Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 22 Maret 2022

Bukan Sekedar Cinta #5

Cerita Bersambung

Ashar berkumandang, rupanya Tuan Khalil tidurnya sangat nyenyak, mungkin kecapekan.
Ku suruh untuk mandi, lalu sholat Ashar. Setelah mandi dan sholat, dia terlihat segar.
Ya Alloh, baru ini aku menyadari kalau dia ternyata sangat tampan, badannya tinggi tegap dan kekar, rambutnya rapi, hidungnya mirip dengan Nyonya Rabiah, mancung, Astaghfirullah… kok aku jadi mbayangin sih, mungkin selama ini aku ndak menyadari karena tertutup oleh sikap dingin dan angkuh.
Dia menatapku heran saat aku menatapnya. Akupun salah tingkah, lalu kupersilakan untuk duduk di pendapa.
“Ada apa Udik, eh Sani, kok menatapku seperti itu, apakah aku seperti hantu?” Kata Khalil heran.

Ish, aku masih dipanggilnya Udik, kurang ajar tenan.

“Enggak Tuan, tapi seperti batu, hee,” jawabku sambil nyengir dan aku pergi ke dapur.

Lalu dia menuju pendapa.
Pas Ashar, Bapak pulang dari sawah, beliau heran, kok ada mobil parkir di depan rumah. Lalu kujelaskan bahwa yang datang itu adalah Tuan Khalil, majikanku dari Jakarta.
Kujelaskan pula maksud kedatangannya kesini dan Bapak mengangguk. Kemudian beliau mandi dan sholat Ashar.
Setelah shalat, kemudian Bapak ke pendapa menemui Tuan Khalil. Tuan Khalil menyuruh kami untuk duduk di Pendapa. Setelah aku buatkan minuman teh hangat dan kubawakan camilan. Aku pun duduk bersama mereka.
 
Tuan Khalil membuka pembicaraan.
“Perkenalkan, saya Khalil. Dulu anak Bapak bekerja mengurus Ummi saya.” Kata Khalil.
Ayah mengangguk.
“Oya, Sani sering menceritakan sampeyan,” kata Bapak.
Khalil terkejut.

“Benarkah, pasti menceritakan yang jelek-jelek tentang saya,” kata Khalil senyum.
“Ndak kok, hehehe,” kata Bapak terkekeh.

Kami semua juga terkekeh. Rupanya dia bisa bercanda juga baru kali ini aku melihat dia senyum, manis.

“Begini Pak, saya kesini ingin melamar anak Bapak, apakah Bapak mengizinkan?” Kata Khalil tiba-tiba.

Kami semua terkejut.
Terutama aku, to the point amat. Diluar dugaan, bukankah dia cuma minta agar aku kembali ke Jakarta, kok ini langsung melamar.

“Lho kalau saya tergantung Insani, kalau Insani bersedia ya monggo, kan yang menjalani Insani.” Kata Bapak, dan kulihat Ibuk juga mengangguk.

Kemudian aku ingat kata-kata Mas Prayit tadi siang.

“Bagaimana Sani, kamu bersedia? Kalau Bapak sama Ibumu ya tergantung kamu, Bapak hanya bisa mendoakanmu dan merestuimu, kan kamu yang menjalani. Cuma kalau mau nikah, ya bukan untuk main-main, niatkan karena Ibadah, karena Alloh agar berkah, Samawa.” Kata Bapak, meyakinkanku.

Mak jleb rasanya, baru tadi siang aku ngobrol sama mas Prayit, dia menyuruhku untuk menerima lamarannya agar aku bisa menikah lagi dengannya. Tapi Bapak menasehati ku seperti itu. Namun kupikir memang benar yang dikatakan Bapak.
Bismillah, niat sambil jalan wis.

“Bismillah, aku setuju, baiklah, aku mau menikah dengan Tuan Khalil.” Jawabku sedikit ragu.

Kulihat wajah Tuan Khalil bahagia, entah apa yang dirasakan, mungkin bahagia karena berhasil membawaku pulang atau yang lain.

“Alhamdulillah,” jawab Tuan Khalil.
“Kalau bisa secepatnya ya Pak.” Lanjut nya.
Ish, kebelet apa, maunya buru-buru.

“Tapi kami butuh persiapan Nak,” kata Ibu.
“Oh Ibu gak usah khawatir, nanti segala biaya kami yang nanggung. Ehm, sebentar ya Pak, Bu, saya telpon Ummiku.” Kata Tuan Khalil.

‘Assalamualaikum Ummi, Umi Alhamdulillah Sani mau menikah denganku.’
_‘Waalaikumsalam Alhamdulillah kamu berhasil terima kasih. Dua hari lagi Ummi kesitu langsung melamar dan langsung nikah ya?’_
‘Iya Ummi’
Telepon ditutup.

“Bapak, Ibu, Ummiku dua hari lagi mau kesini, katanya mau lamaran dan langsung akad. Memang terlalu cepat, tapi lebih cepat lebih baik.” Ucapnya semangat.
Ish, memangnya aku apaan, haduh, dua hari lagi? Bagai mimpi.

“Tapi kami butuh persiapan,” kata Ibu.
“Bu, nanti saya berikan uang mahar dan uang belanja. Yang penting syah, sederhana saja, untuk resepsi, nanti kita pikirkan.” Ucap Khalil.
“Tapi kenapa harus cepat-cepat?” Kata Bapak penasaran.
“Begini Pak, saya sudah cukup kenal dengan Sani. Dan saya gak boleh pulang tanpa membawa Sani. Ummiku sangat menyayangi Sani, bahkan lebih menyayangi Sani dibanding ke saya.” Ucapnya meyakinkan.

Bapak mengangguk-anggukkan kepala.
Pinter juga dia bikin alasan.

“Baik, Ibu akan buat persiapan. Besok kalian ke KUA untuk daftar, siapkan surat-suratnya,” kata Ibu.
Aku dan Khalil mengangguk.
“Kalau begitu, aku pamit, aku nginap di hotel dekat Malioboro.” Ucap Khalil.
“Besok pagi saya kesini untuk mengurus pendaftaran.” Lanjutnya.

Dia pamit dan berlalu menuju mobilnya. Dia juga pamit dengan anakku, anakku dikecup keningnya dan diberikan selembar uang seratusan, anakku senang sekali dan mengucapkan terima kasih. Dia melambaikan ke kami dan anakku.

_Hari ini dia berbeda_

Selepas Maghrib, Mas Prayit datang ke rumah. Dia duduk di ruang tamu, anakku langsung memeluknya.

“Bapak, Paman ganteng temennya Ibu tadi ngasih sangu (uang saku) ke aku, ini (sambil menunjukkan selembar uang seratusan),” kata Refan senang.

Maklum, anak-anak bila dikasih uang, girangnya bukan kepalang, kayak aku dulu, sekarangpun juga demikian. Hehehe
Mas Prayit tersenyum, tapi ada rasa tidak suka.

“Bilang terimakasih ndak, hayo,” kata mas Prayit.
“Iya bilang,” kata anakku.
“Oke, anak pintar,” jawab mas Prayit sambil mengelus kepala Refan dan menciumnya.

Refan lalu masuk ke ruang keluarga dan nonton TV.
Bapak dan Ibu juga nonton TV, sementara aku dan Mas Prayit mengobrol di ruang tamu.

“Bagaimana Dek Sani, apakah dia melamarmu?” Tanya mas Prayit penasaran.

Aku anggukkan kepalaku, ada rasa ragu menjalar. Niat menikah dengan Khalil itu apa? Apakah hanya agar aku bisa kembali ke Mas Prayit, ataukah memang ingin ibadah.

“Mas, tapi sekali lagi kukatakan, bahwa aku tak ingin main-main dalam pernikahan.” Jawabku.
“Siapa yang main-main? Tujuan kita kan karena agar kita bisa bersatu lagi, dan anak kita memiliki orangtua yang bersatu. Apa kamu gak kasihan sama Refan?” Kata Mas Prayit meyakinkan.

Aku mengangguk pelan. Tetap ada rasa yang mengganjal.

“Jalani saja sekarang.” Lanjut Mas Prayit.
“Tapi Mas, aku boleh nikah sama kamu, bila aku menikah dengan pria lain, dan sudah berhubungan badan, dan apakah kamu tidak cemburu?” Tanyaku.

Nekat kutanyakan seperti itu biar dia tahu.
Sejenak dia diam.

“Cemburu sih iya, tapi gak apa-apa, lagipula gak mungkin kamu hamil,” ucapnya.

Ya Alloh…
Semoga keputusanku menikah dengan Tuan Khalil adalah jalan yang baik.

==========

[POV. Khalil]

Sembari menunggu Bapaknya Insani, gue duduk di pendopo, ditemani Refan. Dia anak yang supel dan mudah bergaul, sehingga gue bisa akrab dengannya. Ah, andai gue punya anak.
Selepas Dhuhur, kami makan siang di meja makan dekat dapur. Setelah itu, Sani menyuruhku sholat lalu istirahat.
Gubrakkkkkkkk, berapa tahun gue gak sholat, sebagian lupa bacaan sholatnya, tapi ya udahlah, malu gue ma orangtuanya Sani, huft.
Habis sholat gue istirahat, rasanya memang sangat lelah, nyetir sendiri tanpa sopir.
Saat di kamar, gue dengar seperti ada yang berisik, siapa siang-siang gini, gue intip dari balik pintu. Oh rupanya Insani, tapi dengan siapa? Siapa laki-laki itu, apa mantan suaminya. Namun sayup-sayup kudengar kalau dia menginginkan Sani untuk menikah dengannya.
Iya, dia mantan suaminya, gue dengar pula kalau dia mau menikah dengan Sani, tapi Sani harus menikah dulu dengan laki-laki lain. Dan dia menyarankan agar Sani mau menikah dengan gue, setelah itu minta cerai dengan gue dengan alasan kalau gue mandul.
Wah, laki-laki gak bener, brengsek. Lo kira menikah untuk main-main.
Meski gue judes, dingin, arogan, tapi gue punya rasa tanggung jawab. Kasihan Sani, hanya dipermainkan. Dulu dia mengkhianati Sani, begitu perempuan yang dinikahi mengkhianatinya, lalu dia ingin kembali dengan dalih kasihan anak. Hah, gue benci laki-laki macam lo. Laki-laki arogan.
Wah, nanti sore, gue harus langsung melamarnya, biar laki-laki itu puas dan senang, tapi, gue tidak akan menceraikan Sani, tidak akan!
Setelah itu gue kembali tidur, hingga pas Ashar gue bangun.
Sani menyuruh gue mandi, gue menurutinya, lalu dia menyuruhku Sholat.
Setelah sholat, gue merapikan rambut di cermin, lalu keluar kamar, sepertinya Ayah Sani telah pulang.
Kulihat Sani memperhatikanku, pandangan kami bertemu.
Ehm, kalau diperhatikan, dia itu manis, cantik banget sih enggak tapi tidak ngebosenin, dan setiap pakaian yang dia kenakan, selalu saja pas dan pantas. Ish, kok gue jadi ngebayangin sih, si Udik gadis kampung, hahaha.

“Ada apa Udik, eh Sani, kok menatapku seperti itu, apakah aku seperti hantu?” Kataku.
“Enggak Tuan, tapi seperti batu, hee,” Jawab Sani sambil nyengir dan berlalu ke dapur.

Sial, rupanya dia masih menganggap gue kayak batu. Udik.
Gue menuju ke pendapa, tak lama Ayah Sani datang, gue mulai membuka pembicaraan dan mengutarakan maksud kedatangan gue kesini.
Gue langsung melamar Sani, biarin, meski dia kaget dan gak nyangka, yang penting Ummi gue bahagia.
Sebenarnya orangtua Sani juga kurang setuju karena terlalu cepat, tapi karena alasan gue yang masuk akal, akhirnya merestui Sani menikah dengan gue.
Setelah semua beres, gue pamit, esok pagi gue kesini mengurus pendaftaran nikah di KUA, lalu nikah.
***

[Back to Author]

Hari ini rencana daftar ke KUA bersama Khalil. Jam 08.00 pagi, Khalil sudah datang. Hari ini dia pakai baju sedikit resmi. Atasan batik, bawah celana jeans ketat dengan sendal gunung. Rambutnya cepak, rapi.
Dia mendekatiku, aroma parfum maskulinnya, membuatku serr… sial, kenapa aku merasa ada getaran aneh.

“Sani, kau siap,” tanyanya datar.
Gila, kalau lagi berdua, sifatnya keluar, kumat. Dingin, judes dan arogan.

“Aku pamit sama Bapak dan Ibuku dulu,” kataku.
“Oh iya Sani, ini untuk pernikahan kita, berikan ke Bapak dan Ibumu.” Kata Khalil sambil mengeluarkan amplop coklat dan memberikannya padaku, entah apa isinya, mungkin uang.

Aku menuju ke orangtuaku yang dari tadi berdiri di pendapa. Hari ini Ayah libur ndak ke sawah. Kuberikan amplop dari Khalil ke Ibu, lalu aku pamit.
Kami menuju ke KUA, setelah itu, aku diajak ke toko emas untuk membeli mahar. Dia membelikan ku kalung, sepasang anting, gelang dan cincin. Kemudian seperangkat alat sholat, beberapa stel gamis, sendal, daleman. Tak lupa dia membelikan beberapa stel baju untuk Refan, Bapak dan Ibu. Semua itu aku yang milih. Kalau kayak gini, author suka, hahahaha shopping. Sssst.
Sepanjang jalan, kami hanya diam, karena memang Tuan Khalil itu gak asyik, kalau ditanya jawabnya paling iya, tidak.
Judes banget. Beneran, tapi herannya kalau sama orang lain, bisa ramah dan sopan.
Dasar berkepribadian ganda, huft.
***

Jam 14.00 kami pulang. Katanya Nyonya Rabiah akan datang bersama Mbok Tinah dan beberapa kerabat, dari sana bada Dhuhur, kamungkinan nanti malam jam 01.00 dini hari sampai. Nanti beliau langsung ke Hotel tempat Khalil menginap. Dan keesokan harinya, meraka kerumah. Wah, aku kangen Nyonya dan Simbok.
Akad nikah dilaksanakan sore jam 14.00.
Ya Alloh, ini pernikahan keduaku, tapi aku merasa stres dan gugup.
Aku menghampiri Ibu.

“Bu, gimana persiapannya?”
“Alhamdulillah, sudah beres. Tadi Ibu langsung belanjakan, dan tetangga sudah Ibu mintai bantuan untuk masak. Oya, uang yang diberikan ke Ibu itu, banyak banget Sani, padahal sudah Ibu belanjakan, untuk tukang rias, untuk layos, tapi masih sisa.” Kata Ibuku.

“Simpan saja dulu Bu, untuk sesuatu yang mendadak.” Jawabku.
Akupun ke Ayah.
“Ayah, bagaimana persiapan nya?" Tanyaku.
“Alhamdulillah, sudah siap. Ayah mengundang kurang lebih seratus orang untuk acara Akad nikah mu. Sederhana saja asal Syah.” Jawab Ayah.

Aku mengangguk.
Malam ini, aku tak bisa tidur. Aku masih tak percaya, apakah benar besok aku menikah.
Kutemui Ayah Ibu di ruang tamu.

“San, kemarin Prayit memintamu rujuk, tapi itu gak bisa dilakukan karena kamu sudah talak 3, kalaupun bisa, kamu harus nikah dengan laki-laki lain. Namun, ayah gak mau dan gak setuju kalau pernikahan dengan Khalil, menjadi alasanmu untuk menikah dengan Prayit. Ingat, Pernikahan bukan mainan.” Kata Bapak meyakinkan.

Aku mengangguk pelan. Ndak tahu nanti bagaimana. Akhirnya aku kembali ke kamar.
Tiiiit tiiit gawaiku berbunyi, siapa tengah malam gini ngirim pesan. Mas Prayit, ngapain.

Mas Prayit: [Dek Sani, besok kamu menikah, jangan lupa janji kita ya, setelah menikah dengannya, beberapa bulan kemudian, mintalah cerai.
Dek Sani, Mas kangen sama kamu, Mas cinta sama kamu, andai boleh, Mas akan datang padamu malam ini, andai boleh, sebelum kamu menikah, Mas minta waktumu malam ini. Mas cemburu Dek Sani, Mas sakit hati, rasanya tak rela kalau Dek Sani bersanding dengan laki laki lain. 😭😭😭]
Me: [Mas, Sani juga kangen, Sani juga cinta, cinta banget, tapi, takdir berkata lain.]

Astaghfirullah, terlanjur terkirim. Kenapa kubalas begitu. Haduh…
Tak kupungkiri masih ada hati untukmu Mas, tapi sedikit.

Mas Prayit: [Ya sudah, menikahlah besok, demi aku dan Refan]
Me: [iya]

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER