Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 09 April 2022

Takdir Cinta Mayra #2

Cerita bersambung

Setelah dua hari berada di rumah mertua, Zidan meminta izin untuk membawa Mayra ke rumahnya. Dengan berat hati, Pak Rais dan Bu Diah melepaskan kepergian anak dan menantu. Mayra sendiri merasa gamang harus berpisah dengan kedua orang tua dan kedua adiknya. Apalagi ia akan tinggal berdua saja dengan laki-laki yang masih sangat asing.

Zidan berjanji akan sering-sering mengajak Mayra main ke rumah sang mertua. Di sepanjang perjalanan, Mayra hanya diam tidak banyak bicara. Sementara Zidan terlihat santai, mulutnya ikut bersenandung mengikuti lagu-lagu yang mengalun dari tape recorder. Ternyata laki-laki ini penyuka lirik Padi.

“Kamu keliatan sangat tegang. Apa kamu merasa takut denganku?” Zidan berkata seraya melirik sekilas pada Mayra yang duduk lurus menatap ke jalan raya. Mayra menoleh dan mencoba tersenyum.
“Tidak, Mas. Kenapa aku harus takut?” Mayra mencoba ikut santai dan rileks.
“Baguslah. Kita bisa berteman dulu. Pelan-pelan kita bisa tingkatkan hubungan kita menjadi lebih akrab. Bagaimana? Apa kamu setuju?” Zidan kembali melirik pada Mayra. Mayra terdiam beberapa saat. Perempuan cantik itu mencoba mencerna kata-kata Zidan.

“Ya, kita bisa memulainya dengan menjadi teman.” Mayra akhirnya tersenyum dan mengangguk. Ya, ide laki-laki ini tidak terlalu buruk. Karena Mayra sendiri juga bingung mau memulainya dari mana.

“Baiklah, jadi kita sepakat ya.” Zidan memberikan jari kelingking sebelah kiri pada Mayra. Ragu Mayra menerima jari kelingking Zidan dengan jari kelingkingnya. Untuk kedua kalinya mereka melakukan kontak fisik. Tetapi, tidak ada rasa apa-apa. Tidak ada getaran sama sekali.

Hampir 45 menit berkendara dari pinggiran kota Pekanbaru menuju rumah Zidan di perumahan Nirvana. Akhirnya Zidan menghentikan mobil di depan sebuah rumah besar bercat putih dengan pagar yang juga berwarna putih. Mayra tidak dapat menyembunyikan rasa takjudnya.

Setelah membunyikan klakson mobil, pintu pagar dibuka dari dalam. Seorang perempuan paruh baya terlihat berdiri di samping pagar. Zidan memasukkan mobilnya ke dalam garasi.
Zidan dan Mayra turun bersamaan dari mobil.

“Ini Bi Darna. Bi, ini Mayra. Buat Mayra betah di sini, ya Bi.” Zidan berkata santun pada perempuan paruh baya yang telah berdiri di hadapan Mayra.
“Saya Mayra, Bi.” Mayra mengulurkan tangan seraya tersenyum.
“Bi Darna.” Bi Darna menyambut uluran tangan Mayra dengan ramah.
“Bi, Pak De mana?”
“Ada, Den. Lagi ganti bola lampu di teras belakang.”
“Nanti tolong turukan koper Mayra sama Pak De, ya, Bi.” Zidan menyerahkan kunci mobil pada Bi Darna.
“Baik, Den.”Bi Darna mengangguk seraya menerima kunci.
“Ayo, masuk!” Zidan menggamit tangan Mayra.
 
Mayra mengikuti langkah Zidan dari belakang. Memasuki rumah dengan pintu papan yang terbuat dari kayu jati, mereka sampai di ruang tamu. Sebuah kursi tamu bernuansa hijau dipadu dengan beberapa perabot yang semuanya juga terbuat dari jati. Kesan mewah dan wah langsung menyambut kedatangan Mayra.

Zidan berjalan melewati ruang tamu dan Mayra tetap mengikuti dari belakang. Mereka sampai di ruang keluarga. Ruangan ini juga bernuansa hijau. Karpet dan sofa nonton TV berwarna hijau. Rasa segar dan nyaman menyapa mata dan hati Mayra.

“Kamu mau istirahat di sini atau di kamar? Aku mau langsung ke kantor.” Zidan berhenti di ruang keluarga dan berbalik pada Mayra. Mau ke kantor? Kening Mayra mengernyit.

“Aku tidak bisa cuti lama-lama. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.” Zidan seperti bisa membaca pikiran Mayra.
“Ya, Mas. Tidak apa-apa.” Mayra mencoba tersenyum. Bukan apa-apa, perempuan ini baru saja datang. Ia masih merasa asing di rumah sebesar ini. Dan laki-laki ini akan segera meninggalkannya sendirian di sini.

“Aku antar ke kamar aja. Ayo!” Zidan berjalan menuju tangga dan melangkah naik. Lagi-lagi Mayra mengekor dari belakang. Sampai di atas, Mayra melihat ada dua kamar di samping kanan dan kiri tangga. Zidan berjalan ke arah kanan dan membuka pintu di depannya.

“Ini kamar kita.” Zidan membuka pintu kamar lebar-lebar. Mayra masuk dan mengedarkan pandangan. Kamar tidur yang sangat luas ini bergaya modern. Ranjang berukuran besar, lemari pakaian yang memenuhi satu sisi dinding kamar, sebuah sofa panjang di depan ranjang, televisi ukuran besar dan sebuah kulkas kecil. Kamar yang luar biasa, batin Mayra.

“Kamu istirahat di sini, ya. Kalau perlu apa-apa kamu bisa bilang ke Bi Darna di bawah.” Zidan mendekati lemari pakaiannya dan terlihat mengambil sebuah kemeja berwarna biru terang. Sementara Mayra berjalan menuju jendela. Perempuan itu berdiri memandang ke ke luar. Di luar sana taman perumahan terlihat dengan jelas. Beberapa pohon besar, bunga-bunga yang tertata rapi, rumput yang menghijau. Duh, Mayra langsung menyukai tempat ini.

Zidan membuka baju kaos dan mengganti dengan kemeja yang baru saja diambilnya. Setelah merapikan pakaiannya, laki-laki itu berjalan menuju pintu kamar.

“Aku berangkat, ya.” Zidan pamit sebelum menutup pintu kamar. Mayra menoleh dan akan menjawab. Tetapi pintu kamar telah tertutup rapat. Akhirnya Mayra hanya mengangkat bahu.

Puas menikmati pemandangan taman, Mayra berbalik dan mendudukkan pantatnya di sofa. Dari tas selempang yang masih disandanganya perempuan itu mengeluarkan ponselnya. Lalu mulailah tangannya berselancar di dunia maya. Beberapa orang teman mengirimkan ucapan selamat di linimasa.

Bosan bermain dengan ponsel, Mayra ke luar kamar dan turun ke lantai satu. rumah besar itu terlihat lengang. Mayra berjalan melewati ruang keluarga, ruang sholat dan sebuah ruangan yang penuh berisi buku-buku.

Perempuan itu melangkah masuk ke dalam. Matanya memperhatikan satu demi satu buku-buku yang bejejer di beberapa rak jati. Buku-buku tebal tentang teknik, ilmu ekonomi, dan juga dan juga ilmu hukum. Mayra mengernyitkan dahi. Sebenarnya apa latar belakang ilmu suaminya ini? Mengapa rak bukunya berisi tiga bidang ilmu sekaligus? Suatu saat ia akan menanyakan tentang hal ini.

Mayra beranjak ke rak lainnya. Mata perempuan itu berbinar. Matanya menemukan majalah-majalah wanita, buku-buku kesehatan, buku-buku agama, dan juga novel. Mayra mengambil salah satunya. Sebuah novel berjudul “Negeri Lima Menara” karya Ahmad Fuadi. Mayra meletakkannya kembali. Lalu mengambil buku yang lain. Fiqih Wanita. Mata Mayra menyipit. Apa laki-laki ini membaca buku ini juga? Mayra menggeleng, hatinya sungguh merasa bingung.

Dengan berbagai macam tanya di dalam hatinya, Mayra melangkah ke luar ruang perpustakaan. Mayra menuju ke bagian belakang. Mata Mayra terpana melihat dapur yang luas dan sangat cantik. Kitchen set berwarna hitam dan keramik berwarna putih. Perpaduan hitam dan putih yang sangat elegan.

“Eh, ada Neng Mayra. Butuh sesuatu, Neng?” Bi Darna tergopoh mendekat.
“Nggak ada, Bi. Saya Cuma suntuk aja di kamar, nggak tahu mau ngapain. Saya bantu Bibi aja di sini.” Mayra mendekat ke kompor yang sedang menyala.
“Tidak usah, Neng. Nanti Den Zidan marah.” Bi Darna menghalangi Mayra yang ingin mendekat.
“Nggaklah, Bi. Saya juga pengen cerita-cerita sama Bibi.” Mayra tersenyum.
“Kalau gitu, Neng Mayra duduk di sini ya. Nemani Bibi masak.” Bi Darna menarik tangan Mayra dan mendudukkannya di kursi meja makan. Mayra pun menurut.

Tidak berapa lama, Bi Darna meletakkan secangkir teh hangat dan dua piring kecil kue bolu di hadapan Mayra. Mayra mengucapkan terima kasih.
Sambil masak, Bi Darna bercerita jika ia dan suami sudah puluhan tahun bekerja dengan orang tua Zidan. Bu Darna memiliki seorang anak yang masih duduk di bangku SMA. Mereka bertiga biasanya tinggal di rumah orang tua Zidan. Tetapi, sejak kedua orang tua Zidan meninggal dalam kecelakaan menuju salah satu kabupaten di Riau, ketiganya dibawa Zidan ke sini.

Setelah membantu Bi Darna menghidangkan makan siang, Mayra naik ke kamarnya. Baru saja perempuan itu membuka jilbabnya, pintu kamar terbuka dan terlihat Zidan melangkah masuk.

“Sudah pulang, Mas?”
“Iya, aku jemput kamu.”
“Mau ke mana, Mas?”
“Kita nyari baju untuk nanti malam. Malam nanti ada jamuan makan malam dengan rekan-rekan bisnisku. Aku ingin sekalian memperkenalkan kamu.”
“Memang kemarin waktu pesta nggak diundang ya, Mas?”
“Belum. Aku ingin acara khusus untuk mereka.”

Zidan mendekati lemari dan mengambil sebuah baju kaos. Tangannya dengan santai membuka kancing kemejanya. Setelah meletakkan kemeja yang baru dibukanya di atas kasur, laki-laki itu memakai baju kaos berwarna hitam yang baru diambilnya.

“Kamu sudah makan?” Zidan menoleh pada Mayra yang terlihat berdiri mematung di samping tempat tidur.
“Belum, Mas.”
“Ayo kita makan, setelah sholat zuhur, kita langsung pergi.” Zidan melangkah ke luar kamar tanpa menunggu Mayra. Mayra memakai kembali jilbabnya dan menyusul Zidan tuurun ke bawah.

Di meja makan, Zidan telah duduk dengan piring yang telah terisi nasi. Mayra mengambil tempat duduk di seberang laki-laki itu.
Bi Darna datang menuangkan air minum untuk Zidan dan Mayra.

“Bibi nggak makan sekalian?” Mayra menoleh dan tersenyum pada Bi Darna.
“Bibi nunggu Dinda pulang sekolah dulu, Neng Mayra.” Bi Darna mengangguk sopan. Lalu perempuan yang terlihat lebih tua dari usianya itu berlalu ke belakang.

Mereka makan dalam diam. Beberapa kali ponsel Zidan berbunyi, tetapi laki-laki itu hanya melihat ke layar ponselnya tanpa mengangkat sama sekali.
Baru selesai makan, azan zuhur berkumandang. Mayra membereskan meja makan. Tetapi, Bi Darna buru-buru datang dan langsung mengambil piring kotor dari tangan Mayra. Sementara Zidan terlihat menuju taman belakang. Laki-laki itu mengambil wudu di sana. Ada kran di taman belakang yang biasa digunakan untuk berwudu.

Mayra naik lagi ke kamarnya. Ia ingin sholat di kamar saja. Selesai sholat tanpa mengganti pakaian lagi, Mayra mengambil tas selempang dan bergegas turun ke bawah. Ternyata Zidan sudah menunggunya di ruang keluarga. Melihat kedatangan Mayra, laki-laki itu segera bangkit.

Mayra mengikuti langkah kaki Zidan ke pintu depan. Tetapi, Mayra tiba-tiba ingat belum pamit pada Bi Darna. Perempuan itu berbalik kembali menuju dapur. Bi Darna terlihat sedang mengelap dinding-dinding keramik dapur. Setelah pamit pada Bi darni, Mayra bergegas menyusul Zidan. Ternyata Zidan telah duduk di dalam mobil. Mayra buru-buru naik. Tanpa bicara, Zidan menjalankan mobilnya ke luar dari garasi. Seorang laki-laki paruh baya terlihat tergopoh-gopoh menutup pintu pagar kembali. Tentu itu suami Bi Darna yang dipanggil Pak De oleh Zidan, Mayra membatin dalam hati.

“Kamu suka pakaian yang seperti apa?” Tiba-tiba Zidan bertanya seraya melirik Mayra sekilas.
“Yang biasa aja, Mas. Yang sederhana.”
“Tetapi, mulai sekarang kamu harus membiasakan diri memakai pakaian yang cantik. Kamu akan sering mendampingi kegiatan-kegiatanku dan acara-acara yang diadakan kantor.”
“Ya, Mas. Nanti kuusahakan.” Mayra meneguk ludahnya yang terasa pahit. Buka tipe dia memakai baju yang mewah dan mahal. Dia tidak terlalu suka pakaian yang terlalu wah. Rasanya lebih nyaman memakai pakaian yang simple dan sederhana. Tetapi, jika sang suami menginginkan ia berpakaian lebih bagus, ia akan mencoba membiasakan diri.
***

Mayra mematut dirinya sekali lagi di depan kaca. Gamis hitam dengan beberapa hiasan batu di bagian dada dan pergelangan tangan. Pashmina berwarna marun dan sebuah tas pesta dengan warna yang sama. Ditambah riasan tipis di wajah, membuat Mayra serasa tidak mengenali dirinya sendiri. Ini kali pertama Mayra memakai gamis dengan harga semahal ini. Sungguh rasanya ia tidak tega menghabiskan uang segitu banyak hanya untuk sebuah penampilan.

Setelah merasa puas dengan penampilannya, Mayra segera keluar dari kamar. Pelan dan hati-hati gadis itu melangkah menuruni tangga. Seperti siang tadi, Zidan ternyata juga telah menunggunya di ruang keluarga. Melihat Mayra turun dengan gamis barunya, beberapa saat Zidan seakan terpana. Tetapi, buru-buru Zidan merilekskan dirinya kembali. Laki-laki itu bangkit dan tanpa menunggu Mayra berjalan menuju pintu depan.

Setelah pamit pada Bi Darna, Mayra dan Zidan pun berangkat menuju lokasi acara. Hanya butuh waktu 35 menit, mereka sampai di sebuah hotel berbintang di jalan Sudirman. Zidan meraih tangan Mayra dan menggandenganya menuju ballroom hotel. Mayra merasakan dadanya berdebar-debar, bukan karena genggaman tangan Zidan. Tetapi, karena akan memasuki tempat baru dengan orang-orang yang pastinya tidak dikenalnya.

Begitu menginjakkan kaki di ballroom, puluhan pasang mata langsung terfokus pada Mayra dan Zidan. Beberapa orang langsung mendekat dan menyalami laki-laki di sampingnya dengan senyum lebar. Zidan terlihat menyambut semuanya dengan wajah penuh semangat.

Ballroom hotel dipenuhi oleh meja-meja bundar dengan alas berwarna merah marun. Hidangan di sisi kiri dan kanan terlihat melimpah. MC langsung membaca pantun dan mengucapkan selamat datang pada kedua pengantin. Zidan membawa Mayra duduk di meja paling depan.

Setelah itu, MC meminta Zidan, Direktur Utama PT Wiraka Gemilang, untuk memberikan kata sambutan. Mata Mayra membulat, jadi laki-laki yang menikahinya ini seorang direktur utama?
Duh, tiba-tiba Mayra merasa tidak pantas duduk di sini. Mayra hanya seorang gadis biasa yang berasal dari keluarga sederhana. Bagaimana ia akan bisa mengimbangi gaya hidup sang suami?
Ada rasa kagum juga di hati Mayra melihat sosok yang sedang berbicara di depan sana. Sosok muda tetapi ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Apalagi mendengar kalimat-kalimat yang ke luar dari bibir laki-laki itu. Terlihat sekali kalau Zidan adalah seorang yang cerdas, tegas, dan berwibawa.

Hampir sepuluh menit Zidan memberikan sambutan. Acara ini menurut Zidan adalah acara silaturahmi dengan teman-teman, kolega-kolega, dan rekan-rekan bisnisnya. Dan yang utama menurut laki-laki itu adalah untuk memperkenalkan istrinya, Mayra. Kembali puluhan pasang mata memandang pada Mayra. Mayra merasakan pipinya menjadi panas dan pastinya telah bersemu merah menerima tatapan begitu banyaknya.

Zidan mempersilakan para tamu dan undangan untuk mencicipi makanan yang telah disediakan. Zidan kembali ke meja Mayra dan mengajak Mayra untuk beramah tamah dengan para tamu undangan. Mayra bangkit menerima uluran tangan suaminya.

Para tamu terlihat sudah mengambil makanan dan minuman yang disediakan. Mayra dan Zidan mengunjungi satu persatu meja para tamu. Namun, pada meja kesekian, tubuh Mayra terasa membeku. Sementara tangan Zidan tiba-tiba melingkar erat di pinggangnya.

“Hai, Pak Raka. Terima kasih telah datang. Sepertinya kita akan semakin sering bertemu.” Zidan mengulurkan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih memeluk pinggang Mayra.
“Ya, Pak. Senang bisa bekerja sama dengan perusahaan Bapak.” Raka bangkit dan menerima uluran tangan Zidan. Sementara Mayra mencoba mengalihkan pandangan matanya ke arah lain. Mayra menggigit bibirnya menahan gejolak di dalam dada. Dadanya bergemuruh melihat laki-laki yang amat dicintainya itu berada tepat di depannya.
Ya Tuhan, mengapa ia harus berada di lingkungan yang sama dengan laki-laki ini.

“Ayo, Sayang.” Zidan menarik lembut tubuh Mayra untuk melanjutkan langkah ke meja-meja berikutnya.
“Kamu sepertinya sangat tegang.” Zidan menurunkan tangannya dari pinggang Mayra. Mayra menoleh dan menelan ludahnya yang terasa pahit. Mayra bisa merasakan ada nada ejekan dalam kata-kata laki-laki di sampingnya ini. Dan perempuan ini memilih diam tanpa menjawab apa-apa.

Sementara Raka terpaku, tubuhnya bergetar menyaksikan pemandangan yang tepat berada di depan matanya. Harusnya ia yang memeluk perempuan cantik itu. Harusnya ia yang memperkenalkan Mayra kepada semua orang.

Andai saja ia mau menerima tawaran perempuan itu untuk pergi jauh dari kota ini, tentu mereka telah bahagia saat ini

==========

Raka memasuki kantor Wiraka Gemilang dengan langkah lebar. Sekuriti mengejar langkahnya dan menanyakan ia mau kemana. Tetapi, laki-laki itu tidak mengindahkan pertanyaan sang sekuriti.
Raka menekan tombol lift, begitu pintu lift terbuka ia dan sekuriti masuk bersamaan. Tidak satupun ucapan sekuriti yang ditanggapi oleh Raka. Hanya beberapa detik pintu lift terbuka. Lantai tiga. Raka kembali melangkah lebar. Akhirnya laki-laki itu sampai di depan pintu ruangan yang bertuliskan Direktur Utama. Sekuriti yang mengikutinya tadi masih mencoba menahan langkahnya. Namun, tubuh tegap dan kekar Raka bukanlah tandingan untuk si sekuriti. Raka telah berada tepat di depan meja sang direktur.

Zidan mengangkat wajahnya dengan kaget, tetapi segera laki-laki itu menguasai dirinya. Tangan kanannya mengisyarakatkan agar sekuriti ke luar meninggalkan dirinya dengan sang tamu. Sekuriti itupun langsung pergi.

“Akhirnya kamu datang juga.” Zidan berkata dengan nada mengejek.
“Lepaskan Mayra.” Raka berkata dengan suara keras dan tegas. Zidan terbahak.
“Mengapa baru sekarang kamu memintanya? Bukankah sehari sebelum kami menikah dia mendatangimu? Dan memintamu untuk membawanya pergi?” Zidan menyipitkan matanya dan tersenyum di ujung kata-katanya.
“Aku tidak bisa mengecewakan …”
“Sebelum ijab kabul dilaksanakan, dia juga masih menunggu kedatanganmu. Tetapi, lagi-lagi kamu tidak datang.” Zidan memotong ucapan Raka dengan cepat.
“Dia tidak mengerti apa-apa, tolong jangan libatkan dia.” Kali ini suara Raka penuh permohonan.
“Suatu saat dia akan mengerti, bahwa laki-laki yang bernama Raka, yang dicintainya setengah mati bukanlah laki-laki yang baik. Dia harus tahu jika seorang Raka pernah membunuh gadis manis yang sangat mencintainya.” Zidan berteriak dengan emosi pada Raka.
“Luruskan pikiranmu Zidan. Alisya meninggal tidak ada hubungannya denganku. Aku sudah mengatakan berkali-kali padanya kalau aku tidak mencintainya. Karena aku telah memiliki cinta untuk wanita lain. Dan wanita itu adalah Mayra.” Raka balas berteriak pada Zidan.
“Di situlah letak kesalahanmu. Kenapa kamu menolak cinta adikku? Apa yang kurang dari Alisya? Dia gadis yang cantik dan baik. Dia mencintaimu sepenuh hati. Tetapi, kamu tega menyakitinya. ” Suara Zidan melemah.
“Dan kamu akan melakukan hal itu juga pada Mayra? Menyakiti perempuan yang tidak tahu apa-apa?”
“Tetapi, kamu kekasihnya tahu segalanya bukan? Kamu tahu alasan aku melakukan semua ini.”
“Tolong Zidan, aku mohon, lepaskan Mayra. Aku akan mebawanya pergi jauh dari kota ini.”
“Kamu terlambat. Aku sudah memulai semuanya. Dan aku juga nanti yang memutuskan kapan akan berhenti.” Zidan berkata dengan dingin.
“Aku akan mengatakan semuanya pada Mayra. Aku akan ungkap kebohonganmu.” Raka menunjuk wajah Zidan dengan telunjuknya.
“Silakan. Kamu pikir Mayra akan percaya setelah apa yang kamu lakukan padanya?” Zidan tertawa dengan penuh kemenangan.

Raka berbalik dan melangkah ke luar ruangan. Dada laki-laki itu terasa sesak. Semua ini kesalahannya. Kenapa ketika Mayra datang sebelum hari pernikahannya, ia tidak menuruti kata-kata gadis itu? Kenapa ia tidak menyelidiki sama sekali tentang laki-laki yang akan menikahi Mayra?

Awalnya Raka mencoba berpikir jika semua ini telah menjadi takdir Mayra. Raka mencoba untuk mengacuhkannya. Tetapi, dua hari yang lalu, ia mendapat messager dari Viona. Raka tahu, Viona adalah kekasih Zidan. Cuma karena sudah dua tahun Viona sepertinya tidak berada lagi di Pekanbaru, Raka berpikir mereka telah putus dan tidak memiliki hubungan lagi. Sehingga Raka hanya diam ketika hadir di pesta pernikahan Mayra. Apalagi pada waktu itu, Mayra langsung pingsan begitu melihatnya.

Ternyata Raka salah. Keduanya masih sepasang kekasih dan telah berjanji untuk mengikat janji suci setelah Viona menyelesaikan studi S2-nya di Belanda. Dan Zidan telah berjanji pada Viona, jika Mayra tidak akan pernah menggantikan posisi Viona. Namun, tentu saja Viona tidak bisa menerima semua itu begitu saja. Karena itulah, Viona mencari tahu tentang Mayra pada teman-temannya di Pekanbaru. Dari mereka gadis itu mendapatkan informasi tentang Raka.

Lalu Mayra? Bagaimana dengan nasib perempuan itu? Raka mencoba menyambung-nyambungkan pecahan puzlle yang berserak ini. Akhirnya Raka mengerti, jika Zidan memang sengaja ingin membalas dendam kepadanya dengan menggunakan Mayra. Dan tentu saja, Raka tidak akan tinggal diam. Raka akan berjuang untuk menyelamatkan kekasih hatinya itu.
***

Mayra dan Zidan tidur dengan posisi yang tidak terlalu dekat. Zidan memiringkan tubuhnya sehingga menghadap pada Mayra. Mayra yang belum tertidur menoleh.

“Mayra, aku laki-laki normal. Aku memiliki nafsu seperti laki-laki lainnya. Tetapi, aku ingin kita melakukannya setelah kita sama-sama merasa nyaman.” Zidan berkata seraya menegambil jemari tangan Mayra yang tertutup selimut dan menggenggamnya dengan erat.

“Baik, Mas. Aku juga memikirkan hal yang sama dengan Mas.” Mayra mencoba tersenyum. Dalam hati perempuan ini mengucapkan Alhamdulillah, hal ini yang menjadi pikirannya sejak awal. Dan ternyata laki-laki yang menjadi suaminya ini cukup bijak menyikapinya.

“Tetapi, jika nanti kamu menginginkannya, kamu bisa jujur dan berterus terang padaku. Aku tidak akan melalaikan kewajibanku sebagai seorang suami.” Zidan menatap Mayra lekat. Tangannya beranjak mengusap rambut Mayra yang tergerai.

Pipi Mayra langsung bersemu merah. Ya Tuhan, yang benar saja. Mana mungkin dia yang akan meminta duluan. Jangankan dengan laki-laki ini. Dengan Raka yang dicintainya pun andai mereka berjodoh, ia tidak akan punya keberanian untuk meminta lebih dulu.
Ya, Tuhan. Mayra menepuk jidatnya. Raka lagi … Raka lagi … Memikirkan laki-laki lain itu dosa, Mayra mengutuk dirinya sendiri.

“Kenapa? Kamu teringat sesuatu?” Zidan menatap Mayra dengan heran.
“Oh, tidak, Mas. Tidak ada apa-apa.” Mayra lagi-lagi tersenyum manis. Untuk beberapa detik Zidan terpana. Tetapi, buru-buru laki-laki itu menguasai dirinya.

“Ya, sudah. Tidurlah.” Zidan membalas senyum Mayra. Lalu laki-laki kembali mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang.
“Mas …”
“Ya …”
“Kalau aku kerja boleh nggak?”
“Kerja? Kenapa?”
“Aku suntuk di rumah. Dulu sebelum nikah sebenarnya aku sudah kerja. Memang Cuma guru TK. Tetapi, aku suka. Hari-hariku terasa lebih bermakna.”
“Jadi sekarang mau jadi guru TK juga?”
“Nggak sih, latar belakang aku sebenarnya kan ekonomi, Mas. Aku mau mencoba melamar di perusahaan aja, Mas.”
“Ya, terserah kamu. Kalau memang mau kerja, silakan.”
“Benaran Mas? Kamu kasih izin?”
“Iya, asal jangan macam-macam.”
“Macam-macam maksudnya, Mas?”
“Ya, main mata misalnya dengan laki-laki lain.”

Mayra tertawa kecil.

“Kamu ada-ada aja, Mas. Dengan kamu aja aku belum pernah main mata, apalagi sama yang lain.” Mayra cekikikan.
 
Zidan menoleh. Ini untuk pertama kalinya laki-laki itu mendengar tawa keluar dari mulut istrinya. Istri? Zidan memejamkan mata. Apa sebenarnya yang telah dilakukannya? Mengapa dendam membuat ia melangkah sejauh ini?
Tetapi, Raka buat Zidan benar-benar laki-laki tidak berperasaan. Mereka sebenarnya berteman baik sejak dari bangku kuliah. Tetapi, semuanya hancur karena rasa cinta Alisya, adik Zidan, yang tidak mendapatkan sambutan dari Raka.

Zidan pernah bersimpuh di hadapan laki-laki itu, memohon agar menerima cinta adik semata wayangnya. Zidan sudah menjelaskan, hal ini tidak akan lama. Alisya, gadis cantik itu menderita kanker hati stadium tiga. Dokter telah mengatakan, hidup adik perempuannya itu tidak akan bertahan lama. Hanya perasaan bahagia dan gembira yang akan memperpanjang usia adiknya.
Namun Raka menolak karena tidak ingin menyakiti perasaan Mayra, wanita yang dicintainya.

Meski masa itu telah berlalu hampir enam tahun, namun rasa sakit di dada Zidan tidak juga sirna. Malah rasa sakit itu telah menjadi dendam kesumat. Banyak sahabat-sahabat yang menasihatkan agar Zidan mengiklaskan kepergian Alisya. Sebenarnya Zidan telah mengiklaskan kepergian adiknya. Hanya saja, sikap Raka yang sama sekali seperti tidak menganggapnya sebagai sahabat, benar-benar menyakitkan buat Zidan. Apa salahnya Raka membantunya membahagiakan Alisya di hari-hari terakhir hidup adiknya itu. Toh itu tidak akan selamanya. Hanya sampai gadis kesayangannya itu pergi. Mata Zidan kembali berembun.

Dan dendam itu makin membara ketika mereka bekerja di dua perusahaan yang berbeda, namun di bidang yang sama. Berkali-kali Raka memenangkan tender yang harusnya dimenangkan oleh Zidan. Persaingan bisnis mereka makin membuat hubungan keduanya memburuk. Bahkan keduanya benar-benar seperti musuh yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya.
***

Malam ini, Mayra bangun lebih awal. Entah mengapa, tiba-tiba ia ingin melaksanakan sholat malam. Seumur-umur, ia belum pernah melaksanakan sholat sunah di sepertiga malam. Keluarga Mayrai bukanlah keluarga yang terlalu fanatik pada agama. Sehari-hari mereka memang melaksanakan sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat ketika Idul Fitri. Semua yang ia dan keluarganya lakukan baru sebatas yang wajib-wajib saja.

Sejak tinggal di rumah laki-laki yang telah menjadi suaminya ini, Mayra merasakan ada kegalauan di hatinya. Entah mengapa, ia merasa hatinya tidak bisa dekat dengan sang suami. Seperti ada tirai tipis yang membatasi mereka berdua.

Mayra pernah mendengar, jika hati sedang resah, jika hidup terasa banyak masalah, maka bersujudlah kepada Allah di sepertiga malam. Mayra ingin mengadukan resah hatinya pada sang Khalik. Mayra ingin menumpahkan kegalauan hatinya di atas sajadah. Mayra ingin meminta pada Allah, jika Zidan memang jodoh terbaiknya, maka bukakanlah pintu hati mereka berdua untuk saling menerima satu sama lain. Dan satu hal yang paling penting, Mayra ingin Allah membantunya untuk melupakan masa lalu.

Malam ini, Mayra baru mencoba melaksanakan dua rakaat. Dan setelah mengadukan semua keluh kesahnya pada Sang Pencipta, Mayra merasakan hatinya lebih tenang. Perempuan itu merasakan keiklasan atas semua yang menimpanya.

Mayra menangkupkan kedua tangannya ke dada lalu memejamkan kedua belah matanya. Ada rasa tenang dna damai yang mengalir ke dalam sanubarinya. Ternyata benar, sholat sebaik-sebaik cara mengadu pada sang pemilik hati.
Sampai azan subuh berkumandang, Mayra masih dalam posisi bertafakur. Sehingga begitu azan selesai, Mayra segera bangkit dan bersiap melaksanakan sholat subuh.
Sementara Zidan terlihat masih nyenyak dalam tidurnya. Beberapa hari berada di rumah ini, Mayra jadi tahu kebiasaan laki-laki itu. Sholat subuhnya selalu saja di penghujung waktu subuh. Terkadang malah sudah hampir pukul 06.00.

Namun, mulai hari ini, Mayra akan mencoba memperbaiki diri. pelan-pelan ia akan memposisikan diri sebagai seorang istri yang baik untuk Zidan. Mungkin tidak akan gampang, mengingat tidak ada perasaan apa-apa di hatinya untuk laki-laki itu. Begitu juga sebaliknya. Mayra sadar, tidak ada perasaan apa-apa di hati Zidan untuknya. Oleh sebab itulah, perempuan ini masih penasaran, sebenarnya alasan apa yang membuat direktur muda yang sukses itu menikahinya. Apa hanya karena ayah Mayra bersahabat dengan Pak De Zidan ketika masih sama-sama menjadi angkatan darat dulu?
Masih memakai mukenanya, Mayra duduk di pinggir tempat tidur.

“Mas … bangun Mas …” Mayra menyentuh pundak Zidan dengan lembut. Terdengar suara tidak jelas keluar dari mulut laki-laki itu. Mayra tersenyum. Melihat suaminya itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun, Mayra kembali menyentuh pundak Zidan. Kali ini sedikit lebih kuat.

Terlihat Zidan membuka matanya. Dan beberapa detik, laki-laki itu seperti kaget melihat Mayra yang sedang duduk di sampingnya. Padahal sudah beberapa hari mereka tidur seranjang. Meski memang belum melakukan apa-apa.

“Kamu sudah bangun?” Zidan mengucek matanya.
“Sudah, Mas. Sudah sholat subuh juga. Ayo, sholat, Mas.” Mayra meletakkan sarung dan sajadah di samping Zidan. Wajah Zidan kembali terlihat kaget. Sudah beberapa hari perempuan ini berada di sini, tetapi baru kali ini ia melakukan hal seperti ini.

“Ya, makasih.” Akhirnya Zidan bangun dan turun dari tempat tidur. Mayra tersenyum. Semoga ini menjadi awal yang baik, Mayra berbisik dalam hati.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER