Cerita bersambung
Penulis: Naya R
Mayra mengetuk pintu bercat hitam di depannya dengan dada berdebar. Baru beberapa ketukan, pintu di depan Mayra terbuka. Laki-laki bertubuh atletis itu berdiri di hadapan Mayra tanpa bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
“Bang, bawa aku pergi. Kita bisa menikah di kota lain.” Suara Mayra bergetar.
Gadis ini sebenarnya juga heran, keberanian dari mana yang membuat ia bisa mengatakan hal seperti itu. Bening yang sedari tadi ditahannya mulai turun membasahi pipi. Untuk sekian detik, laki-laki bernama Raka itu terpana.
Sekuat tenaga, laki-laki itu menenangkan detak jantungnya. Dadanya terasa sesak.
“Pulanglah, jangan merendahkan martabatmu sebagai seorang wanita.” Akhirnya kata-kata itu yang keluar dari mulut Raka.
Mayra terhuyung ke belakang. Ditatapnya laki-laki di depannya ini dengan tatapan tidak percaya. Kemana cinta yang sekian tahun telah bersemayam di hati mereka masing-masing? Cinta dalam diam yang tidak bisa mereka sembunyikan dari sikap maupun tindakan. Cinta yang akhirnya diwujudkan dengan acara lamaran. Namun, di luar dugaan, acara lamaran itu berakhir dengan tragis. Hanya karena perbedaan pendapat antara kedua keluarga mengenai uang jemputan.
Lalu bagaimana dengan perasaan mereka? Bagaimana dengan cinta di hati mereka yang telah tumbuh sejak Mayra duduk di bangku SMA.
“Pulanglah. Aku tidak akan menyakiti perasaan keluargaku hanya karena sebuah cinta. Aku yakin, suatu saat, kamu pasti akan mendapatkan cinta lain yang lebih baik dan lebih indah.” Raka memalingkan wajahnya menghindari tatapan tidak percaya dari gadis di depannya. Tatapan yang juga penuh luka. Laki-laki itu berbalik dan menutup pintu.
Mayra memegang dadanya yang terasa amat sakit. Gadis itu terisak dan luruh ke lantai. Lusa ia akan menikah dengan laki-laki yang baru diperkenalkan padanya. Laki-laki bernama Zidan, yang dicarikan sang ayah untuk menutup malu keluarga.
Mayra tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan melewati hari-hari dengan laki-laki asing yang baru dikenalnya. Bagaimana ia akan melewati pernikahan tanpa cinta.
Impiannya selama ini hanya menikah dengan Raka. Laki-laki yang menurut penilaiannya adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Tetapi, laki-laki itu kini mengabaikannya. Laki-laki itu menolaknya.
Pernikahan yang sudah hampir dalam genggaman, harus terlepas dengan cara yang tidak bisa diterima akal sehatnya. Dan sekarang, laki-laki yang diharapkan untuk menjadi imam dalam hidupnya, hanya bisa menyerah tanpa mau memperjuangkan cinta mereka.
“Mba, baik-baik saja?” seorang sekuriti berdiri di samping Mayra. Mayra buru-buru menghapus air mata dengan kedua belah tangan. Dengan tubuh yang terasa lemah, gadis itu bangkit.
“Baik, Pak. Saya baik.” Mayra mengangguk.
“Ada yang bisa Bapak bantu?” laki-laki paruh baya itu menatap Mayra dengan penuh perhatian.
“Tidak, Pak. Terima kasih. Saya pamit, Pak.” Mayra mencoba tersenyum dan segera berlalu dari hadapan laki-laki yang menatapnya dengan tatapan prihatin.
Sementara Raka, setelah menutup pintu apartemen, segera melangkah masuk ke kamarnya. Dengan napas memburu laki-laki itu meninju dinding kamar sekuat tenaga. Rasa sakit menjalari buku-buku tangannya yang mengelupas dan mengeluarkan darah.
Sakit. Ia juga merasakan sakit. Sejak tamat SMA, gadis sederhana itu telah mencuri perhatiannya. Gadis sederhana yang perilakunya baik dan santun. Mereka sama-sama mencinta dalam diam. Sikap dan perilaku mereka berdua tidak bisa lagi menutupi rasa yang ada. Semuanya harus kandas hanya karena adat yang tidak ia mengerti.
Tinggal sekian lama di rantau, tidak membuat keluarga besarnya menghilangkan adat dan budaya nenek moyang mereka. Uang jemputan. Untuk apa uang jemputan itu? Raka tidak mengerti. Niniak mamaknya yang berunding dengan keluarga besar Mayra tidak memiliki kata sepakat tentang uang jemputan tersebut.
Tetapi, ia tidak bisa apa-apa. Sang ibu telah berpesan bahwa ia tidak bisa lagi berjodoh dengan gadis pujaan hatinya itu. Kedua keluarga besar telah bersiteru, sudah sama-sama tersinggung dan tidak mungkin didamaikan lagi.
Ia memang bukan laki-laki sholeh, tetapi restu dan ridho kedua orang tua masih menjadi prioritas untuknya.
Melihat mata terluka gadis yang amat dicintainya itu, Raka merasa sakit. Jika menurutkan kata hati, ingin sekali laki-laki ini menerima ajakan gadis berhati lembut itu. Pergi jauh, menikah, dan hidup bahagia. Seperti impiannya sejak beberapa tahun terakhir ini. Tetapi, bayangan wajah sang ibunda yang sangat menyayanginya, mengalahkan kata hatinya.
***
Dari apartemen Raka, Mayra berjalan mengikuti jalanan aspal yang lumayan padat oleh kendaraan. Ini kali pertama ia mendatangi apartemen laki-laki-itu. Tidak sulit mencarinya, karena hanya ini satu-satunya apartemen yang ada di kotanya.
Senja mulai temaram. Gerimis jatuh satu-satu membasahi puncak kepala dan wajahnya. Suara azan magrib terdengar bersahutan.
Mayra merasakan sebuah mobil mengikuti langkah kakinya. Dan mobil itu berhenti tepat di sampingnya. Kaca mobil terbuka. Deg, untuk beberapa detik jantung Mayra serasa berhenti berdetak.
“Naiklah!” suara bernada perintah membuat Mayra terpaku di tempatnya berdiri. Beberapa kendraan mulai terlihat mengular di belakang mobil berwarna putih itu. Suara klakson pun mulai terdengar bersahutan. Mayra akhirnya melangkah juga dan membuka pintu mobil. Gadis itu naik dan duduk dengan pakaian yang beberapa bagiannya terlihat basah.
“Dari apartemennya?” Laki-laki itu meliriknya sekilas. Mayra tercekat. Laki-laki ini mengenal Raka?
“Lusa kita akan menikah, dan kamu masih menemui laki-laki lain?” Zidan berkata dengan suara datar. Mayra menunduk.
“Atau kalian mau kawin lari?” ada ejekan terdengar jelas dari ucapan Zidan. Mayra mengangkat wajahnya dan menoleh pada laki-laki di sampingnya. Tetapi, laki-laki itu terlihat fokus pada jalanan di depannya.
“Kenapa kamu ingin menikahiku?” Akhirnya keluar juga kata-kata yang sudah sejak pertama kali bertemu ingin diajukan Mayra. Zidan meliriknya sekilas dan terlihat lengkungan di sudut bibirnya.
“Aku laki-laki yang telah cukup umur. Memiliki kehidupan yang mapan. Dan kamu, perempuan yang aku pikir membutuhkan seseorang untuk mengobati luka hatimu. Jadi apa salahnya kita coba untuk hidup bersama.” Jawaban Zidan terdengar santai. Mayra menelan ludahnya yang terasa pahit. Ucapan laki-laki di sampingnya ini, seperti ucapan orang yang tidak memiliki perasaan. Ya, Tuhan… seperti apakah laki-laki yang akan menikahinya ini? Mayra memejamkan matanya.
“Turunkan aku di masjid terdekat. Aku mau sholat.”
“Aku juga mau sholat. Gini-gini, aku tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Kamu harus tahu itu.” Laki-laki yang mungkin cukup tampan itu mengerling pada Mayra. Mayra membuang wajahnya ke samping. Sepertinya ia harus memiliki stok sabar untuk menghadapi laki-laki yang terlihat sedikit bengal ini.
Di manakah ayahnya menemukan laki-laki seperti ini? Ayahnya hanya bilang, lupakan Raka dan menikahlah dengan Zidan. Dia laki-laki yang tidak perlu dijemput dengan uang jemputan, karena dia berasal dari latar budaya yang berbeda dengan mereka.
Seharian Mayra menangis dan mengurung diri di kamar. Ayahnya adalah laki-laki keras yang tidak bisa dibantah ucapannya. Mayra memohon-mohon pada sang ibu agar membujuk ayahnya untuk membatalkan rencana gila itu. Tetapi, ibunya hanya diam tanpa bicara apa-apa. Mayra benar-benar merasa putus asa.
Esoknya Mayra diperkenalkan dengan Zidan. Entah mengapa, tidak ada hal menarik yang bisa ditangkap Mayra dari laki-laki berusia 32 tahun itu. Meski kedua adik perempuannya mengatakan, kakak mereka beruntung mendapatkan laki-laki tampan dengan kehidupan yang telah mapan.
Namun, apa bisa hati dibawa ke mana yang diinginkan orang? Apa bisa hati melupakan cinta yang telah sekian lama mekar bersemi?
Di hati Mayra hanya ada satu nama. Raka. Andai Raka mau, Mayra rela kawin lari dengan laki-laki pemilik hatinya itu.
“Ayo, sudah iqomah.” Laki-laki itu ternyata telah turun dari tempat duduknya. Mayra tersadar dan ikut turun. Keduanya menuju tempat wudu yang letaknya berlainan arah.
***
“Dari mana?” suara keras ayah menyambut kepulangan Mayra.
“Dari …”
“Mayra pergi dengan saya, Ayah.” Zidan berdiri di samping Mayra dan tersenyum serta mengangguk santun pada calon mertuanya. Mayra mengangkat wajahnya dengan kaget. Mengapa laki-laki ini membelanya? Sebenarnya apa yang diinginkan laki-laki ini dari seorang gadis sederhana seperti dirinya?
==========
Hari yang paling ditakutkan oleh Mayra pun tiba. Gadis cantik itu tidak memiliki ruang sedikitpun untuk melarikan diri. Di sebuah gedung bernama Balai Sudirman, akad nikah dan pesta pernikahan Mayra dan Zidan diselenggarakan. Sepanjang acara ijab kabul, Mayra yang didudukkan sedikit jauh dari Zidan berulang kali memandang ke pintu masuk. Dalam hati, gadis dengan kebaya panjang berwarna broken white itu tak henti berharap dan berdoa, semoga Raka datang menjemputnya dan membawanya pergi.
Tetapi, sampai kata sah terucap dari mulut para saksi, laki-laki yang dicintainya itu tidak juga muncul. Harapan dan doa Mayra luruh bersama air mata yang jatuh membasahi pipi mulusnya. Bu Diah menghapus air mata di pipi anaknya dengan selembar sapu tangan.
“Tersenyumlah, ini hari bahagiamu.” Sang ibu berbisik di telinga anak gadisnya. Meski dalam hati, perempuan paruh baya itu juga tidak dapat menahan kesedihannya. Ibu mana yang tidak akan sedih melihat anak gadisnya berduka atas pernikannya sendiri?
Kedua adik Mayra, Andini dan Karin menuntun Mayra untuk duduk di sebelah Zidan yang sekarang telah sah menjadi suaminya. Pembawa Acara memberikan instruksi agar pengantin wanita menyalami mempelai laki-laki. Mayra mengulurkan tangan yang disambut oleh Zidan dengan senyum terbaiknya. Mayra menunduk dan mencium tangan laki-laki yang kini telah menjadi bagian dalam hidupnya itu. Zidan mengusap kepala Mayra dengan tangan kirinya.
Terdengar lagi arahan pembawa acara agar sang suami mencium kening sang istri. Zidan melakukannya dengan senang hati.
“Aku tahu, ini pasti air mata bahagia, kan?” Zidan berucap pelan setelah bibirnya menyentuh kening Mayra dengan lembut.
Mayra hanya diam tanpa mengucapkan apa-apa. Air mata masih juga turun satu-satu membasahi pipinya.
Pembawa acara lalu meminta kedua pengantin untuk menyalami kedua orang tua masing-masing beserta dengan keluarga juga.
“Hapus air matamu, kita akan meminta restu pada Ayah dan Ibu.” Zidan mengulurkan sapu tangannya pada Mayra.
Mayra menerimanya dengan tangan gemetar. Tubuhnya tiba-tiba terasa lemah. Namun, ia tetap mengikuti gerakan Zidan menuju tempat duduk kedua orang tua mereka.
Zidan hanya diwakili oleh bude dan pakdenya, serta beberapa orang saudara dan kerabat dekat karena kedua orang tua laki-laki itu telah lama tiada.
Setelah acara salam-salaman selesai, dilanjutkan dengan doa bersama yang dipimpin oleh seorang ustad. Mayra kembali terisak. Bagaimana tidak, sang ustad mendoakan agar rumah tangga ia dan Zidan sakinah, mawadah, dan warohmah. Ustad mendoakan agar mereka saling mencintai dan menyayangi sampai maut memisahkan keduanya. Mayra merasa, doa itu tidak cocok untuk ia dan Zidan.
Selesai doa, pembawa acara meminta Zidan dan Mayra untuk berfoto. Mayra mencoba menguatkan dirinya berdiri di samping Zidan. Berkali-kali fotografer meminta Mayra untuk tersenyum dan menatap ke kamera. Namun berkali-kali juga Mayra melakukan kesalahan.
Setelah sesi foto-foto berakhir, Mayra dan Zidan dibawa ke sebuah ruangan untuk berganti pakaian. Mereka akan segera mengikuti resepsi pernikahan. Kedua adik Mayra dengan setia selalu menemani sang kakak.
Selama berganti pakaian, Mayra mencoba menenangkan hatinya. Susah payah gadis itu menahan air matanya agar tidak lagi tumpah. Tetapi, hatinya masih juga merasa perih dan pilu. Harapan untuk hidup bersama orang yang dicintainya sudah pupus dan musnah. Impian melewati hari-hari yang bahagia dan indah dengan Raka hanya tinggal mimpi-mimpi kosong.
Bersanding di pelaminan dengan hati yang serasa tak berada di badan, Mayra mencoba menegakkan tubuhnya menyalami para undangan. Sementara wajah dan sikap Zidan yang berada di sampingnya terlihat santai dan penuh senyuman ketika menyalami para tamu.
Selepas asyar, tamu yang datang mulai berkurang. Hanya satu dua orang yang terlihat memasuki gedung Balai Sudirman. Mayra merasa sangat lelah. Terkadang perempuan yang terlihat amat cantik dalam balutan pakaian adat Minang itu hanya menyalami tamu sambil duduk. Ditambah lagi, dari pagi hanya empat suap nasi yang masuk ke perutnya. Itupun setelah dipaksa oleh kedua adiknya.
Tepat ketika penyanyi dan pemain organ lagu-lagu religi pamit undur, tubuh Mayra membeku melihat sosok laki-laki yang sedang berjalan menuju panggung tempat ia dan Zidan bersanding. Raka melangkah tegap menuju tempatnya berdiri. Dada Mayra bergemuruh dan lututnya terasa goyang. Gadis itu merasa tidak sanggup menahan tubuhnya agar tetap bisa berdiri tegak. Sudut-sudut matanya mulai terasa panas.
Raka semakin dekat. Dan dada Mayra terasa makin sesak. Sedetik lagi Raka akan mengulurkan tangan, Mayra merasakan dunia tiba-tiba menjadi gelap. Tubuh perempuan itu limbung ke samping. Zidan yang sedari tadi memperhatikan bahasa tubuh Mayra dengan sigap menangkap tubuh sang istri. Raka maju untuk memberikan bantuan. Tetapi, Zidan menepiskan tangannya.
Ayah dan Ibu Mayra yang duduk di kanan panggung langsung berlari mendekat. Pak De dan Bude Zidan pun melakukan hal yang sama. Meteka tergopoh menghampiri kursi pengantin. Seketika Balai Sudirman menjadi riuh oleh suara-suara tamu dan sanak saudara yang semuanya bergegas mendekati panggung.
Pak Rais, ayah Mayra menatap tajam pada Raka.
“Pergilah! Jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi di hadapan kami!” laki-laki paruh baya itu berkata dengan suara keras.
“Maafkan saya, Pak.” Raka menangkupkan tangannya ke dada dan segera berlalu dari depan kursi pengantin. Beberapa pasang mata mengikuti kepergian laki-laki itu.
Raka berjalan turun dari atas panggung. Susah payah ia tahan hatinya agar tidak menoleh lagi ke belakang. Dadanya terasa amat sakit. Ternyata begini rasanya cinta dipisahkan secara paksa. Jika tidak malu, Raka ingin menangis, menangisi takdirnya.
Zidan membopong tubuh Mayra menuruni panggung. Ayah dan ibu mertuanya mengikuti dari belakang. Begitu juga dengan kedua adik Mayra. Keduanya tergesa mengikuti kakaknya yang berada dalam gendongan sang suami.
Beberapa tamu yang masih berada di gedung, menatap rombongan pengantin dengan heran.
Meski membawa beban cukup berat, Zidan tetap bisa berjalan dengan cepat menuju mobilnya di parkiran. Karin membukakan pintu mobil dengan tangan gemetar. Gadis yang baru lulus dari sebuah akademi kebidanan itu merasa tidak tega melihat kondisi kakak sulungnya.
“Pak, Mayra di kursi depan aja. Kursinya tolong direbahkan, Pak.” Zidan mulai merasa ngos-ngosan. Pak Rais menarik tungkai di samping kursi depan lalu mendorong sandarannya ke belakang. Zidan dengan hati-hati merebahkan tubuh Mayra di kursi tersebut. Syukurnya, sunting Mayra telah diganti dengan selendang bersulam benang emas sebelum waktu asyar tadi.
“Saya pulang duluan, ya, Pak, Bu.” Zidan pamit pada ayah dan ibu mertuanya.
“Andini dan Karin biar ikut sekalian ya, Nak Zidan. Nanti buat bantu-bantu ngurus Mayra di rumah.”
“Baik, Pak.” Zidan mengangguk dan segera berbalik menuju pintu mobil satunya lagi.
Karin dan Andini bergegas masuk. Tidak berapa lama, mobil Zidan pun beregrak meninggalkan parkiran Balai Sudirman. Pak Rais dan Bu Diah menatap kepergian anaknya dengan perasaan pilu. Di belakang mereka Pak De dan Bu De Zidan serta beberapa sanak saudara juga ikut melepas kepergian kedua pengantin.
Setelah mobil Zidan tidak lagi keliatan, Pak Rais dan Bu Diah segera beranjak ke dalam. Mereka berjalan beriringan dengan Pak De dan Bu De Zidan. Begitu juga dengan keluarga lainnya yang mengekor di belakang mereka.
***
Zidan membaringkan Mayra di atas ranjang pengantin mereka. Kamar pengantin bernuansa kuning gading itu terlihat sangat indah. Tumpukan bunga melati di atas ranjang menambah keindahan kamar berukuran 4 x 5 meter ini.
“Kami bantu membukakan jilbab dan pakaian Kakak, Mas?” Karin bertanya pada Zidan sebelum ke luar kamar.
“Tidak usah, biar saya saja yang mengurus Mayra.” Zidan berkata seraya tersenyum.
“Baik, Mas. Kalau gitu kami pamit ke luar ya, Mas. Jika perlu sesuatu, panggil saja kami, Mas.” Karin mengangguk pada Zidan lalu segera menggamit lengan adiknya Andini.
“Oke, terima kasih, ya.” Zidan berkata seraya melepas jas pengantinnya yang semotif dengan Mayra. Zidan menggantung jas berwarna hitam itu dengan hanger. Lalu dilipatnya lengan kemejanya sampai ke siku. Laki-laki itu kemudian duduk di pinggir tempat tidur, di samping Mayra.
Zidan baru saja akan menepuk lembut pipi Mayra, ketika dilihatnya perempuan cantik itu membuka matanya perlahan. Mata perempuan yang telah sah menjadi istrinya itu mengerjap beberapa kali.
“Sudah bangun?” Zidan bertanya dengan suara datar. Mayra menoleh dan menatap Zidan dengan tatapan bingung. Sepertinya pengantin perempuan ini sedang mencoba mengingat apa yang terjadi.
“Mau minum?” Zidan menjangkau botol mineral yang terletak di samping tempat tidur. Membukanya dan menyodorkannya pada Mayra. Mayra mengernyit dan sejurus kemudian menggeleng.
“Orang kalau habis kaget, syok, dan pingsan, memang harus minum. Biar segar dan ingatannya kembali pulih.” Zidan tidak menggeser tangannya dari hadapan Mayra. Mayra mencoba bangun dengan menumpukan kedua belah sikunya. Setelah berhasil duduk, perempuan berusia 25 tahun itu mundur dan menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidur. Melihat Zidan masih mengulurkan botol air mineral, Mayra pun mengambilnya dan meneguk isinya sampai setengah botol.
Zidan memperhatikan Mayra tanpa berkedip.
“Ternyata haus kan?” Zidan berkata dengan nada ejekan. Mayra mengembalikan botol mineral di tangannya pada Zidan. Zidan menerimanya dan langsung meminum isinya sampai habis. Kini giliran Mayra yang menatap Zidan tanpa berkedip. Namun dalam hati, perempuan ini tidak merasakan apa-apa. Tidak ada perasaan deg-degan seperti cerita teman-temannya ketika untuk pertama kali masuk ke kamar pengantin. padahal, ini untuk kali pertama ia berada dalam satu kamar dengan seorang laki-laki.
“Jika laki-laki itu mengajakmu pergi, apa kamu akan mengikutinya?” Zidan menatap Mayra dengan lekat. Mayra tercekat. Apa maksud pertanyaan laki-laki ini? Apa arti ijab kabul yang baru saja diucapkannya? Mayra menatap Zidan dengan tatapan bingung.
Bersambung #2
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel