Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 24 Maret 2022

Bukan Sekedar Cinta #7

Cerita Bersambung

Alarm bunyi tepat jam 04.30, mataku masih ngantuk, tapi aku harus bangun dan sholat Subuh. Aku merasa badanku terasa berat, seperti tertindih batu yang amat besar hingga sulit bernafas. Apa ini, begitu kubuka mata, aku terbelalak, huaaaaa Tuan Khalil memelukku erat, aku tak berkutik. Kugoyangkan badanku agar aku bisa bangun, tapi susah.

“Tuan, tuan, apa yang tuan lakukan, kenapa Tuan tidur disini,” teriakku sambil kugoncang badannya.
Astaghfirullah aku lupa kalau dia suamiku.
Tiba-tiba, dia bangun dan mencium bibirku,

“Jangan berisik, masih pagi”

Aku terbelalak, dan melompat dari tempat ridur.

“Lancang sekali Tuan,” lalu dia mengejarku dan bermaksud menciumku.
“Jangan, jangan Tuan” kataku lagi, sambil aku bergeser mundur.
“Kamu lupa, kalau kita sudah menikah? Dan apakah kamu lupa peraturan semalam? Jangan panggil aku Tuan, Aku suamimu, jelas!” Katanya sambil bangkit dari tempat tidur.
“I, iya, iya Mas, eh Sayang, aduh” Jawabku grogi dan sedikit malu.

Lalu dia mendekat dan membisikkan ketelingaku

“Itu lebih baik, sayang,” jawabnya, tapi kaku.

Hahaha bilang sayangnya kaku, secara, orang judes, jadi gak pantes bilang sayang.
Ehm, meski kaku, judes, tapi ada romantis nya. Hemmm syuka.

“Udah Adzan, silakan mandi dulu, setelah itu ke Masjid bareng Bapak. Ini handuk dan bajunya,” kataku.

Kuserahkan handuk dan baju Koko miliknya di tas.

“Masih ngantuk, ehm, asyik juga tidur ada yang menemani,” ucapnya sambil melirikku.

Aku sebenarnya malu, dan grogi.

“Sudah Tuan, jangan banyak bicara, keburu Iqomat,” balasku.

Tiba-tiba dia mendekatiku dan mendekat ke wajahku, jarak kami hanya beberapa inci, panas dingin badanku, dan aku langsung kabur keluar kamar, huaaaaa
Aku ingat, kalau tadi aku bilang Tuan makanya dia mendekatiku dan ingin menciumku. Lalu aku kabur, dia mengejarku hingga ke luar kamar, ternyata di luar ada Ayah dan Ibu, akhirnya kami berhenti. Aku sangat malu, begitu juga dengan dia, terlihat dia salah tingkah dan garuk-garuk kepala yang aku yakin tidak gatal.

“Insani, ada apa ini, pagi-pagi bangun tidur kok kejar-kejaran, memangnya semalam kurang?” kata Ibu, sambil ketawa meledek.
“Endak kok heeee,” jawabku.
“Udah Sono mandi, cepat, tu Bapak nungguin,” kataku pada Khalil.

Diapun nurut.
Kemudian kubangunkan pula Refan agar dapat Subuhan bareng. Meski sulit dibangunin, tapi Alhamdulillah nurut.
Habis mandi, dia, Refan dan Bapak menuju Masjid untuk sholat. Setelah itu kami ngobrol di ruang tamu.
Dia membuka pembicaraan.

“Bapak, nanti InsyaAlloh ba’da Dhuhur kami mau balik ke Jakarta. Sudah beberapa hari ini saya tidak kekantor, dan Insani langsung ikut saya begitu juga Refan.” Ucap Khalil.

Bapak sedikit terkejut.

“Kok secepat ini, apa ndak besok saja,” jawab Bapak.
“Maunya sih lama, tapi karena kerja.” Jawabnya.

Kemudian Ibu menimpali.

“Kalau Refan, jangan ikut dulu ya, karena masih sekolah, nanti saja kalau tahun ajaran baru. Kira-kira dua bulan lagi.”
“Ya wis, berarti nanti dua bulan lagi, kujemput Refan,” Jawabku.

Kami ngobrol, lalu sarapan. Setelah itu aku bersiap untuk kembali ke Jakarta, kubereskan semua pakaianku dan pakaian Tuan Khalil, eh Mas Khalil. Kumasukkan semua ke koper. Kali ini aku kembali ke Jakarta bukan untuk bekerja, tapi sebagai istri dari Tuan Khalil Ahmad Al Fatih.
Aku tak tahu nanti bagaimana kelanjutan hidupku. Disisi lain, Mas Prayit mengharapkan ku kembali, di sisi lain, bahwa pernikahan itu bukan permainan.
Setelah makan siang dan Sholat Dhuhur, kami berpamitan. Kulihat anakku tampak sedih, tapi kuyakinkan bahwa Insyaallah dua bulan lagi aku kembali untuk menjemputnya. Kusalami dia dan kucium pipinya.

“Yang baik di rumah ya Nak,” pesanku padanya.

Dia mengangguk.
Mas Khalil juga menyalami dan menciumnya, kulihat kasih sayang terpancar penuh kebapakan. Mungkin karena 10 tahun menikah, belum dikaruniai anak, jadi ada kerinduan akan hadirnya momongan.
Kami pamit.
***

Perjalanan 10 Jam, berhubung sering berhenti untuk istirahat, jadi perjalanan lebih dari 12 jam.
Akhirnya jam 01.00 dini hari, kami sampai.
Kami disambut Mbok Tinah, kalau Nyonya Rabiah mungkin sudah tidur. Begitu aku masuk rumah, ternyata Nyonya Rabiah bangun. Beliau tahu kalau hari ini kami pulang.
Diwajahnya tampak bahagia, dia memelukku dan menciumku.
Setelah itu aku menuju kamar, aku menuju kamar Nyonya Rabiah, tapi tiba-tiba Nyonya Rabiah menghentikan ku.

“Sani, mau kemana?” Tanyanya heran.
“Ke kamar Nyonya,” jawabku.

Dia terkekeh, begitu juga Mbok Tinah, kalau Mas Khalil hanya senyum.

“Kamu lupa yah, bahwa sekarang kamu adalah Nyonya Khalil, kamarmu disana,” kata Nyonya Rabiah sambil menunjuk kamar Tuan Khalil dan Nyonya Siska dulu.

Aku tertunduk dan malu. Lalu Nyonya Rabiah menuntunku ke kamar, Tuan Khalil sudah jalan duluan.

“Sekarang ini kamar mu sayang, dan sekarang, jangan panggil aku Nyonya, tapi panggil saja Ummi. Ok,” kata Nyonya Rabiah lembut.

Aku mengangguk pelan, setelah itu nyonya Rabiah meninggalkan kamar, aku hanya terpaku.
Waow kamarnya sangat luas. Ada ranjang ukuran 200x200, disampingnya ada meja rias dan lemari pakaian. Ada juga kamar mandi dilengkapi bath up, satu sofa dan meja, TV LED menempel didinding, Masha Alloh… beginilah orang kaya. Namun sayang, hampa.
Kulihat Khalil ke kamar mandi, mungkin bersih-bersih, aku juga ingin ke kamar mandi, jadi menunggunya keluar.
Kulihat gawaiku yang dari tadi belum kusentuh. Ada pesan dari Mas Prayit. Kirim apa dia.

Mas Prayit: [Dek Sani, kenapa kembali ndak ngomong-ngomong, setidaknya aku ingin melihatmu untuk yang terakhir kali]
Me: [iya, maafkan aku, Khalil buru-buru, besok kerja]
Mas Prayit: [Iya sudah, aku menantikanmu Dek, jangan lama-lama]
Me: [Aduh mas, aku masih belum siap, lagipula dia sangat dingin, judes.]
Mas Prayit: [Aduuuh, mbok ya yang agresif, kamu yang mancing-mancing dia]
Me: [Tauk lah Mas]

Kumatikan saja HPnya, pusing, Mas Prayit selalu saja begitu, dipikir aku apaan. Huft.
Eh, rupanya dia sudah keluar kamar mandi. Kuperhatikan dia, Masha Alloh, dia pakai kaos boxer tipis dan celana panjang kaos. So handsome...

“Ada apa Udik, lihat-lihat,” katanya datar.
“Eh enggak,” lalu masuk kamar mandi.

Aku memakai baju tidur piyama motif Hello Kitty warna pink, meski sudah beranak satu, tapi aku masih suka baju motif ABG, hihi
Keluar kamar mandi, dia memperhatikanku dari atas hingga ujung kaki.

“Ada apa lihat-lihat,” tanyaku, seperti pertanyaan dia tadi.
“Rupanya aku nikah sama ABG, ckckck,” jawabnya, sambil geleng-geleng kepala.
“Biarin kayak ABG, awet muda, meski beranak 1 tapi jiwa muda,” jawabku sekenanya sambil melet.

Lalu aku menuju ranjang dan gabruk, langsung merebahkan badan ke kasur.

“Tuan, Tuan tidur di sofa, aku kan tamu, jadi aku yang di ranjang, ndak usah takut dingin ya, OK,” ucapku sedikit galak.

Lalu aku menutup badanku dengan selimut, ugh nyaman.
Tiba-tiba selimutku dibuka, dan ough, dia sudah hadapanku, wajahnya sangat dekat, tiba-tiba dia mengecup bibirku lembut, dan serr dadaku bergemuruh. Aku melotot dan tak bisa berbuat apa-apa.
Sial, aku lupa kalau tadi aku menyebutnya Tuan.

“Itu hukumanmu karena memanggilku Tuan, tapi ga apa-apa panggil saja terus jadi aku bisa menciummu,” katanya sambil melet.
"Aku gak mau tidur disofa, ada teman baru, ngapain disia-siakan.” Lanjutnya sambil terkekeh.

Duh, aku terjebak, kok badan rasanya panas dingin gini yah, aku ingat pesan Mas Prayit, aku harus agresif, tapi begini saja aku sudah lemas. Kupejamkan mataku, tiba-tiba dia memelukku, dan berbisik

“Aku tak kan meminta hakku sebelum kamu ikhlas dan meminta sendiri padaku,” kata dia.

Oh My God. Aku terjebak…

==========

Jam 04.15 alarm gawaiku berbunyi. Akupun terbangun, rasanya masih ngantuk, secara sampai sini baru tadi jam satu dini hari. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan wudhu untuk persiapan sholat. Setelah itu kubangunkan Tuan Khalil. Rasanya lidahku belum terbiasa untuk memanggil Mas, atau Bang, atau Suamiku, tapi kucoba.

“Mas, eh suamiku, duh, belibet amat. Bangun! Sudah Subuh, ayo Sholat.” Kugoyang-goyangkan badannya agar bangun.

Dia hanya menggeliat, mungkin capek dan ngantuk karena seharian menyetir. Tapi karena Sholat itu wajib, maka harus kupaksa.

“Suamiku, ayo bangun, sebentar lagi Adzan, nanti keburu Qomat,” masih kugoyang-goyangkan badannya.

Sesaat matanya melek, lalu tidur lagi sambil bergumam,

“Males, masih capek dan ngantuk.”

Waduh, dengan cara apa ini biar bangun.

“Tuan, bangun Tuan, ayo bangun, nanti habis sholat, Tuan bisa tidur lagi!” Aku sedikit berteriak.

Matanya langsung melek karena mendengar teriakanku, seperti mimpi, dia langsung bangun.

“Ada apa, seperti ada yang berteriak,” tanyanya kebingungan.
“Hahahaha, Tuan, Tuan nglindur ya…” Ucapku sambil tertawa, habis lucu sih.

Tiba-tiba dia mendekatiku, dan merangkul ku.

“Kamu ngerjain aku yah,” kata Khalil, aku dipepet ke tembok.

Tangannya menyelusup di sela jilbabku.
Aku sedikit gemetar.

“Ma, maaf, bentar lagi Subuh, Tu, Tuan, eh, Mas, harus mandi dan Sholat Subuh,” Kataku gelagapan.

Matanya menatapku tajam, kami saling tatap lama… (Rabbahe... itu soundtrack nya di film KHUSHI, hehehe), bibirnya mendekat ke bibirku, dan dia menciumku.

“Itu hukumanmu karena berani menggangguku,” katanya dingin.

Lalu dia masuk ke kamar mandi.
Aku, aku masih terpaku, jantungku hampir copot, nafasku memburu. Gila, baru segini aja aku sudah tak karuan.
Setelah itu, kusiapkan baju Koko dan sarung. Kutunggu dia, lama ndak keluar-keluar, ada apa, apa dia pingsan?
Ah, mana mungkin orang kayak gitu sampai pingsan.
Ku ketuk pintu kamar mandi, tapi ndak ada respon, kuketuk lagi, tetep ndak ada respon, kenapa ini, lalu kugedor-gedor.

“Buka, buka pintunya Mas, buka pintunya, Mas ndak apa-apa to… cepat buka.”

Tiba-tiba pintu dibuka, yang muncul hanya wajahnya.
Wajahnya tampak salah tingkah dan sedikit malu. Akupun lega.

“Kenapa kok lama di kamar mandi?” Tanyaku.

Dia garuk-garuk kepala.

“Aku, aku lupa bawa handuk,” jawabnya pelan.

Sontak aku langsung ketawa.

“Huahahahaha, ups… makanya jangan suka ngerjain orang,” kataku.

Lalu kuambil kan handuk dan kuberikan ke dia.
Tak lama dia keluar dan hanya menggunakan handuk sebagai penutup perut hingga lutut. Akupun menutup mataku dan membelakanginya.

“Jangan pornoaksi disini, cepat ganti di kamar mandi,” kataku, masih sambil menutup mukaku dengan kedua tangan.

Dia menurut, lalu ke kamar mandi dan berganti baju. Aku mengelus dada.
Setelah itu, langsung kusuruh dia ke Masjid komplek, dia sedikit ragu, tapi kupaksa, akhirnya nurut juga.

Begitu keluar kamar, kulihat Ummi sudah rapi, dan tersenyum kepada kami berdua.

“Alhamdulillah, akhirnya anakku ke Masjid lagi,” kata Ummi sambil mencium putranya, Khalil Ahmad Al Fatih.

Setelah sholat subuh, aku ke dapur, kubuatkan coklat panas untuk suamiku, karena kutahu itu adalah minuman favoritnya.
Kulihat dia kembali dari Masjid, lalu masuk ke kamar. Kusalim dan kucium punggung tangannya. Dia agak heran, tapi manut dengan apa yang kulakukan. Mungkin selama menikah dengan Nyonya Siska, Nyonya Siska tidak pernah melakukan hal seperti itu.
Dia duduk di sofa, lalu buka laptop, mungkin memeriksa kerjaannya. Kusodorkan coklat panas untuknya. Dia hanya melirik, sedikit cuek, mang gitu orangnya. Kadang tiba-tiba romantis, tiba tiba dingin.
Akhirnya aku duduk di tepi ranjang. Kuambil gawaiku, dan ada pesan dari Mas Prayit.
Subuh-subuh ngapain sih ngirim pesan.

Mas Prayit: [Dek, ingat pesan Mas di awal. Kamu menikah dengan Khalil, supaya kita bisa menikah kembali. Kasihan Refan, dia butuh kita.]

Kalau kupikir, memang kasihan juga Refan. Tapi aku tidak mau pernikahan hanya untuk mainan.
Mas Prayit itu cinta pertamaku, terus terang aku tak bisa melupakannya meski dia pernah menyakitiku. Aku sudah memaafkannya, tapi untuk kembali padanya, aku tak tahu.

Me: [Mas, maafkan aku, aku butuh waktu.]

Lama tak dibalas.
Akupun keluar kamar, kulihat Mbok Tinah sibuk di dapur, lalu kuhampiri.

“Masak apa hari ini Mbok.” Tanyaku.
“Untuk sarapan, Simbok bikin nasi goreng. Nanti siang, mau masak sayur asem, sambel terasi, ikan manyung dan tempe goreng,” kata Simbok sambil menata piring di meja.

Akupun membantunya.

“Hmm yummy.”
“Oya, bentar lagi jam sarapan, Tuan suruh siap-siap.” Kata Simbok.

Akupun masuk ke kamar. Kulihat dia masih di depan laptop. Kuambil kan baju kerjanya di lemari, jas hitam, hem polos putih, celana panjang bahan, dan dasi serta kaos kaki.

“Sani, memangnya kamu gak gerah tiap hari pakai jilbab terus,” tanyanya tiba-tiba.
“Pakai jilbab itu wajib,” jawabku singkat.
“Tetapi aku suamimu, masak di depan suami pakai juga?” Jawabnya lagi.

Betul juga apa yang dikatakannya. Namun, aku sudah biasa, rasanya agak risih kalau harus membukanya didepan laki-laki.

“I, iya nanti kubuka,” jawabku gugup.
“Oya, sudah waktunya sarapan, yuk,” ajakku.

Sebelum sarapan, dia memakai pakaian kantor yang sudah kusiapkan tadi, kemudian keluar untuk sarapan.
Selesai sarapan, lalu bersiap kekantor, kubawakan tas dan kuantar ke garasi mobil.

“Ngapain kamu ngekor?” Tanyanya datar.

Ih, lha akukan istrimu, aku mau nganterin sampai depan rumah.

“Balik aja sana kedapur.” Lanjutnya lagi.

Ish.

“Aku kan istrimu, ya aku mau antar suamiku. Aku mau cium tangan, setelah itu, aku pesen, nanti siang jangan telat makan, jangan lupa sholat Dhuhur, lalu matanya jangan jelalatan.” Kataku sekenanya.

Hihihi biarin biar dikira perhatian.
Eh, dia berhenti sejenak dan menengokku, lalu mengambil tas yang kubawa, ada sedikit senyum. Lalu masuk ke mobil.
Setelah kepergiannya, aku langsung ke kamar.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER