Dokter menyuruhku untuk BAK lalu menampungnya dalam botol kecil yang diberikan padaku.
Aku menuju toilet dan melakukan yang diperintahkan dokter. Setelah itu aku kembali dan menyerahkan botol kecil yang berisi urine.
Setelah itu perawat memasukkan test pack ke botol tersebut.
Dag dig dug jantungku, apa iya? Bukankah Mas Khalil itu mandul? Cuma dulu Ummi pernah bilang bahwa Mas Khalil pernah periksa dan hasilnya dia subur. Namun kenapa Nyonya Siska tidak kunjung hamil? Padahal Nyonya Siska pernah hamil.
Ah, aku pusing. Kulihat Mas Khalil sangat tegang. Aku duduk disampingnya, kubelai rambutnya.
Tak berapa lama dokter menghampiri kami dan menunjukkan bahwa hasilnya adalah POSITIF.
Aku, Mas Khalil dan Ummi seketika terkejut dan terbelalak. Spontan Ummi sujud, sedang aku tak dapat bergerak, aku bengong, dan Mas Khalil spontan melepas selang infus dan memelukku serta membopongku dan menciumiku tanpa rasa malu.

“Alhamdulillah…”

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER