Cerita Bersambung
Untunglah sampai terminal langsung dapat bus. Semoga Tuan Khalil tidak mengejarku. Maafkan aku ya Nyonya, kalau aku disana terus, mau ngapain? Nyonya ‘kan sudah sembuh.
Perjalanan memakan waktu 10 jam untuk sampai terminal Jogja. Alhamdulillah jam 16.oo aku sampai Jogja, setelah itu naik angkudes untuk menuju desaku, lalu ngojek dan tepat jam 16.45 sampai rumah.
Kangen rumah, setelah turun dari ojek aku langsung menuju rumah. Rumahku masih seperti yang dulu, asri, nyaman, dan sejuk. Sepi, pada kemana? Biasanya sore begini duduk santai di depan pendapa.
“Refan…!”
Kupanggil nama anakku yang sedang bermain kejar-kejaran dan siapa itu? Mas Prayit? Mantan suamiku? Ngapain disini?
Refan menoleh ke arahku, sedikit terkejut dan berlari menghampiriku.
“Ibu…! Aku kangen sama Ibu, Ibu kok ndak pulang-pulang sih Bu,” kata Refan anakku yang setahun kutinggalkan merantau.
Dia tampak lebih tinggi dan gemuk. Dia memelukku, akupun memeluknya dan kucium. Kami saling melepas rindu.
“Refan, Ibu kangen banget, Refan sehat to?” Tanyaku, sambil kuciumi.
“Refan sehat Bu, itu ada Bapak, Bapak sering kesini, aku sering diajak jalan-jalan.” Kata Refan sambil menunjuk ke arah mas Prayit.
Aku cuek, aku memang masih sakit hati saat dia memutuskan menikahi janda beranak satu tetangga desa, hingga akhirnya aku cerai. Tapi didepan anakku, aku bersikap biasa saja.
“Oh iya, ayo masuk, Ibu kangen sama Mbah Kung dan Mbah Uti,” perintahku.
Kami masuk ke rumah diikuti mas Prayit.
Diih ngapain dia ngekor, males lihat mukanya.
“Assalamu’alaikum, Ibu Bapak apa kabar.”
Aku mencium punggung tangan kedua orangtuaku.
“Bapak dan Ibu sehat to?” Tanyaku.
Mereka berdua mengangguk bahagia. Lalu kupeluk keduanya, kulepaskan rasa rinduku, kuucapkan terimakasih karena telah merawat anakku selama ini. Kemudian aku masuk kamar meletakkan koperku, setelah itu, aku menuju dapur, kulihat Ibu di dapur sedang membuat teh manis.
“Bu, apakah Mas Prayit sering kesini?” Tanyaku.
Ibu mengangguk.
“Ngapain sih Mas Prayit kesini.” Tanyaku penasaran.
“Bukankah dulu ndak peduli dengan Refan,” lanjutku.
Ibu masih diam, tangannya mengaduk teh manis yang akan disajikan di ruang tamu.
“Prayit sudah cerai dengan si Endah dua bulan yang lalu, dan sejak saat itu dia sering kesini dan sering pula mengajak Refan. Dia menyesal katanya, ah nanti biar Prayit yang akan menceritakannya sendiri,” jawab Ibu.
“Ah Bu, aku capek mau mandi terus mau istirahat.” Kataku.
Kemudian aku mandi setelah itu masuk kamar, aku sama sekali tidak menemui Mas Prayit, malas sudah tidak ada urusan lagi dengannya. Melihat wajahnya saja muak, aku masih ingat bagaimana pengkhianatannya terhadapku dulu.
Namun tiba-tiba anakku masuk ke kamar dan memintaku keluar menemui Mas Prayit. Sebenarnya aku malas tetapi karena permintaan anakku akhirnya aku keluar juga.
Mas Prayit membuka pembicaraan.
“Insani, di depan kedua orangtuamu aku ingin rujuk padamu. Aku sangat menyesal, ternyata si Endah bukanlah wanita baik-baik. Dua bulan yang lalu aku menceraikannya, dia egois, dia tidak mau menerima Refan, dia hanya mau hartaku saja. Maka dari itu pas banget kamu pulang, aku bermaksud ingin rujuk lagi denganmu demi Refan.” Kata Prayit menjelaskan.
Wajahnya tampak penuh penyesalan, bahkan air matanya menetes. Aku hanya diam. Sebenarnya dihatiku masih ada setitik cinta tetapi mampu terkalahkan oleh rasa sakit yang telah Mas Prayit torehkan.
Dia menatapku penuh harap.
“Nanti akan aku pikirkan lagi ya Mas.”
Aku bergegas masuk kamar, tapi Ibu mengikutiku.
“Sani, sebelum kamu pulang, Prayit sudah bicara sama Ibu, dia menyesali semua perbuatannya, sekarang, bagaimana kalau kamu rujuk lagi sama Prayit, demi anakmu. Kasihan dia, anak seumuran dia, masih butuh kasih sayang Ayahnya.”
Ibu membujukku, entah kenapa Ibu sangat mendukungnya. Namun, yang dikatakan Ibu ada benarnya.
“Tapi Bu, bukankah dalam Islam, jika sudah cerai kemudian ingin rujuk lagi maka istri harus menikah dengan orang lain dulu, dan harus sudah berhubungan badan. Dan aku ndak mau seperti itu.” Jawabku.
Kulihat Ibu mengiyakan. Kemudian beliau keluar, sepertinya menceritakan hal tersebut ke Bapak dan Mas Prayit.
Kemudian Ibu datang lagi dan menyuruhku untuk keluar, menuju ruang tamu.
“Ada apa lagi, sudah jelas bukan?” Jawabku.
Ada semburat kecewa dimata Mas Prayit.
“Iya Insani, apa yang kamu katakan itu memang benar, baiklah aku pulang dulu barangkali nanti menemukan solusi.” Kata Mas Prayit.
Anakku mengikutinya.
“Bapak, ikut,” kata Refan.
“Refan mau, Bapak disini saja” lanjutnya, sambil memegang tangan Mas Prayit.
Hatiku pilu, sedih, tapi itu semua karena ulahmu sendiri Mas, kini saat kamu ingin memperbaiki, semua sudah terlambat. Akupun tak bisa rujuk, aku harus menikah dengan orang lain dulu.
“Bapak pulang dulu ya, insyaalloh besok kesini lagi.” Kata Mas Prayit.
Akhirnya Refan mengiyakan.
Mas Prayit pamit, kami saling pandang, masih ada cinta dimatanya, seperti ada rasa rindu. Sebetulnya, akupun demikian. Jika dia suamiku, mungkin aku sudah memeluknya, menciumnya, dan ah…..
“Sayang, sudah malam, tidur yuk, kali ini tidur sama Ibu ya,” ajakku pada Refan yang masih sedih karena Bapaknya pulang dan tidak menginap.
***
[POV-Khalil]
Akhirnya sampai juga gue di Jogja. Masih seperti yang dulu, wah sudah malam, gue cari hotel saja, pencarian rumah Sani besok. Kalau lihat di google map, sepertinya sudah dekat.
Pagi tiba gue siap-siap nyari rumah Insani. Gue telusuri melalui Google Map, sampailah gue di sebuah desa yang lumayan agak terpencil, gue tanyakan kepada salah seorang penduduk desa tentang Insani. Lalu gue ditunjukkan rumahnya.
Kulihat rumah yang besar dengan ornamen Jawa terkenal dengan joglo. Kanan kiri rumah terdapat pohon mangga. Kuparkir mobilku di halaman rumah, kemudian gue jalan menuju pendapa rumahnya. Gue ketuk pintunya, seoran anak kecil laki-laki membukakan pintu dia tersenyum padaku. Setelah itu dia berlari dan memanggil Mbah Utinya.
Terdengar dari kejauhan.
“Mbah, ada tamu seorang laki-laki sangat ganteng.” Teriaknya.
Gue senyum, lucu sekali dia, siapa dia ya, apa dia anaknya Insani.
Seorang perempuan setengah baya keluar dari dalam rumah. Gue disambutnya dan disalaminya.
“Maaf ini dengan siapa ya,” tanyanya dengan nada khas Jawa.
“Ehm, saya temannya Insani, eh Ibu saya yang dirawat Insani saat di Jakarta,” jawabku.
“Oh Tuan Khalil ya, Insani sering bercerita tentang Tuan, mari silakan duduk,”
Sebentar saya panggilkan.
Gue mengangguk. Wah rupanya Insani sering cerita tentang gue ke Ibunya, pasti menceritakan yang jelek-jelek tentang gue.
Tak lama Insani keluar dan menemuiku, sepertinya dia kaget.
“Tuan!” Kata Insani kaget. Gue hanya senyum datar.
“Kenapa Tuan menyusulku,” tanyanya. Masih dengan ekspresi kaget.
“Aku hanya melaksanakan perintah Ummi.” Jawabku.
“Tapi maafkan aku Tuan. Aku tidak mau ikut dengan Tuan lagi,” jawab Insani sedikit judes.
“Aku sudah tidak ingin merantau lagi Tuan, kasihan anakku.”
Belum sempat gue jawab tiba-tiba anak kecil yang tadi, berlari dan memelukku. Dia minta dipangku kemudian dia bertanya.
“Tuan, Tuan kok ganteng sekali, namanya siapa Tuan”
Gue senyum. Lucu sekali dia. Kulihat Insani juga kaget, kemudian dia melarang anak tersebut, tapi anak tersebut tak peduli.
“Namaku Khalil Al Fatih, kamu juga ganteng, manis lagi, seperti gula, hehehe. Oya namamu siapa?”
Masih kupangku anak tersebut, dan kucium.
“Namaku Refan, itu Ibuku, Insani Anugrah.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah Insani.
Aku ber ooooooooo.
Ibu Insani keluar dan membawakan teh manis serta cemilan, lalu mengajak Refan untuk main di belakang rumah.
“Itu anakmu Sani?” Tanyaku.
Dia mengangguk.
Ah, andai aku punya anak, mungkin anakku sudah 10 tahun.
“Anakmu lucu, pintar dan nggemesin,” lanjutku.
“Itulah sebabnya Tuan, aku sudah ndak mau lagi ke Jakarta,” jawab Insani.
Kami terdiam hingga beberapa menit.
“Sani” Ucapku membuka pembicaraan.
“Maukah kamu menerima permintaan Ummiku? Sani, aku hanya ingin membahagiakannya, selama ini, aku sudah durhaka. Jika kamu mau, aku akan memenuhi semua permintaanmu. Kembalilah ke rumahku.”
Kulihat dia masih diam tanpa bicara.
“Tu, Tuan, ini sulit bagiku.” Jawabnya singkat.
“Tapi kenapa Sani, bukankah kamu sudah tidak bersuami?” Kataku lagi.
Sebenarnya pantang bagiku memohon-mohon, apalagi dengan wanita kampungan itu, tapi demi Ummiku, kuturunkan egoku.
“Nanti akan saya pikirkan Tuan,” jawabnya datar.
==========
[POV. Insani]
Bangun pagi setelah sholat subuh, aku beres-beres di rumah, aku membantu Ibu membuat sarapan. Ayah pergi ke sawah jam 7 setelah sarapan. Seusai beres-beres aku mandi. Saat di kamar mandi kudengar anakku lari-lari memanggil Mbah Utinya.
“Mbah, ada tamu, seorang laki-laki sangat ganteng,” teriaknya.
Siapa pagi-pagi gini bertamu. Seusai mandi aku masuk kamar dan sedikit merias diri.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk, rupanya Ibu, kata Ibu ada tamu yang ingin bertemu denganku, siapa ya penasaran. Aku segera ke ruang tamu dan… Ooh, Tuan Khalil? Dia kesini? Ngapain?
“Tuan! Kenapa Tuan menyusul ku?" Tanyaku.
Dia menjawab, karena dia disuruh Ibunya. Dia memintaku untuk kembali ke Jakarta, tapi aku masih berpikir ulang. Aku tak mau meninggalkan anakku.
Kalau kulihat saat dia berinteraksi dengan anakku, dia sebenarnya memiliki sisi kelembutan, tapi kenapa denganku dia begitu dingin?
Kata terakhirku adalah
“Nanti akan saya pikirkan Tuan” Jawabku padanya.
Ya, aku memang harus berpikir ulang. Aku ndak mau dinikahin laki-laki seperti dia, gimana nanti rumah tanggaku jika sikapnya begitu. Lagipula, aku tidak mencintainya. Ah, bingung. Mas Prayit menginginkanku untuk kembali. Hmm tetapi ndak semudah itu, dalam agama, berarti aku harus menikah dulu dengan laki-laki lain.
“Insani, aku mau nelpon Ummi dulu,” kata Tuan Khalil tiba-tiba.
Dia mengeluarkan gawainya dan menelpon Umminya.
‘Hallo, Assalamu’alaikum…Ummi’ Ucap Khalil, speakernya dikeraskan hingga aku mendengar suara di sebrang sana.
_‘Wa’alaikumussalam, Khalil, bagaimana, apakah kamu sudah menemukan Insani? Kalau belum, lebih baik tutup saja telponnya!’_ Jawab Nyonya Rabiah, seperti sedikit emosi.
Ih, segitunya Nyonya, apakah benar beliau menginginkanku?
‘Ya Mi, iya, ini Khalil ada di rumahnya, ini ada Insani di dekatku.’ Jawab Khalil menegaskan.
‘Kalau gak percaya, ini Mi,’ lanjutnya lagi.
Dia menyerahkan HP nya padaku, dan kuterima.
‘Iya, halo Nyonya apa kabar? Nyonya sehat?’ Kataku.
_‘Insani, masyaAlloh, Insani, Ibu kangen kamu, kangen omelanmu, Ibu kangen saat kamu membangunkan sholat, Ibu kangen saat ngaji, kembalilah kesini, Ibu akan menuruti semua permintaanmu. Jika kamu tidak suka dengan Khalil karena dia galak, judes, sombong, atau dingin, nanti Ibu yang akan menasehatinya,’_ kata Nyonya Rabiah sambil menangis.
Kulirik Tuan Khalil, dia juga melirikku.
‘Tenang Nyonya, nanti aku bicarakan dengan orangtua dulu ya’ Jawabku.
Lalu HP kuserahkan ke Tuan Khalil.
‘Sudah ya Mi, Assalamu’alaikum...’ Kata Khalil.
Kemudian HP ditutup.
Sesaat kami diam. Hening, tanpa suara.
“Insani kalau begitu aku ingin bicara dengan Ayahmu,” kata Tuan Khalil.
Sepertinya dia serius.
“Maaf Tuan, Bapak tidak ada di rumah, beliau sedang di sawah, ada di rumah sore atau malam,” jawabku.
“Kalau begitu aku akan menunggunya,” jawab Tuan Khalil serius.
Seserius itukah? Ya Robb, aku bingung.
Dia menunggu Ayahku pulang, sedang sekarang baru jam 11 siang. Dia duduk-duduk di pendapa, sesekali melihat-lihat sekeliling rumah. Dia ditemani anakku. Anakku merasa senang, anakku termasuk anak yang supel dan gaul, ketermu sekali dengan Tuan Khalil dia langsung akrab.
Kulihat terkadang main kejar-kejaran, main kuda-kudaan, terkadang anakku digendong di pundaknya. Kalau dilihat, Tuan Khalil itu sangat penyayang.
Saat makan siang tiba, aku mempersilakan Tuan Khalil untuk makan siang. Kami makan siang bersama di meja makan dekat dapur. Setelah makan siang, kusuruh dia sholat Dhuhur dan sertelah itu, kupersilakan Tuan Khalil untuk istirahat di kamar, karena ku yakin dia sangat lelah setelah perjalanan jauh dari Jakarta ke Jogja.
Saat Tuan Khalil istirahat, tiba-tiba Mas Prayit datang. Dia melihat mobil Pajero terparkir, dengan penasaran dia menanyakannya padaku.
“Dek Sani, itu mobile sapa ta,” tanya Mas Prayit penasaran.
Anakku tiba-tiba menjawabnya.
“itu mobile Paman Khalil, temenne Ibu, orangnya ganteng banget Pak’e, tadi main sama Refan.” Jawab Refan semangat.
Hmm jujur banget anakku. Mas Prayit kaget.
“Apakah dia kekasihmu?” Tanyanya curiga.
Lalu aku menutup mulutku dengan satu jari agar tidak dilanjutkan.
“Refan, main sama Mbah Uti dulu ya,” kataku.
Dia mengangguk dan kebelakang dengan Mbah Utinya.
“Mas, ada Refan, jangan sembarangan bicara.” Kataku ke Mas Prayit.
Dia mengangguk.
“Dia bukan kekasihku, tapi majikanku di Jakarta.”
Aku menjelaskan padanya.
“Lalu untuk apa kesini,” tanyanya.
Seperti detektif saja, sebenarnya bukan urusanmu.
Lalu kujelaskan semuanya tentang maksud kedatangannya kesini dan juga keinginan Ibunya yang ingin menikahkan kepadaku.
Mas Prayit terkejut, sepertinya cemburu.
“Tidak dapat kubiarkan, aku tidak rela kamu menikah dengannya.” Kata Mas Prayit sedikit emosi.
“Aku juga ndak mau, tapi Umminya memaksaku, Umminya sangat baik padaku, jadi aku bingung,” kataku.
Biarlah aku curhat sama Mas Prayit.
Tapi sepertinya dia berpikir.
“Oya Dek, bagaimana kalau kamu terima saja lamarannya, nanti setelah menikah, lalu kamu minta cerai dan menikah denganku, gimana?” Kata Mas Prayit.
Gila, memang pernikahan cuma buat mainan apa, meski aku mau dengan Mas Prayit, tapi bukan begitu caranya.
“Mas, pernikahan bukan untuk main-main.” Balasku.
“Lalu bagaimana caranya biar kita bisa bersatu?” Tanyanya.
“Mas serius Dek, Mas pengin banget balik sama kamu, Mas masih menyayangimu, demi Alloh Mas menyesal telah menyia-nyiakanmu. Mas ingin kita bangun rumah tangga kita lagi. Mas ingin memperbaikinya,” lanjutnya.
Wajahnya tampak sedih, ada kristal bening jatuh. Dia memohon dan jongkok di depanku, berharap.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Bagaiman ini.
Apakah hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa balik sama Mas Prayit? Tapi, aku tidak tega. Tidak tega dengan Nyonya Rabiah, karena aku hanya memperalat Tuan Khalil hanya untuk kembali dengan Mas Prayit. Yaa Alloh…..
“Oya Dek, apakah Tuan Khalil belum menikah? Ataukah kamu mau dijadikan istri kedua?” Tanya Mas Prayit penasaran.
“Untuk laki-laki kaya, dan katanya tampan, tak mungkin jika dia belum beristri.” Lanjutnya lagi.
“Dia duda. Dia menceraikan istrinya yang ketahuan selingkuh. Istrinya selingkuh karena Tuan Khalil katanya mandul. Usia pernikahan 10 tahun, mereka belum punya momongan.”
Kujelaskan ke Mas Prayit tentang keadaan Tuan Khalil. Sepertinya dia merasa senang.
“Yes, ini jadi alasan kamu menceraikannya Dek, jadi nanti setelah kamu menikah dengannya, bila beberapa bulan kamu tidak hamil, maka mintalah cerai, itu bisa jadi alasan, gimana?” Kata Mas Prayit semangat.
Astaghfirullah, itu bukan sifatku, bukan watakku. Tapi kalau dipikir, menikah tapi tak punya keturunan, rasanya sia-sia. Huft.
Kutarik nafas panjang dan kukeluarkan pelan-pelan.
“Dek, tapi jangan bilang ke Bapak sama Ibuk ya, maksud kita ini, jadi nanti kalau Khalil melamarmu, terima saja. Ok, aku pulang dulu ya Dek. Ku tunggu kamu kalau bisa secepatnya kamu nikah, biar cepat pula kita bersatu. I love you dek, miss you always. Aku pergi….”
Setelah itu Mas Prayit pergi.
Aku duduk sendiri di ruang tamu. Aku masih tak habis pikir, ada benarnya juga yang dikatakan Mas Prayit, tapi kok hatiku tidak mendukung, malah menolak.
Aku ikuti alur yang Alloh tunjukkan padaku, aku yakin apapun yang kualami, itu yang terbaik untukku.
Bersambung #5
Kupanggil nama anakku yang sedang bermain kejar-kejaran dan siapa itu? Mas Prayit? Mantan suamiku? Ngapain disini?
Refan menoleh ke arahku, sedikit terkejut dan berlari menghampiriku.
“Ibu…! Aku kangen sama Ibu, Ibu kok ndak pulang-pulang sih Bu,” kata Refan anakku yang setahun kutinggalkan merantau.
Dia tampak lebih tinggi dan gemuk. Dia memelukku, akupun memeluknya dan kucium. Kami saling melepas rindu.
“Refan, Ibu kangen banget, Refan sehat to?” Tanyaku, sambil kuciumi.
“Refan sehat Bu, itu ada Bapak, Bapak sering kesini, aku sering diajak jalan-jalan.” Kata Refan sambil menunjuk ke arah mas Prayit.
Aku cuek, aku memang masih sakit hati saat dia memutuskan menikahi janda beranak satu tetangga desa, hingga akhirnya aku cerai. Tapi didepan anakku, aku bersikap biasa saja.
“Oh iya, ayo masuk, Ibu kangen sama Mbah Kung dan Mbah Uti,” perintahku.
Kami masuk ke rumah diikuti mas Prayit.
Diih ngapain dia ngekor, males lihat mukanya.
“Assalamu’alaikum, Ibu Bapak apa kabar.”
Aku mencium punggung tangan kedua orangtuaku.
“Bapak dan Ibu sehat to?” Tanyaku.
Mereka berdua mengangguk bahagia. Lalu kupeluk keduanya, kulepaskan rasa rinduku, kuucapkan terimakasih karena telah merawat anakku selama ini. Kemudian aku masuk kamar meletakkan koperku, setelah itu, aku menuju dapur, kulihat Ibu di dapur sedang membuat teh manis.
“Bu, apakah Mas Prayit sering kesini?” Tanyaku.
Ibu mengangguk.
“Ngapain sih Mas Prayit kesini.” Tanyaku penasaran.
“Bukankah dulu ndak peduli dengan Refan,” lanjutku.
Ibu masih diam, tangannya mengaduk teh manis yang akan disajikan di ruang tamu.
“Prayit sudah cerai dengan si Endah dua bulan yang lalu, dan sejak saat itu dia sering kesini dan sering pula mengajak Refan. Dia menyesal katanya, ah nanti biar Prayit yang akan menceritakannya sendiri,” jawab Ibu.
“Ah Bu, aku capek mau mandi terus mau istirahat.” Kataku.
Kemudian aku mandi setelah itu masuk kamar, aku sama sekali tidak menemui Mas Prayit, malas sudah tidak ada urusan lagi dengannya. Melihat wajahnya saja muak, aku masih ingat bagaimana pengkhianatannya terhadapku dulu.
Namun tiba-tiba anakku masuk ke kamar dan memintaku keluar menemui Mas Prayit. Sebenarnya aku malas tetapi karena permintaan anakku akhirnya aku keluar juga.
Mas Prayit membuka pembicaraan.
“Insani, di depan kedua orangtuamu aku ingin rujuk padamu. Aku sangat menyesal, ternyata si Endah bukanlah wanita baik-baik. Dua bulan yang lalu aku menceraikannya, dia egois, dia tidak mau menerima Refan, dia hanya mau hartaku saja. Maka dari itu pas banget kamu pulang, aku bermaksud ingin rujuk lagi denganmu demi Refan.” Kata Prayit menjelaskan.
Wajahnya tampak penuh penyesalan, bahkan air matanya menetes. Aku hanya diam. Sebenarnya dihatiku masih ada setitik cinta tetapi mampu terkalahkan oleh rasa sakit yang telah Mas Prayit torehkan.
Dia menatapku penuh harap.
“Nanti akan aku pikirkan lagi ya Mas.”
Aku bergegas masuk kamar, tapi Ibu mengikutiku.
“Sani, sebelum kamu pulang, Prayit sudah bicara sama Ibu, dia menyesali semua perbuatannya, sekarang, bagaimana kalau kamu rujuk lagi sama Prayit, demi anakmu. Kasihan dia, anak seumuran dia, masih butuh kasih sayang Ayahnya.”
Ibu membujukku, entah kenapa Ibu sangat mendukungnya. Namun, yang dikatakan Ibu ada benarnya.
“Tapi Bu, bukankah dalam Islam, jika sudah cerai kemudian ingin rujuk lagi maka istri harus menikah dengan orang lain dulu, dan harus sudah berhubungan badan. Dan aku ndak mau seperti itu.” Jawabku.
Kulihat Ibu mengiyakan. Kemudian beliau keluar, sepertinya menceritakan hal tersebut ke Bapak dan Mas Prayit.
Kemudian Ibu datang lagi dan menyuruhku untuk keluar, menuju ruang tamu.
“Ada apa lagi, sudah jelas bukan?” Jawabku.
Ada semburat kecewa dimata Mas Prayit.
“Iya Insani, apa yang kamu katakan itu memang benar, baiklah aku pulang dulu barangkali nanti menemukan solusi.” Kata Mas Prayit.
Anakku mengikutinya.
“Bapak, ikut,” kata Refan.
“Refan mau, Bapak disini saja” lanjutnya, sambil memegang tangan Mas Prayit.
Hatiku pilu, sedih, tapi itu semua karena ulahmu sendiri Mas, kini saat kamu ingin memperbaiki, semua sudah terlambat. Akupun tak bisa rujuk, aku harus menikah dengan orang lain dulu.
“Bapak pulang dulu ya, insyaalloh besok kesini lagi.” Kata Mas Prayit.
Akhirnya Refan mengiyakan.
Mas Prayit pamit, kami saling pandang, masih ada cinta dimatanya, seperti ada rasa rindu. Sebetulnya, akupun demikian. Jika dia suamiku, mungkin aku sudah memeluknya, menciumnya, dan ah…..
“Sayang, sudah malam, tidur yuk, kali ini tidur sama Ibu ya,” ajakku pada Refan yang masih sedih karena Bapaknya pulang dan tidak menginap.
***
[POV-Khalil]
Akhirnya sampai juga gue di Jogja. Masih seperti yang dulu, wah sudah malam, gue cari hotel saja, pencarian rumah Sani besok. Kalau lihat di google map, sepertinya sudah dekat.
Pagi tiba gue siap-siap nyari rumah Insani. Gue telusuri melalui Google Map, sampailah gue di sebuah desa yang lumayan agak terpencil, gue tanyakan kepada salah seorang penduduk desa tentang Insani. Lalu gue ditunjukkan rumahnya.
Kulihat rumah yang besar dengan ornamen Jawa terkenal dengan joglo. Kanan kiri rumah terdapat pohon mangga. Kuparkir mobilku di halaman rumah, kemudian gue jalan menuju pendapa rumahnya. Gue ketuk pintunya, seoran anak kecil laki-laki membukakan pintu dia tersenyum padaku. Setelah itu dia berlari dan memanggil Mbah Utinya.
Terdengar dari kejauhan.
“Mbah, ada tamu seorang laki-laki sangat ganteng.” Teriaknya.
Gue senyum, lucu sekali dia, siapa dia ya, apa dia anaknya Insani.
Seorang perempuan setengah baya keluar dari dalam rumah. Gue disambutnya dan disalaminya.
“Maaf ini dengan siapa ya,” tanyanya dengan nada khas Jawa.
“Ehm, saya temannya Insani, eh Ibu saya yang dirawat Insani saat di Jakarta,” jawabku.
“Oh Tuan Khalil ya, Insani sering bercerita tentang Tuan, mari silakan duduk,”
Sebentar saya panggilkan.
Gue mengangguk. Wah rupanya Insani sering cerita tentang gue ke Ibunya, pasti menceritakan yang jelek-jelek tentang gue.
Tak lama Insani keluar dan menemuiku, sepertinya dia kaget.
“Tuan!” Kata Insani kaget. Gue hanya senyum datar.
“Kenapa Tuan menyusulku,” tanyanya. Masih dengan ekspresi kaget.
“Aku hanya melaksanakan perintah Ummi.” Jawabku.
“Tapi maafkan aku Tuan. Aku tidak mau ikut dengan Tuan lagi,” jawab Insani sedikit judes.
“Aku sudah tidak ingin merantau lagi Tuan, kasihan anakku.”
Belum sempat gue jawab tiba-tiba anak kecil yang tadi, berlari dan memelukku. Dia minta dipangku kemudian dia bertanya.
“Tuan, Tuan kok ganteng sekali, namanya siapa Tuan”
Gue senyum. Lucu sekali dia. Kulihat Insani juga kaget, kemudian dia melarang anak tersebut, tapi anak tersebut tak peduli.
“Namaku Khalil Al Fatih, kamu juga ganteng, manis lagi, seperti gula, hehehe. Oya namamu siapa?”
Masih kupangku anak tersebut, dan kucium.
“Namaku Refan, itu Ibuku, Insani Anugrah.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah Insani.
Aku ber ooooooooo.
Ibu Insani keluar dan membawakan teh manis serta cemilan, lalu mengajak Refan untuk main di belakang rumah.
“Itu anakmu Sani?” Tanyaku.
Dia mengangguk.
Ah, andai aku punya anak, mungkin anakku sudah 10 tahun.
“Anakmu lucu, pintar dan nggemesin,” lanjutku.
“Itulah sebabnya Tuan, aku sudah ndak mau lagi ke Jakarta,” jawab Insani.
Kami terdiam hingga beberapa menit.
“Sani” Ucapku membuka pembicaraan.
“Maukah kamu menerima permintaan Ummiku? Sani, aku hanya ingin membahagiakannya, selama ini, aku sudah durhaka. Jika kamu mau, aku akan memenuhi semua permintaanmu. Kembalilah ke rumahku.”
Kulihat dia masih diam tanpa bicara.
“Tu, Tuan, ini sulit bagiku.” Jawabnya singkat.
“Tapi kenapa Sani, bukankah kamu sudah tidak bersuami?” Kataku lagi.
Sebenarnya pantang bagiku memohon-mohon, apalagi dengan wanita kampungan itu, tapi demi Ummiku, kuturunkan egoku.
“Nanti akan saya pikirkan Tuan,” jawabnya datar.
==========
[POV. Insani]
Bangun pagi setelah sholat subuh, aku beres-beres di rumah, aku membantu Ibu membuat sarapan. Ayah pergi ke sawah jam 7 setelah sarapan. Seusai beres-beres aku mandi. Saat di kamar mandi kudengar anakku lari-lari memanggil Mbah Utinya.
“Mbah, ada tamu, seorang laki-laki sangat ganteng,” teriaknya.
Siapa pagi-pagi gini bertamu. Seusai mandi aku masuk kamar dan sedikit merias diri.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk, rupanya Ibu, kata Ibu ada tamu yang ingin bertemu denganku, siapa ya penasaran. Aku segera ke ruang tamu dan… Ooh, Tuan Khalil? Dia kesini? Ngapain?
“Tuan! Kenapa Tuan menyusul ku?" Tanyaku.
Dia menjawab, karena dia disuruh Ibunya. Dia memintaku untuk kembali ke Jakarta, tapi aku masih berpikir ulang. Aku tak mau meninggalkan anakku.
Kalau kulihat saat dia berinteraksi dengan anakku, dia sebenarnya memiliki sisi kelembutan, tapi kenapa denganku dia begitu dingin?
Kata terakhirku adalah
“Nanti akan saya pikirkan Tuan” Jawabku padanya.
Ya, aku memang harus berpikir ulang. Aku ndak mau dinikahin laki-laki seperti dia, gimana nanti rumah tanggaku jika sikapnya begitu. Lagipula, aku tidak mencintainya. Ah, bingung. Mas Prayit menginginkanku untuk kembali. Hmm tetapi ndak semudah itu, dalam agama, berarti aku harus menikah dulu dengan laki-laki lain.
“Insani, aku mau nelpon Ummi dulu,” kata Tuan Khalil tiba-tiba.
Dia mengeluarkan gawainya dan menelpon Umminya.
‘Hallo, Assalamu’alaikum…Ummi’ Ucap Khalil, speakernya dikeraskan hingga aku mendengar suara di sebrang sana.
_‘Wa’alaikumussalam, Khalil, bagaimana, apakah kamu sudah menemukan Insani? Kalau belum, lebih baik tutup saja telponnya!’_ Jawab Nyonya Rabiah, seperti sedikit emosi.
Ih, segitunya Nyonya, apakah benar beliau menginginkanku?
‘Ya Mi, iya, ini Khalil ada di rumahnya, ini ada Insani di dekatku.’ Jawab Khalil menegaskan.
‘Kalau gak percaya, ini Mi,’ lanjutnya lagi.
Dia menyerahkan HP nya padaku, dan kuterima.
‘Iya, halo Nyonya apa kabar? Nyonya sehat?’ Kataku.
_‘Insani, masyaAlloh, Insani, Ibu kangen kamu, kangen omelanmu, Ibu kangen saat kamu membangunkan sholat, Ibu kangen saat ngaji, kembalilah kesini, Ibu akan menuruti semua permintaanmu. Jika kamu tidak suka dengan Khalil karena dia galak, judes, sombong, atau dingin, nanti Ibu yang akan menasehatinya,’_ kata Nyonya Rabiah sambil menangis.
Kulirik Tuan Khalil, dia juga melirikku.
‘Tenang Nyonya, nanti aku bicarakan dengan orangtua dulu ya’ Jawabku.
Lalu HP kuserahkan ke Tuan Khalil.
‘Sudah ya Mi, Assalamu’alaikum...’ Kata Khalil.
Kemudian HP ditutup.
Sesaat kami diam. Hening, tanpa suara.
“Insani kalau begitu aku ingin bicara dengan Ayahmu,” kata Tuan Khalil.
Sepertinya dia serius.
“Maaf Tuan, Bapak tidak ada di rumah, beliau sedang di sawah, ada di rumah sore atau malam,” jawabku.
“Kalau begitu aku akan menunggunya,” jawab Tuan Khalil serius.
Seserius itukah? Ya Robb, aku bingung.
Dia menunggu Ayahku pulang, sedang sekarang baru jam 11 siang. Dia duduk-duduk di pendapa, sesekali melihat-lihat sekeliling rumah. Dia ditemani anakku. Anakku merasa senang, anakku termasuk anak yang supel dan gaul, ketermu sekali dengan Tuan Khalil dia langsung akrab.
Kulihat terkadang main kejar-kejaran, main kuda-kudaan, terkadang anakku digendong di pundaknya. Kalau dilihat, Tuan Khalil itu sangat penyayang.
Saat makan siang tiba, aku mempersilakan Tuan Khalil untuk makan siang. Kami makan siang bersama di meja makan dekat dapur. Setelah makan siang, kusuruh dia sholat Dhuhur dan sertelah itu, kupersilakan Tuan Khalil untuk istirahat di kamar, karena ku yakin dia sangat lelah setelah perjalanan jauh dari Jakarta ke Jogja.
Saat Tuan Khalil istirahat, tiba-tiba Mas Prayit datang. Dia melihat mobil Pajero terparkir, dengan penasaran dia menanyakannya padaku.
“Dek Sani, itu mobile sapa ta,” tanya Mas Prayit penasaran.
Anakku tiba-tiba menjawabnya.
“itu mobile Paman Khalil, temenne Ibu, orangnya ganteng banget Pak’e, tadi main sama Refan.” Jawab Refan semangat.
Hmm jujur banget anakku. Mas Prayit kaget.
“Apakah dia kekasihmu?” Tanyanya curiga.
Lalu aku menutup mulutku dengan satu jari agar tidak dilanjutkan.
“Refan, main sama Mbah Uti dulu ya,” kataku.
Dia mengangguk dan kebelakang dengan Mbah Utinya.
“Mas, ada Refan, jangan sembarangan bicara.” Kataku ke Mas Prayit.
Dia mengangguk.
“Dia bukan kekasihku, tapi majikanku di Jakarta.”
Aku menjelaskan padanya.
“Lalu untuk apa kesini,” tanyanya.
Seperti detektif saja, sebenarnya bukan urusanmu.
Lalu kujelaskan semuanya tentang maksud kedatangannya kesini dan juga keinginan Ibunya yang ingin menikahkan kepadaku.
Mas Prayit terkejut, sepertinya cemburu.
“Tidak dapat kubiarkan, aku tidak rela kamu menikah dengannya.” Kata Mas Prayit sedikit emosi.
“Aku juga ndak mau, tapi Umminya memaksaku, Umminya sangat baik padaku, jadi aku bingung,” kataku.
Biarlah aku curhat sama Mas Prayit.
Tapi sepertinya dia berpikir.
“Oya Dek, bagaimana kalau kamu terima saja lamarannya, nanti setelah menikah, lalu kamu minta cerai dan menikah denganku, gimana?” Kata Mas Prayit.
Gila, memang pernikahan cuma buat mainan apa, meski aku mau dengan Mas Prayit, tapi bukan begitu caranya.
“Mas, pernikahan bukan untuk main-main.” Balasku.
“Lalu bagaimana caranya biar kita bisa bersatu?” Tanyanya.
“Mas serius Dek, Mas pengin banget balik sama kamu, Mas masih menyayangimu, demi Alloh Mas menyesal telah menyia-nyiakanmu. Mas ingin kita bangun rumah tangga kita lagi. Mas ingin memperbaikinya,” lanjutnya.
Wajahnya tampak sedih, ada kristal bening jatuh. Dia memohon dan jongkok di depanku, berharap.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Bagaiman ini.
Apakah hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa balik sama Mas Prayit? Tapi, aku tidak tega. Tidak tega dengan Nyonya Rabiah, karena aku hanya memperalat Tuan Khalil hanya untuk kembali dengan Mas Prayit. Yaa Alloh…..
“Oya Dek, apakah Tuan Khalil belum menikah? Ataukah kamu mau dijadikan istri kedua?” Tanya Mas Prayit penasaran.
“Untuk laki-laki kaya, dan katanya tampan, tak mungkin jika dia belum beristri.” Lanjutnya lagi.
“Dia duda. Dia menceraikan istrinya yang ketahuan selingkuh. Istrinya selingkuh karena Tuan Khalil katanya mandul. Usia pernikahan 10 tahun, mereka belum punya momongan.”
Kujelaskan ke Mas Prayit tentang keadaan Tuan Khalil. Sepertinya dia merasa senang.
“Yes, ini jadi alasan kamu menceraikannya Dek, jadi nanti setelah kamu menikah dengannya, bila beberapa bulan kamu tidak hamil, maka mintalah cerai, itu bisa jadi alasan, gimana?” Kata Mas Prayit semangat.
Astaghfirullah, itu bukan sifatku, bukan watakku. Tapi kalau dipikir, menikah tapi tak punya keturunan, rasanya sia-sia. Huft.
Kutarik nafas panjang dan kukeluarkan pelan-pelan.
“Dek, tapi jangan bilang ke Bapak sama Ibuk ya, maksud kita ini, jadi nanti kalau Khalil melamarmu, terima saja. Ok, aku pulang dulu ya Dek. Ku tunggu kamu kalau bisa secepatnya kamu nikah, biar cepat pula kita bersatu. I love you dek, miss you always. Aku pergi….”
Setelah itu Mas Prayit pergi.
Aku duduk sendiri di ruang tamu. Aku masih tak habis pikir, ada benarnya juga yang dikatakan Mas Prayit, tapi kok hatiku tidak mendukung, malah menolak.
Aku ikuti alur yang Alloh tunjukkan padaku, aku yakin apapun yang kualami, itu yang terbaik untukku.
Bersambung #5
episode 5 kok tidak ada
BalasHapusItu tiap hari terbit nya kok mas.
BalasHapus